Anda di halaman 1dari 222

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat

Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Barat

2010
DEW

N
GA
N
A

A
N

PEMERINTAH PROVINSI K P
ET N
AHANA
Nusa Tenggara Barat
Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Nusa Tenggara Barat
2010

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat


Dewan Ketahanan Pangan
Kementerian Pertanian
World Food Programme
Copyright @ 2010

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian Pertanian and World Food Programme (WFP)
All rights reserved. No part of this publication may be reproduced or transmitted, in any form or by any means, without permissions.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Nusa Tenggara Barat


Food Security and Vulnerability Atlas of Nusa Tenggara Barat
2010

Published by: Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat, Dewan Ketahanan Pangan, Kementerian
Pertanian and World Food Programme (WFP)
Cover Design/Lay Out: Ratna Wardhani

ISBN: 978-602-99790-0-8
Size: 210 mm x 297 mm
No. of Pages: 205

WFP Disclaimer
The Boundaries and names shown and the designations used on the maps in this book do not imply official endorsment or acceptance by the
United Nations.
GUBERNUR
NUSA TENGGARA BARAT

SAMBUTAN

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

Alhamdulillah wasyukurillah, berkat limpahan rahmat dan bimbingan Allah SWT, penyusunan buku “Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan (Food Security and Vulnerability Atlas/FSVA) Provinsi NTB tahun 2010
berhasil diselesaikan tepat pada waktunya.

Buku ini sangatlah penting karena memuat informasi yang akurat tentang kondisi umum dan identifikasi
spesifik terhadap keadaan pangan masyarakat di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dengan
mengetahui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan, maka akan dapat menjadi pedoman bagi pemerintah
daerah bersama seluruh pemangku amanah lainnya untuk melakukan langkah yang tepat, meningkatkan
koordinasi serta mengambil peran optimal dalam mewujudkan ketahanan, kemandirian, dan keragaman
pangan masyarakat Nusa Tenggara Barat.

Sebagaimana dimaklumi, meskipun NTB merupakan Lumbung Pangan Nasional dan salah satu daerah
super fokus dalam peningkatan produksi beras nasional, namun kasus ketahanan dan kerentanan pangan
dalam suatu daerah tertentu, terlebih pada wilayah yang terisolir tetap harus diwaspadai.

Komitmen Pemerintah Provinsi NTB untuk mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar
masyarakat miskin, terutama melalui pelaksanaan program peningkatan ketahanan, kemandirian, dan
keragaman bahan pangan dan gizi harus terus dioptimalkan, dengan melibatkan seluruh pemangku
amanah, koordinasi lintas sektoral dan lintas program dengan tetap memperhatikan peran, kewenangan, dan
tanggung jawab masing-masing.

Harapan Saya, penyusunan FSVA ini tidak berhenti sampai tingkat provinsi saja, namun dapat
ditindaklanjuti dengan penyusunan FSVA di tingkat kabupaten/kota sehingga diperoleh potret riil ketahanan
dan kerentanan pangan sampai tingkat kelurahan dan desa.

Akhirnya, semoga buku “Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan” ini dapat bermanfaat dalam upaya
bersama meningkatkan kondisi ketahanan pangan di Provinsi NTB pada masa-masa yang akan mendatang.
Semoga Allah SWT, senantiasa melimpahkan hidayah-NYA kepada kita semua, amin.

Wallahulmuwaffiqu Walhadi ila Sabilirrasyad


Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.
Mataram, 17 Desember 2010
GUBERNUR NUSA TENGGARA BARAT

H. M. ZAINUL MAJDI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah S.W.T., Tuhan Yang Maha Esa, Badan Ketahanan
Pangan (BKP) Provinsi Nusa Tenggara Barat bekerjasama dengan United Nations - World Food Programme
(WFP) dapat menyusun Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan / Food Security And Vulnerability Atlas
(FSVA) Tingkat Kecamatan Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010.

Tujuan pembangunan ketahanan pangan pada dasarnya adalah menjamin ketersediaan pangan yang cukup
sepanjang waktu, aman untuk dikonsumsi, bermutu dan bergizi seimbang serta merata pada tingkat rumah
tangga. Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena itu pemenuhan atas pangan yang
cukup, bergizi dan aman menjadi hak asasi setiap rakyat Indonesia untuk mewujudkan sumberdaya manusia
yang sehat, cerdas dan berkualitas untuk melaksanakan dan mensukseskan pembangunan nasional.

Salah satu kendala dalam pengelolaan program pangan yang efektif adalah terbatasnya informasi
ketahanan pangan yang akurat dan tertata dengan baik, sebagaimana kita ketahui bahwa
penyediaan data/informasi merupakan tanggungjawab bersama baik pemerintah, lembaga non pemerintah
dan masyarakat. Untuk memenuhi kebutuhan akan informasi keberadaan kantong-kantong rawan pangan
diseluruh kecamatan-kecamatan se-NTB, Badan Ketahanan Pangan Provinsi Nusa Tenggara Barat
telah melakukan serangkaian kegiatan dengan United Nations - World Food Programme (WFP) dalam
pengembangan Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB.

Pada kesempatan ini kami menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi kepada
WFP Indonesia atas komitmen, dukungan dan kerjasama yang intensif dalam upaya penyusunan FSVA
NTB sehingga peta ini dapat diluncurkan tepat pada waktunya. Juga kepada semua pihak terkait yang telah
berperan aktif terhadap penyusunan peta ini, yaitu Tim Pengarah dan Tim Teknis Provinsi NTB serta unit
kerja Ketahanan Pangan di Kabupaten yang telah berproses dalam upaya penerbitannya.

Semoga dengan adanya Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan tingkat Provinsi ini diharapkan dapat
menjadi suatu langkah awal untuk memantapkan strategi dan kebijakan serta prioritas kegiatan yang tepat
sasaran sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat menuju masyarakat Nusa Tenggara Barat
yang sehat, cerdas dan berdaya saing.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.


Mataram, 17 Desember 2010
Kepala Badan Ketahanan Pangan
Provinsi Nusa Tenggara Barat

Ir. Husnanidiaty Nurdin, MM


NIP. 19620203 198603 2 009
KATA PENGANTAR

Sejak Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan United Nations World Food Programme (WFP)
bersama-sama mengembangkan Peta Kerawanan Pangan (Food Insecurity Atlas-FIA) tahun 2005 yang telah
mengidentifikasi 100 wilayah prioritas yang rentan terhadap kerawanan pangan, WFP menyambut gembira
untuk melakukan analisa lebih lanjut sebagai respon terhadap ketertarikan dan antusiasme yang tinggi dari
pemangku kepentingan di tingkat nasional dan provinsi. Dengan demikian, telah diputuskan bersama bahwa
peta tingkat nasional akan diperbaharui secara berkala dan peta tingkat provinsi akan dikembangkan di
seluruh provinsi sebagai suatu alat untuk mengarahkan perencanaan provinsi dalam konteks desentralisasi
di Indonesia.

Pada tingkat nasional, DKP dan WFP telah memperbaharui Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA)
pada tahun 2009, yang diluncurkan secara resmi oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2010. Peta
tersebut menunjukan bahwa disamping terlihat perubahan positif pada akses terhadap fasilitas kesehatan,
angka harapan hidup dan angka kurang gizi pada anak balita, akan tetapi tingkat kerentanan terhadap
kerawanan pangan secara mendasar masih bervariasi antar wilayah di Indonesia, dengan konsentrasi wilayah
kerawanan pangan yang lebih tinggi di Indonesia bagian timur. Kami sangat gembira dengan hasil analisa
ketahanan pangan tahun 2010 ini yang merupakan wujud dari hasil kerjasama yang erat antara WFP dan
pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Di provinsi NTB, pemangku kepentingan tingkat provinsi dan
kabupaten dari berbagai sektor menunjukan komitmen kuat dalam memahami metodologi FSVA dan
mengaplikasikannya dengan mengembangkan FSVA provinsi. FSVA provinsi ini merupakan hasil dari upaya
bersama dan hubungan yang makin kuat.

Hasil peta ini mengidentifikasi kecamatan-kecamatan rentan yang terkonsentrasi di wilayah-wilayah tertentu
yang membutuhkan perhatian lebih besar untuk mengatasi kerawanan pangan kronis. Walaupun produksi
serealia dan akses terhadap infrastruktur fisik seperti jalan, listrik, dan fasilitas kesehatan mencapai tingkat
yang memadai, akan tetapi prevalensi stunting pada balita masih menunjukan bahwa masalah kesehatan
masyarakat berada pada tingkat buruk.

Perubahan iklim juga merupakan tantangan lain bagi ketahanan pangan. Dampak pola hujan yang tidak
menentu dan deforestasi pada pertanian makin memperburuk situasi di wilayah-wilayah yang rentan
terhadap kerawanan pangan. Peta provinsi menunjukan bahwa hutan di provinsi NTB berada dalam situasi
ancaman yang serius dan beberapa wilayah mengalami penurunan curah hujan. Upaya bersama diperlukan
untuk mendukung penduduk yang rentan dalam mengatasi dampak dan beradaptasi terhadap perubahan
iklim.
Harga pangan telah meningkat secara signifikan di seluruh dunia, yang mendorong bukan hanya penduduk
miskin tetapi juga penduduk yang hampir miskin jatuh pada situasi rawanan pangan. Sangat penting bagi
para pengambil kebijakan dan keputusan untuk memahami potensi dampak harga pangan yang tinggi
terhadap penduduk rentan dalam mengambil intervensi yang tepat. Peta provinsi ini memberikan sebuah
fakta mendasar yang baik untuk perencanaan program dan penentuan target intervensi.

Peta ini menyediakan analisis situasi ketahanan pangan di provinsi dan memberikan rekomendasi sebagai
dasar pengembangan Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi (RAD-PG) di provinsi NTB.

Kami berharap bahwa peta ini akan memberikan kontribusi untuk pemahaman yang lebih baik tentang
situasi ketahananan dan kerentanan pangan di provinsi NTB dan dapat digunakan sebagai alat untuk
mengembangkan kebijakan dan program daerah untuk menjamin ketahanan pangan bagi seluruh masyarakat
di provinsi NTB.

Coco Ushiyama
Perwakilan & Direktur
United Nations World Food Programme, Indonesia
UCAPAN TERIMA KASIH

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan Provinsi NTB tahun 2010 ini tidak mungkin dapat diselesaikan
dan diluncurkan tepat pada waktunya tanpa dukungan dan perhatian secara pribadi dari Dr.KH.M Zainul
Majdi MA, Gubernur Nusa Tenggara Barat (NTB) sebagai Ketua Dewan Ketahanan Pangan Provinsi NTB dan
Dr. Ir. Rosiady Sayuti, M.Sc, Kepala Bappeda Provinsi NTB sebagai Ketua Tim Pengarah Penyusunan
FSVA.

Ir. Husnanidiaty Nurdin MM, Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi NTB, telah
memberikan kepemimpinan yang sangat baik dalam setiap tahap penyelesaian atlas ini. Perhatian dan
inspirasi yang terus-menerus oleh Dr. Ir. Tjuk Eko Hari Basuki, M.St, Kepala Pusat Ketersediaan dan Kerawanan
Pangan – Badan Ketahanan Pangan Pusat. Terimakasih terutama ditujukan kepada Ir. Lalu Sukariadi, MM,
Ir. Gede Putra dan Nurwahidah, SE dari BKP Provinsi NTB, dan Keigo Obara, Dedi Junadi dan Eva Juniza
dari United Nations World Food Programme (WFP) Indonesia untuk analisis dan persiapan
hingga buku ini dapat dipublikasikan. Peran serta dari berbagai instansi pemerintah dan institusi non
pemerintah, juga masukan-masukan dari kabupaten merupakan hal yang sangat patut dihargai. Terima kasih
untuk dukungan dana dari AusAID.
DAFTAR ISI

KONTRIBUTOR xv

RINGKASAN EKSEKUTIF xvii

BAB 1 PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang dan Dasar Pemikiran 1
1.2 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 2
1.3 Indikator yang Digunakan FSVA Provinsi 4

BAB 2 KETERSEDIAAN PANGAN 9
2.1 Produksi 9
2.2 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita Terhadap Produksi Pangan 14
2.3 Tantangan Utama Pemenuhan Kecukupan 15

BAB 3 AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN 17
3.1 Penduduk di Bawah Garis Kemiskinan 17
3.2 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 19
3.3 Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Jalan) 20
3.4 Akses Terhadap Infrastruktur Dasar (Listrik) 21
3.5 Strategi Pengurangan Kemiskinan, Peningkatan Akses Terhadap Pangan dan 22
Penghidupan

BAB 4 PEMANFAATAN PANGAN 25


4.1 Konsumsi Pangan 25
4.2 Akses terhadap Fasilitas Kesehatan 26
4.3 Penduduk dengan Akses kurang memadai ke Air Bersih 27
4.4 Perempuan Buta Huruf 27
4.5 Status Gizi 28
4.6 Dampak dari Status Kesehatan 29

BAB 5 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN 33
TRANSIEN
5.1 Bencana Alam 33
5.2 Fluktuasi Curah Hujan 34
5.3 Daerah Puso 35
5.4 Perubahan Iklim dan Ketahanan Pangan 36
5.5 Deforestasi Hutan 36

BAB 6 KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN PANGAN 39
KRONIS BERDASARKAN ANALISIS KETAHANAN PANGAN
KOMPOSIT

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xi


Daftar Tabel

Tabel 1.1 Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010 6
Tabel 2.1 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000-2009 (Ton) 10
Tabel 2.2 Produksi Padi dan Jagung (2006-2009) (Ton) 13
Tabel 2.3 Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar (2006-2009) (Ton) 13
Tabel 2.4 Produksi Total Serealia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk 14
Periode 2006-2009
Tabel 3.1 Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan Kabupaten 18
Tabel 3.2 Jumlah Kecamatan-kecamatan yang Memiliki 30% Penduduk Hidup di 18
bawah Garis Kemiskinan tahun 2008
Tabel 3.3 Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) 19
Tabel 3.4 Persentase desa yang tidak dapat di akses oleh kendaraan roda empat 21
Tabel 3.5 Persentase Rumah Tangga tanpa Akses ke Listrik 22
Tabel 4.1 Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari pada Tiga Golongan 26
Terbawah dari Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita
Tabel 4.2 Persentase Rumah Tangga dengan Akses yang Terbatas ke 27
Air Bersih dan Persentase Desa dengan Akses Terbatas ke Sarana
Pelayanan Kesehatan
Tabel 4.3 Persentase Perempuan Buta Huruf 28
Tabel 4.4 Persentase Underweight dan Stunting pada Balita 29
Tabel 4.5 Angka Harapan Hidup 30
Tabel 5.1 Ringkasan Tabel Bencana Alam yang Terjadi di Provinsi NTB dan 34
Kerusakannya selama Periode 1990-2009
Tabel 5.2 Perbandingan Area Puso Padi dan Jagung terhadap Luas Area Tanam Padi 35
dan Jagung Tahun 2006-2009
Tabel 6.1 64 Kecamatan yang Paling Rentan Berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan 39
Komposit
Tabel 6.2 Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan per Prioritas 42
Tabel 6.3 Faktor Penentu Utama Kerawanan Pangan dan Strategi Intervensi 44

Daftar Gambar

Gambar 1.1 Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi 2


Gambar 2.1 Produksi Serealia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 (Ton) 10
Gambar 2.2a Total Luas Panen Padi (ha) di Pulau Lombok 10
Gambar 2.2b Total Luas Panen Padi (ha) di Sumbawa 11
Gambar 2.3a Produksi Padi (ha) di Pulau Lombok 11
Gambar 2.3b Produksi Padi (ha) di Pulau Sumbawa 11
Gambar 2.4 Produksi Jagung (2006 - 2009) 12
Gambar 2.5 Produksi Ubi Kayu (2006 - 2009) 12
Gambar 2.6 Produksi Ubi Jalar (2006 - 2009) 13
Gambar 3.1 Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi Sektoral 18
Gambar 3.2 Moda Transportasi di Provinsi NTB 21
Gambar 5.1 Bencana Alam yang Terjadi di NTB per Kabupaten selama Periode 34
1990 – 2009
Gambar 6.1 Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 1 berdasarkan 40
Analisis Ketahanan Pangan Komposit
Gambar 6.2 Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 2 berdasarkan 41
Analisis Ketahanan Pangan Komposit

xii Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Gambar 6.3 Jumlah Kecamatan yang Rentan pada Prioritas 3 berdasarkan 41
Analisis Ketahanan Pangan Komposit
Gambar 6.4 Kerangka kerja penyebab dan jenis Intervensi untuk meningkatkan 43
ketahanan pangan

Daftar Peta

Peta 1.1 Peta Indeks Pulau Lombok A-1


Peta 1.2 Peta Indeks Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat A-3
Peta 1.3 Peta Indeks Kabupaten Dompu dan Bima A-5
Peta 2.1 Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Bersih Serealia A-7
Peta 3.1 Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan A-9
Peta 3.2 Desa yang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda Empat A-11
Peta 3.3 Rumah Tangga tanpa Akses terhadap Listrik A-13
Peta 4.1 Desa dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 km A-15
Peta 4.2 Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih A-17
Peta 4.3 Perempuan Buta Huruf A-19
Peta 4.4 Berat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah Standar A-21
Peta 4.5 Angka Harapan Hidup A-23
Peta 5.1 Penyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Kemarau A-25
dibandingkan dengan Rata-rata 30 Tahun
Peta 5.2 Penyimpangan Curah Hujan Dari 1997 - 2007 di Musim Hujan A-27
dibandingkan dengan Rata-rata 30 Tahun
Peta 5.3 Daerah Puso Padi A-29
Peta 5.4 Daerah Puso Jagung A-31
Peta 5.5 Peta Deforestasi di NTB untuk Periode 2003-2006 A-33
Peta 6.1 Peta Kerentanan Terhadap Kerawanan Pangan NTB A-35

Daftar Lampiran

Lampiran 1.1 Catatan Teknis Small Area Estimation (SAE) B-1


Lampiran 2.1 Indikator Ketersediaan Pangan B-9
Lampiran 3.1 Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan B-14
Lampiran 4.1 Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi B-19
Lampiran 5.1 Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan B-24
Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 1997 – 2007
Lampiran 6.1 Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis (PCA) dan B-29
Analisis Kelompok (Cluster Analysis) : Untuk Analisa Hubungan Antar
Indikator Ketahanan Pangan
Lampiran 6.2 Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok B-33
Prioritas Ketahanan Pangan Komposit

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xiii


KONTRIBUTOR

Tim Pengarah
1. Kepala Bappeda Provinsi NTB
2. Kepala Badan Ketahanan Pangan Provinsi NTB
3. Kepala BPS Provinsi NTB
4. Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Provinsi NTB
5. Kepala Biro Administrasi Perekonomian Setda NTB
6. Kepala Bidang Binkesmas Dikes Provinsi NTB

Tim Pelaksana
1. Ir. L. Sukariadi, MM., Kabid Ketersediaan BKP NTB
2. Drs. Wahyudin, MM., Kabid Statistik Sosial, BPS NTB
3. Drs. A.A. Gd Trikumara S., Kepala Stasiun Meteorologi Selaparang Mataram
4. Ir. Gede Putra, Kasub Bid Cadangan dan Kerawanan Pangan BKP Prov NTB
5. H. L. Hilwan Hamid, SP., Kasub Bag Produksi Budidaya Biro Adm Perekonomian
6. Achmad Affandi, SKM, M. Kes., Staf Seksi Gizi Masy Dikes Prov. NTB
7. L. Agustan Kusumaredi, S. Kom., Staf pada BKKBN NTB
8. Drs Endang Khaeruddin, Kepala Seksi Tanggap Darurat BPBD NTB
9. Ir. Budi Subagio, MM., Kasi Budidaya Serealia & Kabi Dinas Pertanian
10. Rr. Hanung Sriwening, SP., Kasub Bag Kcuangan BKP NTB
11. Muhammad Zubirman, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB
12. Nurwahidah, SE., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB
13. Mira Juwita, SP, Staf Sub Bag Perencanaan BKP NTB
14. Selamet Hariadi, Staf Sub Bag Umum BKP NTB
15. Yuni Pusfitawati, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan NTB
16. Keigo Obara (WFP)
17. Dedi Junadi (WFP)
18. Eva Juniza (WFP)

Badan Ketahanan Pangan Kabupaten


1. Lombok Barat
2. Lombok Timur
3. Lombok Tengah
4. Lombok Utara
5. Sumbawa
6. Sumbawa Barat
7. Bima
8. Dompu

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xv


RINGKASAN EKSEKUTIF

1. LATAR BELAKANG

Untuk dapat melaksanakan intervensi yang terkait dengan ketahanan pangan dan gizi, Pemerintah
Indonesia masih terus meningkatkan sarana untuk penentuan target intervensi sasaran secara geografis.
Dengan dukungan dari United Nations World Food Programme (WFP) yang memiliki pengalaman di
bidang analisis dan pemetaan ketahanan pangan, maka pada tahun 2003 Dewan Ketahanan Pangan
(DKP), yang diketuai oleh Presiden Republik Indonesia, dengan sekretariat DKP yang berada di Badan
Ketahanan Pangan (BKP), bekerjasama dengan WFP dalam pembuatan Peta Kerawanan Pangan (FIA) tingkat
nasional. FIA yang pertama dibuat dan diluncurkan tahun 2005 dan mencakup 265 kabupaten di 30 provinsi.
Lebih dari US$ 32 juta telah dialokasikan oleh pemerintah untuk 100 kabupaten yang rawan pangan dan
intervensi dimulai tahun 2006-2007. Atlas yang kedua, dengan judul baru “Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan (FSVA)” yang mencakup 346 kabupaten di 32 provinsi, diluncurkan oleh Presiden Republik
Indonesia dan Menteri Pertanian pada tanggal 24 Mei 2010, dan kegiatan ini telah terintegrasi dalam
rencana tahunan dan alokasi anggaran tahunan pemerintah. Sejak 2003, WFP telah memberikan dukungan
teknis dan anggaran untuk pembuatan dan penerapan FIA dan FSVA.

Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat
ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat
digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat
kecamatan. DKP, BKP provinsi, dan WFP memutuskan untuk bersama-sama melakukan analisa dan
pemetaan ketahanan pangan di tingkat kecamatan. Hasil dari kerjasama ini adalah Peta Ketahanan dan
Kerentanan Pangan (FSVA) provinsi. FSVA provinsi akan menjadi alat yang penting bagi perencana dan
pengambil keputusan di tingkat provinsi dan kabupaten dalam mengidentifikasi tematik dan secara geografi
daerah yang akan diprioritaskan untuk intervensi pangan dan gizi.

Serupa dengan FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, wilayah perkotaan tidak diikutsertakan dalam
FSVA provinsi, ketahanan pangan wilayah perkotaan membutuhkan analisa terpisah yang mungkin akan
dipertimbangkan di masa mendatang, dalam FSVA provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di dalam FSVA
provinsi NTB, terdapat 105 kecamatan di 8 kabupaten yang dianalisis.

2. TUJUAN FSVA PROVINSI

Seperti halnya FSVA nasional 2009, FSVA provinsi menyediakan sarana bagi pengambilan kebijakan
dalam hal penentuan sasaran dan memberikan rekomendasi untuk intervensi kerawanan
pangan dan gizi di tingkat kabupaten dan kecamatan.

Berdasarkan analisa 13 indikator yang terkait dengan ketahanan pangan yang berasal dari data sekunder dari
periode 2007-2009, serta Analisis Ketahanan Pangan Komposit (berdasarkan komposit 9 indikator), FSVA
Provinsi dapat menjawab tiga pertanyaan kunci terkait ketahanan dan kerawanan pangan yaitu: Di mana
daerah yang paling rawan ketahanan pangannya (per kabupaten, kecamatan); Berapa banyak penduduk
(perkiraan penduduk); dan Mengapa mereka paling rawan (penentu utama untuk kerawanan pangan)?.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xvii


3. TEMUAN UTAMA FSVA PROVINSI NTB

3.1 Ketersediaan Pangan


• Hasil pertanian mengalami peningkatan tinggi (sebesar 3,8% per tahun selama 2000 - 2009).
Produksi padi dan jagung meningkat sedangkan produksi ubi kayu dan ubi jalar hampir tidak
mengalami perubahan. Pada umumnya, provinsi NTB adalah daerah swasembada/surplus
pangan serealia, dan ketersediaan pangan pada tingkat provinsi memadai.
• Namun demikian, dari 105 kecamatan terdapat 7 kecamatan (5 di Pulau Lombok dan 2 di Pulau
Sumbawa) mengalami defisit produksi serealia.

3.2 Akses terhadap Pangan


• Akses terhadap pangan untuk penduduk miskin merupakan gabungan dari kemiskinan,
kurangnya pekerjaan tetap, pendapatan tunai yang rendah dan tidak tetap serta terbatasnya daya beli
merupakan tantangan yang besar. Pada tahun 2009, terdapat lebih dari 1 juta orang (22,78%)
hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.
• Sejak tahun 2007, seluruh kabupaten telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinannya.
• Pada tahun 2009, dari 8 kabupaten, terdapat 4 kabupaten yang tingkat kemiskinannya masih lebih
tinggi dari rata-rata provinsi yaitu Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa dan Sumbawa Barat,
dengan Lombok Barat memiliki proporsi jumlah penduduk miskin tertinggi (24,02%).
• Untuk tingkat kecamatan, perbedaan tingkat kemiskinan lebih jelas. Dari 105 kecamatan, 18
kecamatan memiliki lebih dari 30% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan provinsi.
• Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tidak mengalami perubahan yang banyak, nilainya berkisar di
atas 6% selama tahun 2007-2009. Namun, kesenjangan jumlah pengangguran cukup tinggi antar
wilayah. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran terbuka tertinggi terdapat di kabupaten Sumbawa
Barat (8,32%).
• Terdapat 3,18% desa di provinsi ini tidak memiliki akses jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan roda
empat.
• Hampir 15% rumah tangga di provinsi ini tidak memiliki akses listrik. Akses ini terutama terbatas di
kabupaten Lombok Timur dan Dompu.

3.3 Pemanfaatan Pangan dan Situasi Gizi


• Pada tahun 2009, rata-rata asupan energi harian adalah 1.956 kkal, lebih rendah dari Angka
Kecukupan Gizi (AKG) nasional dan asupan protein sebesar 54,86 gram, yang sudah
melampaui AKG nasional. Angka asupan energi meningkat 0,42% dan asupan
protein menurun 0,23% dibandingkan tahun 2002. Namun demikian, asupan energi dan
protein pada tiga golongan pengeluaran terendah lebih rendah dari AKG nasional. Tiga golongan
pengeluaran terendah hanya mengkonsumsi 63% dari AKG (1.261 kkal) dan 61% dari protein
harian yang direkomendasikan.
• Secara keseluruhan, 97% desa di provinsi ini memiliki akses ke fasilitas kesehatan dengan jarak
kurang dari 5 km.
• 16% rumah tangga tidak memiliki akses terhadap air minum yang layak. Akses terendah terdapat
di kabupaten Lombok Tengah, Lombok Timur, dan Lombok Utara.

xviii Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


• Angka perempuan buta huruf di provinsi ini sebesar 27,03%. Angka perempuan buta huruf
tertinggi terdapat di Lombok Tengah (36,48%), Lombok Utara (35,25%), Lombok Barat
(30,33%) dan Lombok Timur (29,22%). Pada tingkat kecamatan, terdapat 40 kecamatan yang
memiliki angka perempuan buta huruf di atas rata-rata provinsi atau sekitar 61% yang semuanya
terkonsentrasi di Pulau Lombok.
• Pada tahun 2009, angka underweight pada balita (gabungan dari kurang gizi kronis dan akut)
provinsi adalah 20,87%, angka tersebut belum mencapai target MDG dan merupakan masalah
kesehatan masyarakat yang masih berada pada tingkat yang buruk menurut klasifikasi WHO.
Pada tingkat kecamatan, 13 kecamatan dari 105 kecamatan mempunyai prevalensi underweight
sangat tinggi (≥30%). Hanya 5 kecamatan yang mempunyai prevalensi underweight kalsifikasi baik
(<10%).
• Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi provinsi untuk kurang gizi
kronis (stunting) adalah 43,65%, angka ini tergolong tinggi untuk tingkatan kesehatan masyarakat.
5 kabupaten memiliki prevalensi yang sangat tinggi ((≥40%) dan 2 kabupaten lainnya memiliki
prevalensi yang tinggi (30-39%). Riskesdas terakhir tahun 2010 menunjukkan angka prevalensi
provinsi untuk stunting meningkat (48,21%).
• Angka rata-rata harapan hidup provinsi pada tahun 2008 adalah 61,50 tahun. Meskipun
menunjukkan peningkatan dalam tahun-tahun terakhir, angka ini masih lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata nasional, 69 tahun. Angka harapan hidup tertinggi terdapat di Bima (62,31) dan
terendah terdapat di Lombok barat (59,97).

3.4 Daerah yang rawan yang memerlukan prioritas lebih tinggi


(Di mana, Berapa Banyak, dan Mengapa?)
• Analisis Ketahanan Pangan Komposit dilakukan untuk menjawab ketiga pertanyaan diatas
dengan menggrouping dan memetakan 105 kecamatan yang memiliki data lengkap untuk
9 indikator terkait ketahanan pangan kronis. Di antara 105 kecamatan tersebut, maka ditetapkan
64 kecamatan dengan prioritas yang lebih tinggi yang terdiri dari 26 kecamatan Prioritas 1, 31
kecamatan Prioritas 2, dan 7 kecamatan Prioritas 3, dengan jumlah penduduk 3,1 juta orang.
41 kecamatan lainnya dikelompokkan menjadi Prioritas 4-6. Perhatian yang lebih besar perlu
diberikan kepada kecamatan yang termasuk dalam Prioritas 1-3.
• Terdapat 26 kecamatan Prioritas 1, 14 kecamatan di Lombok Timur dan 11 kecamatan di Lombok
Tengah, dengan jumlah penduduk sekitar 1,6 juta orang. Tingkat kerentanan terhadap kerawanan
pangan terutama disebabkan karena rendahnya akses terhadap listrik, tingginya angka perempuan
buta huruf, tanpa akses terhadap air bersih, tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4 dan tingginya
angka kemiskinan.
• Dari 31 kecamatan di Prioritas 2, 10 kecamatan di Lombok Barat, 5 kecamatan di Lombok Timur,
dan 9 kecamatan di Dompu, dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 juta orang. Faktor penentu utama
kerentanan pangan di Prioritas 2 yaitu: rendahnya angka harapan hidup pada saat lahir, tingginya
angka kemiskinan, tingginya angka perempuan buta huruf, tanpa akses terhadap listrik dan air
bersih.
• Dari 7 kecamatan Prioritas 3, 2 kecamatan di Lombok Utara, dengan jumlah penduduk sekitar
202 ribu orang. Kerentanan terhadap tingkat kerawanan pangan pada Prioritas 3 terutama
disebabkan karena tingginya angka kemiskinan, prevalensi underweight pada balita, rendahnya
angka harapan hidup, tanpa akses terhadap listrik dan tingginya angka perempuan buta huruf.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xix


Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTB
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:

Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts


Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts
Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts
Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts
Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts
Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
116°0'0"E 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG DAN DASAR PEMIKIRAN

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten dengan total penduduk
sebesar 4.434.012 jiwa. NTB terdiri 280 pulau namun hanya 32 pulau yang berpenghuni yang terletak antara
8°10’ - 9°05’ Lintang Selatan dan 115°46' - 119°05' Bujur Timur, dengan luas daratan 20.153 km2. Secara
klimatologi, NTB memiliki pola tipe curah hujan tipe Monsunal yaitu mempunyai satu puncak musim hujan
(antara Oktober - Maret) dan satu puncak musim kemarau (antara April - September).

Perekonomian provinsi NTB tergantung pada pertambangan sebesar 30,84% dan pertanian sebesar 23,22%
dari Produk Domestik Regional Bruto. Tingkat pertumbuhan ekonomi NTB adalah 8,9% pada tahun 2009
sementara pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun yang sama mencapai 6,1%. Indeks pembangunan
manusia meningkat secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian NTB masih
menduduki peringkat 32 dari 33 provinsi pada tahun 2009.

Menindak lanjuti Peta Kerawanan Pangan (FIA) 2005, edisi kedua Peta Ketahanan dan Kerentanan
Pangan (FSVA) yang mencakup 346 kabupaten dari 32 provinsi yang diluncurkan oleh Dewan Ketahanan
Pangan (DKP) dan Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi bekerjasama dengan United Nations World
Food Programme (WFP). FSVA 2009 diluncurkan secara resmi oleh Presiden Indonesia pada bulan Mei
2010 dan dijadikan sebagai alat yang penting dalam melakukan pentargetan wilayah kabupaten yang paling
rawan untuk intervensi ketahanan pangan dan gizi. Pemerintah Indonesia mengalokasikan dana lebih dari
Rp. 323 milyar ($US 32 million) untuk 100 kabupaten yang paling rawan yang teridentifikasi pada FIA 2005.
Pemerintah juga merencanakan mengalokasi dana untuk intervensi ketahanan pangan dan gizi
berdasarkan FSVA 2009. Dari 100 kabupaten prioritas pertama di Indonesia pada FIA 2005,
6 diantaranya adalah kabupaten-kabupaten di provinsi NTB. Sejumlah intervensi telah dilakukan pada
kabupaten tersebut sejak tahun 2006. Pada FSVA tahun 2009, jumlah kabupaten di NTB yang termasuk
dalam 100 kabupaten prioritas pertama menurun menjadi 5 kabupaten. Perhatian secara
berkesinambungan masih sangat dibutuhkan demi mempercepat kondisi yang lebih baik di masa
mendatang.

Walaupun FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009 berhasil mengungkap perbedaan tingkat
ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi tingkat kabupaten di Indonesia, namun belum ada alat yang dapat
digunakan untuk menganalisa dan mengklasifikasikan ketahanan dan kerentanan pangan pada tingkat
kecamatan. DKP pusat, BKP provinsi dan WFP bekerja sama dalam menganalisa situasi ketahanan pangan
sampai pada tingkat kecamatan untuk menganalisa lebih lanjut temuan pada tingkat kabupaten. Seluruh
BKP kabupaten berpartisipasi secara aktif dalam proses ini dan dengan bantuan teknis dari berbagai instansi
seperti Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Badan Pusat Statistik (BPS) dan Institut Pertanian
Bogor (IPB). Hasil akhir dari kerja sama ini adalah Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan provinsi.

Pada tahun 2010, provinsi NTB terdiri dari 2 kota dan 8 kabupaten. Serupa dengan FSVA nasional 2009
dan FIA nasional 2005, wilayah perkotaan tidak diikutsertakan dalam FSVA provinsi, sebab ketahanan
pangan perkotaan perlu dianalisa secara terpisah yang mungkin akan menjadi pertimbangan dimasa depan.
Sehingga di dalam peta ini hanya menunjukkan analisis dan pemetaan ketahanan pangan di 105 kecamatan
di 8 kabupaten.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 1


Peluncuran FIA nasional 2005 ternyata masih menyebabkan kesalahpahaman mengenai pengertian
pemeringkatan kabupaten “rawan pangan”. Kata kerawanan pangan (food insecurity) diindikasikan
secara langsung bahwa kabupaten-kabupaten peringkat bawah adalah kabupaten yang semua
penduduknya rawan pangan. Oleh karena itu, pada peta nasional tahun 2009 diberi judul “Peta
Ketahanan dan Kerentanan Pangan Indonesia-Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)” untuk
menghindari kesalahpahaman pengertian tersebut. Perubahan nama Peta Kerawanan Pangan (FIA)
menjadi Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) dilakukan dengan pertimbangan untuk
memperjelas pengertian mengenai konsep ketahanan pangan berdasarkan tiga dimensi ketahanan pangan
(ketersediaan, akses dan pemanfaatan pangan) dalam semua kondisi bukan hanya pada situasi kerawanan
pangan saja. FSVA juga bertujuan untuk mengetahui berbagai penyebab kerawanan pangan secara lebih
baik atau dengan kata lain kerentanan terhadap kerawanan pangan, bukan hanya kerawanan pangan itu
sendiri.

1.2 KERANGKA KONSEP KETAHANAN PANGAN DAN GIZI

Pada World Food Summit (1996), ketahanan pangan didefinisikan sebagai: ”Ketahanan pangan terjadi
apabila semua orang secara terus menerus, baik secara fisik, sosial, dan ekonomi mempunyai akses untuk
pangan yang memadai/cukup, bergizi dan aman, yang memenuhi kebutuhan pangan mereka dan pilihan
makanan untuk hidup secara aktif dan sehat”.

Pada FSVA provinsi 2010, analisis dan pemetaan dilakukan berdasarkan pada pemahaman mengenai
ketahanan dan kerentanan pangan dan gizi seperti yang tercantum dalam Kerangka Konsep
Ketahanan Pangan dan Gizi (Gambar 1.1).

Gambar 1.1: Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi


T E R PA PA R T E R H A D A P G O N C A N G A N D A N B E N C A N A

Status Gizi/
Kematian

Tingkat
Individu

Asupan Status
Makanan Kesehatan/
Individu Penyakit

Kerangka Tingkat
Kerja Akses Pola Asuh/ Kondisi Rumah Tangga
Pangan Praktek Kesehatan (RT)
Ketersediaan Dampak
Pangan/ Rumah Tangga Kesehatan dan Higiene
Penghidupan
Pasar
Pelayanan
Dasar dan
Infrastruktur Produksi Pangan Rumah
Politik, Tangga, pemberian, Strategi
Ekonomi, Penghidupan
pertukaran, penghasilan tunai,
Kelembagaan,
Keamanan,
pinjaman, tabungan, kiriman
Sosial,
Budaya,
Gender,
Lingkungan Tingkat RT/
Kondisi Modal/Aset Alam, Masyarakat
Agro-ekologikal/ Fisik, Manusia, Aset
Musim Ekonomi, Sosial Penghidupan

Sumber: WFP, Januari 2009

2 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


a. Ketahanan Pangan
Di Indonesia, Undang-undang No. 7 tahun 1996 tentang Pangan mengartikan Ketahanan Pangan sebagai
kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

Seperti FIA nasional 2005 dan FSVA nasional 2009, FSVA provinsi NTB dibuat berdasarkan tiga pilar
ketahanan pangan: (i) ketersediaan pangan; (ii) akses terhadap pangan; dan (iii) pemanfaatan
pangan.

Ketersediaan pangan adalah tersedianya pangan secara fisik di daerah, yang diperoleh baik dari hasil
produksi domestik, impor/perdagangan maupun bantuan pangan. Ketersediaan pangan ditentukan dari
produksi domestik, masuknya pangan melalui mekanisme pasar, stok pangan yang dimiliki pedagang dan
pemerintah, serta bantuan pangan baik dari pemerintah maupun dari badan bantuan pangan. Ketersediaan
pangan dapat dihitung pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten atau tingkat masyarakat.

Akses pangan adalah kemampuan rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang
berasal dari produksi sendiri, pembelian, barter, hadiah, pinjaman dan bantuan pangan maupun
kombinasi diantara kelimanya. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin mencukupi, akan tetapi tidak
semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun keragaman pangan
melalui mekanisme tersebut di atas.

Pemanfaatan pangan merujuk pada penggunaan pangan oleh rumah tangga, dan
kemampuan individu untuk menyerap dan memetabolisme zat gizi (konversi zat gizi secara
efisien oleh tubuh). Pemanfaatan pangan juga meliputi cara penyimpanan, pengolahan dan penyiapan
makanan termasuk penggunaan air dan bahan bakar selama proses pengolahannya serta kondisi higiene,
budaya atau kebiasaan pemberian makan terutama untuk individu yang memerlukan jenis makanan khusus,
distribusi makanan dalam rumah tangga sesuai kebutuhan masing-masing individu (pertumbuhan,
kehamilan, menyusui dll), dan status kesehatan masing-masing anggota rumah tangga.

Produksi dan ketersediaan pangan yang cukup di tingkat nasional dan provinsi tidak secara otomatis
menjamin ketahanan pangan pada tingkat rumah tangga dan individu. Pangan mungkin tersedia dan dapat
diakses namun sebagian anggota rumah tangga mungkin tidak mendapat manfaat secara maksimal apabila
kelompok ini tidak memperoleh distribusi pangan yang cukup, baik dari segi jumlah maupun keragaman
atau apabila kondisi tubuh mereka tidak memungkinkan penyerapan makanan karena penyiapan makanan
yang tidak tepat atau karena sedang sakit.

Kerangka konsep ketahanan pangan mempertimbangkan ketersediaan pangan, akses terhadap pangan
dan pemanfaatan pangan sebagai aspek-aspek utama penopang ketahanan pangan serta menghubungkan
aspek-aspek tersebut dengan kepemilikan aset rumah tangga, strategi penghidupan, dan lingkungan politik,
sosial, kelembagaan dan ekonomi. Dengan kata lain, status ketahanan pangan suatu rumah tangga, atau
individu ditentukan oleh interaksi dari faktor lingkungan pertanian (agro-environmental), sosial ekonomi dan
biologi dan bahkan faktor politik.

Kerawanan pangan dapat bersifat kronis atau sementara/transien. Kerawanan pangan kronis adalah
ketidakmampuan jangka panjang atau yang terus menerus untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum.
Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor strukural, yang tidak dapat berubah dengan cepat, seperti
iklim setempat, jenis tanah, sistem pemerintah daerah, kepemilikan lahan, hubungan antar etnis, tingkat
pendidikan, dll. Kerawanan pangan sementara adalah ketidakmampuan jangka pendek atau
sementara untuk memenuhi kebutuhan pangan minimum. Keadaan ini biasanya terkait dengan faktor
dinamis yang berubah dengan cepat seperti penyakit infeksi, bencana alam, pengungsian, berubahnya

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 3


fungsi pasar, tingkat besarnya hutang, perpindahan penduduk (migrasi) dll. Kerawanan pangan sementara
yang terjadi secara terus menerus dapat menyebabkan menurunnya kualitas penghidupan rumah tangga,
menurunnya daya tahan, dan bahkan bisa berubah menjadi kerawanan pangan kronis.

b. Ketahanan Gizi
Ketahanan gizi didefinisikan sebagai “akses fisik, ekonomi, lingkungan dan sosial terhadap asupan
makanan seimbang, air layak minum, kesehatan lingkungan, pelayanan kesehatan dasar dan
pendidikan dasar”. Ini berarti bahwa ketahanan gizi membutuhkan kombinasi dari komponen makanan dan
non-makanan.

Ketahanan gizi yang ditunjukkan oleh status gizi merupakan tujuan akhir dari ketahanan pangan, kesehatan
dan pola asuh tingkat individu. Kerawanan pangan adalah salah satu dari 3 penyebab utama masalah
gizi. Penyebab utama lainnya adalah status kesehatan dan kondisi lingkungan masyarakat, dan pola asuh.
Oleh karena itu, di manapun terjadi kerawanan pangan, maka akan beresiko kekurangan gizi, termasuk
kekurangan gizi mikro. Namun demikian, ini tidak berarti bahwa kerawanan pangan adalah penyebab
satu-satunya masalah gizi kurang, tanpa mempertimbangkan faktor kesehatan dan pola asuh seperti
kurangnya akses ke air layak minum, sanitasi, fasilitas dan pelayanan kesehatan, rendahnya kualitas pola asuh
dan pemberian makan anak serta tingkat pendidikan ibu, dll.

c. Kerentanan
Kerentanan terhadap kerawanan pangan mengacu pada suatu kondisi yang dapat membuat suatu masyarakat
yang beresiko rawan pangan menjadi rawan pangan. Tingkat kerentanan individu, rumah tangga atau
kelompok masyarakat ditentukan oleh tingkat keterpaparan mereka terhadap faktor-faktor
resiko/goncangan dan kemampuan mereka untuk mengatasi situasi tersebut baik dalam kondisi tertekan
maupun tidak.

1.3 INDIKATOR YANG DIGUNAKAN FSVA PROVINSI

Kerawanan pangan merupakan isu multi-dimensional yang memerlukan analisis dari berbagai parameter
tidak hanya produksi dan ketersediaan pangan saja. Meskipun tidak ada cara spesifik untuk mengukur
ketahanan pangan, kompleksitas ketahanan pangan dapat disederhanakan dengan menitikberatkan pada
tiga dimensi yang berbeda namun saling berkaitan yaitu ketersediaan pangan, akses pangan oleh rumah
tangga dan pemanfaatan pangan oleh individu.

Indikator yang dipilih dalam FSVA provinsi ini berkaitan dengan tiga pilar ketahanan pangan tersebut
berdasarkan konsepsi Kerangka Konsep Ketahanan Pangan dan Gizi. Disamping itu, pemilihan indikator juga
tergantung pada ketersediaan data pada tingkat kecamatan. Indikator yang digunakan untuk FSVA provinsi
tertera pada Tabel 1.1.

