Anda di halaman 1dari 29

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Dasar Teori


2.1.1 Definisi Kebisingan
Bunyi atau suara didefinisikan sebagai serangkaian gelombang yang
merambat dari suatu sumber getar akibat perubahan kerapatan dan tekanan udara.
Bunyi terjadi karena adanya benda yang bergetar. Getaran tersebut lalu menyentuh
partikel lain di sekitarnya. Lalu, partikel tersebut kembali meneruskan energi yang
diterimanya ke partikel lain yang ada di sekitarnya. Begitu seterusnya, dan inilah
yang dinamakan perambatan bunyi atau gelombang yang merambat. Pada akhirnya,
rambatan gelombang tersebut diterima oleh telinga manusia (Mediastika, 2005).
Bunyi atau suara telah menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan manusia. Setiap saat manusia selalu mendengar adanya bunyi sebagai
rangsangan pada sel saraf pendengar dalam telinga oleh gelombang longitudinal yang
ditimbulkan getaran dari sumber bunyi atau suara, sehingga gelombang tersebut
merambat melalui media udara atau penghantar lainnya. Namun, terkadang tercipta
bunyi tidak beraturan yang tidak diinginkan karena mengganggu kenyamanan
manusia hingga lingkungan. Bunyi tersebut dihasilkan oleh alat transportasi dan
industri sehingga dalam jangka panjang dapat mengganggu dan membahayakan,
merusak pendengaran dan mengurangi efektifitas kerja. Bunyi yang tidak diinginkan
dari usaha atau kegiatan dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan
gangguan kesehatan masyarakat dan kenyamanan lingkungan inilah yang disebut
dengan kebisingan (Islamiah, dkk., 2017).
Kebisingan atau polusi suara (Noise Pollution) sering disebut sebagai suara
atau bunyi-bunyian yang tidak dikehendaki atau dapat diartikan pula sebagai suara
yang salah pada tempat dan waktu yang salah yang diakibatkan oleh suatu sumber
bunyi atau bising. Kebisingan merupakan salah satu penyebab utama timbulnya
gangguan kesehatan bagi para pekerja maupun masyarakat di sekitar tempat bekerja
dan seringkali menimbulkan protes dan kemarahan warga yang bertempat tinggal di
dekat sumber kebisingan (Chandra, 2009).
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
13/MEN/X/2011 menyatakan bahwa kebisingan merupakan semua bunyi yang tidak
dikehendaki yang bersumber dari alat-alat proses produksi dan/atau alat-alat kerja
yang pada tingkat tertentu dapat menimbulkan bahaya. Kebisingan termasuk dalam
jenis pencemaran suara yang mampu berdampak pada kenyamanan, kesehatan,
hingga kualitas hidup manusia. Adapun definisi kebisingan menurut beberapa
pendapat sebagai berikut:
1) Kebisingan adalah bunyi yang tidak diinginkan dari usaha atau kegiatan
dalam tingkat dan waktu tertentu yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan manusia dan kenyamanan lingkungan (Suarna, 2007).
2) Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan. Kebisingan adalah
suara yang tidak di sukai atau tidak diharapkan dan dapat mengganggu
seseorang (Budiono, 2009).
3) Kebisingan adalah salah satu faktor bahaya fisik yang sering dijumpai
ditempat kerja. Terpaan kebisingan yang berlebihan dapat merusak
kemampuan untuk mendengar (menjadi tuli) dan juga dapat memengaruhi
anggota tubuh yang lain termasuk jantung (Soeripto, 2008).
4) Kebisingan merupakan suara ditempat kerja berubah menjadi salah satu
bahaya kerja (occupational hazard) saat keberadaannya dirasakan
mengganggu atau tidak diinginkan secara fisik (menyakitkan pada telinga
pekerja) dan psikis (mengganggu konsentrasi dan kelancaran komunikasi)
yang akan menjadi polutan bagi lingkungan, sehingga kebisingan
didefinisikan sebagai polusi lingkungan yang disebabkan oleh suara (Tigor,
2005).
5) Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak dikehendaki yang bersifat
mengganggu pendengaran dan bahkan dapat menurunkan daya dengar
seseorang (WHS, 1993).
6) Kebisingan adalah sebuah bentuk energi yang bila tidak disalurkan pada
tempatnya akan berdampak serius bagi kesehatan manusia dan lingkungan
(Rosianasari, 2006).
7) Kebisingan adalah bentuk suara yang tidak diinginkan atau bentuk suara yang
tidak sesuai dengan tempat dan waktunya (Suratmo, 2002).
8) Kebisingan adalah bunyi atau suara yang tidak memiliki kesesuaian waktu
dan tempat (Patrick, 1997).
9) Kebisingan adalah suara atau bunyi yang tidak diinginkan karena tidak
memiliki kesesuaian ruang dan waktu sehingga menyebabkan gangguan pada
kenyamanan ataupun kesehatan yang terkena paparan kebisingan (Sasongko,
2000).
10) Kebisingan adalah suara yang menganggu dan berbahaya bagi kesehatan yang
terpaparnya (Djaja dan Ririn, 2005).

Suara atau bunyi-bunyian dapat diukur dengan suatu alat yang disebut “sound
level meter” yaitu berupa intensitas atau kekerasan suara dihitung dengan satuan
desibel dan frekuensi atau gelombang suara dihitung dengan satuan Hertz, telinga
manusia hanya mampu menangkap frekuensi suara berkisar antara 20-20.000 Hertz
dan aman pada intensitas suara sekitar 80 desibel, paparan suara atau bunyi-bunyian
melampaui kemampuan diatas dalam waktu yang lama dapat menyebabkan
terjadinya ketulian sementara atau permanen.

Tabel 2.1 Skala Intensitas Kebisingan


No Skala Kebisingan Intensitas Kebisingan
1 2 3
1 Menulikan 100-120
2 Sangat Hiruk 80-100
3 Kuat 60-80
4 Sedang 40-60
5 Tenang 20-40
6 Sangat Tenang 0-20
Sumber: Suma’mur, 2009

Efek kebisingan terhadap kesehatan dilaporkan meningkatkan sensitivitas


tubuh berupa peningkatan sistem kardiovaskuler seperti kenaikan tekanan darah dan
denyut jantung. Apabila hal ini terjadi dalam waktu yang lama akan menyebabkan
reaksi psikologis. Kebisingan dinyatakan dalam suatu logaritma yaitu desibel (dB).
Melalui intensitas (desibel) dapat ditentukan apakah bunyi tersebut bising atau tidak.
Melalui ukuran tersebut maka dapat diklasifikasikan seberapa jauh bunyi tersebut
dapat diterima atau tidak dapat diterima seperti yang tertuang dalam Tabel 2.1
(Suma’mur, 2009).
Kebisingan berhubungan erat dengan volume lalu lintas dan kecepatan saat
kondisi arus tersendat berhenti dan berjalan. Hal tersebut dikarenakan oleh
kemacetan menyebabkan bertambahnya emisi gas buangan dan juga kebisingan jika
dibandingkan dengan kinerja lalu lintas yang stabil. Alinemen yang tidak baik seperti
tikungan tajam dan kelandaian curam juga menambah emisi gas buangan dan
kebisingan. Namun, manusia cenderung mengabaikan kebisingan yang dihasilkannya
sendiri bila kebisingan itu secara wajar menyertai pekerjaan, seperti kebisingan
mesin kerja. Sebagai patokan, kebisingan mekanik atau elektrik, yang disebabkan
kipas angin, transformator, motor, pompa, pembersih vakum atau mesin cuci, selalu
lebih mengganggu daripada kebisingan yang hakikatnya alami (angin, hujan, dan air
terjun) (Riyadi, 2011).

