Anda di halaman 1dari 19

TUGAS MAKALAH KELOMPOK

MATA KULIAH
GEOLOGI INDONESIA
KELAS B

GEOLOGI KALIMANTAN

Dosen Pengampu :
M. Asyroful Mujib, S.Pd., M.Sc.

Disusun Oleh :
1.Dwey Charys A.M.(220210303067)
2.Intan Oktavia Sari (220210303084)
3.Shofi Salsabila S. (220210303060)
4.Neilata Manerti M. (220210303058)
5.Syalun Nazilul H.N. (220210303088)
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentu kami tidak akan sanggup
untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT
atas segala nikmat sehat-Nya baik berupa sehat fisik maupun akal pikiran sehingga kami
mampu untuk menyelesaikan makalah sebagai tugas mata kuliah Geologi Indonesia. Kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak terutama kepada M. Asyroful Mujib S.Pd.,
M.Pd., selaku dosen pengampu mata kuliah Geologi Indonesia Kelas B yang senantiasa
membimbing kami dalam pengerjaan makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah ini masih
jauh dari kata sempurna dan masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penulisan. Untuk
itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca supaya makalah ini dapat menjadi
makalah yang lebih baik. Demikian, apabila terdapat banyak kesalahan pada penulisan
makalah ini kami mohom maaf. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca, Terima
kasih.

Jember,

28 April 2023
GEOLOGI WILAYAH KALIMANTAN
Bab ini berisi tentang geologi wilayah Kalimantan, >1400 di antaranya berasal dari pulau
Kalimantan bagian Indonesia (Kalimantan). Meskipun tidak adanya gempa bumi dan
vulkanisme saat ini mungkin menunjukkan bahwa Borneo adalah blok kratonik yang stabil,
sejarah Paleozoikum-Pliosen Akhir adalah salah satu aktivitas tektonik dan beku yang intens,
dengan episode penurunan dan pengangkatan yang spektakuler, yang tidak sesuai dengan
persepsi. itu menjadi daratan benua tua yang stabil (Rutten, 1925).

Kalimantan Kompleks basement Kalimantan Pulau Kalimantan terdiri dari inti Pretersier yang
terangkat dan tererosi dalam dari batuan metamorf Mesozoikum atau lebih tua dan terutama
intrusi granitoid berumur Kapur di bagian barat daya pulau (Gambar IV.1.1). Inti ini dikelilingi
oleh kompleks akresi Kenozoikum di Utara dan Tenggara, dan oleh beberapa cekungan
sedimen Kenozoikum.

Sampai baru-baru ini inti pulau 'Kalimantan Barat Daya' dipandang sebagai bagian dari
kompleks 'Sundaland' dari lempeng-lempeng turunan Gondwana yang, bersama dengan
lempeng Cina Selatan, Indochina, Malaya Timur, dan Sibumasu, telah menjadi bagian dari
Eurasia sejak Trias.

Gambar IV.1.2. Lataran geologi pulau Kalimantan (Hartono dan Tjokrosapoetro 1986). Dalam
model 'tradisional' ini, inti Kalimantan adalah bagian dari Sundaland Trias, perpanjangan dari
lempeng Indocina, mungkin juga Sibumasu.

Baru-baru ini Kalimantan Barat Daya diusulkan menjadi lempeng mikro terpisah yang
memisahkan margin barat laut Australia hingga Jurassic ('Argoland"; Hall et al. 2009, Metcalfe
2010). Hal ini mensyaratkan bahwa bagian barat laut Kalimantan adalah lempeng mikro
terpisah ( Blok Semitau Metcalfe (2010), karena geologi dan fauna Karbon-Jurrasi Akhir jelas
termasuk dalam alam 'Cathaysian', bukan Gondwana. Perdebatan tentang hal ini pasti akan
terus berlanjut. Data paleomagnetik menunjukkan Kalimantan Barat Daya telah berada di dekat
khatulistiwa setidaknya sejak Jurasik, dan diputar berlawanan arah jarum jam sekitar 90° sejak
Jurasik, sekitar 50° sejak Kapur.Hasil ini telah konsisten antara tiga generasi kelompok
akademik independen dan tampak agak meyakinkan.

Granit busur magmatik Kapur-Tersier


Terrane kontinental barat daya Kalimantan didominasi oleh sabuk batholit granit Kapur Awal
(Aptian-Albian) Mts akhir (~100-130 Ma; Williams et al. 1989), yang secara umum ditafsirkan
sebagai akar sistem busur vulkanik yang digali. yang terbentuk di atas subduksi lempeng
samudra Paleo-Pasifik atau 'Laut Proto-Cina' di selatan. Sabuk ini mungkin berlanjut ke barat
laut ke pulau Tambelan dan Anambas (Williams et al. 1988, Hutchison 2005), kemudian ke
granitoid zona SE Vietnam Dalat, Laut Cina Selatan bagian utara dan busur magmatik
'Yanshanian' di Cina Tenggara.

Sebuah sistem busur magmatik paralel yang lebih muda adalah sabuk Kapur Akhir
(Campanian; -75-80 Ma) dari pluton granitoid felsik yang lebih kecil di daerah perbatasan
Kalimantan-Sarawak (Gambar IV.1.3). Sabuk ini berlanjut ke barat laut, menuju pengikatan
Kepulauan Natuna.

Gambar IV.1.3. Setting tektonik Kapur Kalimantan (Amiruddin 2009). Menampilkan lokasi dari
dua sabuk granitoid berarah Timur-Barat: (1) kompleks batholith Kapur Tengah Schwaner-
Ketapang (termasuk Meratus) di selatan dan (2) sabuk Kapur Akhir dari granitoid terisolasi di
Utara (1-7), mengintrusi Sambas Kapur Tua - Kompleks akresi Mangkalihat. Sistem volkanik
busur Kenozoikum meliputi Vulkanik Nyaan Eosen Tengah dan sabuk Sintang yang terdefinisi
dengan baik dari Oligosen Akhir-Miosen Awal (-30-16 Ma) vulkanik busur dan intrusif, yang
berasosiasi dengan beberapa tambang emas (Harahap 1987, Van Leeuwen et al.1990, Hartono
2006, Zaw et al.2011).
Kompleks akresi Kapur-Tersier
Sisi utara inti benua Kalimantan Barat Daya merupakan rangkaian kompleks akresi Kapur-
Miosen, yang semakin muda ke arah utara. Yang tertua adalah (Jurrasik Akhir) melange Kapur
Awal dari rijang radiolaria, serpih mengandung silika merah dan batuan ultrabasa ('Danau Fm'
dari Molengraaff, 1910; Gambar IV.1.4), juga disebut Semitau/ Selangkai/ Boyan Melange,
Kompleks Kapuas, melange Telen-Kelinjau, dll.) (lihat juga bab berikutnya tentang Kalimantan
Utara).

