Anda di halaman 1dari 8

KEBIJAKAN FORMULASI KETENTUAN UNDANG-UNDANG DI

LUAR KUHP

Alvika Fatmawati Dwi Putri


Fakultas Hukum, Universitas Diponegoro
Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1-3 Kampus UNDIP Pleburan, Semarang, 50241
alvikafdp@students.undip.ac.id

Abstract

Welfare for the people, the political objectives of the Indonesian state law, are clearly stated in
the Preambule of the 1945 Constitution. In order to provide welfare for the Indonesian people,
punishment is one of the means chosen by the legislators. Various laws and regulations that
contain “criminal provisions” are concrete forms of the intended policy choices. The criminal
provisions contained in various legislative products, one of which contains the rules / provisions
of material / substantive criminal law. Unfortunately, the relationship between the Criminal
Code and the provisions of the Law outside the Criminal Code often cannot be understood or
ignored by legislators. This is why there are many Special Laws outside the Criminal Code
which contain juridical problems. Many special laws do not mention / determine the
qualification of a criminal offense as "a crime or offense". This can create juridical problems in
policy formulation.

Keywords : Provisions, Legislative Products, Juridical Issues, Formulations.

Abstrak

Kesejahteraan bagi rakyat tujuan politik hukum negara Indonesia yang tertuang
jelas pada Preambule UUD 1945. Hal nya Guna memberi kesejahteraan bagi rakyat
Indonesia, pidana menjadi salah satu pilihan sarana yang dipilih oleh pembentuk undang-
undang. Berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat “ketentuan pidana”
merupakan wujud konkret pilihan kebijakan yang dimaksud. Ketentuan pidana yang
dimuat dalam berbagai produk legislatif salah satunya memuat aturan/ketentuan hukum
pidana materiil/substantif. Keterikatan antara KUHP dengan ketentuaniUU idiluar KUHP
sayangnya sering tidak dapat dipahami atau diabaikan oleh pembentuk undang-undang. Ini
yang menyebabkan banyaknya UU Khusus di luar KUHP yang mengandung masalah
yuridis. Banyak perundang-undangan khusus yang tidak menyebut/ menentukan kualifikasi
tindak pidana sebagai “Kejahatan atau Pelanggaran”. Hal ni bisa menimbulkan masalah yuridis
dalam kebijakan formulasi.
Kata Kunci : Ketentuan, Produk Legislatif, Masalah Yuridis, Formulasi.

