Anda di halaman 1dari 12

1

I. Pendahuluan
Gangguan penglihatan dan kebutaan merupakan masalah kesehatan yang
signifikan di seluruh dunia terutama di negara berkembang. Organisasi Kesehatan
Dunia (World Health Organization, WHO) memperkirakan di tahun 2010
terdapat 285 juta orang di seluruh dunia mengalami ganguan penglihatan,
diantaranya terdapat 39 juta orang buta dan 246 juta penduduk mengalami
gangguan penglihatan berat (low vision). Penyebab utama kebutaan di dunia
yaitu katarak (51%) sedangkan penyebab utama gangguan penglihatan
adalah kelainan refraktif yang tidak dikoreksi (43%). Insiden kebutaan di
negara berkembang mencapai sepuluh kali lebih tinggi dibandingkan insiden di
negara maju. Data yang didapatkan pada tahun 2010 memperlihatkan bahwa
sekitar 80% dari gangguan penglihatan dapat dicegah atau diobati. Sekitar 90%
dari orang yang buta atau mengalami gangguan penglihatan berasal dari negara
dengan tingkat ekonomi rendah hingga menengah bahkan miskin, sehingga akses
ke pelayanan kesehatan mata seringkali sulit dijangkau. Untuk itu, WHO bersama
dengan berbagai kalangan baik pemerintah, organisasi non-pemerintah maupun
sektor swasta berupaya berkerja sama dalam mengentaskan kebutaan dan
gangguan penglihatan melalui beragam program kesehatan mata.1,2
Indonesia adalah negara berkembang dengan tingkat kebutaan yang tinggi.
Berdasarkan survei kebutaan tahun 1993-1996, tingkat kebutaan di Indonesia
mencapai 1,5% dari seluruh penduduk. Dari data tersebut diketahui prevalensi
kebutaan di Jawa Barat adalah 1,1% dimana 56% disebabkan oleh kebutaan
karena katarak. Kebutaan lebih dari 1% penduduk menyebabkan Indonesia
mempunyai masalah sosial terkait kebutaan dan sangat membebani negara.
Gangguan penglihatan lebih banyak terjadi pada kelompok usia yang lebih tua,
sekitar 82% dari populasi tersebut mengalami kebutaan dan 65% populasi
tersebut mengalami kebutaan sedang dan berat berusia lebih tua dari 50 tahun.3,4
Terdapat kecenderungan peningkatan jumlah kebutaan dan gangguan
penglihatan di seluruh dunia dalam rentang waktu dua puluh tahun terakhir.
Perkiraan tersebut menjadi latar belakang WHO dan International Agency for
Prevention of Blindness (IAPB) pada tahun 1999 mengumumkan program
VISION 2020: The Right to Sight, dengan tujuan utama mengeliminasi kebutaan
2

yang dapat dicegah pada tahun 2020. Target jangka panjang yang ingin dicapai
adalah semua negara di dunia dapat memberikan penglihatan terbaik untuk semua
orang, sehingga dapat meningkatkan kualitas hidup. Sistem kesehatan mata
nasional yang komprehensif dan terintegrasi mutlak diperlukan untuk
mewujudkan harapan tersebut. Rapid Assesment of Avoidable Blindness (RAAB)
merupakan standar pengumpulan data Kebutaan dan Gangguan penglihatan yang
telah ditetapkan oleh WHO melalui Global Action Plan 2014-2019. Pelaksanaan
RAAB di Indonesia telah berjalan pada tahun 2014. Terdapat 15 provinsi yang
akan menjadi lokasi RAAB, dan tiga diantaranya telah dilaksanakan pada tahun
2014 di Jawa Barat, NTB dan Sulawesi Selatan. Pada tahun 2015 telah
dilaksanakan RAAB di 4 provinsi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Tengah,
dan Bali; dan akan dilaksanakan di 8 provinsi pada tahun 2016, yaitu di Sumatera
Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, Sulawesi
Utara,Nusa Tenggara Timur (NTT), Maluku, dan Papua.5,6,
Bacaan kepustaakan ini akan membahas mengenai RAAB Jawa Barat
2014 dan strategi untuk menanggulangi kebutaan dan gangguan penglihatan yang
diperlukan menanggapi hasil tersebut.

