Standar pelayanan minimal adalah suatu standar dengan batas-batas tertentu untuk
mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib organisasi publik yang berkaitan
dengan pelayanan dasar kepada masyarakat yang mencakup jenis pelayanan, indikator dan
nilai (benchmark). Dengan kata lain, standar pelayanan minimal adalah tolok ukur kinerja
dalam menentukan capaian jenis dan mutu pelayanan dasar oleh organisasi kepada
masyarakat atau konsumen. Standar pelayanan minimal merupakan ketentuan mengenai jenis
dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan organisasi yang berhak diperoleh
masyarakat secara minimal.
Teknik untuk menentukan standar pelayanan minimal terdiri dari tiga unsur dasar untuk
meningkatkan layanan untuk pelanggan. Secara singkat, tiga komponen tersebut adalah (Rod
Gilmour dalam Australian Capital Territory Government, September 1999):
Mekanisme dan koordinasi pelaksanaan SPM untuk mendukung Pelayanan Dasar yang
mencerminkan akuntabilitas kinerja pelayanan publik dalam era desentralisasi sebagai
berikut:
Tingkat Pusat:
a. Pemerintah melalui Departemen/LPND setelah dikonsultasikan dengan Departemen dalam
Negeri, menetap kewenangan wajib dan standar Pelayanan Minimal yang berlaku secara
nasional dan wajib dilaksanakan daerah Kabupaten/Kota.
b. Pemerintah melakukan supervisi, monitoring dan pengendalian terhadap pelaksanaan
kewenangan wajib dan pencapaian Standar Pelayanan Minimal.
C. Pemerintah melakukan penilaian keberhasilan pelaksanaan Standar Pelayanan Minimal di
masing-masing daerah apakah Standar Pelayanan Minimal tercapai atau tidak.
d. Pemerintah mengambil tindakan terhadap Daerah yang tidak melaksanakan kewenangan
wajib dan atau tidak mencapai Standar Pelayanan Minimal sesuai dengan alasan dan
derajat/tingkat kegagalan.
e. Pemerintah melakukan sosialisasi, desiminasi, pelatihan, bimbingan dan workshop/
lokakarya Standar Pelayanan Minimal
b. Inspeksi (inspecting)
Inspeksi, meliputi pemeriksaan rinci terhadap dokumen, dan catatan, serta emeriksaan
sumber daya berwujud. Prosedur ini, digunakan secara luas dalam auditing. Inspeksi
seringkali digunakan dalam mengumpulkan dan mengevaluasi bukti, bottom-up maupun
top-down. Dengan melakukan inspeksi atas dokumen, auditor dapat menentukan ketepatan
persyaratan dalam faktur atau kontrak yang memerlukan pengujian bottom-up atas akuntansi
transaksi tersebut. Pada saat yang sama, auditor seringkali mempertimbangkan implikasi
bukti dalam konteks pemahaman faktor-faktor ekonomi dan persaingan entitas.
Contoh kegiatan inspeksi adalah pemeriksaan terhadap bukti-bukti transaksi seperti rekening
bank, kuitansi atau tanda terima lainnya untuk mengevaluasi apakah transaksi yang dilakukan
sesuai atau menyimpang dengan rencana dan anggaran yang telah ditetapkan.
c. Konfirmasi (confirming)
Meminta konfirmasi adalah bentuk permintaan keterangan yang memungkinkan auditor
memperoleh informasi secara langsung, dari sumber independen di luar organisasi sektor
publik yang diaudit. Dalam kasus yang lazim, klien (organisasi yang diaudit) membuat
permintaan kepada pihak luar secara tertulis, namun auditor mengirimkan permintaan
keterangan tersebut.
Contoh kegiatan konfirmasi adalah meminta keterangan pada Bendahara Pengeluaran terkait
bukti-bukti transaksi pembelian atau pengalokasian anggaran yang telah dilakukannya.
Kegiatan ini akan menunjukkan apakah bukti transaksi tersebut fiktif atau benar adanya,
selain keterangan-keterangan lainnya terkait bukti tersebut.
e. Penghitungan (counting)
Dua aplikasi yang paling umum dari perhitungan (counting) adalah (1) perhitungan fisik
sumber daya berwujud, seperti jumlah kas dan persediaan yang ada, dan (2) akuntansi seluruh
dokumen, dengan nomor urut yang telah dicetak (prenumbered). Yang pertama menyediakan
cara, untuk mengevaluasi bukti fisik tentang jumlah yang ada, sementara yang kedua, dapat
dipandang sebagai penyediaan cara untuk mengevaluasi pengendalian internal organisasi
melalui bukti yang objektif tentang kelengkapan catatan akuntansi.
Contoh kegiatan penghitungan adalah auditor menghitung aset yang telah dibeli Bagian
Pengadaan berdasarkan bukti transaksi yang ada.
f. Penelusuran (Tracing)
Dalam penelusuran (tracing) yang seringkali disebut sebagai penelusuran ulang, auditor (1)
memilih dokumen yang dibuat pada saat transaksi dilaksanakan, dan (2) menentukan bahwa
informasi yang diberikan oleh dokumen tersebut telah dicatat dengan benar dalam catatan
akuntansi (jurna| dan buku besar). Arah pengujian prosedur ini berawal dari dokumen menuju
ke catatan akuntansi, sehingga menelusur kembali asal-usul aliran data melalui sistem
akuntansi.