A. Pendahuluan hukum pidana substantif itu terdiri dari


“aturan umum” (general rules) dan
Kesejahteraan bagi rakyat tujuan “aturan khusus” (special rules). Dilihat
politik hukum negara Indonesia yang dari keseluruhan sistem penegakan
tertuang jelas pada Preambule UUD 1945. hukum pidana substantif, UU Khusus di
Jelas saja, mementingkan kesejahteraan luar KUHP hanya merupakan “sub-
rakyat merupakan prioritas bagi setiap sistem” karena pada umumnya hanya
pembuatan kebijakan legislatif untuk terus merumuskan tindak pidana/delik khusus.
berupaya meningkatkan taraf hidup UU Khusus tidak mengatur keseluruhan
masyarakat, yang pada dasarnya bangunan/konstruksi konsepsional sistem
merupakan hak konstitusional setiap warga hukum pidana yang bersifat umum
negara Indonesia. Praktik legislatif saat ini (biasa disebut “ajaran-ajaran umum” atau
semakin menunjukkan terjadinya “algemene leerstukken”/”algemeine
perubahan atau perkembangan fungsi lehren” (Arief, 2012).
hukum pidana dalam rangka memberikan Antara KUHP dan UU diluar
perlindungan terhadap masyarakat dari KUHP dengan demikian terikat dalam
yang bersifat ultimum remedium menjadi satu kesatuan sistem pemidanaan.
primum remedium. Dimana hukum pidana Keterikatan tersebut terlihat dari
tidak dapat lagi dilihat sebagai sarana karakteristik aturan umum sistem
terakhir dalam memberikan perlindungan, pemidanaan yang berlaku saat ini yang
namun dalam kondisi tertentu dapat kemudianidikemukakan oleh Barda
didudukkan sebagai sarana utama guna Nawawi Arief (Arief, 2012): 1.Ketentuan
mencapai suatu kondisi di mana pidana dalam UU Khusus diluar KUHP
masyarakat mendapatkan perlindungan. merupakan sub-sistem dari keseluruhan
Guna memberi perlindungan sistem hukum pidana; 2. Sebagai sub-
hukum bagi rakyat Indonesia, pidana sistem, UU Khusus terikat pada
menjadi salah satu pilihan sarana yang ketentuan/aturan umum yang ada di
dipilih oleh pembentuk undang-undang. dalam Bab I s/d VIII (Pasal 1-85) Buku
Berbagai peraturan perundang-undangan I KUHP, sepanjang UU Khusus tidak
yang memuat “ketentuan pidana” membuat ketentuan lain yang
merupakan wujud konkret pilihan menyimpang (Lihat Pasal 103 KUHP).
kebijakan yang dimaksud. Ketentuan Ini berarti, keterikatan UU khusus
pidana yang dimuat dalam berbagai terhadap aturan umum itu tidak bersifat
produk legislatif salah satunya memuat mutlak. UU Khusus bisa saja membuat
aturan/ketentuan hukum pidana ketentuan lain yang menyimpang; 3.
materiil/substantif. Menurut Barda Ketentuan/aturan umum dalam Bab IX
Nawawi Arief (Arief, 2012), keseluruhan Buku I KUHP (Pasal 86 s/d 102) hanya
aturan/ketentuan pidana materiil/substantif berlaku untuk KUHP, tidak untuk UU
merupakan suatu sistem, sehingga dapat khusus diluar KUHP (lihat Pasal 103
disebut sebagai sistem hukum pidana KUHP).
materiil/substantif. Selanjutnya Keterikatan antara KUHP dengan
ditambahkan olehnya: “keseluruhan sistem ketentuaniUU idiluar KUHP sayangnya
sering tidak dapat dipahami atau diabaikan ketentuan/penegasan tentang kualifikasi
oleh pembentuk undang-undang. Ini yang yuridis dari tindak pidana sebagai
menyebabkan banyaknya UU Khusus di “Kejahatan” atau “Pelanggaran”, kerena
luar KUHP yang mengandung masalah sudah jelas di aturan umum KUHP terdiri
yuridis. Dengan meminjam makna dari “aturan umum untuk kejahatan” dan
masalah yuridis bahwa yang dimaksud “aturan umum untuk pelanggaran”.
‘masalah yuridis’ (dalam kebijakan Penentuan kualifikasi yuridis ni tentu
formulasi) adalah suatu masalah sangat berfungsi guna menghubungkan
perumusan ‘dilihat dari kebijakan pemberlakuan antara aturan umum KUHP
formulasi seharusnya’ (menurut sistem terhadap tindak pidana dalam aturan khusus
hukum pidana/sistem pemidanaan yang tu. Penentuan kualifikasi yuridis juga
sedang berlaku). mengandung “fungsi harmonisasi kesatuan
Kebijakan formulasi hukum pidana sistem”.
dalam berbagai peraturan perundang-