II. Survei Rapid Assessment of Avoidable Blindness Jawa Barat


Provinsi Jawa Barat mempunyai wilayah sekitar 44.624,8 km2 atau 34%
dari luas Pulau Jawa dan Madura. Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat adalah
sebanyak 44.553.732 jiwa, yang diantaranya mencakup yang bertempat tinggal di
daerah perkotaan sebanyak 28.282.915 jiwa (65,69 persen) dan di daerah
perdesaan sebanyak 15.770.817 jiwa (34,31 persen). Kelompok usia populasi
berdasarkan data tahun 2011 diperoleh presentase sebesar 29,62% pada kelompok
usia <0-14 tahun, 55% pada kelompok usia 15-49 tahun dan 15,38% (6.752.363
jiwa) pada kelompok usia ≥50 tahun. Program-program pembangunan kesehatan
di Propinsi Jawa Barat telah berusaha mengoptimalkan upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat. Hal ini terlihat antara lain dengan meningkatnya usia
harapan hidup waktu lahir yaitu pada tahun 2012 adalah 68,60 tahun meningkat
menjadi 68,84 pada tahun 2013. Keadaan ini dapat mengakibatkan timbulnya
3

transisi epidemologi penyakit di mana terjadi pergeseran dari penyakit yang


bersifat akut menuju penyakit kronis degeneratif.7
Sejak tahun 1993 sampai saat ini belum ada lagi survei kebutaan yang
representatif di Indonesia. Beberapa survei kecil dilakukan di daerah-daerah
tertentu, seperti di Desa Sawah Kulon, Purwakarta, Jawa Barat (2006), angka
kebutaan untuk kelompok usia 50 tahun ke atas sebesar 3,6%, atau dengan
metode sederhana seperti Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan
oleh Departemen Kesehatan Indonesia tahun 2007 adalah 5,7% dengan prevalensi
kebutaan adalah 0,9%. Untuk provinsi Jawa Barat angka prevalensi gangguan
kebutaan menyamai prevalensi nasional sebesar 5,7% namun prevalensi
kebutaannya sebesar 1,2%. Hal ini dapat menggambarkan jumlah penduduk yang
memiliki gangguan penglihatan adalah sebesar 2.650.339 orang dan 557.966
orang mengalami kebutaan. yang diperoleh angka kebutaan sebesar 0,9%. Pada
Riskesdas 2013 telah dilakukan kembali pengumpulan data kebutaan dan
didapatkan angka kebutaan sebesar 0,4%. Penelitian survei kebutaan dan
morbiditas mata tahun 2005 oleh Sirlan dkk terhadap penduduk Jawa Barat yang
berusia 40 tahun didapatkan prevalensi gangguan penglihatan sebesar 18,4%
dengan angka kebutaan sebesar 3,6%. 8,9,10
Survei kebutaan biasanya mengonsumsi waktu yang lama, biaya tinggi
dan menggunakan metode pemeriksaan yang kompleks. Ahli epidemiologi dan
statistik harus dilibatkan untuk mempersiapkan hasil dan laporan survei, sehingga
survei kebutaan biasanya dilakukan setiap 8 sampai 10 tahun sekali. Besarnya
wilayah Indonesia yang dipisahkan oleh lautan menyebabkan kesulitan untuk
dilakukan survei kebutaan pada tingkat nasional, dan juga memerlukan persiapan
yang baik dengan infrastruktur berkualitas tinggi. Kondisi ini menjadi tantangan
untuk memperoleh data kebutaan di Indonesia dan metode yang sangat efektif
diperlukan untuk melakukan survei kebutaan untuk menyusun rencana dan
strategi intervensi dalam menanggulangi masalah kebutaan dan gangguan
penglihatan di Indonesia.
Rapid assessment of avoidable blindness (RAAB) merupakan survei cepat
kesehatan mata yang dapat memberikan gambaran situasi aktual dan data yang
akurat dalam menentukan prevalensi kebutaan dan gangguan penglihatan di suatu
4

