Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

Tentang

PERJALANAN CORPORATE GOVERNANCE

Disusun Oleh:

KELOMPOK 1

1. HABIB PRAWIGA (201000462201001)


2. KOKO ALFIO (201000462201008)
3. ARAFKI FARHAN (201000462201035)
4. AFRI YOVAN (20100462201036)

Dosen Pemangku :
Hj. Nidia Anggreini Des, SE, MM.

PROGRAM STUDI AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS MAHAPUTRA MUHAMMAD YAMIN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Perjalanan Corporate Governance” ini tepat waktu.
Shalawat serta salam tidak lupa kami kirimkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah memberi
petunjuk bagi kita semua.

Terima kasih kami sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyusunan makalah ini,
sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan benar. Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah untuk memenuhi mata kuliah “Corporate Governance”. Dan semoga dengan
adanya makalah ini dapat membantu kita dalam memahami materi yang berhubungan dengan
Perjalanan Corporate Governance.

Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Demikianlah yang dapat
kami sampaikan, semoga makalah ini dapat berguna bagi pembaca.

Solok, April 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ...........................................................................................................1
A. LATAR BELAKANG ......................................................................................................1
B. RUMUSAN MASALAH ..................................................................................................2
C. TUJUAN ..........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................................3
A. TITIK TOLAK .................................................................................................................3
B. MAKNA CORPORATE GOVERNANCE .......................................................................4
C. SEJARAH GOVERNANCE.............................................................................................8
D. GOVERNANCE; KONSEP LAMA YANG KEMBALI POPULER............................... 11
E. PERJALANAN GOVERNANCE DI INDONESIA ........................................................ 13
F. PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE ...................... 14
BAB III PENUTUP .................................................................................................................. 20
A. KESIMPULAN .............................................................................................................. 20
B. SARAN .......................................................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 21

ii
BAB I

PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik
merupakan paradigma yang berkembang di Indonesia saat ini. Karena jika kita ingin
meningkatkan kualitas perusahaan maka kita juga perlu mengimplementasikan Good
Corporate Governance. Dengan begitu maka perusahaan akan sukses dan bisa tetap
bertahan dalam jangka yang lama. Sekaligus bisa memenangkan bisnis secara
international. Namun, di tengah era revolusi industri 4.0 yang sedang berkembang seperti
sekarang ini tata kelola pada industri perbankan di`pandang mulai menurun. Oleh karena
itu analisis tentang Good Corporate Governance berkembang secara pesat seiring dengan
tereksposnya skandal keuangan berskala besar seperti scandal Enron, Tyco, Worldcom,
Maxwell, Polypec dan lain-lain. Kemunduran perusahaan-perusahaan go public banyak
disebabkan oleh strategi, prosedur, maupun praktik curang (fraud) lantaran lemahnya
pengendalian dan pengawasan dari manajemen puncak yang independen oleh corporate
boards (Ferdyant et al., 2014).
Corporate governance dapat didefinisikan sebagai seperangkat peraturan yang
mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah, karyawan,
serta para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan
hak-hak dan kewajiban mereka (FCGI, 2003). Corporate governance diterapkan untuk
meningkatkan kinerja dan akuntabilitas perusahaan guna mengoptimalkan nilai pemegang
saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder
lainnya dan berlandaskan pada nilai-nilai etika dan peraturan perundangan yang berlaku.
Selain itu, corporate governance juga memberikan kerangka acuan yang memungkinkan
pengawasan berjalan efektif sehingga tercipta mekanisme check and balance di
perusahaan. Implementasi corporate governance yang berjalan dengan baik diharapkan
dapat meningkatkan kepercayaan publik, khususnya investor dan kreditur, terhadap
perusahaan

1
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Tolak Ukur Corporate Governance?
2. Bagaimana Makna Corporate Governance?
3. Bagaimana Sejarah Governance?
4. Bagaimana Governance; Konsep Lama Yang Kembali Populer?
5. Bagaimana Governance di Indonesia?
6. Bagaimana Pekembangan Implementasi Corporate Governance?

C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui Tolak Ukur Corporate Governance
2. Untuk mengetahui Makna Corporate Governance
3. Untuk Mengetahui Sejarah Governance
4. Untuk mengetahui Governance; Konsep Lama Yang Kembali Populer
5. Untuk mengetahui Governance di Indonesia
6. Untuk mengetahui Perkembangan Implementasi Corporate Governance

2
BAB II

PEMBAHASAN

BAB II PEMBAHASAN
A. TITIK TOLAK

Kosakata “Corporate Governance” pada lebih dari dua dasawarsa terakhir menjadi
sangat popular dan ‘highly fashionable’, sehingga istilah dari berbagai fenomena yang
melingkupinya dapat diklaim menjadi ‘hot topic’. Dibalik kepopulerannya, Garrat (2003)
menyatakan bahwa di dalam praktik terdapat beberapa kecendrungan penggunaan istilah
ini secara berlebihan (overuse) sehingga dikhawatirkan dapat mengaburkan esensi dari
konsep yang dimaksud melalui terminologi ini. Garrat (2003) bahwa berargumentasi lebih
lanjut bahwa terdapat pandangan terhadap fenomena corporate governance sebagai ‘obat
mujarap’ (a universal panacea) yang dipersepsikan ampuh untuk mennjawab seluruh
permasalahan (the silver bullet answer) baik dibidang korporasi maupun sektor publik.
Sebagaimana dipahami bersama, isu governance di sektor korporasi (corporate
governance) maupun sektor publik (public governance), mulai mendapat perhatian yang
lebih besar sejak dua decade terakhir. Komitmen pemerintah untuk meningkatkan
penerapan governance oleh berbagai institusi publik maupun korporasi telah dilakukan
dengan membentuk Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Hingga saat ini,
berbagai kebijakan dan program yang berhubungan dengan isu governance telah dan akan
dilaksanakan oleh komite tersebut dalam upaya meningkatkan efektivitas implementasi
governance di Indonesia.
Keberadaan corporate governance/CG memiliki implikasi luas dan kritikal
terhadap perkembangan ekonomi dan kesejahteraan sosial. Pertama, menyediakan insentif
dan ukuran penilaian kinerja di dalam mencapai kesuksesan sebuah bisnis. Kedua
menyediakan mekanisme untuk penilaian akuntabilitas dan transparansi dalam menjamin
bahwa peningkatan kesejahteraan, sebagai dampak dari peningkatan nilai perusahaan, telah
didistribusikan secara merata dan dapat dipertanggungjawabkan. Signifikansi peranan CG
untuk kestabilan dam kesejahteraan masyarakat tergambar dari definisi yang diberikan oleh
Cadbury (2002) berikut ini:

3
“Corporate governance is concerned with holding the balance between economic
and social goals and between individual and communal goals. The governance
framework is there to encourage the efficient use of resources and equally to
require accountability for the stewardship of those resources. The aim is to align
as nearly as possible the interests of individuals, corporations and society.”

Namun demikian, penyelarasan (alignment) berbagai kepentingan yang berbeda


dalam bentuk kolaborasi yang positif di antara pihak dimaksud bukan merupakan masalah
yang mudah untuk diaplikasikan. Kondisi ini ditambah lagi dengan semakin kompleksnya
fenomena bisnis di era korporasi modern dengan lingkungan organisasi yang dinamis.

B. MAKNA CORPORATE GOVERNANCE

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mendefinisikan konsepsi CG. Karena


konsepsi governance berkembang jauh setelah perkembangan konsepsi management, maka
pada awalnya upaya pendefinisian dilakukan secara sederhana bertujuan untuk
membedakan kedua konsepsi tersebut. Misalnya, definisi awal CG yang dikenal adalah
‘management runs the business; the board ensures that it is being well run and in the right
direction’. Dalam pengertian dimaksud belum disebutkan secara eksplisit tentang
governance atau CG, hanya istilah the board yang dianggap memiliki konsep tersebut.
Beberapa ahli, misalnya Tricker (2004) menyatakan bahwa definisi dengan hanya
memberikan penekanan pada perbedaan konsepsi management dengan gevernance seperti
itu sangat sederhana. Pihak lain mengklim bahwa simplifikasi definisi governance, dengan
hanya memberikan penekanan kepada peranan board sebagai salah satu elemen,
dikhawatirkan tidak mampu mengakomedasi secara lengkap substansi dari konsep
governance. Namun demikian, terdapat pula ahli lain yang berpendapat bahwa untuk tahap
awal definisi tersebut dianggap cukup karena sudah memberikan pemahaman terhadap
perbedaan konsep management dan governance, serta sudah ada penegasan terhadap tujuan
governance ‘… in the right direction’.
Perkembangan selanjutnya, berbagai institusi dimulai dengan the Cadbury report
(1992) untuk kemudian diikuti oleh the OECD report (1999), memberikan definisi

4
‘corporate governance is the process by which companies are directed and controlled’.
Definisi ini memberikan penekanan kepada unsur pengarahan (directed) dan pengandalian
(controlled) di dalam rangkaian proses CG pada setiap korporasi. Walaupun tidak secara
eksplisit mengacu kepada institusi yang akan melaksanakan fungsi tersebut, namun definisi
ini sudah mengakomodasi konsepsi pengendalian yang dilaksanakan tidak hanya oleh
mekanisme internal (melalui peranan Dewan Komisaris) tetapi juga mekanisme pasar
melalui the market for corporate control. Sebagian ahli berpandangan bahwa definisi oleh
kedua lembaga ini lebih memiliki kekuatan, karena memberikan penekana kepada aspek
utama dalam CG; conformance (kepatuhan atau kesesuaian terhadap aturan) serta
performance (kinerja). Aspek conformance berhubungan dengan pengendalian
(controlled), sementara aspek performance merupakan hal yang berkaitan dengan
pengarahan (directed) sebagaimana terdapat dalam definisi di atas.
Sejalan dengan perspektif yang dianut OECD bahwa CG merupakan konsepsi yang
dinamis, adaptif terhadap perubahan lingkungan organisasi, serta merupakan work in
progress, maka pada tahun 2001 lembaga ini memperluas definisi awal (versi 1999)
menjadi seperti berikut:
“Corporate governance refers to the private and public institutions, including laws,
regulations and publik institutions, which together govern the relationship, in a
market economy, between corporate managers and entrepreneurs, on the one hand,
an those who invest resources in corporations on the other”.

Definisi diatas menegaskan cakupan lebih luas dari konsep CG, dengan mengacu
kepada peranan institusi privat maupun sebagai hard structure di dalam CG. Labih lanjut,
definisi dimaksud juga memberikan penekanan terhadap soft structure sebagai bagian
pendukung mekanisme CG berupa pentingnya kepatuhan terhadap hukum dan perundang-
undangan, regulasi serta peranan regulator public institutions. Kedua elemen tersebut
secara bersama-sama akan menjaga hubungan antara investor (those who invest resources
in corporations) dengan manajer (corporate managers and entrepreneurs) pada sebuah
korporasi dalam ekonomiberbasis pasar.
Kalimat terakhir pada definisi OECD (versi 2004) memberikan implikasi bahwa
kepentingan yang harus dijaga tidak hanya pemegang saham sebagai pemilik, namun

