Anda di halaman 1dari 6

Materi kel 12

Secara etimologi ta’arudh yaitu saling bertentangan[1]atau pertentangan antara dua

perkara.[2] Dilihat dari asal katanya, ta’arudh berasal dari kata‘aradha.[3]

Prof. Alaiddin Koto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Fiqh dan Ushul fiqh mengakatan

bahwa ta’arudh berasal dari kata ‘arudh yang memiliki arti taqabul dantamanu’ atau

bertentangan dan sulitnya pertemuan. Ulama Ushul mengartikanta’arudh ini sebagai dua dalil

yang masing-masing menafikan[4] apa yang ditunjuk oleh dalil yang lain.[5]

Sedangkan adillah (

‫ة‬
َّ
ِ‫دل‬
‫ْأ َل‬

‫( ا‬adalah jama’ dari dalil ( ‫( ل أل َِّيالد‬berarti alasan, argumen, dan

dalil.[6]

Sedangkan secara terminologi, ta’arudhyaitu:

‫أع‬
َ َ‫ر َض ال َب َّي َنا ت ِ َل َّن ك َّل َوا ِح َد ٍة ت‬
‫أم َنع َه َت َع ا ا‬
َ‫ِأل خر َى َوت‬

ِ‫ر ض ا‬
َ‫ت‬

“Ta’arudh bukti-bukti karena masing-masing menentang yang lain dan mencegah

berlakunya.”

Ali Hasabillah mengemukakanta’arudh al-adillah sebagai berikut:

َ‫سا‬
ِ َ‫ن الت‬
‫أي‬
َ‫حد ا َّل ِألي َل‬
َِ‫ضى ا‬
َ‫ت‬

َ َ‫خر ا رضث اَ أن َيقأ‬


‫ِأل ال َّت َع‬
ِ‫ض َيه ا‬
َ‫ت‬

ِ‫ب ِة ال ُّشب أو ِت َنِقأيض َما َيقأ‬


َ ‫ي ِن فِى َمأر َت‬
َ ‫و‬
“Ta’arudh itu hendaknya satu dari dalil yang sama martabat tsubutnya mengandung

ketentuan yang bertentangan dengan ketentuan dalil yang lain.”[7]

Menurut Wahbah Zuhaili: “terdapat dua dalil, salah satunya menunjukkan hukum yang

berbeda dengan hukum yang dikehendaki oleh nash dan yang lainnya.”[8]

Adapun Ta’arudh al-adillah menurut kajian ilmu Ushul Fiqh adalah:

‫أي ِل ال ِ َمما نَغَ ِة‬


ِ
ِ‫ن َعلَى َسب‬
‫أي‬

َ ‫َت َق‬
‫اب َل ال َّد ِألي َل‬

“Berhadap-hadapan dua dalil dengan cara yang saling bertentangan.”[9]

Ulama Ushul melihat bahwata’arudh tidak hanya terjadi di sekitar ayat-ayat Al-Quran dan

Hadist, tetapi juga di antara dua qiyas antara kaidah-kaidah yang digunakan dan dalil-dalil

yang menyebabkan berbeda pula produk hukum yang dihasilkan.[10] Yang perlu ditegaskan dalam
pengertian ta’arudh ini ialah permasalahannya ada ketentuan

waktunya, sehingga pengertian Ta’arudhdapat disimpulkan menjadi :


َ‫ت‬

َ‫وا ِق ِعِ ة ي َخاِل ف َما َيقأ‬


ٍ‫ت ح أ ًكما فِى ال‬
ِ‫ن فِى َوقأ‬
‫أي‬
‫ت َض ء ن ِل َوا ِحٍد ِم َن ال َّدِألي َل‬
ِ
َ‫ه اِق ا أ‬
‫ِأ َل َخ ر فِي‬
ِ‫ض َيه ال َّد ِألي ل ا‬

“Masing-masing dalil menghendaki hukum di waktu yang sama terhadap satu kejadian, yang

menyalahi hukum yang dikehendaki dalil yang lain.”

Dari pengertian di atas, ada lima ketentuan dalam pengertian ta’arudh, yakni:

1. Adanya dua dalil.


2. Sama martabat atau derajat keduanya.

3. Mengandung ketentuan yang berbeda.

4. Berkenaan dengan masalah yang sama.

5. Menghendaki hukum yang sama dalam satu waktu.[11]

Sebenarnya menurut Wahbah Zuhaili, tidak ada dalil nash yang saling bertentangan, adanya

pertentangan dalil syara’ itu hanya menurut pandangan mujtahid, bukan pada hakikatnya.