undangan di Indonesia, saat ini banyak Masalahan Formulasi Yuridis dalam
menimbulkan masalah yuridis. Tentunya Ketentuan UU Khusus Saat ni
pernyataan yang demikian, bukanlah Yang dimaksud dengan
sekedar proposisi, opini atau asumsi “Masalah Yuridis” dalam kebijakan
belaka melainkan dapat dipertanggung formulsi adalah suatu masalah perumusan
jawabkan secara ilmiah atau didasarkan dilihat dari sudut kebijakan formulasi yang
atas bukti-bukti (evidence-based). Salah seharusnya jika menurut sistem hukum
satu contoh darii masalah yuridis yang pidana/ sistem pemidanaan yang sedang
dapat ditemui dalam kebijakan formulasi berlaku. Jadi tidak dilihat : 1. Dari sudut
UU khusus diluar KUHP adalah tidak filosofis (adil/tidak adil) atau dari sudut
adanya penetapan kualifikasi yuridis teorik/ doctrinal; 2. Dari sudut pragmatig
berupa “kejahatan” atau “pelanggaran” (manfaat/tidak, dapat diterapkan/ tidak
terhadap delik-delik yang diatur dalam kecuali kalau tidak dapat diterapkannya
UU Khusus tersebut. Karena KUHP karena ada kekurangan menurut sistem
sebagai induk sistem hukum pidana yang seharusnya; 3. Dari sudut sosiologis
materiil mengenal adanya (sesuai/tidak dengan nilai yang hidup dalam
pengkualifikasian tersebut, sehingga agar masyarakat; 4. Dari sudut perbandingan
aturan umum dalam KUHP dapat bobot delik;
diberlakukan terhadap delik-delik dalam
UU Khusus di luar KUHP maka Masalah Tidak Adanya Penentuan
penetapan kualifikasi yuridis menjadi Formulasi Delik Sebagai “Kejahatan
sebuah keharusan. Berdasarkan alasan- atau Pelanggaran”
alasan tersebut di atas, maka terdapat Banyak perundang-undangan
dua permasalahan yang menjadi kajian khusus yang tidak menyebut/ menentukan
yaitu bagaimana kebijakan formaulasi kualifikasi tindak pidana sebagai
dalam penetapan kualifikasi yuridis dalam “Kejahatan atau Pelanggaran”. Hal ni
beberapa ketentuan UU di luar KUHP. bisa menimbulkan masalah, karena
perundang-undangan pidana di luar
B. Pembahasan KUHP tetap terikat pada aturan umum
KUHP yang membedakan antar “aturan
Dalam kebijakan formulasi “Ketentuan umum untuk kejahatan” dan “aturan
Pidana” wajib mengadakan persoalan umum untuk pelanggaran”. Ada akibat-
akibat yuridis yang berbeda antara Pasal 78 dan 84 KUHP dapat berlaku
“Kejahatan dan Pelanggaran”, antara lain untuk UU Khusus tu.
dalam hal “Percobaan dan Pembantuan,
concursus, daluwarsa penuntutan dan Implikasi yuridis materiil dari
pelaksanaan pidana, dalam hal delik penetapan tindak pidana sebagai kejahatan
aduan, dalam hal berlakunya “asas dan pelanggaran dalam dalam undang-
nasional aktif” Pasal 5 ayat (1) ke-2 undang pidana khusus mengandung arti
KUHP. bahwa undang-undang pidana khusus tetap
terikat pada aturan umum KUHP mengenai
Akibat/ mplikasi Yuridis Yang Timbul akibat-akibat yuridis dari pembedaan antara
Dalam Menetapkan Formulasi Delik “Kejahatan” dan “Pelanggaran”.Menurut
(Barda Nawawi Arief,2007) penetapan
Berbagai kebijakan formulasi/ kualifikasi yuridis tindak pidana sebagai
legislasi yang bermasalah secara yuridis, kejahatan dan pelanggaran ni diperlukan
sudah barang tentu dapat membawa untuk “menjembatani” berlakunya aturan
akibat/ dampak dalam penerapan/ umum KUHP terhadap hal-hal yang tidak
penegakannya (tahap kebijakan aplikatif/ diatur dalam undang-undang pidana khusus
judicial) antara lain: di luar KUHP.
1. Akibat yuridis dari tidak adanya
kualifikasi delik berupa “Kejahatan” Kebijakan Kualifikasi Yuridis dalam
dan “Pelanggaran”, dalam menentukan Ketentuan Peraturan
unsur-unsur (batas) percobaan, PerundangUndangan di Luar KUHP
pembantuan, dan permufakatan jahat yang Akan Datang
yang dapat dipidana, menjadi masalah
apakah Pasal 53 ayat (1), Pasal 56 dan Setelah dalam bab-bab di atas
Pasal 88 KUHP dapat berlaku. dilakukan dentifkasi dan evaluasi
2. Pasal 15 Undang-undang No. 31 Tahun mengenai kondisi perumusan ketentaun
1999. Bahwa dinyatakan “Setiap orang pidana dalam perundang-undangan saat ni,
