Anda di halaman 1dari 7

Patah untuk Merekah

“Re,kamu kapan pulang?”


Tanya Fio sembari memasukkan pakaian ke dalam ransel milikinya. Rea
yang sedari tadi bermenung, menatap kosong ke luar jendela, tidak menggubris
pertanyaan itu dengan cepat.
Sejak membaca surat edaran rektor yang dikeluarkan dua hari sebelumnya,
pikiran Rea menjadi tak karuan. Berbeda dengan teman asramanya yang lain, Rea
tak memilih bergegas untuk meninggalkan asrama meskipun telah diinstruksikan
oleh pembina asrama.
“Aku bingung Fi, di kampungku sinyal sangatlah susah, aku takut belajar
daring ini tidak dapat berjalan dengan maksimal.”
Rea menjawab pelan dengan kepala tertopang di atas tumpukkan buku,
hatinya galau dalam mengambil keputusan yang cukup sulit untuk ia hadapi. Rea
sangat dikenal dengan sifat rajin dan kerja kerasnya dalam belajar. Selain menjadi
anak pertama dari tiga bersaudara, kehilangan sosok ibu menjadikan Rea harus
menjadi teladan bagi kedua adiknya. Ditambah dengan kondisi pandemi yang
sedang hangat dibincangkan. Ayahnya yang bekerja sebagai buruh pabrik juga
harus di-PHK lebih dulu. Kondisi ini tentu menambah beban pikiran Rea. Tidak
hanya takut terkendala jaringan, ia juga memikirkan bagaimana cara membantu
ayahnya dalam mencukupi kebutuhan sehari-hari selama pandemi ini.

***

Berganti hari, keadaan asramapun semakin sepi. Hanya ada Rea dan Kinan
yang berada di asrama pagi itu. Rumor horor tentang asrama ikut berlalu lalang di
benak Rea ketika membayangkan jika ia harus tinggal sendiri di asrama,
sedangkan Kinan telah merencanakan untuk pulang kampung sore harinya.
Semalaman Rea memikirkan keputusan terbaik yang akan ia pilih, dan akhirnya
sama seperti Kinan setelah mempertimbangkan ucapan Fio sebelum
meninggalkanya.
”Tidak mungkin aku sendiri menghuni gedung bertingkat empat ini, yang
bisa aku malah mati tanpa sepengetahuan orang lain.” Ujarnya dalam hati.

***

“Ah, kecemasan ini sudah ku duga sebelumnya.”


Rea panik, wajahnya pucat karena batas pengumpulan tugas hanya tinggal
lima menit lagi. Pandangnya tak lepas pada lingkaran hijau yang berputar di ujung
layar laptop petanda tugasnya masih dalam proses pengiriman.
“Kalau begini terus aku bisa kewalahan, nilai tugasku juga bisa jadi kacau
karena lambatnya jaringan.”
Menarik napas dalam, Rea yang bersandar pada sebuah pohon mahoni tua
mengerutkan keningnya dengan perasaan sedikit kesal. Berbagai cara ia lakukan
agar kondisi jaringanya bisa stabil tanpa gangguan, bahkan seringkali ia harus
memanjat pohon mahoni tua itu dan duduk di cabangnya sembari menyelesaikan
tugas dengan tas ransel yang siap sedia di punggung agar barang-barangnya yang
kecil tak berjatuhan.
Melihat kegigihan anak sulungnya, Pak Joko berinisiatif untuk
membuatkan Rea rumah pohon, tepat di tempat biasa Rea mencari jaringan untuk
belajar. Sejak di-PHK, Pak Joko mencari nafkah dengan menjadi buruh tani
keliling di sekitar tempat tinggalnya.
“Wah, rumah pohon buatan ayah keren, kak Rea pasti nyaman belajar di
sana.” Ujar Yoga adik Rea yang takjub dengan rumah pohon buatan ayahnya.
“Ini buat kak Rea, biar nggak capek turun naik pohon, kan kasian kalau
nanti laptopnya jatuh.” Pak Joko mengusap kepala Yoga sambil tersenyum
hangat.
Dengan usia yang tak lagi muda, seringkali ia harus beristirahat di rumah
karena sakit yang ia rasakan. Sudah setahun terakhir, Pak Joko sering mengalami
sesak napas jika bekerja terlalu lama. Sesekali, jika ada waktu kosong, Rea juga
ikut membantu ayahnya bertani, begitulah usaha yang Rea lakukan untuk
membantu ayahnya mencukupi kebutuhan sehari-hari.