5
mencakup investor lain yang memiliki kepentingan terhadap kinerja perusahaan seperti
halnya kreditur. Hal ini beralasan karena sebagian sumber daya yang dimanfaatkan
perusahaan dalam aktivitasnya menggunakan sumber pembiayaan yang berasal dari
kreditur. Konsidi demikian mengidentifikasikan bahwa walaupun definisi versi institusi
OECD masih menggunakan pendekatan shareholder-orientations, namun sudah
mengakomodasi pemangku kepentingan lainnya secara lebih luas, terutama pihak penyedia
sumber daya lainnya untuk korporasi. Pada saat yang hampir sama, Cadbury (2004) juga
memberikan definisi terbaru sebagaimana yang dijelaskan pada bagian sebelumnya. Pada
definisi tersebut Cadbury juga memberikan penekanan kepada pentingnya peranan CG
dalam menyelaraskan (alignment) kepentingan berbagai puihak yang berhubungan dengan
korporasi, termasuk masyarakat. Lebih lanjut, Cadbury (2004) menegaskan bahwa
keberadaan CG merupakan mekanisme penyeimbang melalui penyelarasan antara tujuan
ekonomis dan tujuan sosial, serta antara tujuan individu dalam korporasi dengan tujuan
bersama atau komunal.
Sejalan dengan perkembangan definisi CG menurut institusi yang memiliki
perhatian terhadap CG, para ahli seperti Hilmer (1993) memberikan opini terkait
perkembangan CG yang membawa implikasi besar terhadap pemahaman konseptual CG.
“The board’s key role is ensure that corporate management is continuously and
effectively striving for above average performance, taking account of risk, [which] is not
to deny the board’s additional role with respect to shareholder protection.”

Sementara itu, Hilmer (1993) memberikan penekanan kepada peranan kunci Board
of Directors (BOD), khusunya dalam konteks model CG yang dikenal di berbagai negara
Anglo-Savon. Dalam kaitan ini, peranan penting BOD adalah sebagai pihak yang
memberikan mandate untuk mengawasi manajeman perusahaan, karena kepemilikan
perusahaan pada berbagai negara Anglo-Saxon pada umumnya bersifat tersebat (widely
dispersed). Penekanan juga diberikan agar BOD memastikan kinerja perusahaan berada di
atas rata-rata dengan mempertimbangkan resiko. Dalam kaitan ini, BOD diharapkan dapat
berperan dalam memastikan bahwa corporate management telah mendasarkan berbagai
keputusan korporasi berbasiskan risiko (risk based decision-making) sebagai bagian upaya
melindungi kepentingan pemilik.

6
Ahli lainnya yang ikut memberikan waarna dalam upaya mendefinisikan
terminology CG secara lebih baik adalah Monks dan Minow (2004) dengan pendapat
sebagai berikut:
“Corporate governance is the relationship among various participants in
determining the direction and performance of corporations. The primary participant are
the shareholder, the management and the board of directors.”

Monks dan Minow (2004) menempatkan posisi CG sebagai upaya menjaga


hubungan antara tiga actor penting dalam setiap korporasi; pemilik;manajemen, dan BOD
(atau dewan komisaris di Indonesia). Dengan penekanan atas hubungan dan interaksi
mereka dalam proses CG, maka pendekatan yang digunakan adalah berbasis struktur
governance (the governance structure) sebagai elemen utama setiap sistem CG. Hubungan
antara ketiga unsur tersebut di dalam sistem CG akan menentukan arah (the direction) serta
kinerja (the performance) korporasi sesuai dengan mekanisme yang ditetapkan. Tidak
memberikannya penekan kepada aspek pengendalian (control) dalam definisi ini,
mengisyaratkan bahwa dengan berjalannya hubungan yang harmonis sesuai dengan
domain masing-masing aktor utama di setiap korporasi, akan menjamin berjalnnya
mekanisme pengandalian korporasi secara optimal sesuao dengan tujuan CG.
Definisi lebih komprehensif diberikan oleh Clarke (2004) ‘corporate governance
is about the way corporate entities are governed’ dan ‘corporate governance is about the
exercise of power over corporate entities’. Walaupun beberapa ahli menganggap definisi
ini masih sederhana, namun Tricker (2008) berpendapat bahwa definisi yang disampaikan
dalam dua kalimat tersebut cukup luas dibandingkan definisi lainnya. Leluatan definisi ini
terletak pada acuan bahwa implementasi konsepsi CG di korporasi dipengaruhi oleh
kekuasaan atau keuatan (power) yang dimiliki pihak yang berkepentingan dalam entitas
korporasi. Keberadaan pihak yang sangat berkuasa dibandingkan pihak lainnya di dalam
sebuah korporasi, berpotensi alam menimbulkan konflik dan memengaruhi bagaimana
sebuah korporaso di-govern. Keberadaan CG dalam kaitan ini adalah sebagai lelutan
penyeimbang antarpihak pemangku kepentingan terhadap korporasi, sehingga pihak yang
berkuasa tidak menggunakan kekuasaan mereka secara berlebihan, dan merugikan
kepentingan pihak lain yang berada pada posisi relatif lemah.

7
Berbagai variasi definisi, mulai dari pengertian awal yang sederhana hingga
mutakhir, merupakan konsekuensi dari penggunaan sudut pandang yang berbeda oleh
pihak yang memberikan definisi CG. Implikasi lainnya definisi yang variatif dimaksud
memperkuat keberadaan konsepsi CH sebagai bidang kajian multidisiplin yang akomodatif
terhadap perubahan dan perkembangan konseptual, praktikal maupun metodologis.
Pendekatan yang dilakukan oleh Monks dan Minow (2001) secara prinsip memberikan
penekanan terhadap aktivitas dari the Governance tripod; pemegang saham, BOD dan
pihak menajemen sehingga dianggap memiliki fokus yang lebih tajam. Sementara institusi
OECD (2001) memberikan kontribusi berupa pengakuan terhadap pentingnya ‘konteks’
tempat CG diterapkan, termasuk didalamnya peranan regulator, auditor, dan institusi pasar
keuangan yang terlibat di dalam menyediakan pembiayaan untuk korporasi. Sementara
pandangan yang diberikan oleh Clarke (2004) memiliki fokus lebih luas dengan pengakuan
bahwa pemahaman terhadap konsepsi CG harus dilakukan secara komprehensif terhadap
seluruh elemen terkait, serta memiliki pangaruh dalam menjalankan kekuasaan (execise of
power) dalam setiap entitas korporasi.