yang melakukan percobaan, pembatuan bab terakhir ni bertujuan memberikan
atau permufakatan jahat untuk masukan tentang halhal apa yang
melakukan tindak pidana korupsi, seyogyanya diperahtikan dan bagaimana
dipidana dengan pidana yang sama seyogyanya perumusan ketentuan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, dibuat/ disusun oleh pembuat peraturan
Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal perundang-undangan.
14. 3 Ide keseimbangan dalam formulasi
3. Ketentuan daluwarsa penuntutan dan RUU KUHP baru (Barda Nawawi Arief,
pelaksanaan pidana menurut aturan 2015), bahkan menyatakan bahwa asas-asas
umum KUHP, dibedakan antara dan sistem hukum pidana nasional dalam
daluwarsa untuk Kejahatan dan untuk RUU KUHP disusun berdasarkan „ide
Pelanggaran terlihat dalam Pasal 78 keseimbangan bangan‟ yang mencakup:
dan 84 KUHP. Dengan tidak adanya keseimbangan monodualistik antara
kualifikasi delik dalam berbagai UU kepentingan umum/masyarakat dan
Khusus, menjadi masalah bagaimana kepentingan ndividu/ perseorangan;
menghitung waktu tenggang waktu keseimbangan antara de perlindungan/
daluwarsanya. Dengan kata lain, kepentingan korban dan de ndividualisasi
menjadi masalah secara yuridis, apakah pidana; keseimbangan antara unsur/faktor
obyektif (perbuatan/lahiriah) dan subyektif prohibita. Mala n se adalah “acts wrong n
(orang batiniah/sikap batin) (ide „daad- themselves”, sedangkan mala prohibita
dader strafrecht‟); keseimbangan antara merupakan “acts wrong because they are
kriteria formal dan material; keseimbangan prohibited”.
antara kepastian hukum, Di Belanda kualifikasi tersebut lebih
kelenturan/elastisitas/ fleksibilitas dan bermakna pada hukum acara yang akan
keadilan; dan keseimbangan nilainilai ditempuh, seperti pengadilan manakah yang
nasional dan nilai-nilai global/ akan mengadili tindak pidana. Kejahatan
nternasional/universal. diadili oleh Mahkamah yang lengkap 3
Dampak dari penerapan model hakim (full bench) dari „district court‟
kodifikasi total dalam Rancangan Undang- (rechtbanken) atau oleh “politierechter”
Undang (RUU) tentang Kitab Undang- dengan hakim tunggal dari pengadilan
Undang Hukum Pidana (KUHP). Model distrik, sedangkan pelanggaran oleh cantonal
kodifikasi total diputuskan oleh tim judge‟ (kantonrechter), dengan hakim
perumus dengan menganggap a bisa tunggal dari pengadilan distrik. Selanjutnya
mencegah duplikasi norma hukum pidana. tindak pidana lalu lintas ringan dianggap
Model lain adalah kodifikasi terbuka yang sebagai “administrative offence‟ yang akan
bisa diperbaharui terus menerus tanpa ada diproses melalui hukum acara administratif
batasan. Menurut Satjipto Rahardjo, yang tidak sampai ke pengadilan.
kodifikasi harus lentur dan tidak boleh Di Perancis dan Belgia tindak pidana
kaku. RUU KUHP produk tim baru tersebut bahkan dibagi tiga: “Crimes, delits dan
secara fundamental berbeda dengan produk contraventions‟ (kejahatan, delik dan
penyusunan yang diketuai Mardjono pelanggaran), sedangkan di Jerman
Reksodiputro. Arah model kodifikasi yang dibedakan antara: “Verbrechen, Vergehen,
dicanangkan oleh tim ni kemudian dan S. Semua pembagian ni didasarkan
diberlakukan kembali hingga penyusunan tingkat pelanggaran dan diungkap lebih
RUU KUHP tahun 2012 dan diteruskan lanjut dalam pembedaan sanksi pidana dan
hingga kini. Dalam naskah yang dirancang cara (proses) peradilan. Perbedaan yang
tahun 2015, pemerintah berusaha nampak adalah dari sudut pandang sistem
memformulasi sebanyak mungkin tindak yang kuantitatif, tindak pidana pelanggaran
pidana “baru” yang berkembang dalam dianggap lebih ringan dibandingkan dengan
suatu masyarakat modern yang belum kejahatan.
dicakup dalam KUHP Hindia Belanda
(Zainal Abidin Farid, 2007). KEBIJAKAN FORMULASI TERHADAP
Jika dikaji dalam kajian perbandingan, PENANGGULANGAN TINDAK
dapat dikatakan bahwa terdapat perbedaan PIDANA PENYEBARAN UJARAN