***

“Kak Rea lagi baca apa?” Tanya Dio pada Rea yang sedang asik
memandangi layar laptopnya.
“Ini ada informasi lomba. Oh iya, nanti sore kita jalan-jalan ke kampung
sebelah, yuk? Ada yang mau kakak survey ke pabrik santan milik Pak Budi”
Ajaknya.
”Hore, kita jalan-jalan ke kampung sebelah!” Dio riang.
“Hati-hati Dio, nanti papanya patah” ujar Rea sambil tertawa melihat adik
bungsunya meloncat kecil kegirangan.

***

Seperti biasa sehabis isya, keluarga kecil itu makan bersama dengan
lesehan di teras rumah.
“Bagaimana? Jaringanya masih terkendala?” Tanya Pak Joko.
“Alhamdulillah sudah tidak, Yah. Ayah memang kreatif, sampai bikin
rumah pohon yang seunik dan senyaman itu, terimakasih, Yah.” Jawab
Rea melirik ke rumah pohon buatan ayahnya.
Meski hidup tanpa kehangatan cinta seorang ibu, Rea dan adik-adiknya
tidak pernah merasakan kekurangan kasih sayang dari sosok seorang ayah.
“Ayah, Rea mau ikut lomba Yah.”
“Lomba apa? Rea masih aktif menulis cerpen? Mau ikut lomba cerpen
lagi?” Tanya Pak Joko balik.
“Bukan Ayah,sejak masuk kuliah Rea sudah jarang menuis cerpen, kali ini
Rea mau ikut lomba wirausaha, Yah. Hm, tadi Rea juga sudah melakukan survei
ke pabriknya Pak Budi” Jelas Rea.
“Kamu mau jualan santan kelapa sama Pak Budi?” Pak Joko
menertawakan.
“Bukan, Ayah.” Rea juga ikut tertawa mendengar pertanyaan konyol dari
ayahnya itu.
”Terus? mau jadi tukang hitung kelapa di kebun Pak Budi?” Kali ini Dio
dan Yoga juga ikut tertawa.
“Jadi gini Yah, tadi siang Rea baca informasi tentang perlombaan
wirausaha, jadi Rea mau bikin sesuatu yang inovatif dari sumber daya alam yang
ada di lingkungan sekitar, Yah. Selama daring ini Rea juga sudah banyak
mengikuti kelas digital tentang wirausaha dan teknologi, itu semua sangat
membantu Rea dalam mengikuti lomba kewirausahaan berbasis digital ini Yah.”
Jelas Rea.
“Anak ayah memang cerdas,tapi..” Pak Joko tiba-tiba menghentikan
pembicaraan, Rea yang akan menyuap nasipun mengentikan suapnya. ”Bukanya
semua itu butuh modal ,Nak?” Sambung Pak Joko. Suasana makan malam
seketika menjadi senyap,semangat Rea perlahan meredup setelah mendengar
pertanyaan ayahnya.
”Mungkin Rea akan memikirkanya lagi, Yah” Nada suara yang terdengar
layu tak bersemangat menghiasi ungkapan dari bibir Rea.