wilayah dan telah direkomendasikan oleh WHO. Survei RAAB dianggap survei
cepat karena dilakukan dengan metode epidemiologi standar pada orang berusia
≥50 tahun yang berada dalam kelompok usia dengan prevalensi kebutaan dan
gangguan penglihatan sangat tinggi. Hal ini membuat persyaratan jumlah sampel
cukup rendah. Selain itu, pemeriksaan mata dasar dan pengambilan data pada
RAAB dapat dilakukan pada saat yang sama, sehingga tidak membutuhkan waktu
yang lama. Hasil survei RAAB di Indonesia sangat membantu dalam pemetaan
masalah kebutaan dan gangguan penglihatan di Indonesia, sehingga dapat
menjadi referensi yang berkualitas bagi pemerintah dan pihak terkait untuk
menyusun strategi yang efektif dan efisien dalam menanggulangi masalah
kebutaan dan gangguan penglihatan.
Penelitian survey RAAB di provinsi Jawa Barat telah dilaksanakan pada
Maret hingga Oktober 2014. Subjek penelitian adalah penduduk Jawa Barat yang
berusia ≥ 50 tahun yang terpilih menjadi sampel melalui metode multi-stage
cluster random sampling. Penelitian ini menggunakan data penduduk tahun 2010
karena data yang didapat lebih lengkap dalam memenuhi kriteria dalam
penggunaan piranti lunak Rapid Assesment of Avoidable Blindness Version 6
yang berstandar internasional. Dengan mengggunakan modul seleksi klaster dari
piranti lunak RAAB, terpilih 60 desa dari sampling frame dengan probabiliti
proporsi dari ukuran populasi. Desa didefinisikan unit pemerintahan tingkat
terendah, tempat dimana klaster survei RAAB berada. Klaster adalah sekelompok
orang yang tinggal berdekatan. Satu klaster dalam RAAB berisi 50 orang
penduduk berusia 50 tahun ke atas.
Definisi operasional kebutaan dan gangguan penglihatan yang digunakan
pada penelitian ini sesuai dengan WHO dimana gangguan penglihatan meliputi
gangguan penglihatan ringan, sedang, berat, dan kebutaan. Pemeriksaan
dilakukan oleh lima tim, yang masing-masing tim terdiri dari satu orang dokter
spesialis mata atau dokter umum yang sedang menjalani pendidikan spesialis
mata dan didampingi oleh satu orang perawat mata yang telah mendapatkan
pelatihan khusus oleh instruktur RAAB dan telah melalui penilaian variasi
interobserver. Pemeriksaan tajam penglihatan dilakukan menggunakan kartu
5

putar E. Tajam penglihatan dinilai dengan koreksi yang dimiliki dan dilakukan
pemeriksaan dengan pinhole bila tidak dapat melihat 6/12.

Kategori kebutaan/gangguan Definisi


penglihatan
Early visual impairment (EVI) Tajam penglihatan < 6/12 – 6/18 pada mata terbaik
dengan koreksi yang ada atau dengan koreksi
tersedia
Moderate visual impairment Tajam penglihatan < 6/18 – 6/60 pada mata terbaik
(MVI) dengan koreksi yang ada atau dengan koreksi
tersedia
Severe visual impairment (SVI) Tajam penglihatan < 6/60 – 3/60 pada mata terbaik
dengan koreksi yang ada atau dengan koreksi
tersedia
Blindness Tajam penglihatan < 3/60 pada mata terbaik dengan
koreksi yang ada atau dengan koreksi tersedia
Visual impairment Tajam penglihatan < 6/18 pada mata terbaik dengan
koreksi yang ada atau dengan koreksi tersedia
Functional Low Vision Seseorang dengan low vision adalah yang memiliki
gangguan pada fungsi visual walaupun telah
dilakukan terapi dan/atau koreksi refraksi, dan tajam
penglihatan kurang dari 6/18 hingga persepsi
cahaya, atau lapang pandang kurang dari 10 derajat
dari titik fiksasi, yang menggunakan, atau potensial
menggunakan penglihatannya untuk melakukan
kegiatan sehari-hari.
Tabel 2.1 : Definisi gangguan penglihatan dan kebutaan berdasarkan WHO

Survei dilakukan terhadap 3.000 orang yang berusia 50 tahun ke atas,


dimana 2.842 yang dapat dilakukan pemeriksaan, lainnya tidak berada di tempat,
menolak dan tidak mampu berkomunikasi.