Sabuk melange tertua ini mungkin berlanjut ke Timur sejauh Semenanjung Mangkalihat
(Amiruddin 2009), yang sering digambarkan sebagai blok mikrokontinental, tetapi singkapan
Pra-Tersier terdekat dan penetrasi sumur lebih mirip 'Danau melange'.

Gambar IV.1.4. Peta sketsa geologis sejarah Borneo, pertama menggambarkan distribusi
'Formasi Danau' Mesozoikum dengan endapan samudera oleh Molengraaff (1909), sekarang
dikenal sebagai kompleks akresi Kapur Awal-Jurrasi.
Lebih jauh ke Utara adalah prisma akresi Rajang-Embaluh.

Gambar IV.1.5. Daerah Semitau penampang N-S yang bersejarah, Kalimantan Barat Laut
(Molengraaf 1902).

Gambar IV.1.6. Penampang lintang utara Sarawak-Kalimantan Utara yang bersejarah


(Molengraaff 1902). Dari kiri: 'Old Slate Fm' yang sangat terdeformasi dari Gunung Kapuas Atas
(2), terlipat Mesozoikum Danau Fm (3), ditindih secara tidak selaras oleh batulempung Kapur
(12a) dan batupasir Tersier Fm (16), ditindih oleh volkanik muda (32)

Pegunungan Meratus di Kalimantan Tenggara, dengan singkapan melange dan serpentinit


serta batuan kerak samudra yang terkait, telah lama dianggap sebagai zona sutura antara blok-
blok benua yang bertabrakan di tepi tenggara Sundaland. Memang ada bukti obduksi ofiolit
pertengahan Kapur (-90 Ma), dengan sol metamorf tingkat blueschist, tetapi lembaran ofiolit
hampir datar dan tidak jelas (1) apakah zona subduksi adalah NW atau SE mencelupkan, dan
(2) apa yang bertabrakan di sini (mis. Wakita ). Relief Pegunungan Meratus yang ada saat ini
bukanlah hasil dari mid-hu Obduksi Kapur, tetapi mewakili pengangkatan pasca-Miosen
Tengah, Itu tidak harus sejajar dengan butiran basement Kapur.

Melange di bawah ofiolit mengandung rijang radiolaria, dengan usia bervariasi dari Jura Tengah
awal hingga Kapur Awal akhir, mewakili usia penutup pelagis yang terkikis selama subduksi. Ini
menunjukkan usia kerak samudera yang tersubduksi setidaknya sebagian lebih tua dari M
Jurassic (lempeng samudera 'Meso-Tethys'?). Obduksi ofiolit di Pegunungan Meratus diikuti
oleh periode vulkanisme busur Kapur Akhir, terutama di lingkungan laut.

Kalimantan Barat Laut Karbon Akhir- Kapur dari afinitas Asia Tenggara

'Secara tradisional' inti basement Pretertiary Borneo telah dilihat sebagai bagian dari
Sundaland, yang tergabung dalam waktu Triassic, atau sebagai satu atau dua blok yang
berasal dari Cina Selatan-Indocina setelah pembukaan Kapur Laut Proto-Cina (e.g. Metcalfe
1996, 2002 ).

Pandangan ini berubah dalam konstruksi lempeng yang lebih baru (Metcalfe 2008 dan yang
lebih baru, Hall 2009 dan yang lebih baru), ketika lempeng Borneo Barat Daya mulai
diidentifikasi sebagai 'Argoland' yang mungkin hilang, blok yang terbelah dari margin NW
Australia pada zaman Jurassic Akhir dan digabung dengan Sundaland pada zaman Cretaceous
Awal. Namun, tidak ada stratigrafi pra-Kapur di blok Borneo Barat Daya yang mendukung
hubungan dengan Paleozoikum-Jurrasi di NW Australia, meskipun dapat dikatakan bahwa ini
semua dihancurkan oleh plutonisme Kapur dan pengangkatan dan erosi yang lebih muda
setelah berlabuh dengan Sundaland. Daratan seperti Buton di Sulawesi Tenggara mungkin
merupakan kandidat yang lebih baik untuk melewatkan 'Argoland'.

Kemungkinan pemisahan Mesozoikum dari batas barat laut Australia pasti dapat dikecualikan
untuk wilayah barat laut Kalimantan-Sarawak, yang memiliki singkapan sedimen Paleozoikum
Akhir-Kapur Awal dengan fauna-flora yang jelas Eurasia lintang rendah, tanpa afinitas
Gondwana pada saat ini:
1. Batugamping Terbat mengandung beragam fauna foram fusulinid Karbon Akhir-Permian
Awal dengan 29 spesies yang dapat berkorelasi dengan fauna Tethys Timur garis lintang
rendah dari Thailand, Cina Selatan, Jepang (Krekeler 1932, 1933, Cummings 1955, Sanderson
1966, Metcalfe 1985, Fontaine 1990, 2002, Vachard 1990, Sakamoto dan Ishibashi 2002, dll.)
2. Permian Cathaysian-afinitas flora dengan Gigantopteris, Pecopteris, Calamites? (Jongmans
dalam Zeylmans van Emmichoven 1938, 1939);
3. Flora Krusin Trias Akhir, dengan kedekatan dengan flora Indochina (Vietnam)
Dictyophyllum- Clathropteris (Kon'no 1972, Vozenin-Serra 1983, Kimura 1984);
4.Tethyan Kapur Awal foraminifera Orbitolina yang lebih besar di berbagai tempat di
Kalimantan (Martin 1889, Zeijlmans van Emmichoven 1936, Hashimoto dan Matsumaru 1974)
Afinitas flora-fauna Asia di NW Borneo telah lama dikenal, dan hal ini memaksa Metcalfe dan
Hall untuk memisahkan daerah ini sebagai Semitau Terrane yang terpisah, yang berasal dari
Namun:
1. tidak ada zona sutura tektonik yang jelas antara Semitau dan seluruh Kalimantan tidak jelas
dari peta geologi bersejarah;
2. Tidak ada sedimen Mesozoikum atau yang lebih tua yang terawetkan di blok Borneo Barat
Daya untuk mendukung atau meniadakan afinitas Gondwana atau Eurasia sebelum zaman
Kapur.

