Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN KASUS

RADIKULOPATY DAN
METABOLIC DESEASE

Pembimbing :
Omar Akbar, dr.

Disusun oleh :
Redo Widhio Mahatvavirya, dr.

PROGRAM DOKTER INTENSHIP


RSAU DR. M. SALAMUN
KOTA BANDUNG
2021
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Udin Syamsudin


Tanggal lahir : 02 Februari 1944
Umur : 77 Tahun
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pekerjaan : Pensiunan
Alamat : Lembang
Suku bangsa : Sunda
Tanggal masuk :29/12/2021

ANAMNESIS

Keluhan Utama
Lemas dan Sulit makan

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dibawa keluarga karena mengeluhkan lemas dan sulit makan 2 minggu
SMRS. Selain. Itu, pasien juga mengeluhkan nyeri jika menelan, mual(+),Muntah(+)2x/
hari.Pasien mengeluhkan demam 1 hari lalu,Bab cair 2x/hari.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat tekanan darah tinggi, Diabetes dan low back pain kontrol
rutin meminum obat.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa. Tidak ada riwayat asma, dan alergi
dalam keluarga.

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
PEMERIKSAAN FISIK

A. Status

Keadaan umum : Tampak sakit


sedang Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4M6V5
Tanda vital
Tekanan darah : 147/78 mmHg
Nadi : 93 x/menit
Pernafasan : 22 x/menit
Suhu : 36,5 °C
SpO2 : 96%
Status Gizi
Berat Badan : 85 kg
Tinggi Badan : 168 cm
Status Gizi : Baik

B. Status Generalis
Kepala : Normocephal
Mata

Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), refleks cahaya +/+, pupil isokor 3mm/3mm,

Leher : Tidak teraba pembesaran KGB, Kaku kuduk (-)


Thorax

Inspeksi : Bentuk dan gerak simetris


Palpasi : Taktil fremitus kanan=kiri
Perkusi : Sonor +/+
Auskultasi : Suara dasar verikuler kanan=kiri, rhonki (-/-), wheezing (-/-)

Jantung

Inspeksi : Ictus cordis tidak nampak


Palpasi: Thrill (-)
Perkusi: Batas jantung normal
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-)

Abdomen : Datar. soepel, bising usus (+) normal, nyeri tekan epigastrum (-)

Ekstrimitas: Akral hangat, CRT < 2 detik, Motoris


5 5
5 5
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium

Jenis Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal


Hemogloblin 8,5 g/dl 12-16
Leukosit 7.200 /mm3 3.800-10.000
Trombosit 244.000 /mm3 150.000-400.000
Hemtokrit 25 % 35-45
GDS 139 mg/dL <120
Natrium, Na 127 mmol/ 137-147
Kalium,K 3,3 mmol/ 3,5-5,0
Antigen Sars CoV-19 NEGATIF --- Negatif

RESUME

Ny. NE, 52 tahun datang karena mengeluhkan lemas dan sulit makan SMRS. Selain. Itu,
os juga mengeluhkan adanya Mual,muntah,demam dan bab cair. Keluhan seperti ini
beberapa kali dirasakan oleh pasien.

DIAGNOSIS KERJA
Probable Covid 19 +Radiculopathy + Metabolic Desease

PENATALAKSANAAN
 Konsul dr. Gatot Sp.S, advice
o Infus Nacl 0,9% 20 tetes per menit
o Omeprazole 1x1 vial
o Ceftriaxone 2x1gr (skin test)
o PCT 3x1 fls
o MP 2x1/2 Vial
o Gabapentin 100mg 2x1

 Konsul dr. Rohmat Sp.P, advice


o Rawat di nuri
o Inj. MP 62,5mg/12 jam
o Inj. Resfar 5mg/24 jam
o Force D 3x1 tab
o Curcuma Force 3x1tab

PROGNOSIS

Ad vitam :
dubia Ad fungsionam :
dubia Ad sanationam :
dubia
PEMBAHASAN RADIKULOPATI LUMBAL
Anatomi vertebra2

Kolumna vertebralis dibentuk oleh serangkaian 33 vertebra :


 7 servikal
 12 thorakal
 5 lumbal
 5 Sakral
 4 coccygeus

Sebuah tulang punggung terdiri atas dua bagian yakni bagian anterior yang terdiri dari badan tulang atau
corpus vertebrae, dan bagian posterior yang terdiri dari arcus vertebrae. Arcus vertebrae dibentuk oleh dua
"kaki" atau pediculus dan dua lamina, serta didukung oleh penonjolan atau procesus yakni procesus
articularis, procesus transversus, dan procesus spinosus. Procesus tersebut membentuk lubang yang disebut
foramen vertebrale. Ketika tulang punggung disusun, foramen ini akan membentuk saluran sebagai tempat
sumsum tulang belakang atau medulla spinalis. Di antara dua tulang punggung dapat ditemui celah yang
disebut foramen intervertebrale.
Tulang cervical

Gambar tulang cervikal

Secara umum memiliki bentuk tulang yang kecil dengan spina atau procesus spinosus (bagian seperti sayap pada belakang
tulang) yang pendek, kecuali tulang ke-2 dan 7 yang procesus spinosusnya pendek. Diberi nomor sesuai dengan urutannya
dari C1-C7 (C dari cervical), namun beberapa memiliki sebutan khusus seperti C1 atau atlas, C2 atau aksis. Setiap mamalia
memiliki 7 tulang cervikal, seberapapun panjang lehernya.
Tulang thorax

Gambar vertebra thorakal.

Procesus spinosusnya akan berhubungan dengan tulang rusuk. Beberapa gerakan memutar dapat terjadi.
Bagian ini dikenal juga sebagai 'tulang punggung dorsal' dalam konteks manusia. Bagian ini diberi nomor T1
hingga T12.

Tulang punggung lumbal

Bagian ini (L1-L5) merupakan bagian paling tegap konstruksinya dan menanggung beban terberat dari yang lainnya.
Bagian ini memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi tubuh, dan beberapa gerakan rotasi dengan derajat yang kecil.
Pada daerah lumbal facet letak pada bidang vertical sagital memungkinkan gerakan fleksi dan ekstensi ke arah anterior
dan posterior. Pada sikap lordosis lumbalis (hiperekstensi lubal) kedua facet saling mendekat sehingga gerakan
kalateral, obique dan berputar terhambat, tetapi pada posisi sedikit fleksi kedepan (lordosis dikurangi) kedua facet
saling menjauh sehingga memungkinkan gerakan ke lateral berputar.
Tulang sacral

Terdapat 5 tulang di bagian ini (S1-S5). Tulang-tulang bergabung dan tidak memiliki celah atau diskus
intervertebralis satu sama lainnya.