Laki-Laki Perempuan Total


Diperiksa 1065 (93.3%) 1777 (95.6%) 2842 (94.7%)
Tidak ditempat 48 (4.2%) 39 (2.1%) 87 (2.9%)

Menolak 22 (1.9% 26 (1.4%) 48 (1.6%)

Tidak Mampu Berkomunikasi 7 (0.6%) 16 (0.9%) 23 (0.8%)


Tabel 2.2 : Karakteristik sampel 11
6

Kategori Gangguan Laki-Laki Perempuan Total


Penglihatan n (%); 95%CI n (%); 95%CI n (%); 95%CI
Blindness 69,058 (2.1%) 111.605 (3.4%) 180,663 (2.8%)
Severe visual impairment 27,649 (0.9%) 49,889 (1.5%) 77,538 (1.2%)
Moderate visual impairment 214,133 (4.3%) 257,222 (7.9%) 471,335 (7.2%)
Early visual impairment 222,996 (6.9%) 258,452 (7.9%) 481,446 (7.4%)
Functional Low Vision 52,493 (1.6%) 34,612 (1.1%) 87,105 (1.3%)

Tabel 2.3 : Prevalensi Kebutaan pada umur 50+ disesuaikan dengan umur dan jenis kelamin 11

Tabel 2.4 memperlihatkan penyebab kebutaan dan gangguan penglihatan


pada usia 50 tahun ke atas. Katarak yang tidak diobati (71,7%) adalah penyebab
utama buta bilateral, diikuti dengan penyakit segmen posterior lainnya (10,9%),
semua jenis abnormalitas bola mata/saraf pusat (6,5%), jaringan parut kornea non
trakhomatous (4,3%), glaukoma dan kelainan refraksi tidak terkoreksi (2,2%).
Katarak juga merupakan penyebab utama gangguan penglihatan pada SVI dan
MVI, sedangkan penyebab kedua terbesar adalah kelainan refraksi.

Kebutaan SVI MVI EVI


n (%) n (%) n (%) n (%)
1. Kelainan Refraksi 2 (2,2) 4 (10,5) 89 (36,8) 157 (68,0)