Kalut,lagi-lagi muncul pikiran baru yang menodai harapanya. Api


semangat itu seketika meredup seperti diterpa angin yang membawa air.
“Benar juga kata ayah,semua butuh modal,dari mana aku akan
mendapatkan modal yang cukup untuk memulai usaha ini?” Menatap penuh ke
langit-langit kamar yang sudah mulai reyot, malam itu menjadi malam yang
panjang bagi Rea.
“Apa harus kukubur satu persatu keinginanku, jika semua berbicara
tentang uang dan uang? Oh tidak, itu sama saja dengan aku membiarkan
keluargaku untuk terus terjebak dalam pahitnya menjadi golongan kecil.”
“Ah,payah! Sudah cukup Rea, bangunlah! Pasti ada jalan dibalik semua
pilihan yang kau tempuh.” Rea bangkit dari tidurnya. “Rea,tidak salah untuk
mencoba” berusaha mengindahkan pikiran tentang pertanyaan dari ayahnya, Rea
bangkit dari kegalauan yang ia alami, dengan sigap ia menaiki rumah pohon dan
membuka laptop jadul miliknya. Sejak awal mendapatkan informasi tentang
perlombaan kewirausahaan, Rea sebenarnya sudah menyiapkan berbagai berkas
proposal yang akan dikirimkan ke pihak kampus sebagai bentuk permohonan
bantuan agar ia dapat mengikuti perlombaan kewirausahaan itu, hanya saja ia
tidak segera mengirimkanya. ”Waduh,sepertinya sulit Dik, apalagi suasana sedang
pandemi seperti sekarang, proposalmu paling hanya dijadikan hiasan meja atau
bahkan memenuhi berangkas pimpinan.” Jawab seorang senior ketika Rea
melakukan konsultasi mengenai proposal yang akan ia kirim ke pihak kampus.
Memang , dari informasi yang Rea dapatkan, proses birokrasi kampusnya
terkesan sangat berbelit-belit dan terkadang tidak manusiawi.Itulah sebabnya
mengapa Rea menahan keinginanya untuk melakukan pengiriman proposal meski
sudah ia lengkapi.
***
“Kakakmu kemana ,Ga?” tanya Pak Joko yang sedang duduk bersandar di
teras rumah. Yoga yang sedang mengumpulkan buah rambutan untuk dijual,
menghentikan pekerjaanya. “Ke kampung sebelah,Yah. Ke pabrik Pak Budi”
jawab Yoga pasti. “Oh begitu” jawab Pak Joko. “Anak itu benar-benar tidak
mudah menyerah, aku jadi malu karena tidak bisa membantu mewujudkan
keinginanya. Jangankan modal usaha, untuk makan saja aku harus meminjam
uang ke lintah darat kampung sebelah” ucap Pak Joko dalam hati. “Ayah jangan
bermenung, nanti digigit nyamuk” Dio tertawa. “Nanti ayah gigit lagi dong”
jawab Pak Joko asal. “Yasudah, ayah masuk kamar dulu ya”. Perlahan Pak Joko
beranjak dari duduknya , dengan sigap Dio dan Yoga langsung membantu
ayahnya berjalan menuju kamar. Kondisi Pak Joko semakin melemah. Dua hari
sebelumnya, Pak Joko kembali merasakan sesak napas karena penyakit yang
dialaminya kambuh.
"Aku pasti bisa menang lomba, jika aku menang aku bisa bantu ayah,
ayah akan sangat senang, bagaimana pun aku harus membahagiakan ayah dan
membantunya",gumam Rea dalam hati.Dengan penuh semangat, Rea melakukan
tahapan penelitian yang sudah ia rancang dengan teliti, ampas santan yang ia olah
menjadi pupuk , sedikit demi sedikit ia tuangkan ke dalam polybag yang berisi
tanaman cabe di lahan sempit yang berada di belakang dapur pabrik Pak Budi.
“Wah, saya juga baru tau kalau ampas ini bisa dijadikan pupuk tanaman” Pak
Budi tersenyum bangga dengan usaha yang sedang dilakukan Rea. “Nah,benar
Pak, menurut sumber yang saya baca,ampas santan ini punya kandungan yang
baik untukmenyuburkan tanaman. Itulah mengapa saya berinisiatif untuk
melakukan percobaan Pak” . “Hebat-hebat, kamu memang anak yang cerdas.
Ayahmu pasti bangga punya anak yang kreatif dan ulet sepertimu”,Rea hanya
tersenyum dan melanjutkan pekerjaanya mengolah ampas santan yang ia
kumpulkan di bagian dapur produksi pabrik Pak Budi. Setiap hari,seusai
menggantikan ayahnya sebagai petani keliling , Rea menyempatkan diri untuk
singgah ke pabrik Pak Budi , melanjutkan percobaan kecil-kecilanya. Meski
belum tampak titik terang perihal modal untuk memulai usaha, ia tetap