2.1.2 Jenis-Jenis Kebisingan


Adanya perbedaan intensitas dan frekuensi menciptakan berbagai jenis
kebisingan yang memiliki karakteristik yang berbeda. Menurut Wardhana (2004),
kebisingan dapat dibagi menjadi beberapa jenis sebagai berikut:
1) Kebisingan Impulsif
Kebisingan Impulsif merupakan kebisingan yang datangnya tidak secara terus
menerus, akan tetapi sepotong-potong. Periode bisingnya cenderung tidak konstan.
Kebisingan ini memiliki pengaruh yang cukup mengganggu bagi manusia.
Contohnya seperti kebisingan yang datang dari suara palu yang dipukulkan dan
kebisingan yang datang dari mesin pemasang tiang pancang.
2) Kebisingan Kontinyu
Kebisingan kontinyu merupakan kebisingan yang datang secara terus
menerus dalam waktu yang cukup lama. Contohnya seperti kebisingan yang datang
dari suara mesin yang dijalankan atau dihidupkan. Kebisingan kontinyu terbagi atas
dua, yaitu:
a. Wide Spectrum, adalah bising dengan spectrum frekuensi yang luas. Bising
ini relatif tetap dalam batas kurang dari 5 dB untuk periode 0,5 detik berturut-
turut, seperti suara kipas angin.
b. Norrow Spectrum, adalah bising yang juga relatif tetap, akan tetapi hanya
mempunyai frekuensi tertentu saja (frekuensi 500, 1000, 4000), misalnya
gergaji sirkuler.
3) Kebisingan Semi Kontinyu
Kebisingan semi kontinyu merupakan kebisingan yang hanya sekejap,
kemudian hilang dan mungkin akan datang lagi. Contohnya seperti suara mobil atau
pesawat terbang yang sedang lewat.
4) Kebisingan Impulsif Berulang
Kebisingan impulsif berulang merupakan kebisingan yang sering dijumpai
pada kehidupan sehari-hari. Sebenarnya kebisingan impulsif berulang sama dengan
kebisingan impulsif, hanya saja kebisingan impulsif terjadi berulang-ulang seperti
mesin tempa. Contohnya seperti pada bagian penempaan besi di perusahaan besi.
Menurut Tigor (2005), berdasarkan pajanan kebisingan di tempat kerja,
kebisingan dibagi dalam tiga jenis sebagai berikut:
1. Kebisingan tetap (steady noice), dibagi kembali menjadi 2 jenis, yaitu:
a. Kebisingan dengan frekuensi terputus (discrete frequency noice) adalah
kebisingan dengan “nada” murni yang memiliki frekuensi beragam contohnya
suara mesin, dan kipas.
b. Broad band Noise hampir sama dengan discrete frequency noice, yang
membedakannya yaitu pada frekuensi yang lebih bervariasi atau bukan
“nada” murni.
2. Kebisingan tidak tetap (unsteady noise), dibagi kembali menjadi 3 jenis,
yaitu:
a. Kebisingan fluktuatif (fluktuatif noise) adalah bising yang selalu berubah
selama rentang waktu tertentu.
b. Intermittent noise adalah kebisingan yang terputus-putus dan besarnya dapat
berubah, contohnya suara bising lalu lintas.
c. Impulsive noise adalah bising yang dihasilkan oleh suara berintensitas tinggi
dalam waktu relatif singkat, contohnya letupan senjata api.

Menurut Suma’mur (2007), berdasarkan pengaruhnya terhadap manusia,


kebisingan dibagi menjadi tiga jenis, yaitu:
1. Bising yang menganggu (iritating noise), yaitu bising yang memiliki
intensitas tidak terlalu keras, misalnya mendengkur.
2. Bising yang menutupi (Masking Noise), yaitu bising yang mampu menutupi
pendengaran yang jelas. Secara tidak langsung, bunyi ini akan mempengaruhi
kesehatan dan keselamatan pekerja karena teriakan isyarat atau tanda bahaya
tenggelam dari sumber bising lainnya.
3. Bising yang merusak (Damaging/Injurious Noise), yaitu bising yang
melampaui NAB dan akan merusak atau menurunkan fungsi pendengaran.

Menurut Buchari (2007), berdasarkan sifat dan spektrum frekuensi bunyi


dijelaskan bahwa kebisingan dapat dibagi atas:
1) Kebisingan Spektrum Frekuensi Luas
Kebisingan ini relatif tetap dalam batas kurang lebih 5 dB untuk periode 0,5
detik berturut-turut. Contohnya adalah suara kipas angin.
2) Kebisingan Dengan Spektrum Frekuensi Sempit
Kebisingan ini mempunyai frekuensi tertentu dan relatif tetap. Kebisingan ini
berada pada frekuensi 500, 1000, dan 4000 Hz. Contoh kebisingan seperti ini adalah
gergaji serkuler dan katup gas.

2.1.3 Sumber-Sumber Kebisingan


Bunyi yang menimbulkan kebisingan disebabkan oleh sumber yang bergetar.
Getaran sumber suara mengganggu molekul-molekul udara di sekitar sehingga
molekul-molekul ikut bergetar. Getaran sumber ini menyebabkan terjadinya
gelombang rambatan energi mekanis dalam medium udara menurut pola rambatan
longitudinal. Rambatan tersebut kemudian dirasakan oleh alat indra manusia. Besar
kecilnya suatu bunyi juga mempengaruhi. Kebisingan bersumber dari beberapa jalur
dengan ciri dan pengaruh yang berbeda. Menurut Suroto (2007), sumber kebisingan
terdiri dari dua jalur sebagai berikut:
1) Bising Indoor (dalam), yaitu sumber bising yang besumber dari manusia,
alat-alat rumah tangga, atau mesing-mesin gedung.
2) Bising Outdoor (luar), yaitu sumber bising yang berasal dari aktivitas lalu
lintas, transportasi, industri, alat-alat mekanis yang terlihat dalam gedung,
tempat-tempat pembangunan gedung, perbaikan jalan, kegiatan olahraga dan
lain-lain diluar ruangan atau gedung.