Tulang coccygeal

Terdapat 3 hingga 5 tulang (Co1-Co5) yang saling bergabung dan tanpa celah. Beberapa hewan memiliki
tulang coccyx atau tulang ekor yang banyak, maka dari itu disebut tulang punggung kaudal (kaudal berarti
ekor).

Discus Intervertebralis
IDd
Gambar. Diskus intervertebralis

Diantara dua buah buah tulang vertebrae terdapat diskus intervertebralis yang berfungsi sebagai bentalan atau
“shock absorbers” bila vertebra bergerak. Diskus intervertebralis terdiri dari annulus fibrosus yaitu masa fibroelastik
yang membungkus nucleus pulposus, suatu cairan gel kolloid yang mengandung mukopolisakarida. Fungsi mekanik
diskus intervertebralis mirip dengan balon yang diisi air yang diletakkan diantara ke dua telapak tangan . Bila suatu
tekanan kompresi yang merata bekerja pada vertebrae maka tekanan itu akan disalurkan secara merata ke seluruh diskus
intervertebralis. Bila suatu gaya bekerja pada satu sisi yang lain, nucleus polposus akan melawan gaya tersebut secara
lebih dominan pada sudut sisi lain yang berlawanan. Keadaan ini terjadi pada berbagai macam gerakan vertebra seperti
fleksi, ekstensi, laterofleksi .
Diskus intervebralis dikelilingi oleh ligamentum anterior dan ligamnetum posterior. Ligamentum longitudinal
anterior berjalan di bagian anterior corpus vertebrae, besar dan kuat, berfungsi sebagai alat pelengkap penguat antara
vertebrae yang satu dengan yang lainnya. ligamentum longitudinal posterior berjalan di bagian posterior corpus
vertebrae, yang juga turut membentuk permukaan anterior kanalis spinalis. Ligamentum tersebut melekat sepanjang
kolumna vertebralis, sampai di daerah lumbal yaitu setinggi L 1, secara progresif mengecil, maka ketika mencapai L 5 –
S ligamentum tersebut tinggal sebagian lebarnya, yang secara fungsional potensil mengalami kerusakan. Ligamentum
yang mengecil ini secara fisiologis merupakan titik lemah dimana gaya statistik bekerja dan dimana gerakan spinal yang
terbesar terjadi, disitulah mudah terjadi cidera kinetik.

Bangunan anatomis vertebrae yang sensitive terhadap rasa nyeri:

 PLL = Ligamentum posterior longitudinalis


 VB = badan vertebrae
 FA = facet artikulasi
 NR = Nerve root

Semua ligamen, otot, tulang dan facet join adalah struktur tubuh yang sensitive terhadap rangsangan nyeri, karena
struktur persarafan sensoris. Kecuali ligament flavum, discus intervertebralis dan Ligamentum interspinosum ; karena
tidak dirawat oleh saraf sensoris. Dengan demikian semua proses yang mengenai struktur tersebut di atas seperti
tekanan dan tarikan dapat menimbulkan keluhan nyeri. Bila seseorang membungkuk untuk mencoba menyentuh lantai
dengan jari tangan tanpa fleksi lutut, selain fleksi dari lumbal harus dibantu dengan rotasi dari pelvis dan sendi koksae.
Perbandingan antara rotasi pelvis dan fleksi lumbal disebut ritme lumbal-pelvis. Secara singkat punggung bawah
merupakan suatu struktur yang kompleks; dimana tulang vertebrae, discus intervertebralis, ligamen dan otot akan akan
bekerjasama membuat manusia tegak, memungkinkan terjadinya gerakan dan stabilitas. Vertebrae lumbalis berfungsi
menahan tekanan gaya static dan gaya kinetik (dinamik) yang sangat besar maka dari itu cenderung terkena
rudapaksadancedera.
RADIKULOPATI

Definisi:

Radikulopati merupakan keadaan terjadinya herniasi yang mengenai radiks atau serabut saraf, yang sesuai
dengan distribusi serabut sarafnya (dermatom) dan menyebabkan nyeri radikuler, dapat disertai dengan paresthesia
dan rasa raba yang berkurang, gangguan motorik (kram, atropi dan refleks fisiologi yang menurun). Radikulopati
dapat terjadi secara spontan atau dengan trauma.

Klasifikasi:

1. Radikulopati servikal: Nyeri menjalar dari leher sampai lengan bawah. Namun terasa lebih nyeri pada lengan
(brachialgia).
2. Radikulopati lumbal: Nyeri menjalar dari pinggang ke tungkai. Terasa lebih nyeri di tungkai (sciatica).

Etiologi:

Keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya radikulopati terutama pada radiks , antara lain :

1. Tumor
2. herniasi diskus lumbal
3. trauma
4. spondilitis
5. Sindrom kauda.
Radiks anterior dan posterior bergabung menjadi satu berkas di foramen intervertebral yang disebut saraf
spinal. Baik iritasi pada serabut – serabut saraf sensorik di bagian radiks posterior maupun dibagian saraf spinal itu
membangkitkan nyeri radikular yaitu nyeri yang terasa berpangkal pada tingkat tulang belakang tertentu dan menjalar
sepanjang kawasan dermatomal radiks posterior yang bersangkutan
Diskus pada daerah lumbalis menyebabkan iritasi radiks saraf yang terasa sebagai nyeri dan parestesia pada
segmen yang berkaitan. Kerusakan yang lebih berat dari radiks, menyebabkan defisit sensorik dan motorik segmental.
Sindrom lesi yang terbatas pada masing – masing radiks lumbalis :
o L3 : nyeri, kemungkinan parestesia pada dermatom L3; paresis otot kuadriseps femoris; fefleks patela menurun
atau menghilang
o L4 : nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom L4; paresis otot kuadriseps dan tibialis
anterior; refleks patela berkurang
o L5 : nyeri, kemungkinan parestesia atau hipalgesia pada dermatom L5; paresis dan kemungkinan atrofi otot
ekstensor halusis longus, seperti juga otot ekstensor digitorum brevis; tidak ada refleks tibialis posterior
o S1 : nyeri, kemungkinan parestesis atau hipalgesia pada dermatom S1; paresis otot peronealis dan triseps surae;
hilangnya refleks tendon Achilles