C. SEJARAH GOVERNANCE

Meskipun eksplorasi teoretikal terkait subjek CG relatif baru namun demikian


praktik CG telah berjalan untuk jangka waktu lama (ancient). Menurut Tricker (2009) isu
governance akan muncul pada saat entitas korporasi dibentuk atau berdiri, dan kepemilikan
dari entitas tersebut dipisahkan dengan manajemen yang akan mengelola korporasi.
Sebagaimana bukti bahwa pemikiran governance sudah ada sejak lama dapat dibuktikan
melalui drama Shakespeare (Act 1 Scene 1) tentang “the merchant of venice” yang
memunculkan pemikiran pemilik kapal (owner) yang mengkhawatirkan keselamatan kapal
mereka ketika berlayar mengarungi samudera lepas. Pertanyaan yang muncul adalah:
bagaimanakah kepentingan pemilik kapal dapat terlindungi? Bagaimanakah fungsi
pengawasan atas nahkoda kapal (manager) yang menerima pelimpahan delegasi dari
pemilik dapat berjalan? Siapakah yang akan menentukan arah kapal dan bagaimana pola
akuntabilitas (accountability) dari pelimpahan amanah yang diberikan?

8
Terminologi governance berasal dari yunani kuno ‘kivernitis’ yang berarti oarsman
atau helmsman; seseorang yang menakhodai (steers) sebuah kapal dalam kondisi stormy
weters (kakabadse, Bank, dan Vinnicombe, 2005). Dari sudut pandang lainnya Farrar
(2001) menyatakan bahwa secara etimologis istilah governance berasal dari bahasa Prancis
kuno’gouvernance’ dengan esensi pengandalian atau control dan the state of being
governed. Sejalan dengan pemikiran Kakabadse et al. (2005), Farrer (2001) juga
menggunakan metafora the idea of steering or captaining a ship dalam menjelaskan
konsepsi governance (lihat Lukviarman, 2005a). kedua pendapat tersebut mengacu kepada
suatusubstansi bahwa konsep governance tidak hanya berhubungan dengan prosedur dan
aturan main melalui suatu protocol, tetapi lebih jauh mencakup berbagai hal yang
berhubungan dengan leadership dan decision making di dalam suatu organisasi (lihat
Kakabadse et al, 2005). Hal ini mengindikasikan bahwa governance berhubungan dengan
isu strategis organisasi, seperti yang diibaratkan melalui aktivitas ‘menakhodai sebuah
kapal dalam situasi yang buruk’, sesuai dengan arah yang diharapkan (good order) serta
berada dalam kondisi terkendali (in control).
Secara historis, munculnya alternatif model governance ditandai denga
dibentuknya the first stock companies sebagai reaksi atas berkembangnya peluang
perdagangan yang terdapat di wilayah East and West Indies. Menurut Kakabadse et al.
(2005), konsepsi perusahaan sebagai suatu bentuk organisasi kolektif dengan entitas
terpisah antara pemilik dan pengelola, muncul di sekitar abad pertengahan sebagai proteksi
dari dominasi royal autocrats yang popular sebagai bentuk pemerintahan pada zaman
tersebut. Pada awalnya entitas perusahaan aatau korporasi muncul di dalam menghasilkan
kemakmuran melalui aktivitas perdagangan yang mengharuskan terjadinya pertemuan
reguler antara berbagai pihak yang terlibat dalam operasional perusahaan. pertemuan
biasanya dilakukan di dalam suatu ruangan yang dikenal dengan a long board. Melalui
tradisi pertemuan tersebut, muncul istilah untuk individu yang bertugas mengelola
perusahaan sebagai ‘the boatd’ dan pimpinan dari pengelola tersebut dibedakan statusnya
dengan tempat duduk khusus atau ‘chair’. Pimpinan pertemuan dikenal dengan panggilan
‘the chairman’, sementara pengelola lainnya duduk di kursi panjang biasa (on stools).
Berbagai istilah dengan prosesi sebagaimana dikenal dalam sejarah tersebut masih