kualifikasi yuridis. Dalam kajian KEBENCIAN (HATE SPEECH) DI
perbandingan dengan Negara lain, DUNIA MAYA
pembagian tindak pidana berupa kejahatan
(misdrijven, crimes) dan pelanggaran Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
(overtredingen, nfractions) tidak dilakukan dalam definisi hukum adalah perkataan,
lagi. Hal ni dilakukan mengingat dalam perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang
sejarah tidak ada defenisi yang jelas dan dilarang karena dapat memicu terjadinya
kriteria konklusi kualitatif sebagaimana yang tindakan konflik social, kekerasan dan sikap
terjadi dalam hukum Anglo Saxon yang prasangka baik dari pihak pelaku pernyataan
merumuskannya sebagai mala n se dan mala
tersebut ataupun korban dari tindakan sama dengan pengertian penghinaan pada
tersebut. umumnya.
Kebanyakan negara diseluruh dunia Beberapa pasal tersebut juga memiliki
memiliki peraturan perundang-undang yang keterkaitan dengan kemajuan teknologi
mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate nformasi yang tumbuh begitu pesatnya, maka
Speech), di ndonesia terdapat pengaturan penyiaran atau cara penyampaian gambar
dalam Pasal-Pasal yang mengatur tindakan atau benda sebagaimana yang dimaksud
tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam pasal di atas dapat dilakukan dengan
terhadap seseorang, kelompok ataupun berbagai macam cara pula, misalnya
lembaga. menyiarkan atau mempertunjukkan gambar
Penyebarluasan atau cara penyampaian atau benda melalui media elektronik
gambar atau benda sebagaimana yang (televisi/radio), media cetak (koran, tabloid,
dimaksud dalam pasal ni dapat dilakukan majalah), ataupun media lainnya termasuk di
dengan berbagai macam cara pula, misalnya dalamnya adalah nternet.
menyiarkan atau mempertunjukkan gambar Adapula pengaturan lain yaitu dalam
atau benda melalui media elektronik Undang- Undang di Luar KUHP, seperti UU
(televisi/radio), media cetak (koran, tabloid, Nomor 19 Tahun 2016 tentang nformasi dan
majalah), ataupun media lainnya termasuk di Transaksi Elektronik, pasal-pasal yang
dalamnya adalah nternet. berkaitan langsung dengan tindak pidana
Terlihat bahwa Pasal 310 memuat tindak penyebaran ujaran kebencian adalah Pasal 27
pidana yang dinamakan menista (smaad); ayat (3) Pasal 28 ayat (1) dan (2), Pasal 45
kemudian Pasal 311 memuat tindak pidana ayat (1) dan ayat (2), Pasal 52 ayat (4).
yang dinamakan memfitnah (laster) tanpa Berdasarkan rumusan pasal-pasal di atas,
memakai kata menghina. Kemudian terdapat perlu diamati bahwa UU-ITE tersebut tidak
dalam Pasal 315 memuat suatu tindak pidana menyebutkan atau membedakan kualifikasi
yang dinamakan penghinaan bersahaja deliknya sebagai kejahatan atau pelanggaran,
(eenvoudig beleediging), dan yang Tentu ni membawa konsekuensi yuridis
dirumuskan sebagai setiap penghinaan karena KUHP (WvS) masih mengikuti dan
dengan sengaja (elke opzettelihke membedakan kualifikasi delik antara
beleediging) yang tidak bersifat menista. kejahatan dan pelanggaran, sehingga undang-
Tampaklah bahwa penistaan adalah suatu undang ni tetap harus mengacu pada
pengkhususan dengan penghinaan. Terlihat ketentuan nduknya.
bahwa penistaan adalah bagian dari Beberapa Undang-Undang yang
penghinaan (Dahri, 2017). mengatur penyebaran ujaran kebencian
Seseorang dengan sengaja menyerang mengandung beberapa masalah yuridis yaitu:
kehormatan atau nama baik orang, sedangkan a. KUHP (keterbatasan jurisdiksi; tidak ada
kata- kata selanjutnya dapat dianggap ketentuan tentang subjek dan
merupakan pengkhususan atau sifat dari tidak pertanggungjawaban pidana (PJP) korporasi;
pidana penistaan (Brown, 2017). Dengan b. UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang
demikian, jika pengkhususan atau sifat dari Ketentuan Hukum Pidana (Tidak terdapat
penistaan ni dihilangkan, yang tertinggal kualifikasi delik; Tidak memuat subjek
adalah perbuatan menyerang kehormatan hukum dan PJP selain perseorangan; Hanya