menjalankan proses sesuai apa yang telah ia rancang.”Rea,kamu bisa! Nanti juga
ada jalan kok,tenang saja” ucap Rea di dalam hati , senyum keoptimisan setiap
hari menghiasi wajahnya.
“Yah, ada telur ceplok. Tadi Rea diberi telur ayam sama istrinya Pak
Budi”,ucap Rea sembari menyuapkan Pak Joko. “Kak Rea ngapain tadi ke pabrik
Pak Joko?” tanya Dio yang sedang mencuci tangan. “ Kamu masih melanjutkan
lomba itu ya?” Pak Joko ikut bertanya. Rea terdiam. Rea merasa nada bicara
ayahnya seakan kecewa dengan apa yang ia lakukan. “Ayah marah sama Rea?”
tanya Rea lembut. Pak Joko hanya diam. “Apa Rea terlalu egois ya , Yah? Rea
sangka apa yang Rea lakukan akan membuat ayah bangga, tapi ternyata tidak”
Mata Rea berkaca,kepalanya tertunduk menatap sepiring nasi yang ada di
depanya.Ia tak mampu menatap sang ayah yang hanya diam mendengar
ucapanya. “Apa ayah benar-benar marah?” tanya Rea semakin lemah. “Ayah tak
kecewa,apalagi marah” jawab Pak Joko datar. “Lalu? Kenapa ayah seperti tidak
suka dengan apa yang Rea lakukan?” perlahan Rea menegakkan kepalanya
sembari menatap sang ayah. “Ayah malu Nak, seharusnya ayah banting tulang
mencari uang bahkan menyiapkan modal untuk semua keinginan masa depanmu,
tapi kini ayah tidak bisa berbuat lebih,hanya bisa duduk dan tertidur di atas
ranjang , untuk makan saja harus menunggu kamu ataupun adik-adikmu, aturanya
ayah yang lebih bekerja keras , Nak” Ujar Pak Joko sambil meneteskan air mata.
“Ayah tak usah malu, sudah menjadi kewajiban Rea untuk membatu Ayah” Rea
mengusap air mata yang jatuh mengaliri pipi sang ayah. Pak Joko membisu
menatap ketiga anaknya.Ungkapan cinta dan kasih sayang hanya disampaikan
melalui kedua bola matanya.
Besok banget! Deadline pendaftaran “Lomba Kewirausahaan Berbasis
Digital“ Biaya pendaftaran hanya 200K !Yuk,generasi muda milenial , tunjukan
kreatifitasmu !
“Huh,gimana nih” Rea tampak cemas setelah membaca pemberitahuan
tentang lomba yang ingin ia ikuti. “Uangku cuma bersisa 10 ribu, sisa tabunganku
juga sudah habis untuk membeli bahan percobaan” gelisah,Rea bingung harus
meminjam uang kemana untuk pendaftaran. Uang 200 ribu rupiah sangat besar
baginya . Setiap saat ia membuka e-mail untuk memastikan tanggapan pihak
kampus terhadap proposal yang telah ia ajukan. “Duh, belum ada kepastian lagi” .
Rea masih keras dengan keinginanya, ai selalu mencari cara untuk dapat
melanjutkan keinginanya itu tanpa harus membebani ayahnya. Hingga detik itu, ia
masih sangat berharap dengan respon baik pihak kampus terhadap proposal yang
telah ia kirim.
15 menit kemudian.
“Apakah jadi orang kecil itu harus selalu dipersulit? Padahal tidak semua
orang besar punya keinginan” Rea kecewa, apa yang telah disampaikan oleh
seniornya memang benar terjadi. Proposal permohonan dana lomba yang telah ia
ajukan, ditolak mentah-mentah oleh pihak kampus.Rea tak tau harus bagaimana
“Terlalu banyak alasan untuk menolak. Sangat jauh dari kata
mengayomi,sebagaimana visi yang ternyata hanya fiksi”,gumamnya kesal.
***
Sore hari yang cerah. Seperti biasa setiap harinya, Rea mengayuh sepeda
menuju pabrik Pak Budi untuk memantau perkembangan dari proses penelitian
yang ia lakukan. Wajahnya masih tampak muram, “Untung saja Pak Budi
orangnya baik, mau membantuku dengan memberi ampas dan beberapa kelapa tua
dari kebunya secara gratis, beliau juga mau meminjamkan lahan kecil dan dapur
pabriknya untukku jadikan tempat percobaan”. Di perjalanan, Rea melihat seorang
laki-laki yang sedang membawa sebuah barang berjalan kebingungan. Rea pun
memperlambat kayuh sepeda dan menghampiri laki-laki itu. “Permisi”. ”Oalah,
ternyata Pakde Jajang, Rea sangka siapa. Pakde mau kemana, kok bawa televisi?.
“Eh Nak Rea! Hm,pakde mau ke kampung sebelah Nak Rea, mau cari bengkel
alat elektronik untuk memperbaiki televisi pakde yang rusak” . “Wah, Rea mau
membantu Pakde” Rea semangat. “Ha? Kamu mau bantu membawakan televisi