Pegunungan Meratus
Asosiasi batuan Pegunungan Meratus merupakan bagian dari zona tubrukan batas benua,
dengan obduksi nappe ofiolit yang terletak relatif datar di atas batas Borneo/Sundaland (mis.
Priyomarsono 1986, Sikumbang 1986, 1990, Yuwono et al. 1988, Pubellier et al.2005, Wakita et
al.1998, 2000, Satyana 2010) (Gambar IV.1.7, IV.1.8). Deformasi tubrukan ini berumur
pertengahan Kapur, tetapi topografinya saat ini, dengan ketinggian hingga 1900m, adalah hasil
dari pengangkatan pasca-Miosen Tengah (kemungkinan respons jarak jauh terhadap tumbukan
Banggai-Sula; Pubellier et al. 1999).

Kisaran Meratus mungkin merupakan bagian dari zona sutura Samudra Meso-Tethys, tetapi
tidak sepenuhnya jelas apa, jika ada, yang bertabrakan dengan tepian Sundaland pada waktu
itu yang menyebabkan peristiwa ini. Zona sutura ini mungkin memanjang ke barat daya hingga
Laut Jawa (lengkungan Karimunjawa dan Bawean), kemudian ke Jawa Tengah
(Karangsambung), Jawa Barat Daya (Ciletuh) dan Dataran Woyla di Sumatera Barat.

Zona tumbukan tersebut ditindih oleh endapan sistem busur vulkanik Kapur Akhir (Formasi
Manunggul/Pitap), dengan umur radiometri sekitar 70-90 Ma (Yuwono et al. 1998) atau 66-83
Ma (Hartono 2012). Sebagian besar gunung api adalah gunung api vulkanoklastik turbiditik laut,
yang menunjukkan sistem busur pulau di lingkungan laut.

Peridotit serpentinisasi ofiolitik dan gabro membentuk pegunungan tertinggi di pegunungan


Meratus-Bobaris. Hubungan geologis dan kurangnya ekspresi gravitasi-magnetik yang
signifikan untuk akar ofiolit (Situmorang 1987) menunjukkan bahwa ini mungkin merupakan
sisa-sisa dari kerak dan mantel samudera yang relatif datar dan allochthonous.

Usia ofiolit yang dilaporkan bervariasi. Usia Triassic- Jurassic paling awal disarankan oleh
tanggal ~ 200 Ma Pt-Os oleh Coggon et al. (2010), yang sesuai dengan zaman Jurasik Tengah-
Kapur Awal Akhir dari rijang radiolaria pelagis (?) di atasnya (Wakita 2000). Plagiogranit pada
kompleks ofiolit menunjukkan umur K/Ar yang lebih muda: 112 Ma (Dirk 1995; terlalu muda?)
atau 155+ 16 Ma (Heryanto dan Hartono 2003). Permanadewi dkk. (1997) melaporkan usia 131
± 13 juta tahun untuk gabbro.

Batuan ultramafik ditopang oleh sol metamorf (sekis Hauran), yang relatif kaya kuarsa dan
termasuk sekis glaucophane tekanan tinggi-suhu rendah (Retgers 1893), yang diduga terbentuk
pada kedalaman antara 50-60 km di lingkungan zona subduksi ( Setiawan et al.2014). Umur
radiometrik dari metamorfik tersebut berada di sekitar batas Aptian-Albian (110-119 Ma)
(Sikumbang dan Heryanto 1994, 2009, Wakita et al. 1998).

Di bawah sol metamorf terdapat kemungkinan kompleks prisma akresi dari sedimen samudra.
Itu bernama Formasi Alino oleh Hooze (1983), Retgers (1891) dan Koolhoven (1935) dan
mewakili ?Sedimen laut dalam Jurassic dengan rijang radiolaria merah dan basal. Rutten
(1926) telah menunjukkan kemiripan yang luar biasa dengan Formasi Danaunya dari
Kalimantan Tengah, yang merupakan kompleks prisma akresi Cretaceous yang lain (atau
sama). (NB: nama Formasi Alino kadang-kadang, keliru, digunakan untuk vulkanik busur Kapur
Akhir di atas ofiolit)

Kompleks tumbukan ditindih oleh Cenomanian konglomerat terutama terdiri dari sekis dan juga
peridotit dan batugamping dengan Aptian Orbitolina lenticularis. Sedimen di atasnya
mengandung fosil Kapur Atas termasuk Turonian ammonoids dan Inoceramus (Verbeek 1875,
Hooze 1893, Martin 1889, Krol 1920, Koolhoven 1935, Hashimoto dan Koike 1973, 1974,
Kobayashi 1973, Hashimoto dan Matsumaru (1974),

Batugamping Aptian-Albian dengan Orbitolina kemungkinan merupakan olistolith pada Kapur


Atas (Maryanto et al. 2014)

Gambar IV.1.7. Pegunungan Meratus: kompleks tumbukan Kapur Tengah dengan ofiolit,
metamorfik, dan vulkanik busur Kapur Akhir

Gambar IV.1.8. Skema penampang W-E Pegunungan Meratus, menunjukkan nappe ophiolit
yang terobduksi relatif datar di atas sol metamorf sekis kristal dan Jurassic? Sedimen Formasi
Alino dan vulkanik (Yuwono et al. 1988, setelah Priyomarsonono 1985).