2. Afakia Tidak dikoreksi 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0)

3. Katarak tidak diobati 66 (71,7) 28 (73,7) 124 (51,2) 51 (22,1)

4. Komplikasi operasi katarak 0 (0,0) 0 (0,0) 3 (1,2) 1 (0,4)

5. Kekeruhan kornea trakomatous 1 (1,1) 1 (2,6) 0 (0,0) 0 (0,0)

6. Kekeruhan Kornea non-Trakomatous 4 (4,3) 0 (0,0) 1 (0,4) 0 (0,0)

7. Pthisis 1 (1,1) 0 (0,0) 0 (0,0) 0 (0,0)

8. Pterygium 0 (0,0) 2 (5,3) 3 (1,2) 3 (1,3)

9. Glaukoma 2 (2,2) 0 (0,0) 3 (1,2) 0 (0,0)

10. Diabetic Retinopathy 0 (0,0) 1 (2,6) 3 (1,2) 0 (0,0)

11. ARMD 0 (0,0) 0 (0,0) 2 (0,8) 3 (1,3)

12. Penyakit segemen posterior lainnya 10 (10,9) 0 (0,0) 9 (3,7) 11 (4,8)

13. Kelainan bola mata/saraf sentral 6 (6,5) 2 (5,3) 5 (2,1) 5 (2,2)


lainnya
Tabel 2.4 : Penyebab kebutaan pada umur 50+ di Jawa Barat 11
7

III. Strategi dan Tatalaksana Menurunkan Prevalensi Kebutaan


Sejak tahun 1950 WHO telah mencanangkan berbagai program dalam
upaya mengentaskan kebutaan dan gangguan penglihatan melalui beragam
resolusi yang senantiasa diperbaharui oleh Majelis Kesehatan Dunia (World
Health Assembly, WHA). Upaya WHO dalam pencegahan kebutaan diawali di
tahun 1950 yakni eradikasi dan pencegahan kebutaan akibat trakoma. Pada tahun
1987 WHO membentuk Program Pencegahan Kebutaan (PPK) yang memiliki
tujuan membantu negara-negara anggota untuk mengatur program dan kegiatan
yang ditujukan untuk pencegahan dan pengendalian empat penyebab utama
kebutaan dan gangguan penglihatan yang diidentifikasi pada saat itu. Peran aktif
WHO saat itu berdampak pada didirikannya Badan Internasional untuk
Pencegahan Kebutaan (International Agency for the Prevention of Blindness,
IAPB) pada tahun 1975. 12,13
WHO dan IAPB bekerja sama dalam menerapkan fondasi program
kesehatan mata secara global. Inisiatif awal diantaranya adalah mendirikan
program nasional untuk pencegahan kebutaan di setiap negara anggota, bekerja
sama dengan lembaga swadaya masyarakat internasional/nasional dan organisasi
pemerintah/non pemerintah, serta pengembangan data dasar kebutaan secara
global. 12,13
Vision 2020 yang ditetapkan tahun 1999, merupakan inisiatif global untuk
menghilangkan kebutaan yang dapat dihindari pada tahun 2020. Tujuan jangka
panjang adalah untuk mengembangkan sistem kesehatan yang komprehensif dan
berkesinambungan untuk memberikan penglihatan yang terbaik untuk semua
orang sehingga meningkatkan kualitas hidup. Tiga komponen utama dari Vision
2020 adalah pengendalian penyakit, pengembangan sumber daya manusia, dan
pembangunan infrastruktur dan teknologi. Prinsip-prinsip Vision 2020 secara
garis besar melingkupi integrasi pelayanan kesehatan mata ke dalam sistim
pelayanan kesehatan yang ada, mengupayakan kesinambungan sumber daya
manusia dan finansial, menyediakan perawatan dan layanan untuk semua
kalangan dengan menerapkan standar tertinggi kesehatan mata. 12,13
8

Menurut Ilmu Kesehatan Masyarakat, prevalensi suatu penyakit idealnya


di bawah 0,5% sehingga dianggap sebagai masalah kesehatan individu. Bila
prevalensi penyakit bernilai 0,5-1%; penyakit tersebut telah menjadi masalah
kesehatan masyarakat. Sedangkan bila prevalensinya lebih dari 1,0%; maka
masalah esehatan tersebut telah berkembang menjadi masalah sosial. Agar
masalah gangguan penglihatan dan kebutaan tidak menjadi masalah sosial,
Indonesia telah mengesahkan Rencana Strategi Nasional Penanggulangan
Gangguan Penglihatan dan Kebutaan untuk mencapai Vision 2020 melalui
Keputusan Menteri Kesehatan di tahun 2005. Menyikapi kebijakan tersebut,
pemerintan provinsi Jawa Barat melaksanakan Rencana Strategi Nasional
Penanggulangan Gangguan Penglihatan dan Kebutaan (PGPK) sejak 2005. Untuk
menurunkan gangguan penglihatan dan kebutaan, diperlukan analisis berbagai
faktor risiko gangguan pengliatan, yang diantaranya termasuk faktor demografis
(usia, etnis, ras dan jenis kelamin), sosioekonomi (budaya, pendapatan,
pendidikan, dan pekerjaan), dan geografis (daerah rural, terpencil, dan akses
transportasi). 14
Berdasarkan hasil RAAB Jawa Barat diketahui prevalensi kebutaan pada
populasi berusia 50 tahun ke atas di Jawa Barat adalah 180.663 orang. Prevalensi
kebutaan bilateral yang disebabkan oleh katarak yang disesuaikan dengan umur
dan jenis kelamin adalah 1,3%, sehingga dapat di estimasikan terdapat 85.055
orang di seluruh Jawa Barat buta katarak bilateral. Dari seluruh kebutaan di Jawa
Barat sebanyak 82,6% dapat dicegah dimana 73,9% dapat diobati (katarak dan
kelainan refraksi yang tidak di koreksi). Strategi yang diperlukan untuk
menurunkan kebutaan di Jawa Barat berupa operasi katarak (71,7%), pelayanan
optik (2,2%), pelayanan kesehatan mata primer (6,5%), pelayanan kesehatan mata
spesialistik (2,2%), dan upaya rehabilitasi low vision (17,4%).
Pelayanan bedah katarak dilihat dengan cataract surgical rate (CSR) yaitu
jumlah operasi katarak dilakukan dalam setahun, per juta penduduk, dan Cataract
Surgical Coverage (CSC), yaitu jumlah penderita katarak yang telah dioperasi
dibagi jumlah penderita katarak baik yang sudah maupun yang belum dioperasi.
Data mengenai tingkat operasi penting untuk memantau layanan bedah katarak
sebagai salah satu penyebab kebutaan utama global dan sebagai indikator
9