Menurut World Health Organization (1980), kebisingan dapat


diklasifikasikan dalam beberapa sumber sebagai berikut:
1) Lalu lintas jalan
Salah satu sumber kebisingan adalah suara lalu lintas jalan raya. Kebisingan
lalu lintas di jalan raya ditimbulkan oleh suara dari kendaraan bermotor dimana suara
tersebut bersumber dari mesin kendaraan, bunyi pembuangan kendaraan, serta bunyi
dari interaksi antara roda dengan jalan. Dari beberapa sumber kebisingan yang
berasal dari aktivitas lalu lintas alat transportasi, kebisingan yang bersumber dari lalu
lintas jalan raya ini memberikan proporsi frekuensi kebisingan yang paling
mengganggu.
2) Industri
Kebisingan industri bersumber dari suara mesin yang digunakan dalam proses
produksi. Intensitas kebisingan ini akan meningkat sejalan dengan kekuatan mesin
dan jumlah produksi dari industri.
3) Pesawat Terbang
Kebisingan yang bersumber dari pesawat terbang terjadi saat pesawat akan
lepas landas ataupun mendarat di bandara. Kebisingan akibat pesawat pada umumnya
berpengaruh pada awak pesawat, penumpang, petugas lapangan, dan masyarakat
yang bekerja atau tinggal di sekitar bandara.
4) Kereta Api
Pada umumnya sumber kebisingan pada kereta api berasal dari aktivitas
pengoperasian kereta api, lokomotif, bunyi sinyal di pelintasan kereta api, stasiun,
dan penjagaan serta pemeliharaan konstruksi rel. Namun, sumber utama kebisingan
kereta api sebenarnya berasal dari gesekan antara roda dan rel serta proses
pembakaran pada kereta api tersebut. Kebisingan tersebut memiliki tingkat volume
yang cenderung lebih besar dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Kebisingan
yang ditimbulkan oleh kereta api ini berdampak pada masinis, awak kereta api,
penumpang, dan juga masyarakat yang tinggal di sekitar pinggiran rel kereta api.
5) Kebisingan Konstruksi Bangunan
Berbagai suara timbul dari kegiatan konstruksi bangunan mulai dari peralatan
dan pengoperasian alat, seperti memalu, penggilingan semen, dan sebagainya.
6) Kebisingan Dalam Ruangan
Kebisingan dalam ruangan bersumber dari berbagai sumber seperti Air
Condition (AC), tungku, unit pembuangan limbah, dan sebagainya. Suara bising
yang berasal dari luar ruangan juga dapat menembus ke dalam ruangan sehingga
menjadi sumber kebisingan di dalam ruangan. Hal tersebut mengakibatkan
terganggunya aktivitas manusia dalam melakukan kegiatannya di dalam ruangan,
terutama pada perkantoran dan lain-lain. Menurut Kuswana (2014), sumber
kebisingan yang berasal dari berbagai lingkungan antara lain sebagai berikut:
1. Kebisingan dari lingkungan pabrik, yang bersumber dari mesin-mesin
pemotong, mesin produksi dan lain sebagainya.
2. Kebisingan dari alat konstruksi, yang meliputi:
a. Bersumber dari alat-alat konstruksi yang digunakan untuk meringankan kerja
dan meningkatkan produktivitas kerja seperti mikser, generator dan vibrator.
b. Kebisingan yang berasal dari lalu lintas diperoleh dari lalu lintas darat
maupun udara.
c. Kebisingan dari alat rumah tangga yang berasal dari peralatan rumah tangga
seperti suara pompa air, televisi maupun musik.
d. Kebisingan pada tempat rekreasi bersumber dari suara manusia, hewan atau
peralatan canggih yang digunakan.
2.1.4 Pengukuran Kebisingan
Menurut Suma’mur (2009), yang dimaksud dengan pengukuran kebisingan
adalah:
1) Memperoleh data tentang frekuensi dan intensitas kebisingan diperusahaan
atau dimana saja. Pengumpulan data tersebut menjadi langkah awal dalam
melakukan pengukuran kebisingan. Kedepannya, data tersebut akan menjadi
dasar perhitungan dan pengambilan kesimpulan atas dampak serta solusi
penyelesaian masalah.
2) Menggunakan data hasil pengukuran kebisingan untuk mengurangi intensitas
kebisingan tersebut, sehingga tidak menimbulkan gangguan dalam rangka
upaya konservasi pendengaran tenaga kerja, perlindungan masyarakat atau
tujuan lainnya.

Dalam KEP-48/MENLH/11/1996 dijelaskan mengenai metode pengukuran


tingkat kebisingan. Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan untuk mengetahui
ambang batas suatu kebisingan disuatu tempat kejadian kebisingan. Pengukuran
tingkat kebisingan dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
1) Cara sederhana, yaitu dengan sebuah Sound Level Meter biasa lalu diukur
tingkat tekanan bunyi dB(A) selama 10 menit untuk tiap pengukuran.
Pembacaan dilakukan setiap 5 detik.
2) Cara langsung, yaitu dengan sebuah Integrating Sound Meter yang
mempunyai fasilitas pengukuran Ltm5, Leq dengan waktu ukur setiap 5 detik,
dilakukan pengukuran selama 10 menit.

Sound Level Meter (SLM) biasanya dipakai untuk mengukur tingkat


kebisingan pada saat tertentu. Biasanya alat ini digunakan untuk mengidentifikasi
tempat-tempat yang tingkat kebisingannya lebih tinggi dari aturan batas maksimum
yakni 85 dBA. Menurut Anizar (2010), alat ini terdiri dari Microphone, alat penunjuk
elektronik, amplifilter, dan 3 skala pengukuran A, B, C.
1) Skala Pengukuran A, untuk memperlihatkan perbedaan kepekaan yang besar
pada frekuensi rendah dan tinggi yang menyerupai reaksi telinga untuk
intensitas rendah.
2) Skala Pengukuran B, untuk memperlihatkan kepekaan telinga untuk bunyi
dengan intensitas sedang.
3) Skala Pengukuran C, untuk skala dengan intensitas tinggi.
Saat ini telah banyak alat yang dikembangkan untuk mengukur tingkat
kebisingan. Berbagai macam alat tersebut memiliki tingkat keakuratan, jenis, serta
terfokus pada salah satu jenis pengukuran. Alat tersebut diantaranya yaitu M-28
Noise Logging Dosimeter, Sound Level Meter, Sound Pressure Lever. Alat standar
untuk pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter (SLM). Salah satu alat yang
sering digunakan dalam pengukuran kebisingan adalah Sound Level Meter. SLM
dapat mengukur tiga jenis karakter respon frekuensi, yang ditunjukkan dalam skala
A, B, dan C. Skala A ditemukan paling mewakili batasan pendengaran manusia dan
respon telinga terhadap kebisingan, termasuk kebisingan akibat lalu lintas, serta
kebisingan yang dapat menimbulkan gangguan sehingga berakibat pada kualitas
indra pendengaran. Skala A dinyatakan dalam satuan dBA (Djalante, 2011).
Mekanisme kerja dari SLM adalah apabila ada benda bergetar maka akan
menyebabkan terjadinya perubahan tekanan udara yang dapat ditangkat oleh alat.
Pengukuran tingkat kebisingan dilakukan menggunakan Sound Level Meter yaitu
untuk mengukur tingkat tekanan bunyi selama 10 menit untuk setiap jamnya. Adapun
langkah-langkah pengukuran tingkat kebisingan adalah sebagai berikut:
1) Sound Level Meter diletakkan pada lokasi yang tidak menghalangi pandangan
pengguna dan tidak ada sumber suara asing yag akan mempengaruhi tingkat
kebisingan.
2) Sound Level Meter sebaiknya dipasang pada tripod agar posisinya stabil.
3) Pengguna Sound Level Meter sebaiknya berdiri pada jarak 0,5 m dari alat
agar tidak terjadi efek pemantulan yang mempengaruhi penerimaan bunyi.
4) Sound Level Meter ditempatkan pada ketinggian 1,2 m dari atas permukaan
tanah dan sejauh 4,0-15,0 m dari permukaan dinding serta objek lain yang
akan memantulkn bunyi untuk menghindari terjadinya pantulan dari benda-
benda permukaan di sekitarnya.
5) Hasil rekaman data menggunakan sound level meter disimpan dalam laptop
yang terhubung dengan sound level meter.