Cekungan tersier Kalimantan/Borneo


adalah rumah bagi sejumlah cekungan sedimen utama (Gambar IV.1.9). Pada dasarnya
terdapat dua kelompok cekungan: (1) cekungan retakan interior (Melawi, Ketungau, Barito,
Kutai Atas?) dan (2) sistem kipas deltaic-submarine di sepanjang batas benua di Utara dan
Timur (Kutai, Tarakan, Sandakan, Baram , Luconia Barat). Mereka memiliki sejarah tektonik
yang berbeda dan distribusi hidrokarbon yang berbeda.

Selat Karimata km 110°BT laut Cina Selatan Luconia Beting Cekungan Melawi Pegunungan
Schwaner Balingian 114oE Palung Sabah-Palawan Laut Sulu Cekungan Sabah delta Bagaim
Sabah Sarawak Tanah Rajang/Embaluh Kalimantan Laut Tarakan Sulawesi Kutai; Baskom
Mahakam Platform Patomoster Pulau Gunung 200 Semenanjung Mangkalihat Makassar Selat
Sulawesi

Gambar IV.1.9. Peta geologi Borneo yang disederhanakan, menunjukkan ketebalan sedimen
Kenozoikum (garis putus-putus), akumulasi gambut/batubara dan hidrokarbon; (Chambers dan
Moss 1999).

Cekungan sedimen Melawi dan Ketungau yang berarah E-W terbentuk di Kalimantan Tengah,
mungkin terutama pada waktu Eosen-Oligosen Akhir (Heryanto dan Jones 1996), dan mungkin
terhubung dengan cekungan Kutai Atas (Barat). Cekungan Melawi mungkin sedikit lebih tua
dari Cekungan Ketungau. Kedua cekungan mungkin telah membentuk cekungan tunggal
sebelum dipisahkan oleh pengangkatan Punggungan Semitau, tinggian Neogen dengan inti
'Boyan melange' Kapur Akhir (Gambar IV.1.10) (Heryanto et al. 1993, 1996).

Gambar IV.1.10. Penampang S-N historis dari Cekungan Melawi Utara-Punggungan Semitau
dan Cekungan Ketungau, Kalimantan Barat Laut (Zeijlmans van Emmichoven, 1939).
Punggungan Semitau jelas merupakan pengangkatan yang relatif muda.

Heryanto (1991) menafsirkannya sebagai cekungan lengan bawah di antara prisma akresi yang
terangkat ke arah utara, yang diisi dengan klastik yang berasal dari kompleks akresi Boyan dan
Lubuk Antu yang terangkat ke arah utara. Batupasir yang tebal dan fasies non-laut dan air
payau membuat penanggalan menjadi sulit.

Cekungan Kutai di Kalimantan Timur mungkin memiliki lapisan sedimen yang paling tebal (7-14
km) di antara cekungan-cekungan lain di Indonesia (Rose dan Hartono 1978; Chambers dan
Moss 1999; Gambar IV.1.9). Karena ketebalannya yang tidak biasa, dan dengan fasies laut
yang berumur Eosen-Oligosen Tengah, telah disarankan bahwa sebagian dari Kutai mungkin
didasari oleh kerak samudera (Eosen) (Weimer 1975, Wain dan Berod, 1989, Moss 1998),
sebuah kemungkinan persimpangan tiga dari sistem cekungan/pemekaran Laut Sulawesi-Selat
Makassar.

Demikian juga, Cekungan Tarakan pada dasarnya adalah sistem delta Miosen-Pliosen yang
berkembang ke arah Timur di atas kerak samudera dari sistem cekungan marjinal Laut
Sulawesi-Selat Makassar pada masa Eosen (Weimer 1975). Salah satu dari beberapa
penetrasi basal yang berumur radiometrik di Cekungan Tarakan adalah sumur Bangkudulis-1,
yang menembus basal berumur Eosen Tengah (43,9 +/- 1,30 Ma; Heriyanto dan Wahyudin
(1994)).

Gambar IV.1.11. Penampang historis W-E Cekungan Kutai yang menunjukkan Miosen Tengah
dan pelipatan sedimen delta pra-Miosen Tengah di dekat kota Samarinda dan ladang minyak
Sanga-Sanga (Jezler, 1916).

Ketidaksesuaian sudut yang signifikan telah dilaporkan dari cekungan Kutai dan Tarakan pada
akhir Eosen Tengah dan di sekitar batas Miosen Awal-Tengah (Achmad dan Samuel 1984,
Moss 1998, dan lain-lain). Kedua peristiwa pengangkatan/inversi awal ini telah dikaitkan dengan
tumbukan blok benua (Luconia dan Dangerous Grounds/Palawan) di batas utara Kalimantan.

Gambar IV.1.12. Evolusi paleogeografi Kenozoikum di Kalimantan. (1) Eosen - Oligosen


dengan fasies batupasir di Cekungan Kutai dan terhubung dengan cekungan non-laut Melawai -
Ketapang di sebelah Barat. (2) Provinsi karbonat Berai Fm Oligosen Besar di Tenggara (Barito-
Paternoster); (3) Miosen Tengah dan pengangkatan yang lebih muda di sebagian besar wilayah
Kalimantan saat ini mendorong depositor sedimen lebih jauh ke arah luar dan "mendaur ulang"
Paleogen dan sedimen yang lebih tua ke arah N, E, dan S (Rose dan Hartono, 1978). Gambar
IV.1.12 mengilustrasikan beberapa pola utama dalam evolusi sedimentasi Kenozoikum,
termasuk menunjukkan sifat laut dalam dari cekungan Kutai pada masa Eosen-Oligosen dan
kemunculan sebagian besar wilayah Kalimantan pada masa Miosen (dari Rose dan Hartono
1978).
Pengangkatan Cekungan Barito dan Pegunungan Meratus
Cekungan Barito di Kalimantan Tenggara sering dipandang sebagai cekungan daratan, karena
tampilan profilnya yang tidak simetris, yang menunjukkan penebalan secara bertahap dari isi
cekungan Eosen-Miosen ke arah front dorong Pegunungan Meratus saat ini di sebelah timur
(Gambar IV.1.13). Namun demikian, tidak ada bukti bahwa Pegunungan Meratus merupakan
batas cekungan ketika endapan Eosen-Miosen dari cekungan Barito diendapkan. Sebaliknya,
sepertinya pengangkatan pasca-Miosen yang mensegmentasi cekungan Barito-Asem Asem
yang sebelumnya digabungkan, sehingga cekungan Barito mungkin bukan merupakan
cekungan daratan.