Tim Asistensi FSVA Pusat untuk pengembangan FSVA provinsi sepakat untuk menggunakan seluruh 13
indikator FSVA nasional 2009 untuk FSVA provinsi. Angka kematian bayi (Infant Mortality Rate - IMR)
yang digunakan dalam FIA nasional 2005 dikeluarkan dari FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi
karena ketidaktersediaan data. Data kurang gizi kronis (pendek/stunting) pada balita diambil dari data
Pemantauan Status Gizi (PSG) Provinsi NTB tahun 2009. Akan tetapi, data tersebut tidak
dimasukkan kedalam analisis ketahanan pangan komposit, tetapi tetap dianalisis dan dijelaskan dalam
laporan secara deskritif.

4 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


FSVA provinsi ini dikembangkan dengan menggunakan 9 indikator ketahanan pangan kronis dan
4 indikator ketahanan pangan sementara/transien. Peta komposit ketahanan dan kerentanan pangan
dihasilkan dengan mengkombinasikan 9 indikator ketahanan pangan kronis dengan menggunakan Principal
Component Analysis dan Analisis Kelompok (Cluster Analysis).

Seluruh data yang digunakan adalah data sekunder yang diperoleh dari BKP, Dinas Kesehatan, Dinas
Pertanian tingkat provinsi dan kabupaten, serta publikasi dari Badan Pusat Statistik (BPS), Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) provinsi, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG)
provinsi, serta Kementerian Kehutanan.

Seluruh data yang digunakan untuk analisa FSVA provinsi ini berasal dari data tahun periode 2007-2009.
Beberapa indikator merupakan data individu, sedangkan indikator yang lain merupakan data rumah
tangga atau masyarakat. Teknik Small Area Estimation (SAE) digunakan pada beberapa indikator untuk
mengestimasi data tingkat kecamatan dengan menggunakan data tingkat kabupaten dan desa
berdasarkan pedoman teknis dari BPS Pusat dan IPB. Catatan teknis mengenai metodologi SAE dan
aplikasinya dalam FSVA provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.1. Peta komposit yang dikembangkan
dari indikator-indikator tersebut hanya mengindikasikan situasi ketahanan pangan secara umum di suatu
kecamatan. Pada kecamatan yang tahan pangan, sebagaimana diperlihatkan pada peta komposit, tidak
berarti bahwa semua desa dan rumah tangga dalam kecamatan tersebut tahan pangan. Sama halnya juga
dengan daerah-daerah yang rawan pangan.

Peta-peta dibuat dengan menggunakan pola warna yang seragam yaitu gradasi warna merah dan hijau.
Gradasi warna merah menunjukkan variasi tingkat kerawanan pangan dan gradasi warna hijau
menggambarkan kondisi yang lebih baik. Pada kedua kelompok warna tersebut, warna yang semakin tua
menunjukkan tingkat yang lebih tinggi dalam hal ketahanan atau kerawanan pangan. Klasifikasi data pada
peta untuk indikator individu sama dengan yang digunakan pada FIA nasional 2005 dan FSVA nasional
2009, kecuali data berat balita di bawah standar (underweight) yang menggunakan batas klasifikasi masalah
kesehatan masyarakat dari Badan Kesehatan Dunia (WHO, 2005), batas klasifikasi berat badan dibawah
standar ini (underweight) juga digunakan pada FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi. Peta Indeks 1.1
sampai 1.3 merupakan daftar kabupaten dan kecamatan yang digunakan dalam analisis peta ini.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 5


Tabel 1.1: Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

Ketersediaan Pangan

1. Rasio konsumsi normatif 1. Data rata-rata produksi bersih tiga tahun (2007-2009) padi, jagung, Badan Ketahanan
per kapita terhadap ubi kayu dan ubi jalar pada tingkat kecamatan dihitung dengan meng- Pangan dan Badan
ketersediaan bersih ‘padi + gunakan faktor konversi standar. Untuk rata-rata produksi bersih ubi Pusat Statistik
jagung + ubi kayu + ubi jalar’ Provinsi dan
kayu dan ubi jalar dibagi dengan 3 (faktor konversi serealia) untuk
Kabupaten, (data
mendapatkan nilai yang ekivalen dengan serealia. Kemudian dihitung
2007-2009)
total produksi serealia yang layak dikonsumsi.

2. Ketersediaan bersih serealia per kapita per hari dihitung dengan mem-
bagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah populasinya
(data penduduk pertengahan tahun 2008).

3. Data bersih serealia dari perdagangan dan impor tidak diperhitungkan


karena data tidak tersedia pada tingkat kecamatan.

4. Konsumsi normatif serealia/hari/kapita adalah 300 gram/orang/hari.

5. Kemudian dihitung rasio konsumsi normatif perkapita terhadap keterse-


diaan bersih serealia per kapita. Rasio lebih besar dari 1 menunjukkan
daerah defisit pangan dan daerah dengan rasio lebih kecil dari 1 adalah
surplus untuk produksi serealia.

Akses Pangan dan Matapencaharian

2. Persentase penduduk hidup di Nilai rupiah pengeluaran per kapita setiap bulan untuk memenuhi standar SUSENAS KOR
bawah garis kemiskinan minimum kebutuhan-kebutuhan konsumsi pangan dan non pangan yang 2007-2009,
dibutuhkan oleh seorang individu untuk hidup secara layak. Dihitung dengan SUSENAS MODUL
metode Small Area Estimation (SAE). 2008, PODES
(Potensi Desa)
2008, BPS
3. Persentase desa yang tidak Lalu-lintas antar desa yang tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda empat. PODES 2008, BPS
memiliki akses penghubung yang
memadai
4. Persentase rumah tangga tanpa Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik dari SUSENAS KOR
akses listrik PLN dan/atau non PLN, misalnya generator. Dihitung dengan metode 2007-2009, PODES
SAE. 2008, BPS

Pemanfaatan Pangan

5. Persentase desa dengan jarak Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 kilometer dari fasilitas PODES 2008, BPS
lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan (rumah sakit, klinik, puskesmas, dokter, juru rawat, bidan yang
kesehatan terlatih, paramedik, dan sebagainya).
6. Persentase rumah tangga tanpa Persentase rumah tangga yang tidak memiliki akses ke air minum SUSENAS KOR
akses ke air bersih yang berasal dari air leding/PAM, pompa air, sumur atau mata air yang 2007-2009, PODES
terlindung. Dihitung dengan metode SAE. 2008, BPS
7. Perempuan Buta Huruf Persentase perempuan di atas 15 tahun yang tidak dapat membaca atau SUSENAS KOR
menulis. Dihitung dengan metode SAE. 2007-2009, PODES
2008, BPS
8. Berat badan balita di bawah stan- Anak di bawah lima tahun yang berat badannya kurang dari -2 Standar Pemantauan Status
dar (Underweight) Deviasi (-2 SD) dari berat badan normal pada usia dan jenis kelamin Gizi (PSG) 2009,
tertentu (Standar WHO 2005). Dinas Kesehatan
NTB
9. Angka harapan hidup pada saat Perkiraan lama hidup rata-rata bayi baru lahir dengan asumsi tidak ada SUSENAS KOR
lahir perubahan pola mortalitas sepanjang hidupnya. Dihitung dengan metode 2007-2009, PODES
SAE. 2008, BPS

Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Transien

10. Bencana alam Data bencana alam yang terjadi di Indonesia dan kerusakannya selama Badan Nasional
periode 1990 – 2009 Penanggulangan
Bencana (BNPB),
2010

6 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Tabel 1.1 (lanjutan): Indikator Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB, 2010

Indikator Definisi dan Perhitungan Sumber Data

11. Penyimpangan Curah Hujan 1. Data rata-rata tahunan curah hujan pada musim hujan dan kemarau Badan Meteorologi,
selama 10 tahun terakhir (1997-98 sampai 2007-08) dihitung. Klimatologi dan
Geofisika (BMKG)
2. Kemudian dihitung persentase dari perbandingan nilai rata-rata 10
NTB, 2010
tahun terhadap nilai normal rata-rata 30 tahun (1971-2000).
12. Persentase daerah puso Persentase dari daerah ditanami padi dan jagung yang rusak akibat Sensus Pertanian
kekeringan, banjir dan organisme pengganggu tanaman (OPT). (SP) 2009, BPS
13. Deforestasi hutan Deforestasi adalah perubahan kondisi penutupan lahan dari hutan menjadi Penghitungan
non hutan. Angka deforestasi hutan berdasarkan analisis citra satelit Deforestasi
Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006. Indonesia tahun
2008, Kementerian
Kehutanan

6 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 7


BAB 2
KETERSEDIAAN PANGAN

Ketersediaan Pangan adalah ketersediaan pangan secara fisik di suatu wilayah dari segala
sumber, baik itu produksi pangan domestik, perdagangan pangan dan bantuan pangan. Ketersediaan
pangan ditentukan oleh produksi pangan di wilayah tersebut, perdagangan pangan melalui mekanisme pasar
di wilayah tersebut, stok yang dimiliki oleh pedagang dan cadangan pemerintah, dan bantuan pangan dari
pemerintah atau organisasi lainnya.

Produksi pangan tergantung dari berbagai faktor seperti iklim, jenis tanah, curah hujan, irigasi, komponen
produksi pertanian yang digunakan dan bahkan inisiatif dari para petani untuk menghasilkan tanaman
pangan.

Pangan meliputi produk serealia, kacang-kacangan, minyak nabati, sayur-sayuran, buah-buahan, rempah,
gula, dan produk hewani. Karena kebutuhan utama dari kebutuhan kalori harian berasal dari sumber pangan
karbohidrat, yaitu sekitar separuh dan kebutuhan energi per orang per hari, maka yang digunakan dalam
analisa kecukupan pangan yaitu karbohidrat yang bersumber dari produksi pangan pokok serealia, yaitu
padi, jagung dan umbi-umbian (ubi kayu dan ubi jalar) yang digunakan untuk memahami tingkat kecukupan
pangan pada tingkat kabupaten maupun kecamatan.

2.1 PRODUKSI

Pemerintah provinsi NTB telah mempromosikan produksi pertanian dan telah mengadopsi beberapa
tindakan perlindungan bagi petani. Pertanian (termasuk peternakan, kehutanan, dan perikanan) telah
memberikan kontribusi sebesar 21,33% dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) provinsi NTB
selama empat tahun terakhir dan memberikan peluang yang signifikan untuk berkontribusi dalam
meningkatkan ketahanan pangan, penanggulangan kemiskinan, dan dinamika pertumbuhan ekonomi.

Padi merupakan bahan pangan pokok di provinsi NTB yang menyumbang hampir 90% dari total produksi
serealia provinsi.

Setelah 5-6 tahun stagnasi dalam produksi, produksi serealia dan umbi-umbian terus meningkat sejak tahun
2006 kecuali tahun 2007 (Tabel 2.1. dan Gambar 2.1). Peningkatan ini terutama disebabkan bertambahnya
luas tanam dan peningkatan produktivitas. Produksi padi meningkat 20,45% selama periode yang sama,
mencapai 1.870.773 ton pada tahun 2009. Provinsi NTB telah menjadi salah satu sentra produksi padi di
Indonesia.

Tahun 2009, total produksi serealia dan umbi-umbian mencapai 1.870.733 ton padi, 308.863 ton jagung,
85.062 ton ubi kayu, dan 11.276 ton ubi jalar. Produksi padi dan jagung tahun 2009 lebih tinggi dari rata-rata
produksi tahunan selama 10 tahun terakhir, dimana produksi ubi kayu dan ubi jalar pada tahun 2009 lebih
rendah dari rata-rata 10 tahun terakhir.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 9


Tabel 2.1: Produksi Serelia Pokok dan Umbi-umbian, 2000 - 2009 (Ton)

Rata-rata
Serealia 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
10 Tahun
Jagung 66,216 50,777 57,785 64,228 71,276 96,458 103,963 120,612 196,263 308,863 113,644
Padi 1,488,191 1,458,616 1,370,171 1,422,440 1,466,757 1,367,869 1,552,628 1,526,347 1,750,675 1,870,773 1,527,447
Ubi Jalar 10,060 17,553 20,565 20,886 19,430 19,373 13,007 10,985 11,276 14,314
Ubi Kayu 99,486 96,974 87,913 88,568 88,030 92,991 87,041 88,528 68,386 85,062 88,298

Sumber: BPS, 2000 - 2009

Gambar 2.1: Produksi Serelia Pokok dan Umbi-Umbian, 2000 - 2009

2,100,000

1,800,000

1,500,000
Produksi (Ton)

1,200,000

900,000

600,000 Jagung
Padi
300,000 Ubi Jalar
Ubi Kayu
-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Gambar 2.2a: Total Luas Panen Padi (ha) di Pulau Lombok

90,000

80,000

70,000
Luas Panen (ha)

60,000

50,000

40,000 Lombok Barat


Lombok Tengah
30,000
Lombok Timur
20,000
Kota Mataram
10,000 Lombok Utara
-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Padi
Produksi padi pada tingkat kabupaten di NTB selama 10 tahun terakhir (2000-2009) telah dianalisa dan
disajikan pada Gambar 2.3. Produksi tersebut mengalami stagnasi tahun 2000-2004, dan menurun di tahun
2005 akibat kekeringan yang melanda hampir semua wilayah NTB kemudian mulai meningkat di tahun 2006
di semua kabupaten kecuali kabupaten Lombok Barat dan Sumbawa Barat. Peningkatan ini sangat signifikan
di Lombok Tengah, Lombok Timur, Sumbawa, dan Bima. Rata-rata produksi di Pulau Lombok sebesar
869.438 ton dari 2007-2009, yang menyumbang 50,66% dari total rata-rata produksi provinsi NTB. Tahun

10 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Gambar 2.2b: Total Luas Panen Padi (ha) di Sumbawa

90,000

80,000

70 000
70,000

Panen (ha) 60,000

50,000
Luas P

40,000 Sumbawa
30,000 Dompu
Sumbawa Barat
20,000
Kota Bima
10,000 Bima

-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Tahun

2007, lahan sawah mengalami puso karena curah hujan yang rendah yang mengakibatkan hasil produksi
yang rendah (lihat Peta 5.3 Daerah Puso). Sentra produksi padi di NTB berada di kabupaten Lombok
Tengah, Sumbawa, Lombok Timur dan Bima. Produksi padi di ke-4 kabupaten tersebut sebesar 1,389,137
ton pada tahun 2009 yang menyumbang 74,25% terhadap total produksi padi di provinsi NTB.

Gambar 2.3a: Produksi Padi (ha) di Pulau Lombok

450,000

400,000

350,000

300,000
si (Ton)

250 000
250,000
Produks

200,000
Lombok Barat
150,000
Lombok Tengah

100,000
Lombok Timur

Kota Mataram
50,000
Lombok Utara

-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Gambar 2.3b: Produksi Padi (ha) di Pulau Sumbawa

450,000

400,000

350,000

300,000
Produksi (Ton)

250,000

Sumbawa
200,000
Dompu
150,000
Bima
100,000 Sumbawa Barat

Kota Bima
50,000

-
2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

Tahun

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 11


Jagung
Tahun 2009, produksi jagung mencapai 308.863 ton dan menunjukkan kenaikan sebesar 57,37% dari
produksi tahun 2008. Peningkatan produktivitas, luas tanam, dan cuaca yang baik memberikan kontribusi
secara keseluruhan terhadap peningkatan produksi. Kabupaten penghasil jagung di NTB adalah Sumbawa
dan Lombok Timur (Gambar 2.4). Pemerintah memberikan dukungan produksi jagung melalui Sekolah
Lapang Pengelolaan Tanaman dan Sumber daya Terpadu (SLPTT) program yang mendukung akses petani
terhadap benih. Harga jagung juga sangat menjanjikan.

Gambar 2.4: Produksi Jagung (2006 - 2009)

120,000

100,000

80,000 Sumbawa
Lombok Utara
si (Ton)

Lombok Tengah
60 000
60,000
Produks

Dompu
Lombok Barat
40,000 Lombok Timur
Bima
Sumbawa Barat
20,000
Kota Mataram
Kota Bima
-
2006 2007 2008 2009
Tahun

Ubi Kayu
Produksi ubi kayu mengalami penurunan sekitar 15% selama 10 tahun terakhir. Pada tahun 2009, produksi
ubi kayu sebesar 85.062 ton yang menyumbangkan hanya 3,37% dari total produksi serealia di provinsi ini.
Penurunan produksi ubi kemungkinan disebabkan adanya konversi lahan dari ubi kayu ke jagung dan padi.
Lombok Utara dan Lombok Tengah adalah sentra produksi ubi kayu di provinsi ini (Gambar 2.5).

Gambar 2.5: Produksi Ubi Kayu (2006 - 2009)

30,000

25,000
uksi (Ton)

20,000 Lombok Barat


Sumbawa
Produ

15,000 Lombok Timur


Lombok Tengah
10,000 Lombok Utara
Dompu

5,000
Bima
Sumbawa Barat

0
2006 2007 2008 2009
Tahun

Ubi Jalar
Produksi ubi jalar sangat terbatas di provinsi ini. Pada tahun 2009, produksi ubi jalar sebesar 11.276 ton
yang menyumbang hanya 0,5% dari total produksi serealia di NTB. Selain konversi untuk padi dan jagung,

12 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


kurangnya pasar lokal juga merupakan alasan utama menurunnya produksi ubi jalar. Kabupaten Bima adalah
sentra produksi ubi jalar namun jumlah produksi secara signifikan terus menurun akhir-akhir ini.

Gambar 2.6: Produksi Ubi Jalar (2006 - 2009)

6,000

5,000

Lombok Barat
duksi (Ton)

4,000
Sumbawa
Lombok Timur
3,000
Prod

Lombok Tengah
2,000 Lombok Utara
Dompu
1 000
1,000 Bima
Sumbawa Barat
-
2006 2007 2008 2009
Tahun

Tabel 2.2: Produksi Padi dan Jagung (2006 - 2009) (Ton)


Padi Jagung
No Kabupaten
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009
1 Lombok Barat 131,566 147,571 145,571 148,677 5,247 7,802 12,127 12,248

2 Lombok Tengah 339,375 315,667 358,192 385,186 6,588 9,950 14,097 11,094

3 Lombok Timur 278,610 274,613 308,446 311,873 27,424 30,905 52,760 81,293

4 Lombok Utara 45,524 48,889 49,615 50,971 9,621 10,304 17,182 19,390

5 Sumbawa 289,306 284,110 332,515 383,649 33,892 30,903 52,530 100,840

6 Dompu 118,630 124,341 153,743 161,352 6,858 5,160 13,203 24,396

7 Bima 245,691 236,031 282,928 308,429 9,021 18,342 25,598 45,263

8 Sumbawa Barat 60,921 50,290 69,121 61,093 4,407 4,788 5,516 10,690

9 Kota Mataram 17,732 18,716 21,467 22,859 12 78 129 14

10 Kota Bima 25,273 26,119 29,077 36,684 893 2,380 3,121 3,635

Total NTB 1,552,628 1,526,347 1,750,675 1,870,773 103,963 120,612 196,263 308,863

Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006 - 2009

Tabel 2.3: Produksi Ubi Kayu dan Ubi Jalar (2006 - 2009) (Ton)
Ubi Kayu Ubi Jalar
No Kabupaten
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009
1 Lombok Barat 7,414 7,123 4,321 5,087 1,499 1,199 1,566 878

2 Lombok Tengah 17,516 17,732 11,386 14,278 2,205 747 2,197 2,991

3 Lombok Timur 10,009 7,092 10,238 14,465 3,543 2,615 2,218 2,136

4 Lombok Utara 19,163 25,375 11,948 24,836 2,152 2,577 1,686 1,364

5 Sumbawa 13,839 6,003 8,154 5,816 1,557 469 650 733

6 Dompu 3,224 2,520 2,412 1,775 2,140 818 603 697

7 Bima 7,584 11,583 10,775 7,818 5,706 4,026 1,449 1,673

8 Sumbawa Barat 1,162 710 395 118 310 150 127 152

9 Kota Mataram - - - - 12 - - -

10 Kota Bima 7,130 10,390 8,757 10,869 249 406 489 652

Total NTB 87,041 88,528 68,386 85,062 19,373 13,007 10,985 11,276

Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006 - 2009

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 13


Tabel 2.4: Produksi Total Serelia per tahun dan Laju Pertumbuhan Produksi untuk periode
2006 - 2009
Produksi Total Serealia Laju Pertumbuhan
No Kabupaten
2006 2007 2008 2009 2006 - 2009

1 Lombok Barat 145,726 163,695 163,585 166,890 14.52

2 Lombok Tengah 365,684 344,096 385,872 413,549 13.09

3 Lombok Timur 319,586 315,225 373,662 409,767 28.22

4 Lombok Utara 76,460 87,145 80,431 96,561 26.29

5 Sumbawa 338,594 321,485 393,849 491,038 45.02

6 Dompu 130,852 132,839 169,961 188,220 43.84

7 Bima 268,002 269,982 320,750 363,183 35.52

8 Sumbawa Barat 66,800 55,938 75,159 72,053 7.86

9 Kota Mataram 17,756 18,794 21,596 22,873 28.82

10 Kota Bima 33,545 39,295 41,444 51,840 54.54

Total NTB 1,763,005 1,748,494 2,026,309 2,275,974

Sumber: BPS Provinsi dan Kabupaten, 2006-2009

2.2 RASIO KONSUMSI NORMATIF PER KAPITA TERHADAP


PRODUKSI PANGAN

Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa indikator ketersediaan pangan yang digunakan
dalam analisis ketahanan pangan komposit adalah konsumsi normatif per kapita terhadap produksi pangan.
Rasio tersebut menunjukkan apakah suatu wilayah mengalami surplus produksi serealia dan umbi-umbian.

Perhitungan produksi pangan tingkat kecamatan dilakukan dengan menggunakan data rata-rata produksi
tiga tahunan (2007–2009) untuk komoditas padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar karena sumber energi utama
dari asupan energi makanan berasal dari serealia dan umbi-umbian. Pola konsumsi pangan menunjukkan
bahwa hampir 50% dari kebutuhan total kalori berasal dari serealia dan umbi-umbian. Data produksi
bersih rata-rata dari komoditi padi, jagung, ubi kayu dan ubi jalar dihitung dengan menggunakan faktor
konversi baku. Untuk produksi bersih rata-rata ubi kayu dan ubi jalar agar setara dengan beras, maka harus
dikalikan dengan 1/3 (1 kg beras atau jagung ekuivalen dengan 3 kg ubi kayu dan ubi jalar dalam hal nilai
kalori). Kemudian dihitung total produksi serealia yang layak dikonsumsi. Ketersediaan bersih serealia per
kapita dihitung dengan membagi total ketersediaan serealia kecamatan dengan jumlah penduduk (data
penduduk pertengahan tahun 2008). Data serealia bersih dari perdagangan dan impor tidak dihitung karena
data tidak tersedia di tingkat kecamatan. Berdasarkan profil konsumsi Indonesia, konsumsi serealia normatif
per hari per kapita adalah 300 gram. Kemudian rasio konsumsi normatif per kapita untuk produksi dihitung
(lihat Lampiran 2.1: Indikator Ketersediaan Pangan).

Peta 2.1 menggambarkan bahwa sebagian besar wilayah kabupaten di NTB adalah swasembada dalam
produksi pangan serealia yang ditunjukkan oleh gradasi kelompok warna hijau, sedangkan daerah-daerah
yang defisit ditunjukkan dengan gradasi kelompok warna merah, yang pada umumnya daerah tersebut
tidak atau kurang cocok untuk memproduksi tanaman serealia. Kondisi iklim, kelayakan tanah, berulangnya
bencana alam (kekeringan, banjir, dan lain sebagainya) merupakan faktor kendala lain yang menyebabkan
ketidakmampuan daerah-daerah defisit tersebut dalam mencapai swasembada produksi tanaman serealia.

Hanya 6,7% atau 7 dari 105 kecamatan di provinsi NTB yang mengalami defisit produksi serealia.
Diantaranya 3 kecamatan defisit tinggi, 2 kecamatan defisit sedang, dan 2 kecamatan lainnya defisit
rendah. 93% atau 98 kecamatan di provinsi ini memiliki ketersediaan pangan yang cukup dengan rasio di
bawah 1. Penyebab defisitnya ketersediaan serealia di 7 kecamatan tersebut, meliputi: 1) lahan pertanian

14 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


beralih fungsi menjadi permukiman, pertambangan atau daerah pariwisata 2) bencana alam seperti banjir
dan kekeringan. Meskipun diakui bahwa ketersediaan makanan yang cukup merupakan persyaratan mutlak
ketahanan pangan, prasyarat ini tidak cukup untuk menjamin keamanan pangan di tingkat rumah tangga
dan individu.

2.3 TANTANGAN UTAMA PEMENUHAN KECUKUPAN

Laju pertumbuhan penduduk NTB dari tahun 2000-2010 mencapai 1,2% per tahun sementara
pertumbuhan produksi padi dan jagung mencapai 3,5% dan 18,6%. Namun seperti yang telah dibahas
dalam Bab ini dan Bab 5, fluktuasi curah hujan, berkurangnya lahan yang tersedia, merupakan faktor risiko
utama. Diperkirakan lahan sawah akan berkurang dari 221.981 ha pada tahun 2009 menjadi 218.218
ha pada tahun 2013. Hal ini mengindikasikan bahwa produksi padi akan berkurang sekitar 5.804 ton
atau 0,31% pada tahun 2013. Oleh karena itu, upaya untuk meningkatkan produktivitas dan mengurangi
konversi lahan merupakan hal yang penting.

Strategi untuk meningkatkan ketersediaan pangan


Dalam Rencana Strategis BKP NTB 2009-2013, terdapat beberapa program yang berkaitan dengan
ketersedian pangan yaitu :
a. Penanganan daerah rawan pangan;
b. Pemanfaatan pekarangan untuk pengembangan pangan;
c. Pemantauan dan analisis akses pangan;
d. Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil pertanian;
e. Pengembangan cadangan pangan daerah;
f. Pengembangan desa mandiri pangan;
g. Pengembangan lumbung pangan;
h. Penyuluhan sumber pangan alternatif/penganekaragaman pangan;
i. Promosi atas hasil pertanian/perkebunan unggulan daerah;
j. Penyuluhan peningkatan produksi pertanian/perkebunan;
k. Pengembangan Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP); dan
l. Peningkatan kesejahteraan petani.

Sedangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) provinsi NTB 2009 - 2013,
terdapat beberapa program yang berkaitan dengan ketersediaan pangan yaitu:
a. Pengembangan Agro bisnis dan Agro industri;
b. Peningkatan produksi dan pemasaran hasil produksi;
c. Peningkatan produksi hasil pertanian;
d. NTB Bumi Sejuta Sapi (program NTB untuk menghasilkan 1 juta sapi pada tahun 2013);
e. Pengembangan budidaya perikanan dan sistem penyuluhan (termasuk pengembangan perikanan
tangkap);
f. Peningkatan ketahanan pangan;
g. Peningkatan kesejahteraan petani;
h. Pemberdayaan penyuluh pertanian lapangan (PPL);
i. Peningkatan penerapan teknologi pertanian/perkebunan; dan
j. Pencegahan dan penanggulangan hama dan penyakit tanaman.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 15


BAB 3
AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN

Akses terhadap pangan merupakan salah satu dari 3 pilar ketahanan pangan yang di analisis dalam FIA
nasional 2005, FSVA nasional 2009 dan FSVA provinsi NTB. Akses Pangan adalah kemampuan
rumah tangga untuk memperoleh cukup pangan, baik yang berasal dari produksi sendiri, stok, pembelian,
barter, hadiah, pinjaman, dan bantuan pangan. Ketersediaan pangan di suatu daerah mungkin
mencukupi, akan tetapi tidak semua rumah tangga memiliki akses yang memadai baik secara kuantitas maupun
keragaman pangan melalui mekanisme tersebut di atas. Akses pangan tergantung pada daya beli
rumah tangga yang ditentukan oleh penghidupan rumah tangga tersebut. Penghidupan terdiri dari dari
kemampuan rumah tangga, modal/aset (sumber daya alam, fisik, sumber daya manusia, ekonomi, dan
sosial) dan kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar – penghasilan, pangan, tempat
tinggal, kesehatan, dan pendidikan. Rumah tangga yang tidak memiliki sumber penghidupan yang memadai
dan berkesinambungan, sewaktu-waktu dapat berubah menjadi tidak berkecukupan, tidak stabil, dan daya
beli menjadi sangat terbatas, yang menyebabkan mereka tetap miskin dan rentan terhadap kerawanan
pangan.

Secara global, penduduk yang tingkat per kapitanya di bawah US$ 1,25 (Purchasing Power Parity) per
hari menurut Bank Dunia, dikelompokkan sebagai penduduk miskin. Pemerintah Indonesia menggunakan
garis kemiskinan nasional sebesar Rp. 200.262 orang/bulan pada tahun 2009 (sekitar US$ 22/orang/bulan)
untuk keperluan perencanaan. Berdasarkan harga kebutuhan pokok di tingkat provinsi, garis kemiskinan
yang digunakan oleh provinsi NTB adalah sebesar Rp. 185.025/orang/bulan tahun 2009. Semakin besar
jumlah penduduk miskin di suatu wilayah maka akses terhadap pangan akan semakin rendah dan angka
kerawanan pangan akan semakin tinggi.

3.1 PENDUDUK DI BAWAH GARIS KEMISKINAN

Berbagai program penanggulangan kemiskinan sudah dijalankan oleh Pemerintah provinsi NTB.
Meskipun seluruh kabupaten telah berhasil menurunkan angka kemiskinan pada tahun 2007-2009, namun
jumlah penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan masih cukup besar di provinsi ini. Pada tahun 2009,
terdapat 22,78 atau 1,051 juta penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan. Angka kemiskinan lebih
tinggi di daerah pedesaan (28,8% pada tahun 2009) dibandingkan di daerah perkotaan (16,4%). Tabel 3.1.
menunjukkan angka kemiskinan yang tinggi terdapat di kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur dan
Sumbawa.

Persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan menurut data kecamatan menunjukkan
perbedaan tingkat kemiskinan yang sangat jelas antar kecamatan (Peta 3.1). Dari 105 kecamatan, terdapat
18 kecamatan di 7 kabupaten yang memiliki jumlah penduduk yang berada dibawah garis kemiskinan di
atas 30% (Tabel 3.2). Oleh karena itu program-program penanggulangan kemiskinan ke depan masih harus
ditingkatkan dan diprioritaskan di 18 kecamatan tersebut.

Gambar 3.1 menggambarkan dengan jelas tentang dominasi sektor pertanian sebagai sumber pendapatan
masyarakat. Di samping pendapatan yang diperoleh dari hasil panen tanaman pangan, perdagangan yang
juga merupakan salah satu sumber pendapatan yang signifikan kedua di beberapa wilayah di NTB, yang

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 17


Tabel 3.1: Jumlah dan Persentase Populasi di Bawah Garis Kemiskinan

No Kabupaten 2008 2009


Jumlah (000) % Jumlah (000) %
1 Lombok Barat 222.16 25.97 208.49 24.02

2 Lombok Tengah 197.22 22.32 187.59 20.94

3 Lombok Timur 284.26 25.43 270.61 23.96

4 Lombok Utara* - - - -

5 Sumbawa 109.63 25.31 104.98 23.85

6 Dompu 54.73 24.52 49.52 21.76

7 Bima 94.93 21.79 89.7 20.42

8 Sumbawa Barat 25.17 24.27 24.34 23.01

Total NTB 1,080.60 23.81 1,051.00 22.78

Total Indonesia 34,963.30 15.42 32,529.90 14.15


* Kabupaten pemekaran
Sumber: Diolah dari SUSENAS Modul Konsumsi 2008-2009

Tabel 3.2: Jumlah Kecamatan-kecamatan yang memiliki 30% penduduk hidup


di bawah garis kemiskinan tahun 2008

No Kabupaten Jumlah kecamatan yang memiliki 30% penduduk


hidup di bawah garis kemiskinan

1 Lombok Barat 3

2 Lombok Tengah 0

3 Lombok Timur 5

4 Lombok Utara 1

5 Sumbawa 4

6 Dompu 1

7 Bima 2

8 Sumbawa Barat 2

Total NTB 18
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, PODES 2008, BPS

Gambar 3.1: Sumber Pendapatan Utama menurut Klasifikasi Sektoral

Sumbawa Barat

Bima

Dompu

Sumbawa
Pertanian

Pertambangan dan Penggalian


Lombok Utara
Industri Pengolahan

Lombok Timur
Perdagangan Besar/Eceran

Angkutan, Pergudangan, Komunikasi

Lombok Tengah Jasa

Lainnya

Lombok Barat

0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90% 100%

Sumber: PODES 2008, BPS

18 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


diikuti oleh penyediaan jasa. Dengan produktivitas pertanian yang peningkatannya relatif stagnan dalam
beberapa tahun terakhir, fragmentasi lahan yang relatif tinggi di wilayah padat penduduk dan pengaruh
curah hujan yang tak menentu di beberapa wilayah di NTB, berdampak kurang menguntungkan pada
masyarakat yang bergantung terhadap produksi tanaman pangan (di lahan sendiri ataupun sistem bagi hasil)
sebagai sumber pendapatan utama. Sehingga mengakibatkan banyak dari mereka yang jatuh di bawah atau
berada di sekitar garis kemiskinan.

3.2 TINGKAT PENGANGGURAN TERBUKA (TPT)

Sumber utama data ketenagakerjaan adalah Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS). Sejak
tahun 2005, SAKERNAS dilakukan sebanyak dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Februari dan
Agustus. Dalam rangka menyesuaikan dengan konsep baru dari Organisasi Tenaga Kerja International
(ILO), maka konsep status ketenagakerjaan dan pengangguran terbuka telah di perluas sejak
SAKERNAS tahun 2001. Total Angkatan Kerja adalah penduduk usia 15 tahun atau lebih yang pada
minggu lalu bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan pengangguran (sedang
mencari pekerjaan atau sedang mempersiapkan suatu usaha).

Konsep pengangguran terbuka saat ini mencakup penduduk yang aktif mencari pekerjaan, penduduk yang
sedang mempersiapkan usaha/pekerjaan baru, penduduk yang tidak mencari pekerjaan karena merasa
tidak mungkin mendapatkan pekerjaan serta penduduk yang tidak aktif mencari pekerjaan dengan alasan
sudah mempunyai pekerjaan tetapi belum mulai bekerja. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) adalah
perbandingan total pengangguran terbuka di bagi dengan jumlah angkatan kerja.

Tabel 3.3: Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT)

No Kabupaten 2007 2008 2009

1 Lombok Barat 6.07 6.98 4.93


2 Lombok Tengah 6.49 5.57 5.22
3 Lombok Timur 5.02 3.99 5.80
4 Lombok Utara* 0.00 0.00 0.00
5 Sumbawa 5.49 5.77 6.95
6 Dompu 5.22 6.70 6.94
7 Bima 4.99 4.72 4.71
8 Sumbawa Barat 4.81 5.65 8.32

Total NTB 6.48 6.13 6.25


* Kabupaten pemekaran
Sumber: Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas), BPS 2006-2009

Tabel 3.3 menunjukkan bahwa di provinsi NTB, tingkat pengangguran terbuka tidak mengalami
perubahan yang berarti pada periode 2007-2009, yaitu hanya sekitar 6%, dimana mengalami penurunan
sebesar 0,36% dari 6,48% di tahun 2007 menjadi 6,12% (sekitar 131.000 pengangguran) di tahun 2009.
Hal ini menunjukkan bahwa penurunan angka kemiskinan terjadi secara perlahan-lahan, peningkatan upah
buruh sebagai hasil dari pertumbuhan ekonomi memiliki beberapa dampak positif terhadap situasi TPT
tingkat provinsi selama tahun 2007-2009.

Perbedaan tingkat pengangguran berbeda-beda antar kabupaten. Pada tahun 2009, tingkat pengangguran
tertinggi terdapat di kabupaten Sumbawa Barat (8,32%), Sumbawa (6,95%) dan Dompu (6,94%). TPT
terendah terdapat di kabupaten Bima (4,71%).

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 19


3.3 AKSES TERHADAP INFRASTRUKTUR DASAR (JALAN)

Kurangnya akses terhadap infrastruktur menyebabkan kemiskinan, dimana masyarakat yang tinggal di
daerah terisolir atau terpencil dengan kondisi geografis yang sulit dan ketersediaan pasar yang buruk,
sehingga kurang memiliki kesempatan ekonomi dan pelayanan jasa yang memadai. Kelompok miskin ini
masih kurang mendapatkan akses terhadap program pembangunan pemerintah.

Investasi pada infrastruktur – khususnya infrastruktur transportasi (jalan, pelabuhan, bandara, dan lain-lain),
listrik, infrastuktur pertanian (irigasi), dan fasilitas pendidikan dan kesehatan – dapat sepenuhnya mengubah
suatu wilayah sehingga menciptakan landasan pertumbuhan ekonomi dan partisipasi yang lebih besar dari
masyarakat yang tinggal di daerah terpencil.

Pada sektor pertanian, faktor yang menyebabkan tingkat pendapatan yang rendah adalah rendahnya
harga komoditas pertanian di tingkat petani/produsen (farm gate price) di daerah pedesaan dibandingkan
dengan harga di perkotaan untuk komoditas dengan kualitas yang sama (komoditas belum dirubah atau
diproses). Rendahnya harga komoditas pertanian di tingkat petani merupakan akibat dari tingginya biaya
transportasi untuk pemasaran hasil pertanian dari desa surplus. Biaya transportasi akan lebih tinggi pada moda
transportasi selain moda kendaraan bermotor – melewati jalan setapak dan jalan kecil dengan tenaga
manusia atau hewan, misalnya pada daerah yang tidak memiliki akses jalan yang memadai. Dalam sebuah
kajian cepat mengenai penyebab kemiskinan di 5 kabupaten di Indonesia, pada desa terpencil, teridentifikasi
bahwa tingginya biaya transportasi merupakan penyebab utama kemiskinan.

Tingginya harga komoditas pertanian di tingkat petani berarti tingkat pendapatan masyarakat petani
meningkat. Namun peningkatan pendapatan saja bagi penduduk desa terpencil belumlah cukup. Hal ini
masih perlu didukung dengan akses terhadap pelayanan jasa dan investasi infrastruktur agar dapat lebih
menjamin pendapatan yang lebih baik bagi masyarakat pertanian.

Dengan pengembangan akses jalan, maka guru–guru dapat lebih bersemangat untuk mengajar di
sekolah–sekolah di pedesaan miskin, yang pada gilirannya juga dapat meningkatkan sumber daya manusia
di wilayah miskin tersebut. Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) dapat menjangkau petani pedesaan dan
memberikan bantuan teknis dan informasi lainnya untuk meningkatkan produktivitas petani. Masyarakat
pedesaan dapat menjangkau pusat kesehatan sehingga angka kematian anak dapat dikurangi. Manfaat
pembangunan akses jalan di pedesaan yang berpenduduk miskin akan sangat dirasakan dalam peningkatan
aspek sosial maupun ekonomi penduduk desa tersebut.

Keterbelakangan infrastuktur menghalangi laju perkembangan suatu wilayah. Infrastruktur yang lebih baik
akan menarik investasi yang lebih besar pada berbagai sector, hal itu akan memberikan daya dorong
terhadap penghidupanberkelanjutan. Akses jalan memberikan akses yang lebih baik ke pasar bagi para
produsen, penjual dan pembeli. Akses juga merupakan penghubung yang penting terhadap pusat
pertumbuhan suatu daerah. Jalan memungkinkan orang untuk mengakses lebih baik terhadap pelayanan
dasarlainnya seperti pendidikan, kesehatan, dan sebagainya yang sangat penting untuk memperbaiki standar
kehidupan. Daerah yang terhubung dengan baik oleh jalan akan menerima dukungan infrastuktur lain yang
memperkuat penghidupan masyarakat.

Berdasarkan hasil survei PODES 2008, di provinsi NTB, 3,18% desa tidak memiliki akses penghubung
roda empat di waktu-waktu tertentu. Peta 3.2 menggambarkan persentase desa yang tidak memiliki akses
penghubung roda empat. Peta ini menggambarkan bahwa akses penghubung roda empat masih kurang
baik di sebagian wilayah kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat dan Bima. Namun sejak tahun 2009 hampir
semua desa di kabupaten Bima sudah bisa dilalui kendaraan roda empat. Tabel 3.4 menunjukkan kecamatan
yang memiliki persentase desa yang tidak dapat dilalui kendaraan roda empat.

20 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Tabel 3.4: Persentase desa yang tidak dapat di akses oleh kendaraan
roda empat

% desa yang tidak dapat di akses oleh


No Kabupaten
kendaraan roda empat
1 Lombok Barat 0.00

2 Lombok Tengah 0.81

3 Lombok Timur 0.00

4 Lombok Utara 3.03

5 Sumbawa 8.48

6 Dompu 0.00

7 Bima 5.08

8 Sumbawa Barat 8.16

Total NTB 3.18


Sumber: PODES 2008, BPS

Gambar 3.2: Moda Transportasi di Provinsi NTB

Kota Bima

Kota Mataram

Sumbawa Barat

Bima

Dompu

Sumbawa
Jalan dan Air
Lombok Timur Air

Lombok Tengah Jalan

Lombok
L b kB Baratt

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Sumber: PODES 2008, BPS

Gambar 3.2 menunjukkan bahwa jalan merupakan moda transportasi utama di provinsi NTB. Akan
tetapi, ada beberapa kecamatan dimana moda transportasi air masih menjadi bagian penting dari moda
transportasinya. Kurang memadainya kualitas jalan atau bahkan tidak tersedianya akses jalan menunjukkan
bahwa pembangunan jalan oleh pemerintah belum menjangkau daerah tersebut. Di sebagian kecamatan,
masyarakat juga menggunakan perahu motor sebagai moda transportasinya contohnya di Pulau Moyo di
kecamatan Labuan. Di beberapa wilayah juga memiliki aturan adat yang tidak memperbolehkan adanya
kendaraan roda empat seperti di Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno di kecamatan Pemenang. Karena
data yang akurat untuk moda transportasi air tidak tersedia, kami tidak dapat menggunakan transportasi air
sebagai salah satu indikator akses infrastuktur.

3.4 AKSES TERHADAP INFRASTRUKTUR DASAR (LISTRIK)

Akses listrik merupakan suatu indikator yang baik untuk melihat tingkat kesejahteraan ekonomi dan peluang
penghidupan pada suatu daerah. Akses listrik di tingkat rumah tangga memberikan peluang bagi kondisi

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 21


kehidupan yang lebih baik. Sesuai dengan SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional 2008), 92,38% rumah
tangga di Indonesia memiliki akses listrik, ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan data SUSENAS 2002
yang hanya 88%. Terdapat 85,37% rumah tangga di NTB yang memiliki akses terhadap listrik dimana hal
ini lebih tinggi dari sebagian besar provinsi di Indonesia bagian timur walaupun masih lebih rendah dari
rata-rata nasional. Tabel 3.5 menunjukkan bahwa rumah tangga yang tidak memiliki akses terhadap listrik
cukup tinggi (lebih dari 20%) terdapat di 2 kabupaten yaitu Lombok Timur dan Dompu. Pada tingkat
kecamatan, akses terhadap listrik yang terbatas terdapat di kecamatan Masbagik (34,85%), Pringgasela
(32,75%) dan Keruak (31,47%).

Tabel 3.5: Persentase rumah tangga tanpa akses ke listrik

No Kabupaten % tanpa akses ke listrik


1 Lombok Barat 10.29
2 Lombok Tengah 14.49
3 Lombok Timur 25.86
4 Lombok Utara 12.56
5 Sumbawa 4.26
6 Dompu 23.06
7 Bima 11.79
8 Sumbawa Barat 4.81

Total NTB 14.63

Total Indonesia 7.62


Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

3.5 STRATEGI PENGURANGAN KEMISKINAN, PENINGKATAN


AKSES TERHADAP PANGAN DAN PENGHIDUPAN

Perbaikan akses infrastruktur memerlukan biaya investasi yang sangat besar. Pada umumnya,
kabupaten dan provinsi tidak memiliki anggaran yang memadai untuk pengembangan infrastruktur tersebut.
Terlebih lagi, topografi yang sulit membuat proyek-proyek pengembangan infrastruktur menjadi sangat
mahal. Daya dorong ekonomi yang diperoleh sebagai hasil dari peningkatan infrastruktur akan memberikan
peluang-peluang yang lebih besar kepada pemerintah untuk memperoleh lebih banyak pendapatan. Akses ke
infrastruktur dasar merupakan kunci bagi kesejahteraan ekonomi dan upaya pengentasan kemiskinan.
Strategi Pemerintah Daerah provinsi NTB untuk penanggulangan kemiskinan seperti yang termuat dalam
RPJMD provinsi NTB 2009-2013 diantaranya :
• Mempercepat pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat miskin;
• Mendorong tumbuh dan berkembangnya lembaga keuangan mikro dan sarana pendukung
perekonomian sampai tingkat pedesaan;
• Mendorong tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat agro bisnis dan agro industri;
• Mendorong tumbuh dan berkembangnya wilayah strategis dan cepat tumbuh;
• Mendorong pemerataan pembangunan infrastruktur antara desa-kota, pulau-pulau kecil, dan
daerah terisolir;
• Mengupayakan penambahan daya listrik melalui PLN; dan
• Mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumberdaya listrik alternatif.

