Anda di halaman 1dari 24

Kebijakan Energi dan

Kedudukan Energi
Terbarukan di Indonesia
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia
Hingga saat ini energi di Indonesia masih bergantung
pada sumber energi konvensional, sedangkan
pemanfaatan energi terbarukan masih terbilang
rendah. Hal ini disebabkan karena permasalahan
implementasi, koordinasi dan belum adanya payung
regulasi untuk mendukung pengembangan energi
terbarukan di Indonesia.
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia
Kedudukan KEN, RUEN, dan RUED dalam
Pengembangan Energi Terbarukan
Untuk mengatasi permasalahan sektor energi di Indonesia atas
dasar Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 tentang Energi,
pemerintah bersama DPR-RI mengamanatkan penyusunan
Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang jelas dan terukur
sebagai pedoman dalam pengelolaan energi nasional dengan
prinsip berkeadilan, berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan
guna terciptanya kemandirian energi dan ketahanan energi
nasional. Kebijakan Energi Nasional (KEN) dirancang dan
dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN) dan melalui
persetujuan DPR-RI, Kebijakan Energi Nasional (KEN)
ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 tahun 2014
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia
KEN menargetkan pemanfatan energi baru dan terbarukan
(EBT) setidaknya mencapai 23% dari bauran energi primer
nasional pada tahun 2025 dan mencapai 31% pada tahun
2050. Sayangnya, pengembangan Energi Baru dan Terbarukan
(EBT) di Indonesia sangat lambat, hingga tahun 2019 peran
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) baru mencapai 9,15% dari
total konsumsi energi nasional. Hal ini disebabkan oleh
berbagai faktor, salah satunya adalah kesenjangan kebijakan dan
regulasi di Indonesia.
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia

Perkembangan Bauran Energi Primer Nasional Tahun 2015-2019


Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia

Kedudukan KEN, RUEN, dan RUED


Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia
Undang-Undang Nomor 30 tahun 2007 juga mengamanatkan
penyusunan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan
Rencana Umum Energi Daerah (RUED) sampai dengan 2050
demi mendukung implementasi KEN. Pada Peraturan Presiden
(Prepres) Nomor 22 Tahun 2017, RUEN menjadi kebijakan
dan penjabaran rencana pelaksanaan Kebijakan Energi
Nasional pemerintah pusat yang bersifat lintas sektor untuk
mewujudkan kemandirian dan ketahanan energi dalam
mendukung pembangunan nasional secara
berkelanjutan. RUEN telah ditandatangani Presiden pada
tanggal 2 Maret 2017.
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia

KEN dan RUEN juga berfungsi sebagai acuan dalam


penyusunan RUED. RUED merupakan kebijakan pemerintah
daerah, baik di tingkat provinsi (RUED-P) maupun
kabupaten/kota (RUED-K) guna mendukung pencapaian
sasaran dari RUEN. RUED menjadi pedoman
pengembangan energi daerah jangka panjang dan
berkelanjutan dengan mengoptimalkan potensi energi di
masing-masing daerah hingga tahun 2050 mendatang. RUED
harus mendapatkan persetujuan dari DPRD kemudian
ditetapkan melalui Perda. RUEN dan RUED idealnya juga
dijadikan pedoman bagi perencanaan sub-sektor energi
seperti Rencana Pengelolaan Migas Nasional dan Rencana
Umum Kelistrikan Nasional
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia
Landasan Hukum dan Perkembangan Penyusunan Perda RUED
Provinsi Tahun 2020
Terdapat empat landasan hukum yang menjadi dasar dalam penyusunan
RUED. Pertama, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi,
Pasal 18, Ayat (1) yang berbunyi, “Pemerintah Daerah menyusun RUED
dengan mengacu pada RUEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat
(1)”. Kedua, Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman
Penyusunan RUEN, Pasal 16, Ayat (1) yang berbunyi “Pemerintah Provinsi
menyusun rancangan RUED Provinsi dengan mengacu pada RUEN”. Lebih
lanjut, dalam Pasal 17, Ayat (1), yang berbunyi “RUED Provinsi ditetapkan
paling lambat satu tahun setelah RUEN ditetapkan”. Ketiga, Peraturan
Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.
Keempat, Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang RUEN, Pasal 3,
Ayat (2) RUEN sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 berfungsi sebagai
pedoman bagi pemerintah provinsi untuk menyusun RUED Provinsi.
Perkembangan Kebijakan Energi dan
Kedudukan Energi Terbarukan di Indonesia

Perkembangan Penyusunan RUED Provinsi


Peluang Bisnis
Energi Biomassa
SUSTAINABLE ENERGY UTILIZATION OUTLINE
65% of power plants needed around the world
in 2030 are yet to be built

Power Generation by Technology & Global Power CO2 Emissions


20

Renewables
000 Btpa Hydro
TWh CO2
Nuclear
Oil

10 Natural Gas
20 Coal

06 Projected
Global Power
CO2 Emissions

0 0
2005 2010 2020 2030
Bio-fuels Policy: Target ends, not means.
Allow markets to pick winners.
Encourage sustainable practice.