Patofisiologi

Kontruksi punggung yang unik dapat memungkinkan fleksibilitas sementara yang dapat melindungi sumsum
tulang belakang secara maksimal. Lengkungan tulang belakang akan mengalami guncangan vertikal pada saat
berlari atau melompat. Batang tubuh membantu menstabilkan tulang belakang. Otot- otot abdominal dan toraks
sangat penting pada aktivitas mengangkat beban. Bila tidak pernah dipakai akan melemahkan struktur pendukung
ini. Obesitas, masalah postur, dan peregangan berlebihan pendukung tulang belakang dapat berakibat nyeri
punggung.

Diskus intervertebralis akan mengalami perubahan sifat ketika usia bertambah tua. Pada orang muda, diskus
tersusun atas fibrokartilago dengan matriks gelatinus. Pada lanjut usia akan menjadi fibrokartilago yang padat dan
tidak teratur. Penonjolan diskus atau kerusakan sendi dapat mengakibatkan penekanan pada akar saraf ketika keluar
dari kanalis spinalis, yang mengakibatkan nyeri yang menyebar sepanjang saraf.
Herniasi diskus intervertebra lumbal, sering terjadi pada daerah L4-L5 dan L5-S1. L5 sering terkena karena
mempunyai diameter radiks paling besar dan foramen intervertebranya lebih sempit daripada lumbal lainnya. Pada
proses penuaan pada diskus intervebralis, maka kadar cairan dan elastisitas diskus akan menurun. Keadaan ini
mengakibatkan ruang diskus intervebralis makin menyempit, “facet join” makin merapat, kemampuan kerja diskus
menjadi makin buruk, annulus menjadi lebih rapuh.

Akibat proses penuaan ini mengakibatkan seorang individu menjadi rentan mengidap nyeri punggung bawah.
Gaya yang bekerja pada diskus intervebralis akan makin bertambah setiap individu tersebut melakukan gerakan
membungkuk, gerakan yang berulang-ulang setiap hari yang hanya bekerja pada satu sisi diskus intervebralis, akan
menimbulkan robekan kecil pada annulus fibrosus, tanpa rasa nyeri dan tanpa gejala prodromal.

Jika terdapat penonjolan di lateral diskus radik L4-L5, dapat mempengaruhi daerah nervus L5 saja, tidak daerah
L4. Namun jika terjadi di lateral diskus L5-S1, maka akan mengenai nervus daerah S1 saja.
Dan jika terdapat penonjolan pada bagian tengah diskus L4-L5, maka akan berefek pada L5, S1, S2, S3, bahkan
nervus sacral lainnya, tetapi tidak mengenai L4.

Gejala klinik:

 Sindrom kauda ekuina


Penyakit ini sangat penting dan serius terjadi ketika satu discus menonjol/membengkak atau herniasi yang
terlalu besar, dibawah medulla spinalis yang berhenti pada L1-L2. walaupun potensial untuk permasalahan
serupa terjadi dimanapun di bawah T10. Sistem syaraf ini memegang kendali untuk bagian tubuh abdominal
dan pelvis serta extremeties bawah. Tanda dan gejala yang menandakan terlibatnya radiks saraf panjang yang
membentuk kauda ekuina. Paling sering disebabkan oleh tumor, seperti ependimoma dan lipoma. Penderita
dengan kompresi kauda ekuina menunjukkan kompleks keluhan berupa nyeri pinggang, siatika bilateral,
anestesi sadel atau inkvtinensia urinae et alvi.
Gejala red flag tanda bahaya yang mencakup:
1. Nyeri pada kedua kaki
2. Kelemahan dan kelumpuhan dari kedua
kaki
3. Anestesi saddle
4. Gangguan BAK/BAB
Bila ada kombinasi faktor-faktor ini jadi jelas
dalam satu riwayat penyakit pasien, adalah penting
bahwa pasien adalah menunjuk dengan segera ke rumah
sakit untuk satu keadaan darurat MRI. Mereka mungkin
sedang berada dalam satu kelumpuhan timebomb.

 HNP ( Hernia nukleus pulposus)


merupakan rupturnya nukleus pulposus.
- Nyeri pinggang dengan iskialgia
-Nyeri timbul spontan atau provokasi
-Nyeri punggung bawah yang berat, kronik dan berulang (kambuh).

Kelainan tulang belakang seperti hernia nukleus pulposus atau diskus


hernia, stenosis kanalis, spondylolisthesis dapat mengganggu jalan radiks dan saraf spinal, sehingga menimbulkan
nyeri.
Tipe – tipe nyeri pinggang :
1. Nyeri pinggang yang berasal dari stuktur lumbosakral
Nyeri yang berasal dari stuktur ini menetap dan kurang jelas terlokalisir, tapi sering dirasakan sekitar daerah
yang terkena. Bila berat akan disertai spasme otot sekitarnya dan ini akan menambah nyeri. Pasien mengenal
posisi mana yang enak dan yang menimbulkan nyeri. Tekanan dan ketokan pada daerah lesi menimbulkan
nyeri.
2. Nyeri yang berasal dari spasme otot, sifatnya seperti menekan dan otot terasa kram dan nyeri, kadang – kadang
dapat diraba benjolan dan kontraksi otot lokal.
3. Nyeri rujukan dapat berupa nyeri tulang belakang dirujuk ke struktur extravertebral, misalnya daerah pantat dan
otot fleksor tungkai bawah atau nyeri dari organ abdominal dan pelvis ( ovarium, uterus, prostat, colon ) dirujuk
ke pinggang. Sifat nyeri ini biasanya difus, kadang – kadang lebih ke permukaan atau seperti di bakar.
Intensitas nyeri sesuai dengan beratnya lesi primernya.
4. Nyeri yang berasal dari radiks atau saraf spinal, biasanya lebih hebat dari nyeri rujukan dan mempunyai sifat
menjalar baik dari proksimal ke distal atau sebaliknya. Nyeri bersifat tajam dan diperhebat oleh gerakan, batuk,
mengedan, atau nyeri. Ini dapat terjadi atas latar belakang nyeri yang samar – samar sebelumnya.
Dx : EMG, Myelografi, MRI
Tx : - Istirahat
- Medikasi dan fisioterapi
- Operasi atas indikasi
 Stenosis lumbal