ini pakai sepeda?” tanya Pakde Jajang bingung.”Hehe, bukan Pakde. Rea mau
membantu Pakde memperbaiki televisinya. Saat SMA dulu Rea pernah belajar
untuk memperbaiki alat elektronik Pakde.”Jelas Rea ramah. “Wah,kebetulan
sekali! Monggo, kita ke rumah Rea saja.” Pakde Jajang senang mendengar
tawaran Rea. Rea yang awalnya ingin menuju pabrik Pak Budi pun berbalik
pulang.
Sesampainya di rumah, Rea dengan telitinya langsung membongkar
televisi milik Pakde Jajang. “Kalau di rumah televisinya sering hidup 24 jam ya
Pakde?” tanya Rea kepada Pakde Jajang yang juga fokus memperhatikan Rea
membongkar televisi miliknya. “Iya Nak Rea, anak-anak pakde bandel semua,
susah berhenti kalau sudah menonton televisi”. Dengan modal ilmu yang ia miliki
semasa sekolah, Rea dengan mudah memperbaiki televisi milik Pak Jajang itu.
Kepandaian Rea menjadi pujian oleh Pakde Jajang.”Terima kasih banyak ya Nak
Rea,ini sedikit untuk Nak Rea” ujar Pakde Jajang sembari menyodorkan amplop
berisi uang. “Oh tidak usah Pakde, saya ikhlas membantu Pakde” . “Rezki tidak
boleh ditolak Nak Rea, kalau tadi Nak Rea tidak ada, mungkin saya sudah
bingung mau cari bengkel kemana” Pak Jajang tetap menyodorkan amplop
tersebut kepada Rea. “Baiklah Pakde, terima kasih Pakde. Semoga televisinya
tidak rusak lagi ya Pakde” Rea mengambil amplop itu dari tangan Pakde
Jajang.“Oh begini cara Allah mempermudah langkahku” gumam Rea di dalam
hati sembari membersihkan peralatanya dan segera menuju rumah pohon.
Hati Rea senang. Uang pemberian Pakde Jajang bisa mencukupi uang
pendaftaran. Kini hatinya sudah tenang, iapun semakin optimis kalau kerja
kerasnya akan segera memberikan hasil. Tidak mudah merasa puas, dengan tekun
ia terus mencermati hasil dari percobaan yang ia lakukan. Sebuah penelitian
sederhana yang yang ia yakini akan menjadi sebuah cikal bakal usaha yang besar.
***
Waktu berjalan begitu cepat. Tak terasa, hari ini Rea akan
mempresentasikan hasil yang telah dipersiapkanya sebulan. Namun saying,
sepertinya hari itu bukan hari keberuntungan Rea. Mulai dari pagi jaringanya
hilang, hingga video dan power point yang bermasalah saat ia presentasi. Rea
semakin gugup, hingga ia lupa dengan apa yang telah dipersiapkanya, semua
rancangan yang ia persiapkan, berantakan. Semua berjalan diluar dugaan, siang itu
ia terpaku di rumah pohon miliknya. Ia meratapi semua hasil yang ia dapatkan.
“Apa yang sudah ku perbuat? Aku telah mengecewakan ayah dan adik-adikku,
begitu pula Pak Budi yang telah berbaik hati padaku. Tuhan, aku tak tau harus
bagaimana.” Tangis Rea pecah, setelah mengalami kejadian yang fatal saat
presentasi pagi tadi. Penyesalan menghantuinya, “Andaikan aku tidak
melanjutkan semua ide konyol yang ku perjuangkan, mungkin aku tidak akan
kecewa” Harapan Rea benar-benar pupus.
Seminggu kemudian, Rea mendapat telepon dari Pak Budi saat sedang
mengerjakan tugasnya. “Nak Rea, tadi pagi ada pengusaha padi yang datang ke
pabrik saya dan melihat hasil penelitian Nak Rea, beliau ingin bertemu dengan
Nak Rea, beliau sangat tertarik dengan pupuk alami buatan Nak Rea, apa kita bisa
bertemu?” Sontak Rea kaget, kegalauan yang ia rasakan semingu ini terobati
tanpa disangka. Tidak pernah ia duga, perjuangan yang selama ini ia lakukan
ternyata tak berhenti dengan kekalahan. Seusai menemui pengusaha tani padi
yang dikatakan oleh Pak Budi, Rea mendapat tawaran mendirikan usaha sendiri di
depan rumahnya. Tanpa menolak, ia langsung mengiyakan tawaran tersebut.
Dengan senang hati, Rea mengembangkan usahanya dengan baik, hingga pupuk
hasil produksinya itu tak hanya mencukupi kebutuhan petani di kampungnya,
bahkan juga di distribusikan ke kota lain.
Santani, pupuk ampas santan lokal produksi dalam negeri.
Penulisan Biodata Penulis
Nama Lengkap : Fathya Rabiatunisa
Email : fathyaarns@gmail.com
Nomor HP : 082284269549
Nomor WhatsApp : 082284269549
Nama Instagram : @fathyaarns

Anda mungkin juga menyukai