9
digunakan dan dikenal dalam governance perusahaan modern hingga saat ini (lihat
Kakabadse et al., 2005).
Berbagai entitas korporasi berskala besar yang dimiliki oleh Kerajaan Inggris dan
Belanda pada abad ke-18 didirikan dengan kendali berada di bawah monarki kerajaan
tersebut, namun operasionalisasi korporasi tetap mengikuti aturan perundang-
undanganyang ditetapkan oleh negara tempat kerajaan tersebut berada. pertanyaan yang
muncul dalam pola bisnis korporasi pada zaman tersebut adalah; bagaimana kekuasaan
(power) terhadap entitas korporasi didistribusikan dan dilegalisasi? Kepada siapa entitas
korporasi memilki akuntabilitas, dan yang lebih penting, kepada siapa entitas korporasi
bertanggung jawab? Berbagai pertanyaan akan selalu muncul dan menjadi krusial untuk
mendapat perhatian ketika “hak dan kewajiban yang melekat pada setiap investasi dan
kepemilikan tidak dapat secara langsung di aplikasikan”. Hal ini disebabkan karena
pemilik yang memiliki hak kepemilikan tidak menguasai operasionalisasi entitas korporasi
mereka, pengelolaan diserahkan kepada menager yang bukan merupakan pemilik korporasi
dan tidak memiliki investasi dalam kepemilikan.
Konsep klasik tentang perusahaan atau korporasi didasarkan kepada berbagai
aturan perundang-undangan atau legislasi yang dikembangkan pada pertengahan abad ke-
19 kunci utama dari pendirian korporasi sebagai entitas legal adalah, melalui pemisahan
secara tegas antara kepemilikan pribadi dengan entitas tersebut. Konsekuensinya adalah
suatu entitas korporasi memiliki kehidupannya sendiri (had a life of its own) sehingga
mampu untuk berjalan secara berkesinambungan melebihi usia si pemilik-pendiri yang
memiliki hak untuk mentransfer kepemilikannya atas perusahaan. melalui konsepsi ini
maka dikenal berbagai perusahaan yang telah berdiri secara lintas generasi dari pemilik-
pendiri pertama yang melakukan inisiasi pembentukan korporasi sebagai entitas legal dan
terpisah. Konsekuansi lanjut dari pola pemisahan entitas korporasi adalah tanggung jawab
pemilik terhadap utang korporasi hanya terbatas pada sejumlah investasi meraka dalam
ekuitas korporasi tersebut, tidak termasuk kekayaan pribadi pemilik. Namun demikian,
kepemilikan atas korporasi tetap menjadi dasar penguasaan (the basis of power) pemilik
atas suatu entitas korporasi.

10
D. GOVERNANCE; KONSEP LAMA YANG KEMBALI POPULER

Secara konseptual, keberadaan konsep CG dapat ditelusuri balik hingga ke akhir


abad 18 Masehi. Para ahli dibidang CG sepakat untuk menyatakan bahwa Adam Smith
(1776) merupakan filosof pertama yang dianggap menjadi peletak dasar dalam formalisasi
konsep CG (lihat Lukviarman, 2004a). dalam perkembangannya, Denis dan McConnel
(2003) mengindentifikasi bahwa konsepsi governance telah melalui dua generasi hingga
akhir abad ke-20. Generasi pertama ditandai dengan karya seminal Berle dan Means (1932)
melalui pendapatnya bahwa konsepsi governance dibutuhkan sebagai konsekuensi
terjadinya pemisahan antara kepemilikan dan kontrol atas suatu entitas korporasi madern.
Alasannya adalah bahwa pada awal pedirian perusahaan, pemilik dan pengalolaan
perusahaan dilakukan oleh orang yang sama sebagaimana lazim ditemukan pada
entrepreneurial firms.
Dengan semakin berkembangnya perusahaan, pemilik yang sebelumnya
merupakan owner-manager harus menyerahkan pengelolaan perusahaan kepada para
professional. Hal ini ditujukan agar perusahaan dapat dikelola oleh pihak yang lebih
memahami bisnis yang dijalankan sehingga dapat mengoptimalkan keuntungan dengan
biaya yang lebih efisien. Isu utama yang berkembang dalan kaitan ini adalah perlunya suatu
mekanisme untuk menjamin bahwa kepentingan pemilik (sebagai principa; yang memiliki
perusahaan, namun tidak mengelolanya) align dengan menajer (sebagai agent; bukan
pemilik perusahaan namun menguasai pengelolaan usaha). Untuk itu, diperlukan suatu
bentuk mekanisme guna mengurangi kemungkinan terjadinya kepentingan antara principal
dan agent yang akan bermuara pada the agency problems.
Konsepsi governance menjadi semakin populer pada tahun 1970-an dengan
menculnya gerakan untuk mereformasi organisasi guna membatasi peprilaku self-interests
dari directors yang terlibat dakam hostile takeover (Kakabadse, et al,, 2005).
Perkembangan governance pada periode tersebut ditandai dengan munculnya artikel klasik
dan fenomenal Jensen dan Mackling (1976) menggunakan pendekatan the agency theory
untuk memahami fenomena CG. Pada periode ini berbagai riset dibidang governace
menunjukkan perkembangan yang berarti, ditandai oleh kemunculan branches of the
agency literature yang mengacu kepada konsepsi the agency relationships (lihat lampiran
1). Walaupun telah menunjukkan perkembangan keilmuan yang cukup berarti, Canis dan

11
McConnel (2003) masih menempatkan proponants the agency theory periode saat ini
sebagai dari generasi pertama perkembangan CG.
Pada tahun 1980-an perkembangan governance masih berada pada generasi
pertama, namun ditandai dengan semakin menguatnya peranan institutional insvestor
sebagai pemegang saham di berbagai perusahaan publik. Garakan investor ini ditandai
dengan dorongan semakin kuat terhadap korporasi untuk mengadopsi berbagai perubahan
yang berpotensi untuk meningkatkan kinerja perusahaan (Kakabadse et al., 2005). Sebagai
dampaklanjutan dari aktivitas investor tersebut, kepemilikan investor institusi terhadap
perusahaan publik cenderung mengarah kepada konsentrasi kepemilikan. Hal ini
dobuktikan oleh risen yang dilaksanakan oleh La-Porta, Lopez-de-Silanes, dan Vishny
(disingkat LLSV) pada tahun 1998. Meurut Denis dan McConnel (2003) karya LLSV
tersebut menandai lahirnya generasi kedua dalam bidang governance. Hasil penelitian
LLSV menunjukkan bukti terdapatnya kecendrungan konsentrasi kepemilikan perusahaan
yang signifikan pada pihak-pihak tertentu termasuk investor institusi.
Memasuki generasi kedua, konsepsi universalitas (convergence) terhadap
governance model disetiap negara mendapat tantangan yang berarti. Menurut LLSV
(1998,1999) penerapan CG si suatu negara dipengaruhi oleh kondisi perangkat hukum dan
law enforcement di negara tersebut dalam melindungi kepentingan berbagai pihak yan
terkait dengan perusahaan, terutama pemilik minoritas. Jika pada generasu pertama isu CG
didominaso oleh konfilk kepentingan antara principal dengan agen, riset LLSV pada
generasi CG berikutnya menunjukkan hasil yang berbeda. Pada peneliti ini membuktikan
bahwa perusahaan publik di berbagai negara , kecuali di Amerika (US) dan Inggris (UK),
memiliki karakteristik kepemilikan yang terkonsentrasi. Dalam kondisi tersebut, konflik
bukan terjadi antara pemilik dan pengelola, tetapi mengarah kapada konflik kepentingan
antara strong majority sherehoders dengan weak-minority shereholders. Untuk mengatasi
konflik yang semakin besar, diperlukan sistem hukum yangkuat diiringi dengan law
enforcement secara konsisten untuk menjaga kepentingan semua pihak.
Pada generasi kedua beberapa ahli (lihat OECD, 1999) menyadari terdapatnya
perbedaan fundamental pada sistem CG di setiap negara, sehingga memunculkan konsep
divergensi (divergence) dari sistem dan modal CG. Beberapa ahli mulai mengembangkan
teori dengan mengaitkan hal tersebut pada masalah perbedaan budaya (Licht, Goldsmith,