-Keluhan khas : klaudikasio neurogenik

-Membaik dengan duduk / berbaring

-Dx : x-foto, myelografi, MRI

-Tx : - Analgesik

- Fisioterapi

- Pembedahan

 Tumor kauda ekuina


Lesi dapat menyebabkan nyeri radikular yang dalam., kelemahan dan atrofi dari otot-otot termasuk gluteus, otot
perut, gastrocnemius, dan otot anterior tibialis. Refleks APR mungkin menghilang, muncul gejala-gejala sfingter dini
dan impotensi. Tanda-tanda khas lainnya adalah nyeri tumpul pada sakrum dan perineum yang kadang-kadang menjalar
ke tungkai. Paralisis flaksid terjadi sesuai dengan radiks saraf yang terkena dan terkadang asimetris. Refleks lain dapat
terpengaruh tergantung letak lesi.

Pemeriksaan fisik

Anamnesis dan pemeriksaan fisis

Pasien datang dengan nyeri pinggang

Penyebab mekanis Penyebab sistemik(peradangan) Sindrom kauda ekuina


Gejala klinis: 1.kaku dominan (Penekanan kauda ekuina)
1.Onset mendadak 2.Onset bertahap→progresif 1.Persisten +progresif
2.berkurang dengan istirahat 3. Nyeri meningkat dgn istirahat 2.Nyeri tungkai saat berjalan
3.Gejala unilateral 4.Tulang belakang kaku 3.denyut nadi tungkai N
4.meningkat bila batuk,bersin 5.Restriksi simetris(nyeri sendi- 4.Nyeri berkurang bila
5.riwayat nyeri punggung bawah -sakroiliaka) membungkuk ke depan
5.gejala neurologis, berupa:
< 55 th, ada riwayat Onset baru - Gangguan BAK/BAB
>55 th/<20th Pemeriksaan penunjang: - Parapresis
-Lab darah (LED, CRP)
Berikan percobaan terapi - Leukosit, Hb
-Foto polos, MRI, CT scan MRI vertebra L/S
Tinjau setelah 3bulan

90% baik 10% simtomatik Diagnosis: Intervensi bedah


1.Neoplasia
? tanda baru cari penyebab 2.Paget desease
Mencurigakan lain 3.Abses epidural

Pemeriksaan penunjang
Dan terapi yg sesuai

Radikulopati servikal

Perhatikan sikap tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit. Bagaimana posisi kepala dan leher selama
wawancara. Biasanya pasien menekukkan kepala menjauhi sisi yang cedera dan leher terlihat kaku. Gerak leher
ke segala arah menjadi terbatas, baik yang mendekati maupun menjauhi sisi cedera.

Radikulopati lumbal

Lihat cara berjalan, cara berdiri pasien.


Keterangan: Penekanan saraf pada vertebra lumbosakral:

1. Kelemahan dorsofleksi jempol kaki → yang terkena pada diskus L4-L5 radiks L5.
2. Kelemahan fleksi plantar → kena pada diskus L5-S1 radiks s1 (tidak ada refleks tendon
achiles)

 Motorik

Radikulopati lumbal

 Dicari apakah ada paresis, atrofi dan fasikulasi otot


 Pemeriksaan reflex
 Tes untuk mereganggakan n. ischiadicus

1. Tes Laseque : Positif bila timbul rasa nyeri sepanjang n.ischiadicus pada sudut kurang dari 90 oC.

Gambar tes laseque

2. Tes braghard, merupakan modifikasi dari tes laseque dan lebih sensitive. Hanya saja pada saat mengangkat
tungkai disertsi dorsofleksi.
Gambar pemeriksaan braghard

 Sensorik
Penting dicatat bila ada gangguan sensorik dengan batas jelas. Namun seringkali gangguan sensorik tidak sesuai
dermatomal atlas anatomik.
Hal ini disebabkan oleh adanya daerah persarafan yang bertumpang tindih satu sama lain. Pemeriksaan ini juga
menunjukkan tingkat subyektivitas yang tinggi.

Pemeriksaan penunjang

(1). Pemeriksaan Laboratorium :

- darah rutin, kimia darah,

- pemeriksaan serologi, faktor genetik, tumor marker

(2). Pemeriksaan Radiologi

- Foto Rontgen lumbo sacral : memperlihatkan erubahan degenerative pada tulang belakang

-mielografi dan CT scan : jika gejala klinis dan patologiknya tidak kelihatan dengan MRI

-MRI : untuk melokalosasi protrusi diskus kecil sekalipun, terutama untuk penyakit spinal lumbal

(3). Pemeriksaan Fisiologi

- Elektromiografi (EMG)
Pemeriksaan EMG membantu mengetahui apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien
dengan spasme otot, artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain itu juga untuk menentukan level dari
iritasi/kompresi radiks , membedakan lesi radiks dan lesi saraf perifer, membedakan adanya iritasi atau kompresi .

Penatalaksanaan

Terapi konservatif
Bertujuan mengurangi iritasi saraf, memperbaiki kondisi fisik pasien dan melindungi serta meningkatkan
fungsi tulang punggung secara keseluruhan.

Tirah baring : Pasien harus tetap berbaring selama beberapa hari dengan posisi tertentu. Tempat tidur tidak
boleh memakai pegas atau per, tempat tidur harus dari papan yang lurus dan kemudian ditutup dengan
lembar busa tipis.

Medikamentosa:

1. Analgetik dan OAINS : untuk mengurangi nyeri Analgetik :


tramadol, paracetamol OAINS : Natrium diklofenak

2. Analgetik adjuvant : terutama pada nyeri pinggang kronis


Contoh : Carbamazepin

3. Opioid : kurang efektif dan menimbulkan toleransi dan ketergantungan, contoh : morfin

4. Muscle relaxan, contoh : Esperidon

5. Kortikosteroid oral : untuk mengurangi inflamasi jaringan

6. Suntikan pada titik picu : dengan memberikan suntikan campuran anastetik local dengan
kortikosteroid kedalam jaringan lunak atau otot pada titik picu disekitar tulang punggung. Contoh:
Lidokain, Metilprednisolon.