Seluruh strategi penanggulangan kemiskinan harus secara terintegrasi dan melibatkan masyarakat
miskin dalam upaya pengentasan kemiskinan sehingga kemampuan atau keberdayaan mereka dapat

22 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


meningkat. Terbukti bahwa dengan melibatkan dan membangun keberayaan masyarakat da-
pat menjadi sangat efektif dalam upaya pengentasan kemiskinan. Sistem pengaman sosial yang kuat
dan terstruktur, baik dalam bentuk bantuan sosial langsung tunai bagi mereka yang sangat rentan atau
sistem keamanan sosial berdasarkan program pemberdayaan masyarakat miskin terpadu dan terarah perlu
dikembangkan serta diperkuat.

Adaptasi terhadap perubahan anomali iklim (Climatic Change Adaptation) akan menjadi salah satu
faktor kunci yang menjamin kesinambungan perbaikan akses pangan dan penghidupan rumah tangga yang
tergolong miskin dan rentan. Petani kecil harus dilindungi dari gagal panen yang disebabkan oleh anomali
iklim melalui inisiatif perlindungan sosial yang inovatif.

Diversifikasi matapencaharian akan meningkatkan ketahanan keluarga rentan terhadap segala goncangan.
Suatu rumah tangga akan dapat menanggulangi dengan lebih baik jika mereka memiliki lebih dari satu
jenis sumber pendapatan. Umumnya, telah diamati bahwa rumah tangga rentan menggunakan strategi
penanganan masalah yang kurang tepat selama masa sulit, dan sulit untuk diubah. Hal ini terutama
disebabkan oleh kurangnya sumber pendapatan ke-2 di luar matapencaharian utama. Semua program
diversifikasi matapencaharian yang direncanakan secara matang dapat menjawab tantangan ini, dengan
demikian meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk meningkatkan standar hidup mereka tanpa
menggunakan strategi penanganan yang keliru.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 23


BAB 4
PEMANFAATAN PANGAN

Pilar ketiga dari ketahanan pangan adalah pemanfaatan pangan. Pemanfaatan pangan meliputi:
a) Penggunaan pangan yang bisa di akses oleh rumah tangga, dan b) kemampuan individu untuk menyerap
dan memetabolisme zat gizi (konversi secara efisien oleh tubuh).

Pemanfaatan pangan oleh rumah tangga tergantung pada: (i) fasilitas penyimpanan, pengolahan dan
penyiapan makanan yang dimiliki oleh rumah tangga termasuk penggunaan air selama proses
pengolahannya serta kondisi higiene; (ii) pengetahuan dan praktek yang berhubungan dengan penyiapan
makanan, pemberian makan untuk balita dan anggota keluarga lainnya termasuk yang sedang sakit atau
sudah tua yang mungkin dipengaruhi oleh pengetahuan yang rendah dari ibu dan pengasuh,
adat/kepercayaan dan tabu; (iii) distribusi makanan dalam keluarga; dan (iv) kondisi kesehatan
masing-masing individu yang mungkin dipengaruhi oleh penyakit, higiene, air dan sanitasi yang buruk dan
kurangnya akses ke fasilitas kesehatan dan pelayanan kesehatan.

Bab ini menggambarkan tentang pola konsumsi pangan penduduk. Karena ketidaktersediaan data tingkat
kabupaten, maka penjelasan mengenai pola konsumsi pangan dibatasi hanya pada tingkat provinsi. Analisa
dan peta untuk indikator lainnya (akses terhadap fasilitas kesehatan, air bersih, perempuan buta huruf,
dampak terhadap kesehatan dan gizi) untuk tingkat kecamantan, akan disajikan dalam bagian berikutnya.

4.1 KONSUMSI PANGAN

Konsumsi pangan yang disajikan pada FSVA provinsi menunjukkan tingkat asupan energi penduduk yang
dinyatakan dalam energi (Kkal) per kapita per hari, dan asupan protein dinyatakan dalam gram per kapita
per hari. Konsumsi pangan dihitung berdasarkan pengeluaran untuk makanan dalam rumah tangga selama
sebulan dari sampel yang di survei setiap tahun.

Pola Konsumsi Pangan


Pada tabel 4.1 rata-rata asupan energi harian pada tahun 2009 di provinsi NTB adalah 1,956 Kkal/kapita/
hari, ini berarti lebih rendah dari Angka Kecukupan Gizi nasional (AKG nasional adalah 2.000 Kkal). Asupan
protein sebesar 54,86 gram/kapita/hari yang memenuhi AKG nasional (52 gram). Asupan energi meningkat
0,42% dan asupan protein menurun 0,23% jika dibandingkan dengan data SUSENAS 2002.

Pada tingkat individu, data 2009 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan pada konsumsi pangan
di semua golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita (Monthly Per Capita Expenditure (MPCE)), termasuk
tiga golongan terendah. Tabel 4.1 menunjukkan data peningkatan konsumsi pangan pada tiga golongan
terendah, untuk energi yang bervariasi antara 18% dan 19%, dan antara 16% and 20% untuk protein.

Namun, untuk asupan energi dan protein dari 3 golongan MPCE terendah masih jauh lebih rendah
dibandingkan dengan AKG nasional dan lebih rendah dari rata-rata angka nasional. Semakin rendah
MPCE, semakin besar tingkat kekurangan energi dan protein. Tingkat kekurangan energi bervariasi antara
13% di golongan terendah ke-3 (MPCE 3) dan 37% di golongan terendah ke-1 (MPCE 1), sementara
kekurangan protein bervariasi antara 11% dan 39%. Hal ini menunjukkan bahwa penduduk golongan

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 25


Tabel 4.1: Konsumsi Kalori dan Protein per Kapita per Hari pada Tiga Golongan Terbawah dari
Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita

Golongan Pengeluaran Bulanan per Kapita


Kelompok MPCE 1 MPCE 2 MPCE 3 Rata-rata Provinsi Rata-rata Nasional
Makanan (< Rp 100,000) ( Rp 100,000 - 149,999) ( Rp 150,000 - 199,999)
Kalori Protein (g) Kalori Protein (g) Kalori Protein (g) Kalori Protein (g) Kalori Protein (g)
Padi-padian 1043.96 24.44 1101.26 25.79 1172.92 27.46 1146.01 26.83 1,042.68 24.49

Umbi-umbian 6.38 0.05 12.27 0.09 17.69 0.12 17.06 0.13 54.60 0.40

Ikan 7.21 1.27 16.94 2.92 23.32 4 30.86 5.33 46.31 7.64

Daging 2.38 0.14 3.26 0.2 6.36 0.41 22.17 1.5 24.67 1.47

Telur dan susu 1.53 0.12 5.31 0.37 9.37 0.7 29.28 1.83 36.56 2.18

Sayuran 29.9 2.43 39.16 3 50.52 3.87 49.65 3.71 43.63 3.00

Kacang-kacangan 11.47 1.12 25.63 2.22 41.31 3.57 56.62 4.79 50.60 4.58

Buah-buahan 6.86 0.07 10.11 0.11 21.26 0.22 37.16 0.37 40.27 0.41

Minyak dan lemak 52.41 0.06 88.8 0.09 126.3 0.18 150.79 0.22 232.88 0.44

Minuman 20.55 0.23 35.58 0.37 56.62 0.55 64.91 0.65 105.57 1.01

Bumbu-bumbuan 5.81 0.26 9.68 0.4 12.74 0.61 15.05 0.71 15.46 0.67

Makanan lain 7.13 0.16 14.68 0.31 27.54 0.59 46.25 0.97 49.94 1.03

Makanan jadi 65.66 1.51 111.17 2.93 164.13 3.86 290.41 7.82 218.39 5.75

Total 1,261.25 31.86 1,473.85 38.80 1,730.08 46.14 1,956.22 54.86 1,961.56 53.07

% perubahan jika 0% 0% +19% +16% +18% +20% -4% -3% +0.42% -0.23%
dibandingkan
SUSENAS 2002

% AKG nasional* 63% 61% 74% 75% 87% 89% 98% 106% 98% 102%

*AKG Nasional: 2,000 Kkal dan 52 gram protein/orang/hari


Sumber: SUSENAS 2009, SUSENAS 2002

terendah ke-1 (MPCE 1, < Rp 100.000) mengkonsumsi hanya 63% dari AKG nasional untuk energi dan
61% dari AKG nasional untuk protein.

Asupan dari tiga golongan terendah tidak hanya kekurangan energi dan protein, tetapi juga tidak
seimbang secara kualitas dengan proporsi terbesar (68%-83%) dari total energi yang berasal dari serealia dan
umbi-umbian dibandingkan dengan rata-rata nasional (53%).

Sumber protein utama berasal dari serealia dan umbi-umbian (60-77%), sedangkan angka rata-rata nasional
adalah 46%. Asupan makanan protein (ikan, daging, telur, susu) yang mengandung zat gizi kualitas tinggi,
terutama vitamin dan mineral, hanya 5-11% dari total konsumsi energi, sedangkan rata-rata tingkat provinsi
dan nasional adalah 16% dan 21%.

Dengan demikian, perlu usaha untuk memperbaiki asupan energi dan protein pada tiga golongan
MPCE terendah. Di samping itu, perlu penyuluhan gizi untuk masyarakat di seluruh kabupaten tentang
pentingnya bahan pangan selain serealia dan umbi-umbian dan perlunya meningkatkan konsumsi makanan
selain serealia dan umbi-umbian di semua kabupaten.

4.2 AKSES TERHADAP FASILITAS KESEHATAN

Menurut data Profil Dinas Kesehatan NTB, pada tahun 2009 NTB memiliki 15 rumah sakit, 147 puskesmas,
dan 534 puskesmas pembantu.

26 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Tabel 4.2: Persentase Rumah Tangga dengan akses yang terbatas ke air bersih dan
Persentase Desa dengan akses terbatas ke sarana pelayanan kesehatan

% desa dengan akses % rumah tangga dengan


No Kabupaten Rumah Puskesmas* Puskesmas yang sangat terbatas akses yang sangat terbatas
Sakit* Pembantu* ke fasilitas kesehatan ke sumber air bersih yang
(>5 Km)** aman (>5 Km)***

1 Lombok Barat 1 15 56 1.14 11.33

2 Lombok Tengah 2 23 84 2.42 22.86

3 Lombok Timur 2 29 85 0.84 22.70

4 Lombok Utara 0 5 22 9.09 18.56

5 Sumbawa 1 24 95 4.24 7.39

6 Dompu 1 9 44 0.00 10.20

7 Bima 2 20 81 3.39 13.54

8 Sumbawa Barat 0 8 29 6.12 4.16

Total NTB 15 147 534 2.63 15.92

Total Indonesia 1,319 8,234 - 11.83 20.17


Sumber: * NTB Dalam Angka 2010, BPS, ** PODES 2008, *** SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

Tabel 4.2 menunjukkan bahwa 97% desa di provinsi NTB memiliki akses ke fasilitas kesehatan dengan jarak
sekitar 5 km. Akses terburuk berada di Lombok Utara, dimana kurang dari 90% desa memiliki akses dengan
jarak sekitar 5 km. Akses terhadap fasilitas kesehatan semakin bervariasi pada tingkat kecamatan (Lampiran
3.1).

4.3 PENDUDUK DENGAN AKSES KURANG MEMADAI KE AIR BERSIH

Berdasarkan pada Tabel 4.2, 15,92% rumah tangga di provinsi NTB memiliki akses yang sangat terbatas
terhadap air layak minum (sumur terlindung/sumur bor/mata air, air ledeng dan air hujan). Kabupaten yang
memiliki akses sangat terbatas terhadap air layak minum yaitu kabupaten Lombok Tengah (22,86%), dan
Lombok Timur (22,70%). Sumbawa Barat dan Sumbawa dilaporkan memiliki akses yang lebih baik yaitu
masing-masing sebesar 95,84% dan 92,61% rumah tangga mempunyai akses terhadap air minum yang
layak.

Untuk tingkat kecamatan, kecamatan Keruak di kabupaten Lombok Timur dan Bolo di kabupaten Bima
memiliki lebih dari 30% rumah tangga yang memiliki akses sangat terbatas terhadap air layak minum
(Lampiran 3.1).

4.4 PEREMPUAN BUTA HURUF

Kemampuan untuk membaca pada kaum perempuan terutama ibu dan pengasuh anak sangat berpengaruh
terhadap status kesehatan dan gizi, dan menjadi hal yang sangat penting dalam pemanfaatan pangan. Studi
di berbagai negara menunjukan bahwa tingkat pendidikan dan kesadaran ibu dapat menjelaskan situasi
gizi anak-anak di negara-negara berkembang. Hal ini sudah terbukti secara global bahwa kekurangan gizi
berkaitan erat dengan tingkat pendidikan ibu.

Proporsi perempuan yang dikategorikan buta huruf di NTB sebesar 27%. Angka ini lebih dari dua kali
lipat dari rata-rata nasional dan kedua tertinggi dari 33 provinsi. Tabel 4.3 menunjukkan proporsi di
masing-masing kabupaten. Angka perempuan buta huruf tertinggi terdapat di kabupaten Lombok

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 27


Tabel 4.3: Persentase Perempuan Buta Huruf

No Kabupaten % Perempuan Buta Huruf


1 Lombok Barat 30.33

2 Lombok Tengah 36.48

3 Lombok Timur 29.22

4 Lombok Utara 35.25

5 Sumbawa 16.19

6 Dompu 23.67

7 Bima 20.17

8 Sumbawa Barat 15.74

Total NTB 27.03

Total Indonesia 10.93


Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

Tengah (36,48%), Lombok Utara (35,25%) dimana 1 dari 3 perempuan adalah buta huruf, kemudian diikuti
Lombok Barat (30,33%). Sedangkan, angka perempuan buta huruf terendah terdapat di pulau Sumbawa
yaitu Sumbawa Barat (15,74% ) dan Sumbawa (16,19%).

4.5 STATUS GIZI

Ketahanan pangan merupakan salah satu aspek yang mempengaruhi status kesehatan dan gizi masyarakat.
Status gizi anak ditentukan oleh asupan makanan dan penyakit yang dideritanya. Status gizi anak balita
diukur dengan 3 indikator yaitu:

1. Berat Badan Kurang dan Berat Badan Sangat Kurang yang biasa dikenal dengan underweight (berat
badan berdasarkan umur ( BB/U ) dengan Zscore kurang dari -2 dari median menurut referensi WHO
2005, yang mengacu kepada gabungan dari kurang gizi akut dan kronis);
2. Pendek atau stunting (tinggi badan berdasarkan umur ( TB/U ) dengan Zscore kurang dari -2 dari
median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu ke kurang gizi kronis jangka panjang); dan
3. Kurus atau wasting (berat badan berdasarkan tinggi badan ( BB/TB) dengan Zscore kurang dari -2
dari median menurut referensi WHO 2005, yang mengacu kepada kurang gizi akut atau baru saja
mengalami kekurangan gizi).

WHO mengklasifikasikan masalah gizi sebagai masalah kesehatan masyarakat di suatu negara, provinsi atau
kabupaten berdasarkan tingkat underweight, stunting dan wasting sebagai berikut:

Klasifikasi Underweight Stunting Wasting

Baik < 10% < 20% < 5%


Kurang 10-19% 20-29% 5-9%
Buruk 20-29% 30-39% 10-14%
Sangat Buruk ≥ 30% ≥ 40% ≥ 15%

Data stunting pada tingkat kabupaten hanya akan ditampilkan pada Tabel 4.4 sebagai tambahan informasi
untuk menjelaskan dampak kerawanan pangan kronis.

Menurut data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilakukan pada Tahun 2007, prevalensi balita
underweight di NTB adalah 24,80%. Hal ini menunjukkan bahwa masalah kesehatan masyarakat berada

28 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Tabel 4.4: Persentase Underweight dan Stunting pada Balita

No Kabupaten Berat Badan di Bawah Standard Tinggi Badan di Bawah Standard


Anak (<5 tahun) Anak (<5 tahun)

1 Lombok Barat 22.07 40.57


2 Lombok Tengah 17.32 41.60
3 Lombok Timur 22.49 42.23
4 Lombok Utara 23.08 47.76
5 Sumbawa 20.24 36.28
6 Dompu 16.35 27.31
7 Bima 24.84 42.16
8 Sumbawa Barat 12.39 36.39
Total NTB 23.70 41.60
Total Indonesia (Riskesdas 2010) 18.00 35.60

Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

pada tingkat yang buruk menurut klasifikasi WHO (lihat klasifikasi diatas). Riset ini juga menunjukkan bahwa
kekurangan gizi kronis (stunting) tersebar merata di provinsi ini. Secara keseluruhan, prevalensi stunting
sebesar 43,65% pada tahun 2007, dan berada pada klasifikasi sangat buruk (kritikal) menurut klasifikasi
WHO tahun 2005.

Berdasarkan RISKESDAS yang terakhir yang dilakukan pada tahun 2010, tingkat prevalensi underweight dan
stunting di provinsi NTB adalah 30,51% dan 48,21%. Prevalensi tingkat kabupaten dan kecamatan tidak
tersedia pada RISKESDAS yang terakhir ini.

Pada tahun 2009, Pemantauan Status Gizi (PSG) pada tingkat kecamatan dilakukan di semua
kabupaten oleh Dinas Kesehatan provinsi NTB berdasarkan panduan dari Kementerian Kesehatan. Data PSG
menunjukkan bahwa prevalensi underweight yang tinggi ditemukan di kabupaten Bima (24,84%), Lombok
Utara (23,08%), Lombok Timur (22,62%) dan Lombok Barat (22,07%). Pada kabupaten tersebut dan
kabupaten Lombok Tengah, juga ditemukan prevalensi stunting yang tinggi (Tabel 4.4).

Pada tingkat kecamatan, terdapat 15 kecamatan di NTB yang termasuk dalam klasifikasi sangat buruk,
47 kecamatan termasuk dalam klasifikasi buruk, 49 kecamatan masuk dalam klasifikasi kurang dan hanya
5 kecamatan masuk dalam klasifikasi baik. Hal ini menunjukkan bahwa lebih dari 96% kecamatan termasuk
dalam klasifikasi kurang-sangat buruk di provinsi NTB (Lampiran 4).

4.6 DAMPAK DARI STATUS KESEHATAN

Angka harapan hidup merupakan dampak dari status kesehatan dan gizi. Rata-rata angka harapan hidup
di NTB pada tahun 2008 adalah 61,50 tahun. Walaupun angka harapan hidup di NTB mengalami
peningkatan dalam beberapa tahun terakhir, namun masih dibawah rata-rata angka harapan hidup nasional,
yaitu 69 tahun. Angka harapan hidup tertinggi terdapat di Bima (62,31) dan terendah terdapat di Lombok
Barat (59,65). Pada tingkat kecamatan, hanya 4 kecamatan yang memiliki angka harapan hidup 64 tahun
atau lebih. Pemerintah Provinsi NTB telah menetapkan target pencapaian angka harapan hidup di Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD).

Strategi Untuk Memperbaiki Status Gizi dan Kesehatan Kelompok Rentan


Masalah gizi kronis (stunting) masih tetap tinggi di provinsi NTB. Masalah gizi kronis merupakan akibat
kurang optimalnya pertumbuhan janin dan bayi di usia dua tahun pertama kehidupannya, terutama karena
gabungan dari kurangnya asupan gizi, paparan terhadap penyakit yang tinggi serta pola pengasuhan yang
kurang tepat. Semua faktor ini dapat menyebabkan kerusakan yang tidak dapat diperbaiki, yang akhirnya
dapat menyebabkan meningkatnya beban penyakit dan kematian pada balita.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 29


Kurang gizi pada usia dini, terutama stunting, dapat menghambat perkembangan fisik dan mental yang
akhirnya mempengaruhi prestasi dan tingkat kehadiran di sekolah. Anak yang kurang gizi lebih cenderung
untuk masuk sekolah lebih lambat dan lebih cepat putus sekolah. Dampak ke masa depannya adalah
mempengaruhi potensi kemampuan mencari nafkah, sehingga sulit keluar dari lingkaran kemiskinan.
Anak yang menderita kurang berat badan menurut umur (kurang gizi) dan secara cepat berat badannya
meningkat, maka pada dewasa cenderung untuk menderita penyakit kronik yang terkait gizi (kencing manis,
tekanan darah tinggi dan penyakit jantung koroner). Dampak jangka panjang, oleh kurang gizi pada masa
anak-anak juga menyebabkan rendahnya tinggi badan dan pada ibu-ibu dapat melahirkan bayi dengan berat
badan lahir rendah (BBLR), yang akhirnya menyebabkan terulangnya lingkaran masalah ini pada generasi
selanjutnya.

Tabel 4.5: Angka Harapan Hidup

No Kabupaten Angka Harapan Hidup (tahun)


1 Lombok Barat 59.97

2 Lombok Tengah 60.24

3 Lombok Timur 59.70

4 Lombok Utara* -

5 Sumbawa 60.51

6 Dompu 60.83

7 Bima 62.31

8 Sumbawa Barat 60.94

Total NTB 61.50

Total Indonesia 69.00

* Kabupaten pemekaran
Sumber: SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

Untuk menurunkan prevalensi stunting, maka intervensi gizi harus segera direncanakan dan dilakukan
secara efektif pada semua tingkatan, mulai dari rumah tangga sampai tingkat nasional. Untuk mencegah dan
mengatasi masalah kekurangan gizi secara efektif, perlu prioritas untuk kelompok rentan gizi, memahami
penyebab kurang gizi adalah multidimensi, intervensi yang tepat dan efektif untuk mengatasi penyebabnya,
dan meningkatkan komitmen serta investasi dalam bidang gizi.

Berikut ini adalah rekomendasi untuk mengatasi masalah gizi:

1. Fokus pada kelompok rentan gizi, termasuk:


a. Anak usia di bawah dua tahun. Usia dua tahun pertama di dalam kehidupan adalah usia yang
paling kritis sehingga disebut “jendela peluang (window of opportunity)” karena mencegah
kurang gizi pada usia ini akan sangat berarti untuk kelompok ini pada khususnya dan masyarakat
pada umumnya. Meskipun kerusakan sudah terjadi dan seharusnya dihindari sejak dari usia
9 bulan sampai usia 24 bulan, kerentanan anak terhadap penyakit dan resiko kematian masih
tetap tinggi di usia lima tahun pertama. Itulah sebabnya banyak intervensi kesehatan dan gizi yang
difokuskan pada anak bawah lima tahun. Intervensi kesehatan dan gizi harus difokuskan pada
anak di bawah dua tahun, akan tetapi apabila anggaran memadai maka perlu dilakukan juga untuk
anak di bawah lima tahun.
b. Anak-anak kurang gizi ringan. Kelompok ini memiliki resiko lebih tinggi untuk meninggal karena
meningkatnya kerentanan terhadap infeksi. Anak yang terdeteksi kurang gizi seharusnya dirawat
dengan tepat untuk mencegah mereka menjadi gizi buruk.
c. Ibu hamil dan menyusui karena kelompok ini memerlukan kecukupan gizi bagi pertumbuhan dan
perkembangan janin, dan untuk menghasilkan ASI (air susu ibu) untuk bayi mereka.

30 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


d. Kurang gizi mikro untuk semua kelompok umur, terutama pada anak-anak, ibu hamil dan
menyusui. Kekurangan gizi mikro pada semua kelompok umur cukup tinggi disebabkan karena
asupan karbohidrat yang tinggi, rendahnya asupan protein (hewani, sayur dan buah), sayur dan
buah serta makanan yang berfortifikasi. Pada kondisi ini biasanya prevalensi stunting pada balita
juga cukup tinggi.

2. Perencanaan dan penerapan intervensi multi-sektoral untuk mengatasi TIGA penyebab dasar
kekurangan gizi (pangan, kesehatan dan pengasuhan).
Satu sektor saja (sektor kesehatan atau pendidikan atau pertanian) tidak dapat mengatasi masalah gizi
secara efektif karena masalah tersebut adalah multi sektor.
a) Intervensi langsung dengan manfaat langsung terhadap gizi (terutama melalui Sektor
Kesehatan):
• Memperbaiki gizi dan pelayanan ibu hamil, terutama selama 2 trimester pertama usia
kehamilan: makan lebih sering, beraneka ragam, dan bergizi; minum pil besi atau
menggunakan suplemen gizi mikro tabur (Sprinkle) setiap hari; memeriksakan kehamilan
sekurangnya 4 kali selama periode kehamilan.
• Promosi menyusui ASI selama 0-24 bulan: inisiasi menyusui dini segera sesudah bayi lahir;
menyusui ASI eksklusif sampai 6 bulan pertama, melanjutkan pemberian ASI sampai 24
bulan; melanjutkan menyusui walaupun anak sakit.
• Meningkatkan pola pemberian makanan tambahan untuk anak usia 6-24 bulan: mulai
pemberian makanan tambahan sejak anak berusia 7 bulan; pemberian makanan lebih
sering, jumlah sedikit, beraneka ragam dan bergizi (pangan hewani, telur, kacang-kacangan,
polong-polongan, kacang tanah, sayur, buah dan minyak); hindari pemberian jajan yang
tidak sehat.
• Pemantauan berat dan tinggi badan bayi 0-24 bulan atau jika sumber daya memungkinkan,
untuk anak 0-59 bulan secara teratur, untuk mendeteksi kurang gizi secara dini sehingga
bisa dilakukan intervensi sedini mungkin. Meningkatkan komunikasi mengenai berat badan
anak, cara mencegah dan memperbaiki kegagalan berat dan tinggi anak dengan keluarga.
• Mengatasi masalah kurang gizi akut pada balita dengan menyediakan fasilitas dan
manajemen berbasis masyarakat berdasarkan pedoman dari WHO/UNICEF dan
Kementerian Kesehatan.
• Memperbaiki asupan gizi mikro: promosi garam beryodium; penganekaragaman asupan
makanan; fortifikasi makanan; pemberian pil besi untuk ibu hamil; pemberian vitamin A
setiap 6 bulan sekali untuk anak 6-24 bulan (atau anak 6-59 bulan jika alokasi anggaran
mencukupi), serta ibu menyusui dalam jangka waktu 1 bulan setelah melahirkan atau masa
nifas; pemberian obat cacing.
• Mengintensifkan kegiatan penyuluhan atau pendidikan informasi kesehatan dan gizi
(IEC) baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan bermacam-macam media
(media massa, pengeras suara di mushola, perayaan hari besar dll.) untuk menjangkau tidak
hanya ibu dan pengasuh anak, tetapi juga kepala desa, pemuka desa, pemuka agama, para
suami dan anggota keluarga lain, remaja putri, guru, tenaga penyuluh, penyedia pelayanan
masyarakat.
b) Intervensi tidak langsung dengan manfaat tidak langsung terhadap gizi (terutama melalui sektor
di luar kesehatan)
• Promosi pemanfaatan halaman rumah: pemanfaatan halaman rumah dengan cara
menanam sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan; memelihara unggas (ayam, bebek); dan
memelihara ikan.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 31


• Mobilisasi kepemimpinan berbasis masyarakat dari kepala desa, pemuka agama, PKK,
kelompok tani dan lain-lain, untuk terlibat dalam intervensi gizi terutama keterlibatan pada
saat pendidikan higiene dan gizi.
• Memperbaiki kualitas air minum: meningkatkan akses terhadap sumber air bersih untuk
rumah tangga dan sekolah-sekolah; promosi minum air matang sebagai ganti air mentah;
membuat tangki penampung air untuk menyimpan air hujan; meminta anak untuk membawa air
minum ke sekolah untuk penghilang rasa dahaga.
• Memperbaiki higiene dan sanitasi: mencuci tangan sebelum makan dan setelah dari
toilet; memperbaiki sistem pembuangan limbah; pembuangan sampah/limbah yang tepat dan
benar.
• Meningkatkan status kaum perempuan; meningkatkan pendidikan kaum perempuan,
memperbaiki pengetahuan/kemampuan pengasuhan dan pemberian makan anak;
meningkatkan pembagian tanggung jawab suami dan anggota keluarga dalam pengasuhan
dan pemberian makan anak.
• Memperkuat kapasitas pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten dalam hal
merencanakan, melaksanakan, memantau dan mengevaluasi intervensi gizi.
Perlu dipahami bahwa intervensi tidak langsung ini hanya bersifat melengkapi intervensi langsung,
bukan pengganti intervensi gizi langsung.

3. Prioritas dan peningkatan investasi serta komitmen dalam hal gizi untuk mengatasi masalah gizi
Dampak ekonomi akibat kekurangan gizi pada anak-anak adalah sangat tinggi. Kekurangan gizi
pada anak akan menyebabkan hilangnya produktivitas pada masa dewasa, dan tingginya biaya
pelayanan kesehatan dan pendidikan. Ada beberapa macam bentuk dari malnutrisi pada masa
anak-anak yang dapat menyebabkan hilangnya produktivitas mereka pada masa dewasa yang
berkaitan dengan rendahnya kemampuan kognitif. Kekurangan energi-protein berkonstribusi
sebesar 10% dari hilangnya produktivitas pada masa dewasa, kekurangan zat besi (anemia) berkontribusi
sebesar 4% dan kekurangan zat yodium sebesar 10%. Malnutrisi pada masa anak-anak juga berpotensi
menyebabkan hilangnya produktivitas tenaga kerja kasar.
Investasi di bidang gizi merupakan salah satu jenis intervensi pembangunan yang paling efektif dari
segi biaya, karena memiliki rasio manfaat-biaya yang tinggi, bukan hanya untuk individu, tetapi juga
pembangunan wilayah dan negara yang berkelanjutan, sebab intervensi ini dapat melindungi kesehatan,
mencegah kecacatan dan dapat memacu produktivitas ekonomi dan menjaga kelangsungan hidup.

32 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


BAB 5
KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN
PANGAN TRANSIEN

Kerentanan terhadap bencana alam dan goncangan mendadak lainnya dapat mempengaruhi ketahanan
pangan suatu wilayah baik sementara ataupun dalam jangka waktu panjang. Ketidak-mampuan untuk
memenuhi kebutuhan pangan secara sementara dikenal sebagai kerawanan pangan sementara
(transient food insecurity). Bencana alam atau bencana teknologi yang terjadi tiba-tiba, bencana yang terjadi
secara bertahap, perubahan harga atau goncangan terhadap pasar, epidemik penyakit, konflik sosial dan
lain-lain dapat menyebabkan terjadinya kerawanan pangan sementara. Kerawanan pangan sementara dapat
berpengaruh terhadap satu atau semua dimensi ketahanan pangan seperti ketersediaan pangan, akses
terhadap pangan dan pemanfaatan pangan.

Kerawanan pangan sementara dapat juga dibagi menjadi dua sub-kategori: menurut siklus, di mana
terdapat suatu pola yang berulang terhadap kondisi rawan pangan, misalnya, “musim paceklik” yang terjadi
dalam periode sebelum panen, dan sementara, yang merupakan hasil dari suatu goncangan mendadak
dari luar pada jangka pendek seperti kekeringan atau banjir. Konflik sipil juga termasuk dalam kategori
goncangan sementara walaupun dampak negatifnya terhadap ketahanan pangan yang disebabkan oleh
konflik dapat berlanjut untuk jangka waktu yang lama. Dengan kata lain, kerawanan pangan sementara dapat
mempengaruhi orang-orang yang berada pada kondisi rawan pangan kronis dan juga orang-orang yang
terjamin pangannya pada keadaan normal.

Di dalam bab ini kerawanan pangan dianalisa dari segi lingkungan hidup. Faktor lingkungan dan
kemampuan masyarakat untuk mengatasi goncangan sangat menentukan apakah wilayah dapat
mempertahankan ketahanan pangannya. Tinjauan ketahanan pangan dan gizi dari sudut pandang
lingkungan hidup meliputi perhatian terhadap pengelolaan tanah, konservasi dan pengelolaan air, konservasi
keanekaragaman hayati, peningkatan teknologi pra-panen, pelestarian lingkungan hidup dan pengelolaan
hutan. Deforestasi hutan melalui eksploitasi sumber daya alam, fluktuasi curah hujan, persentase daerah
“puso” dan persentase daerah yang terkena banjir dan tanah longsor, merupakan beberapa indikator yang
di gunakan dalam bab ini untuk menjelaskan kerawanan pangan sementara di provinsi NTB.

5.1 BENCANA ALAM

Pada sub-bab ini menyoroti sebab-sebab utama kerawanan pangan sementara, yang timbul akibat
bencana alam. Indonesia merupakan salah satu negara yang paling rawan terhadap bencana alam di dunia
berdasarkan pada kejadian besar yang didokumentasikan oleh Pusat Penelitian tentang Epidemiologi
Bencana (Centre for Research on the Epidemiology of Disasters-CRED).

Berdasarkan data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), di provinsi NTB terjadi lebih dari
191 kejadian bencana alam selama periode tahun 1990-2009 yang telah menyebabkan 49 orang meninggal
dunia. Data bencana alam tersebut termasuk kejadian tingkat besar kecilnya bencana yang meliputi: angin
topan, banjir, kekeringan, gempa bumi, tanah longsor, gelombang pasang, epidemi kebakaran hutan dan
Epidemi. Kejadian bencana banjir dan kekeringan mendominasi kejadian bencana alam di provinsi NTB
dengan jumlah 48 kejadian kekeringan dan 47 kejadian banjir. Kejadian bencana alam yang terjadi di provinsi
NTB selama periode 1990-2009 tertera pada Tabel 5.1.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 33


Tabel 5.1: Ringkasan tabel bencana alam yang terjadi di provinsi NTB dan kerusakannya
selama periode 1990 – 2009

Kejadian # Kejadian Meninggal Terluka Rumah Hancur Rumah Rusak Lahan Pertanian
Berat (Ha)

Banjir 47 4 762 1,390 8,291 6,106

Banjir dan Tanah Longsor 3 4 46 1,028 2,503 -

Tanah Longsor 5 8 8 15 - -

Gempa Bumi 17 6 250 6,610 20,297 -

Kekeringan 48 - - - - 35,516

Kebakaran 41 4 1 370 52 -

Epidemic 4 22 987 - - -

Angin Topan 20 1 - 1,416 765 -

Gelombang Pasang 6 - - 86 10 -

Total 191 49 2,054 10,915 31,918 41,622

Sumber: BNPB (http://dibi.ntbprov.go.id)

Gambar 5.1: Bencana alam yang terjadi di NTB per Kabupaten selama
periode 1990 – 2009

60

50

40
adian
Keja

30

20

10

0
Bima Dompu Lombok Barat Lombok Lombok Mataram Sumbawa Sumbawa
Tengah Timur Barat

Kabupaten

Sumber: BNPB (http://dibi.ntbprov.go.id)

Bencana alam yang terjadi di masing-masing kecamatan di provinsi NTB tertera pada Gambar 5.1 Bencana
alam paling sering terjadi di kabupaten Bima, diikuti oleh Sumbawa dan Lombok Barat.

5.2 FLUKTUASI CURAH HUJAN

Variabilitas iklim di suatu wilayah secara langsung mempengaruhi berbagai aspek dari ketahanan
pangan, khususnya dalam hal ketersediaan pangan dan distribusi pangan di wilayah yang bersangkutan.
Peristiwa bencana alam seperti kekeringan dan banjir, berkaitan erat dengan karakteristik dan fluktuasi curah
hujan. Kekeringan dan banjir disebabkan oleh variasi curah hujan ekstrem yang diterima oleh setiap wilayah
geografis. Variasi iklim/curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yaitu faktor global,
regional maupun lokal, demikian juga halnya iklim/curah hujan di provinsi NTB. Faktor global antara lain
adalah fenomena El-Niño, La-Niña, dan Dipole Mode, sedangkan faktor regional antara lain Sirkulasi

34 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Monsun, Madden Julian Oscillation (MJO), dan suhu muka laut perairan Indonesia. Sementara itu, faktor lokal
yang berpengaruh adalah ketinggian tempat, posisi bentangan suatu pulau, sirkulasi angin darat dan angin
laut, serta tutupan lahan suatu wilayah.

Iklim yang ekstrim menyebabkan banjir selama musim hujan dan pada musim kemarau menyebabkan
kekeringan. Iklim juga dapat menyebabkan perkembangan organisme pengganggu tanaman (OPT) secara
eksplisit. Dengan adanya banjir, kekeringan dan OPT dapat berdampak pada pertumbuhan tanaman tidak
sempurna dan mungkin menyebabkan gagal panen/puso.

Persentase penyimpangan curah hujan rata-rata 10 tahun (2000-2009) terhadap normalnya


(rata-rata curah hujan 30 tahun, periode 1970-1999 di NTB untuk periode musim kemarau
(April - September) dan periode musim hujan (Oktober - Maret), digambarkan melalui dua peta yaitu Peta
5.1 dan Peta 5.2.

Hampir semua wilayah di NTB memiliki curah hujan di bawah normal jika dibandingkan antara rata-rata
30 tahun dengan periode tahun 2000-2009 pada musim kemarau (ditunjukkan dalam warna merah pada
Peta 5.1), kecuali bagian utara kabupaten Sumbawa Barat yang memiliki curah hujan normal. Sementara
itu, selama musim hujan, daerah yang mengalami penurunan intensitas hujan adalah bagian utara Lombok,
barat laut Sumbawa, dan bagian timur dan barat Bima. Sementara bagian utara dan bagian tengah Bima
mengalami peningkatan intensitas curah hujan (Peta 5.2).

5.3 DAERAH PUSO

Daerah puso didefinisikan sebagai suatu daerah produksi pangan yang rusak karena disebabkan oleh
bencana alam (banjir, kekeringan, longsor) dan penularan hama oleh organisme penggangu tanaman (OPT).
Produksi dan produktivitas tanaman pangan sangat di pengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Kegiatan
budidaya tanaman sebaiknya mempertimbangkan kondisi tersebut dengan menggunakan informasi
perubahan musim, iklim dan cuaca.

Tabel 5.2 menunjukkan proporsi kerusakan kerusakan tanaman padi dan jagung selama periode
2007-2009. Sedikit kerusakan tanaman padi terjadi di tahun 2008 (0,80%), tahun 2009 (0,41%) dan tahun
2007 (4,04%). Pada tahun 2007 tingkat kerusakan terparah tanaman padi ditemukan di Bima (9,85%),
Lombok Tengah (7,0%) yang diikuti Dompu (5,39%) dan Sumbawa Barat (2,41%).

Tabel 5.2: Perbandingan Area Puso Padi dan Jagung terhadap Luas Area Tanam
Padi dan Jagung Tahun 2006 – 2009

Kabupaten Padi (%) Jagung (%)

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009


Lombok Barat 0.07 0.77 0.05 0.17 0.28 0.68 0.00 0.00

Lombok Tengah 0.04 7.00 1.13 1.55 0.00 4.23 0.00 0.00

Lombok Timur 0.08 1.59 0.00 0.03 0.40 1.00 0.24 0.03

Sumbawa 0.37 1.26 1.51 0.10 0.05 1.94 0.00 0.64

Dompu 0.00 5.39 0.00 0.00 0.00 10.48 0.08 0.00

Bima 2.06 9.86 1.07 0.99 0.09 5.67 0.00 0.60

Sumbawa Barat 1.95 2.41 1.81 0.05 0.00 40.65 3.61 0.00

Total NTB 0.65 4.04 0.80 0.41 0.12 9.23 0.56 0.18

Sumber: Sensus Pertanian 2009, BPS

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 35


Demikian pula pada kerusakan tanaman jagung dengan persentase yang kecil pada tahun 2008 (0,56%),
tahun 2009 (0,18%) dan tahun 2007 (9,23%). Pada tahun 2007, tingkat kerusakan tertinggi tanaman jagung
terdapat di Sumbawa Barat (40,65%) diikuti Dompu (10,48%).

5.4 PERUBAHAN IKLIM DAN KETAHANAN PANGAN

Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, mungkin keprihatinan yang paling besar bagi provinsi
NTB adalah pengaruh perubahan iklim terhadap ketahanan pangan tingkat rumah tangga dan pertanian.
Perubahan iklim meningkatkan presipitasi, evaporasi, surface water runoff dan kelembaban tanah. Pada
akhirnya hal-hal tersebut akan berdampak pada pertanian dan ketahanan pangan tingkat rumah tangga.
Suatu model simulasi dampak perubahan iklim terhadap pangan (Goddard Institute of Space Studies, UK
Meteorological Office) menunjukkan bahwa perubahan iklim akan mengurangi kesuburan tanah sebesar 2%
sampai 8%, dimana diperkirakan hasil panen padi menurun sebesar 4% , kacang kedelai 10%, dan jagung
50% per tahun.

Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap ketahanan pangan, pada tahun 2010 pemerintah
NTB telah melakukan upaya-upaya sebagai berikut:
1. Menyebarkan informasi prakiraan cuaca, prakiraan musim hujan, prakiraan musim kemarau,
prakiraan hujan bulanan dan kalender pertanian;
2. Melakukan pemasangan alat pengukur curah hujan di daerah rawan banjir dan kekeringan;
3. Melaksanakan Sekolah Lapang Iklim (SLI) bagi penyuluh pertanian dan petani;
4. Melakukan penanaman varietas yang memerlukan air relatif sedikit;
5. Menanam palawija hemat air;
6. Menanam varietas yang sesuai dengan kondisi suatu daerah;
7. Memberikan bantuan benih tahan kekeringan dan benih palawija untuk rotasi tanaman padi dan
jagung; dan
8. Pengawasan dan monitoring secara intensif pada daerah-daerah yang mempunyai resiko tinggi
terkena kekeringan.

5.5 DEFORESTASI HUTAN

Indonesia merupakan salah satu negara mega biodiversiti yang terletak dalam lintasan distribusi
keanekaragaman hayati benua Asia dan Australia serta daratan wallacea (misalnya, pembagian daerah
bio-geografi untuk kelompok kepulauan Indonesia yang dipisahkan oleh samudera mulai dari benua Asia
sampai dengan Australia). Kepulauan Wallacea terletak antara Sundaland (Peninsula Malaya, Sumatera,
Kalimantan, Jawa, dan Bali) ke barat, dan dekat Oseania termasuk Australia dan Papua Nugini ke selatan dan
timur. Total wilayah Wallacea adalah 347.000 km².

Indonesia memiliki hutan tropis ketiga terluas di dunia sehingga sangat penting peranannya sebagai bagian
dari paru-paru bumi serta menstabilisasi iklim global. Pengelolaan hutan di Indonesia dilaksanakan melalui
penetapan hutan untuk kepentingan fungsi konservasi, hutan lindung, hutan budidaya dan kawasan hutan.
Luas kawasan hutan Indonesia termasuk perairan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan tentang
Penunjukkan Kawasan Hutan dan Perairan serta Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) adalah sebesar
137,09 juta ha. Kawasan hutan dan perairan terdiri atas 3,39 juta ha kawasan konservasi perairan, 20,14 juta
ha kawasan hutan konservasi, 81,95 ha hutan produksi dan 31,6 juta ha hutan lindung.

36 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Ketergantungan masyarakat terhadap hutan masih cukup tinggi terutama masyarakat yang berada di dalam
dan sekitar hutan untuk memenuhi kebutuhan akan lahan pertanian dan sumber penghidupan lainnya.
Berdasarkan data PODES 2006 dan peta kawasan hutan untuk provinsi NTB, terdapat 34 desa (4,15%)
dari total 820 desa yang berada di dalam kawasan hutan dan 222 desa (27,07%) berada di tepi
kawasan hutan. Pada kelompok desa yang berada di dalam kawasan hutan, terdapat 33 desa (97,06%) yang
mempunyai matapencaharian utama dari sektor pertanian. Sedangkan pada kelompok desa lainnya, sumber
matapencaharian ini terdapat pada 219 desa (98,65%).

Sejalan dengan perkembangan pembangunan, berbagai aktifitas pembangunan telah menyebabkan


perubahan penggunaan lahan. Perubahan penutupan lahan pada kawasan hutan berjalan dengan cepat yang
dapat menyebabkan menurunnya kondisi hutan dan berkurangnya luas penutupan hutan.