12
dan Schwartz, 2001) serta sejarah perkembangan hukum dan struktur kelembagaan
(Babchuk dan Roe. 1999) sebagai faktor yang dominan. Walaupun pada generasi pertama
the humab face of CG telah mendapatkab perhatian (lihat Wlliamson, 1985), penekanan
terhadap perlunya pemahaman semakin kuat menyangkut aspek perilaku (Behavior)
individu yang terlibat dalam aktovitas korporasi ditemukan pada generasi berikutnya.
Namun demikian, permasalahan mendasar dari konsepsi CG dari berbagai tahapan
perkembanagan tersebut tetap berhubungan dengan terjadinya conflict of interests yang
berpotensi menimbulkan agency costs secara signifikan, sehingga dikhawatirkan akan
menurunkan value of the firm.
Berdasar uraian tersebut dapat disimpukjan bahwa masalah CG akan selalu muncul
jika terdapat konflik kepentingan di dalam suatu perusahaan. sementara konflik
kepentingan disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan “kekuatan” antara berbagai pihak
yang berhubungan. Dalam kaitan ini, Williamson (1985) berpendapat babhwa konflik
demikian secara psikologis didasarkan ooada asumsi bahwa manusia bersifat oportunistik,
yaitu kecendrungan untuk memanfaatkan kesempatan dengan tujuan memperoleh
keuntungan dari suatu posisi/keadaan tertenty namun dengan merugikan pihak lainnya.
Implikasinya, dengan terjadinya ketidakseimbangan kekuatandan adanya peluang untuk
mengeksplorasi sesuatu kepentingan, indivisu akan bersifat oprtunistik serta akan
berdampak luas pada terganggunya keseimbangan suatu sistem. Untuk itu, dibutuhkan
seperangkat aturan main yang jelas agar berbagai perangkat organisasi dalam sebuah
sistem (CG systym) dapat menjalankan fungsinya untuk menjamin terjaganya kepentingan
berbagai pihak yang berhubungan dengan perusahaan. dengan berjalannya mekanisme ini,
diharapkan dapat menghasikan dampak lanjutan yang positif terhadap perkembangan
perekonomian suatu negara untuk tercapainya kemakmuran masyarakat (the wealth of the
nation) seperti kondisi yang dimaksud oleh Adam Smith.

E. PERJALANAN GOVERNANCE DI INDONESIA

Berbagai isu yang berhubungan dengan governance (khususnya CG) menjadi


populer di Indonesia di penghubung abad ke-20, teoatnya menyusul krisi ekonomi pada
pertengahan tahun 1997. Isu governance serta global kembali menguat setelah

13
runtuhnyabeberapa raksasa bisnis dunia sepertinron dan WorldCom di AS, serta tragedi
jatuhnya HIH dan One-Tel di Australia pada permulaan abad ke -21. Dalam perkembangan
lebih lanjut isu governance semakin poputerl setelah lembaga keuangan multilateral,
seperti world Bank dan Asian Development Bank (ADB) mengungkap babhwa kkrisi
keuangan yang melanda berbagai negara di Asia, antara lain disebabkan oleh buruknya
pelaksanaan CG. Dalam hal ini, diklaim bahwa Indonesia merupakan negara yang paling
menderita dan paling lambat bangkit dari dampak yang disebabkan oleh krisis tersebut
(ADB, 2000).
Di Indonesia, krisis ekonomi ini telah berkembang dan bersifat multidimensi,
karena diikuti politik serta berbagai masalah dalam negeri lainnya (lihat Lukviarman
2007). Kondisi ini, ditambah oleh lemahnya mekanisme berbagai institusi penyangga
sistem perekonomian negara. Keadaan ini semakin parah dengan rendahnya law
enforcement sebagai benteng terakhir yang diharapkan dapat menjamin tegaknya aturan
perundang-undangan dan berjalannya sistem yang ada. Apabila, dalam periode tersebut
terjadi capital flights ke luar negari dalam jumlah besar, sehingga secara teknis kondisi
perekonomian Indonesia dapat dianggap bangrut (Lukviarman, 2001).
Dalam kondisi demikian, lembaga keuangan multilateral (IMF) datang
menawarkan program penyelamatan ekonomi kepada Indonesia. lembaga ini
mensyaratkan dilakukannya perbaikan serta peningkatan praktik CG di Indonesia
(Lukviarman, 2004b). Letter of intens yang ditandatangani pemerintah RI bersama IMF
dapat dianggap menjadi tonggak awal dimulainya reformasi sistem CG nasional secara
legal-formal. Hal ini diwujudkan melalui permbentukan ‘Komite Nasional Mengenai
Kebijakan Corporate Governance (KNKCG)’ melalui Keputusan Menteri Koordinator
Bidang Ekuin pada tahun 1999. Pada tahun berikutnya, dihasilkan kode etik untuk
pelaksanaan CG melalui ’Code for Good Corporate Governance’ (2000).