Terapi fisik

1. Traksi pelvis : dilakukan dengan memberikan beban tarikan tertentu sepanjang sumbu kolumna
vertebralis

2. Ultra Sound Wave(USW) diatermi, kompres panas/ dingin. Bertujuan untuk mengurangi keluhan nyeri
dengan cara mengurangi peradangan dan spasme otot

3. Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS). Menggunaka alat dengan baterai kecil,
bertujuan member rangsang listrik terus-menerus melalui electrode yang dipasang pada kulit.
Diharapkan akan terjadi aliran stimulasi yang melawan terhadap susunan saraf pasien sehingga
mengurangi persepsi nyeri.

4. Korset lumbal dan penompang lumbal lain


5. Latihan dan modifikasi gaya hidup:
- mengurangi BB
- Latihan aerobic yang member stress minimal pada punggung, seperti :Jalan, bersepeda atau renang

Terapi bedah

Tujuan : Mengurangi tekanan pada radiks saraf untuk mengurangi nyeri dan mengubah defisit neurologik.
Perlu dipertimbangkan bila :

1. Setelah satu bulan dirawat secara konservatif tidak ada kemajuan

2. Ischialgia yang berat

3. Ischialgia menetap

4. Ada bukti klinik terganggunya radik saraf

5. Ada paresis otot tungkai bawah

6. Ada gangguan miksi, defekasi, dan seksual

Macam – macam :
a. Disektomi : Mengangkat fragmen herniasi atau yang keluar dari diskus intervertebral
b. Laminektomi : Mengangkat lamina untuk memajankan elemen neural pada kanalis spinalis, memungkinkan ahli
bedah untuk menginspeksi kanalis spinalis, mengidentifikasi dan mengangkat patologi dan menghilangkan kompresi
medula dan radiks
c. Laminotomi : Pembagian lamina vertebra.
d. Disektomi dengan peleburan.

PEMBAHASAN SINDROM METABOLIC

Definisi

Sindrom metabolik adalah gangguan metabolisme sebagai akibat dari peningkatan prevalensi obesitas.
Secara patofisiologi sebagian besar disebabkan adanya resistensi insulin dgn aliran asam lemak yang
berlebihan .
Sindrom metabolik dikenal juga sebagi sindrom X dan sindrom resistensi insulin
kelainan metabolik yang dimaksud termasuk intoleransi glukosa (diabetes tipe 2, gangguan
toleransi glukosa, atau glukosa puasa terganggu),resistensi insulin, obesitas sentral, dislipidemia,
danhipertensi, semua itu merupakan faktor-faktor risikopenyakit kardiovaskuler.

Prevalensi

Prevalensi sindrom metabolik bervariasi tergantung devinisi yg digunakan dan populasi yg diteliti.
Data dari the third naional health and nutrition examination survey(1988-1994) dengan kriteria NCEP-ATP
III, 16% laki-laki kulit hitam, 37 % wanita. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya usia dan BB

Perbandingan definisi

Epidemiologi
Sindrom metabolik adalah kelompok gejala abdominal, dislipidemia, hiperglikemia, dan hipertensi. Sindrom
ini merupakan kondisi yang sering ditemukan pada dewasa. Peningkatan prevalensi sindrom metabolik pada
anak dan remaja sejalan dengan peningkatan prevalensi obesitas.

Angka kejadian overweight dan obesitas anak secara global meningkat dari 4,2% pada tahun 1990 menjadi
6,7% pada tahun 2010. Kecenderungan ini diperkirakan akan mencapai 9,1 % atau 60 juta ditahun 2020. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 Kementerian Kesehatan, secara nasional menunjukkan bahwa masalah
overweight dan obesitas pada anak umur 5-12 tahun berturut-turut 10,8% dan 8,8%, sudah mendekati
perkiraan angka dunia di tahun 2020. Penelitian di Jakarta (2011) menunjukkan bahwa komorbiditas
dislipidemia (52%) dan resistensi insulin (35,6%) sudah ditemukan pada anak usia 5-9 tahun yang
superobes.Hal tersebut menyebabkan deteksi dini dan tata laksana yang tepat sindrom metabolik pada anak
dan remaja merupakan prioritas dalam sistem pelayanan kesehatan.

Prevalensi sindrom metabolik berkisar 2–9,4% pada remaja dan 12,4 – 44,2% pada remaja obes di Amerika
Serikat berdasarkan National Health and Nutrition Examination Survey1999–2002, tergantung deinisi yang
digunakan, sedangkan penelitian de Armas dkk mendapatkan prevalensi sindrom metabolik pada anak dan
remaja obes di Spanyol 19,6% dengan menggunakan kriteria International Diabetes Federation (IDF). Tiga
penelitian mengenai prevalensi sindrom metabolik pada anak overweight dan obes telah dilakukan di
Indonesia, yaitu 2 penelitian menggunakan kriteria National Cholesterol Education Program–Adult
Treatment Panel III (NCEP–ATP III) dan 1 penelitian menggunakan kriteria IDF .Penelitian di Jakarta
mendapatkan prevalensi sindrom metabolik 34% pada 50 remaja obes berusia 10-19 tahun.Penelitian di
Manado mendapatkan prevalensi sindrom metabolik lebih rendah yaitu 23% pada anak remaja overweight dan
obes berusia 10-14 tahun, yaitu 1 dari 30 subjek overweight dan 13 dari 30 subjek obesitas. Kedua penelitian
tersebut menggunakan kriteria NCEP– ATP III. Sementara itu, penelitian lainnya yang juga dilakukan di
Jakarta mendapatkan prevalensi sindrom metabolik 19,6% pada 92 remaja obes berusia 12-15 tahun dengan
menggunakan kriteria IDF.

Peningkatan prevalensi sindrom metabolik pada anak dan remaja menyebabkan kekhawatiran terjadinya
epidemi penyakit kardiovaskular di masa mendatang pada kelompok usia tersebut. Terdapat bukti bahwa
remaja obes tunika intima media karotis yang lebih tebal dibandingkan remaja dengan berat badan normal.