Laju deforestasi seluruh daratan Indonesia selama periode 2003-2006 adalah sebesar 1,17 juta
ha/tahun. Pada periode yang sama laju deforestasi di provinsi NTB adalah sebesar 58.840 ha/tahun, di mana
menempatkan NTB sebagai provinsi ke-enam yang memiliki laju deforestasi tertinggi diantara 33 provinsi
di Indonesia, setelah provinsi Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah dan
Kalimantan Tengah. Laju deforestasi di NTB ini meliputi deforestasi di dalam kawasan hutan sebesar 22,24
ribu ha/tahun dan 36,60 ribu ha/tahun di luar kawasan hutan (Peta 5.5). Penyebab berkurangnya hutan adalah
kebakaran hutan, pembukaan hutan untuk permukiman/transmigrasi, pertambangan dll.

Data deforestasi hutan yang digunakan di dalam Atlas ini diperoleh berdasarkan analisis citra satelit
Landsat pada tahun 2002/2003 dan 2005/2006. Dengan tingginya angka laju deforestasi, maka ancaman
terhadap hutan-hutan di provinsi NTB masih mengkhawatirkan. Deforestasi hutan akan memberi dampak
terhadap ketahanan pangan penduduk miskin pedesaan yang hidup di dalam atau di dekat kawasan hutan
dan yang bergantung pada keanekaragaman hayati dan habitat alam untuk penghidupannya karena hutan
merupakan sumber utama dari buah-buahan, tumbuhan obat, dan tumbuhan yang dapat dimakan. Masyarakat
pedesaan yang paling miskinlah yang pertama dan paling menderita bila mana habitat-habitat tersebut
dirusak atau dimusnahkan.

Dari segi kelangsungan lingkungan hidup, maka degradasi hutan akan memberi dampak terhadap
sumber air. Erosi tanah sebagai akibat dari pembersihan lapisan penutup tanah, akan menyebabkan
sedimentasi/endapan pada jalan air, yang dapat mengakibatkan dampak negatif terhadap kegiatan di hilir atau
dataran rendah. Kekurangan air juga akan mempengaruhi sistem pertanian, perikanan dan pengoperasian
bendungan. Rehabilitasi hutan dan lahan mutlak perlu dilakukan untuk mengurangi laju degradasi hutan
sehingga dapat mempertahankan daya dukung hutan terhadap kehidupan.

Strategi untuk Ketahanan Pangan Berkelanjutan


Daerah yang sekarang ini dalam kondisi tahan pangan mungkin tidak selamanya berada dalam kondisi tahan
pangan apabila tidak ada strategi dan upaya yang dilakukan oleh petani dan pengambil kebijakan secara
lingkungan berkelanjutan. Selain itu, dampak bencana juga dapat menyebabkan suatu daerah mengalami
kemunduran beberapa tingkat, apabila daerah tersebut tidak memiliki kesiapsiagaan terhadap bencana yang
memadai. Strategi berikut direkomendasikan untuk seluruh kecamatan yang rentan di NTB berkaitan untuk
mencapai ketahanan pangan berkelanjutan.
a. Penghijauan kembali (reboisasi) dan pengurangan kerusakan hutan: Seluruh kabupaten diharapkan
memiliki rencana untuk memperlambat deforestasi dan meregenerasi hutan yang terdegradasi secara
komprehensif. Regenerasi hutan bakau dikonsentrasikan pada daerah pesisir. Sebagai dampak dari
perubahan iklim, NTB akan mengalami curah hujan yang rendah, namung kadang-kadang dengan
intensitas yang tinggi. Kabupaten yang memiliki tutupan vegetasi kecil akan menghadapi bahaya
peningkatan banjir dan tanah longsor.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 37


b. Pembangunan Daerah Aliran Sungai (DAS): Seluruh kabupaten diharapkan memiliki rencana
pembangunan DAS yang terintegrasi untuk meningkatkan kualitas tanah dan manajemen perairan.
Pada satu sisi, hal ini akan meningkatkan produktivitas tanah dengan naiknya hasil panen sedangkan di
sisi yang lain, penggunaan teknik lokal yang tepat akan menciptakan pertanian yang berkelanjutan bagi
penghidupan masyarakat;
c Kesiapsiagaan bencana dan rencana kontinjensi: Kabupaten-kabupaten yang sering mengalami kejadian
bencana harus menyusun rencana kontinjensi tingkat masyarakat dan membentuk kelembagaan dan
struktur badan penanggulangan bencana untuk pengurangan resiko bencana;
d. Sistem kesiapsiagaan dini dan kewaspadaan: Sistem kesiapsiagaan dan kewaspadaan yang inovatif
untuk pangan dan gizi perlu dibentuk di seluruh kabupaten yang rawan bencana untuk
mengidentifikasi resiko secara cepat dan mengambil langkah-langkah perbaikan untuk mitigasi dampak
bencana yang terjadi di masa mendatang; dan
e. Mengintegrasi masalah perubahan iklim ke semua kebijakan dan program: Pemerintah pada semua
tingkatan, lembaga PBB dan LSM lainnya harus menjamin bahwa semua kebijakan dan program
yang dibangun mereka untuk Indonesia harus menitikberatkan kepada tantangan perubahan iklim.
Lembaga-lembaga tersebut juga harus menjamin bahwa kebijakan dan program mengenai perubahan
iklim harus pro-rakyat miskin agar mereka dapat lepas dari kemiskinan.

38 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


BAB 6
KERENTANAN TERHADAP KERAWANAN
PANGAN KRONIS BERDASARKAN ANALISIS
KETAHANAN PANGAN KOMPOSIT
Sebagaimana disebutkan di dalam Bab 1, bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan
kronis secara komposit di tentukan berdasarkan 9 indikator yang berhubungan dengan ketersediaan
pangan, akses pangan dan penghidupan, serta pemanfaatan pangan dan gizi, yang dijelaskan secara rinci
pada Bab Dua, Tiga dan Empat. Peta kerentanan terhadap kerawanan pangan komposit (Peta 6.1) dibuat
melalui Analisis Komponen Utama (Principal Component Analysis-PCA) dan Analisis Kelompok (Cluster
Analysis) (Lampiran 6.1).

Peta komposit menjelaskan kepada kita bahwa kondisi kerentanan terhadap kerawanan pangan suatu
kecamatan di sebabkan oleh kombinasi dari berbagai dimensi kerawanan pangan. Kemudian, dengan
melihat seluruh peta individu maka kita dapat mengidentifikasi penyebab utama kondisi kerawanan dan
kerentanan pangan di suatu kecamatan. Harus disebutkan bahwa karakteristik kerawanan dan kerentanan
pangan antar satu wilayah dengan wilayah lainnya bervariasi, dengan demikian cara penyelesaiannya juga
berbeda. Peta dan laporan ini membantu kita untuk memahami perbedaan dan kesamaan dasar di antara
kecamatan-kecamatan, dan dengan demikian akan membantu para pembuat kebijakan untuk mengambil
langkah-langkah yang tepat dalam menangani isu-isu paling kritis yang relevan untuk daerah mereka.

Berdasarkan hasil analisis PCA dan analisis Kelompok, maka 64 kecamatan masuk
dalam kelompok prioritas 1-3 dan 41 kecamatan lainnya masuk dalam kelompok
prioritas 4-6. Oleh karena itu, peta komposit menggambarkan 64 kecamatan prioritas 1-3
dalam kelompok gradasi warna merah yaitu merah tua (Prioritas 1), merah (Prioritas 2) dan merah muda
(Prioritas 3). Kelompok warna merah tua menunjukkan kecamatan-kecamatan yang harus mendapat
prioritas khusus dalam peningkatan ketahanan pangan dan penanganan masalah kerawanan pangan.

Tabel 6.1: 64 Kecamatan yang paling rentan berdasarkan Analisis Ketahanan Pangan
Komposit

Kabupaten Kecamatan Prioritas Kabupaten Kecamatan Prioritas


Lombok Tengah Praya Barat 1 Lombok Timur Sakra Timur 1

Lombok Tengah Pujut 1 Lombok Timur Terara 1

Lombok Tengah Praya Timur 1 Lombok Timur Sikur 1

Lombok Tengah Janapria 1 Lombok Timur Masbagik 1

Lombok Tengah Kopang 1 Lombok Timur Pringgasela 1

Lombok Tengah Praya 1 Lombok Timur Sukamulia 1

Lombok Tengah Praya Tengah 1 Lombok Timur Labuhan Haji 1

Lombok Tengah Jonggat 1 Lombok Timur Pringgabaya 1

Lombok Tengah Pringgarata 1 Lombok Timur Suela 1

Lombok Tengah Batukliang 1 Lombok Timur Wanasaba 1

Lombok Tengah Batukliang Utara 1 Lombok Utara Pemenang 1

Lombok Timur Keruak 1 Lombok Barat Sekotong Tengah 2

Lombok Timur Jerowaru 1 Lombok Barat Lembar 2

Lombok Timur Sakra 1 Lombok Barat Gerung 2

Lombok Timur Sakra Utara 1 Lombok Barat Labu Api 2

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 39


Tabel 6.1 (lanjutan): 64 Kecamatan yang paling rentan berdasarkan Analisis Ketahanan
Pangan Komposit

Kabupaten Kecamatan Prioritas Kabupaten Kecamatan Prioritas

Lombok Barat Kediri 2 Dompu Kilo 2

Lombok Barat Kuripan 2 Dompu Kempo 2

Lombok Barat Narmada 2 Dompu Manggalewa 2

Lombok Barat Lingsar 2 Dompu Pekat 2

Lombok Barat Gunung Sari 2 Bima Woha 2

Lombok Barat Batu Layar 2 Bima Belo 2

Lombok Timur Montong Gading 2 Sumbawa Barat Maluk 2

Lombok Timur Suralaga 2 Sumbawa Barat Brang Rea 2

Lombok Timur Selong 2 Lombok Utara Tanjung 2

Lombok Timur Aikmel 2 Lombok Utara Bayan 2

Lombok Timur Sambelia 2 Lombok Tengah Praya Barat Daya 3

Sumbawa Sumbawa 2 Lombok Timur Sembalun 3

Sumbawa Lantung 2 Sumbawa Lenangguar 3

Dompu Hu’u 2 Bima Wawo 3

Dompu Pajo 2 Sumbawa Barat Jereweh 3

Dompu Dompu 2 Lombok Utara Gangga 3

Dompu Woja 2 Lombok Utara Kayangan 3

Pemetaan ini menggambarkan tingkat kemungkinan terjadinya kerawanan pangan suatu kecamatan
secara relatif dibandingkan dengan kecamatan lainnya. Dengan perkataan lain, kecamatan-kecamatan yang
berwarna merah memiliki tingkat resiko kerawanan pangan yang lebih besar dibandingkan
kecamatan-kecamatan yang berwarna hijau sehingga memerlukan perhatian segera. Meskipun demikian,
Prioritas 1 (warna merah tua) tidak berarti semua penduduknya berada dalam kondisi rawan pangan.
Sebaliknya juga pada kecamatan di Prioritas 6 (warna hijau tua) tidak berarti bahwa semua penduduknya
tahan pangan.

Tabel 6.1 menunjukkan 64 kecamatan yang paling rentan berdasarkan analisis ketahanan pangan komposit.
Dari 64 kecamatan tersebut, sebagian besar berada di Pulau Lombok dan termasuk dalam prioritas utama
masalah rawan pangan.

Gambar 6.1. memperlihatkan bahwa sebagian besar kecamatan rentan terhadap kerawanan pangan
Prioritas 1 terdapat di Pulau Lombok. Dari 26 kecamatan yang termasuk dalam Prioritas 1, 14 kecamatan
diantaranya berada di Lombok Timur, 11 kecamatan berada di Lombok Tengah, dan 1 berada di Lombok
Utara.

Gambar 6.1: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 1 berdasarkan


Analisis Ketahanan Pangan Komposit

1
Lombok Tengah
11
14 Lombok Timur
Lombok Utara

40 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Gambar 6.2: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 2 berdasarkan
Analisis Ketahanan Pangan Komposit
6.2. Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 2 berdasarkan
6.2. Number of vulnerable sub districts of Priority 2 based on Co
Bima

2 2 2 Dompu
2
8
en/District 5Total Lombok Barat

10 2 Lombok Timur
8 Lombok Utara
Barat 10 Sumbawa
Ti
Timur 5 Sumbawa Barat
Utara 2

Lampiran 6.2 menunjukkan faktor penentu utama kecamatan yang rentan terhadap kerawanan pangan dan
termasuk kategori Prioritas 1 adalah: (1) rendahnya akses terhadap listrik (2) tingginya angka perempuan
buta huruf (3) tanpa akses terhadap air bersih (4) tidak bisa dilalui oleh kendaraan roda 4 (5) tingginya
angka kemiskinan.

Dari 17 kecamatan yang rentan terhadap rawan pangan yang merupakan Prioritas 2 seperti yang
terlihat pada Gambar 6.2, kebanyakan berada di Lombok Barat (10 kecamatan), Dompu (8 kecamatan) dan
Lombok Timur (5 kecamatan).

Lampiran 6.2 menunjukkan faktor penentu utama kecamatan yang termasuk pada Prioritas 2 yaitu:
(1) rendahnya angka harapan hidup (2) tingginya penduduk hidup di bawah garis kemiskinan (3) tingginya
angka perempuan buta huruf (4) rendahnya akses terhadap listrik (5) tanpa akses terhadap air bersih.

Gambar 6.3. menunjukkan bahwa kecamatan yang berada pada Prioritas 3 terdapat di Lombok Utara
(2 kecamatan), diikuti oleh Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa, Bima, dan Sumbawa Barat
masing-masing 1 kecamatan.

Gambar 6.3: Jumlah kecamatan yang rentan pada Prioritas 3 berdasarkan


Analisis Ketahanan Pangan Komposit

Bima
1 1 Lombok Tengah
1 1
Lombok Timur

1 Lombok Utara
2
Sumbawa

Sumbawa Barat

Faktor penentu utama kecamatan yang berada pada Prioritas 3 adalah: (1) tingginya penduduk hidup di
bawah garis kemiskinan (2) tingginya prevalensi underweight pada balita (3) rendahnya angka harapan hidup
(4) rendahnya akses terhadap listrik (5) tingginya angka perempuan buta huruf.

Lampiran 6.2 secara jelas menyoroti indikator-indikator yang menggambarkan karakteristik pada setiap
kecamatan. Warna sel menunjukkan penggolongan relatif pentingnya suatu indikator yang signifikan pada
suatu kecamatan tertentu.

Misalnya, faktor penentu utama kerentanan terhadap kerawanan pangan di kecamatan Pemenang di
Lombok Utara yang berada pada kelompok Prioritas 1 adalah rendahnya akses terhadap pangan dan

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 41


penghidupan (tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya akses terhadap jalan) dan tingginya angka
perempuan buta huruf, serta rendahnya angka harapan hidup.

Sedangkan untuk kecamatan Keruak di Lombok Timur faktor penentu utama kerawanan pangan adalah
tingginya jumlah penduduk miskin, rendahnya angka harapan hidup, tingginya prevalensi underweight pada
balita, dan akses terhadap listrik yang masih terbatas.

Demikian juga, meskipun kecamatan Mada Pangga di Bima berada pada kelompok ‘Kecamatan Prioritas 4’,
yang berwarna hijau yang menunjukkan situasi ketahanan pangan yang lebih baik, namun beberapa indikator
masih harus diperhatikan antara lain tingginya prevalensi underweight pada balita, rendahnya angka harapan
hidup, dan perempuan buta huruf.

Tabel 6.2: Faktor penentu utama Kerawanan Pangan per Prioritas

Faktor Penyebab

Prioritas 1 Prioritas 2

1. Tanpa akses terhadap listrik 1. Angka harapan hidup

2. Perempuan buta huruf 2. Kemiskinan

3. Tanpa akses terhadap air bersih 3. Tanpa akses terhadap listrik

4. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 4. Perempuan buta huruf

5. Kemiskinan 5. Tanpa akses terhadap air bersih

Prioritas 3 Prioritas 4
1. Kemiskinan 1. Underweight pada balita

2. Underweight pada balita 2. Angka harapan hidup

3. Angka harapan hidup 3. Kemiskinan

4. Tanpa akses terhadap listrik 4. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4

5. Perempuan buta huruf 5. Tanpa akses terhadap listrik

Prioritas 5 Prioritas 6

1. Angka harapan hidup 1. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4

2. Kemiskinan 2. Underweight pada balita

3. Tidak bisa dilalui kendaraan roda 4 3. Kemiskinan

4. Underweight pada balita 4. Angka harapan hidup

Dengan overlaying peta kerentananan terhadap kerawanan pangan kronis dan peta kerentanan terhadap
kerawanan pangan sementara, kita dapat melihat daerah-daerah yang saling tumpang tindih (overlap).
Hal ini akan menjadi dasar pengembangan rencana kontijensi (contingency plan) yang lebih baik dengan
melibatkan masyarakat yang terkena bencana dalam kegiatan kesiagaan menghadapi bencana.

Karena faktor penentu utama terjadinya kerawanan pangan adalah berbeda-beda, maka cara
penanggulangannya juga akan berbeda-beda pada setiap kabupaten dan kecamatan. Secara umum,
kerangka penyebab dan upaya-upaya intervensi untuk meningkatkan ketahanan pangan dijelaskan di
Gambar 6.4. Faktor penentu utama kerawanan pangan di setiap kabupaten dan strategi intervensi tertera
pada Tabel 6.3.

42 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Gambar 6.4: Kerangka kerja penyebab dan jenis intervensi untuk meningkatkan ketahanan
pangan

Menciptakan lapangan kerja,


Masalah akses pangan: Meningkatkan akses pangan
pembangunan infrastruktur, kesempatan
Daya beli terbatas karena kemiskinan, rumah tangga dan kemandirian
berpenghasilan, membangun dan
terbatasnya kesempatan kerja, menghadapi goncangan/shock
menguatkan jaringan pengaman sosial,
variabilitas harga pangan yang tinggi
padat karya pangan/tunai.

Masalah sarana:
Ketiadaan atau terbatasnya Membangun infrastruktur dasar
akses terhadap air, listrik (jalan, listrik, air bersih).
dan jalan
Pembangunan pertanian
dan pedesaan
Masalah Ketersediaan Pangan:
Jumlah peduduk lebih besar Meningkatkan kapasitas produksi
dibandingkan dengan kemampuan pangan kabupaten.
produksi

- Meningkatkan status gizi dan kesehatan


anak usia 0-23 bulan, ibu hamil,
Masalah Kesehatan dan Gizi: dan keluarga.
- Menguatkan pelayanan kesehatan dan Meningkatkan status kesehatan
Balita dengan Berat Badan
gizi di puskesmas dan Posyandu. dan gizi
di Bawah Standar
- Memperbaiki pola pengasuhan dan
pemberian makan anak.
- Meningkatkan pendidikan perempuan.

Strategi peningkatan ketahanan pangan perlu dilakukan melalui pendekatan jalur ganda (twin-track
approaches) yaitu:
1. Pendekatan jangka pendek: Membangun ekonomi berbasis pertanian dan pedesaaan untuk
menyediakan lapangan kerja dan pendapatan;
2. Pendekatan jangka menengah dan panjang: Memenuhi pangan bagi kelompok masyarakat miskin
dan rawan pangan melalui pendekatan pemberdayaan dengan melibatkan partisipasi dan peran aktif
seluruh pemangku kepentingan.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 43


Tabel 6.3: Faktor penentu utama Kerawanan Pangan dan strategi intervensi

Kabupaten Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi

Lombok Barat Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke
pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan
untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan
berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada
bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.
Hal lain yang perlu mendapat prioritas adalah rendahnya tingkat pendidikan perempuan. Program
pendidikan baik formal maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:


• Underweight
• Rendahnya angka harapan hidup
• Perempuan buta huruf
• Kemiskinan

Lombok Tengah Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK (Pemberdayaan dan
Kesejahteraan Keluarga), bidan desa dan institusi kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke
pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk
meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai
saluran komunikasi dengan menekankan bukan hanya kepada ibu-ibu saja tetapi juga kepada bapak-
bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:


• Perempuan buta huruf
• Rendahnya angka harapan hidup
• Kemiskinan
• Underweight

Lombok Timur Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan
praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan
bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Akses terhadap listrik perlu ditingkatkan dengan mengupayakan penambahan daya listrik melalui PLN
serta mendorong pengembangan dan pemanfaatan sumber daya listrik alternatif.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam :


• Rendahnya angka harapan hidup
• Underweight
• Kemiskinan
• Perempuan buta huruf
• Akses terhadap listrik

Sumbawa Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas. Penyuluhan
kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan praktek
pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan bukan
hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

44 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor penentu utama Kerawanan Pangan dan strategi intervensi

Kabupaten Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi

Sumbawa Intervensi utama perlu dilakukan dalam :


• Rendahnya angka harapan hidup
• Underweight
• Tanpa akses penghubung yang memadai
• Kemiskinan

Dompu Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan
praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan
bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:


• Rendahnya angka harapan hidup
• Underweight Kemiskinan
• Underweight
• Perempuan buta huruf

Bima Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan
praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan
bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam:


• Underweight
• Rendahnya angka harapan hidup
• Kemiskinan
• Perempuan buta huruf

Sumbawa Barat Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan dan
praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan
bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Akses terhadap jalan perlu mendapat perhatian terutama di 2 kecamatan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam :


• Kemiskinan
• Rendahnya angka harapan hidup
• Tanpa akses penghubung yang memadai
• Underweight

Lombok Utara Tingginya angka underweight pada balita perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Pemerintah daerah perlu merevitalisasi peran dan fungsi Posyandu, PKK, bidan desa dan institusi
kesehatan lainnya untuk meningkatkan akses ke pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas.
Penyuluhan kesehatan dan gizi perlu lebih digiatkan untuk meningkatkan higiene, pola pengasuhan

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB 45


Tabel 6.3 (lanjutan): Faktor penentu utama Kerawanan Pangan dan strategi intervensi

Kabupaten Strategi Peningkatan Pangan dan Gizi

Lombok Utara dan praktek pemberian makan dengan menggunakan berbagai saluran komunikasi dengan menekankan
bukan hanya kepada ibu-ibu tetapi juga kepada bapak-bapak, remaja putri dan kakek-nenek.

Penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan perlu ditangani secara optimal dengan melibatkan
berbagai sektor dan institusi termasuk pemerintah, sektor publik dan swasta, dan masyarakat sipil serta
masyarakat miskin itu sendiri.

Rendahnya tingkat pendidikan perempuan memerlukan perhatian khusus dari pemerintah daerah.
Peningkatan program pendidikan baik formal (maupun non-formal perlu diperhatikan.

Intervensi utama perlu dilakukan dalam :


• Underweight
• Rendahnya angka harapan hidup
• Kemiskinan
• Perempuan buta huruf

Perbandingan dengan FSVA nasional 2009

Indikator-indikator ketahanan pangan kronis yang digunakan di FSVA nasional 2009 juga diterapkan pada
FSVA provinsi. Namun demikian ada beberapa perbedaan dalam hal sumber data dan analisis seperti di-
jelaskan dibawah ini.
• Tingkat analisis pada FSVA nasional 2009 adalah di tingkat kabupaten, sementara FSVA provinsi
memberikan hasil analisis pada tingkat kecamatan. Oleh karena itu, FSVA provinsi berfungsi sebagai
alat yang penting untuk pengambilan keputusan pada tingkat kabupaten.
• Pada FSVA nasional 2009, data ketersediaan pangan (konsumsi per kapita normatif dan
ketersediaan) berasal dari periode tahun 2005 - 2007. Sedangkan di FSVA provinsi, data tersebut
tersedia untuk periode tahun 2007-2009.
• Seperti dijelaskan dalam Bab 1, Teknik Small Area Estimation diterapkan untuk menghitung
indikator kemiskinan, akses listrik, akses terhadap air, perempuan buta huruf dan harapan hidup untuk
mengestimasi data pada tingkat kecamatan.
• Pada FSVA nasional 2009, kabupaten yang berada dalam peringkat 100 terendah dikategorikan
sebagai kabupaten prioritas. Pada FSVA provinsi, jumlah kecamatan pada masing-masing kelompok
prioritas ditentukan oleh analisis kelompok (Cluster Analysis).

46 Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB


DAFTAR PUSTAKA

BAPPENAS (2007). Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010.


Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik (2005). Peta Kerawanan Pangan Provinsi NTB.
Badan Pusat Statistik (2006-2009). Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 2006-2009.
Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (FIA) 2005.
Dewan Ketahanan Pangan dan World Food Programme (2010). Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
Indonesia (FSVA) 2009.
Dinas Kesehatan NTB (2009). Profil Kesehatan Provinsi NTB.
Elbers, C. J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000). “Micro-Level Estimation of Welfare”. Policy Research
Department Working Paper 2911. Washington, DC: World Bank.
Fay, R E. and Herriot, R.A. (1979). Estimates of income for small place and application of James-Stein procedures
to census data. Journal of the American Statistical Association 74, 269-277.
Kementerian Kesehatan (2008). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2007.
Kementerian Kesehatan (2010). Laporan Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2009.
Kementerian Kehutanan (2008). Penghitungan Deforestasi Indonesia.
Kementerian Kehutanan dan Badan Pusat Statistik (2008). Identifikasi Desa Dalam Kawasan Hutan.
Morrison, D. F. (1976). Multivariate Statistical Methods.
Pemerintah Provinsi NTB (2009). Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi NTB
Tahun 2009-2013.
Pemerintah Provinsi NTB (2009). Rencana Aksi Daerah Pangan dan Gizi Provinsi NTB 2009-2013.
World Food Programme (WFP). Emergency Food Security Assessment Handbook, Edisi ke-2, 2009.
World Health Organization (WHO) (2007). World Health Report 2007.

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xxi


DAFTAR SINGKATAN

AKG Angka Kecukupan Gizi


BKP Badan Ketahanan Pangan
BMKG Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika
BNPB Badan Nasional Penanggulangan Bencana
BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah
BPS Badan Pusat Statistik
DEPKES Departemen Kesehatan
DKP Dewan Ketahanan Pangan
FIA Peta Kerawanan Pangan
FSVA Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan
IPB Institut Pertanian Bogor
IPM Indeks Pembangunan Manusia
LSM Lembaga Swadaya Masyarakat
MDG Millennium Development Goals
MPCE Pengeluaran Bulanan per Kapita
NTB Nusa Tenggara Barat
PDRB Produk Domestik Regional Bruto
PCA Analisis Komponen Utama
PKK Pemberdayaan & Kesejahteraan Keluarga
PNPM Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
PODES Survei Potensi Desa
Posyandu Pos Pelayanan Terpadu
Puskesmas Pusat Kesehatan Masyarakat
PPP Paritas Daya Beli
PSG Pemantauan Status Gizi
RISKESDAS Riset Kesehatan Dasar
RPJMD Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah
SAE Estimasi Daerah Kecil
SAKERNAS Survei Angkatan Kerja Nasional
SUSENAS Survei Sosial Ekonomi Nasional
TPT Tingkat Pengangguran Terbuka
UNICEF United Nations Children Fund
WFP Badan Pangan Dunia
WHO Badan Kesehatan Dunia

Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan NTB xxiii


Food Security and Vulnerability Atlas
of Nusa Tenggara Barat
2010

Government of Nusa Tenggara Barat


Food Security Council
Ministry of Agriculture
World Food Programme
GOVERNOR
NUSA TENGGARA BARAT

MESSAGE
From the Governor of Nusa Tenggara Barat

Bismillahirrahmanirrahim.
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabaraktuh.

With the help of God Almighty, the Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) of Nusa Tenggara Barat (NTB)
Province 2010 was completed as scheduled.

This Atlas is important because it provides accurate information on food security and vulnerability in NTB
Province. The Atlas should be used as a key reference for government and all stakeholders to take
appropriate actions and to improve coordination for addressing food security especially food self-sufficiency and food
diversification in the province.

NTB Province is one of the main areas of cereal production in Indonesia and selected as a national priority area
for increasing rice production. However, as the Atlas shows, the problems of food security and vulnerability exist
in some areas. More attention to food security should be given in these areas.

The Government’s commitment to accelerate the fulfillment of basic needs of the poor should be optimized,
particularly through improving food security, self-sufficiency, food diversification and nutrition, involving all
stakeholders across the sectors with clear roles and responsibilities.

I wish this provincial FSVA would be updated by each district through the development of district FSVA. The district
FSVA will provide the analysis of food security and vulnerability situation down to village level.

Finally, I hope this Food Security and Vulnerability Atlas will benefit all stakeholders’ effort to improve food security
in NTB province. May God always bless us, Amen.

Wallahulmuwaffiqu Walhadi ila Sabilirrasyad


Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh.

Mataram, 17 December 2010


GOVERNOR OF NUSA TENGGARA BARAT

H. M. ZAINUL MAJDI
MESSAGE
From the Head of Food Security Office

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

With the praise and thank to God Almighty, NTB Provincial Food Security Office in collaboration with the United
Nations World Food Programme (WFP) could present the Provincial Food Security and Vulnerability Atlas 2010
of Nusa Tenggara Barat (NTB) Province.

The objective of food security development is to ensure all people have sufficient, safe and nutritious food at
all times. Food is one of the basic human needs, therefore fulfillment of food security is a human rights for all
people. Food security is also one of the bases of human development which is critical for achieving national
development.

One of the constraints in the implementation of food security programmes is a lack of accurate information on
food security. All agencies and stakeholders across sectors should be responsible for the provision of food security
information. The Food Security Office and the WFP jointly carried out a series of activities to collect accurate data
from all sub-districts in the Province to development this Atlas.

We would like to extend our appreciation to the WFP for this commitment, support, and intensive
collaboration for developing this Atlas. The Atlas was completed on time. We would like also to extend our
appreciation to all stakeholders, Steering Committee, Technical Working Group, and District Food Security Offices
for their activeness in developing this Atlas.

I hope, the Atlas could be used as a basis for planning appropriate strategies policies and well targeted
programmes to increase welfare towards prosperous and competitive society in NTB province.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Mataram, 17 December 2010


Head of Food Security Office
Nusa Tenggara Barat

Ir. Husnanidiaty Nurdin, MM


NIP. 19620203 198603 2 009
PREFACE

Since the Food Security Council of Indonesia and the United Nations World Food Programme (WFP) jointly
developed the first 2005 Food Insecurity Atlas which identified 100 priority areas vulnerable to food insecurity,
WFP has been pleased to further respond to the growing interest and enthusiasm in undertaking further analysis
by our national and provincial stakeholders. As such, it was jointly decided that the national level Atlas will be
periodically updated and that the provincial Atlases will be replicated in all provinces as a tool to guide provincial
planning in the decentralized context of Indonesia.

At the national level, the Food Security Council and the WFP updated the Food Security and Vulnerability Atlas
(FSVA) in 2009, which was officially launched by the President of Indonesia in 2010. The Atlas showed that
while positive changes are observed in the access to health facilities, life expectancy and underweight among
under-five children, the levels of vulnerability to food insecurity still vary substantially by geographic region within
Indonesia, with a higher concentration of food insecurity in the eastern parts of Indonesia.

We are pleased now to showcase the result of an extended partnership between the WFP and the national
and local governments in 2010 on food security analysis. In NTB Province, provincial and district stakeholders in
different sectors showed strong commitment in learning the methodologies of FSVA and applied them in
developing Provincial FSVA. This Provincial Atlas is the outcome of our strengthening relationship and collaborative
efforts.

The results identified vulnerable sub-districts concentrated in certain areas which require higher attention to
address chronic food security. While cereal production and access to physical infrastructure such as road,
electricity and health facilities reached sufficient level, the prevalence of stunting is ranked at very high level of
public health significance.

Climate change also poses an additional challenge to food security. The expected impacts of more erratic
rain patterns and deforestation on agriculture further deteriorate the areas vulnerable to food insecurity. The
Provincial Atlas shows that the forests in the NTB Province are under serious threat and some areas experienced
decreasing rainfall. Collaborative efforts are required to support vulnerable communities to mitigate the impact
and adapt to the change.

Across the world, food prices have been increasing significantly, pushing not only the poor but also the near-poor
population into food insecurity. It is highly important for policy and decision makers to understand potential
impact of high food prices on vulnerable communities for appropriate responses. The Provincial Atlas will provide
a good evidence base for planning and targeting of the responses.
The Atlas provides an analysis of the food security situation in the province and draw upon recommendations
which lays the groundwork for the development of the Provincial Food and Nutrition Action Plan in the NTB
Province.

It is our strong desire that this Atlas will contribute to a better understanding of food security and vulnerability in
the province and it will be incorporated as a tool to develop regional policies and programmes to ensure food
security for all communities in the province.

Coco Ushiyama
Representative and Country Director
United Nations World Food Programme, Indonesia
ACKNOWLEDGMENTS

The Food Security and Vulnerability Atlas of NTB province 2010 could not have been completed without the
personal interests and support of H.E. Dr. KH.M Zainul Majdi MA, the Governor of Nusa Tenggara Barat (NTB)
Province, as the Executive Chairman of NTB Provincial Food Security Council and Dr. Ir. Rosiady Sayuti, M.Sc,
Head of provincial Bappeda as the Head of Steering Committee for the provincial FSVA.

Ir. Husnanidiaty Nurdin MM, Head of NTB Provincial Food Security Office provided excellent leadership at all
stages of the Atlas development. Consistent attention and inspiration were provided by Dr. Ir. Tjuk Eko Hari
Basuki, M.St, Director of Food Availability and Vulnerability Centre of Central Food Security Agency. Much of
the credit for undertaking the analysis and bringing out this publication goes to Ir. Lalu Sukariadi, MM, Ir. Gede
Putra and Nurwahidah, SE of NTB Provincial Food Security Office and Keigo Obara, Dedi Junadi, Eva Juniza of
the United Nations World Food Programme Indonesia. The active role of a wide range of Government and non
government institutions together with the rich inputs from the district officials remain particularly appreciated.
The support from AusAID is highly acknowledged.
TABLE OF CONTENTS

CONTRIBUTOR xv

EXECUTIVE SUMMARY xvii

CHAPTER 1 INTRODUCTION 1
1.1 Background and Rationale 1
1.2 Food and Nutrition Security Conceptual Framework 2
1.3 Indicators Used for the Provincial FSVA 4

CHAPTER 2 FOOD AVAILABITY 7
2.1 Production 7
2.2 Ratio of Per Capita Normative Consumption to Production 12
2.3 Main Challenges for Adequacy Fulfillment 13

CHAPTER 3 FOOD AND LIVELIHOOD ACCESS 15
3.1 Population Below the Poverty Line 15
3.2 Open Unemployment Rate (OUR) 16
3.3 Access to Basic Infrastructure (Road) 17
3.4 Access to Basic Infrastructure (Electricity) 19
3.5 Strategies for Reducing Poverty, Improving Access to Food and Livelihood 19

CHAPTER 4 FOOD UTILIZATION 21
4.1 Food Consumption 21
4.2 Access to Health Facilities 22
4.3 Population with Limited Access to Improved Drinking Water 23
4.4 Female Illiteracy 23
4.5 Nutritional Status 24
4.6 Health Outcome 25

CHAPTER 5 VULNERABILITY TO TRANSIENT FOOD INSECURITY 29
5.1 Natural Disasters 29
5.2 Rainfall Fluctuation 29
5.3 Damaged Areas 31
5.4 Climate Change and Food Security 31
5.5 Deforestation 32

CHAPTER 6 VULNERABILITY TO CHRONIC FOOD INSECURITY 35
BASED ON COMPOSITE FOOD SECURITY ANALYSIS

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xi


List of Tables

Table 1.1 Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of NTB Province, 5
2010
Table 2.1 Production of Major Cereals and Tubers 2000 – 2009 (Tons) 7
Table 2.2 Production of Paddy and Maize (2006 – 2009) (Tons) 11
Table 2.3 Production of Cassava and Sweet Potato (2006 – 2009) (Tons) 11
Table 2.4 Total Cereal Production by Year and Production Growth Rate for the Period of 12
2006-2009
Table 3.1 Number and Percentage of Population Below District Poverty Line 15
Table 3.2 Number of Sub-districts with More Than 30% People Below Poverty Line in 16
2008
Table 3.3 Open Unemployment Rate (OUR) 17
Table 3.4 Percentage of Villages Not Accessible by Four-wheeled Vehicles 18
Table 3.5 Percentage of Households Without Access to Electricity 19
Table 4.1 Per Capita per Day Calorie and Protein Consumption among Three Lowest 22
Monthly per Capita Expenditure (MPCE) Classes
Table 4.2 Percentage of Households with Limited Access to Improved Drinking Water 23
and Percentage of Villages with Limited Access to Community Health Center
Table 4.3 Female Illiteracy Rate 23
Table 4.4 Percentage of Underweight and Stunted Under Five Years Children 25
Table 4.5 Life Expectancy 26
Table 5.1 Summary of Natural Disasters Which Occurred in NTB Province During 30
1990 – 2009 and Estimated Caused Damage
Table 5.2 Proportion of Paddy and Maize Cultivated Areas Damaged by Floods and 31
Droughts During 2006 - 2009
Table 6.1 64 Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis 35
Table 6.2 Main Determinants for Food Insecurity per Priority 37
Table 6.3 Main Determinants of Foods Insecurity and Recommended Interventions by 39
District
List of Figures
Figure 1.1 Food and Nutrition Security Conceptual Framework 2
Figure 2.1 Production of Major Cereals and Tubers, 2000-2009 (Tons) 8
Figure 2.2a Total Cereals and Tubers Harvested Areas (ha) in Lombok Island 8
Figure 2.2b Total Cereals and Tubers Harvested Areas (ha) in Sumbawa Island 8
Figure 2.3a Paddy Production (ha) in Lombok Island 9
Figure 2.3b Paddy Production (ha) in Sumbawa Island 9
Figure 2.4 Maize Production in 2006 - 2009 10
Figure 2.5 Cassava Production in 2006 - 2009 10
Figure 2.6 Sweet Potato Production in 2006 - 2009 11
Figure 3.1 Main Income Sources according to Sectoral Classification 16
Figure 3.2 Modes of Transportation in NTB Province 18
Figure 5.1 Natural Disasters Which Occurred in NTB Province During 1990-2009 30
Figure 6.1 Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 1 Based on Composite 36
Food Security Analysis
Figure 6.2 Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 2 Based on Composite 36
Food Security Analysis
Figure 6.3 Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 3 Based on Composite 37
Food Security Analysis
Figure 6.4 Framework of the Causes and the Type Interventions to Improve Food Security 38

xii Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


List of Map

Map 1.1 Index Map of Lombok Island A-1


Map 1.2 Index Map of Sumbawa and Sumbawa Barat districts A-3
Map 1.3 Index Map of Dompu and Bima districts A-5
Map 2.1 Ratio of Per Capita Normative Consumption to Net Cereal Production A-7
Map 3.1 Population Living Below Poverty Line A-9
Map 3.2 Villages not Accessible by Four Wheel Vehicle A-11
Map 3.3 Households without Access to Electricity A-13
Map 4.1 Villages with Access to Health Facilities > 5 km A-15
Map 4.2 Households without Access to Clean Water A-17
Map 4.3 Female Illiteracy A-19
Map 4.4 Underweight Children (< 5 years) A-21
Map 4.5 Life Expectancy A-23
Map 5.1 Rainfall Deviation (%) During 1997-2007 in Dry Season Periods Compared to A-25
30 Years Average
Map 5.2 Rainfall Deviation (%) During 1997-2007 in Wet Season Periods Compared A-27
to 30 Years Average
Map 5.3 Damaged Paddy Area A-29
Map 5.4 Damaged Maize Area A-31
Map 5.5 Map of Deforestation in NTB During 2003 - 2006 Period A-33
Map 6.1 Vulnerability to Food Insecurity Map of NTB Province A-35


List of Annexes

Annex 1.1 Technical Note on Small Area Estimation (SAE) B-1


Annex 2.1 Food Availability Indicator B-9
Annex 3.1 Food Access Indicators B-14
Annex 4.1 Health and Nutrition Indicators B-19
Annex 5.1 Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season B-24
(April - September) during 1997 - 2007
Annex 6.1 Principal Component Analysis and Cluster Analysis: Analyzing Relationships B-29
Among Food Security Indicators
Annex 6.2 Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food B-33
Security Priority Group

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xiii


CONTRIBUTORS

Steering Committee
1. Head of Provincial Bappeda NTB
2. Head of Provincial FSO NTB
3. Head of Provincial Statistic Office (BPS) NTB
4. Head of Provincial Agriculture, Crops and Horticultural NTB
5. Head of Economic Administrative Section, Setda NTB
6. Head of Binkesmas Unit of Provincial Health Office NTB

Technical Working Group


1. Ir. L. Sukariadi, MM., Kabid Ketersediaan BKP NTB
2. Drs. Wahyudin, MM., Kabid Statistik Sosial, BPS NTB
3. Drs. A.A. Gd Trikumara S., Kepala Stasiun Meteorologi Selaparang Mataram
4. Ir. Gede Putra, Kasub Bid Cadangan dan Kerawanan Pangan BKP Prov NTB
5. H. L. Hilwan Hamid, SP., Kasub Bag Produksi Budidaya Biro Adm Perekonomian
6. Achmad Affandi, SKM, M. Kes., Staf Seksi Gizi Masy Dikes Prov. NTB
7. L. Agustan Kusumaredi, S. Kom., Staf pada BKKBN NTB
8. Drs Endang Khaeruddin, Kepala Seksi Tanggap Darurat BPBD NTB
9. Ir. Budi Subagio, MM., Kasi Budidaya Serealia & Kabi Dinas Pertanian Tanaman Pangan
10. Rr. Hanung Sriwening, SP., Kasub Bag Kcuangan BKP NTB
11. Muhammad Zubirman, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB
12. Nurwahidah, SE., Staf Bidang Ketersediaan Pangan BKP NTB
13. Mira Juwita, SP, Staf Sub Bag Perencanaan BKP NTB
14. Selamet Hariadi, Staf Sub Bag Umum BKP NTB
15. Yuni Pusfitawati, SP., Staf Bidang Ketersediaan Pangan NTB
16. Keigo Obara (WFP)
17. Dedi Junadi (WFP)
18. Eva Juniza (WFP)

District Food Security Office


1. Lombok Barat
2. Lombok Timur
3. Lombok Tengah
4. Lombok Utara
5. Sumbawa
6. Sumbawa Barat
7. Bima
8. Dompu

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xv


EXECUTIVE SUMMARY

1. BACKGROUND

There has been a constant need for the Government of Indonesia to improve geographical targeting of more
vulnerable areas for food and nutrition security related interventions. Recognizing the United Nations World Food
Programme (WFP) expertise in food security analysis and mapping, in 2003 the Food Security Council (FSC),
chaired by the President of Indonesia, whose Secretariat is the Food Security Agency (FSA), collaborated with
WFP to develop the national Food Insecurity Atlas (FIA) for Indonesia. The first FIA was developed and launched
in 2005 and covered 265 rural districts in 30 provinces. More than US $32 million were allocated by the
government to 100 districts identified as food insecure and interventions began in 2006-2007. The second atlas,
with a new title “Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA)” covering 346 rural districts in 32 provinces, was
launched by the President of Indonesia and Minister of Agriculture on May 2010 and it has already been fully
integrated into annual government work plans and budgetary allocations. WFP has been providing technical and
financial support towards the development and implementation of the FIA and FSVA since 2003.

While the national FIA 2005 and FSVA 2009 successfully uncovered the district level disparity of food security
and vulnerability in the country, there was no tool to analyze and classify food security and vulnerability at the
sub-district level. The National FSC, provincial Food Security Office (FSO) and WFP decided to jointly undertake
the food security analysis and mapping at the sub-district level. The result of this collaboration is the Provincial
Food Security and Vulnerability Atlas (provincial FSVA). The provincial FSVA will be an important tool for provincial
and district level planners and decision makers to identify the thematic and geographical areas to be prioritized
for food and nutrition interventions.

Similar to the national FSVA 2009 and FIA 2005, urban areas are not included in the provincial FSVA, as urban
food security requires a separate analysis which will possibly be considered in the future. In the provincial FSVA
of Nusa Tenggara Barat province, 105 sub-districts in 8 rural districts are analyzed.

2. OBJECTIVE OF THE PROVINCIAL FSVA

Like the FIA 2005 and national FSVA 2009, the provincial FSVA serves as an important tool for decision
making in targeting and developing recommendations for responding to food and nutrition
insecurity at the district and sub-district levels.

Analyzed 13 indicators related to food security based on officially issued secondary data of the period
2007-2009, and composite 9 of them to derive a Composite Food Security Analysis allow the provincial FSVA to
answer three key questions related to food security and its vulnerability: Where are the higher vulnerable to food
insecurity (by district, sub-district); How Many are they (estimated population); and Why are they higher
vulnerable (main determinants for food insecurity)?.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xvii


3. KEY FINDINGS OF THE PROVINCIAL FSVA OF NTB PROVINCE

3.1 Food availability


• Agricultural output is growing at a high rate (about 3.8% per year during 2000-2009). Rice and
maize production increased, while production of sweet potato and cassava remain almost unchanged.
In general, the majority of NTB province is food self-sufficient in cereal production, and food availability
at the provincial level is adequate.
• However, out of 105 sub-districts, 7 sub-districts (5 in Lombok Island and 2 in Sumbawa Island) were
cereal deficient.

