Anda di halaman 1dari 1

Tugas 1 Hukum Pidana

1. Plea bargaining idealnya merupakan bentuk negosiasi antara Penuntut Umum dan Terdakwa
yang mengakui kejahatannya agar hukumannya lebih ringan, sehingga prosesnya cepat. Dalam
naskah akademik RKUHAP disebutkan ada mekanisme plea bargaining yang diberi judul jalur
khusus dalam penyelesaian perkara pidana. Dalam Pasal 199 RKUHAP disebutkan konsep
mekanisme plea bargaining ini ketika Penuntut Umum membacakan surat dakwaan dimana
ancaman pidana yang didakwakan tidak lebih dari 7 tahun penjara dan terdakwa mengakui
segala kesalahannya, maka Penuntut Umum dapat melimpahkan perkara ke sidang acara
pemeriksaan singkat.
Plea Bargaining Sytem merupakan suatu negosiasi antara penuntut umum dengan tertuduh atau
pembelanya. Restorative Justice upaya pemulihan keadilan dari suatu tindak pidana dengan
fokus terhadap pelaku dan korban guna menghindari perkara pidana masuk ke pengadilan.

2. Urgensi penerapan peradilan elektronik pada perkara pidana juga dikarenakan terdakwa terikat
pada jangka waktu penahanan yang waktunya terbatas. Meskipun pada prinsipnya jangka waktu
penahan masih dapat diperpanjang, namun terdakwa atau penasihat hukumnya seringkali
menuntut supaya proses hukum dilakukan secara cepat karena hal tersebut merupakan hak
terdakwa yang dijamin oleh undang-undang maupun konstitusi.
Secara normatif pelaksanaan sidang perkara pidana mengacu pada Pasal 64 Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang berbunyi:
“Terdakwa berhak untuk diadili di sidang pengadilan yang terbuka untuk umum”.
Berdasarkan analisis hukum legalistik, persidangan yang dilakukan teleconference tidak dapat
memiliki keabsahan karena tidak sesuai dengan ketentuan yang terdapat pada Pasal 160 ayat (1)
huruf a dan Pasal 167 KUHAP yang menghendaki kehadiran saksi secara fisik di ruang
persidangan.
KUHAP memberikan ketentuan bahwa persidangan di pengadilan dilaksanakan secara klasikal
atau tatap muka, yang dipimpin oleh Majelis Hakim dibantu oleh Panitera Pengganti, serta
dihadiri oleh Penuntut Umum dan Terdakwa serta Penasihat Hukumnya.
Akan tetapi, hal tersebut berbeda dengan pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang memberikan kewajiban pada hakim untuk menggali
kebenaran materiil, sehingga terbuka peluang bagi hakim untuk mengesampingkan aspek
formal.

Anda mungkin juga menyukai