Dalam kerangka pikir inilah, maka ta’arudhmungkin terjadi pada dalil-dalil

yangqath’Imaupun zanni. Pendapat Wahbah Zuhaili ini berdasarkan kepada firman Allah

dalam surah An-Nisa ayat 82:

‫أ‬
َ‫و َجد وا‬
ِ‫لل َل‬
ِ ََّّ ‫ر ٱ‬
ۡ‫و َكا َن ِۡمن ِعنِد َۡغي‬

َ‫و َل‬
ۡ‫ر َءا ََۚن‬

‫ق‬
ۡ

‫ف َل َي َتدَبَّ رو َن ٱل‬
َ
َ
ٗ‫ف أ ا َكث ِٗيرا‬
َٰ
‫ خ ِت َل‬٨٢ۡ ‫فِي ِه ٱ‬

“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran? Kalau kiranya Al Quran itu bukan

dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya.” (Q.S

An-Nisa’ [4] : 82).[12]

Abdul Wahab Khallaf sependapat dengan Wahbah Zuhairi, menurutnya yang perlu

diperhatikan dalam memahami Ta’arudh al-adillah, bahwasannya tidak terdapat kontradiksi

yang sebenarnya antara dua ayat atau antara dua hadist yang shahih atau antara ayat dan

hadist shahih. Jika kelihatannya ada kontradiksi itu hanya lahirnya saja sesuai dengan yang

tampak pada akal. Bukan kontradiksi yang sebenarnya. Alasannya adalah karena Allah tidak

mungkin mengeluarkan dua hukum yang bertentangan untuk satu peristiwa dalam satu
waktu.

Materi kel 10

A. Nasakh

Belum ada kesepakatan diantara para ulama mengenai pengertian nasakh,

baik menurut bahasa ataupun istilah, sehingga masih selalu ada beberapa

penngertian untuk masing-masingnya. Menurut bahasa, kata nasakh sedikitnya

mempunyai beberapa macam arti, sebagai berikut:

1. Menghapus/ meniadakan (Al-Izalah Wal I`daam). Yakni kata nasakh itu berarti

menghapuskan atau menghilankannya.

2. Memindahkan sesuatu yang tetap sama (At-Tahwill Ma`a Baqaa`ihi fi Nafsihi).

Yakni, nasakh itu berarti memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat

lain, tetapi barang itu tetap sama saja.

3. Menyalin/ mengutip (An-Naqlu Min Kitaabin IIaa Kitaabin). Yakni, nasakh

diartikan dengan menyalin/mengutip tulisan dari buku ke dalam buku lain,

dengan tetap adannya persamaan antara salinan/ kutipan dengan yang disalin/

dikutip.

Dengan arti mengubah dan membatalkan sesuatu dengan menempatkan

sesuatu yang lain sebagai gantinya (At-Taghyir wal Ibthaal wa Iqaamatisy Sya`I

Maqaamahu). Yakni, nasakh itu diartikan dengan mengubah sesuatu ketentuan/

hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada, diganti dengan

hukum baru yang lain ketentuannya.

B. Nasikh

Nasikh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan menghilangkan,

atau yang memindahkan atau yang mengutip/ menyalin serta mengubah dan

mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurt bahasa seperti

yang diterangkan diatas. Bedanya, nasakh itu kata masdar, sedangakan nasikh ini

isim fa‟il, sehingga berarti pelakunya. Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah,

ada dua macam, yaitu: 1. Nasikh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/
mengubah

hukum/ dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum

yang baru yang dibawahnya.


2. Nasikh itu ialah Allah SWT, bahwa sebenarnya yang menghapus dan

menggantikan hukum syarak itu ialah Allah SWT, tidak ada yang lain.

Sementara itu, Quraish Shihab menyatakan bahwa ulama-ulama mutaqqaddimin

dan muta‟akhirin tidak sepakat dalam memberikan pengertian nasikh secara

terminologi. Para ulama itu memperluas arti nasikh hingga mencangkup:

 Pembatalan hukum yang ditetapkan oleh hukum yang ditetapkan

kemudian

 Pengecualian hukum yang bersifat umum oleh hukum yang spesifik

yang datang kemudian

 Penjelasan susulan terhadap hukum yang bersifat ambigius

 Penetapan syarat bagi hukum yang datang kemudian guna

membatalkan atau merebut.

C. Mansukh

Mansukh menurut bahasa, berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/

dipindah ataupun disalin. Sedangkan menurut istilah menurut istilah para ulama,

mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang

belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syarak baru

yang datang kemudian.

Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama

yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi

dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.

2. Syarat-syarat Nasikh dan Mansukh

1. Hukum yang dinasakhkan harus berupa hukum syarak, bukan hukum lain,

seperti hukum akal atau hukum buatan manusia.

2. Dalil yang digunakan untuk mengangkatkan hukum itu ialah dalil syara` yang

datangnya kemudian dari teks yang dimansukhkan hukumnya.

3. Dalil/ ketentuan nasikh harus terpisah dengan dalil/ ketentuan mansukhnya.

4. Dalil nasikh harus lebih kuat atau sama kuat daripada dalil mansukh.

5. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari

dalil hukum yang pertama.

Anda mungkin juga menyukai