3.2 Food access


• Limited access to food for the poor as a result of combination of poverty, lack of stable employment, low
and irregular cash income and limited purchasing power remained a greater challenge. In 2009, more
than 1 million people (22.78%) lived below the provincial poverty line.
• Since 2007, all districts have been able to reduce the poverty rate.
• In 2009, out of 8 districts, 4 districts had a poverty level higher than the provincial average
(Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, and Sumbawa Barat), with Lombok Barat having the highest
proportion of poor people (24.02%).
• More pronounced differences exist between sub-districts. Out of 105 sub-districts, 18 sub-districts had
more than 30% of people living below the provincial poverty line.
• The Open Unemployment Rate (OUR) remained unchanged at slightly above 6% during 2007-2009.
However, disparities in unemployment remained high between regions. In 2009, the highest OUR was
found in Sumbawa Barat district (8.32 %),
• 3.18% the villages in the province were not accessible by four-wheeled-vehicles.
• Nearly 15% of households in the province did not have access to electricity. The access was particularly
limited in Lombok Timur and Dompu districts.

3.3 Food Utilization and the Nutritional Situation


• I n 2009, the average daily energy intake was 1,956 kcal, lower than national Recommended Daily
Allowance (RDA) and the protein intake was 54.86 grams, slightly surpassed the national RDA. Energy
intakes increased by 0.42% while protein intake decreased by 0.23% as compared with that in 2002.
However, both energy and protein intakes of the three lowest expenditure groups were much lower
than the national RDA. The lowest expenditure class consumed only 63% of the RDA (1,261 kcal) and
61% of national recommended daily protein allowance.
• Overall, 97% of the villages in the province had access to health facilities located within 5 km.
• 6% of households did not have access to improved drinking water. The poorest access was in Lombok
1
Tengah, Lombok Timur, and Lombok Utara districts.
• T he female illiteracy rate was 27.03% in the province. The highest illiteracy rate was in Lombok Tengah
(36.48%), Lombok Utara (35.25%), Lombok Barat (30.33%) and Lombok Timur (29.22%) districts.
At the sub-district level, 40 out of 105 sub-districts (61%) had an illiteracy rate higher than the
provincial average, all of them concentrated in Lombok Island.

xviii Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


• I n 2009, the provincial rate of underweight (mixed chronic and acute malnutrition) was 20.87%, which
has not met the MDG goal and was a very high level of public health significance. By sub-district,
13 out of 105 sub-districts had a very high prevalence of underweight (≥ 30%). Only 5 sub-districts
had acceptable level of underweight.
• According to the Basic Health Research (RISKESDAS) conducted in 2007, the provincial
prevalence of stunting (chronic malnutrition) was 43.65%, ranked at very high level of public health
significance. 5 districts had a very high prevalence (≥ 40%), and another 2 districts had a high prevalence
(30%-39%). The latest RISKESDAS research conducted in 2010 shows increased stunting rate in the
province (48.21%).
• T he average life expectancy in the province was 61.50 years in 2008. Although it shows increase in
recent years, it is still lower than national average, 69. The highest life expectancy was reported in Bima
(62.31) and the lowest was in Lombok Barat (59.97).

3.4 Areas of higher vulnerability required higher priority


(Where, How Many and Why?)
• omposite Food Security Analysis was conducted to answer these three questions by clustering and
C
mapping 105 sub-districts which had complete datasets of all nine indicators related to chronic food
insecurity. Among them, 64 sub-districts are ranked as higher priority: 26 of Priority 1, 31 of Priority 2
and 7 of Priority 3, with a total estimated population of 3.1 million people. The remaining 41 districts
are classified as Priorities 4-6. Higher attention should be paid to districts of Priorities 1-3.
• T he 26 sub-districts in the Priority 1 ranking are concentrated in Lombok Timur (14) and Lombok
Tengah (11), with approximately 1.6 million people. Their vulnerability to food insecurity is mainly
attributed to limited access to electricity, high female illiteracy, limited access to clean water, no access
by four-wheeled vehicles and high poverty.
• T he 31 sub-districts in the Priority 2 ranking are concentrated in Lombok Barat (10), Lombok Timur (5),
and Dompu (9) with approximately 1.3 million people. The main determinants for their vulnerability
are similar to those of Priority 2, though with a slightly changed order: low life expectancy, high poverty,
high female illiteracy, limited access to electricity and clean water.
• The 7 sub-districts in the Priority 3 ranking are concentrated in Lombok Utara (2)with approximately
202 thousand people. Their vulnerability to food insecurity is mainly attributed to high poverty rate,
high underweight among under-five children, low life expectancy, limited access to electricity, and high
female illiteracy.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xix


Vulnerability to Food Insecurity Map of NTB Province
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:

Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts


Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts
Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts
Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts
Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts
Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
116°0'0"E 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary
CHAPTER 1
INTRODUCTION

1.1 BACKGROUND AND RATIONALE

Nusa Tenggara Barat (NTB) province which consists of 2 urban and 8 rural districts is home to a population
of 4,434,012 people. The province consists of 280 islands among which 32 are inhabited. Geographically, the
islands lie between 8°10’ - 9°05’ South Latitude and 115°46’ - 119°05’ East Longitude, with a total land
area of 20,153 km². Climatologically, the province belongs to the tropical monsoon type with rainy season
October - March and dry season in April - September.

The economy of the province relies on mining and agriculture which account for 31.10% and 21.33% of Gross
Regional Domestic Product (GRDP). Provincial economic growth rate was 8.9% in 2009 while national rate
achieved 6.1% in the same year. The province ranks 32nd out of 33 provinces in the Human Development Index
2009, although the index improved gradually for the past few years.

Following the publication of the first national Food Insecurity Atlas (FIA) in 2005, the second edition of the
national Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) which covered 346 rural districts of 32 provinces was
developed in 2009 by the National Food Security Council (FSC) and Provincial Food Security Offices (FSOs) in
collaboration with the United Nations World Food Programme (WFP). The FSVA 2009 was officially launched
by the President of Indonesia in May 2010 and has proven to be an important tool for refining the geographical
targeting of the most vulnerable districts for food security and nutrition related interventions. The Government
of Indonesia allocated more than Rp 323 milliard (US$ 32 million) to 100 higher vulnerable districts identified
by the FIA 2005. Similarly, the Government will allocate the budget for food security and nutrition interventions
based on the FSVA 2009. Among the 100 higher vulnerable districts in Indonesia in the FIA 2005, 6 districts were
in NTB province. A number of programmes were implemented in these districts since 2006, and the number of
100 priority districts in the province reduced to 5 districts in the FSVA 2009. Continuous attention is required to
accelerate the progress.

While the national FIA 2005 and FSVA 2009 successfully uncovered the disparity of food security and
vulnerability at district level, there was no tool to analyze and classify food security and vulnerability at the
sub-district level. The national FSC, provincial FSO and WFP collaborated in analyzing food security situation at
sub-district level to further analyze the hotspots. All district FSOs actively participated in the process and technical
support was provided from various agencies such as Ministry of Agriculture, Ministry of Health, National Statistics
Bureau (BPS) and Bogor Agriculture University (IPB). The final output of this collaboration is this Provincial Food
Security and Vulnerability Atlas.

As of 2010, in NTB province, there are 2 urban and 8 rural districts. Similar to the national FSVA 2009 and FIA
2005, urban districts are not included in the provincial FSVA, as urban food security requires a separate analysis
which will possibly be considered in the future. Therefore, the maps depict the food security situation in 105
sub-districts in 8 rural districts.

The term “food insecurity” in the first FIA 2005 might have created a misunderstanding on the definition of the
district ranking. It seems to be interpreted directly that in a district in the lowest rank, all the people were food
insecure. The second National Atlas with a new title “Food Security and Vulnerability of Indonesia (FSVA)” refers

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 1


to the title of national atlas and aims to avoid such a misunderstanding. The FSVA extends the understanding of
the food security concept based on its three dimensions (food availability, access to food and utilization of the
food) to any circumstance rather than only in a food insecure situation. The FSVA is also meant to better address
various determinants of food insecurity, or in other words, the vulnerability to food insecurity, rather than only
food insecurity itself.

1.2 FOOD AND NUTRITION SECURITY CONCEPTUAL FRAMEWORK

At the World Food Summit (1996), food security was defined as: ”Food security exists when all people, at
all times, have physical, social and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their dietary
needs, and food preferences for an active and healthy life”.

In the provincial FSVA 2010, the analysis and mapping is based on an understanding of food and nutrition
security and vulnerability highlighted in the Food and Nutrition Security Conceptual Framework
(Figure 1.1).

Figure 1.1: Food and Nutrition Security Conceptual Framework

Source: WFP, January 2009

a. Food Security
In Indonesia, Food Law No.7, 1996 defined Food Security as a condition when all people in the households
have sufficient food at all times, represented as sufficient quantity and quality of food in safe and achievable
conditions.

2 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Like the first FIA and the national FSVA, provincial FSVA is based on three pillars of food security: (i) food
availability; (ii) food access; and (iii) food utilization.

Food availability is the physical presence of food in the area of concern through all forms of domestic
production, commercial imports and food aid. Food availability is determined by food production in the area,
traded food brought into the area through market mechanisms, stock held by traders and in government reserves,
and transfers by the government and/or food aid agencies. Food availability might be aggregated at the national,
regional, district or community level.

Food access is a household’s ability to acquire adequate amounts of food, through one or a combination
of own home production and stocks, purchases, barter, gifts, borrowing and food aid. Food may be available in
the area but not accessible to certain households if they cannot acquire a sufficient quantity or diversity of food
through these mechanisms.

Food utilization refers to households’ use of the food to which they have access, and individuals’ ability
to absorb and metabolize the nutrients – the conversion efficiency of the body. Food utilization includes the way
in which food is stored, processed and prepared, including water and cooking fuel used, and hygiene conditions,
feeding practices (particularly for individuals with special food needs), the sharing of food within the household
according to the needs (growth, pregnancy, lactation, etc.), and the health status of each household member.

Sufficient national-level and provincial food production and availability do not guarantee food security at
household and individual levels. Food may be available and accessible but certain household members may not
benefit fully if they do not receive an adequate share of the food in terms of quantity and diversity, or if their
bodies are unable to absorb food because of poor food preparation or sickness.

The food security conceptual framework considers food availability, food access and food utilization as core
determinants of food security, and links these to households’ asset endowments, livelihood strategies, and to the
political, social, institutional and economic environment. In other words, the food security status of any household
or individual is typically determined by the interaction of a broad range of agro-environmental, socio-economic
and biological factors, and to some extent, political factors.

Food insecurity can be chronic or transitory. Chronic food insecurity is a long term or persistent inability to
meet minimum food requirements and is usually associated with structural, underlying contextual factors that do
not change quickly, such as local climate, soil type, local governance system, public infrastructure, land tenure,
inter-ethnic relations, education level, etc. Transitory food insecurity is a short-term or temporary inability
to meet minimum food requirements which is mostly associated with dynamic factors that can change quickly
such as infectious diseases, natural disasters, displacement, change of market functioning, level of indebtedness,
migration, etc. Repeated transitory food insecurity can lead to the depletion of a household’s livelihoods, degraded
resilience and chronic food insecurity.

b. Nutrition Security
Nutrition security is defined as “physical, economic, environmental and social access to balanced diet, safe
drinking water, environmental hygiene, primary health care and primary education”. This implies that there is
a combination of food and non-food components in nutrition security.

Nutrition security manifested in nutritional status is the ultimate outcome of food security, health and care
practices at the individual level. Food insecurity is one amongst three underlying causes of malnutrition. The other
two causes are health status, public health environment, and care practices. Therefore, wherever there is food
insecurity, there is a risk of malnutrition, including micronutrient deficiencies. It should not be assumed that food
insecurity is the sole cause of malnutrition without considering possible health and care causal factors such as
lack of access to clean drinking water, sanitation, health facilities and health care, inadequate child care and
feeding practices, poor maternal education, etc.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 3


c. Vulnerability
Vulnerability to food insecurity refers to a full range of factors that place people at risk of becoming food insecure.
The degree of vulnerability of individuals, households or groups of people is determined by their exposure to the
risk factors and their ability to cope with or withstand stressful situations.

1.3 INDICATORS USED FOR THE PROVINCIAL FSVA

Food insecurity is a multi-dimensional issue which needs an analysis of various parameters rather than
relying on food production and availability alone. While there is no single, direct measure of food security, the
complexity of food security can be simplified by focusing on three distinct but interrelated dimensions: aggregated food
availability, household food access, and individual food utilization.

Indicators selected for the provincial FSVA are related to three food security pillars, based on their interrelation
as indicated in the Food and Nutrition Security Conceptual Framework, and depend on data availability at the
district level of Indonesia. Indicators used for the provincial FSVA are presented in Table 1.1.

The National Technical Assistance Team of the provincial FSVA agreed to use all 13 indicators used in the
national FSVA 2009 for the provincial FSVA. Infant Mortality Rate (IMR) which was used in the national FIA was
excluded from the national FSVA 2009 and provincial FSVA, due to the lack of data. Data on chronic malnutrition
(stunting) among under-five years old children is derived from the recent Nutrition Status Survey (PSG, 2009) of
NTB province. However, this data is not used for composite food security analysis. It is analyzed and described
only in the narrative report.

The provincial FSVA has been developed by using 9 chronic food security indicators and 4 transitory food security
indicators. The composite food security and vulnerability map is produced by combining all 9 chronic food security
indicators using the Principal Component Analysis and Cluster Analysis.

All data was collected from secondary sources by district and provincial food security, health and
agriculture offices and from publications of the provincial and district Bureau of Statistics (BPS), Provincial Disaster
Management Agency (BPBD), Meteorology, Climatology and Geophysical Agency (BMKG) and Ministry of
Forestry.

All data used for the analysis in the provincial FSVA was primarily for the period of 2007-2009. Some
indicators were at the individual level, whereas others were either at the household or community level. Small Area
Estimation (SAE) technique was applied for some indicators to estimate the sub-district level data using the data
at the district level and village level, with a technical guidance from the BPS and IPB. A technical note on the
Small Area Estimation methodology and its application to the provincial FSVA is presented in the Annex 1.1. The
composite map derived from these indicators is only indicative of the overall food security situation in sub-districts.
A food secure sub-district as indicated in the composite map does not necessarily mean all its villages would be
food secure. The same is true for the food insecure areas.

The maps are produced using a uniform colour pattern in shades of red and green. The shades of red denote
various degrees of food insecurity while shades of green depict a relatively better status. In both colours, the
darker shades indicate higher degrees of food security or insecurity. The thresholds in the maps for individual
level indicators are the same as in the national FIA 2005 and FSVA 2009, except for the thresholds of child
underweight where the World Heath Organization’s thresholds for public health significance (WHO, 2005) were
applied for national FSVA 2009 and provincial FSVA. Index Maps 1.1 to 1.3 list districts and sub-districts included
in the analysis and mapping.

4 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Table 1.1: Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of NTB Province, 2010

Indicator Definition and Computation Data Source

Food Availability

1. Per capita normative consumption 1. District level triennium average (2007-2009) net production of rice and Provincial and
to net ‘rice + maize + cassava + maize was first calculated by using standard conversion factors. For District Food
sweet potato’ availability ratio cassava and sweet potato, production was divided by three (cereal Security Office and
BPS (2007-2009)
equivalent factor) to transform it into a cereal equivalent. Total cereal
production available for human consumption was then calculated.

2. Per capita daily net cereal availability was then computed by dividing
the total sub-district cereal availability by its population (population
data for mid-2008).

3. Net import and trade of cereal were not considered, as data at the
sub-district level was not available.

4. Normative cereal consumption/capita/day was taken as 300 grams/


person/day.

5. The ratio of per capita normative consumption to per capita net cereal
availability was computed. Ratio from ‘1’ and above shows food deficit
area while less than ‘1’ indicates a cereal surplus area.

Food and Livelihoods Access

2. Percentage of people below The Indonesian rupiah value of the monthly per capita expenditure required SUSENAS CORE
poverty line to fulfill a minimum standard of food and non-food basic consumption. SAE 2007-2009,
was applied. SUSENAS
MODULE 2008,
PODES (Village
Potential) 2008,
BPS
3. Percentage of villages with Percentage of villages whose inter-village roads that are not accessible by PODES (Village
inadequate connectivity four-wheeled vehicles. Potential) 2008,
BPS
4. Percentage of households without Percentage of households who do not have access to electricity from state SUSENAS CORE
access to electricity and/or non-state sources, namely generators. SAE was applied. 2007-2009, PODES
2008, BPS

Food Utilization

5. Percentage of villages located The percentage of villages located more than five kilometres away from a PODES 2008, BPS
more than 5 km away from health health facility (hospital, clinic, community health centre, doctor, nurse, trained
facilities midwife, paramedic, etc.).
6. Percentage of households without Percentage of households who do not have access to tap water, protected SUSENAS CORE
access to improved drinking water wells/boreholes, or protected spring water. SAE was applied. 2007-2009, PODES
2008, BPS
7. Female Illiteracy Percent of females above 15 years who cannot read or write. SAE was SUSENAS CORE
applied. 2007-2009, PODES
2008, BPS
8. Children underweight Children under five whose weights are less than -2 Standard Deviation Nutrition Status
(-2 SD) from their age and gender specific reference weights (2005 WHO Survey (PSG, 2009),
Standards). Provincial Health
Office
9. Life expectancy at birth The average numbers of years that a newborn infant would live if the SUSENAS CORE
mortality pattern at the time of birth prevails throughout the child’s life. SAE 2007-2009, PODES
was applied. 2008, BPS

Vulnerability to Transient Food Insecurity

10. Natural disasters Natural disasters which occurred in NTB province between 1990 and 2009 National Disaster
and estimated caused damage. Management
Agency (BNPB),
2010

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 5


Table 1.1 (contd): Indicators Used for the Food Security and Vulnerability Atlas of
NTB Province, 2010

Indicator Definition and Computation Data Source

11. Rainfall deviation 1. Last 10 years’ (1997-98 to 2007-08) annual average rainfall during dry Meteorological,
and rainy season was first computed. Climatology and
Geophysics Agency
2. The percent difference between 10 years average and the 30 years
NTB, 2010
normal average (1971-2000) was then calculated.
12. Percentage of damaged area Percentage of paddy and maize area damaged by drought, flood, pest Agriculture Census
infestation. (SP) BPS, 2009
13. Deforestation Deforestation is the change of landcover from forest type to non forest Deforestation
type. Deforestation rate based on the analysis of Landsat satellite imagery Calculation in
during 2002/2003 and 2005/2006 periods. Indonesia 2008,
Ministry of Forestry

6 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


CHAPTER 2
FOOD AVAILABILITY

Food availability is the physical presence of food in the area of concern through all forms of domestic
production, commercial imports and food aid. Food availability is determined by food production in the area,
traded food brought into the area through market mechanisms, stocks held by traders and in government reserve,
and transfers by the government and/or food aid agencies.

Food production depends on various factors such as climate, soil type, rainfall, irrigation, agricultural production
inputs and technologies, and also incentives for farmers to produce food crops.

Food crops include products of cereals, tubers, pulses, nuts and oil seeds, vegetables, fruit, spices, sugar, and
animal products. Because the major portion of daily calorie intake is supplied by carbohydrates, which is about
half of the total energy requirement per person per day, the analysis of the food production is made based on
cereals (rice, maize) and tubers (cassava, sweet potato) to understand the level of food sufficiency at the district
and sub-district level.

2.1 PRODUCTION

The Government of NTB province has been promoting agricultural production and has adopted several
protection measures for its farmers. Agriculture (including livestock, forestry and fisheries) has been contributing
around 21.33% of the Gross Regional Domestic Product (GRDP) of NTB province over the past four years, and
providing opportunities for contributing to improved food security, poverty reduction and economic growth.

Rice is the primary staple in NTB province and makes up close to 90% of total crop production in the province.

After 5-6 years of stagnation, the production of cereals and tubers has continuously increased since 2006 with
exception of 2007 (Table 2.1. and Figure 2.1). The increase was mainly attributed to expanded land cultivation
and increased productivity. Rice production increased by 20.45% during the same period, reaching 1,870,773
tons in 2009. NTB province has become one of the production centers of paddy in the country.

Table 2.1: Production of Major Cereals and Tubers, 2000 - 2009 (Tons)

10 Year
Cereal 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Average
Maize 66,216 50,777 57,785 64,228 71,276 96,458 103,963 120,612 196,263 308,863 113,644
Paddy 1,488,191 1,458,616 1,370,171 1,422,440 1,466,757 1,367,869 1,552,628 1,526,347 1,750,675 1,870,773 1,527,447
Sweet Potato 10,060 - 17,553 20,565 20,886 19,430 19,373 13,007 10,985 11,276 14,314
Cassava 99,486 96,974 87,913 88,568 88,030 92,991 87,041 88,528 68,386 85,062 88,298

Source: BPS, 2000 - 2009

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 7


Figure 2.1: Production of Major Cereals and Tubers, 2000-2009 (Tons)

In 2009, the total cereal and tuber production reached 1,870,773 tons of paddy, 308,863 tons of maize,
85,062 tons of cassava and 11,276 tons of sweet potatoes. Paddy and maize production in 2009 was higher
than the average annual production figures over the last 10 years, while cassava and sweet potato production
in 2009 was lower than the 10 years average.

Figure 2.2a: Total Paddy Harvested Areas (ha) in Lombok Island

Figure 2.2b: Total Paddy Harvested Areas (ha) in Sumbawa Island

8 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Paddy
District level annual paddy production in NTB province for the past 10 years (2000–2009) was analyzed and
presented in Figure 2.3. The production was stagnated from 2000 to 2004, but decreased in 2005 due to the
drought that affected almost all areas in the province. It started to increase again from 2006 in all districts except
Lombok Barat and Sumbawa Barat district. The increase is particularly significant in Lombok Tengah, Lombok Timur,
Sumbawa, and Bima districts. Average paddy production in Lombok Island was 869,428 tons in 2007-2009, which
accounts for 50.66% of total paddy production of NTB province. In 2007, paddy field was damaged due to low
rainfall, which resulted in low production (see Map 5.3 Damaged Area). The main rice production areas were
Lombok Tengah, Sumbawa, Lombok Timur and Bima districts. Paddy production in these districts was 1,389,137
tons in 2009, which accounts for 74.25% of total paddy production of NTB province.

Figure 2.3a: Paddy Production (ha) in Lombok Island

Figure 2.3b: Paddy Production (ha) in Sumbawa Island

Maize
In 2009, maize production reached 308,863 tons showing an increase of 57.37% from the production in
2008. Increased productivity, increased planted area and favorable weather contributed to this overall
production increase. Main production districts of maize in NTB are in Sumbawa and Lombok Timur (Figure 2.4). The
government supported farmers’ access to maize seed through Integrated Crop Management Field School (SLPTT)
programme. Market price of maize was also favorable.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 9


Figure 2.4: Maize Production in 2006 - 2009

Cassava
The production of cassava has decreased by around 15% during the past 10 years. In 2009, cassava
production was 85,062 tons which accounts for 3.37% of total cereal production in the province. Decreased
cassava production is likely due to the conversion of land from cassava to maize and paddy. Lombok Utara and
Lombok Tengah are the major cassava production areas in the province (Figure 2.5).

Figure 2.5: Cassava Production in 2006 - 2009

Sweet Potato

The production of sweet potato is limited in NTB province. In 2009, sweet potato production was 11,276 tons
which accounts only for 0.5% of total cereal production in the province. In addition to the conversion to paddy
and maize, lack of local market is also a potential reason of the decreased production of sweet potato. Bima is
the major production area in the province, but the production has significantly reduced recently.

10 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Figure 2.6: Sweet Potato Production in 2006 - 2009

Table 2.2: Production of Paddy and Maize (2006 - 2009) (Tons)


Paddy Maize
No District
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009
1 Lombok Barat 131,566 147,571 145,571 148,677 5,247 7,802 12,127 12,248

2 Lombok Tengah 339,375 315,667 358,192 385,186 6,588 9,950 14,097 11,094

3 Lombok Timur 278,610 274,613 308,446 311,873 27,424 30,905 52,760 81,293

4 Lombok Utara 45,524 48,889 49,615 50,971 9,621 10,304 17,182 19,390

5 Sumbawa 289,306 284,110 332,515 383,649 33,892 30,903 52,530 100,840

6 Dompu 118,630 124,341 153,743 161,352 6,858 5,160 13,203 24,396

7 Bima 245,691 236,031 282,928 308,429 9,021 18,342 25,598 45,263

8 Sumbawa Barat 60,921 50,290 69,121 61,093 4,407 4,788 5,516 10,690

9 Kota Mataram 17,732 18,716 21,467 22,859 12 78 129 14

10 Kota Bima 25,273 26,119 29,077 36,684 893 2,380 3,121 3,635

Total NTB 1,552,628 1,526,347 1,750,675 1,870,773 103,963 120,612 196,263 308,863

Source: Provincial and District BPS, 2006-2009

Table 2.3: Production of Cassava and Sweet Potato (2006 - 2009) (Tons)
Cassava Sweet Potato
No District
2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009
1 Lombok Barat 7,414 7,123 4,321 5,087 1,499 1,199 1,566 878

2 Lombok Tengah 17,516 17,732 11,386 14,278 2,205 747 2,197 2,991

3 Lombok Timur 10,009 7,092 10,238 14,465 3,543 2,615 2,218 2,136

4 Lombok Utara 19,163 25,375 11,948 24,836 2,152 2,577 1,686 1,364

5 Sumbawa 13,839 6,003 8,154 5,816 1,557 469 650 733

6 Dompu 3,224 2,520 2,412 1,775 2,140 818 603 697

7 Bima 7,584 11,583 10,775 7,818 5,706 4,026 1,449 1,673

8 Sumbawa Barat 1,162 710 395 118 310 150 127 152

9 Kota Mataram - - - - 12 - - -

10 Kota Bima 7,130 10,390 8,757 10,869 249 406 489 652

Total NTB 87,041 88,528 68,386 85,062 19,373 13,007 10,985 11,276

Source: Provincial and District BPS, 2006-2009

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 11


Table 2.4: Total Cereal Production by Year and Production Growth Rate for the Period of
2006 - 2009
Total Cereal Production Growth Rate
No District
2006 2007 2008 2009 2006 - 2009

1 Lombok Barat 145,726 163,695 163,585 166,890 14.52

2 Lombok Tengah 365,684 344,096 385,872 413,549 13.09

3 Lombok Timur 319,586 315,225 373,662 409,767 28.22

4 Lombok Utara 76,460 87,145 80,431 96,561 26.29

5 Sumbawa 338,594 321,485 393,849 491,038 45.02

6 Dompu 130,852 132,839 169,961 188,220 43.84

7 Bima 268,002 269,982 320,750 363,183 35.52

8 Sumbawa Barat 66,800 55,938 75,159 72,053 7.86

9 Kota Mataram 17,756 18,794 21,596 22,873 28.82

10 Kota Bima 33,545 39,295 41,444 51,840 54.54

Total NTB 1,763,005 1,748,494 2,026,309 2,275,974

Source: Provincial and District BPS, 2006 - 2009

2.2 RATIO OF PER CAPITA NORMATIVE CONSUMPTION TO


PRODUCTION

As mentioned in the previous chapter, the food availability indicator used for the composite food security analysis
is the ratio of per capita normative food consumption to food production. The ratio shows whether an area is self
sufficient in terms of cereal and tuber production.

The calculation of food production at the sub-district level was carried out by using the average data of three
years production (2007–2009) for rice, maize, cassava and sweet potato because the main energy source of
food energy intake comes from cereals and tubers. Food consumption pattern in Indonesia showed that nearly
50% of the total calorie needs comes from cereals and tubers. The net average production of rice, maize,
cassava and sweet potato was converted to the cereal equivalents by dividing tuber production by 3 (1 kg of
rice or maize is equivalent to 3 kg of cassava and sweet potato in terms of calorific value). Then, total cereal
equivalent production was calculated. Net cereal availability per capita was calculated by dividing the total
sub-district cereal equivalent production by the population number estimated at the middle year of this
three-year period, i.e. of 2008. Net cereal data from trading and imports were not counted because the data was not
available at the sub-district level. Based on the Indonesian consumption profile, the normative cereal
consumption per day per capita is 300 gram. Then the ratio of per capita normative consumption to production
was calculated (see Annex 2.1: Food availability indicators).

Map 2.1 illustrates that the majority of sub-districts in NTB province were food self-sufficient in cereal production
which is indicated by gradation in the green color group, while the deficit areas are indicated by gradations in
the red color group. Climatic conditions, land suitability, recurrent rural disasters (drought, flood, etc) were factors
which constrained the ability of these deficit sub-districts to achieve self-sufficiency in cereal production.

Only 6.7% or 7 out of 105 sub-districts in NTB province were found to be deficit in cereal production. Among
them, 3 sub-districts were high deficit, 2 sub-districts were medium deficit, and the remaining 2 sub-districts
were low deficit. 93% or 98 sub-districts in the province were self-sufficient in cereal with availability ratio below
1. The potential reasons for cereal deficiency in these sub-districts included: 1) less area available for cultivation
compared with the population density, particularly urbanized areas; 2) natural disasters such as drought and
flood. Although it is recognized that adequate food availability is an absolute prerequisite of food security, this
prerequisite is not enough to guarantee food security at the household and individual level.

12 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


2.3 MAIN CHALLENGES FOR ADEQUACY FULLFILMENT

The population of NTB province increased by 1.2% a year on average for the last decade, while annual
average growth rate of paddy and maize production reached 3.5% and 18.6% respectively. However, as mentioned
earlier in this chapter and in Chapter 5, fluctuating rainfall, decreasing land available for cultivation remain main
risk factors. It is predicted that wet paddy land will be reduced from 221,981 ha in 2009 to 218,218 ha in
2013. This indicates that, the production of paddy will be decreased by around 5,804 ton or 0.31% of 2009
level. Hence, the effort to increase the productivity and reduce the conversion of land is important.

Strategies for improving food availability


In Provincial Strategic Plan of NTB FSO for the period 2009 - 2013, the programmes related to food availability
include:
a. Handling the food insecurity hotspot;
b. Yard utilization for food development;
c. Monitoring and analysis of food access;
d. Post harvest handling and processing of agriculture product;
e. Development of regional food stock;
f. Development of food self-sufficiency village;
g. Development of food storage;
h. Campaign on alternative food sources and food diversity;
i. Promotion of local main agriculture/plantation product;
j. Campaign of increasing agriculture production;
k. Development of rural economic institution enterprises (LUEP); and
l. Increase farmer welfare.

Meanwhile, the Regional Medium Term Development Plan (RPJMD) of NTB province 2009 - 2013, the
programmes related to food availability include:
a. Agriculture of agrobusiness and agro-industry;
b. Increase production and marketing of agriculture production;
c. Increase livestock production;
d. NTB Bumi Sejuta Sapi (NTB programme to create a herd of million cattle by 2013);
e. Fish farming and development of fishing education system (including catchments fishery);
f. Increase of food security;
g. Increase of farmer’s welfare;
h. Empowerment of agriculture/ plantation field extension officers;
i. Improvement of agriculture/plantation technology application; and
j. Disease/pest control and prevention.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 13


CHAPTER 3
FOOD AND LIVELIHOOD ACCESS

Food access is one of the three pillars of food security. It is one of the key indicators used in analyzing the
National FIA 2005, National FSVA 2009 and this Provincial FSVA. Food access is a household’s ability to
acquire an adequate amount of food, through one or a combination of own home production, stocks, purchases,
barter, gifts, borrowing and food aid. Food may be available but not accessible to certain households if they
cannot acquire a sufficient quantity or diversity of food through these mechanisms. Food access depends on
household purchasing power which is determined by household’s livelihoods. Livelihoods comprise the household’s
capabilities, capitals/assets (natural, physical, human, economic and social) and activities required to secure basic
needs - income, food, shelter, health and education. Those who do not have sustainable and adequate livelihoods,
which in turn lead to inadequate and unstable income and limited purchasing power, remain poor and vulnerable
to food insecurity.

Globally, individuals who live below the World Bank’s US$ 1.25 Purchasing Power Parity (PPP) per day are
categorized as poor people. In Indonesia, the Government uses the national poverty line of Rp 200,262 person/
month in 2009 (approximately equivalent to US$ 22 person/month) for planning purposes. With reference to
the prices of basic commodities in the province, provincial poverty line of Rp 185,025/person/month is used by
the Government of NTB. The greater the number of poor people in a region, the lower the access to food and
the higher the food insecurity.

3.1 POPULATION BELOW THE POVERTY LINE

The Government of NTB made substantial efforts towards reducing poverty in the province. Although all districts
reduced the poverty rate in 2007-2009, a large number of population is still living below poverty line in the
province. In 2009, 22.78% or 1.051 million people are living below poverty line. The poverty rate is higher in rural
area (28.8% in 2009) than urban area (16.4%). Table 3.1 shows higher poverty rates were found in Lombok
Barat, Lombok Timur and Sumbawa districts.

Table 3.1: Number and Percentage of Population Below District


Poverty Line
No District 2008 2009
Number (000) % Number (000) %
1 Lombok Barat 222.16 25.97 208.49 24.02

2 Lombok Tengah 197.22 22.32 187.59 20.94

3 Lombok Timur 284.26 25.43 270.61 23.96

4 Lombok Utara* - - - -

5 Sumbawa 109.63 25.31 104.98 23.85

6 Dompu 54.73 24.52 49.52 21.76

7 Bima 94.93 21.79 89.7 20.42

8 Sumbawa Barat 25.17 24.27 24.34 23.01

Total NTB 1,080.60 23.81 1,051.00 22.78

Total Indonesia 34,963.30 15.42 32,529.90 14.15

* New district
Source: SUSENAS Modul of Consumption 2008-2009

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 15


The percentage of people living below the provincial poverty line estimated at sub-district level shows more
pronounced differences between the sub-districts (Map 3.1). Out of 105 sub-districts, 18 sub-districts in 7
districts had poverty rates above 30% (Table 3.2). Poverty alleviation efforts should prioritize these sub-districts.

Table 3.2: Number of Sub-districts With More Than 30% People Below
Poverty Line in 2008

No District Number of sub-districts with more than 30%


people below poverty line

1 Lombok Barat 3

2 Lombok Tengah 0

3 Lombok Timur 5

4 Lombok Utara 1

5 Sumbawa 4

6 Dompu 1

7 Bima 2

8 Sumbawa Barat 2

Total NTB 18

Source: SUSENAS CORE 2007-2009, SUSENAS MODULE 2008, PODES 2008, BPS

Figure 3.1 shows a clear dominance of the agricultural sector as people is source of income. Apart from the
income derived from crop harvest, trade emerged as the second significant source of income in many parts of
the province, followed by services. With agricultural productivity remained stagnant in recent years, high land
fragmentation in densely populated regions and erratic rainfall in some parts of NTB, the people dependant
on crop production (on their own land or shared cropping basis) as the major source of income are adversely
affected, resulting in many of them either falling below or hovering around the poverty line.

Figure 3.1: Main Income Sources According to Sectoral Classification

Source: PODES 2008, BPS

3.2 OPEN UNEMPLOYMENT RATE (OUR)

The main source of manpower data is the National Labour Force Survey (SAKERNAS). Since 2005,
SAKERNAS has been conducted twice a year, in February and August. In order to adapt to the International Labour
Organization (ILO) new concept, both employment status and open unemployment have been extended since

16 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


the 2001 SAKERNAS. The total labour force represent people aged 15 and over, who were working; temporarily
absent from work but having jobs; and those who did not have work and were looking for work, in the previous
week.

Open unemployment now consists of the population who was looking for work, population who was establishing
a new business/firm/establishment, population who was feeling hopeless of getting a job, and population who
has made arrangements to start working but not has actually started yet. The total Open Unemployment Rate
(OUR) is the ratio of total open unemployment over total labour force.

Table 3.3 shows that at the province level, the OUR remained unchanged at slightly above 6% during
2007-2009, and reduced by around 0.36% from 6.48% in 2007 to 6.12% (around 131,000 people) in 2009.
This suggests that the gradually reducing poverty and rising real wages as a result of the economic growth
had some positive effect on the employment situation at the province level during 2007-2009. Disparities in
unemployment remained high between regions. In 2009, in comparison with province OUR, the highest OUR
was found in Sumbawa Barat district (8.32 %), followed by Sumbawa (6.95%) and Dompu (6.94%). The lowest
OUR was in Bima district (4.71%).

Table 3.3: Open Unemployment Rate (OUR)

No District 2007 2008 2009

1 Lombok Barat 6.07 6.98 4.93


2 Lombok Tengah 6.49 5.57 5.22
3 Lombok Timur 5.02 3.99 5.80
4 Lombok Utara* - - -
5 Sumbawa 5.49 5.77 6.95
6 Dompu 5.22 6.70 6.94
7 Bima 4.99 4.72 4.71
8 Sumbawa Barat 4.81 5.65 8.32

Total NTB 6.48 6.13 6.25


* New district; Source: National Labor Force Survey, BPS 2006-2009

3.3 ACCESS TO BASIC INFRASTRUCTURE (ROAD)

Lack of access to infrastructure results in “localized poverty”, where people living in isolated/remote areas with
geographical difficulties and poor market linkages lack both economic opportunities and adequate levels of
service delivery. They tend to have no, or limited, access to government development programmes.

Investments in infrastructure, particularly transportation infrastructure (roads, ports, airports, etc), electricity,
agricultural infrastructure (irrigation), educational and health facilities, can completely transform any area, thus
creating the basis for economic growth and greater participation of people living in remote areas.

In the agriculture sector, one reason for low incomes is the low farm gate prices in rural areas compared with
the urban price for the same goods of the same quality (not yet transformed or processed). Farm gate prices are
low as a result of high real transport costs for rural marketable surpluses. Transport costs are even higher for any
transport methods other than motor vehicle-over tracks and trails by human porters or animals, for example, in
areas without roads. In a rapid assessment of causes of poverty in five Indonesian districts, villagers in isolated
areas identified high transport costs as a major cause of poverty.

Higher farm gate prices mean higher incomes for people in agriculture. But higher incomes for isolated rural
populations are not enough. It should be supported by access to services and infrastructure investments to
guarantee better income for the farming communities.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 17


With improved road access, teachers might be more willing to staff poor rural schools, increasing human
capital in these poor regions. Agricultural extension workers would be able to reach farmers, providing technical
know-how and advice to increase productivity. Rural villagers could reach health stations, and child mortality
might be reduced. The multiplier effects of improved road access in villages will be reflected in the villagers’
improved economic and social capitals.

Under-development of infrastructure hinders the growth rate of a region. Better infrastructure will attract greater
investments in all sectors, thus giving power for sustainable livelihoods. Road access provides greater market
access to producers, sellers and buyers. Road access will give more opportunities to people to access basic services
such as education, health and so on, which will contribute towards better living standards. Well-connected regions
with roads will also receive other infrastructure support which will strengthen the communities’ livelihoods.

In NTB province, around 3.18% of villages were not accessible by four-wheeled vehicles at certain times. This is
based upon the BPS Villages Potential Survey (PODES 2008). Map 3.2 depicts the percentage of villages without
access to four-wheeled vehicle roads. It shows that the accessibility by four-wheeled vehicles was particularly
inadequate in parts of Sumbawa, Sumbawa Barat and Bima districts. However, according to the recent update
by district officials, all villages in Bima district have access to four-wheeled vehicle roads in 2009. The sub-districts
which had the highest percentage of the villages which were not accessible by four-wheeled vehicles are shown
in Table 3.4.
Table 3.4: Percentage of Villages Not Accessible by Four-wheeled Vehicles

No % of villages not accessible


District
by four-wheeled vehicles
1 Lombok Barat 0.00

2 Lombok Tengah 0.81

3 Lombok Timur 0.00

4 Lombok Utara 3.03

5 Sumbawa 8.48

6 Dompu 0.00

7 Bima 5.08

8 Sumbawa Barat 8.16

Total NTB 3.18

Source: PODES 2008, BPS

Figure 3.2: Modes of Transportation in NTB Province

Source: PODES 2008, BPS

18 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Figure 3.2 shows that road travel is the main mode of transport in NTB province. However, there are several
sub-districts where waterways also form a significant part of the transportation mode. Poor quality roads - or
even no roads at all - also mean that government services seldom enter the region. In several sub-districts such
as Moyo island in Labuan sub-district, people also use motorboats as a mode of transportation. In some villages
such as Gili Trawangan and Gili Meno in Pemenang sub-district, there was a traditional rule which restrict the
use of vehicles. However, due to lack of available and reliable data on water transportation, this indicator was
not used as an indicator for infrastructure access.

3.4 ACCESS TO BASIC INFRASTRUCTURE (ELECTRICITY)

Access to electricity is a good indicator of economic welfare and livelihood opportunities for a region. Electricity
access at household level provides opportunities for better living conditions. According to the SUSENAS (National
Socioeconomic Survey) 2008, 92.38% of the households in Indonesia have access to electricity as compared
with 88% in the SUSENAS 2002. In NTB province, 85.37% of the households have access to electricity in NTB
province, which is higher than most eastern provinces of Indonesia but still lower than national average. Table
3.5 shows that the number of households without access to electricity is particularly high (more than 20%) in
2 districts, namely Lombok Timur and Dompu. At the sub-district level, the access to electricity is very limited in
Masbagik (34.85%) and Pringgasela (32.75%) and Keruak (31.47%) sub-districts.

Table 3.5: Percentage of Households Without Access to Electricity

No District % Without Access to Electricity


1 Lombok Barat 10.29
2 Lombok Tengah 14.49
3 Lombok Timur 25.86
4 Lombok Utara 12.56
5 Sumbawa 4.26
6 Dompu 23.06
7 Bima 11.79
8 Sumbawa Barat 4.81

Total NTB 14.63

Total Indonesia 7.62


Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS

3.5 STRATEGIES FOR REDUCING POVERTY, IMPROVING ACCESS TO


FOOD AND LIVELIHOOD

Improvement of infrastructure access requires very high levels of investment. In general, districts and
provinces do not have adequate revenues for infrastructure improvement. Moreover, topographic constraints make
infrastructure development projects very expensive. The pushing power of the economy as a result of
improved infrastructure provides greater opportunities for the government to gain more income. Access to basic
infrastructures is the key to economic growth and poverty reduction. Regional Mid Term Development Plan of
NTB Province 2009-2013 describes the strategies of the government of NTB Province to reduce poverty, which
include:
• Accelerating the fulfillment of basic needs of the poor;
• Encouraging the development of microfinance institutions to support rural economy;
• Encouraging the development of agribusiness;

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 19


• Encouraging the development of strategic areas/part;
• Promoting equal development of infrastructure between rural and urban areas, and in small and
isolated islands;
• Increasing in the access to electricity through PLN (State Electricity Agency); and
• Encouraging the development and utilization of alternative source of electricity.

All poverty reduction strategies will have to be integrated and poor communities must be engaged in poverty
reduction efforts so that their capacities are enhanced. Evidence shows that involving and developing the
capacity of communities is extremely effective in poverty alleviation efforts. A robust and structured social
security system, either in the form of direct cash social assistance for those who are vulnerable or a social security
system based on integrated and effective poor community empowerment programme, needs to be established
or strengthened.

Climatic Change Adaptation will be one of the key factors that will guarantee sustainable improvements in food
and livelihood access of the vulnerable households. Smallholder farmers should be protected from harvest losses
as a result of climatic shocks through innovative social protection initiatives.

Livelihood diversification will enhance the resilience of vulnerable households against any shocks. These
households will be able to cope better if they have more than one source of income. Mostly, it has been observed
that vulnerable households adopt negative coping strategies during adverse times, many of which are irreversible.
This is mainly due to lack of secondary sources of income beyond their principal livelihoods. Any well thought out
livelihood diversification programme can address this challenge, thereby enhancing households’ ability to improve
their living standards without adopting any harmful strategies.

20 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


CHAPTER 4
FOOD UTILIZATION

The third pillar or dimension of food security is food utilization. Food utilization refers to: a) households’ use of
the food to which they have access, and b) individuals’ ability to absorb nutrients – the conversion efficiency of
food by the body.

Food utilization by households depends on: (i) the facilities they have for food storage and processing; (ii) their
knowledge and practices in relation to food preparation, the feeding of young children and other dependent
individuals including sick and elderly people which may be impaired by low education of mothers and care
givers, cultural beliefs and taboos; (iii) how food is shared within the household; and (iv) the state of health of
each individual which may be impaired by disease, poor hygiene, water, sanitation, lack of access to health
facilities and health care.