Menurut Nabila (2018), ada beberapa tahapan yang dilakukan dalam


pelaksanaan pengukuran, tahapan tersebut diawali dari tahap persiapan hingga tahap
pelaksanaan pengukuran. Adapun tahapan-tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Menetapan ruas jalan berdasarkan peta jaringan jalan dan hasil survei
pendahuluan.
2) Mempersiapkan peralatan-peralatan yang nantinya akan digunakan untuk
pengukuran dan operator yang akan mengoperasikan peralatan yang
digunakan. Selain itu, menyiapkan lokasi tempat berdirinya alat dengan
tingkat keamanan yang baik hal ini guna mencegah dari pada kerusakan alat.
3) Mencatat kondisi lingkungan dari ruas jalan dan mengidentifikasi jenis
perkerasan jalan melalui pengamatan langsung serta mencatat karakteristik
jalan. Deskripsi lokasi penting sebagai data tambahan dalam menentukan
kesimpulan atas masalah yang sedang ingin diselesaikan.
4) Mengukur tingkat kebisingan menggunakan sound level meter, menghitung
volume dan komposisi lalu lintas menggunakan alat counter, mengukur
kecepatan rata-rata kendaraan menggunakan speed gun.
5) Lama pengukuran disesuaikan dengan tingkat kebisingan prediksi yang
diinginkan.
6) Pengukuran tingkat kebisingan, volume lalu lintas, kecepatan dilakukan
secara bersamaan.

Ada beberapa penentuan kriteria yang dibedakan menurut fungsi dan


keguncangannya. Berikut akan dijelaskan dua macam penentuan kriteria kebisingan
yaitu perhitungan tingkat tekanan bunyi equivalent (Leq), tingkat tekanan bunyi
siang hari (Ls), tingkat tekanan bunyi malam hari (Lm) dan tingkat tekanan bunyi
siang malam (Lsm) (Suma’mur 2009).
1) Tingkat Kebisingan Equivalent (Leq)
Tingkat kebisingan yang terjadi pada tingkat tekanan bunyi ekuivalen dimana
nilai tertentu bunyi yang fluktuatif selama waktu tertentu setara dengan tingkat bunyi
yang steady state. Menurut KEPMENLH No.48/MenLH/11/1996, menetapkan
bahwa waktu pengukuran adalah 10 menit tiap jam. Pengambilan atau pencatatan
data adalah tiap 5 detik. Selama 10 menit, diperoleh data sebanyak 120 data yang
selanjutnya dilakukan perhitungan data untuk mengetahui nilai kebisingan dari hasil
pengukuran. Data tersebut harus diambil dengan ketepatan dan keakuratan yang baik
agar terhindar dari adanya eror data. Rumus ini digunakan pada setiap menit hingga
diperoleh data Leq 1 menit sampai 10 menit.
Setelah nilai Leq 10 menit diperoleh, kemudian dimasukkan pada tabel. Data
dimasukkan pada kolom jam pengukuran antara jam 11.00 sampai 17.00, yaitu tepat
pada pukul 13.50. Jika data tabel tersebut telah lengkap sesuai dengan KEPMENLH
No. 48/MenLH/11/1996 tentang Baku Tingkat Kebisingan, maka akan diperoleh nilai
rata-rata dari hasil pengukuran tingkat tekanan bunyi ekuivalen (Leq) selama 24 jam.
Untuk tingkat tekanan bunyi ekuivalen (Leq) siang hari (Ls) pengukuran dilakukan
dari jam 06.00-17.00, sedangkan pengukuran tingkat tekanan bunyi equivalent (Leq)
malam hari (Lm) dilakukan dari jam 17.00-06.00. Hasil dari pengukuran tersebut
ditambah dengan faktor pembobotan, yaitu 5 dB(A).

2.1.5 Nilai Ambang Batas (NAB) Intensitas Kebisingan


Nilai ambang batas kebisingan adalah intensitas suara tertinggi yang
merupakan nilai rata-rata yang dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan
hilangnya daya dengar yang menetap untuk waktu kerja 8 jam sehari dan 40 jam
seminggu. Sesuai keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No.PER 13/MEN/X/2011,
tentang nilai ambang batas kebisingan ditempat kerja adalah 85 dB dan merupakan
Standar Nasional Indonesia (SNI).
Standar kebisingan berdasarkan Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI dapat
dilihat pada Tabel 2.2 berikut:
Tabel 2.2 Nilai Ambang Batas Kebisingan
No Satuan Waktu Pemaparan Intensitas Kebisingan
(dB)
1 2 3 4
8 85
4 88
1 Jam
2 91
1 94
30 97
15 100
2 Menit 7,5 103
3,75 106
0,94 112
28,12 115
14,06 118
1,88 109
7,03 121
3,52 124
3 Detik
1,76 127
0,88 130
0,44 133
0,22 136
0,11 139
4 Tidak Boleh 140
Sumber : Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja RI No. PER13/MEN/2011

Intensitas kebisingan (bunyi) adalah arus energi per satuan luas yang
dinyatakan dalam satuan desibel (dB), dengan membandingkannya dengan kekuatan
dasar 0,0002 dyne/cm2 yaitu kekuatan dari bunyi dengan frekuensi 1000 Hz yang
tepat dapat di dengar oleh manusia normal. Desibel adalah satu per sepuluh bel,
sebuah satuan yang dinamakan untuk menghormati Alexander Graham Bell.
Tabel 2.3 Skala Intensitas Kebisingan dan Sumbernya
No Intensitas dB Batas Dengar Tertinggi
1 2 3 4
120 Halilintar
1 Menulikan 110 Meriam
100 Mesin uap
100 Jalan hiruk pikuk
2 Sangat hiruk 90 Perusahaan sangat gaduh
80 Pluit polisi
Kantor gaduh
80
Jalan pada umumnya
3 Kuat 70
Radio
60
Perusahaan
Rumah gaduh
60
Kantor umumnya
4 Sedang 50
Percakapan kuat
40
Radio perlahan
Rumah tenang
40
Kantor perorangan
5 Tenang 30
Auditorium
20
Percakapan
20 Suara daun-daun
6 Sangat tenang 10 Berbisik
0 Batas dengar terendah
Sumber: Suma’mur, 2009

