Anda di halaman 1dari 2

Kasus Mootcourt 3

Bina (35 tahun), seorang aparatur sipil negara (ASN), menggugat Kementerian Hukum dan
HAM (Kemenkumham) dan Badan Pertimbangan Aparatur Sipil Negara (BPASN) karena
merasa diberhentikan secara diskriminatif akibat penyakit yang ia miliki. Hal ini terjadi
setelah Bina, yang menderita skizofrenia paranoid, sempat tidak masuk ke kantor dan pergi
ke pulau lain akibat halusinasi yang dialaminya. Setelah menjalani perawatan dan
pendampingan oleh psikiater selama beberapa bulan, Bina kembali ke Kemenkumham untuk
melaporkan kondisinya. Namun, oleh Kemenkumham ia justru dikirimkan surat
pemberhentian.

Bina telah bekerja sebagai ASN di Kemenkumham sejak 2010, dimana ia diangkat sebagai
PNS. Selama bertugas, Bina berprestasi baik dan berkontribusi dalam pengembangan sistem
aplikasi di lingkungan Kemenkumham RI.

Pada tahun keempatnya sebagai ASN, Bina mendapatkan beasiswa American Awards
Scholarship untuk melanjutkan studi di Amerika. Saat itu, ia juga diminta menandatangani
perjanjian ikatan dinas terkait tugas belajar dari Kemenkumham. Selama menjalani studinya
di Amerika, yaitu pada kurun waktu 2014-2015, Bina mulai mengalami gangguan mental
psikotik. Saat itu, pihak universitas membantu Bina dengan memberikan pendampingan dari
psikiater, yang juga memberikan obat. Saat itu, psikiater mengeluarkan surat pertimbangan
khusus untuk universitas terkait masalah kesehatan yang ia alami.

Walaupun dengan sakit yang dimilikinya, Bina dapat menyelesaikan pendidikan masternya
tersebut pada tahun 2016, dan kembali untuk melanjutkan pekerjaannya di Kemenkumham.
Saat kembali ke tugasnya di Kemenkumham, Bina diberikan posisi baru yang dirasakan
olehnya tidak terlalu berat. Karena merasa keadaannya sudah membaik dan khawatir akan
stigma yang diterima dari lingkungan sekitar terkait konsumsi obat-obatan, Bina akhirnya
memutuskan untuk berhenti mengonsumsi obatnya.

Pada tahun 2017, Bina dipindah tugaskan ke staf fungsional yang dirasakan olehnya lebih
dari pekerjaan sebelumnya. Sejak itu, Bina mulai kembali memiliki gejala-gejala paranoid.
Seiring waktu, akibat tidak didampingi psikiater maupun mengonsumsi obat, pada tahun
2018-2019 kondisi Bina semakin memberat, dengan gejala berupa waham kejar (kepercayaan
bahwa ada yang mau menyakiti, mengejar, atau berkonspirasi terhadapnya).

Pada tahun 2020, orang-orang disekitar Bina menyebut bahwa kondisi Bina saat itu tidak
stabil dan tidak dapat berinteraksi dengan lingkungan sosialnya. Dalam persidangan atasan,
Bina dinyatakan memiliki kinerja kerja yang turun dan sikap yang terkadang janggal. Pada
tahun tersebut, waham yang diderita oleh Bina semakin memburuk.
Pada tanggal 16 April 2020, atasan Bina mengeluarkan Surat Keputusan teguran lisan akibat
masalah absensi. Bina memenuhi panggilan klarifikasi, namun pada pertemuan itu hanya
diminta mengkonfirmasi absen. Pada pertengahan 2020, Bina meninggalkan rumah dan lepas
kontak dengan keluarganya. Bina mengaku mendapatkan perintah dari "tim" yang tidak nyata
ke Kalimantan. Saat itu pun ia tidak mengisi absensi online, yang merupakan kebijakan work
from home saat itu. Pada bulan Agustus-September 2020, atasan Bina memanggilnya
sebanyak dua kali karena sudah melakukan pelanggaran disiplin. Namun karena Bina tidak
masuk kerja, ia tidak mengetahui perihal panggilan tersebut.

Februari 2021, Kemenkumham mengirimkan SK Pemberhentian terhadap Bina karena


melanggar absensi ke alamat rumah orang tua Bina. Pada saat itu, Bina belum kembali
rumahnya. Pada Juni 2021 Bina akhirnya kembali ke rumah, namun kondisinya yang tidak
stabil meresahkan keluarga dan tetangga. Akhirnya dengan permintaan keluarganya, Bina
mendapatkan perawatan psikiater dari panti rehabilitasi dan dirawat selama 3 bulan dan
didampingi oleh psikiater. Saat itu Bina didiagnosis menderita Skizofrenia Paranoid.

Setelah menjalani pengobatannya selama beberapa bulan, pada September 2021 kondisi Bina
telah membaik dan ia melaporkan keadaannya ke Kemenkumham. Saat itu ia diminta
melakukan langkah administratif berupa mengajukan banding administratif ke Badan
Pertimbangan Aparatur Sipil Negara, dan dikatakan melanggar perjanjian ikatan dinas saat
menerima beasiswa dari Amerika. Hal ini menyebabkan Bina juga diminta mengembalikan
uang ratusan juta rupiah.

Bina selanjutnya mengirimkan surat permohonan pertimbangan khusus yang ditembuskan ke


Kemenkumham yang menjelaskan bahwa dirinya mengalami Skizofrenia Paranoid dengan
lampiran diagnosis oleh psikiater. Ia juga mengajukan permohonan kepada BPASN untuk
diberikan program kembali kerja dengan menyatakan bahwa ini merupakan hak disabilitas
berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Pada
Oktober 2021, banding Bina ditolak oleh BPASN dan Kemenkumham dengan alasan Bina
baru mengajukan banding setelah lebih dari 14 hari kerja pasca surat pemberitahuan
pemberhentian dikirim ke rumah keluarga.

Pada 9 Desember 2021, Bina mengajukan gugatan kepada PTTUN Jakarta sesuai ketentuan
PP No. 79 Tahun 2021. Ia mengatakan surat pemberhentiannya ditandatangani oleh pejabat
yang tidak memiliki kewenangan dan surat tersebut menyamakan Bina dengan non-
disabilitas. Sementara itu, staf dari kementerian mengatakan bahwa Bina diberhentikan
dengan hormat tidak atas permintaan sendiri tidak terkait dengan disabilitas mental yang
dialami, melainkan terkait disiplin kepegawaiannya.

Anda mungkin juga menyukai