Sampai saat ini, belum ada deinisi yang seragam mengenai diagnosis sindrom metabolik pada anak dan
remaja. Peningkatan prevalensi sindrom metabolik, khususnya pada anak obes, melatarbelakangi penyusunan
konsensus sindrom metabolik untuk anak dan remaja di Indonesia. Konsensus ini diperlukan untuk deteksi
dan tata laksana dini sindrom metabolik yang optimal pada anak dan remaja. Tentunya, diperlukan penelitian
lebih lanjut tentang penggunaan konsensus ini pada populasi anak dan remaja Indonesia untuk
penyempurnaan konsensus ini di kemudian hari.

Faktor risiko
Faktor risiko penyebab sindrom metabolik adalah sebagai berikut:

• Pola makan

• Gaya hidup kurang gerak (sedentary lifestyle)

• Faktor genetik dan lingkungan

• Etnisitas

• Paparan asap rokok

Patofisiologi
Etiologi sindrom metabolik belum dipahami seluruhnya, akan tetapi resistensi insulin dan hiperinsulinemia
diduga menjadi penyebab berkembangnya sindrom metabolik dan berperan dalam patogenesis masing-masing
komponennya. Walaupun resistensi insulin tampak mempunyai peranan penting dalam mekanisme yang
mendasari sindrom metabolik, tidak seluruh individu dengan resistensi insulin berkembang menjadi sindrom
metabolik. Hal ini menunjukkan bahwa faktor lain mungkin berkontribusi dalam patogenesis sindrom
metabolik. Obesitas, khususnya obesitas abdominal atau viseral, mediator inlamasi, adipositokin, kortisol,
stres oksidatif, predisposisi genetik, dan karakteristik gaya hidup seperti aktivitas isik dan diet diduga terlibat
dalam patoisiologi sindrom metabolik.Asupan kalori yang berlebihan dan gaya hidup kurang gerak (sedentary
lifestyle) menyebabkan kelebihan energi disimpan sebagai lemak. Depot jaringan lemak mempunyai fungsi
metabolik yang berbeda. Lemak viseral (dibandingkan dengan lemak subkutan), ukuran partikel kolesterol
(low-density lipoprotein/ LDL dan high-density lipoprotein/ HDL) yang lebih kecil, dan peningkatan jumlah
partikel kolesterol (LDL dan very low-density lipoprotein/ VLDL) berkaitan dengan resistensi insulin yang
lebih tinggi. Pada individu yang rentan, ketidakmampuan sel ß untuk mengompensasi resistensi insulin
mengakibatkan hipoinsulinemia relatif, peningkatan aktivitas hormon sensitif lipase, dan lipolisis trigliserida
berlebihan dari adiposit, terutama yang berasal dari lemak abdominal, dengan pelepasan asam lemak
bebas/free fatty acids (FFA) berlebihan.
Asam lemak bebas yang berlebihan masuk ke dalam hati melalui sirkulasi portal untuk disimpan sebagai
trigliserida dan merangsang hati untuk membentuk VLDL yang selanjutnya mengakibatkan
hipertrigliseridemia. Pertukaran trigliserida dari kolesterol dengan cholesteryl ester dari kolesterol HDL yang
dimediasi oleh cholesteryl ester transfer protein, selanjutnya menghasilkan klirens HDL yang cepat.
Kelebihan trigliserida juga akan ditransfer ke LDL yang kemudian menjadi substrat untuk enzim hepatik
lipase. Proses lipolisis trigliserida tersebut selanjutnya menghasilkan partikel LDL berukuran kecil (small
dense LDL). Small dense LDL bersifat lebih aterogenik dibandingkan subkelas LDL yang lebih besar serta
lebih rentan terhadap oksidasi dan penyerapan ke dalam dinding pembuluh darah arteri. Secara klinis,
dislipidemia pada obesitas ditunjukkan sebagai hipertrigliseridemia, kadar kolesterol HDL yang rendah, dan
peningkatan rasio small dense LDL/kolesterol LDL.

Peningkatan aliran FFA ke jaringan perifer juga menghambat sinyal insulin. Adanya resistensi insulin hepatik
dan jumlah FFA yang besar menyebabkan proses glukoneogenesis meningkat yang berkontribusi terhadap
hiperglikemia. Resistensi insulin mioselular juga mengakibatkan penurunan penggunaan glukosa perifer.
Sejalan dengan waktu, sel ß pankreas berusaha melakukan dekompensasi terhadap peningkatan kebutuhan
insulin dalam mengatasi resistensi insulin yang akhirnya mengakibatkan DMT2.Penyebab hipertensi adalah
multifaktorial, yaitu: (1) disfungsi endotel yang disebabkan oleh FFA dan diperantarai oleh reactive oxygen
species (ROS), (2) hiperinsulinemia yang diinduksi oleh aktivasi sistem saraf pusat, (3) inhibisi sintesis nitric
oxide, (4) sitokin yang diperoleh dari jaringan lemak, dan (5) hiperaktivitas sistem renin-angiotensin-
aldosteron (RAA) pada obesitas.Kondisi hipertrigliseridemia, penurunan kolesterol HDL, DMT2, dan
hipertensi yang timbul akibat peningkatan FFA tersebut akan menyebabkan penyakit kardiovaskular
C. Tata laksana

1. Gaya hidup sehat (healthy lifestyle) yang terdiri dari nutrisi dan aktivitas fisik

2. Farmakoterapi

Sampai saat ini, tidak ada rekomendasi khusus untuk penggunaan terapi farmakologi pada anak dan remaja
dengan sindrom metabolik. Statin maupun obat antihipertensi dipertimbangkan pada kasus yang berisiko
sangat tinggi dan tidak memberikan respons terhadap modiikasi gaya hidup. Metformin dapat
dipertimbangkan sebagai terapi tambahan disamping perubahan gaya hidup pada kasus tertentu.

a. Statin

Pemberian terapi farmakologi yang bertujuan untuk menurunkan kadar LDL darah diberikan pada anak dan
remaja yang mempunyai risiko tinggi setelah tata laksana dengan diet dan aktivitas isik tidak berhasil. Tata
laksana dislipidemia pada anak dan remaja saat ini menggunakan algoritme berdasarkan NCEP expert panel
on blood cholesterol levels in children and adolescentsatau Holmes dkk.Apabila anak dan remaja mempunyai
kadar proil lipid- lipoprotein darah puasa abnormal, proil lipid-lipoprotein darah harus diulang untuk
memastikan kadar yang abnormal (borderline atau tinggi) tersebut. Interval untuk mengulang pemeriksaan
proil lipid-lipoprotein minimal tiga minggu menurut Holmes dkk, dan Kwiterovich, atau enam minggu
menurut NCEP expert panel on blood cholesterol levels in children and adolescents.