Adapun peraturan tentang tingkat kebisingan yang dianjurkan di dalam sutu


kawasan terdapat pada peraturan keputusan MENKES No.
718/Men.Kes/Per/XI/1987 yang dibagi kedalam empat zona dengan tingkat
kebisingan yang dianjurkan:
a. Zona A (Kebisingan antara 35 dB sampai 45 dB), zona yang diperuntukkan
bagi penelitian, rumah sakit, tempat perawatan kesehatan atau sosial dan
sejenisnya.
b. Zona B (Kebisingan antara 45 dB sampai 55 dB), zona yang diperuntukkan
bagi perumahan, tempat pendidikan, rekreasi dan sejenisnya.
c. Zona C (Kebisingan antara 50 dB sampai 60 dB), zona yang diperuntukkan
bagi perkantoran, pertokoan, perdagangan, pasar dan sejenisnya.
d. Zona D (Kebisingan antara 60 dB sampai 70 dB), Zona yang diperuntukkan
bagi industri, pabrik, stasiun kereta api, terminal bus dan sejenisnya.

Tabel 2.4 Zona Kebisingan


Tingkat Kebisingan (dB)

Maks yang Maks yang


No Zona
Dianjurkan Diperbolehkan

1 2 3 4

1 A 35 45
2 B 45 55
3 C 50 60

4 D 60 70

Sumber: Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia


No.718/Men/Kes/Per/XI/1987

Tabel 2.5 Batas Kebisingan Berdasarkan Alokasi


No Alokasi Area Batas Kebisingan Maksimum
1 Kawasan Pemerintah 55 dBA
2 Kawasan Jasa dan Perdagangan 70 dBA
3 Kawasan Bisnis dan Perkantoran 65 dBA
4 Lahan Hijau Terbuka 50 dBA
5 Kawasan Industri 70 dBA
6 Kawasan Umum dan Pemerintah 60 dBA
7 Kawasan Rekresional 70 dBA
8 Terminal Kereta Api 60 dBA
9 Pelabuhan Laut 70 dBA
10 Rumah Sakit dan Sekitarnya 55 dBA
11 Sekolah dan Sekitarnya 55 dBA
Sumber: Kepmennaker No.48 tahun 1996

2.1.6 Dampak Kebisingan


Menurut Doelle (1985:149), secara umum kebisingan dapat mengalihkan
perhatian, mengganggu dan berbahaya bagi kegiatan sehari-hari. Dalam
penelitiannya Lina (2013), Noise Induced Hearing Loss merupakan penggunaan
pendengaran dalam jangka waktu yang lama dan terus menerus dan 16 % hearing
loss pada orang dewasa disebabkan oleh lingkungan kerja yang bising. Kebisingan
dapat menarik perhatian pekerja dan ganggu konsentrasi mereka dan dapat
mnyebabkan kecelakaan (anizar,2012:154). Doelle (1972:150) mengemukakan
bahwa bising yang cukup keras diatas sekitar 70 dB dapat menyebabkan kegelisahan
(nervousness). Kurang enak badan, kejenuhan mendengar, sakit lambung dan
masalah peredaran darah. Pengaruh paparan kebisingan secara umum dapat
dikategorikan menjadi dua yang didasarkan pada tinggi rendahnya intensitas
kebisingan dan lamanya waktu pemaparan, yaitu pengaruh pemaparan kebisingan
intensitas tinggi (di atas NAB) dan pengaruh pemaparan kebisingan intensitas rendah
(di bawah NAB).

1) Pengaruh Kebisingan Intensitas Tinggi


Secara spesifik kebisingan intensitas tinggi dapat menyebabkan pengaruh
diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pengaruh pemaparan kebisingan intensitas tinggi (di atas NAB) adalah
terjadinya kerusakan pada indera pendengaran yang dapat menyebabkan
penurunan daya dengar baik yang bersifat sementara maupun bersifat
permanen atau ketulian. Sebelum terjadi kerusakan pendengaran yang
permanen, biasanya didahului dengan pendengaran yang bersifat sementara
yang dapat mengganggu kehidupan yang bersangkutan baik di tempat kerja
maupun di lingkungan keluarga dan lingkungan sosialnya.
b. Pengaruh kebisingan akan sangat terasa apabila jenis kebisingannya terputus-
putus dan sumbernya tidak diketahui. Hal ini bisa membuat seseorang kaget
atau psikologisnya.
c. Secara fisiologis, kebisingan dengan intensitas tinggi dapat menyebabkan
gangguan kesehatan seperti, meningkatnya tekanan darah dan denyut jantung,
risiko serangan jantung meningkat, gangguan pencernaan.
d. Reaksi masyarakat, apabila kebisingan akibat suatu proses produksi demikian
hebatnya sehingga masyarakat sekitarnya protes menuntut agar kegiatan
tersebut dihentikan.

2) Pengaruh Kebisingan Intensitas Rendah


Tingkat intensitas kebisingan rendah atau di bawah NAB banyak ditemukan
di lingkungan kerja seperti perkantoran, ruang administrasi perusahaan dll. Intensitas
kebisingan yang masih di bawah NAB tersebut Secara fisiologis tidak menyebabkan
kerusakan pendengaran. Namun demikian, kehadirannya sering dapat menyebabkan
penurunan performansi kerja, sebagai salah satu penyebab stres dan gangguan
kesehatan lainnya. Secara spesifik stres karena kebisingan tersebut dapat
menyebabkan gangguan, antara lain:
a. Stres menuju keadaan cepat marah, sakit kepala dan gangguan tidur.
b. Gangguan reaksi psikomotor.
c. Kehilangan konsentrasi.
d. Gangguan komunikasi antara lawan bicara.
e. Penurunan performansi kerja yang kesemuanya itu akan bermuara pada
kehilangan efisiensi dan produktivitas.

Menurut Iridiastadi dan Yassierli (2015:222) menegaskan paparan terhadap


kebisingan di tempat kerja dapat berdampak pada berkurangnya sensivitas telinga
(atau naiknya ambang pendengaran) dan merupakan indikator terjadinya hilangnya
pendengaran. Bising menyebabkan berbagai gangguan pada tenaga kerja seperti
gangguan fisiologis, psikologis, komunikasi, keseimbangan dan pendengaran
(Roestam, 2004).
1) Gangguan psikologis
Gangguan psikologis dapat berubah rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,
susah tidur, dan cepat marah. Gangguan ini menjadi pengaruh kebisingan paling
berbahaya bagi makhluk hidup. Bila kebisingan diterima dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, stres, kelelahan, dan
lain-lain.
2) Gangguan komunikasi
Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang
menutupi pendengaran yang jelas) atau gangguan kejelasan suara. Komunikasi
pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini bisa menyebabkan
terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya kesalahan karena
tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya; gangguan komunikasi ini secara tidak
langsung membahayakan keselamatan tenaga kerja.
3) Gangguan keseimbangan
Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang
angkasa atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala
pusing (vertigo) atau mual-mual.
4) Efek pada pendengaran
Efek pada pendengaran adalah gangguan paling serius karena dapat
menyebabkan ketulian. Ketulian bersifat progresif. Pada awalnya bersifat sementara
dan akan segera pulih kembali bila menghindar dari sumber bising. Namun, apabila
terus menerus bekerja di tempat bising, daya dengar akan hilang secara menetap dan
tidak akan pulih kembali.
5) Gangguan fisiologis
Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila
terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan ini dapat berupa peningkatan
tekanan darah (mmHg), peningkatan nadi, konstriksi pembuluh darah perifer
terutama pada tangan dan kaki, serta dapat menyebabkan pucat dan gangguan
sensoris.