Studi asal-usul dan arah arus dari Pegunungan Meratus saat ini bukan merupakan sumber
sedimen untuk sedimen Eosen-Miosen Tengah di Cekungan Barito. Singkapan yang
berdekatan dengan ophiolit, metamorf, dan vulkanik busur dari Meratus:

1. Arah paleostratigrafi untuk Formasi Tanjung Eosen dan Formasi Warukin Miosen Tengah
(Heryanto dan Panggabean 2004 dan pengamatan pribadi) secara sistematis menunjukkan
arah aliran sungai fluvial dan delta yang mengarah ke daerah Meratus sekarang, bukan
menjauhi Meratus;

2. Batupasir Eosen dan Miosen Tengah memiliki kandungan feldspar yang sangat rendah
(Heryanto dan Panngabean 2004). Hal ini menunjukkan bahwa busur vulkanik Kapur Atas, yang
tersebar luas di singkapan Pegunungan Meratus saat ini, belum tererosi pada saat itu;

3. Sedimen Eosen-Miosen secara sistematis dan menukik tajam menjauhi Pegunungan


Meratus, yang menunjukkan bahwa pengangkatan Pegunungan Meratus terjadi setelah masa
sedimen ini.

Usia pasti pengangkatan Pegunungan Meratus masih diperdebatkan, karena sulitnya


penanggalan usia sedimen turunan Meratus yang pertama, yaitu 'molase' Formasi Dahor (Witts
dkk. 2014).

Gambar IV.1.13. Penampang melintang NW-SE Cekungan Barito dan Asem Asem di
Kalimantan Tenggara. Keduanya terlihat seperti cekungan daratan yang asimetris, namun
memiliki stratigrafi Eosen-Miosen yang sama dan kemungkinan besar merupakan satu
cekungan retakan Eosen-Miosen, yang tersegmentasi pada Miosen Akhir dan pengangkatan
Pegunungan Meratus di kemudian hari.

Cekungan Barito

Fisiografi Cekungan Barito


Pulau Kalimantan terletak di sebelah tenggara lempeng Eurasia, sebelah utara berbatasan
dengan Laut Cina Selatan, sebelah timur berbatasan dengan sabuk aktif Filipina, dan sebelah
selatan berbatasan dengan Busur Banda dan Sunda, serta bagian barat berbatasan dengan
Paparan Sunda dan Semenanjung Malaya.

Cekungan Barito merupakan cekungan berumur Tersier yang terletak di bagian tenggara
Schwaner Shield di daerah Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi Pegunungan Meratus
pada bagian timur dan pada bagian utaranya berbatasan dengan Cekungan Kutai. Cekungan
Barito pada bagian selatan dibatasi Laut Jawa dan bagian barat dibatasi oleh Paparan Sunda
(Kusuma dan Nafi, 1986).

Cekungan Barito termasuk didalamnya Meratus Range yang dicirikan dengan endapan berumur
Paleogen yang terdiri dari batupasir kuarsa, konglomerat, serpih, batulempung, lapisan
batubara dan pada bagian atasnya berupa napal dan batugamping yang telah mengalami
perlipatan dan pensesaran secara intensif pada akhir zaman Tersier (Van Bemmelen, 1949).

Stratigrafi Cekungan Barito


Secara umum sedimentasi di Cekungan Barito merupakan suatu daur lengkap sedimentasi
yang terdiri dari seri transgresi dan regresi. Fase transgresi terjadi pada kala Eosen – Miosen
Awal dan disertai dengan pengendapan Formasi Tanjung dan Berai, sedangkan fase regresi
berlangsung pada kala Miosen Tengah hingga Pliosen bersamaan dengan diendapkannya
Formasi Warukin dan Dahor ( Kusuma dan Nafi, 1986). Menurut Sikumbang dan Heryanto
(1987), urutan stratigrafi Cekungan Barito dari tua ke muda adalah sebagai berikut :

Batuan Alas
Batuan alas ini berumur pra - Tersier dan merupakan batuan dasar dari batuan-batuan Tersier.
Komposisinya terdiri dari beberapa batuan, yaitu lava andesit, batugamping klastik dan
konglomerat polimik.

Formasi Tanjung
Formasi Tanjung diendapkan secara tidak selaras di atas batuan pra–Tersier. Formasi ini dibagi
menjadi dua anggota, dari tua ke muda yaitu:

-Tanjung Bawah, terdiri dari konglomerat, batupasir, batubara sebagai hasil endapan pantai–
paralik.

-Tanjung Atas, terdiri dari batulempung, napal, dan batugamping fosilan yang merupakan
endapan laut dangkal.

Formasi Tanjung berumur Eosen. Formasi Tanjung mempunyai ketebalan 1300 m dengan
lingkungan pengendapan paralik – delta – laut dangkal. Formasi Tanjung pertama kali
ditemukan di kampung Tanjung, penyebarannya meliputi daerah Kambitu, Tanjung, Panaan
dan Manunggal di daerah Tanjung Raya. Fosil penunjuk Formasi Tanjung adalah Discocyclina
sp, Nummulites djogjakartae, Nummulites pengaronensis dan Sigmoilina personata.
Formasi Berai
Formasi ini terletak selaras di atas Formasi Tanjung. Formasi Berai dibagi menjadi tiga anggota,
dari tua ke muda yaitu:
-Berai Bawah, merupakan selang-seling batugamping, batulempung dan napal.
-Berai Tengah, merupakan batugamping masif.
-Berai Atas, merupakan selang-seling serpih, batulanau dan batugamping dengan sisipan tipis
batubara.

Formasi Berai berumur Oligosen – Miosen Awal. Formasi Berai mempunyai ketebalan 1250 m
dengan lingkungan pengendapannya laguna dan laut dangkal. Formasi Berai pertama kali
ditemukan di Gunung Berai dan penyebarannya meliputi seluruh daerah Cekungan Barito. Fosil
penunjuk Formasi Berai adalah Heterosgina borneoensis, Nummulites fichtel, dan Spyroclypeus
leupoldi.