F. PERKEMBANGAN IMPLEMENTASI CORPORATE GOVERNANCE

Dalam perkembangannya, terutama selama satu decade abad ke-21, implementasi


CG di Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti. Setidaknya hal ini
tergambar dari hasil survey tahunan yang dilakukan oleh Credit Lyonais Securities Asia

14
(CLSA) terkait evaluasi penerapan CG di berbagai negara Asia Pasifik. Ilustrasi berikut
menggambarkan perkembangan implementasi CG selama beberapa tahun terakhir.
Tabel 1
CG Watch Market Score: 2010 to 2014
Change 2012
% 2010 2012 2014 Trend of CG reform
vs 2014 (ppt)
Weak Leadership, though
66 66 68 (-1)
1.= Hong Kong enfocrment
International vs local contrast
67 69 64 (-5)
2.= Singapura continues
Landmark changes, can they be
57 55 60 (+5)
3.= Japan sustained?
Improving, but new legislation
55 58 58 -
4.- Thailand need

52 55 58 (+3) Improving, but still too top-down


4.= Malaysia
Bold policy moves, can they be
55 53 56 (+3)
5.= Taiwan sustained?
Bouncing back. Delhi more
48 51 54 (+3)
7.= India supportive
Indifferent leader, more active
45 49 49 -
8.= Korea regulators
Focus on SOE reform,
49 45 45 -
9.= China enforcement
Slow reform, improved company
37 41 40 (-1)
10.= Philippines reporting
Big ambitions, can they be
40 37 39 (+2)
10.= Indonesia achieved

Sumber: Asian Corporate Governance Association/ACGA (2015)

Berdasarkan data pada tabel 1 tergambar bahwa diantara 11 (sebelas) negara Asia
Pasifik, posisi indonesia dalam penerapan CG sesuai dengan indikator “CG Watch Market
Score” berada pada posisi terakhir di tahun 2014. Hanya pada tahun 2010 posisi Indonesia

15
satu peringkat lebih baik dari Filipina, namun mengalami penurunan yang berarti pada
periode survey 2012 maupun 2014. Jika diperhatikan lebih lanjut, walaupun pada tahun
2014 terjadi peningkatan 2 (dua) poin dibandingkan dengan survei tahun 2012, posisi
Indonesia tetap tidak mengalami peningkatan dari peringkat perbandingan antar negara.
Walaupun terdapat 3 (tiga) negara lain mengalami penurunan score, serta 2 (dua) negara
memiliki score tetap, namun posisi berbagai negara tersebut tetap lebih baik dibandingkan
dengan Indonesia. Jika score tersebut dihubungkan dengan indikator umum yang
digunakan CLSA, terlihat gambaran sebagaimana terdapat pada tabel 2 (dua) berikut.

Tabel 2
Market Category Scores : CG Watch 2014

Total CG Rules & Enforcment Political & IGAAP CG


%
Praciteces Regulatory Culture
65 61 71 69 72 51
1.= Hong Kong
64 63 56 64 85 54
2.= Singapura
60 48 62 61 72 55
3.= Japan
58 62 51 48 80 50
4.- Thailand
58 55 47 59 85 43
4.= Malaysia
56 48 47 63 75 47
5.= Taiwan
54 57 46 58 57 51
7.= India
49 46 46 45 72 34
8.= Korea
45 42 40 44 67 34
9.= China
40 40 18 42 65 33
10.= Philippines
39 34 24 44 65 32
10.= Indonesia

Sumber: Asian Corporate Governance Association/ACGA (2015)

16
Berdasarkan ilustrasi tabel 2 tergambar bahwa posisi Indonesia hanya sedikit lebih
baik untuk indikator Enforcment (Penegakan Hukum) dan Political & Regulatory
(Kestabilan Politik dan Regulasi) dibandingkan Filipina. Namun lebih tingginya kedua
indikator tersebut tidak membantu meningkatkan posisi Indonesia dari rangking paling
akhir dalam score penilaian total secara keseluruhan. Meskipun demikian, ACGA (2015)
memiliki keyakinan bahwa Indonesia memiliki peta jalan (CG Roadmap) yang baru dan
diharapkan mampu menyebarluaskan perubahan adalam implementasi CG untuk masa
yang akan datang.
Lebih lanjut ACGA (2015) mencatat bahwa harapan besar untuk perbaikan
implementasi CG adalah melalui keberadaan otoritas jasa keuangan (OJK) sebagai sebuah
super regulator yang diharapkan sebagai katalis dalam melaksanakan berbagai upaya
reformasi dibidang CG kearah yang lebih baik dan mampu mempertahankan. Catatan lain
yang disampaikan ACGA (2015) adalah terdapat indikasi perbaikan yang positif terhadap
regulasi dibidang audit walaupun meragukannya dengan tingkat CG Culture (Budaya CG)
di Indonesia yang relatif rendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik. Diatas
semua hal tersebut, menurut ACGA peningkatan implementasi CG di Indonesia sangat
bergantung kepada komitmen atau Political Will Pemerintah di dalam mendorong
implementasi CG secara substantive dan berkelajutan. Karakteristik CG di Indonesia dan
berbagai kendala implementasi yang dihadapi akan dibahas pada bagian terpisah.
Studi yang dilakukan oleh ACGA merupakan rangkaian penilitian untuk tingkat
perusahaan (firm level) terhadap perusahaan yang telah go-poblic di berbagai negara yang
secara agregat akan menggambarkan tingkat implementasi CG di berbagai negara
menggunakan seperangkat indikator. Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah; mengapa
setiap negara perlu memperhatikan tingkat penerapan di negara masing-masing? Suatu
negara perlu memperhatikan dan mendorong implementasi CG yang sehat karena akan
berpengaruh terhadap biaya yang harus ditanggung perusahaan serta manfaat jangka
panjang dengan diterapkannya CG yang sehat. Doidge, Karolyi dan Stulz (2004)
menyatakan bahwa sebuah perusahaan dengan CG yang sehat dalam mengurangi biaya
pembiayaan (cost of funds). Kondisi demikian hanya dapat dicapai selama investor pemilik
modal berkeyakinan dan memiliki harapan bahwa perusahaan akan dikelola secara baik
setelah mereka melakukan investasi. Dengan alasan ini maka adalah penting bagi