Kuswana (2014:183), menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi


resiko dari dampak kebisingan antara lain:
1. Intensitas kebisingan, semakin tinggi intensitasnya maka semakin besar
resiko terjadinya gangguan pendengaran.
2. Frekuensi kebisingan, semakin tinggi frekuensinya maka semakin besar
resiko terjadinya gangguan pendengaran.
2) Jenis kebisingan, kebisingan yang kontinu lebih besar kemungkinannya untuk
menyebabkan terjadinya gangguan pendengaran.
3) Lama pemaparan, semakin lama terpapar kebisingan, semakin besar resiko
terjadinya gangguan pendengaran.
4) Lama tinggal, semakin lama seseorang tinggal di sekitar kebisingan maka
semakin besar resiko terjadinya gangguan pendengaran.
5) Umur, sensivitas pndengaran berkurang seiring bertambahnya umur.
6) Kerentanan individu, yaitu tidak semua individu yang terapar kebisingan pada
kondisi yang sama mengalami perubahan nilai ambang pendengaran. Hal ini
bergantung pada kerentanan setiap individu karena tingkat kerentanan yang
dimiliki antara individu dengan individu lainnya berbeda.

Menurut Buchari (2007), tingkat kebisingan yang dapat diterima tergantung


pada lamanya kebisingan tersebut diterima. Tingkat kebisingan yang dapat ditolerir
oleh seseorang tergantung pada kegiatan apa yang dilakukan. Gangguan dari
kebisingan atau dari bunyi pada tingkat tertentu masih dapat diadaptasi oleh fisik
manusia namun pada syaraf pada manusia dapat terganggu kinerjanya, akibatnya
dapat menyebabkan ganguan atau kerusakan yang parah. Gangguan pendengaran,
merupakan perubahan yang terjadi pada tingkat pendengaran yang mengakibatkan
kesulitan dalam menjalani kehidupan normal. Ganguan pendengaran biasanya terjadi
saat memahami suatu pembicaraan. Biasanya secara kasar gradasi gangguan
pendengaran yang diakibatkan oleh bising itu sendiri dapat ditentukan menggunakan
parameter pada percakapan sehari-hari seperti berikut:
1) Gradasi normal yaitu parameter kesulitan dalam percakapan biasa (6 meter).
2) Gradasi sedang yaitu parameter kesulitan dalam percakapan sehari-hari mulai
jarak >1,5 meter.
3) Gradasi menengah yaitu parameter kesulitan dalam percakapan keras sehari-
hari mulai jarak >1,5 meter.
4) Gradasi berat yaitu parameter kesulitan dalam percakapan keras atau berteriak
pada jarak >1,5 meter.
5) Gradasi sangat berat yaitu parameter kesulitan dalam percakapan atau
berteriak pada jarak <1,5 meter.
6) Gradasi tuli total yaitu parameter kehilangan kemampuan pendengaran dalam
berkomunikasi.

Apabila kebisingan terpapar pada seseorang yang sedang belajar, maka


kebisingan yang sangat rendah sekalipun dianggap mengganggu, sumber kebisingan
yang berdampak pada seseorang yang sedang belajar bukan berdasar dari dalam
ruangan saja akan tetapi juga berasal dari sekeliling dan luar rangan belajar tersebut.
Kebisingan juga dapat menyebabkan pelemahan saat mendengarkan, gangguan
komunikasi, gangguan tidur, penyebab terhadap efek jantung, atau urat-urat darah
dan efek jantung atau urat-urat darah dan efek psiko-fisiologi, menurunkan
performansi fisik, serta menimbulkan perubahan dalam perilaku sosial. Menurut
Tarwaka (2004), sebelum dilakukan langkah pengendalian, langkah pertama yang
harus dilakukan adalah membuat rencana pengendalian yang didasarkan pada hasil
penilaian kebisingan dan dampak yang ditimbulkan. Rencana pengendalian dapat
dilakukan dengan pendekatan melalui perspektif manajemen risiko kebisingan.
Manajemen risiko yang dimaksud adalah suatu pendekatan yang logik dan sistemik
untuk mengendalikan risiko yang mungkin timbul. Langkah manajemen risiko
kebisingan tersebut adalah:
1) Mengidentifikasi sumber-sumber kebisingan yang ada di tempat kerja yang
berpotensi menimbulkan penyakit atau cedera akibat kerja.
2) Menilai risiko kebisingan yang berakibat serius terhadap penyakit dan cedera
akibat kerja.
3) Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mengendalikan atau
meminimalisasi risiko kebisingan.

Setelah rencana dibuat dengan seksama, langkah selanjutnya adalah


melaksanakan langkah pengendalian kebisingan. Pengendalian kebisingan sendiri
merupakan suatu cara untuk mengendalikan atau mengontrol suatu polusi dalam hal
ini polusi kebisingan yang dapat mengganggu aktivitas makhluk hidup. Penendalian
kebisingan dapat dibagi dengan dua arah pendekatan yaitu pendekatan dengasn
jangka pendek (Short term gain) dan pendekatan dengan jangka panjang (Long term
gain) dari hirarki pengendalian. Pada pengendalian kebisingan dengan orientasi
jangka panjang, teknik pengendaliannya secara berurutan adalah eliminasi sumber
kebisingan, pengendalian secara teknik, pengendalian secara administratif dan
terakhir penggunaan alat pelindung diri. Berikut beberapa pengendalian kebisingan
diantaranya:
1. Eliminasi sumber kebisingan
Penghilangan bahaya merupakan metode yang paling efektif sehingga tidak
hanya mengandalkan perilaku pekerja dalam menghindari risiko. Namun demikian,
penghapusan terhadap bahaya tidak selalu praktis dan ekonomis (Amalia dkk,
(2015).
Menurut Tarwaka (2004), ada beberapa hal yang perlu dilakukan pada
pengendalian motode eliminasi sumber bising, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pada teknik eliminasi ini dapat dilakukan dengan penggunaan tempat kerja
atau pabrik baru sehingga biaya pengendalian dapat diminimalkan.
b. Pada tahap tender mesin-mesin yang akan dipakai, harus mensyaratkan
maksimum intensitas kebisingan yang dikeluarkan dari mesin baru.
c. Pada tahap pembuatan pabrik dan pemasangan mesin, konstruksi bangunan
harus dapat meredam kebisingan serendah mungkin dll.