perkiraan yang berharga untuk penyediaan layanan perawatan mata. Berdasarkan


data RAAB, jumlah CSR yang diperlukan untuk memberantas kebutaan adalah
4000, angka ini masih terpaut jauh jika mengacu pada data WHO dimana baru
tercapai nilai CSR sebanyak 500 di Indonesia pada tahun 2014.
Elemen penting dalam pengembangan rencana kerja program kesehatan
mata, yaitu : 1) Menilai besar dan penyebab gangguan penglihatan dan efektivitas
pelayanan di semua negara, 2) Mengembangkan dan menerapkan kebijakan
rencana nasional untuk pencegahan gangguan penglihatan yang dapat dihindari
sebagai landasan kerja strategis, 3) Pemerintah dan mitra perlu berinvestasi untuk
mengurangi gangguan penglihatan yang dapat dihindari melalui intervensi yang
efektif dalam pembiayaan dan mendukung masyarakat dengan kondisi gangguan
penglihatan yang tidak dapat pulih kembali untuk mengatasi hambatan yang
mereka hadapi dalam mengakses layanan kesehatan, rehabilitasi, dukungan dan
bantuan, lingkungan, pendidikan dan pekerjaan, 4) Kemitraan dan aliansi
internasional memiliki peran dalam mengembangkan dan memperkuat tanggapan
kesehatan masyarakat yang efektif untuk pencegahan gangguan penglihatan, 5)
Penghapusan kebutaan yang dapat dihindari tergantung pada kemajuan dalam
agenda kesehatan global dan pengembangan lainnya, seperti pengembangan
sistem kesehatan yang komprehensif, sumber daya manusia untuk pembangunan
kesehatan, perbaikan di program kesehatan ibu, anak dan reproduksi, serta
penyediaan air minum dan sanitasi dasar yang aman, 6) Penelitian biomedis dan
operasional perlu dilakukan dan diberi bantuan dana, 7) Menentukan target global
dan indikator nasional. 14,15
Priorotas pemberantasan kebutaan di Jawa Barat harus diberikan pada
jumlah operasi katarak, diikuti dengan pengembangan pelayanan optik dan
pelayanan di tingkat pelayanan kesehatan primer dan pelayanan kesehatan mata
primer. Kedua intervensi ini diperkirakan dapat menurunkan 80% dari penyebab
kebutaan dan dapat memberikan dampak paling besar. Terdapat suatu kebutuhan
yang mendesak untuk meningkatkan cakupan operasi katarak dengan
meningkatkan upaya identifikasi pasien dan melakukan operasi katarak pada
stadium awal. Peningkatan jumlah operasi katarak yang dapat dicapai dengan
beberapa strategi diantaranya adalah dilakukan analisis dengan rinci terhadap
10

pelayanan operasi katarak yang berlangsug saat ini untuk mengidentifikasi


kemungkinan-kemungkinan operasi katarak. Jumlah operasi katarak (Cataract
Surgical Rate, CSR) perlu ditingkatkan paling sedikit 10% per tahun untuk
mengkompensasi kecenderungan demografi. Selain itu perlu diterapkan metode
operasi untuk jumlah operasi yang besar dengan biaya seminimal mungkin.
Upaya pendekatan pada pemerintah melalui Kementrian Kesehatan dan promosi
yang intensif bekerjasama dengan komunitas diperlukan untuk mengoptimalkan
sumber daya untuk mengintensifkan penemuan kasus, memberikan informasi
manfaat operasi katarak dan pengobatan katarak dapat menurunkan angka
kemiskinan. 11,15