Formasi Warukin
Formasi Warukin terletak selaras di atas Formasi Berai. Formasi Warukin terdiri dari tiga
anggota, dari tua ke muda yaitu:
Warukin Bawah, merupakan selang-seling napal, batugamping, serpih, dan serpih gampingan.
Warukin Tengah, terdiri dari napal, lanau, lempung dan lapisan pasir tipis dengan sisipan
batubara.
Warukin Atas, terdiri dari batubara dengan sisipan lempung karbonat dan batupasir.

Formasi Warukin berumur Miosen Awal – Miosen Akhir. Formasi ini mempunyai ketebalan 300
– 500 m dengan lingkungan pengendapan paralik - delta. Formasi Warukin pertama kali
ditemukan di desa Warukin, Tanjung Raya Kalimantan Selatan. Penyebaran formasi ini meliputi
seluruh Cekungan Barito. Fosil penunjuk Heterosgina sp, Lepidocyclina sp dan Spyroclypeus
leupoldi.

Formasi Dahor
Formasi Dahor diendapkan secara tidak selaras di atas Formasi Warukin. Formasi ini tersusun
oleh batupasir kuarsa putih kurang padat, sebagian berupa pasir lepas, bersisipan lempung,
lanau abu-abu, lignit dan limonit. Di beberapa lokasi ditemukan sisipan kerakal kuarsa, kerakal
batuan beku bersifat granitis dan batuan metasedimen. Formasi ini diperkirakan berumur
Miosen Akhir sampai Pliosen dengan lingkungan pengendapan paralik. Formasi ini mempunyai
ketebalan 300 m. Formasi Dahor pertama kali ditemukan di kampung Dahor dan
penyebarannya ke arah timur dan barat. Susunan stratigrafi Cekungan Barito secara
keseluruhan dapat dilihat pada gambar dibawah (kanan).

Struktur Geologi Cekungan Barito


Tektonik Cekungan Barito merupakan bagian dari konfigurasi tektonik Kalimantan yang terdiri
dari gaya regangan pada akhir Kapur – awal Miosen (fase syn and post-rifting) dan gaya
tekanan pada Plio – Plistosen yang menghasilkan struktur patahan dan lipatan. Struktur yang
berkembang dalam pembentukan Cekungan Barito ada 2 jenis:

1.Tensional, sinistral shear, dengan arah relatif barat laut- tenggara (NW – SE).

2.Transpesional, merupakan konvergen sehingga mengalami uplift, dan lalu mengalami


reaktifasi dan mengalami invert struktur yang tua, sehingga menghasilkan wrenching,
pensesaran, dan perlipatan.

Setting tektonik secara umum terjadi pada arah timur laut (NNE) Cekungan Barito, dengan
struktur yang intensif berarah sejajar barat daya – timur laut (SSW-NNE) membentuk struktur
lipatan mengelilingi pegunungan Meratus dan dipengaruhi oleh sesar naik dengan dip yang
curam. Adanya sesar wrench utama, menunjukkan adanya indikasi drag atau sesar pada
lipatan dan bekas sesar naik. Pada bagian barat dan selatan Cekungan Barito umumnya sedikit
dikontrol oleh tektonik lempeng sehingga tidak menunjukkan bentuk deformasi struktur (Darman
dan Sidi, 2000).

Dengan demikian struktur geologi regional secara umum yang terdapat di Cekungan Barito
adalah lipatan dan patahan yang terjadi pada batuan Tersier. Lipatan pada umumnya berarah
timurlaut – barat daya. Sesar yang terdapat di daerah ini berarah barat laut – tenggara dan
timur laut – barat daya. Sesar yang ada berupa sesar naik dan sesar geser.

Sejarah Geologi Cekungan Barito


Cekungan Barito adalah cekungan asimetri, terbentuk di daerah foredeep pada bagian timur
dan sebuah platform berdekatan dengan Schwaner atau Shield Kalimantan Barat. Cekungan
Barito mulai terbentuk pada akhir Kapur, bersamaan dengan tumbukan antara Paternosfer
dengan SW Borneo microcontinent (Satyana, 1999 dalam Darman dan Sidi, 2000).

Pada awal zaman Tersier terjadi deformasi sebagai akibat dari peristiwa tektonik oblique
convergence dengan arah barat laut – tenggara (NW – SE). Kemudian terbentuk rekahan dan
berkembang menjadi accomodation space untuk sedimen produk alluvial fan dan lakustrin yang
merupakan anggota Formasi Tanjung bawah. Pada awal pertengahan Eosen, sebagai hasil
akhir dari transgresi, rift atau rekahan tersebut berkembang menjadi fluviodeltaic dan pada
akhirnya menjadi lingkungan marine, yang seluruhnya merupakan hasil transgresi selama
proses deposisi Formasi Tanjung bagian tengah. Pada Kala awal Oligosen-Eosen akhir terjadi
transgresi, sehingga terjadi genang laut. Akibatnya diendapkan shale marine dari bagian
Formasi Tanjung bagian atas.

Setelah terjadi regresi pada pertengahan Oligosen, Cekungan Barito mengalami sagging,
karena terjadi transgresi lagi. Pada Kala Oligosen akhir, terjadi pengendapan platform
carbonate, merupakan anggota Formasi Berai. Sedimen karbonat kemudian mengalami
deposisi lagi pada kala awal Miosen, ketika deposisi berakhir, material sedimen klastik
mengalami deposisi dari bagian barat.
Selama Miosen, terjadi sea level drop hingga kemudian Schwaner Core dan Pegunungan
Meratus mengalami uplift. Material sedimen klastik berasal dari proses deposisi ke arah bagian
timur, dan progadasi sedimen produk dari delta yang merupakan anggota Formasi Warukin.
Pada Miosen akhir, Pegunungan Meratus muncul kembali, diikuti oleh adanya peristiwa
penurunan cekungan (subsidence) sehingga terjadi proses deposisi sedimen, yang merupakan
Formasi Warukin. Pegunungan Meratus lalu mengalami uplift lagi hingga kala Pleistosen, dan
diendapkan produk batuan sedimen molasic-deltaic, merupakan Formasi Dahor pada kala
Pliosen. Proses tektonik dan deposisi tetap berlangsung hingga sekarang (Darman dan Sidi,
2000).