Tata laksana dislipidemia lebih lanjut pada anak dan remaja diberikan berdasarkan kadar kolesterol LDL
darah puasa yaitu, (1) edukasi mengenai makanan dan faktor risiko, pemantauan dalam lima tahun dilakukan
jika kadar kolesterol LDL darah normal (< 110 mg/dL), (2) edukasi mengenai faktor risiko dan diet NCEP
step I, evaluasi ulang kadar lipid-lipoprotein setelah satu tahun dilakukan jika kadar kolesterol LDL darah
borderline (110-129 mg/dL). Pada keadaan ini, tata laksana dislipidemia ditujukan untuk mencapai kadar
kolesterol LDL darah normal, sedangkan obat penurun kadar lipid darah tidak diindikasikan pada anak dan
remaja, serta (3) pemberian diet NCEP step I, skrining dislipidemia pada orangtua dan saudara sekandung,
perubahan gaya hidup, serta menyingkirkan penyebab sekunder dislipidemia, seperti gangguan tiroid, hati,
dan ginjal dilakukan jika kadar kolesterol LDL darah tinggi (≥ 130 mg/dL).

Proil lipid-lipoprotein darah harus diulang setelah tata laksana dislipidemia dilakukan minimal tiga bulan.
Apabila kadar kolesterol LDL darah < 130 mg/dL, anak dan remaja dapat meneruskan diet yang sama dan
pemeriksaan proil lipid-lipoprotein darah diulang setelah satu tahun. Anak dan remaja yang masih
mempunyai kadar kolesterol LDL darah > 130 mg/dL harus memulai diet NCEP step II, selanjutnya
pemeriksaan proil lipid-lipoprotein darah diulang minimal tiga bulan. Pada keadaan kadar kolesterol LDL
darah tetap > 130 mg/dL dengan diet NCEP step II, anak dan remaja harus meneruskan diet NCEP step II dan
perubahan gaya hidup, dengan atau tanpa obat penurun kadar lipid darah.21-25

Pemberian terapi farmakologik dapat dipertimbangkan apabila (1) konsentrasi kolesterol LDL darah tetap >
190 mg/dL setelah dilakukan terapi diet pada subjek yang tidak mempunyai faktor risiko penyakit jantung
koroner (PJK),(2) konsentrasi kolesterol LDL darah tetap > 160mg/dL setelah dilakukan terapi diet pada
subjek yang mempunyai faktor risiko lain, seperti obesitas, hipertensi, merokok, atau mempunyai riwayat
keluarga dengan PJK dini, atau (3) konsentrasi kolesterol LDL darah ≥ 130 mg/dL pada anak dengan diabetes
melitus.

Penelitian yang dilakukan di Jakartamenyarankan untuk memberikan terapi farmakologik pada remaja obes
jika tata laksana laksana diet dan aktivitas isik selama 28 hari tidak dapat memperbaiki dislipidemia. Hal ini
didasarkan bukti bahwa intervensi latihan isis dan diet NCEP step II selama 28 hari memberikan respon yang
berbeda tergantung polimorisme apolipoprotein (apo) E . Hasil penelitian ini memperpendek waktu untuk
memulai pemberian terapi farmakologik pada remaja dengan dislipidemia dibandingkan dengan NCEP expert
panel on blood cholesterol levels in children and adolescents21 atau Holmes dkk.22

Terapi farmakologi yang diberikan pada anak dan remaja adalah golongan 3-hydroxy-3-methyl-glutaryl
coenzyme A reductase inhibitors (statin) yang dimulai setelah menstruasi pada anak perempuan dan Tanner II
pada anak laki-laki atau usia 10 tahun.23-25,28 Apabila dislipidemia menetap setelah pemberian terapi
modiikasi gaya hidup dan farmakologik, pasien harus segera dirujuk ke Spesialis Anak Konsultan terkait.

b. Tata laksana hipertensi Pengobatan non-farmakologis:

• Mengubah kebiasaan

• Pengobatan tahap awal hipertensi pada sindrom metabolik adalah seiring dengan tata laksana kondisi
dasarnya, yaitu penurunan berat badan, diet rendah lemak dan garam, olahraga secara teratur, ditambah
dengan menghilangkan kebiasaan tidak sehat, misalnya berhenti merokok dan minum alkohol. Diet rendah
garam yang dianjurkan adalah 1,2 g/hari (4-8 tahun) dan 1,5 g/hari untuk anak lebih besar.

Pengobatan farmakologis:

• Hipertensi simtomatik

• Ada kerusakan organ (retinopati, hipertroi ventrikel kiri, proteinuria)

• Hipertensi sekunder

• Diabetes Mellitus

• Hipertensi derajat 1 yang tidak respon dengan terapi non-farmakologis

• Hipertensi derajat 2Obat

c. Metformin

Modiikasi gaya hidup, menurunkan asupan kalori, dan meningkatkan aktivitas isik masih merupakan tata
laksana terpenting sindrom metabolik. Namun, beberapa systematic review menunjukkan bahwa penggunaan
metformin 1000-2000 mg per hari dalam dosis terbagi dua selama 6-12 bulan dapat sedikit menurunkan IMT
dan memperbaiki sensitivitas insulin pada anak dan remaja yang mengalami obesitas dan resistensi insulin.

D. Prognosis

Komponen sindrom metabolik dapat mengalami perbaikan dengan tata laksana yang memprioritaskan
program tata laksana berat badan yang intensif, disamping modiikasi gaya hidup dan tata laksana faktor risiko
klinis lain terkait dengan penyakit kardiovaskular.

F. Pemantauan

Pemantauan yang dilakukan adalah:

• Penerapan healthy lifestyle.