Feedstock Primary Storage & Secondary


Conversion Retail End Use
Production Transport Blending Transport

•Encourage new conversion technologies and advanced molecules – by


moving beyond feedstocks and vehicle emissions and avoiding fuel-
specific targets and fixed per-gallon mandates
•Create incentives or obligations based on emission reduction or energy
content rather than volume basis
•Encourage sustainable and responsible production routes
Next generation biofuels

Ethanol / Oily crops


butanol / ? eg jatropha
for gasoline for diesel
woody crops oil crops

•Next-generation bio-components can provide


higher energy content and GHG reductions
•Energy content:
Corn yields 240 gallons an acre; sugarcane 440 gallons per acre
Sunflower yields 75 gallons per acre; jatropha 140-220 gallons per acre; palm oil 450 gallons per
acre
Opportunities to explore woody crops – straw, residues etc
Ligno-cellulosic conversion offers prospect of using entire plant – up to 1200 gal/acre

•GHG benefits:
Biofuels can offer GHG emissions reductions of 20% to 90%, depending on feedstock and
conversion process
Goal should be in upper end of range through high energy feedstock, less intensive cultivation
crops, low carbon conversion processes
15
Substitutability of Biofuels with
Common Petroleum-derived Fuels

Biofuel Petroleum Fuel


Ethanol Gasoline

Butanol Paraffin
Mixed alcohols
Kerosene
Methanol
Diesel
Fischer Tropsch

Biodiesel LPG

Green Diesel Crude oil

Dimethyl ether
First Generation

Biocrude Second Generation


KEBIJAKAN ENERGI
PRIMER PLN
• Menyusun program pasokan energi primer untuk operasi pembangkitan PLN, dengan
kaidah jaminan kesinambungan, andal, harga murah dan ramah lingkungan

• Pengembangan pembangkit non BBM

• Pemanfaatan energi primer non BBM (batubara, gas alam, panas bumi, tenaga air
dan energi terbarukan lainnya) pada pembangkit PLN

• Program konversi BBM (gasifikasi pembangkit dengan memanfaatkan semua jenis gas :
LNG, LPG, CNG)

• Pemanfaatan sumber energi alternatif (biomass, biofuel, surya, angin dll)


sepanjang masih dalam batasan layak secara teknis dan ekonomis

• Mengurangi prosentase pemakaian BBM untuk operasi pembangkitan dalam komposisi


penggunaan energi primer PLN
PEMANFAATAN ENERGI
ALTERNATIF UNTUK
PEMBANGKITAN TENAGA LISTRIK

• Layak secara teknis dan ekonomis


• Sebagai pengganti pembangkit listrik tenaga diesel dalam
rangka mengurangi konsumsi BBM
• Dimulai dari skala kecil, mulai dari listrik perdesaan,
khususnya di luar Jawa
• Dapat dikembangkan oleh Swasta dan PLN dengan pola
Kemitraan/IPP sebagai salah satu alternatif untuk
mengatasi keterbatasan dana
• Ketersediaan infrastruktur penunjang yang dapat menekan
biaya investasi
ALUR PROSES BISNIS
FLOW
ASPEK BISNIS

1. Sejak diterapkannya kebijakan partisipasi swasta


dalam usaha pembangkitan listrik khususnya dari
sumber EBT, banyak perusahaan yang berminat
membangun pembangkit EBT. Beberapa pembangkit
sudah beroperasi.
2. Yang paling banyak dikembangkan : PLTA/PLTM
Yang mulai dikembangkan : Biomass (Tandan
Kosong Sawit, Cangkang Sawit, Bagas, Sekam padi
dll)
Kebijakan Harga (1)
• Diterapkan harga patokan tertinggi (ceiling price), untuk
s/d 1 MW dan > 1 MW s/d 10 MW, yang bersifat
Levelized.
• Untuk kapasitas > 10 MW, harga berpatokan pada HPS
proyek ybs.
• Sebagai insentif diberlakukan prinsip Staging Price
sesuai life time sebagai berikut :
- s/d 10 MW : 5 th pertama & 10 th berikutnya
- > 10 MW : 10 th pertama & 20 th berikutnya
• Harga 5 th pertama (s/d 10 MW) dan 10 th pertama (> 10
MW) lebih tinggi dibanding harga pada sisa life time
berikutnya, untuk mempersingkat pay back period
Kebijakan Harga (2)
• Perbedaan kondisi Jamali & Luar Jamali, diberlakukan tarif
yang berbeda untuk daerah-2:
- Jamali
- Sumatra dan Sulawesi
- Kalimantan, NTB dan NTT
- Maluku dan Papua

• Tarif s/d 10 MW dalam Rupiah, sedangkan untuk >10MW


bisa dalam US $

• Harga final dalam kontrak melalui negosiasi dan


disesuaikan dengan kondisi lokasi proyek.

Anda mungkin juga menyukai