Contoh kegiatan penelusuran adalah auditor membandingkan antara angka yang tertera di
dalam kuitansi-kuitansi dari transaksi yang telah dilakukan dengan jumlah angka yang tertera
di dalam jurnal. Hal ini akan menunjukkan apakah ada kesesuaian penyajian, penyajian yang
lebih rendah atau lebih tinggi.
h. h. Pengamatan (Observing)
Pengamatan (observing) berkaitan dengan memperhatikan dan menyaksikan pelaksanaan
beberapa kegiatan atau proses. Kegiatan dapat berupa pemrosesan rutin jenis transaksi
tertentu seperti penerimaan kas untuk melihat apakah para pekerja sedang melaksanakan
tugas yang diberikan sesuai dengan kebijakan dan prosedur organisasi sektor publik.
Pengamatan penting terutama untuk memperoleh pemahaman atas pengendalian internal.
Contoh kegiatan pengamatan adalah auditor mengamati kegiatan Bendahara Gaji dalam
menjurnal ketika mengeluarkan gaji kepada para pegawai.
k. Pengujian Pengendalian
Terdapat dua tipe pengujian pengendalian, yaitu antara lain:
1) Pengujian pengendalian yang berkaitan langsung dengan keefektifan desain kebijakan atau
prosedur dan apakah benar-benar digunakan dalam ' kegiatan organisasi.
2) Pengujian pengendalian yang berkaitan dengan keefektifan kebijakan dan prosedur dan
bagaimana pengaplikasiannya
Contoh kegiatan pengujian pengendalian adalah auditor membandingkan dokumen SOP atau
petunjuk teknis pegawai, dan mengamati pelaksanaannya di lapangan. Pengendalian
dianggap baik, jika SOP atau petunjuk teknis mampu memberikan pedoman bagi pelaksanaan
tugas-tugas pegawai, pegawai mudah memahaminya dan mengaplikasikan pada setiap
pekerjaannya secara konsisten.
l. Pengujian Substantif
Dua kategori umum pengujian substantif yaitu:
1) Prosedur analitis, merupakan suatu prosedur dalam menyediakan bukti -bukti tentang
validitas perlakuan akuntansi atas transaksi dan neraca, atau sebaliknya tentang kesalahan
atau ketidakberesan yang terjadi:
2) Pengujian rinci atas transaksi atau neraca merupakan suatu pengujian untuk menyediakan
bukti-bukti tentang validitas perlakuan akuntansi atas transaksi dan neraca, atau sebaliknya,
tentang kesalahan atau ketidakberesan yang terjadi.
Contoh kegiatan pengujian substantif adalah auditor memeriksa secara rinci angka dan
jumlah transaksi-transaksi yang telah terjadi, dimulai dari emeriksaan seluruh bukti transaksi,
catatan dalam jurnal, posting dalam buku esar hingga laporan yang telah jadi. Dengan
demikian dapat ditemukan akah ada kesalahan atau ketidakberesan.
3. Manajemen top-down adalah pendekatan yang umum diterapkan dan arahannya ditetapkan
oleh kepemimpinan dan disampaikan kepada tim dalam suatu organisasi. Dalam pendekatan
manajemen top-down, tim atau manajer proyek membuat keputusan lalu disaring ke bawah
melalui struktur hierarkis. Manajer mengumpulkan informasi, menganalisisnya, dan menarik
kesimpulan yang dapat ditindaklanjuti. Kemudian, mereka mengembangkan proses yang
dikomunikasikan dan diimplementasikan anggota tim lainnya. Anda mungkin mendengar
gaya manajemen ini disebut sebagai "atur dan awasi" atau "kepemimpinan otokratis."
Pendekatan top-down lebih kaku dan terstruktur sehingga tim yang memiliki beberapa
subtim, banyak bagian proyek berbeda, atau faktor lain yang menyulitkan proses tetap tertata
akan mendapat manfaat dari menggabungkan elemen-elemen dalam metodologi top-down.
Manajemen bottom-up adalah sebaliknya: arahannya sebagian besar disuarakan dan
ditetapkan oleh para karyawan dan disalurkan ke Manajemen tingkat atas. Saat menggunakan
pendekatan bottom-up pada tujuan proyek, tim akan berkolaborasi di semua tingkat untuk
menentukan langkah yang perlu diambil untuk mencapai gol keseluruhan. Pendekatan ini
lebih baru dan lebih fleksibel dari strategi top-down yang lebih formal, itulah sebabnya
pendekatan bottom-up lebih sering ditemukan di industri yang memprioritaskan gangguan
dan inovasi.
Gaya manajemen bottom-up memecahkan banyak masalah yang muncul pada pendekatan
top-down. Pendekatan ini memiliki kelebihan yang membuatnya sangat cocok untuk tim dan
industri kreatif yang mementingkan kolaborasi, seperti pengembangan perangkat lunak,
desain produk, dan banyak.
Menurut saya pendekatan yang tepat digunakan dalam sistem pemerintahan desentralisasi
adalah pendekatan bottom-up