• Indeks Massa Tubuh (IMT) terhadap umur dan lingkar pinggang


• dievaluasi setiap sebulan sekali.

• Pemantauan dislipidemia dilakukan setiap bulan sampai nilai normal.

Daftar Pustaka
1. World Health Organization. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and Its
Complication. Part 1: Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Geneva: World Health Organization;
1999.

2. Grundy, SM, et al. Obesity, Methabolic Syndrome, and Cardiovascular Disease. The Journal of Clinical
Endocrininology& Metabolism. 2004;89(6):2595-600.

3. Isomaa B et al. Cardiovascular Morbidity and Mortality Associated with The Metabolic
Syndrome.Diabetes Care. 2001;24:683-9.

4. Pitsavos, C. et al. Diet, Exercise and Metabolic Syndrome. The Review of Diabetic Studies: DOI 10. 1900?
RDS.2006; 3: 118. Available at : www. The-RDS.org. Diaksespada 10 Desember, 2008.

5. Shahab, A. SindromMetabolik. Media InformasiIlmuKesehatandanKedokteran. 2007. Tersedia di: http:/


alwia.com. Diaksespada 24 Januari, 2009.

6. Angraeni, D. MewaspadaiAdanyaSindromMetabolik. 2007. Tersediadi :http://labcito. co.i d. Diaksespada


24 Desember, 2008.

7. Tjokroprawiro A. New Approach in The Treatment of T2DM and Metabolic Syndrome. The Indonesian
Journal of Internal Medicine. 2006; 38:160-6.

8. Shemiardji, G. The Significant of Visceral Fat in Metabolic Syndrome. Diabetes Meeting, Jakarta,
Indonesia, 9-10 Oktober 2004.

9. Widjaya A, et al. ObesitasdanSindromMetabolik.Forum Diagnosticum. 2004;4:1-16.

10. Furukawa S, Fujita T, Shimabukuro M. Increased Oxidative Stress in Obesity and Its Impact on Metabolic
Syndrome. J Clin Invest 2004;114:1752–61.
11. MajalahFarmacia, 2007. Stress Oksidatif, FaktorPentingPenyulit Vascular.
Tersediadi :www.combiphar.com/ahp. Diaksespada 2 Januari, 2009.

12. Mahan, Kathleen, L., & Sylvia E. Krause’s Food Nutrition and Diet Therapy. 11st ed. USA: WB.
Saunders Company; 2003.

13. Marti A, Moreno-Aliaga MJ, Hebebrand J, Martinez JA. Alberti KGM, Zimmet PZ. Definition, Diagnosis
and Classification of Diabetes Mellitus and Its Complication. Diabet Med1998;15: 539–53.

14. Adrianjah, H dan Adam, J., 2006. SindromaMetabolik: Pengertian, Epidemiologi, danKriteria Diagnosis.
InformasiLaboratoriumProdia2006;(4).

15. IDF. The IDFConcencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome. 2005. Tersedia di:
www.idf.org. Diaksespada 20 Januari, 2009.

16. Dariyo. Psikologis Perkembangan Remaja. Jakarta: Ghalia Indonesia; 2004.

17. Crawford, D. Jeffery, RW et al. Obesity Prevention and Public Health. New York: Oxford University
Press; 2005.

18. Adiatmaja, I. AnalisisFaktorRisiko yang BerpengaruhterhadapSkorKardiovaskular Jakarta danSkor


Framingham padaPekerja PT X – Jakarta (Tesis). Jakarta: Universitas Indonesia; 2004.

19. Gabir, M., et al. Plasma Glucose and Prediction of Microvascular Diseases and Mortality ;Evaluation of
1997 America Diabetes Association and 1999 World Heart. Organization Kriteria for Diagnosis of Diabetes.
2000;22:399-402

20. Chen et al. Trends and Social Factors in Blood Pressure Control in Scottish Monica Surveys 1986-1995:
The Rule of Halves Revisited. J Of Human Hypertension.2003; 17: 751-9.

21. Davidson MB. Clinical Implications of Insulin Resistance Syndromes. Am J of Med 1995;99:420-6.

22. Zavaroni I, Mazza S, Dall’aglio E, Gasparini P, Passeri M, Reaven GM. Prevalence of


eHyperinsulinaemia in Patients with Hight Blood Pressure. J of int Med. 1992;231:235- 40.

23. Grundy SM, et al., Diabetes and Cardiovaskuler Diseases. A Statement for Healthcare Professional from
The American Heart Association. Circulation 1999;100:1134-46

24. Fattah, M. SindromaMetabolikdanPenandaBaruDisfungsi Endotel: AsimetrikDimetilArginin (ADMA)

danHigh Sensitivity C-Reactive Protein(Hs-

CRP). Forum Diagnosticum2006;(1).

25. National Center for Health Statistics, Centers for Disease Control and Prevention. Tersedia

di:www.cdc. gov/nchs/products/pubs/pubd/ hes tats /obese/obse99.htm.Diaksespada 14 Desember, 2001.

26. Flegal KM et al. Overweight and Obesity in the United States: Prevalence and Trends,

1960-1994. Int J ObesR elat MetabDisord. 1998;22:39-47.

27. Jia, WP. KS Xiang, L. Chen, JX Lu, YM. Wu. Epidemiological Study on Obesity and Its Comorbidities in
Urban Chinese Older than 20 Years of Age in Shanghai China. Obesity Reviews. 2002 ;3:157–65.

28. Marquezine G., F, Oliveira CM, Pereira AC, Krieger JE, Mill JG. Metabolic Syndrome Determinants in
An Urban Population from Brazil: Social Class and Gender-Specific Interaction. Int J Cardiol. 2008;129:259–
65.
29. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the Metabolic Syndrome among US Adults. Findings from
the Third National Health and Nutrition Examination Survey. JAMA. 2002; 287: 356-9.

30. IDF. The IDFConcencus Worldwide Definition of the Metabolic Syndrome. 2005. Tersedia
di :www.idf.org. Diaksespada 20 Januari, 2009.

31. Park, H,S. et al. The Metabolic Syndrome and Associated Lifestyle Factor among South Korean Adults.
International Journal of Epidemiology. 2004; 33: 328-36

Anda mungkin juga menyukai