This chapter shows food consumption pattern of population. Due to non-availability of data at the district level,
explanations are limited to the provincial level. Analysis and maps of the other selected indicators (access to
health facilities, improved drinking water, female illiteracy, and health and nutrition outcome) for the sub-district
level are presented in the subsequent sections.

4.1 FOOD CONSUMPTION

Food consumption presented in the Provincial FSVA indicates the level of energy intake of the population which is
expressed in energy (Kcal) per person per day, and protein intake expressed in grams per person per day. Food
consumption was calculated based on monthly expenditure on food at household level of the annually surveyed
representative sample.

Food Consumption Pattern

In Table 4.1, the average daily energy intake in 2009 was calculated at 1,956 kcal/person/day, lower than the
national Recommended Daily Allowance (RDA, set at 2,000 kcal). The protein intake was 54.86 gram/person/
day, slightly surpassed the national RDA (set at 52 gram). Energy intakes increased by 0.42% and protein
intakes decreased by 0.23% as compared with that in SUSENAS 2002.

At individual level, significantly improved food consumption was reported in 2009 in all the Monthly Per Capita
Expenditure (MPCE) groups, including the three lowest classes. Among the three lowest groups presented in
Table 4.1, the level of increase varied between 18% and 19% for energy, and between 16% and 20% for
protein.

However, both energy and protein intakes of the three lowest MPCE groups were much lower than the national
RDA, the national average and the provincial average. The lower the MPCE, the higher the deficit of energy and
protein was seen. The level of energy deficit varied between 13% in the 3rd lowest group (MPCE 3) and 37% in
the first lowest groups (MPCE 1), while the protein deficit was between 11% and 39%, respectively. This means
that people in the first lowest group (MPCE 1) consumed only 63% of national recommended daily energy
allowance and 61% of national recommended daily protein allowance.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 21


Table 4.1: Per Capita per Day Calorie and Protein Consumption among Three Lowest Monthly
per Capita Expenditure (MPCE) Classes

Montlhy Percapita Expenditure Class (MPCE)


Provincial National
MPCE 1 MPCE 2 MPCE 3 Average Average
Food Groups
(< Rp 100,000) ( Rp 100,000 - 149,999) ( Rp 150,000 - 199,999)
Calorie Protein (g) Calorie Protein (g) Calorie Protein (g) Calorie Protein (g) Calorie Protein (g)
Cereals 1043.96 24.44 1101.26 25.79 1172.92 27.46 1146.01 26.83 1,042.68 24.49
Tubers 6.38 0.05 12.27 0.09 17.69 0.12 17.06 0.13 54.60 0.40
Fish 7.21 1.27 16.94 2.92 23.32 4 30.86 5.33 46.31 7.64
Meat 2.38 0.14 3.26 0.2 6.36 0.41 22.17 1.5 24.67 1.47
Eggs and Milk 1.53 0.12 5.31 0.37 9.37 0.7 29.28 1.83 36.56 2.18
Vegetables 29.9 2.43 39.16 3 50.52 3.87 49.65 3.71 43.63 3.00
Legumes 11.47 1.12 25.63 2.22 41.31 3.57 56.62 4.79 50.60 4.58
Fruits 6.86 0.07 10.11 0.11 21.26 0.22 37.16 0.37 40.27 0.41

Oil and Fats 52.41 0.06 88.8 0.09 126.3 0.18 150.79 0.22 232.88 0.44

Beverages 20.55 0.23 35.58 0.37 56.62 0.55 64.91 0.65 105.57 1.01

Spices 5.81 0.26 9.68 0.4 12.74 0.61 15.05 0.71 15.46 0.67

Mics.food items 7.13 0.16 14.68 0.31 27.54 0.59 46.25 0.97 49.94 1.03

Prepared food 65.66 1.51 111.17 2.93 164.13 3.86 290.41 7.82 218.39 5.75

Total 1,261.25 31.86 1,473.85 38.80 1,730.08 46.14 1,956.22 54.86 1,961.56 53.07

% Change as 0% 0% +19% +16% +18% +20% -4% -3% +0.42% -0.23%


compared with
SUSENAS 2002

The level of 63% 61% 74% 75% 87% 89% 98% 106% 98% 102%
meeting the
national RDA*
*National RDA: 2,000 Kcal and 52 gram of protein/person/day
Source: SUSENAS 2009, SUSENAS 2002

The diet of these three lowest MPCE groups was not only energy and protein deficient, but also qualitatively
imbalanced with a large proportion (68-83%) of total energy being provided by cereals and tubers, as compared
with provincial average and national average (both 53%).

Similarly, the major source of proteins in their diet still came from cereals and tubers (60-77%), whereas the
national average was 46%. The consumption of animal foods (fish, meat, egg, milk) which contain better
quality nutrients, especially protein, vitamins and minerals, among these groups was only 5-11% of total energy
consumption, while the provincial and national average was 16% and 21%.

Consequently, additional assistance is still required to improve the energy intake and protein of the three lowest
MPCE groups. At the same time, nutrition education for population on the importance of foods other than cereals
and tubers and the need to increase the consumption of these foods should be intensified.

4.2 ACCESS TO HEALTH FACILITIES

According to NTB Province Health Profile 2009, NTB had 15 hospitals, 147 community health centers, and 534
other health facilities.

Table 4.2 shows that 97% of the villages in the province had access to health facilities located within 5 km. The
access was poor in Lombok Utara, where less than 90% of villages had access within 5 km. The figure varies
more at sub-district level (Annex 3.1).

22 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Table 4.2: Percentage of Households With Limited Access to Improved Drinking Water
and Percentage of Villages With Limited Access to Community Health Center

No Percentage of
District Community Other Percentage of Villages with
Households with
No District Hospital* Health Health limited access to Community
limited access to improved
Center* Facitlities* Health Center (> 5 Km)**
drinking water***

1 Lombok Barat 1 15 56 1.14 11.33

2 Lombok Tengah 2 23 84 2.42 22.86

3 Lombok Timur 2 29 85 0.84 22.70

4 Lombok Utara 0 5 22 9.09 18.56

5 Sumbawa 1 24 95 4.24 7.39

6 Dompu 1 9 44 0.00 10.20

7 Bima 2 20 81 3.39 13.54

8 Sumbawa Barat 0 8 29 6.12 4.16

Total NTB 15 147 534 2.63 15.92

Total Indonesia 1,319 8,234 - 11.83 20.17

Source: * NTB in Figure 2010, BPS, ** PODES 2008, *** SUSENAS KOR 2007-2009, PODES 2008, BPS

4.3 POPULATION WITH LIMITED ACCESS TO IMPROVED DRINKING


WATER

As presented in the table 4.2, 15.92% of the households in the province did not have access to improved drinking
water (protected well/borehole/spring water, tap water, and rain water). The districts having the poorest access
were Lombok Tengah (22.86% without access) and Lombok Timur (22.70%). The better access was reported in
Sumbawa Barat (95.84%) and Sumbawa (92.61%).

At the sub-district level, Keruak sub-district in Lombok Timur and Bolo sub-district in Bima had more than 30%
of its households without access to improved drinking water (Annex 3.1).

4.4 FEMALE ILLITERACY

Women’s literacy, especially mothers and care givers of young children is well known to influence the health
and nutritional status, and hence is a very important determinant of food utilization. Studies worldwide have
shown that the basic mother’s level of education and awareness explains the nutritional situation of children in
developing countries. It has been proven globally that under-nutrition is strongly correlated with mother’s
educational level.
Table 4.3: Female Illiteracy Rate

No District Female Illiteracy Rate (%)


1 Lombok Barat 30.33

2 Lombok Tengah 36.48

3 Lombok Timur 29.22

4 Lombok Utara 35.25

5 Sumbawa 16.19

6 Dompu 23.67

7 Bima 20.17

8 Sumbawa Barat 15.74

Total NTB 27.03

Total Indonesia 10.93


Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 23


The proportion of females classified as illiterate is 27% in NTB province. This is more than twice the national
average and second highest among 33 provinces in Indonesia. Table 4.3 shows the proportion in each district.
The highest female illiteracy rate was found in Lombok Tengah (36.48%) and Lombok Utara (35.25%) where
one in every three women was illiterate, followed by Lombok Barat (30.33%). Meanwhile, the lowest illiteracy
rate was found in districts in Sumbawa island such as Sumbawa Barat (15.74%) and Sumbawa (16.19%).

4.5 NUTRITIONAL STATUS

Food security is one of determinants contributing to good health and nutritional status of people. The nutritional
status of a child is an outcome of what the child eats as well as diseases she/he is suffering from. Nutrition status
of young children aged under five years old is measured by 3 indicators:

1. Underweight (a weight-for-age ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 World Health
Organization-WHO reference, which refers to mixed acute and chronic malnutrition);
2. Stunting (a height-for-age ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 WHO reference, which
refers to persistent, long term, chronic malnutrition);
3. Wasting (a weight-for-height ratio of less than -2 z-scores of the median of the 2005 WHO reference,
which refers to acute or recent malnutrition).

The WHO classifies the level of public health significance of nutritional situation in a certain country, region or
district according to the level of underweight, stunting and wasting as follows:

Classification Underweight Stunting Wasting

Acceptable < 10% < 20% < 5%

Poor 10-19% 20-29% 5-9%

Serious (high) 20-29% 30-39% 10-14%

Critical (very high) ≥ 30% ≥ 40% ≥ 15%

Stunting prevalence at district level is presented in Table 4.4 as additional information to explain the impact of
chronic food insecurity.

According to the latest Basic Health Research (RISKESDAS) conducted in 2007, the prevalence of severe and
moderate underweight among under-five children was 24.80% in NTB province. The prevalence ranks the
province at ‘serious (high)’ level of public health significance according to the WHO classification above. The
Research also revealed that chronic malnutrition (stunting) was widely prevailing among young children in the
province. Overall, provincial prevalence of stunting was 43.65% in 2007, ranked at very high (critical) level of
public health significance according to the WHO classification.

According to the latest RISKESDAS research conducted in 2010, the provincial level prevalence of underweight
and stunting was 30.51% and 48.21%, respectively. District and sub-district level prevalence is not available
from this research.

In 2009, a sub-district level Nutritional Status Survey (PSG) was conducted in all districts in the province by
NTB Province Health Office in accordance with National Guidelines from Ministry of Health. Higher prevalence
of underweight was found in Bima (24.84%), Lombok Utara (23.08%), Lombok Timur (22.62%) and Lombok
Barat (22.07%). Higher prevalence of stunting was also found in the same districts in addition to Lombok Tengah
(Table 4.4).

24 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Table 4.4: Percentage of Underweight and Stunted Under Five Years Children

No District Children (<5 yrs) Underweight Children (<5 yrs) Stunting

1 Lombok Barat 22.07 40.57


2 Lombok Tengah 17.21 41.32
3 Lombok Timur 22.62 42.15
4 Lombok Utara 23.08 47.76
5 Sumbawa 20.23 36.28
6 Dompu 16.35 24.95
7 Bima 24.84 42.16
8 Sumbawa Barat 12.39 36.39
Total NTB 20.87 38.91
Total Indonesia (Riskesdas 2010) 18.00 35.60

Source: Nutritional Status Survey (PSG) NTB, 2009

At sub-district level, 15 sub-districts had very high/critical level, 47 of sub-districts had high/serious level, 49
sub-districts had poor level, and only 5 sub-districts had acceptable level. This means that more than 96%
sub-districts had poor–critical underweight level in the province (Annex 4).

4.6 HEALTH OUTCOME

Life expectancy is an outcome of health and nutrition status. In NTB province, the average of life expectancy
was 61.50 years in 2008. Although it shows increase in recent years, it is still lower than national average, 69.
The highest life expectancy was reported in Bima (62.31) and the lowest was in Lombok Barat (59.65). At the
sub-district level, only 4 sub-districts had the life expectancy of 64 years or more (Annex 4.1 and Map 4.5). The
provincial government has set a target in life expectancy in provincial Medium Term Development Action Plan
(RPJMD).

Strategies for improving health and nutirion status of nutritionally vulnerable groups

Chronic malnutrition (stunting) remains at very high level in NTB province. Chronic malnutrition is resulted
from poor fatal growth and reduced growth in the first two years of life, mainly due to a combination of
inadequate nutrient intake, high disease exposure and poor caring practices. It causes irreversible damages, leads to
substantial increases of under-five mortality and the overall disease burden.

Early under nutrition, especially stunting, leads to reduced physical and mental development during young ages,
which subsequently affects school performance and attendance. Undernourished children are more likely to start
school later and drop out earlier. This devastating impact on early development adversely affects their income
earning potential for life, making it very difficult to rise out of poverty. In addition, undernourished children who
put on weight rapidly at later stages of childhood and adolescence are more likely to develop chronic diseases
(diabetes, hypertension and coronary heart disease) related to nutrition. The long-term damage caused by early
childhood under nutrition also includes shorter adult height and low birth weight babies born to women, which
perpetuates the problem in the next generation.

To reduce high rates of stunting, nutrition interventions should be planned and implemented urgently and
more effectively at all levels, from household to provincial and national levels. To effectively prevent and treat
different forms of under nutrition, it is important that nutritionally vulnerable groups are prioritized, underlying
multi-dimensional causes are understood, appropriate and effective interventions to address identified causes are
selected, and commitment and investment in nutrition are increased.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 25


Table 4.5: Life Expectancy

No District Life Expentacy (year)


1 Lombok Barat 59.97

2 Lombok Tengah 60.24

3 Lombok Timur 59.70

4 Lombok Utara* -

5 Sumbawa 60.51

6 Dompu 60.83

7 Bima 62.31

8 Sumbawa Barat 60.94

Total NTB 61.50

Total Indonesia 69.00


* New district
Source: SUSENAS CORE 2007-2009, PODES 2008, BPS

The following nutrition strategies are recommended:

1. Focus on nutritionally vulnerable groups, including:


a. Children younger than two years of age. The first two years of life which are most critical are know
as “window of opportunity” because preventing under nutrition at this age benefits children and
society throughout the rest of their life. Although most damage is done and should be prevented from
conception (i.e. 9 months) to 24 months of age, children’s vulnerability to diseases and risk of death
remains high during first five years. That’s why many health and nutrition interventions focus on
all under-fives. Health and nutrition interventions should prioritize under two years children, and if
resources permit, under five years children.
b. Moderately malnourished children. They have a higher risk of dying due to increased susceptibility to
infections. The detected moderately malnourished children should be properly treated to prevent from
becoming severely malnourished.
c. Pregnant and lactating women because they have greater nutritional needs for fetal growth and
development, and for producing breast milk for their infants.
d. Micronutrient deficiencies among people of all age groups, especially young children, pregnant and
lactating women. Micronutrient deficiencies are assumed to be widespread in the population due
to heavily carbohydrate-based diets, low intake of proteins (animals, vegetables, fruits) and fortified
foods. In this context, stunting is usually widely prevalent.

2. Plan and implement multi-sectoral interventions to address THREE underlying causes (food, health and
care related) of under nutrition.
A single sector alone (health or education or agriculture) cannot effectively address multi-faceted causes of
the problem.
a. Direct interventions with direct benefits for nutrition (mostly through Health Sector):
• Improving maternal nutrition and care, especially during the second half of pregnancy:
frequent, diversified and nutritious meals; daily taking iron tablets or multiple micronutrient powder
(Sprinkle); at least 4 ante-natal care check-ups during a pregnancy.
• Promoting breastfeeding during 0-24 months: initiation of breastfeeding as soon as after birth;
exclusive breastfeeding up to first six months; continued breastfeeding up to 24 months;
continued breastfeeding during child’s sickness.

26 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


• Improving complementary feeding of 6-24 months children: start complementary feeding from
7th month; frequent small, diversified and nutritious meals (animal foods, eggs, bean, peas,
peanuts, vegetables, fruits, oil); avoiding unhealthy snacks.
• Regular monitoring weight and height of 0-24 months or 0-59 months children, if resources
permit, early detected malnutrition for timely intervention. Enhance communication with families
on child’s weight, ways to prevent and correct weight and height failure.
• Facility-based and community-based management of acute malnutrition among under-five
children according to WHO/UNICEF and MoH guidelines.
• Improving micronutrient intake: promoting iodized salt; diversified diet; fortified foods; iron tablets
for pregnant women; semi-annual vitamin A supplementation for 6-24 months children (or 6-59
months if resources permit), and lactating mothers within 1st month after birth; de-worming.
• Intensifying health and nutrition information-education-communication (IEC) on these
direct and indirect interventions, by using various channels (mass media, village loudspeakers,
village events, etc.) to address not only mothers and caregivers, but also village and religious
leaders, husbands and other family members, adolescents, teachers, extension workers, community
service providers.
b. Indirect intervention with indirect benefits for nutrition (mostly through non-health sectors)
• Promoting homestead agriculture: home gardening of vegetables, fruits, beans, peanuts; small
animal husbandry (chicken, ducks); and fish pond.
• Mobilizing community-based leaderships of village head, religion leaders, women’s
association, farmers’ association, etc. in nutrition interventions, particularly in hygiene and nutrition
education.
• Improving drinking water: increasing access to improved water sources at households and
schools; promoting the drinking of boiled water instead of raw water; constructing water tanks
to collect water during rainy seasons; encouraging students to bring drinking water to school to
prevent thirst.
• Improving hygiene and sanitation: hand washing before meals and after toilets; improving
sewage system; proper waste/excretion disposal.
• Improving women’s status: increasing female education, improving knowledge/skills on child care
and feeding; enhancing shared responsibility of husbands and other family members in child
care and feeding.
• Strengthening capacities of the related provincial, district officials in planning, implementing,
monitoring and evaluating nutrition interventions.
It should be emphasized that the indirect interventions are complementary to, but should not
substitute for direct nutrition interventions.

3. Prioritize and increase investment in nutrition and commitment to solve nutrition problems
The economic costs of child under nutrition are very high. Child under nutrition leads to losses in adult
productivity and high health care and education cost. There are various forms of childhood malnutrition that
cause productivity losses in adulthood associated with lower cognitive ability. Protein-energy malnutrition is
associated with a 10% loss, iron deficiency anemia with a 4% loss, and iodine deficiency with a 10% loss
in adult productivity. Childhood malnutrition also leads to productivity losses in manual labor.
Investments in nutrition are among the most cost-effective development interventions, because of very
high benefit-to-cost ratios, not only for individuals, but also for sustainable growth of regions and countries,
because they protect health, prevent disability, boost economic productivity and save lives.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 27


CHAPTER 5
VULNERABILITY TO TRANSIENT
FOOD INSECURITY

Vulnerability to natural disasters and other shocks can influence food security temporarily or for an extended
period. The inability to meet food needs for a temporary period is known as transient food insecurity. A sudden
natural or technological disaster, a slow onset disaster, price or market shocks, health epidemics, civil conflicts etc.
can all lead to transient food insecurity. Transient food insecurity can affect one or all dimensions of food security,
that is food availability, food access and/or food utilization.

Transient food insecurity is sometimes divided into two sub-categories: cyclical, where there is a regular pattern
to food insecurity, for example the “lean season” that occurs in the period just before harvest; and temporary,
which is the result of a short-term, exogenous shock such as a drought or flood. Civil conflict is also a temporary
shock, although the negative impact on food security due to conflict often continues over extended periods of
time. In other words, transient food insecurity affects not just those who are chronically food insecure, but also
others who are food secure in normal times.

In this chapter food insecurity is analyzed from an environmental perspective. Environmental factors and people’s
ability to cope with a shock eventually determine whether a country or a region will be able to achieve food
security. The environmental perspective of food and nutrition security will involve attention to soil
management, water harvesting and management, conservation of biodiversity and improved post-harvest technology,
environmental protection and forest management. Deforestation, over-exploitation of natural resources, rainfall
fluctuation and the percentage of areas affected by floods and landslides are some of the indicators used in this
section to explain transient food insecurity in NTB Province.

5.1 NATURAL DISASTERS

The main causes of transient food insecurity are natural disasters. Indonesia is one amongst the most natural
disaster prone countries in the world, according to the Centre for Research on the Epidemiology of Disasters
(CRED) which record major natural disasters in the world.

According to the National Disaster Management Agency (BNPB), more than 191 natural disaster events
occurred in NTB province during the period of 1990-2009, which caused 49 deaths. The natural disasters
recorded in the province are hurricanes, floods, droughts, earthquakes, landslides, tidal waves, forest fires and
epidemics. Out of 191 natural disasters, 48 were drought and 47 were flooding. Natural disasters affected the
province during 1990-2009 are presented in Table 5.1.

Natural disaster which affected each district in NTB province during 1990-2009 are presented in Figure 5.1
Natural disasters most frequently occurred in Bima, followed by Sumbawa, and Lombok Barat.

5.2 RAINFALL FLUCTUATION

Climate variability directly influences many facets of food security, particularly food availability and food
distribution. Almost all natural disaster events, including droughts, floods and windstorms, are connected with
characteristics and fluctuation of rainfall. Both droughts and floods are caused by large variations in the total

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 29


Table 5.1: Summary of Natural Disasters Which Occurred in NTB Province During 1990-2009
and Estimated Caused Damage

Events # Events Deaths Injured Severe Damaged Light Damaged Rice Field
Houses Houses (Ha)

Flood 47 4 762 1,390 8,291 6,106

Flood and Landslides 3 4 46 1,028 2,503 -

Landslides 5 8 8 15 - -

Earthquake 17 6 250 6,610 20,297 -

Drought 48 - - - - 35,516

Fire 41 4 1 370 52 -

Epidemic 4 22 987 - - -

Typhoon 20 1 - 1,416 765 -

Surge 6 - - 86 10 -

Total 191 49 2,054 10,915 31,918 41,622

Source: BNPB (http://dibi.ntbprov.go.id)

Figure 5.1: Natural Disasters Occurred in NTB Province


During 1990 - 2009

Source: BNPB (http://dibi.ntbprov.go.id)

rainfall received in each geographical division. Rainfall variation in Indonesia is influenced by some global, regional
or local factors. Global factors can include El Niño, La Niña and Dipole Mode, while the regional factors are
monsoon circulation, Madden Julian Oscillation (MJO) and the sea surface temperature in Indonesia Sea. The
local factors can include elevation, island position, the circulation of land and sea breezes and the land cover of
certain areas.

The extreme climate causes floods during the rainy season and in the dry season it causes drought. The climate
could also favor the development of pest infestation (OPT) in an explicit manner. The occurrence of flood,
drought and pest infestation adversely affects crop growth and may lead to crop failure.

Two maps are presented to describe the percentage of rainfall deviation of the 10 years (2000-2009) against
the average monsoon rainfall based on the 30 years normal rainfall data (1970-1999) across NTB province
during the dry season (April to September) and rainy season (October to March) (Map 5.1 and Map 5.2).

30 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Most areas in NTB province experienced below normal rainfall, compared with the 30 years average
rainfall data during the dry season in the period 2000-2009 (red shade in Map 5.1), except western part of
Lombok Utara and central part of Lombok Timur districts which had normal rainfall. During the rainy season,
the areas which experienced decreasing rainfall intensity were western part of Lombok Timur, northern part of
Sumbawa and northern part of Bima districts, while southern part of Lombok Timur and central part of Bima
experienced above normal rainfall (Map 5.2).

5.3 DAMAGED AREAS

A damaged area is defined as one suffering decreased crop production due to natural disasters (floods, droughts,
landslides) and/or pest infestation. The production and productivity of food crops are influenced by climatic and
weather conditions. The crop cultivation activity should consider these conditions by using forecast information on
seasonality, climate and weather changes.

The proportion of damaged paddy and maize fields during 2007 - 2009 is presented in Table 5.2. Less
damaged paddy fields were recorded in 2008 (0.80%) and 2009 (0.41%) than 2007 (4.04%). In 2007, the
highest damaged paddy fields were found in Bima (9.85%), Lombok Tengah (7.0%) followed by Dompu (5.39%)
and Sumbawa Barat (2.41%).

Similarly, less damaged maize fields were recorded in 2008 (0.56%) and 2009 (0.18%) than 2007 (9.23%).
In 2007, the highest damaged maize fields were found in Sumbawa Barat (40.65%), followed by Dompu
(10.48%).

Table 5.2: Proportion of Paddy and Maize Cultivated Areas Damaged by Floods and Droughts
During 2006 - 2009

District Paddy (%) Maize (%)

2006 2007 2008 2009 2006 2007 2008 2009


Lombok Barat 0.07 0.77 0.05 0.17 0.28 0.68 0.00 0.00

Lombok Tengah 0.04 7.00 1.13 1.55 0.00 4.23 0.00 0.00

Lombok Timur 0.08 1.59 0.00 0.03 0.40 1.00 0.24 0.03
Sumbawa 0.37 1.26 1.51 0.10 0.05 1.94 0.00 0.64

Dompu 0.00 5.39 0.00 0.00 0.00 10.48 0.08 0.00

Bima 2.06 9.86 1.07 0.99 0.09 5.67 0.00 0.60

Sumbawa Barat 1.95 2.41 1.81 0.05 0.00 40.65 3.61 0.00

Total NTB 0.65 4.04 0.80 0.41 0.12 9.23 0.56 0.18

Source: Agriculture Census (SP) 2009, BPS

5.4 CLIMATE CHANGE AND FOOD SECURITY

In relation to climate change, perhaps the largest concern for NTB Province, is its impact on households food
security and agriculture. Climate change is altering precipitation, evaporation, surface water run-off and soil
moisture levels. These in turn will have effects on agriculture and thus households food security. A model
simulating the impacts of climate change on crops (Goddard Institute of Space Studies, UK Meteorological
Office) demonstrates that climate change will likely reduce soil fertility by 2% to 8%, resulting in projected
decreases of paddy yield by 4% and maize yield by 50% per year.

Anticipating the impact of climate change on the food security situation, the Government of NTB province
proposed the following strategies in 2010:

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 31


1. To disseminate information on weather forecasts and the agricultural calendar;
2. To install rainfall gauges at flood and drought prone regions;
3. To hold Climate Field School (CFS) for extension officers and farmers;
4. To promote plantation of crop varieties that need less water for growth;
5. To cultivate a second crops such as maize, cassava, sweet potatoes, pulses (Palawija) that needs less
water;
6. To cultivate plants appropriate to the specific conditions of a location;
7. To distribute drought-resistant seeds and second crop seeds for the rotation of rice crops; and
8. To intensively supervise and monitor areas at higher risk of being affected by drought.

5.5 DEFORESTATION

Indonesia is one of the mega biodiversity countries in the world that is located in the biological diversity track
of the Asian and Australian continents and Wallacea (i.e. a bio-geographical designation for a group of
Indonesian islands separated by deep water straits from the Asian and Australian continental shelves). The islands of
Wallacea lie between Sunda land (the Malay Peninsula, Sumatra, Borneo, Java, and Bali) to the West, and Near
Oceania including Australia and New Guinea to the South and East. The total land area of Wallacea is 347,000
km².

Indonesia has the third highest area of tropical forest in the world and plays a key role as a lung of the earth
as well as contributing towards stabilizing the global climate. The forest management in Indonesia is carried
out through the determination of forest and its conservation function, protected area and cultivated area. The
total area of the country’s forested areas, including land and marine conservation, was calculated based on the
Forestry Minister’s Decision on the Appointment of forest and marine conservation areas and the Forest Map
Governance Agreement (TGHK). It was estimated at approximately 137.09 million ha, and consisted of 3.39
million ha of marine conservation, 20.14 million ha of land conservation area, 31.6 million of protected area and
81.95 million ha of cultivated area.

The dependency of people on the forest is still quite high, particularly amongst people who live in or near the
forests and who require agricultural land to meet their livelihood needs. In NTB province, 34 villages out of a total
820 (4.15%) were located in forest areas, and another 222 villages (27.07%) were located near forests. Among
the former, 33 villages (97.06%) had their main income source from the agricultural sector; among the latter,
agriculture was the major income source in almost 219 villages(98.65%).

In line with the expanding regional economy, various activities have caused changes in land utilization. Land
cover change in forest areas has occurred, quickly leading to deteriorated forest conditions and decreased forest
areas.

The average deforestation rate in Indonesia during 2003-2006 was 1.17 million ha/year. NTB province had the
sixth highest deforestation rate (58,840 ha/year) among 33 provinces in Indonesia during the same period, after
Kalimantan Timur, Riau, Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah and Kalimantan Tengah. The deforestation rate
in NTB covered 22.24 thousand ha/year in forest area and 36.60 thousand ha/year outside forest area (the
areas shown under Other Use) (Map 5.5). Much of the forest loss was due to forest fires, forest conversion for
agriculture using slash and burning techniques, conversion of forested land into settlement/transmigration, mining
activity, etc.

32 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


The deforestation data was based on the analysis of Landsat satellite imagery during the 2002/2003 and
2005/2006 periods. With a high deforestation rate, NTB’s forests are under serious threat. The loss of forest
cover will impact on food security of the rural poor who live in, or near, forest areas and depend on the forests’
biodiversity and natural products for their livelihoods because the forest is their major source of fruits, medicinal
plants and edible plants. The poorest rural people are likely to suffer first and most when those habitats are
degraded or impoverished.

From an environmental sustainability perspective, forest degradation will also impact on water resources.
Soil erosion as a result of ground cover clearance will lead to sedimentation of waterways that may have a
negative impact on activities in downstream or lowland areas. Water shortages will also affect agricultural
systems, fisheries and dam operations. Forest and land rehabilitation must be carried out to reduce the
degradation rate of forest.

Strategies for Sustainable Food Security

An area that is currently enjoying food security situation may not remain food secure forever unless strategies and
practices that are adopted by farmers and policy makers are environmentally sustainable. Moreover, impact of
disasters could also pull back a region many steps, if the area does not have enough disaster preparedness. The
following strategies are recommended for all vulnerable districts of NTB Province in order to achieve sustainable
food security:

a. Reforestation and slowing down deforestation: All districts in the province should embark upon a
comprehensive plan for slowing down deforestation and regeneration of currently earmarked degraded
forests. Coastal areas should concentrate on mangrove regeneration. As a result of climate change, NTB
province is expected to have lower rainfall days, but sometimes with higher rainfall intensity. Districts with
very little vegetative cover will have the danger of increased flash floods and landslides;

b. Watershed developments: All districts in the province should plan for integrated watershed
development projects for improved soil and water management. On one hand, the measures will enhance land
productivity for higher crop yield, and on the other hand, use of appropriate indigenous techniques will
create more sustainable agricultural livelihoods for the people;

c. Disaster preparedness and contingency planning: The districts that frequently experience disasters should
prepare community level contingency plans and put necessary structures and institutions in place for
greater disaster risk reduction;

d. Early warning and surveillance system: Innovative food and nutrition early warning and surveillance
system need to be put in place in all disaster prone districts for timely identification of risks and undertaking
corrective measures to mitigate possible impacts of any impending disaster; and

e. Mainstreaming climate change issues in all policies and projects: the government at all levels, UN and other
NGOs should ensure that all the policies and programmes developed by them for Indonesia adequately
address the challenges of climate change. Agencies also must ensure that the policies and programmes
addressing climate change are pro-poor in nature for them to be successful.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 33


CHAPTER 6
VULNERABILITY TO CHRONIC
FOOD INSECURITY BASED ON
COMPOSITE FOOD SECURITY ANALYSIS
As mentioned in Chapter One, the composite vulnerability to chronic food insecurity was determined based on
nine indicators detailed in Chapter Two, Three and Four, which are related to food availability, food access and
livelihoods, and food utilization and nutrition. The vulnerability map of composite food insecurity (Map 6.1) was
made by the Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis.

The composite maps tell us whether a sub-district is vulnerable to food insecurity due to a combination of
various food security related factors. Then, by looking at all individual maps, one can identify main characteristics
of food insecurity and vulnerability in a sub-district. It should be mentioned that characteristics of food insecurity
and vulnerability vary between the regions, and hence the solution for attaining food security will also differ.
The maps and report help us to understand the basic differences and similarities between sub-districts, and
therefore will help decision makers to take appropriate steps to address the most critical issues relevant in their
areas.

64 sub-districts are selected as Priority 1-3 while 41 sub-districts as Priority 4-6 based on
the result of the PCA and Cluster Analysis. Therefore, the composite map illustrates these
64 sub-districts in dark red shades (Priority 1), red shades (Priority 2) and light red shades
(Priority 3). The darker shades imply sub-districts that need higher priority in handling food insecurity problems
and improve food security.

The mapping only highlights the likely prevalence of food insecurity in relative terms. In other words, the areas
in red shades have higher food insecurity level and need immediate attention. However, it should be explained
that a sub-district shown in dark red (Priority 1) does not mean that all people living there are food insecure.
Similarly, a sub-district in green (Priority 6) does not mean that all people living there are food secure.

Table 6.1: 64 Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security Analysis

District Sub-District Priority District Sub-District Priority


Lombok Tengah Praya Barat 1 Lombok Timur Sakra Timur 1

Lombok Tengah Pujut 1 Lombok Timur Terara 1

Lombok Tengah Praya Timur 1 Lombok Timur Sikur 1

Lombok Tengah Janapria 1 Lombok Timur Masbagik 1

Lombok Tengah Kopang 1 Lombok Timur Pringgasela 1

Lombok Tengah Praya 1 Lombok Timur Sukamulia 1

Lombok Tengah Praya Tengah 1 Lombok Timur Labuhan Haji 1

Lombok Tengah Jonggat 1 Lombok Timur Pringgabaya 1

Lombok Tengah Pringgarata 1 Lombok Timur Suela 1

Lombok Tengah Batukliang 1 Lombok Timur Wanasaba 1

Lombok Tengah Batukliang Utara 1 Lombok Utara Pemenang 1

Lombok Timur Keruak 1 Lombok Barat Sekotong Tengah 2

Lombok Timur Jerowaru 1 Lombok Barat Lembar 2

Lombok Timur Sakra 1 Lombok Barat Gerung 2

Lombok Timur Sakra Utara 1 Lombok Barat Labu Api 2

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 35


Table 6.1 (contd): 64 Higher Vulnerable Sub-districts Based on Composite Food Security
Analysis
District Sub-District Priority District Sub-District Priority

Lombok Barat Kediri 2 Dompu Kilo 2

Lombok Barat Kuripan 2 Dompu Kempo 2

Lombok Barat Narmada 2 Dompu Manggalewa 2

Lombok Barat Lingsar 2 Dompu Pekat 2

Lombok Barat Gunung Sari 2 Bima Woha 2

Lombok Barat Batu Layar 2 Bima Belo 2

Lombok Timur Montong Gading 2 Sumbawa Barat Maluk 2

Lombok Timur Suralaga 2 Sumbawa Barat Brang Rea 2

Lombok Timur Selong 2 Lombok Utara Tanjung 2

Lombok Timur Aikmel 2 Lombok Utara Bayan 2

Lombok Timur Sambelia 2 Lombok Tengah Praya Barat Daya 3

Sumbawa Sumbawa 2 Lombok Timur Sembalun 3

Sumbawa Lantung 2 Sumbawa Lenangguar 3

Dompu Hu’u 2 Bima Wawo 3

Dompu Pajo 2 Sumbawa Barat Jereweh 3

Dompu Dompu 2 Lombok Utara Gangga 3

Dompu Woja 2 Lombok Utara Kayangan 3

Table 6.1 shows 64 higher vulnerable sub-districts based on composite food security analysis. Most parts of
Lombok Island are among these priority sub-districts in terms of their vulnerability to food insecurity.

Figure 6.1. shows that all sub-districts most vulnerable to food insecurity of Priority 1 are located in Lombok
Island. Among 26 sub-districts of Priority 1, 14 are in Lombok Timur, 11 in Lombok Tengah, and one in Lombok
Utara.

Figure 6.1: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 1 Based on


Composite Food Security Analysis

Figure 6.2: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 2 Based on


Composite Food Security Analysis

36 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Annex 6.2 indicates that main determinants of the sub-districts with higher vulnerability to food insecurity and
ranked as Priority I are: (1) limited access to electricity (2) high female illiteracy (3) limited access to clean water
(4) no access by four-wheeled vehicles (5) high population living below poverty line.

Among 17 sub-districts vulnerable to food insecurity and ranked as Priority 2 presented in Figure 6.2, the majority
are located in Lombok Barat (10 sub-districts), Dompu (8 sub-districts), Lombok Timur (5 sub-districts).

It is shown in Annex 6.2 that main determinants of the sub-districts ranked as Priority 2 are (1) low life
expectancy (2) high population living below poverty line (3) high female illiteracy rate (4) limited access to electricity
(5) limited access to clean water.

Figure 6.3. indicates that sub-districts ranked as Priority 3 are located in Lombok Utara (2 sub-districts), followed
by Lombok Timur, Lombok Tengah, Sumbawa, Bima, and Sumbawa Barat (1 sub-district in each).

Figure 6.3: Number of Vulnerable Sub-districts of Priority 3 Based on


Composite Food Security Analysis

The main determinants of the sub-districts ranked as Priority 3 are: (1) high population living below poverty line;
(2) high prevalence rate of underweight among children under five years; (3) low life expectancy; (4) limited
access to electricity; and (5) high female illiteracy rate.

Table 6.2: Main Determinants of Food Insecurity per Priority

Causes

Priority 1 Priority 2

1. Without access to electricity 1. Life expectancy

2. Female illiteracy 2. Poverty

3. Without access to clean water 3. Female illiteracy

4. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles 4. Without access to electricity

5. Poverty 5. Without access to clean water

Priority 3 Priority 4
1. Poverty 1. Underweight among children under-five

2. Underweight among children under-five 2. Life expectancy

3. Life expectancy 3. Poverty

4. Without access to electricity 4. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles

5. Female illiteracy 5. Without access to electricity

Priority 5 Priority 6

1. Life expectancy 1. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles

2. Poverty 2. Underweight among children under-five

3. Without access to roads usable by four-wheeled vehicles 3. Poverty

4. Underweight among children under-five 4. Life expectancy

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 37


The annex 6.2 clearly highlights the indicators that characterize the situation in a sub-district. Shaded cells denote
the higher relative importance of certain indicator(s) for a certain sub-district.

For example, the main determinants of vulnerability to food insecurity in Pemenang sub-district in Lombok Utara
which is ranked as Priority 1, were low access to food and livelihood due to a high number of poor people, limited
access to roads, high female illiteracy rate and low life expectancy.

As for Keruak sub-district in Lombok Timur district, main determinants were also high number of poor people, low
life expectancy, high prevalence rate of underweight among children under five, and low access electricity.

Similarly, although Mada Pangga sub-district in Bima District is in the ‘Sub-district of Priority 4’, with a green color
which indicates a better food security situation, attention is still required to address issues of underweight among
children under five, life expectancy, and female illiteracy.

By overlaying the vulnerability map of chronic food insecurity and the vulnerability maps of transitory food
insecurity, we can see the overlapping areas. These areas are recommended to develop contingency plans to
mitigate the impact of natural disasters on food security by closely involving the vulnerable communities.

Since the characteristics of food insecurity are different, the solutions will also vary by district and sub-district. An
overall framework of the causes and the type interventions to improve food security is given in Figure 6.4. Main
characteristics of food insecurity in each district and recommended interventions are summarized in Table 6.3.

Figure 6.4: Framework of The Causes and The Type Interventions to Improve Food Security

Food security improvement strategies need to be implemented through twin-track approaches:


1. Immediate approach: Development of agricultural and rural-based economies to provide employment and
income;
2. Medium to longer term approach: Provide food for the poor and food insecure communities through an
empowerment approach supporting active participation of villagers and various stakeholders.

38 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Table 6.3: Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by District

District Determinants and Recommended Interventions

Lombok Barat A high prevalence of underweight among under-five children requires particular attention of the local
government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare
Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of
health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care
and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the moth-
ers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc.

Another focus of attention is the low female education level. The improvement of education programmes
both in formal and informal systems need to be considered.

Interventions are needed in:


• Underweight among children under-five
• Low life expectancy at birth
• Female illiteracy
• Poverty

Lombok Tengah A low female education level requires particular attention of the local government. The improvement of
education programmes both in formal and informal systems need to be considered.

The population living below the poverty line needs to be handled optimally by involving various sectors
and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people
themselves.

A high prevalence of underweight among under-five children requires particular attention of the local
government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare
Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality
of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene,
care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the
mothers but also fathers, adolescent girls, grandparents etc.

Interventions are needed in:


• Female illiteracy
• Low life expectancy at birth
• Poverty
• Underweight

Lombok Timur A high prevalence of underweight among under-five children requires particular attention of the local
government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare
Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality of
health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene, care
and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the moth-
ers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.

The population living below the poverty line needs to be handled optimally by involving various sectors
and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people
themselves.

A low female education level also requires particular attention. The improvement of education programmes
both in formal and informal systems need to be considered.

Access to electricity needs to be improved through rehabilitating/building related facilities. Adequate


access to electricity needs to be significantly improved by seeking additional electrical power through PLN
and develop and utilize alternative power source.

Interventions are needed in:


• Low life expectancy at birth
• Underweight
• Poverty
• Female illiteracy
• Without access to electricity

Sumbawa The high rate of underweight among under-five children in some areas requires attention of the local
government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare
Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality
of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene,
care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the
mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.

The population living below the poverty line is high in some areas. The issue needs to be handled
optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil
societies, community and people themselves.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 39


Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by
District

District Determinants and Recommended Interventions

Sumbawa Interventions are needed in:


• Low life expectancy at birth
• Underweight
• Without adequate access by road
• Poverty

Dompu The population living below the poverty line needs to be handled optimally by involving various sectors
and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people
themselves.

The high rate of underweight among under-five children in some areas requires particular attention of
the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family
Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better
quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve
hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not
only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.

A low female education level also requires particular attention. The improvement of education programmes
both in formal and informal systems need to be considered.

Interventions are needed in:


• Low life expectancy at birth
• Poverty
• Underweight
• Female illiteracy

Bima The high rate of underweight among under-five children in some areas requires particular attention of
the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family
Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better
quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve
hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not
only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.

The population living below the poverty line is high in some areas. The issue needs to be handled
optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil
societies, community and people themselves.

A low female education level also requires particular attention. The improvement of education programmes
both in formal and informal systems need to be considered.

Interventions are needed in:


• Underweight
• Low life expectancy at birth
• Poverty
• Female illiteracy

Sumbawa Barat The population living below the poverty line is high in some areas. The issue needs to be handled
optimally by involving various sectors and institutions including government, public and private sectors, civil
societies, community and people themselves.
The high rate of underweight among under-five children 2 sub-districts requires particular attention of
the local government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family
Welfare Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better
quality of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve
hygiene, care and feeding practices, by using different communication channels and should address not
only the mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.
Access to roads requires particular attention in 2 sub-districts.
Interventions are needed in:
• Poverty
• Low life expectancy at birth
• Without adequate access by road
• Underweight

Lombok Utara The high rate of underweight among under-five children requires particular attention of the local
government. The local government needs to revitalize roles and functions of Posyandu, Family Welfare
Empowerment (PKK), village midwives and other health institutions to improve access to better quality
of health care and services. Health and nutrition education should be intensified to improve hygiene,
care and feeding practices, by using different communication channels and should address not only the
mothers, but also fathers, adolescent girls, grandparents, etc.

40 Food Security and Vulnerability Atlas of NTB


Table 6.3 (contd): Main Determinants of Food Insecurity and Recommended Interventions by
District

District Determinants and Recommended Interventions

Lombok Utara The population living below the poverty line needs to be handled optimally by involving various sectors
and institutions including government, public and private sectors, civil societies, community and people
themselves.

A low female education level also requires particular attention. The improvement of education programmes
both in formal and informal systems need to be considered.

Interventions are needed in:


• Underweight
• Low life expectancy at birth
• Poverty
• Female illiteracy

Comparison with National FSVA 2009

The same indicators for chronic food security in national FSVA 2009 were applied in provincial FSVA. However,
the following difference in data source and analysis should be noted.
• The level of analysis is at district level in national FSVA 2009, while Provincial FSVA provides sub-district
level results. Therefore, provincial FSVA serves as an important tool for decision making of district level
stakeholders.
• In national FSVA 2009, the data on food availability (per capita normative consumption and availability)
was available for the period of 2005 – 2007. In provincial FSVA, the data is available for the period of
2007-2009.
• As mentioned in Chapter 1, Small Area Estimation technique is applied for poverty, access to
electricity, access to water, female illiteracy and life expectancy to disaggregate the data at district level to
sub-district level.
• In national FSVA, the districts ranked in the lowest 100 are categorized as priority districts. In provincial
FSVA, the number of sub-districts in each priority group is determined by cluster analysis.