2. Pengendalian Kebisingan Secara Teknik


Menurut Tarwaka (2004), ada beberapa hal yang perlu dilakukan pada
pengendalian kebisingan secara teknik, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pengendalian Kebisingan Pada Sumber Suara
Penurunan kebisingan pada sumber suara dapat dilakukan dengan menutup
mesin atau mengisolasi mesin sehingga terpisah dengan pekerja. Teknik ini dapat
dilakukan dengan mendesain mesin memakai remote control. Selain itu dapat
dilakukan redesain landasan mesin dengan bahan anti getaran. Namun demikian,
teknik ini memerlukan biaya yang sangat besar sehingga dalam prakteknya sulit
diimplementasikan.
b. Pengendalian Kebisingan Pada Bagian Transmisi Kebisingan
Apabila teknik pengendalian pada sumber suara sulit dilakukan, maka teknik
berikutnya adalah dengan memberi pembatas atau sekat antara mesin dan pekerja.
Cara lain adalah dengan menambah atau melapisi dinding, plafon dan lantai dengan
bahan penyerap suara. Cara tersebut dapat mengurangi kebisingan antara 3-7 dB.

3. Pengendalian Kebisingan Secara Administratif


Apabila teknik pengendalian secara teknik belum memungkinkan untuk
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan teknik pengendalian
secara administratif. Teknik pengendalian ini lebih difokuskan pada manajemen
pemaparan. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan mengatur rotasi kerja
antara tempat yang bising dengan tempat yang lebih nyaman yang didasarkan pada
intensitas kebisingan yang diterima.

4. Penggunaan Alat Pelindung Diri


Menurut Tarwaka (2008), alat-alat pelindung telinga yang dibutuhkan adalah
sebagai berikut:
a. Sumbat Telinga (Ear Plug)
Ukuran dan bentuk saluran telinga tiap-tiap individu dan bahkan untuk kedua
telinga dari orang yang sama adalah berbeda. Untuk itu ear plug harus dipilih
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan ukuran dan bentuk saluran telinga
pemakainya. Pada umumnya diameter saluran telinga antara 5-11 mm dan liang
telinga pada umumnya berbentuk lonjong dan tidak lurus. Ear plug dapat terbuat dari
kapas, plastik, karet alami dan bahan sintetis. Untuk sumbat telinga yang terbuat dari
kapas, spon dan malam hanya dapat digunakan untuk sekali pakai (disposable).
Sedangkan yang terbuat dari bahan karet dan plastik yang dicetak (Molded
rubber/plastic) dapat digunakan berulang kali (non disposable). Alat ini dapat
mengurangi suara sampai 20 dB (A).

b. Tutup Telinga (Ear Muff)


Alat pelindung telinga jenis ini terdiri dari 2 (dua) buah tutup telinga dan
sebuah headband. Isi dari tutup telinga dapat berupa cairan atau busa yang berfungsi
untuk menyerap suara frekuensi tinggi. Pada pemakaian untuk waktu yang cukup
lama, efektivitas meredam dan menurunkan karena bantalannya menjadi mengeras
dan mengerut sebagai akibat reaksi dari bantalan dengan minyak dan keringat pada
permukaan kulit.
Perlu diperhatikan beberapa kriteria di dalam pemilihan dan penggunaan alat
pelindung diri. Alat ini dapat mengurangi intensitas suara sampai 30 dB (A) dan juga
dapat melindungi bagian luar telinga dari benturan benda keras atau percikan bahan
kimia. Oleh katena itu, ada beberapa kriteria perlindungan diri sebagai berikut:
1) Alat pelindung diri harus mampu memberikan perlindungan efektif kepada
pekerja atas potensi bahaya yang dihadapi di tempat kerja.
2) Alat pelindung diri mempunyai berat yang seringan mungkin, nyaman
dipakai dan tidak merupakan beban tambahan bagi pemakainya.
3) Bentuknya cukup menarik, sehingga pekerja tidak malu memakainya.
4) Tidak menimbulkan gangguan kepada pemakainya, baik karena jenis
bahayanya maupun kenyamanan dalam pemakaian.
5) Mudah untuk dipakai dan dilepas kembali.
6) Tidak mengganggu penglihatan, pendengaran dan pernafasan serta gangguan
kesehatan lainnya pada waktu dipakai dalam waktu yang cukup lama.
7) Tidak mengurangi persepsi sensori dalam menerima tandatanda peringatan.
8) Suku cadang alat pelindung diri yang bersangkutan cukup tersedia dipasaran.
9) Mudah disimpan dan dipelihara pada saat tidak digunakan.
10) Alat pelindung diri yang dipilih harus sesuai standar yang ditetapkan.

2.1.7 Teknologi Pengendalian Kebisingan


Menurut Retnaningsih (2016), ada banyak cara yang dapat dilakukan dalam
rangka pengendalian kebisingan di suatu wilayah. Cara yang dapat dilakukan dalam
rangka pengendalian kebisingan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Pengendalian secara teknis, yaitu dilakukan pada sumber media yang melalui
bising beserta jarak sumber bising yang tersedia. Adapun cara yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Mendesain ulang penolakan untuk mengurangi kecepatan menamban manufer
mengganti peralatan dan mendesain dengan dengan baik.
b. Meredam sumber bising dengan memberi bantalan untuk mengurangi
jatuhnya benda dari atas ke bawah.
c. Menambah gerak dengan bahan yang menyerap bising pada jam kerja.
2. Pengendalian Secara Administrasi, yaitu dengan mengurangi kerja pada
pekerja yang terpapar oleh kebisingan dengan intensitas tinggi untuk
mengurangi bising.
3. Memakai alat pelindung telinga, yaitu berupa sumbat telinga atau penutup
telinga yang digunakan atau dipakai dengan tujuan untuk melindungi dan
mengurangi pemaparan kebisingan masuk ke dalam telinga. Penggunaan APT
merupakan kewajiban bila pekerja terpapar oleh bising dengan intensitas 85
dBA selama 8 jam kerja atau 40 jam per minggu. Secara teknis, cara kerja
APT adalah menghambat atau mengurangi intensitas gelombang suara yang
masuk ke dalam pendengaran manusia. Adapun jenis alat pelindung telinga
yaitu :
a. Sumbat telinga dapat mengurangi bising hingga 30 dB.
b. Tutup telinga dapat mengurangi bising hingga 40-50 dB.
c. Helmet dapat mengurangi bising maksimum (Roestan, 2004).