17
perusahaan untuk menemukan cara dan berupaya untuk meningkatkan kualitas CG mereka
sehingga saham perusahaan dimaksud akan diminati oleh investor. Namun demikian
mekanisme untuk melaksanakan hal tersebut tidak mudah dilakukan, terutama pada
berbagai negara yang dikenal memiliki reputasi buruk dalam perlindungan terhadap
investor serta memiliki pembangunan ekonomi yang buruk
Menyadari hal tersebut, maka World Bank sebagai institusi besar memiliki
kepentingan dan kepedulian terhadap upaya kualitas implementasi CG di berbagai negara
Sejalan dengan pemikiran Doidge, Karolyi, dan Stulz (2004), World Bank percaya bahwa
diperlukan identifikasi dan penilaian terhadap kualitas implementasi CG di setiap negara
(firm level) sebagai masukan bagi pemerintahan suatu negara dalam upaya meningkatkan
kualitas implementasi CG. Dalam kaitan ini, lembaga keuangan dunia tersebut
menggunakan enam indikator utama; (1) voice and accountability, (2) political stability/no
violence, (3) government effectiveness, (4) regulatory quality, (5) rule of law, dan (6)
control of corruption. Memperhatikan keenam elemen ini dapat dipahami bahwa format
World Bank lebih mengacu kepada aspek makro (country level) setiap negara dalam
hubungannya dengan penerapan CG

18
Tabel 3

World Bank Six Elements of Governance Ranking

Countries
World Bank 6 Elements Australia Japan Italy Indonesia North Korea

1 1 2 3 4
QUADRILLE

91,5% 83,3% 68,3% 27,5% 9,3%


SCORE

94,7% 74,9% 77,3% 40,6% 0,5%


Voice and Accountability

73,6% 80,2% 52,8% 9,0% 41,0%


Political Stability/No Violence

94.7% 84,7% 71,8% 37,3% 0,5%


Governance Effectiveness

96,0% 85,6% 76,2% 36,6% 0,5%


Regulatory Quality

94,7% 89,4% 64,3% 20,3% 10,1%


Rule of Law

95,1% 85,2% 67,5% 21,2% 3,4%


Control of Corruption

Sumber: World Bank, 2003

Berdasarkan skor penilaian yang diberikan, World Bank mengategorikan berbagai


negara dalam lingkup survei yang dilakukan menjadi 4 kelompok. Kelompok pertama (1st
quadrille) didominasi oleh berbagai negara maju dan umumnya merupakan negara yang
menganut tradisi hukum common law, seperti Australia. Dalam kelompok ini satu-satunya
negara di kawasan Asia Pasifik adalah Jepang dengan skor cukup tinggi dibandingkan
dengan berbagai negara Eropa lainnya. Kelompok kedua umumnya didominasi oleh negara
kontinental Eropa seperti Italia dan Prancis yang menganut tradisi hukum civil law
Indonesia termasuk dalam kategori kelompok ketiga (3rd quadrille) dengan skor serta
peringkat relatif konsisten dengan hasil pemeringkatan yang dilakukan oleh CLSA. Skor
paling rendah untuk country level Indonesia adalah pada indikator political stability/no
violence dan hal ini diduga terjadi karena masa transisi dalam periode reformasi politik di
Indonesia.

19
BAB III

PENUTUP

BAB III PENUTUP


A. KESIMPULAN

Good corporate governance (GCG) merupakan sistem yang mengatur dan


mengendalikan perusahaan guna menciptakan nilai tambah (value added) untuk semua
stakeholder. Konsep ini menekankan pada dua hal yakni, pertama, pentingnya hak
pemegang saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan tepat pada waktunya dan,
kedua, kewajiban perusahaan untuk melakukan pengungkapan (disclosure) secara akurat,
tepat waktu, transparan terhadap semua informasi kinerja perusahaan, kepemilikan, dan
stakeholder.

Terdapat empat komponen utama yang diperlukan dalam konsep Good Corporate
Governance, yaitu fairness, transparency, accountability, dan responsibility. Keempat
komponen tersebut penting karena penerapan prinsip Good Corporate Governance secara
konsisten terbukti dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan juga dapat menjadi
penghambat aktivitas rekayasa kinerja yang mengakibatkan laporan keuangan tidak
menggambarkan nilai fundamental perusahaan.

B. SARAN

Setelah membaca makalah ini, pembaca diharapkan dapat memahami materi


mengenai “Perjalanan Corporate Governance”.

20
DAFTAR PUSTAKA

Lukviarman, Niki. 2016. Corporate Governance: Menuju Penguatan Konseptual dan


Implementasi di Indonesia. Jakarta : Era Adicitra Intermedia.

21

Anda mungkin juga menyukai