IV. Simpulan
Kebutuhan masyarakat Jawa Barat terhadap terapi kebutaan dan gangguan
penglihatan yang dapat diobati cukup tinggi pada kelainan refraksi namun masih
rendah pada katarak. Meningkatkan jumlah bakti sosial katarak ke lokasi terpencil
juga dapat meningkatkan cakupan operasi katarak dan mengurangi angka
kebutaan yang dapat diobati. Perlunya usaha edukasi kesehatan mata pada
masyarakat luas guna meningkatkan pengetahuan dan kepedulian masyarakat
terhadap kesehatan mata.
11

DAFTAR PUSTAKA

1. Mariotti S, Pascolini D. Global estimates of visual impairment, vision loss and blindness
2010. Br J Ophthalmol. 2012 May;96(5):614-8.
2. World Health Organization. Global data on visual impairment. Diunduh
dari:http://www.who.int/entity/blindness/GLOBALDATAFINALforweb.pdf?ua=1.
[Diakses tanggal 20 Juli 2016].
3. Sirlan F. Hasil Survei Kesehatan Indera Penglihatan dan Pendengaran. Depkes RI. Ditjen
Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Direktorat Bina Upaya Kesehatan Puskesmas.
Jakarta; 1998.
4. InfoDatin, Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Situasi Gangguan
Penglihatan dan Kebutaan. Oktober 2014 : 2-3.
5. International Agency for the Prevention of Blindness. Vision 2020. Diunduh dari:
http://www.iapb.org/vision-2020. [Diakses tanggal 20 Januari 2014].
6. World Health Organization. Action plan for the prevention of avoidable blindness and
visual impairment (document WHA62/2009/REC/1, Annex 1). Geneva,2009. Diunduh
dari : http://apps.who.int/gb/ebwha/pdf_files/WHA62-REC1 -en-P4.pdf [Diakses tanggal
20 Juli 2014].
7. Katalog Badan Pusat Statistik. Jawa Barat Dalam Angka. Bada Pusat Statistik Jawa
Barat. 2015
8. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset kesehatan dasar 2007. Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2008. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia.
9. Ratnaningsih N. Prevalence of blindness and low vision in Sawah Kulon village,
Purwakarta the district, West Java, Indonesia. Community Eye Health. 2007
March;20(61): 9.World Health Organization.
10. Sirlan F, Agustian D, Rifada M. Survei Kebutaan dan Morbiditas Mata di Jawa Barat
Tahun 2005. Bandung: Fakultas Kedokteran Unpad; 2005.
11. Sovani I, Ratnaningsih N, Syumarti, Rini Mayang, Halim A. Rapid Assessment of
Avoidable Blindness (RAAB) Jawa Barat Tahun 2014. Pusat Mata Nasional RS Mata
Cicendo. Bandung. 2014
12. International Agency of the Prevention of Blindness. Global Action Plan 2014-2019.
Diunduh dari: http://www.iapb.org/advocacy/who-action-plan. [Diakses tanggal 20 Juli
2016].
12

13. World Health Organization. World Health Assembly resolution WHA56.26. Elimination
of avoidable blindness (document WHA56/2003). Geneva 2003. Diunduh dari:
http://apps.who.int/gb/archive/e/e_wha56.html. [Diakses tanggal 20 Juli 2016].
14. Keputusan Menteri Kesehatan. Strategi Nasional Penanggulangan Kebutaan dan
Gangguan Penglihatan untuk Mencapai Vision 2020. Diunduh
dari:http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_kepmenkes/ [Diakses tanggal 7 Juli 2016].
15. Resnikoff S, Pararajasegaram R. Blindness prevention programs : past. Present and
future. Bulletin of the World Health Organization, 2001, 79: 222–226.
16. International Agency of the Prevention of Blindness. Report on Universal Eye Health.
Diunduh dari: http://www.iapb.org/news/new-iapb-report-‘universal-eyehealth’-
launched-world-sight-day. [Diakses tanggal 20 Juli 2016].

Anda mungkin juga menyukai