Therefore, although the same indicators are used in national and provincial FSVAs, the results need to be
compared with caution.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB 41


REFERENCES

BAPPENAS (2007). National Action Plan for Food and Nutrition 2006-2010.
Elbers, C. J.O. Lanjouw, and P. Lanjouw (2000), “Micro-Level Estimation of Welfare”. Policy Research
Department Working Paper 2911. World Bank.
Fay, R E. and Herriot, R.A.(1979). “Estimates of income for small place and application of James-Stein
procedures to census data”. Journal of the American Statistical Association 74, 269-277.
Food Security Office and Provincial Statistics Office (BPS) (2005). Food Insecurity Atlas of NTB Province.
FSC and WFP (2005). Food Insecurity Atlas of Indonesia (FIA) 2005.
FSC and WFP (2005). Food Security and Vulnerability Atlas of Indonesia (FSVA) 2009.
Ministry of Health (2008). Basic Health Research (RISKESDAS) 2007 Report.
Ministry of Health (2010). Basic Health Research (RISKESDAS) 2009 Report.
Ministry of Forestry (2008). Calculation on Deforestation in Indonesia.
Ministry of Forestry and BPS (2008). Identification of Villages Located in Forest Area.
Morrison, D. F.(1976). Multivariate Statistical Methods.
NTB Provincial Government (2009). Medium Term Development Plan of NTB Province 2009-2013.
NTB Provincial Government (2009). Provincial Action Plan for Food and Nutrition 2009-2013.
Provincial Statistics Office (BPS)( 2006-2009) . Nusa Tenggara Barat in Figure 2006-2009.
Provincial Health Office (2009). NTB Province Health Profile.
World Food Programme (WFP). Emergency Food Security Assessment Handbook, 2nd Edition, 2009.
World Health Organization (WHO) (2007). World Health Report 2007.

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xxi


ACRONYMS

BPS Central Bureau of Statistics


BMKG Meteorological, Climatology and Geophysics Agency
BNPB National Disaster Management Board
BPBD Provincial/District Disaster Management Board
FIA Food Insecurity Atlas
FSC Food Security Council
FSO Food Security Office
FSVA Food Security and Vulnerability Atlas
GRDP Gross Regional Domestic Product
IMR Infant Mortality Rate
IPB Bogor Agriculture Institute
HDI Human Development Index
NGO Non Government Organization
MDG Millennium Development Goals
MOH Ministry of Health
MPCE Monthly per Capita Expenditure
NTT Nusa Tenggara Timur
OUR Open Unemployment Rate
PCA Principal Component Analysis
PKK Family Welfare and Empowerment
PNPM National Poverty Reduction Programme through Community Empowerment
PODES National Village Potential Statistics
Posyandu Integrated Health Post
Puskesmas Community Health Center
PPP Purchasing Power Parity
PSG Nutrition Status Observation Survey
RDA Recommended Daily Allowance
RISKESDAS National Basic Health Research
RPJMD Regional Medium Term Development Plan
SAE Small Area Estimation
SAKERNAS National Labour Force Survey
SUSENAS National Socio-Economic Survey
UNICEF United Nations Children Fund
WFP United Nations World Food Programme
WHO United Nations World Health Organization

Food Security and Vulnerability Atlas of NTB xxiii


Peta /Maps
Peta 1.1 / Map 1.1
Peta Indeks Pulau Lombok /
Index Map of Lombok Island

Kode / Kecamatan / Kode / Kecamatan /


Lombok Code Sub-district Code Sub-district
Lombok Timur
Utara
14 Lombok Barat Lombok Timur
15
1 Sekotong Tengah 28 Keruak
2 Lembar 29 Jerowaru
47
13 3 Gerung 30 Sakra
46
4 Labu Api 31 Sakra Barat
5 Kediri 32 Sakra Timur
11
6 Kuripan 33 Terara
12
7 Narmada 34 Montong Gading
8 Lingsar 35 Sikur
43
27
9 Gunung Sari 36 Masbagik
10 9 42
45 10 Batu Layar 37 Pringgasela
8 7 37 44
38 Sukamulia
34 35 Lombok Utara 39 Suralaga
11 Tanjung 40 Selong
Mataram 21 36 12 Pemenang
25
41 Labuhan Haji
26 39
4 13 Gangga 42 Pringgabaya
5 38 14 Kayangan
33
40
41 43 Suela
24 15 Bayan 44 Aikmel
6 22 30
3 45 Wanasaba
20 32 Lombok Tengah
23 31 46 Sembalun
16 Praya Barat 47 Sambelia
2
28 17 Praya Barat Daya
17
19 18 Pujut
1 19 Praya Timur
20 Janapria
16 18 21 Kopang
29
22 Praya
Lombok 23 Praya Tengah
Barat 24 Jonggat
Lombok
25 Pringgarata
Tengah
26 Batukliang
27 Batukliang Utara

Peta / Map A-1


Peta 1.2 / Map 1.2
Peta Indeks Kabupaten Sumbawa dan Sumbawa Barat /
Index Map of Sumbawa and Sumbawa Barat Districts

Kode / Kecamatan /
Code Sub-district

Sumbawa
48 Lunyuk
57 49 Orong Telu
50 Alas
51 Alas Barat
52 Buer
53 Utan
54 Rhee
55 Batulanteh
56 Sumbawa
53 60
57 Labuhan Badas
56
54 58 Unter Iwes
52 59 59 Moyo Hilir
58 60 Moyo Utara
51
50 61 Moyo Hulu
105 65 62 Ropang
104 61
63 Lenangguar
55 66
Dompu 64 Lantung
65 Lape
103
69
66 Lopok
101
71 67 Plampang
49
64 68 Labangka
63 67
70 69 Maronge
102
70 Empang
71 Tarano
68
100 62
99 Sumbawa Barat
48
98 Sekongkang
98 Sumbawa 99 Jereweh
100 Maluk
101 Taliwang
Sumbawa 102 Brang Ene
Barat 103 Brang Rea
104 Seteluk
105 Poto Tano

Peta / Map A-3


Peta 1.3 / Map 1.3
Peta Indeks Kabupaten Dompu dan Bima /
Index Map of Dompu and Bima Districts

97

79
96 95 93
76
92

94
Kota
74
Bima
77 82
75 86 90
78 87
Dompu 89
83 84
85
73

91 Kode / Kecamatan /
80 Code Sub-district

72 81 Bima Bima
88
80 Monta
81 Parado
82 Bolo
83 Mada Pangga
84 Woha
Kode / Kecamatan / 85 Belo
86 Palibelo
Code Sub-district
87 Wawo
88 Langgudu
Dompu 89 Lambitu
72 Hu’u 90 Sape
73 Pajo 91 Lambu
74 Dompu 92 Wera
75 Woja 93 Ambalawi
76 Kilo 94 Donggo
77 Kempo 95 Soromandi
78 Manggalewa 96 Sanggar
79 Pekat 97 Tambora

Peta / Map A-5


Peta 2.1 / Map 2.1
Rasio Konsumsi Normatif Per Kapita terhadap Produksi Bersih Serealia /
Ratio of Per Capita Normative Consumption to Net Cereal Production
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
Rasio Konsumsi-Produksi/Ratio of Consumption To Production
>= 1.50 (Defisit Tinggi/ High Deficit)
1.25 - 1.50 (Defisit Sedang/ Moderate Deficit)
1.00 - 1.25 (Defisit Rendah/ Low Deficit)
0.75 - 1.00 (Surplus Rendah/ Low Surplus)
0.50 - 0.75 (Surplus Sedang/ Moderate Surplus)
< 0.50 (Surplus Tinggi/ High Surplus)
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Badan Ketahanan Pangan dan Badan Pusat Statistik Provinsi dan Kabupaten, 2007-2009
116°0'0"E Data Source: Provincial and District Food Security Agencies and BPS, 2007-2009 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-7


Peta 3.1 / Map 3.1
Penduduk Hidup di Bawah Garis Kemiskinan /
Population Living Below Poverty Line
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Penduduk / % of Population
>= 35
25 - < 35
20 - < 25
15 - < 20
10 - < 15
0 - < 10
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, SUSENAS MODUL 2008, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, SUSENAS MODULE 2008, Village Potentials-PODES 2008 (BPS)
118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-9


Peta 3.2 / Map 3.2
Desa yang Tidak Bisa Dilalui Kendaraan Roda Empat /
Villages not Accessible by Four Wheel Vehicle
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Desa/ % of Villages
>= 30
25 - <30
20 - <25
15 - <20
10 - <15
0 - <10
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-11


Peta 3.3 / Map 3.3
Rumah Tangga tanpa Akses terhadap Listrik /
Households without Access to Electricity
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Rumah Tangga/ % of Households
>= 50
40- <50
30 - <40
20 - <30
10 - <20
<10
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-13


Peta 4.1 / Map 4.1
Desa dengan Akses ke Fasilitas Kesehatan > 5 km /
Households with Access to Health Facilities > 5 km
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Desa/ % of Villages
>= 60
50 - 60
40 - 50
30 - 40
20 - 30
<20
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-15


Peta 4.2 / Map 4.2
Rumah Tangga tanpa Akses ke Air Bersih /
Households without Access to Clean Water
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Rumah Tangga/ % of Households
>= 70
60 - 70
50 - 60
40 - 50
30 - 40
< 30
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-17


Peta 4.3 / Map 4.3
Perempuan Buta Huruf /
Female Illiteracy
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Perempuan Buta Huruf/ % of Female Illiteracy
>= 40
30 - <40
20 - <30
10 - <20
5 - <10
<5
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-19


Peta 4.4 / Map 4.4
Berat Badan Anak (< 5 Tahun) di Bawah Standar /
Underweight Children (< 5 years)
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:
% Balita/ % Children Under 5
>= 30 (Sangat Buruk/ Critical)
20 - <30 (Buruk/ Serious)
10 - < 20 (Kurang/ Poor)
< 10 (Baik/ Acceptable)
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Pemantauan Status Gizi-PSG 2009 (Dinas Kesehatan NTB)
116°0'0"E Data Source: Monitoring of Nutrition Status-PSG (Provincial Health Office NTB) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-21


Peta 4.5 / Map 4.5
Angka Harapan Hidup /
Life Expectancy
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
Harapan Hidup (tahun) /Life Expectancy (years)
< 58
58 - <61
61 - <64
64 - <67
67 - <70
>= 70
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: SUSENAS KOR 2007-2009, Potensi Desa-PODES 2008 (BPS)
116°0'0"E Data Source: SUSENAS CORE 2007-2009, Village Potentials-PODES 2008 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-23


Peta 5.1 / Map 5.1
Penyimpangan Curah Hujan dari 1997-2007 di Musim Kemarau dibandingkan dengan Rata-rata 30 tahun /
Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Dry Season Periods compared to 30 Years Average
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:
% Deviasi/ Deviation
< 85 (Bawah Normal/ Below Normal)
85 - 115 (Normal)
> 115 (Atas Normal/ Upper Normal)
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika-BMKG Provinsi NTB, 2010
116°0'0"E Data Source: Meteorological, Climatology and Geophisic Agency-BMKG NTB Province, 2010 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-25


Peta 5.2 / Map 5.2
Penyimpangan Curah Hujan dari 1997-2007 di Musim Hujan dibandingkan dengan Rata-rata 30 tahun /
Rainfall Deviation (%) during 1997-2007 in Wet Season Periods compared to 30 Years Average
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:
% Deviasi/ Deviation
< 85 (Bawah Normal/ Below Normal)
85 - 115 (Normal)
> 115 (Atas Normal/ Upper Normal)
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika-BMKG Provinsi NTB, 2010
116°0'0"E Data Source: Meteorological, Climatology and Geophisic Agency-BMKG NTB Province, 2010 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-27


Peta 5.3 / Map 5.3
Daerah Puso Padi /
Damaged Paddy Area
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Daerah / % of Area
>= 15
10 - < 15
5 - < 10
3-<5
1-<3
<1
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Sensus Pertanian 2009 (BPS)
116°0'0"E Data Source: Agriculture Cencus 2009 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-29


Peta 5.4 / Map 5.4
Daerah Puso Jagung /
Damaged Maize Area
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat
Legenda/Legend:
% Daerah / % of Area
>= 15
10 - < 15
5 - < 10
3-<5
1-<3
<1
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
Sumber Data: Sensus Pertanian 2009 (BPS)
116°0'0"E Data Source: Agriculture Cencus 2009 (BPS) 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-31


Peta 5.5 / Map 5.5
Peta Deforestasi di NTB untuk Periode 2003-2006 /
Map of Deforestation in NTB during 2003-2006 Period
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:
Areal Deforestasi/ Deforestation Area

Batas Kabupaten/ District Boundary


Sumber Data: Penghitungan Deforestasi Indonesia 2003-2006, Departemen Kehutanan, 2008
116°0'0"E Data Source: Calculation of Deforestation in Indonesia 2003-2006, Ministry of Forestry, 2008 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-33


Peta 6.1 / Map 6.1
Peta Kerentanan terhadap Kerawanan Pangan Provinsi NTB /
Vulnerability to Food Insecurity Map of NTB Province
116°0'0"E 118°0'0"E

0
®
12.5 25
Km
8°0'0"S

8°0'0"S
Lombok
Lombok Kota
Utara
Timur Bima

Dompu
Mataram

Bima

Lombok
Barat Lombok
Tengah Sumbawa
Sumbawa
Barat

Legenda/Legend:

Prioritas 1 Kecamatan/ Priority 1 Sub-districts


Prioritas 2 Kecamatan/ Priority 2 Sub-districts
Prioritas 3 Kecamatan/ Priority 3 Sub-districts
Prioritas 4 Kecamatan/ Priority 4 Sub-districts
Prioritas 5 Kecamatan/ Priority 5 Sub-districts
Prioritas 6 Kecamatan/ Priority 6 Sub-districts
Daerah Perkotaan/Tidak ada Data
Urban Area/No Data
Batas Kabupaten/ District Boundary
116°0'0"E 118°0'0"E Batas Kecamatan/ Sub-district Boundary

Peta / Map A-35


Lampiran /Annexes
Lampiran 1.1: Catatan Teknis mengenai Small Area Estimation (SAE) Annex 1.1: Technical Note on Small Area Estimation (SAE)

1. Pendahuluan 1. Introduction

Catatan teknis ini menyediakan informasi mengenai latar belakang metode Small Area This technical note provides background information about Small Area Estimation (SAE), the method
Estimation (SAE). Metode ini digunakan untuk mengestimasi beberapa indikator yang digunakan used to produce the estimates of some variables used in the Provincial FSVA at sub-district level.
dalam pengembangan FSVA provinsi pada tingkat kecamatan.

SAE merupakan suatu metode matematika yang menggunakan modeling untuk mengestima- SAE is a mathematical technique to disaggregate data for certain socio-economic indicators at a
si karakteristik suatu data sosial ekonomi yang memiliki tingkat agregasi tinggi (provinsi atau higher/bigger level (provincial or district) to a lower level (sub-district or village level) when primary
kabupaten) ke tingkat agregasi yang lebih rendah (tingkat kecamatan atau desa) karena data collection at the lower level is impossible and/or quality is unreliable with high standard errors.
terbatasnya ketersediaan data primer pada tingkat agregasi rendah. Kebutuhan terhadap metode The requirement for the SAE is significantly increasing during the last 10 years and its application
SAE telah meningkat secara signifikan selama kurun waktu 10 tahun terakhir dan metode ini nowadays is internationally accepted. In Indonesia, the SAE was applied by the Word Bank/SMERU
telah digunakan dan di akui secara internasional. Di Indonesia, metode SAE telah digunakan Bank Poverty Map (2000) and WFP/BPS Nutrition Map (2006).
Dunia dan SMERU untuk menghitung Peta Kemiskinan/Poverty Map (2000) serta pengembangan
Peta Gizi (Nutrition Map) oleh BPS dan WFP (2006).

Untuk FSVA provinsi, metode SAE menjadi hal yang sangat penting karena beberapa indikator For Provincial FSVA, SAE is an important technique since reliable information is available only at district
hanya tersedia pada tingkat kabupaten untuk beberapa indikator seperti angka kemiskinan, angka level for the some variables needed such as poverty, life expectancy and female illiteracy.
harapan hidup dan perempuan buta huruf.

Metode SAE digunakan untuk mengagregasi data dari beberapa indikator di bawah ini: SAE technique was applied to dissagregate the data for the following indicators:
• Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan; • Percentage of people below poverty line;
• Persentase rumah tangga tanpa akses listrik; • Percentage of households without access to electricity;
• Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih; • Percentage households without access to improved drinking water;
• Perempuan Buta Huruf; dan • Percentage of female illiteracy; and
• Angka harapan hidup pada saat lahir. • Life expectancy at birth.

Metode SAE tidak digunakan untuk menghitung indikator dibawah ini karena indikator-indikator SAE technique was NOT applied for the following indicators, as the data was available at sub-district
tersebut telah tersedia pada tingkat kecamatan: level:
• Rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan bersih ‘padi + jagung + ubi kayu • Ratio of per capita normative consumption to net ‘rice + maize + cassava + sweet potato’
+ ubi jalar’; availability;
• Persentase desa tanpa akses penghubung yang memadai; • Percentage of villages with inadequate connectivity;
• Persentase desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan; • Percentage of villages located more than 5 km away from health facilities;
• Berat badan balita di bawah standar (Underweight); • The prevalence of underweight children under-five years of age;
• Frekuensi bencana alam; • Frequency of natural disasters;
• Penyimpangan curah hujan; • Rainfall deviation;
• Persentase daerah puso; dan • Percentage of damaged area; and
• Deforestasi hutan. • Deforestation.

2. Metodologi 2. Methodology
Kajian ini menggunakan metode yang dikembangkan oleh Fay Herriot (1997) dan Elbers et.al The study utilizes the methodology developed by Fay and Herriot (1979) and Elbers et.al (2002)
(2002), karena metode ini menyediakan aplikasi interaktif yang efisien yang memungkinkan because the method provides an efficient interactive application which enables to combine informa

Lampiran / Annex B-1


untuk menggabungkan informasi dari berbagai sumber data yang relevan dan memiliki tion from various relevant surveys and complete enumeration data such as census. The survey, even
kelengkapan informasi seperti survei. Survei, walaupun tidak dapat mengestimasi data pada ting- though it is unable to estimate the data at lower level, provides a wider range of information such
katan rendah akan tetapi dapat menyediakan cakupan informasi yang luas contohnya mengenai as expenditure and income. The census, on the other hand, although it collects limited information,
pengeluaran atau pendapatan. Di sisi lain, sensus walaupun hanya memuat informasi yang provides data on basic characteristics of individual population that enables estimation until the lowest
terbatas akan tetapi dapat menyediakan data mengenai karakteristik dasar untuk setiap populasi level of administrative areas. Therefore, the method utilized in this study combines the strength of both
individu sehingga dapat mengestimasi sampai pada tingkat administrasi yang paling rendah. Oleh survey and census data.
karena itu, metode yang digunakan dalam kajian ini menggabungkan kelebihan dari data survei
dan data sensus.

3. Dataset 3. Dataset

Model SAE menggunakan 3 sumber data yaitu: The following three data sources are used for the SAE:
• Survei Sosial Ekonomi (SUSENAS) KOR Juli 2007, Juli 2008 dan Juli 2009: untuk • Socioeconomic Survey (SUSENAS) CORE July 2007, July 2008 and July 2009 is to provide data
menyediakan data tentang karakteristik individu dan rumah tangga. Beberapa variabel atau on individual and household characteristics. Some variables were utilized as explanatory
karakteristik individu dan rumah tangga tersebut selanjutnya digunakan sebagai variabel variables or dependent variables, for developing the models. The total sample of SUSENAS Core
penjelas (explanatory variables) atau variabel terikat (dependent variable) dalam model. is about 270,000 households; estimation is possible to the district level. The sample also varies
Kombinasi kedua jenis variabel tersebut digunakan untuk mengembangkan model. Jumlah by district.
sampel SUSENAS KOR adalah sekitar 270.000 rumah tangga yang ditujukan untuk estimasi
kabupaten/kota. Jumlah sampel masing-masing kabupaten/kota berbeda-beda.
• SUSENAS Modul Konsumsi Juli 2008: untuk menyediakan data tentang rata-rata • SUSENAS Consumption Module July 2008 is to provide data on average food expenditure and
pengeluaran makanan dan rata-rata konsumsi kalori/protein per kapita yang digunakan average calorie/protein consumption per capita served as target variables. The total sample of
sebagai variabel target (target variable). Jumlah sampel SUSENAS Modul adalah sekitar the survey is about 270,000 households throughout the country; the sample varies by district and
270,000 rumah tangga untuk seluruh Indonesia. Jumlah sampel masing-masing kabupaten/ province. The estimation is possible to the district and province level.
kota dan provinsi berbeda-beda. Estimasi ditujukan sampai tingkat kabupaten/kota dan
provinsi.
• Potensi Desa (PODES) 2008: untuk menyediakan data pada tingkat masyarakat (desa/ • Village Potential (PODES) 2008 is to provide community (i.e., village) data, used to identify so-
kelurahan) yang digunakan sebagai informasi mengenai lokasi (locational information). called locational effects. PODES covers all villages throughout the country. The PODES 2008 is
PODES mencakup seluruh desa di seluruh Indonesia. Khusus PODES 2008 ditujukan untuk applied for the preparation of Population Cencus (SP) 2010.
persiapan Sensus Penduduk 2010.

4. Prosedur 4. Procedures

Proses analisis SAE untuk FSVA provinsi melalui beberapa tahapan di bawah ini: The process for running the SAE for the Provincial FSVA is carried out in accordance with the following
steps:
1. Pengembangan Beta model (lihat persamaan (2)); 1. Developing Beta model (see equation (2));
2. Penghitungan locational effects (3); 2. Calculating locational effects (3);
3. Pernghitungan keragaman estimator (variance of estimators) (4); 3. Calculating variance of estimators (4);
4. Penyiapan ech Tsisa residual untuk menghasilkan Alpha Model (6); dan 4. Preparing ech term residual to run Alpha model (6); and
5. Pengembangan GLS estimate model. 5. Developing GLS estimate model.

Lampiran / Annex B-2


(1) ln ych = E [ln ych / xch] + μch (1) ln ych = E [ln ych / xch] + μch
dimana c : subscript untuk cluster c (desa) where c : cluster c (village)
h : subscript untuk rumah tangga-h pada cluster c h : household h in cluster c
ych : besaran indikator y pada rumah tangga-h dan cluster c ych : value of indicator for household h and cluster c
xch : karakteristik rumah tangga pada rumah tangga-h dalam cluster c xch : socio-economic characteristic of household h in cluster c

Aproksimasi linear dari model (1) kemudian ditulis seperti berikut: The linear approximation of model (1) can be expressed as follows:
(2) ln ych = xchâ + μch juga disebut sebagai Beta model (2) lnych = xchâ + μch (Beta model)
dimana merupakan variabel residu (disturbance terms). where μch is disturbance terms.
Data SUSENAS tidak menyediakan informasi mengenai lokasi (locational SUSENAS data does not provide locational information. In other words, disturbance terms as shown
information). Dengan kata lain, variabel residu seperti pada persamaan 2 diatas, memerlukan in equation (2), includes locational variables needing to be identified. The following formula is used to
informasi mengenai variabel lokasi. Persamaan dibawah ini digunakan untuk mengestimasi efek estimate locational effects:
dari lokasi:

(3) μch = ηc + εch (3) μch = ηc + εch

Di sini ηc adalah komponen cluster kecamatan dan εch adalah komponen desa/kelurahan. Secara Here ηc is cluster components and εch is household components. On the average at village level,
rata-rata, pada tingkat desa, variabel residu (disturbance terms) menggunakan persamaan sebagai distribution terms can be expressed as follows:
berikut:
(4) μc. = ηc + εc. maka (4) μc. = ηc + εc. , and then

E[μc2] = ση2 + var (εc.) = ση2 + τc2 E[μc2] = ση2 + var (εc.) = ση2 + τc2

Diasumsikan ηc dan εch berdistribusi normal dan independen satu sama lain. Elbers et.al (2002) In the above equation ηc and εch are assumed to be normally distributed and independent of each
memberi suatu estimasi keragaman dari distribusi locational effect: other. Following Elbers et al (2002), the estimated variance of locational effects can be expressed
as follows:

(5) (5)
Ketika locational effect ηc tidak ada, persamaan (3) kemudian menjadi μch = + εch. Akan tetapi, In the absence of locational effect, ηc, equation (3) becomes simpler, μch = + εch. However, this is
ini biasanya asumsi yang tidak realistik. Sesuai dengan Elbers et.al (2002), sisa residual εch dapat normally an unrealistic assumption. Following Elbers et al (2002) residual εch can be explained by a
dijelaskan dengan suatu model logistik yang meregresikan transformasi εch dengan karakteristik logistic model that regresses transformed εch with household characteristics:
rumah tangga (h):

(6) juga disebut Alpha model. (6) (Alpha model)


Dimana A ekuivalen dengan 1.05*max{εch }. 2
Here A is set as A= 1.05*max{εch 2}.
Estimator variansi untuk εch dapat dihitung dengan: Estimated variance of εch can be calculated using the following equation:

(7) (7)

Lampiran / Annex B-3


Dalam persamaan model (2) metode OLS digunakan untuk mengestimasi parameter In the model equation (2), OLS method is used to estimate the parameters of the model with the
model dengan asumsi klasik bahwa sisaan bersifat homocedasticity. Persamaan model (7) dapat classical assumption that “residual” is a homocedasticity nature. The model equations (7) indicate the
mengindikasikan pengingkaran asumsi penggunaan OLS dalam model (2), sehingga diperlukan denial assuming the use of OLS in model (2), necessitating GLS regression. In GLS variance-covariance
regresi GLS. Dalam GLS variance-covariance matrix merupakan suatu diagonal block matrix. matrix is a diagonal block matrix.

Seluruh proses analisis dan simulasi untuk indikator FSVA ini menggunakan paket program yang All analysis and simulation process utilized a software package for poverty mapping (Povmap.Exe/
pernah digunakan untuk poverty mapping yaitu Povmap.Exe/PovmapPacker.Exe. PovmapPacker.Exe).

Tabel 1: Daftar Variabel yang digunakan untuk mengagregasi data Table 1: List of variables used to dissaggregate data for each Indicators
untuk setiap indikator
Nama Variabel dari kuesioner Sumber Data Variable name and questioner Data Source
A. Persentase rumah tangga tanpa akses listrik A. Percentage of households without access to electricity

1. Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 1. Head of household status in relation with other household members Susenas Core 07,08,09 July
2. Tingkat pendidikan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 2. Education level of the head of household Susenas Core 07,08,09 July
3. Lapangan pekerjaan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 3. Occupation type of head of household Susenas Core 07,08,09 July
4. Sumber penerangan Susenas Kor 07,08,09 Juli 4. Lighting source Susenas Core 07,08,09 July
5. Status penguasaan bangunan tempat tinggal Susenas Kor 07,08,09 Juli 5. Home ownership status Susenas Core 07,08,09 July
6. Jenis atap terluas (beton, genteng, seng, asbes) Susenas Kor 07,08,09 Juli 6. Main Roof Material (concrete, pentile, zinc, asbestos) Susenas Core 07,08,09 July
7. Jenis dinding terluas (tembok, kayu, bambu) Susenas Kor 07,08,09 Juli 7. Main Wall Material (brick, wood, bamboo) Susenas Core 07,08,09 July
8. Fasilitas tempat buang air besar Susenas Kor 07,08,09 Juli 8. Latrine facilities Susenas Core 07,08,09 July
9. Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik Podes 08 9. Number of household using electricity Podes 08
10. Ketinggian dari permukaan laut Podes 08 10. Elevation from sea level Podes 08
11. Wilayah desa berada dalam/sekitar/luar hutan Podes 08 11. Rural areas in/or around the outside forest Podes 08
12. Jumlah pasar dengan bangunan permanent/tidak permanen Podes 08 12. Number of marketplace consist of permanent or non permanent Podes 08
building within the village
13. Jumlah minimarket/restoran/toko,dll Podes 08 13. Number of minimarket/restaurant/shops/etc. Podes 08
14. Jumlah Rumah Tangga yang menggunakan telepon Podes 08 14. Number of household using telephone Podes 08

B. Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih B. Percentage of households without access to improved drinking water

1. Sumber air minum (air bersih = air kemasan/ air isi ulang/leding Susenas Kor 07,08,09 Juli 1. Source of drinking water (clean water = bottled water/water refill/ Susenas Core 07,08,09 July
meteran/leding eceran/ sumur bor,pompa/sumur terlindung) crane retail /borehole, pump/protected well)
2. Sumber penerangan Susenas Kor 07,08,09 Juli 2. Lighting source Susenas Core 07,08,09 July
3. Status penguasaan bangunan tempat tinggal Susenas Kor 07,08,09 Juli 3. Home ownership status Susenas Core 07,08,09 July
4. Fasilitas tempat buang air besar Susenas Kor 07,08,09 Juli 4. Latrine facilities Susenas Core 07,08,09 July
5. Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik Podes 08 5. Number of household using electricity Podes 08
6. Ketinggian dari permukaan laut Podes 08 6. Elevation from sea level Podes 08
7. Wilayah desa berada dlm/sekitar/luar hutan Podes 08 7. Rural areas in/or around the outside forest Podes 08

C. Perempuan Buta Huruf C. Female Illiteracy

1. Umur Susenas Kor 07,08,09 Juli 1. Age Susenas Core 07,08,09 July
2. Dapat membaca dan menulis Susenas Kor 07,08,09 Juli 2. Able to read and write Susenas Core 07,08,09 July
3. Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 3. Head of household status in relation with other household Susenas Core 07,08,09 July
members

Lampiran / Annex B-4


Tabel 1 (lanjutan): Daftar Variabel yang digunakan untuk mengagregasi data Table 1 (contd): List of variables used to dissaggregate data for each
untuk setiap indikator Indicators

Nama Variabel dari kuesioner Sumber Data Variable name and questioner Data Source
C. Perempuan Buta Huruf C. Female Illiteracy
4. Tingkat pendidikan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 4. Education level of the head of household Susenas Core 07,08,09 July
5. Lapangan pekerjaan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 5. Main jobs field of the head of household Susenas Core 07,08,09 July
6. Sumber penerangan Susenas Kor 07,08,09 Juli 6. Lighting source Susenas Core 07,08,09 July
7. Status penguasaan bangunan tempat tinggal Susenas Kor 07,08,09 Juli 7. Home ownership status Susenas Core 07,08,09 July
8. Jenis atap terluas (beton, genteng, seng, asbes) Susenas Kor 07,08,09 Juli 8. Main Roof Material (concrete, pentile, zinc, asbestos) Susenas Core 07,08,09 July
9. Jenis dinding terluas (tembok, kayu, bambu) Susenas Kor 07,08,09 Juli 9. Main Wall Material (brick, wood, bamboo) Susenas Core 07,08,09 July
10. Fasilitas tempat buang air besar Susenas Kor 07,08,09 Juli 10. Latrine facilities Susenas Core 07,08,09 July
11. Jumlah Kepala Keluarga pengguna listrik Podes 08 11. Number of household using electricity Podes 08
12. Ketinggian dari permukaan laut Podes 08 12. Elevation from sea level Podes 08

D. Persentase penduduk hidup di bawah garis kemiskinan D. Percentage of people below poverty line

1. Jenjang pendidikan yg pernah/sedang diduduki Susenas Kor 07,08,09 Juli 1. Education level Susenas Core 07,08,09 July
2. Jenis kelamin Susenas Kor 07,08,09 Juli 2. Gender Susenas Core 07,08,09 July
3. Hubungan anggota keluarga dengan Kepala rumah tangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 3. Head of household status in relation with other household Susenas Core 07,08,09 July
members
4. Jumlah anggota rumahtangga Susenas Kor 07,08,09 Juli 4. Number of family member Susenas Core 07,08,09 July
5. Apakah melakukan kegiatan smg terakhir Susenas Kor 07,08,09 Juli 5. Whether has activities over the last 7 days Susenas Core 07,08,09 July
6. Apakah punya pekerjaan/usaha, sementara tidak bekerja Susenas Kor 07,08,09 Juli 6. Wheter has any job/businesses while not working Susenas Core 07,08,09 July
7. Lapangan usaha utama Susenas Kor 07,08,09 Juli 7. Main business field Susenas Core 07,08,09 July
8. Status/kedudukan dalam pekerjaan utama Susenas Kor 07,08,09 Juli 8. Position in the main job Susenas Core 07,08,09 July
9. Rata-rata pengeluaran makanan/kapita/bulan Susenas Modul 08 Juli 9. Average food expenditure/capita/month Susenas Module 08 July
10. Rata-rata konsumsi kalori/kapita/bulan Susenas Modul 08 Juli 10. Average calorie consumption/capita/month Susenas Module 08 July
11. Rata-rata konsumsi protein/kapita/bulan Susenas Modul 08 Juli 11. Average protein consumption/capita/month Susenas Module 08 July
12. Rata-rata pengeluaran non makanan/kpt/bln Susenas Modul 08 Juli 12. Average non food expenditure/capita/month Susenas Module 08 July
13. Proporsi penduduk/Kepala Keluarga bekerja di pertanian Podes 08 13. Proportion of people/head of household working in agriculture Podes 08
14. Jumlah keluarga penerima ASKESKIN 1 tahun yang lalu Podes 08 14. Number of household received ASKESKIN one year ago Podes 08

E. Angka harapan hidup pada saat lahir E. Life Expectancy at birth

1. Umur saat perkawinan pertama Susenas Kor 07,08,09 Juli 1. Age at first marriage Susenas Core 07,08,09 July
2. Jumlah anak kandung dilahirkan, lahir hidup Susenas Kor 07,08,09 Juli 2. Number of children born, alive Susenas Core 07,08,09 July
3. Jumlah anak kandung dilahirkan, masih hidup Susenas Kor 07,08,09 Juli 3. Number of children born, still alive Susenas Core 07,08,09 July
4. Jumlah anak kandung dilahirkan, sdh meninggal Susenas Kor 07,08,09 Juli 4. Number of children born, passed away Susenas Core 07,08,09 July
5. Penolong kelahiran pertama Susenas Kor 07,08,09 Juli 5. First birth attendant Susenas Core 07,08,09 July
6. Penolong kelahiran terakhir Susenas Kor 07,08,09 Juli 6. Last birth attendant Susenas Core 07,08,09 July
7. Berapa kali mendapat imunisasi Susenas Kor 07,08,09 Juli 7. Number of completed immunization Susenas Core 07,08,09 July

Lampiran / Annex B-5


5. Hasil dan Realibilitas 5. The Results and Realibility

Sampling Error dan Non Sampling Error dalam Survei Sampling Error and Non Sampling Error in Surveys
Ada beberapa kesalahan (Error) dapat terjadi dalam kegiatan survei, seperti: The following errors can arise in the data from surveys:
• Sampling Error: kesalahan karena metode sampling yang digunakan untuk mengestimasi nilai • Sampling error: errors arises from the use of sampling method to estímate values in a larger
populasi yang besar; population;
• Non Sampling Error: kesalahan karena faktor dari luar seperti kesalahan dalam pencatatan • Non Sampling error: errors arises from other factors such as mistake in recording, misreporting
data, laporan yang salah dll. etc.
Kesalahan sampling (sampling error) dari sensus yang lengkap seharusnya tidak ada (nol), The sampling error of a complete census should be zero, whereas both sampling error and non-
karena umumnya sampling error dan non sampling error terjadi di sampling survei. Keseimbangan sampling error can arise in sampling surveys. The balance between two errors should be considered in
antara error keduanya perlu dipertimbangkan dalam mendesain sebuah survei terutama dalam designing a survey, especially in the determination of sample size in order to describe the population.
penentuan besarnya sampel sehingga dapat menggambarkan populasi. Kenaikan besaran sampel The increase in sample size will reduce sampling errors but instead will increase non-sampling errors
akan menurunkan sampling error tetapi sebaliknya akan memperbesar non sampling error karena due to a greater possibility of human errors.
besarnya kemungkinan kesalahan manusia (human error).

Standard Error Standard Errors


Seperti yang dijelaskan pada poin 4-Prosedur, salah satu teknik statistik yang disebut As presented in 4. Proceddure, a statistical technique called ‘bootstrapping’ was used to improve
“bootstrapping” digunakan untuk meningkatkan akurasi hasil estimasi. Sebagian besar metode the accuracy of the estimation. Most of the bootstrap procedure used the models that have been
bootstrap menggunakan model yang telah diestimasi pada tahap pertama. Prosedur ini digunakan estimated in the first stage. The procedure was applied for different random components to bootstrap
untuk pengambilan berulang komponen random yang berbeda untuk mem-bootstrap dependent dependent variables.
variables.

Variabel yang dibootstrap adalah variabel dependent atau variabel indikator yang diestimasi The bootstrap variables are the dependent variables or estimated indicator variables such as the
seperti persentase rumah tangga yang tidak ada akses listrik dan persentase rumah tangga tanpa percentage of households with no access to electricity, the percentage of households without clean
air bersih. Penduga untuk nilai Standard Error yang merupakan indikator untuk Sampling Error water. Standard Error estimator was obtained from the standard deviation of all possible indicators of
diperoleh dari nilai standard deviasi dari indikator seluruh kemungkinan sampel yang disimulasi. the simulated samples.
Tabel 2 dibawah ini menunjukkan beberapa contoh dari range standard error dari beberapa Table 2 below shows some examples of the range of standard errors of some indicators in
indikator di 4 provinsi. 4 provinces.

Lampiran / Annex B-6


Tabel 2: Jumlah Kecamatan berdasarkan Range Standard Error (2 SD) Table 2: Number of Sub-districts by the Range of Standard Error (2 SD)

Range Standard Error Range of Standard Error


Provinsi/Kabupaten/Kota Province/District
< 20% 20 % - 40% > 40% < 20% 20 % - 40% > 40%

Indikator: Persentase rumah tangga tanpa akses listrik (Daerah Pedesaan/Perkotaan) Indicator: Percentage of households without access to electricity (Rural /Urban Areas)
Sumatera Selatan Sumatera Selatan
01. Ogan Komering Ulu 8 3 0 01. Ogan Komering Ulu 8 3 0
02. Ogan Komering Ilir 18 0 0 02. Ogan Komering Ilir 18 0 0
03. Muara Enim 18 3 1 03. Muara Enim 18 3 1
04. Lahat 12 5 0 04. Lahat 12 5 0
05. Musi Rawas 18 3 0 05. Musi Rawas 18 3 0
06. Musi Banyuasin 11 0 0 06. Musi Banyuasin 11 0 0
07. Banyuasin 11 4 0 07. Banyuasin 11 4 0
08. Ogan Komering Ulu Selatan 10 9 0 08. Ogan Komering Ulu Selatan 10 9 0
09. Ogan Komering Ulu Timur 13 7 0 09. Ogan Komering Ulu Timur 13 7 0
10. Ogan Ilir 16 0 0 10. Ogan Ilir 16 0 0
11. Empat Lawang 2 5 0 11. Empat Lawang 2 5 0
71. Palembang 0 2 0 71. Palembang 0 2 0
72. Prabumulih 2 1 1 72. Prabumulih 2 1 1
73. Pagar Alam 4 1 0 73. Pagar Alam 4 1 0
74. Lubuk Linggau 3 2 1 74. Lubuk Linggau 3 2 1

Indikator: Persentase rumah tangga tanpa akses ke air bersih (Daerah Pedesaan/Perkotaan) Indicator: Percentage of households without access to electricity (Rural/Urban Areas)

Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan


01. Tanah Laut 9 0 0 01. Tanah Laut 9 0 0
02. Kota Baru 3 17 0 02. Kota Baru 3 17 0
03. Banjar 12 7 0 03. Banjar 12 7 0
04. Barito Kuala 13 4 0 04. Barito Kuala 13 4 0
05. Tapin 10 2 0 05. Tapin 10 2 0
06. Hulu Sungai Selatan 9 2 0 06. Hulu Sungai Selatan 9 2 0
07. Hulu Sungai Tengah 10 1 0 07. Hulu Sungai Tengah 10 1 0
08. Hulu Sungai Utara 7 3 0 08. Hulu Sungai Utara 7 3 0
09. Tabalong 10 2 0 09. Tabalong 10 2 0
10. Tanah Bumbu 4 6 0 10. Tanah Bumbu 4 6 0
11. Balangan 6 2 0 11. Balangan 6 2 0
71. Banjarmasin 0 0 1 71. Banjarmasin 0 0 1
72. Banjar Baru 0 1 0 72. Banjar Baru 0 1 0

Lampiran / Annex B-7


Tabel 2 (lanjutan): Jumlah Kecamatan berdasarkan Range Standard Error Table 2 (contd): Number of Sub-districts by the Range of Standard Error
(2 SD) (2 SD)

Range Standard Error Range of Standard Error


Provinsi/Kabupaten/Kota Province/District
< 20% 20 % - 40% > 40% < 20% 20 % - 40% > 40%

Indikator: Perempuan Buta Huruf (Daerah Perkotaan/Perkotaan) Indicator: Female Illiteracy (Rural/Urban Areas)

Sumatera Selatan Sumatera Selatan


01. Ogan Komering Ulu 2 1 1 01. Ogan Komering Ulu 2 1 1
02. Ogan Komering Ilir 1 2 3 02. Ogan Komering Ilir 1 2 3
03. Muara Enim 3 0 2 03. Muara Enim 3 0 2
04. Lahat 1 0 1 04. Lahat 1 0 1
05. Musi Rawas 0 0 1 05. Musi Rawas 0 0 1
06. Musi Banyuasin 1 0 1 06. Musi Banyuasin 1 0 1
07. Banyuasin 1 3 0 07. Banyuasin 1 3 0
08. Ogan Komering Ulu Selatan 0 2 1 08. Ogan Komering Ulu Selatan 0 2 1
09. Ogan Komering Ulu Timur 1 1 0 09. Ogan Komering Ulu Timur 1 1 0
10. Ogan Ilir 1 2 0 10. Ogan Ilir 1 2 0
11. Empat Lawang 0 1 0 11. Empat Lawang 0 1 0
71. Palembang 11 5 0 71. Palembang 11 5 0
72. Prabumulih 1 3 0 72. Prabumulih 1 3 0
73. Pagar Alam 1 1 0 73. Pagar Alam 1 1 0
74. Lubuk Linggau 4 3 0 74. Lubuk Linggau 4 3 0

Kalimantan Selatan Kalimantan Selatan


01. Tanah Laut 0 3 0 01. Tanah Laut 0 3 0
02. Kota Baru 1 0 0 02. Kota Baru 1 0 0
03. Banjar 1 2 1 03. Banjar 1 2 1
04. Barito Kuala 1 2 1 04. Barito Kuala 1 2 1
05. Tapin 1 1 0 05. Tapin 1 1 0
06. Hulu Sungai Selatan 3 1 2 06. Hulu Sungai Selatan 3 1 2
07. Hulu Sungai Tengah 1 1 0 07. Hulu Sungai Tengah 1 1 0
08. Hulu Sungai Utara 1 4 0 08. Hulu Sungai Utara 1 4 0
09. Tabalong 1 2 1 09. Tabalong 1 2 1
10. Tanah Bumbu 2 1 1 10. Tanah Bumbu 2 1 1
11. Balangan 0 1 0 11. Balangan 0 1 0
71. Banjarmasin 5 0 0 71. Banjarmasin 5 0 0
72. Banjar Baru 0 5 0 72. Banjar Baru 0 5 0

Catatan: Daerah urban/rural berdasarkan desa/kelurahan dalam kecamatan, jadi jumlah kecamatan urban/rural adalah tidak Note: Local urban/rural based on villages in the sub district, the number of sub-district urban/rural is not always the same.
selalu sama.

Nilai dari standard error untuk beberapa indikator yang diestimasi, secara umum dapat diterima The standard error values for the estimated indicators are generally acceptable for both urban and
(acceptable) baik di daerah perkotaan (urban) maupun daerah pedesaan (rural), dimana sebagian rural areas, which are mostly in range below 20%. Relatively a small number of sub-districts had
besar berada di bawah 20%. Relatif sebagian kecil kecamatan berada pada kisaran 20-40%, dan between 20-40%, and a few had above 40%.
beberapa diatas 40%.