4. Pengendalian pada media, dapat dilakukan adalah sebagai berikut :


a. Memperbesar jarak bising dengan pekerja atau pemukiman demi mengurangi
potensi terganggunya pekerjaan akibat bising.
b. Memasang peredam suara pada dinding dan langit-langit.
c. Membuat ruang kontrol agar dapat dipergunakan mengontrol pekerjaan dari
ruang terpisah.
d. Bila sumber adalah lalu lintas, dapat dilakukan pembatasan jalan dengan
bangunan, misalnya penanaman pohon, pembuatan papan lansekap jalan,
pembuatan tembok atau pagar, pembuatan jalur terbuka hijau dan daerah
pernyangga. Proses tersebut dapat menghalangi serta meredam kebisingan
dengan akibat gelombang longitudinal yang datang (Subaris dan Haryono,
2007).

5. Pengendalian pada sumber, yaitu dilakukan beberapa teknik peredaman


seperti:
a. Meredam bising atau getaran yang ada.
b. Mengurangi luas permukaan yang bergetar.
c. Mengatur kembali tempat sumber.
d. Mengatur waktu operasi mesin.
e. Pengecilan atau pengurangan volume.
f. Pembatasan jenis dan jumlah lalu lintas dan sebagainya (Subaris dan
Haryono, 2007).

2.1.8 Penentuan Kriteria Kebisingan


Pengukuran kebisingan pada area studi sesuai dengan
KEP-48/MENLH/11/1996 yaitu dilakukan dengan cara pengukuran selama 10 menit
dengan pembacaan setiap 5 detik. Pada pengukuran kebisingan selama 10 menit (600
detik) dengan pembacaan setiap 5 detik didapatkan 120 data (600 detik/5 detik) pada
setiap titik sampling. Penentuan kriteria ini didasarkan atas ketentuan pengumpulan
data penentuan tingkat kebisingan suatu wilayah. Pengukuran tingkat kebisingan
pada wilayah studi dibagi menjadi beberapa interval waktu yaitu:
1. La diambil pada jam 07.28 mewakili jam 06.05–06.15
2. Lb diambil pada jam 10.00 mewakili jam 09.44–09.54
3. Lc diambil pada jam 13.00 mewakili jam 11.56–12.06
4. Ld diambil pada jam 15.30 mewakili jam 15.24–15.34
5. Le diambil pada jam 19.00 mewakili jam 18.30–18.40
6. Lf diambil pada jam 20.55 mewakili jam 20.55–21.05

Ada beberapa penentuan kriteria yang dapat dibedakan menurut fungsi dan
kegunaanya. Penentuan kriteria kebisingan yaitu perhitungan tingkat tekanan bunyi
ekuivalen (Leq), tingkat tekanan bunyi pada siang hari( Ls ), tingkat tekanan bunyi
pada malam hari (Lm), dan tingkat bunyi siang malam Lsm.
1) Tingkat Kebisingan Ekuivalen (Leq)
Ada beberapa penentuan kriteria yang dibedakan menurut fungsi dan
kegunaanya. Berikut akan digunakan empat macam penentuan kriteria kebisingan,
yaitu perhitungan tingkat tekanan bunyi ekuivalen (leq), tingkat tekanan bunyi siang
hari, tingkat tekanan bunyi pada malam hari (Lm) (Muamar, 2016). Tingkat
kebisingan ekuivalen dikembangkan dengan satuan variabel (dB). Tingkat kebisingan
ekuivalen adalah hasil perkalian antara frekuensi kemunculan (La ) adalah jumlah
bagian yang diukur. Dari 120 data yang dihasilkan kemudian dihitung menggunakan
rumus Leq sehingga didapatkan satu data tingkat kebisingan yang mewakili range
waktu tersebut. Rumus untuk Leq adalah sebagai berikut (Harris, 1991):

1
Leq=10 log
T ∑ {Ti .10 0,1. Li } (2.1)

Keterangan:
Leq = Equivalent Continous Noise Level atau Tingkat kebisingan (dBA)
T = Periode waktu (detik)
T1 = Periode pembacaan (detik)
Li = Data tingkat kebisingan pada selang waktu tertentu (dBA)

2) Tingkat Kebisingan Siang Hari (Ls)


Tingkat kebisingan yang terjadi pada siang hari dengan tingkat tekanan bunyi
selama sembilan jam tiga puluh menit siang hari yaitu antara pukul 06.05 – 15.34
dengan minimal pengambilan data selama empat kali pengukuran dengan rentan
frekuensi tertentu. Frekuensi kendaraan pada siang hari cenderung meningkat. Secara
matematis menggunakan rumus sesuai dengan KEP-48/MENLH/11/1996 Tentang
Baku Tingkat Kebisingan adalah sebagai berikut:

1
Ls=10 log
T
∑ {T 1.100,1. Li + …+T 4.100,1. Li } dBA (2.2)

Keterangan:
Ls = Tingkat kebisingan siang hari (dBA)
T = Periode waktu (detik)
T1 = Periode pembacaan (detik)
Li = Data tingkat kebisingan pada selang waktu tertentu (dBA)

3) Tingkat kebisingan pada malam hari


Tingkat kebisingan yang terjadi pada malam hari dengan tingkat tekanan
bunyi selama dua jam tiga puluh lima menit malam hari yaitu antara pukul 18.30 –
21.05 dengan pengambilan selama dua kali pengukuran. Tingkat kebisingan pada
malam hari secara matematis sebagai berikut:

1
Lm=10 log
T
∑ {T 5.10 0,1.Li + T 6. 100,1. Li } dBA (2.3)

Keterangan:
Lm = Tingkat kebisingan malam hari (dBA)
T = Periode waktu (detik)
T1 = Periode pembacaan (detik)
Li = Data tingkat kebisingan pada selang waktu tertentu (dBA)

4) Tingkat Kebisingan Siang Malam Hari (Lsm)


Tigkat kebisingan malam hari dipakai di indonesia untuk memulai kebisingan
lingkungan dengan persamaan rumus dapat dituliskan :

1
Lsm=10 log
T
∑ { Ts. 100,1. Ls −Tm . 100,1. Lm } dBA (2.4)

Keterangan:
Lsm = Tingkat kebisingan siang dan malam hari (dBA)
Ls = Tingkat kebisingan siang hari (dBa)
Lm = Tingkat kebisingan malam hari (dBA)

2.1.9 Baku Mutu Peraturan Kebisingan


Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor
KEP.48/MENLH/11/1996, tanggal 25 November 1996 tentang baku tingkat
kebisingan Peruntukan Kawasan atau Lingkungan Kegiatan dapat dilihat pada Tabel
2.6 berikut.

Tabel 2.6 Baku Mutu Kebisingan


No. Peruntukan kawasan/Lingkungan Kegiatan Tingkat Kebisingan (dBA)
1 2 3
1 Perumahan dan Pemukiman 55
2 Perdagangan dan Jasa 70
3 Perkantoran dan Perdagangan 65
4 Ruang Terbuka Hijau 50
5 Industri 70
6 Bandar Udara 75
7 Pemerintahan dan Fasilitas Umum 60
8 Kawasan Rekresional 70
9 Rumah Sakit atau Sejenisnya 55
10 Sekolah atau Sejenisnya 55
11 Tempat Ibadah atau Sejenisnya 55
Sumber: (KEP.48/MENLH/11/1996)

Anda mungkin juga menyukai