Pengangkatan di Kalimantan Tengah

Sebagian besar pulau Kalimantan menunjukkan bukti pengangkatan yang masih muda. Pluton
granit Pegunungan Schwaner dari zaman Kapur terbentuk pada kedalaman >6 km, dan
sekarang menjadi singkapan. Pematangan dan diagenesis sedimen Tersier Awal di cekungan
Kutai Barat, dll., menunjukkan adanya pengangkatan hingga 5 km. Granit Gunung Kinabalu
naik lebih dari 6 km dalam 7 juta tahun terakhir. Beberapa pengangkatan ini terjadi lebih awal,
di sekitar batas Miosen Awal-Tengah, tetapi sebagian besar berasal dari zaman Pliosen dan
yang lebih muda.

Sistem delta utama

Pulau Kalimantan merupakan rumah bagi sejumlah sungai besar dan sistem delta yang terkait
(Gambar IV.1.14):- di sebelah Barat adalah delta Kapuas (Dangkalan Sunda).

Semua delta yang ada saat ini berada di atas sistem delta Miosen Tengah-Pleistosen yang jauh
lebih besar, yang berkembang lebih jauh ke arah cekungan daripada delta modern. Sebagian
besar dari sistem ini merupakan sistem yang menghasilkan hidrokarbon yang produktif.

Gambar IV.1.14. Peta diagramatik yang menunjukkan lokasi-lokasi sistem delta utama saat ini
di sekitar Kalimantan (Baillie dkk., 2004, setelah Graves dan Swauger, 1997).

Sistem ekstensional-kompresional yang terhubung

Beberapa delta di Kalimantan (Tarakan, Baram, Luconia Barat) menunjukkan sistem deformasi
ekstensional-kompresional yang besar, yang dibentuk oleh pergeseran gravitasi yang terus
menerus yang disebabkan oleh pemuatan sedimen updip di sepanjang batas perairan dalam.
Sesar pertumbuhan normal yang menukik ke arah cekungan dalam domain updip terkait
dengan sabuk 'toe thrust' yang menukik ke bawah di dekat dasar lereng. Domain ekstensional
dan kompresional dihubungkan melalui satu atau lebih permukaan detasemen sudut rendah
yang utama (Gambar IV.1.15). Sistem ekstensional-kompresional berpasangan seperti ini
umum dijumpai di seluruh dunia pada delta-delta besar yang mengapit cekungan yang dalam.

Gambar IV.1.15. Contoh toe thrust yang terimpit di perairan dalam di luar delta dan
dihubungkan dengan sesar pertumbuhan yang digerakkan oleh gravitasi (lepas pantai Tarakan,
Kalimantan Timur; Hidayati dkk., 2007). Delta ini terbentuk di atas kerak samudera Eosen di
Laut Sulawesi.

Contoh-contoh sistem ekstensional-kompresi yang terkait di dalam dan di depan delta-delta


besar di Kalimantan meliputi:

1. Rajang/Delta Luconia Barat/Sabuk dorong lipatan Bunguran di lepas pantai Sarawak Barat
(Jong dkk. 2014, Idris dkk. 2010, 2015);

2. Delta Baram/Champion dan toe thrust yang sesuai di lepas pantai Brunei (Ingram dkk. 2004,
Morley dkk. 2011); 3. Delta Sabah di lepas pantai barat laut Sabah (batas Laut Sulu);

3. Delta Sabah di lepas pantai NW Sabah (batas Laut Sulu);

4. Sandakan Delta di lepas pantai NE Sabah (Ismail dkk. 1995, Ingram dkk. 2004, Hesse dkk.
2009, Morley 2009, Sapin dkk. 2013; beberapa pihak memperdebatkan apakah ada komponen
tektonik di sini);

5. Delta Tarakan dan sabuk dorong lipatan (Hidayati dkk. 2007, Jong dkk. 2010, 2015);

6. Cekungan Kutai lepas pantai/Delta Mahakam (Guritno dkk. 2003, Baillie dkk. 1999, 2004).

Ladang Minyak dan Gas

Sejumlah ladang minyak dan gas telah ditemukan di cekungan Cenozoikum dan sistem delta di
Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara sejak ditemukannya ladang Sanga Sanga pada tahun
1897. Berbagai referensi mengenai ladang-ladang ini dan elemen-elemen permainanya dapat
ditemukan dalam Daftar Pustaka. Tinjauan menyeluruh mengenai geologi minyak bumi di
Cekungan Tarakan adalah Wight dkk. (1993).

Sebagian besar ladang minyak dan gas di Kalimantan berada di sepanjang batas Timur, di
kompleks delta Mahakam dan Tarakan yang berkembang menjadi cekungan dalam di Selat
Makassar Utara dan Laut Sulawesi. Minyak dan gas di horizon yang lebih dalam bersumber dari
batuan sumber delta yang kaya akan bahan organik yang telah matang secara termal,
sementara gas biogenik dapat ditemukan di horizon yang lebih dangkal, yang bersumber dari
batupasir yang kaya akan bahan tanaman.

Waduk dalam sistem delta Kalimantan sebagian besar terdiri dari fluvial dan dataran delta/batu
pasir delta. Penemuan-penemuan yang lebih baru termasuk gas biogenik di saluran lereng
perairan dalam dan endapan kipas bawah laut di sepanjang batas cekungan Selat Makassar
Utara (ladang Seno, dan lain-lain) (Gambar IV.1.16).

Gambar IV.1.16. Penampang diagram W-E pada sistem Delta Mahakam, yang menunjukkan
pengaturan ladang minyak dan gas (dari presentasi Murphy dan Longley, 2005).

Lapangan Tanjung di cekungan Barito adalah salah satu dari beberapa lapangan di Kalimantan
yang berproduksi dari reservoir batupasir Eosen Akhir. Minyak dan gas juga telah ditemukan
pada Eosen di Cekungan Kutai Timur, namun sejauh ini tidak ekonomis.

Karbonat Eosen dan Oligo-Miosen terdapat di semua cekungan Kalimantan Timur, tetapi,
kecuali ladang gas Kerendan yang kecil di cekungan Kutai bagian atas, belum menghasilkan
hidrokarbon komersial.