atau nama baik orang. Maka dapat dianggap mengenal pidana tunggal); c. UU Nomor
bahwa penghinaan berarti menyerang 1/PNPS Tahun 1965 tentang Penodaan
kehormatan atau nama baik orang; dan hal ni Agama (Tidak terdapat kualifikasi delik;
Tidak memuat subjek hukum dan PJP selain
perseorangan; Hanya mengenal pidana yang tersedia mengandung masalah yuridis.
tunggal) (Nurdin, 2017); Salah satu masalah yuridis yang dimaksud,
d. UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers tidak adanya formulasi kualifikasi yuridis
(Tidak disertakan penentuan kualifikasi delik berupa kejahatan atau pelanggaran terhadap
(Kejahatan/Pelanggaran); tidak ada pidana delik-delik yang telah ditetapkan oleh
tambahan bagi korporasi yang melanggar); pembentuk undang-undang. ni berdampak
e. UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang secara yuridis berupa tidak dapat
Penyiaran (tidak terdapat penentuan diterapkannya aturan umum dalam Buku
kualifikasi delik (Kejahatan /Pelanggaran); (Bab -VIII) KUHP terhadap tindak pidana
tidak adanya ketentuan tentang PJP yang diatur dalam UU Khusus diluar KUHP.
korporasi; Delik “siaran” dan “Siaran klan Kemudian penyusunan kebijakan
niaga” dalam UU ni hanya terbatas pada formulasi di masa yang akan datang
siaran melalui radio atau televisi; tidak seyogyanya pembentuk undang-undang
mencakup penyiaran di bidang teknologi menetapkan kualifikasi yuridis berupa
digital, satelit, nternet, dan bentuk-bentuk kejahatan atau pelanggaran terhadap berbagai
khusus lain); delik yang ditetapkan dalam berbagai
f. UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang undang-undang khusus di luar KUHP.
Penghapusan Diskriminasi dan Ras (Tidak Penetapan kualifikasi delik tersebut bertujuan
terdapat kualifikasi delik; Denda bagi guna menjembatani berlakunya aturan umum
korporasi yang tinggi tidak diimbang dengan KUHP terhadap tindak pidana di luar KUHP.
perubahan/aturan khusus ttg “pidana Berdasarkan hasil analisis normatif,
pengganti” denda (yg menurut Psl. 30 dapat disimpulkan bahwa kebijakan
KUHP, pid. Penggantinya hanya kurungan formulasi hukum pidana saat ni dalam upaya
max. 6 bln.); penanggulangan ujaran kebencian
g. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang diantaranya telah ada dalam Kitab Undang-
nformasi dan Transaksi Elektronik (tidak ada Undang Hukum Pidana sebagai nduk aturan
kualifikasi delik; Pidana denda cukup tinggi: perundang-undangan pidana materiil dan
max 12 M (untuk KORPORASI bisa 20 M), telah ada dalam undang-undang di luar
tetapi tidak ada perubahan/aturan khusus KUHP. KUHP menghendaki pengaturan
tentang “pidana pengganti” denda (yang penyebaran ujaran kebencian dengan
menurut Psl. 30 KUHP, pid. Penggantinya mengaturnya sebagai pelanggaran atau
hanya kurungan max. 6 bln.); Aturan PJP kejahatan, namun undang-undang di luar
Korporasinya hanya ada dalam “Penjelasan KUHP tidak mencantumkan kualifikasi delik.
Psl. 52 ayat 4” ; Tidak ada ketentuan khusus
pidana pengganti denda untuk Korporasi; DAFTAR PUSTAKA
Formulasi Psl. 52 sangat sembrono & tidak
jelas). Arief, B. N. (2012). Kebijakan formulasi
ketentuan pidana dalam peraturan
C. Simpulan perundangundangan. Semarang: Pustaka
Magister
Selama proses perubahan atau
perkembangan fungsi hukum pidana dalam Brown, A. (2017). Hate Speech Laws,
rangka memberikan perlindungan terhadap Legitimacy, and Precaution: A Reply to
masyarakat nya, ternyata cukup banyak James Weinstein. Journal Constitutional
produk legislatif yang memuat ketentuan Repository 2017, Vol 34 University of
pidana. Namun sayangnya ketentuan pidana Minnesota Law School. p.21.
Dahri, M. (2017). Tindak Pidana Penodaan
Agama di ndonesia; Tinjauan Pengaturan
Perundang- Undangan dan Konsep Hukum
slam. At- Tafahum: Journal of slamic Law,
Vol. 1, (No. 2 Juli-Desember), p. 36.

Zainal Abidin Farid. (2007). Hukum Pidana


I, Jakarta : Sinar Grafika.

Anda mungkin juga menyukai