Berlian Kalimantan

Nama Kalimantan kabarnya berasal dari 'Kali mas intan', yang berarti 'Sungai emas dan
berlian'. Berlian telah ditambang di sini selama berabad-abad, dari beberapa daerah di seluruh
Kalimantan Tenggara, Kalimantan Selatan dan Barat serta Sarawak Barat (Gambar IV.1.17),
yang selalu dilakukan oleh operator lokal berskala kecil.

Gambar IV.1.17. Ladang intan aluvial di Kalimantan Barat, Selatan dan Tenggara (Posewitz
1885)

Semua eksploitasi berasal dari endapan aluvial Kuarter, tetapi berlian juga telah diamati pada
konglomerat Kapur dan Eosen (Hovig 1930). Tampaknya penambangan dan aktivitas
pemotongan terkait sudah mengalami penurunan pada tahun 1900, mungkin sebagian
disebabkan oleh penemuan berlian yang lebih besar di Afrika Selatan.
Serangkaian makalah telah berspekulasi mengenai asal-usulnya, tetapi belum ada jawaban
pasti yang disajikan (misalnya Van Leeuwen 2014). Asal usul yang umumnya disarankan dari
batuan ultramafik di Pegunungan Meratus tidak didukung oleh pengamatan lain. Selain itu,
distribusi berlian yang tersebar luas di seluruh Kalimantan, dengan drainase yang terbagi antara
Pegunungan Meratus dan daerah penghasil berlian di Kalimantan Barat, dan lain-lain juga
membuat hubungan semacam itu menjadi tidak mungkin.

Beberapa berlian menghasilkan usia Arkean (3,1 Ga; Smith dkk. 2009) dan entah bagaimana
mungkin berasal dari terusan yang terangkat dan terkikis di daratan Australia
Utara/Gondwanan. Tay dkk. (2005) mengamati adanya bekas perkusi yang melimpah pada
berlian di Kalimantan Tenggara, yang mengindikasikan adanya pengerjaan ulang secara
mekanis dan kemungkinan beberapa siklus erosi dan pengendapan.

Potensi kemunculan intan aluvial yang setara dengan intan berlian diketahui dari Thailand
Barat, Myanmar dan Sumatra, meskipun tidak ada laporan tentang penambangannya. Di
Thailand, mereka telah dikaitkan dengan erosi berlian detrital yang diamati pada endapan
glasial Carboniferous - Permian Awal Phuket Series di dataran Sibumasu (Ridd 1971,
Wathanakul dkk. 1998, Griffin dkk. 2001, Win dkk. 2001).

Asosiasi spasial dengan batulempung glasial Karbon-Permian Sibumasu juga telah diamati di
Myanmar dan Sumatra oleh Van Leeuwen (2014). Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang
kemungkinan adanya sedimen terestrial Sibumasu di daerah sumber klastik pembawa intan di
Kalimantan
Referensi : Van Bemmelen, R.W., 1949, The Geology of Indonesia, Vol.1A, 2nd, Batavia,
Netherland, 732 hal. Kusuma, M.I., dan Nafi, A.N., 1986, Prospek hidrokarbon Formasi Warukin
di Cekungan Barito Kalimantan, Kumpulan Makalah Pertemuan Ilmiah Tahunan XIV IAGI,
Jakarta, hal 105-124. Darman, H., dan Sidi, F.H., 2000, An Outline Of The Geology Of
Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Jakarta, 181 hal. Sikumbang, N. dan Heryanto, R.,
1987, Laporan Geologi Lembar Banjarmasin Kalimantan Selatan, Proyek Pemetaan Geologi
dan Interpretasi Foto Udara, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandug. General,
Tectonics Molengraaff 1910, Haile 1974, Hartono 1984, 1985, Doutch 1992, Van de Weerd and
Armin 1992, Simanjuntak 1999, Tate 2001, Hennig et al. 2017 Paleomagnetic rotations: Haile
et. 1977, Untung et al. 1987, Schmidtke et al. 1990, Fuller et al. 1991, 1999, Sunata and
Wahyono 1991, 1998 Tertiary Stratigraphy: Leupold and Van der Vlerk 1931, Baumann 1972,
Samuel and Muchsin 1975 Achmad and Samuel 1984, Pieters et al. 1987, Tate 1991, Heryanto
1993, 2000
Paleozoic- Mesozoic faunas: Martin 1888, 1889, 1898, Krekeler 1932, Von Koenigswald 1939,
Rutten 1943, 1947, Schairer and Zeiss 1992 Igneous complexes, Minerals: Williams and
Harahap 1986, Williams et al. 1984-1990, Simmons and Brown 1990, Van Leeuwen et al. 1990,
Harahap 1993, 1996, Suparka 1995, Abidin and Sukardi 1997, Hartono et al. 1999, Soeria-
Atmadja et al.1999, Amiruddin 2009, Prouteau et al. 1996, 2001, Davies et al. 2004, 2008,
Hartono 2003, 2006, Robinson et al. 2013 West Kalimantan: Molengraaff 1902, Wing Easton
1904, Loth 1920, Ter Bruggen 1935, Zeijlmans van Emmichoven 1939, Williams et al. 1986,
1990 Melawi-Ketungau basins: Martin 1898, Rose and Hartono 1978, Williams et al. 1984,
Heryanto 1991-1996, Panggabean 2005, Yulihanto et al. 2006, Passe et al. 2008, Badaruddin
et al. 2018ab Tarakan Basin: Samuel 1980, Achmad and Samuel 1984, Wight et al. 1993,
Biantoro et al. 1996, Lentini and Darman 1996, Darman 1999, Noon et al.2003, Subroto et al.
2005, Sukanta et al. 2009, Sudarmono et al. 2017, Saputra et al. 2018 Kutei Basin: Ubaghs
1936, Samuel and Muchsin 1975, Panigoro 1983, Nuay et al. 1985, Land and Jones 1987, Ott
1987, Van de Weerd et al. 1987, Moss 1988, Sunaryo et al, 1988, Wain and Berod 1989,
Biantoro et al. 1992, 1994

Anda mungkin juga menyukai