Lampiran / Annex B-8


Lampiran 2.1: Indikator Ketersediaan Pangan
Annex 2.1: Food Availability Indicators

Produksi Rata-rata Produksi Total Produksi Bersih Rasio Konsumsi


Produksi Rata-rata Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Serealia Pokok/ Serealia per Normatif terhadap
Padi/ Average Jagung / Average Total Populasi/
Ubi Jalar/ Total Major Cereal Kapita per Hari/ Produksi Bersih
Kecamatan/ Paddy Production Maize Production Total Population Peringkat/
Average Cassava Production Net Cereal per Kapita/
No Sub-district (2008)
2007-2009 2007-2009 & Sweet Potato 2007-2009 Production Normative Rank
(Ton) (Ton) Production (Ton) per Kapita per Day Consumption
2007-2009 (g) to Net Per Capita
(Ton) Production Ratio

Lombok Barat
1 Sekotong Tengah 6,494 2,685 528 9,707 51,540 516 0.58 83
2 Lembar 5,780 1,901 537 8,218 47,819 471 0.64 85
3 Gerung 12,476 2,702 786 15,963 75,545 579 0.52 78
4 Labu Api 8,700 498 81 9,279 63,801 398 0.75 93
5 Kediri 8,050 697 110 8,856 57,058 425 0.71 89
6 Kuripan 5,235 558 178 5,970 34,130 479 0.63 84
7 Narmada 17,620 21 1,573 19,214 89,507 588 0.51 75
8 Lingsar 14,879 97 110 15,086 68,037 607 0.49 74
9 Gunung Sari 5,892 247 488 6,627 77,132 235 1.27 102
10 Batu Layar 1,676 45 1,971 3,692 38,654 262 1.15 101

Lombok Tengah
11 Praya Barat 22,972 1,921 423 25,316 67,063 1,034 0.29 45
12 Praya Barat Daya 18,077 2,195 718 20,990 50,874 1,130 0.27 38
13 Pujut 20,135 2,410 724 23,269 94,995 671 0.45 70
14 Praya Timur 19,974 159 43 20,175 63,773 867 0.35 60
15 Janapria 16,820 9 188 17,017 67,826 687 0.44 68
16 Kopang 12,979 1,399 524 14,902 75,835 538 0.56 80
17 Praya 15,067 266 67 15,401 100,105 421 0.71 90
18 Praya Tengah 19,307 10 6 19,324 59,658 887 0.34 58
19 Jonggat 26,375 774 - 27,148 87,211 853 0.35 61
20 Pringgarata 14,602 309 202 15,113 59,789 693 0.43 67
21 Batukliang 11,330 750 1,790 13,870 71,289 533 0.56 81
22 Batukliang Utara 10,403 423 577 11,403 45,687 684 0.44 69

Lampiran / Annex B-9


Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan
Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator

Produksi Rata-rata Produksi Total Produksi Bersih Rasio Konsumsi


Produksi Rata-rata Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Serealia Pokok/ Serealia per Normatif terhadap
Padi/ Average Jagung / Average Total Populasi/
Ubi Jalar/ Total Major Cereal Kapita per Hari/ Produksi Bersih
Kecamatan/ Paddy Production Maize Production Total Population Peringkat/
Average Cassava Production Net Cereal per Kapita/
No Sub-district (2008)
2007-2009 2007-2009 & Sweet Potato 2007-2009 Production Normative Rank
(Ton) (Ton) Production (Ton) per Kapita per Day Consumption
2007-2009 (g) to Net Per Capita
(Ton) Production Ratio

Lombok Timur
23 Keruak 5,410 132 112 5,655 46,776 331 0.91 96
24 Jerowaru 10,545 1,003 108 11,657 50,331 635 0.47 72
25 Sakra 6,266 57 55 6,379 51,899 337 0.89 95
26 Sakra Barat 9,583 504 94 10,180 45,609 612 0.49 73
27 Sakra Timur 8,734 52 43 8,830 41,412 584 0.51 76
28 Terara 9,949 476 125 10,550 69,399 416 0.72 91
29 Montong Gading 10,403 165 224 10,791 37,014 799 0.38 63
30 Sikur 10,182 86 100 10,368 68,228 416 0.72 92
31 Masbagik 10,014 262 69 10,346 90,739 312 0.96 98
32 Pringgasela 7,292 342 64 7,697 48,342 436 0.69 88
33 Sukamulia 3,375 24 56 3,455 29,501 321 0.94 97
34 Suralaga 5,728 462 501 6,691 48,824 375 0.80 94
35 Selong 4,689 589 79 5,357 73,889 199 1.51 104
36 Labuhan Haji 6,822 3,295 651 10,769 50,917 579 0.52 77
37 Pringgabaya 9,035 20,434 145 29,613 91,806 884 0.34 59
38 Suela 9,884 4,504 165 14,553 37,507 1,063 0.28 44
39 Aikmel 24,584 4,917 782 30,283 89,872 923 0.32 55
40 Wanasaba 11,679 6,380 149 18,208 60,107 830 0.36 62
41 Sembalun 2,766 603 161 3,529 18,209 531 0.56 82
42 Sambelia 8,885 4,154 253 13,292 31,249 1,165 0.26 37

Sumbawa
43 Lunyuk 12,582 5,799 60 18,441 16,905 2,989 0.10 6
44 Orong Telu 3,484 150 29 3,663 5,908 1,699 0.18 25
45 Alas 6,461 321 13 6,795 28,948 643 0.47 71
46 Alas Barat 4,897 2,168 13 7,078 20,019 969 0.31 49

Lampiran / Annex B-10


Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan
Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator

Produksi Rata-rata Produksi Total Produksi Bersih Rasio Konsumsi


Produksi Rata-rata Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Serealia Pokok/ Serealia per Normatif terhadap
Padi/ Average Jagung / Average Total Populasi/
Ubi Jalar/ Total Major Cereal Kapita per Hari/ Produksi Bersih
Kecamatan/ Paddy Production Maize Production Total Population Peringkat/
Average Cassava Production Net Cereal per Kapita/
No Sub-district (2008)
2007-2009 2007-2009 & Sweet Potato 2007-2009 Production Normative Rank
(Ton) (Ton) Production (Ton) per Kapita per Day Consumption
2007-2009 (g) to Net Per Capita
(Ton) Production Ratio

Sumbawa
47 Buer 4,171 239 105 4,516 15,761 785 0.38 64
48 Utan 7,918 3,235 145 11,298 28,669 1,080 0.28 42
49 Rhee 2,576 844 122 3,542 7,190 1,349 0.22 34
50 Batulanteh 2,472 896 166 3,535 10,616 912 0.33 56
51 Sumbawa 2,717 1,399 125 4,241 53,094 219 1.37 103
52 Labuhan Badas 2,183 1,946 176 4,305 26,756 441 0.68 86
53 Unter Iwes 6,100 336 347 6,783 18,032 1,031 0.29 46
54 Moyo Hilir 19,797 562 85 20,444 21,674 2,584 0.12 10
55 Moyo Utara 7,596 391 49 8,035 9,266 2,376 0.13 14
56 Moyo Hulu 17,014 412 31 17,456 20,497 2,333 0.13 16
57 Ropang 6,737 297 110 7,144 5,717 3,423 0.09 3
58 Lenangguar 4,521 153 48 4,722 6,378 2,028 0.15 19
59 Lantung 2,224 179 47 2,449 2,673 2,510 0.12 11
60 Lape 13,696 598 29 14,323 15,815 2,481 0.12 12
61 Lopok 15,311 359 29 15,699 17,371 2,476 0.12 13
62 Plampang 18,201 7,522 264 25,987 25,980 2,740 0.11 7
63 Labangka 1,574 22,982 27 24,583 9,387 7,175 0.04 2
64 Maronge 8,831 918 204 9,953 10,041 2,716 0.11 9
65 Empang 20,682 1,392 102 22,176 22,231 2,733 0.11 8
66 Tarano 7,025 1,129 117 8,272 14,941 1,517 0.20 29

Dompu
67 Hu’u 10,345 449 25 10,819 16,319 1,816 0.17 21
68 Pajo 9,267 659 - 9,926 12,723 2,137 0.14 17
69 Dompu 17,844 846 24 18,713 47,743 1,074 0.28 43
70 Woja 16,160 1,092 91 17,343 50,423 942 0.32 51

Lampiran / Annex B-11


Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan
Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator

Produksi Rata-rata Produksi Total Produksi Bersih Rasio Konsumsi


Produksi Rata-rata Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Serealia Pokok/ Serealia per Normatif terhadap
Padi/ Average Jagung / Average Total Populasi/
Ubi Jalar/ Total Major Cereal Kapita per Hari/ Produksi Bersih
Kecamatan/ Paddy Production Maize Production Total Population Peringkat/
Average Cassava Production Net Cereal per Kapita/
No Sub-district (2008)
2007-2009 2007-2009 & Sweet Potato 2007-2009 Production Normative Rank
(Ton) (Ton) Production (Ton) per Kapita per Day Consumption
2007-2009 (g) to Net Per Capita
(Ton) Production Ratio

Dompu
71 Kilo 3,583 1,875 36 5,494 11,572 1,301 0.23 36
72 Kempo 5,239 2,039 195 7,473 18,842 1,087 0.28 39
73 Manggalewa 11,038 3,909 414 15,361 27,234 1,545 0.19 28
74 Pekat 12,859 1,688 318 14,866 28,329 1,438 0.21 30

Bima
75 Monta 14,458 2,243 34.69 16,736 32,931 1,392 0.22 32
76 Parado 4,284 642 81.83 5,008 8,782 1,562 0.19 27
77 Bolo 8,913 1,996 179.94 11,089 41,526 732 0.41 66
78 Mada Pangga 15,872 1,818 110.02 17,800 27,729 1,759 0.17 23
79 Woha 9,999 2,865 172.09 13,036 40,146 890 0.34 57
80 Belo 5,567 995 26.05 6,588 19,342 933 0.32 52
81 Palibelo 7,978 1,382 122.16 9,482 23,715 1,095 0.27 40
82 Wawo 12,351 1,588 201.67 14,141 29,786 1,301 0.23 35
83 Langgudu 10089 2,068 190.67 12,348 17,692 1,912 0.16 20
84 Lambitu 3012 341 169.60 3,523 3,159 3,055 0.10 5
85 Sape 8321 1,982 81.72 10,384 49,899 570 0.53 79
86 Lambu 8192 2,927 181.67 11,300 31,474 984 0.30 48
87 Wera 8353 1,001 212.55 9,566 27,575 950 0.32 50
88 Ambalawi 5901 286 444.99 6,633 17,787 1,022 0.29 47
89 Donggo 18322 656 402.13 19,381 16,437 3,230 0.09 4
90 Soromandi 5951 655 155.39 6,761 13,142 1,409 0.21 31
91 Sanggar 6975 1,495 86.23 8,557 11,528 2,034 0.15 18
92 Tambora 8017 1,683 1,195.59 10,895 3,796 7,863 0.04 1

Lampiran / Annex B-12


Lampiran 2.1 (lanjutan): Indikator Ketersediaan Pangan
Annex 2.1 (contd): Food Availability Indicator

Produksi Rata-rata Produksi Total Produksi Bersih Rasio Konsumsi


Produksi Rata-rata Produksi Rata-rata Ubi Kayu & Serealia Pokok/ Serealia per Normatif terhadap
Padi/ Average Jagung / Average Total Populasi/
Ubi Jalar/ Total Major Cereal Kapita per Hari/ Produksi Bersih
Kecamatan/ Paddy Production Maize Production Total Population Peringkat/
Average Cassava Production Net Cereal per Kapita/
No Sub-district (2008)
2007-2009 2007-2009 & Sweet Potato 2007-2009 Production Normative Rank
(Ton) (Ton) Production (Ton) per Kapita per Day Consumption
2007-2009 (g) to Net Per Capita
(Ton) Production Ratio

Sumbawa Barat
93 Sekongkang 2,161 220 4.15 2,385 7,072 924 0.32 54
94 Jereweh 2,493 225 14.49 2,733 6,926 1,081 0.28 41
95 Maluk 381 62 - 443 9,778 124 2.42 105
96 Taliwang 12,011 576 32.04 12,619 37,117 931 0.32 53
97 Brang Ene 2,851 15 - 2,866 4,759 1,650 0.18 26
98 Brang Rea 9,122 328 14.58 9,464 11,092 2,338 0.13 15
99 Seteluk 6,896 2,096 106.66 9,098 14,319 1,741 0.17 24
100 Poto Tano 938 4,168 87.88 5,194 7,993 1,780 0.17 22

Lombok Utara
101 Tanjung 3,683 84 1,278 5,045 47,135 293 1.02 99
102 Pemenang 1,325 193 1,801 3,318 32,157 283 1.06 100
103 Gangga 4,414 1,034 1,992 7,440 46,317 440 0.68 87
104 Kayangan 7,446 3,054 1,195 11,695 41,225 777 0.39 65
105 Bayan 12,500 9,401 1,027 22,928 46,466 1,352 0.22 33

Lampiran / Annex B-13


Lampiran 3.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan
Annex 3.1: Food Access Indicators

Penduduk di Bawah Garis Rumah Tangga tanpa


Kecamatan/ Akses ke Listrik/ Desa tanpa Akses ke Jalan/
No Kemiskinan / People Peringkat / Rank Peringkat / Rank Villages without Access to Peringkat / Rank
Sub-district Below Poverty Line (%) Households without Ac-
cess to Electricity (%) Roads (%)

Lombok Barat
1 Sekotong Tengah 20.96 47 9.44 46 0.00 1
2 Lembar 16.20 23 13.05 63 0.00 1
3 Gerung 29.39 86 8.94 45 0.00 1
4 Labu Api 30.55 89 8.89 44 0.00 1
5 Kediri 30.80 91 9.44 46 0.00 1
6 Kuripan 14.60 16 7.47 34 0.00 1
7 Narmada 31.49 93 12.19 54 0.00 1
8 Lingsar 20.90 45 8.57 43 0.00 1
9 Gunung Sari 29.26 85 11.18 53 0.00 1
10 Batu Layar 24.41 64 13.74 66 0.00 1

Lombok Tengah
11 Praya Barat 14.90 19 14.92 71 11.11 92
12 Praya Barat Daya 20.96 48 12.96 62 0.00 1
13 Pujut 19.17 36 12.59 59 0.00 1
14 Praya Timur 15.54 21 12.78 60 0.00 1
15 Janapria 23.83 61 16.31 75 0.00 1
16 Kopang 22.39 55 14.43 69 0.00 1
17 Praya 25.12 70 14.92 71 0.00 1
18 Praya Tengah 28.13 80 16.96 76 0.00 1
19 Jonggat 24.84 67 14.92 71 0.00 1
20 Pringgarata 22.53 56 14.65 70 0.00 1
21 Batukliang 24.18 63 14.92 71 0.00 1
22 Batukliang Utara 22.12 52 13.53 64 0.00 1

Lombok Timur
23 Keruak 35.97 99 31.47 103 0.00 1
24 Jerowaru 29.19 83 26.26 101 0.00 1
25 Sakra 27.33 75 25.77 93 0.00 1

Lampiran / Annex B-14


Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan
Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators

Penduduk di Bawah Garis Rumah Tangga tanpa


Kecamatan/ Akses ke Listrik/ Desa tanpa Akses ke Jalan/
No Kemiskinan / People Peringkat / Rank Peringkat / Rank Villages without Access to Peringkat / Rank
Sub-district Below Poverty Line (%) Households without Ac-
cess to Electricity (%) Roads (%)

Lombok Timur

26 Sakra Barat 24.75 66 24.26 89 0.00 1


27 Sakra Timur 23.33 59 25.18 91 0.00 1
28 Terara 5.84 2 25.77 93 0.00 1
29 Montong Gading 14.60 17 25.77 93 0.00 1
30 Sikur 34.09 97 26.97 102 0.00 1
31 Masbagik 42.10 103 34.85 105 0.00 1
32 Pringgasela 27.88 79 32.75 104 0.00 1
33 Sukamulia 17.33 30 25.77 93 0.00 1
34 Suralaga 30.61 90 19.08 79 0.00 1
35 Selong 7.33 5 20.82 83 0.00 1
36 Labuhan Haji 28.95 81 25.77 93 0.00 1
37 Pringgabaya 32.81 95 20.51 82 0.00 1
38 Suela 15.93 22 25.77 93 0.00 1
39 Aikmel 20.17 43 25.77 93 0.00 1
40 Wanasaba 29.56 87 25.88 100 0.00 1
41 Sembalun 24.92 68 17.11 77 0.00 1
42 Sambelia 24.01 62 19.80 80 0.00 1

Sumbawa
43 Lunyuk 24.60 65 3.70 7 14.29 95
44 Orong Telu 13.06 10 2.75 1 50.00 102
45 Alas 7.76 6 4.14 10 0.00 1
46 Alas Barat 17.20 29 4.00 9 0.00 1
47 Buer 16.35 25 5.61 30 0.00 1
48 Utan 11.55 9 3.46 4 0.00 1
49 Rhee 10.49 8 4.50 16 0.00 1
50 Batulanteh 17.06 28 3.57 5 66.67 103
51 Sumbawa 14.24 14 2.90 2 0.00 1
52 Labuhan Badas 19.36 37 4.50 16 28.57 100

Lampiran / Annex B-15


Lampiran 3.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan
Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators

Penduduk di Bawah Garis Rumah Tangga tanpa


Kecamatan/ Akses ke Listrik/ Desa tanpa Akses ke Jalan/
No Kemiskinan / People Peringkat / Rank Peringkat / Rank Villages without Access to Peringkat / Rank
Sub-district Below Poverty Line (%) Households without Ac-
cess to Electricity (%) Roads (%)

Sumbawa
53 Unter Iwes 26.86 74 3.83 8 0.00 1
54 Moyo Hilir 22.54 57 6.02 31 0.00 1
55 Moyo Utara 31.74 94 4.50 16 0.00 1
56 Moyo Hulu 19.68 38 3.21 3 0.00 1
57 Ropang 5.01 1 4.50 16 100.00 105
58 Lenangguar 27.40 76 3.57 6 0.00 1
59 Lantung 39.49 101 4.50 16 0.00 1
60 Lape 30.46 88 4.71 24 0.00 1
61 Lopok 29.24 84 5.35 28 0.00 1
62 Plampang 17.90 32 4.50 16 0.00 1
63 Labangka 13.47 12 4.50 16 0.00 1
64 Maronge 23.75 60 5.03 25 0.00 1
65 Empang 31.39 92 4.50 16 0.00 1
66 Tarano 14.36 15 4.36 11 0.00 1

Dompu

67 Hu’u 21.26 49 24.99 90 0.00 1


68 Pajo 33.67 96 22.47 85 0.00 1
69 Dompu 20.13 42 25.61 92 0.00 1
70 Woja 25.18 71 23.72 88 0.00 1
71 Kilo 21.93 50 22.47 85 0.00 1
72 Kempo 20.95 46 20.85 84 0.00 1
73 Manggalewa 24.96 69 22.76 87 0.00 1
74 Pekat 23.18 58 19.94 81 0.00 1

Bima

75 Monta 18.19 33 14.21 68 0.00 1


76 Parado 15.41 20 8.16 37 0.00 1

Lampiran / Annex B-16


Lampiran 3.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan
Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators

Penduduk di Bawah Garis Rumah Tangga tanpa


Kecamatan/ Akses ke Listrik/ Desa tanpa Akses ke Jalan/
No Kemiskinan / People Peringkat / Rank Peringkat / Rank Villages without Access to Peringkat / Rank
Sub-district Below Poverty Line (%) Households without Ac-
cess to Electricity (%) Roads (%)

Bima

77 Bolo 22.15 54 12.55 58 0.00 1


78 Mada Pangga 19.77 39 13.81 67 0.00 1
79 Woha 27.41 77 10.69 50 0.00 1
80 Belo 34.60 98 10.69 50 0.00 1
81 Palibelo 14.76 18 7.92 36 0.00 1
82 Wawo 41.91 102 13.67 65 0.00 1
83 Langgudu 16.21 24 8.41 42 20.00 97
84 Lambitu 7.07 4 10.69 50 0.00 1
85 Sape 18.75 34 12.83 61 0.00 1
86 Lambu 29.11 82 9.91 48 0.00 1
87 Wera 19.99 40 8.27 41 0.00 1
88 Ambalawi 22.10 51 10.29 49 0.00 1
89 Donggo 25.96 72 7.75 35 12.50 94
90 Soromandi 16.86 27 8.26 40 66.67 103
91 Sanggar 13.78 13 8.18 38 0.00 1
92 Tambora 6.24 3 6.96 33 11.11 92

Sumbawa Barat

93 Sekongkang 27.51 78 5.33 27 16.67 96


94 Jereweh 37.98 100 4.46 12 0.00 1
95 Maluk 17.87 31 4.46 12 0.00 1
96 Taliwang 13.25 11 5.23 26 0.00 1
97 Brang Ene 16.57 26 4.46 12 40.00 101
98 Brang Rea 42.12 104 6.05 32 0.00 1
99 Seteluk 26.28 73 5.40 29 0.00 1
100 Poto Tano 8.78 7 4.46 12 20.00 97

Lampiran / Annex B-17


Lampiran 3.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Pangan
Annex 3.1 (contd): Food Access Indicators

Penduduk di Bawah Garis Rumah Tangga tanpa


Kecamatan/ Akses ke Listrik/ Desa tanpa Akses ke Jalan/
No Kemiskinan / People Peringkat / Rank Peringkat / Rank Villages without Access to Peringkat / Rank
Sub-district Below Poverty Line (%) Households without Ac-
cess to Electricity (%) Roads (%)

Lombok Utara

101 Tanjung 20.83 44 8.19 39 0.00 1


102 Pemenang 53.78 105 17.54 78 25.00 99
103 Gangga 22.13 53 12.36 55 0.00 1
104 Kayangan 20.05 41 12.36 55 0.00 1
105 Bayan 18.99 35 12.36 55 0.00 1

Lampiran / Annex B-18


Lampiran 4.1: Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi
Annex 4.1: Health and Nutrition Indicators

Desa dengan Rumah Tangga


Berat Badan Jarak 5 km tanpa Akses ke Air
Perempuan Buta Angka Harapan
Balita di bawah dari Fasilitas Bersih/
Kecamatan/ Huruf / Female Peringkat / Hidup/ Peringkat / Peringkat / Peringkat / Peringkat /
Standar/ Kesehatan/ Households without
No Sub-district Rank Life Expectancy Rank Rank Rank Rank
Illiteracy (%) Underweight Villages > 5 Access to Clean
(Tahun / year)
Children < 5 yrs km from Health Drinking Water
(%) Facilities (%) (%)

Lombok Barat
1 Sekotong Tengah 32.01 85 61.14 65 25.40 84 0.00 1 7.29 30
2 Lembar 28.59 73 59.27 21 23.99 74 0.00 1 13.39 65
3 Gerung 32.01 85 58.70 13 16.95 32 0.00 1 11.36 56
4 Labu Api 27.91 70 58.33 9 22.98 69 0.00 1 10.41 50
5 Kediri 26.58 64 59.23 20 24.90 80 0.00 1 15.47 68
6 Kuripan 32.01 85 58.57 11 33.08 99 0.00 1 10.51 51
7 Narmada 31.14 84 59.49 26 10.08 6 0.00 1 12.74 62
8 Lingsar 32.01 85 59.94 35 21.90 57 10.00 86 9.68 44
9 Gunung Sari 33.86 92 60.59 52 21.91 58 0.00 1 11.09 55
10 Batu Layar 29.57 79 61.28 70 18.67 42 0.00 1 11.36 56

Lombok Tengah
11 Praya Barat 38.29 102 60.13 37 19.68 49 0.00 1 24.33 86
12 Praya Barat Daya 38.99 104 61.67 81 22.33 61 20.00 93 22.71 81
13 Pujut 35.27 95 60.33 44 15.35 30 0.00 1 29.31 102
14 Praya Timur 39.70 105 60.38 47 17.72 35 0.00 1 26.43 89
15 Janapria 36.82 100 58.55 10 18.18 38 0.00 1 19.84 73
16 Kopang 36.39 97 59.88 34 12.50 15 0.00 1 20.30 74
17 Praya 37.76 101 60.47 51 14.54 26 0.00 1 22.71 81
18 Praya Tengah 35.16 94 60.23 39 12.38 14 10.00 86 22.27 79
19 Jonggat 38.65 103 60.27 42 22.35 62 0.00 1 22.71 81
20 Pringgarata 36.39 97 58.20 7 12.19 13 0.00 1 22.71 81
21 Batukliang 34.46 93 61.20 66 10.54 8 0.00 1 18.30 71
22 Batukliang Utara 36.39 97 61.55 76 23.05 70 0.00 1 22.71 81

Lombok Timur
23 Keruak 29.99 80 57.06 4 24.41 77 0.00 1 36.99 105
24 Jerowaru 28.12 71 60.66 56 25.70 86 0.00 1 26.84 90
25 Sakra 30.48 82 55.27 2 23.14 77 0.00 1 27.72 101

Lampiran / Annex B-19


Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi
Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators

Desa dengan Rumah Tangga


Berat Badan Jarak 5 km tanpa Akses ke Air
Perempuan Buta Angka Harapan
Balita di bawah dari Fasilitas Bersih/
Kecamatan/ Huruf / Female Peringkat / Hidup/ Peringkat / Peringkat / Peringkat / Peringkat /
Standar/ Kesehatan/ Households without
No Sub-district Rank Life Expectancy Rank Rank Rank Rank
Illiteracy (%) Underweight Villages > 5 Access to Clean
(Tahun / year)
Children < 5 yrs km from Health Drinking Water
(%) Facilities (%) (%)

Lombok Timur
26 Sakra Barat 28.33 72 59.50 27 17.12 86 0.00 1 26.84 90
27 Sakra Timur 24.39 55 59.10 17 22.09 71 0.00 1 25.66 88
28 Terara 28.89 74 60.97 64 24.24 33 0.00 1 27.49 100
29 Montong Gading 28.89 74 58.60 12 25.95 59 0.00 1 26.84 90
30 Sikur 28.89 74 60.81 60 22.75 75 0.00 1 21.25 78
31 Masbagik 32.28 91 58.99 15 26.29 87 0.00 1 25.52 87
32 Pringgasela 30.18 81 61.31 71 20.55 66 0.00 1 8.75 40
33 Sukamulia 25.84 59 60.41 49 15.15 88 0.00 1 26.84 90
34 Suralaga 27.61 68 59.18 19 20.34 54 0.00 1 8.72 39
35 Selong 24.17 54 60.38 46 22.78 29 0.00 1 10.07 48
36 Labuhan Haji 26.23 62 60.26 41 23.46 52 0.00 1 26.84 90
37 Pringgabaya 24.94 57 59.13 18 18.94 67 0.00 1 26.84 90
38 Suela 30.62 83 61.64 80 22.50 73 0.00 1 26.84 90
39 Aikmel 32.06 89 58.22 8 30.16 44 0.00 1 7.38 31
40 Wanasaba 26.99 66 62.05 90 22.17 63 0.00 1 26.84 90
41 Sembalun 29.38 77 58.01 6 24.36 95 25.00 100 26.84 90
42 Sambelia 26.81 65 62.49 92 18.96 60 0.00 1 12.94 63

Sumbawa

43 Lunyuk 13.39 15 59.66 30 18.48 76 0.00 1 3.86 8


44 Orong Telu 14.89 24 57.82 5 22.63 45 25.00 100 7.07 22
45 Alas 11.19 2 59.65 29 17.18 34 0.00 1 8.39 37
46 Alas Barat 16.09 26 61.34 72 25.55 85 0.00 1 7.07 22
47 Buer 12.14 8 61.21 67 13.70 23 0.00 1 10.70 53
48 Utan 14.42 19 61.83 87 27.38 90 0.00 1 9.05 43
49 Rhee 14.69 22 62.70 93 18.61 41 25.00 100 7.48 33
50 Batulanteh 15.58 25 59.86 33 15.79 31 16.67 91 7.07 22
51 Sumbawa 14.69 22 59.44 24 17.93 36 0.00 1 6.50 18
52 Labuhan Badas 14.55 21 60.60 53 13.11 19 0.00 1 10.71 54

Lampiran / Annex B-20


Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi
Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators

Desa dengan Rumah Tangga


Berat Badan Jarak 5 km tanpa Akses ke Air
Perempuan Buta Angka Harapan
Balita di bawah dari Fasilitas Bersih/
Kecamatan/ Huruf / Female Peringkat / Hidup/ Peringkat / Peringkat / Peringkat / Peringkat /
Standar/ Kesehatan/ Households without
No Sub-district Rank Life Expectancy Rank Rank Rank Rank
Illiteracy (%) Underweight Villages > 5 Access to Clean
(Tahun / year)
Children < 5 yrs km from Health Drinking Water
(%) Facilities (%) (%)

Sumbawa
53 Unter Iwes 12.98 14 59.66 31 19.34 47 0.00 1 6.65 20
54 Moyo Hilir 12.05 6 61.85 88 14.64 27 0.00 1 10.25 49
55 Moyo Utara 11.65 5 61.72 83 24.88 79 0.00 1 8.18 35
56 Moyo Hulu 12.96 13 61.34 73 19.35 48 0.00 1 4.57 10
57 Ropang 14.15 18 61.75 84 10.90 10 20.00 93 7.07 22
58 Lenangguar 12.11 7 56.90 3 20.89 55 25.00 100 7.07 22
59 Lantung 18.16 30 60.04 36 0.72 1 0.00 1 7.07 22
60 Lape 11.40 4 61.57 77 52.68 105 0.00 1 7.38 32
61 Lopok 12.84 11 60.81 61 43.08 104 0.00 1 8.77 41
62 Plampang 12.94 12 60.78 58 18.43 39 0.00 1 8.06 34
63 Labangka 17.27 28 59.03 16 13.73 24 0.00 1 7.07 22
64 Maronge 9.44 1 61.41 74 28.15 91 0.00 1 3.95 9
65 Empang 13.71 16 61.64 79 24.80 78 10.00 86 7.07 22
66 Tarano 11.37 3 59.63 28 20.40 53 12.50 90 6.42 17

Dompu

67 Hu’u 26.14 61 60.28 43 25.24 82 0.00 1 12.60 61


68 Pajo 26.05 60 61.58 78 13.89 25 0.00 1 14.23 66
69 Dompu 24.77 56 60.80 59 13.67 22 0.00 1 9.69 45
70 Woja 23.58 51 60.45 50 30.11 94 0.00 1 12.05 58
71 Kilo 26.40 63 60.60 54 7.03 4 0.00 1 4.83 11
72 Kempo 23.78 52 62.25 91 13.49 21 0.00 1 9.69 45
73 Manggalewa 23.78 52 59.38 22 19.26 46 0.00 1 8.83 42
74 Pekat 25.80 58 61.27 69 10.63 9 0.00 1 9.69 45

Bima

75 Monta 20.69 41 63.38 99 31.89 98 0.00 1 22.50 80


76 Parado 20.69 41 65.15 103 20.21 51 20.00 93 3.70 7

Lampiran / Annex B-21


Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi
Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators

Desa dengan Rumah Tangga


Berat Badan Jarak 5 km tanpa Akses ke Air
Perempuan Buta Angka Harapan
Balita di bawah dari Fasilitas Bersih/
Kecamatan/ Huruf / Female Peringkat / Hidup/ Peringkat / Peringkat / Peringkat / Peringkat /
Standar/ Kesehatan/ Households without
No Sub-district Rank Life Expectancy Rank Rank Rank Rank
Illiteracy (%) Underweight Villages > 5 Access to Clean
(Tahun / year)
Children < 5 yrs km from Health Drinking Water
(%) Facilities (%) (%)

Bima

77 Bolo 18.77 33 63.49 100 22.81 68 0.00 1 31.86 104


78 Mada Pangga 20.69 41 63.03 95 31.48 97 0.00 1 12.33 59
79 Woha 20.26 39 62.82 94 13.01 18 0.00 1 17.39 69
80 Belo 21.20 47 61.69 82 25.20 81 0.00 1 17.39 69
81 Palibelo 20.69 41 65.80 104 14.67 28 0.00 1 7.04 21
82 Wawo 20.69 41 61.79 86 26.67 89 22.22 99 13.08 64
83 Langgudu 21.64 49 60.37 45 34.74 101 0.00 1 15.34 67
84 Lambitu 20.69 41 53.24 1 5.90 3 0.00 1 2.32 1
85 Sape 21.68 50 63.10 97 28.30 92 5.88 85 27.17 99
86 Lambu 18.23 31 63.05 96 37.00 102 0.00 1 29.40 103
87 Wera 19.88 38 60.39 48 33.57 100 0.00 1 12.46 60
88 Ambalawi 21.21 48 63.70 101 41.27 103 0.00 1 5.46 16
89 Donggo 18.31 32 60.76 57 11.54 11 0.00 1 2.89 2
90 Soromandi 18.93 34 65.82 105 30.28 96 16.67 91 8.52 38
91 Sanggar 19.56 37 59.48 25 12.89 17 0.00 1 8.27 36
92 Tambora 20.62 40 64.57 102 22.91 65 11.11 89 6.61 19

Sumbawa Barat

93 Sekongkang 17.10 27 59.39 23 12.85 16 0.00 1 3.17 3


94 Jereweh 19.03 36 58.75 14 21.01 56 25.00 100 4.92 12
95 Maluk 18.93 35 61.75 85 7.32 5 0.00 1 3.45 5
96 Taliwang 13.85 17 60.65 55 10.17 7 0.00 1 4.92 12
97 Brang Ene 17.65 29 61.99 89 20.16 50 20.00 93 3.64 6
98 Brang Rea 12.71 10 63.29 98 13.16 20 0.00 1 4.99 15
99 Seteluk 14.53 20 61.45 75 12.09 12 0.00 1 4.92 12
100 Poto Tano 12.46 9 60.25 40 5.10 2 20.00 93 3.32 4

Lampiran / Annex B-22


Lampiran 4.1 (lanjutan): Indikator-Indikator Akses terhadap Kesehatan dan Gizi
Annex 4.1 (contd): Health and Nutrition Indicators

Desa dengan Rumah Tangga


Berat Badan Jarak 5 km tanpa Akses ke Air
Perempuan Buta Angka Harapan
Balita di bawah dari Fasilitas Bersih/
Kecamatan/ Huruf / Female Peringkat / Hidup/ Peringkat / Peringkat / Peringkat / Peringkat /
Standar/ Kesehatan/ Households without
No Sub-district Rank Life Expectancy Rank Rank Rank Rank
Illiteracy (%) Underweight Villages > 5 Access to Clean
(Tahun / year)
Children < 5 yrs km from Health Drinking Water
(%) Facilities (%) (%)

Lombok Utara

101 Tanjung 27.00 67 60.82 62 25.31 83 0.00 1 18.96 72


102 Pemenang 36.09 96 59.81 32 18.72 43 0.00 1 21.11 75
103 Gangga 32.21 90 60.86 63 30.04 93 20.00 93 21.11 75
104 Kayangan 29.56 78 60.22 38 18.15 37 25.00 100 21.11 75
105 Bayan 27.77 69 61.23 68 23.16 72 0.00 1 10.52 52

Lampiran / Annex B-23


Lampiran 5.1: Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 2000 - 2007
Annex 5.1: Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007

Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
No Kecamatan / Sub-district
30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation 30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation
(1997/98-2007/08) (%) (1997/98-2007/08) (%)

Lombok Barat
1 Sekotong Tengah 1133.00 1147.00 101.24 158.00 132.00 83.54
2 Lembar 1159.40 1177.60 101.57 167.90 128.80 76.71
3 Gerung 1201.50 1299.40 108.15 222.40 155.50 69.92
4 Labu Api 1284.00 1371.90 106.85 295.10 228.60 77.47
5 Kediri 1289.20 1433.20 111.17 297.80 234.90 78.88
6 Kuripan 1103.90 1408.90 127.63 293.80 202.00 68.75
7 Narmada 1478.50 1422.20 96.19 261.20 149.90 57.39
8 Lingsar 1442.00 1398.40 96.98 242.20 197.00 81.34
9 Gunung Sari 1325.20 1373.80 103.67 259.10 206.90 79.85
10 Batu Layar 1234.70 1389.90 112.57 283.00 222.10 78.48

Lombok Tengah
11 Praya Barat 1340.40 1339.40 99.93 205.70 146.80 71.37
12 Praya Barat Daya 1244.40 1162.40 93.41 200.70 134.00 66.77
13 Pujut 1560.10 1434.40 91.94 167.90 122.50 72.96
14 Praya Timur 1502.10 1364.40 90.83 147.20 106.40 72.28
15 Janapria 1401.00 1354.00 96.65 153.80 107.90 70.16
16 Kopang 1527.40 1564.80 102.45 232.80 143.80 61.77
17 Praya 1499.00 1448.30 96.62 248.80 156.70 62.98
18 Praya Tengah 1544.60 1498.30 97.00 201.40 141.80 70.41
19 Jonggat 1383.80 1241.10 89.69 299.20 173.90 58.12
20 Pringgarata 1572.80 1539.00 97.85 347.50 204.70 58.91
21 Batukliang 1644.50 1529.80 93.03 316.60 157.20 49.65
22 Batukliang Utara 1590.80 1427.40 89.73 295.10 102.60 34.77

Lombok Timur
23 Keruak 926.95 1129.80 121.88 165.00 80.96 49.07
24 Jerowaru 839.40 1069.00 127.35 149.90 69.15 46.13
25 Sakra 1393.80 1405.00 100.80 124.40 83.68 67.27

Lampiran / Annex B-24


Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 2000 - 2007
Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007

Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
No Kecamatan / Sub-district
30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation 30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation
(1997/98-2007/08) (%) (1997/98-2007/08) (%)

Lombok Timur
26 Sakra Barat 1449.50 1460.00 100.72 222.70 134.90 60.57
27 Sakra Timur 1480.60 1465.60 98.99 200.50 123.30 61.50
28 Terara 1298.10 1632.30 125.75 168.10 175.30 104.28
29 Montong Gading 1430.60 1481.90 103.59 195.90 133.20 67.99
30 Sikur 1240.40 1449.40 116.85 161.60 146.80 90.84
31 Masbagik 1250.30 1563.40 125.04 162.50 164.00 100.92
32 Pringgasela 1299.60 1368.50 105.30 163.00 123.60 75.83
33 Sukamulia 1016.80 1413.30 138.99 139.30 137.20 98.49
34 Suralaga 1184.20 1082.80 91.44 89.83 69.85 77.76
35 Selong 1384.70 1250.70 90.32 126.90 74.09 58.38
36 Labuhan Haji 1289.30 978.99 75.93 124.00 69.99 56.44
37 Pringgabaya 1281.40 1006.00 78.51 113.90 65.19 57.23
38 Suela 1330.10 1169.90 87.96 148.70 102.30 68.80
39 Aikmel 1253.40 1227.00 97.89 208.70 119.00 57.02
40 Wanasaba 1274.40 1191.90 93.53 225.70 122.20 54.14
41 Sembalun 1233.00 1111.30 90.13 150.10 102.40 68.22
42 Sambelia 1285.10 1041.50 81.04 141.10 70.42 49.91

Sumbawa

43 Lunyuk 1208.80 1001.40 82.84 122.50 50.59 41.30


44 Orong Telu 1130.50 1001.30 88.57 128.80 58.33 45.29
45 Alas 1164.00 918.08 78.87 232.80 71.64 30.77
46 Alas Barat 1196.70 972.93 81.30 216.10 68.00 31.47
47 Buer 1046.80 828.36 79.13 207.60 76.56 36.88
48 Utan 1047.00 824.00 78.70 210.00 77.00 36.67
49 Rhee 1005.70 916.02 91.08 221.30 65.21 29.47
50 Batulanteh 1039.30 995.28 95.76 153.70 58.95 38.35
51 Sumbawa 910.00 1078.00 118.46 277.00 43.00 15.52
52 Labuhan Badas 867.67 1013.40 116.80 178.60 61.84 34.62

Lampiran / Annex B-25


Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 2000 - 2007
Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007

Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
No Kecamatan / Sub-district
30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation 30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation
(1997/98-2007/08) (%) (1997/98-2007/08) (%)

Sumbawa
53 Unter Iwes 912.58 1074.90 117.79 270.60 43.32 16.01
54 Moyo Hilir 872.71 1006.30 115.31 160.30 63.53 39.63
55 Moyo Utara 870.39 1019.70 117.15 185.00 60.93 32.94
56 Moyo Hulu 976.07 1012.70 103.75 142.00 51.29 36.12
57 Ropang 1103.70 1056.00 95.68 145.90 50.05 34.30
58 Lenangguar 1071.00 1001.90 93.55 127.40 53.45 41.95
59 Lantung 1039.20 1013.30 97.51 155.30 34.62 22.29
60 Lape 1035.80 1010.30 97.54 162.60 34.07 20.95
61 Lopok 1062.70 1013.10 95.33 160.30 29.67 18.51
62 Plampang 1113.90 1160.00 104.14 169.70 58.81 34.66
63 Labangka 1118.00 1161.00 103.85 170.00 59.00 34.71
64 Maronge 1100.20 1081.10 98.26 167.30 40.66 24.30
65 Empang 876.11 1102.30 125.82 153.80 47.66 30.99
66 Tarano 855.19 1056.60 123.55 143.50 44.69 31.14

Dompu

67 Hu’u 891.24 833.10 93.48 73.03 33.66 46.09


68 Pajo 834.38 820.90 98.38 97.86 37.54 38.36
69 Dompu 905.02 900.06 99.45 139.80 53.09 37.98
70 Woja 861.64 799.78 92.82 80.18 33.21 41.42
71 Kilo 912.00 845.00 92.65 65.01 30.00 46.15
72 Kempo 867.53 774.72 89.30 71.28 36.85 51.70
73 Manggalewa 862.89 832.25 96.45 86.48 34.22 39.57
74 Pekat 821.01 681.10 82.96 64.03 45.01 70.30

Bima

75 Monta 921.92 899.49 97.57 131.80 43.40 32.93


76 Parado 941.70 862.24 91.56 66.61 35.96 53.99

Lampiran / Annex B-26


Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 2000 - 2007
Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007

Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
No Kecamatan / Sub-district
30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation 30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation
(1997/98-2007/08) (%) (1997/98-2007/08) (%)

Bima

77 Bolo 781.14 796.99 102.03 117.80 65.53 55.63


78 Mada Pangga 814.83 841.13 103.23 120.70 58.50 48.47
79 Woha 1043.30 927.91 88.94 149.10 44.10 29.58
80 Belo 1037.50 953.80 91.93 112.00 58.03 51.81
81 Palibelo 898.30 809.96 90.17 118.70 47.83 40.29
82 Wawo 966.42 866.76 89.69 118.30 37.35 31.57
83 Langgudu 824.61 790.58 95.87 111.40 67.74 60.81
84 Lambitu 1049.00 900.16 85.81 111.00 41.73 37.59
85 Sape 858.27 847.81 98.78 127.20 25.95 20.40
86 Lambu 741.26 846.08 114.14 183.80 33.01 17.96
87 Wera 1001.80 903.20 90.16 125.00 34.53 27.62
88 Ambalawi 976.90 869.82 89.04 180.10 55.84 31.01
89 Donggo 889.04 881.84 99.19 157.10 43.21 27.50
90 Soromandi 886.03 823.99 93.00 141.50 23.41 16.54
91 Sanggar 862.24 755.33 87.60 64.46 38.21 59.28
92 Tambora 821.00 681.00 82.95 64.00 45.00 70.31

Sumbawa Barat

93 Sekongkang 1109.00 1007.00 90.80 240.00 69.00 28.75


94 Jereweh 1153.50 1024.90 88.85 215.10 65.69 30.54
95 Maluk 1109.00 1007.00 90.80 240.00 69.00 28.75
96 Taliwang 1247.00 1140.30 91.44 185.70 62.05 33.41
97 Brang Ene 1231.30 1116.60 90.68 261.10 69.26 26.53
98 Brang Rea 1219.80 1040.90 85.33 217.60 66.52 30.57
99 Seteluk 1242.20 1133.40 91.24 124.60 56.54 45.38
100 Poto Tano 1244.00 1141.00 91.72 120.00 56.00 46.67

Lampiran / Annex B-27


Lampiran 5.1 (lanjutan): Kumulatif Curah Hujan Selama Musim Hujan (Oktober - Maret) dan Musim Kemarau (April - September) untuk Periode 2000 - 2007
Annex 5.1 (contd): Rainfall Cumulative during Wet Season (October - March) and Dry Season (April - September) during 1997 - 2007

Akumulasi Curah Hujan Okt-Mar / Rainfall Accumulation Oct-Mar Akumulasi Curah Hujan Apr-Sep / Rainfall Accumulation Apr-Sep
No Kecamatan / Sub-district
30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation 30 tahun / years 10 tahun / years Deviasi / Deviation
(1997/98-2007/08) (%) (1997/98-2007/08) (%)

Lombok Utara

101 Tanjung 1108.20 1135.60 102.47 180.50 141.50 78.39


102 Pemenang 1295.10 1348.90 104.15 234.90 179.70 76.50
103 Gangga 1006.50 1011.30 100.48 137.00 111.30 81.24
104 Kayangan 1029.00 1019.20 99.05 141.30 123.10 87.12
105 Bayan 1049.50 1025.70 97.73 159.60 147.80 92.61

Lampiran / Annex B-28


Lampiran 6.1 Principal Component Analysis (PCA-Analisis Komponen Annex 6.1 Principal Component Analysis and Cluster Analysis:
Utama) dan Cluster Analysis (Analisis Kelompok): Untuk analyzing relationships among food security indicators
Analisa hubungan antar indicator ketahanan pangan

Salah satu bidang ilmu statistik yang disebut analisis multivariat atau analisis peubah ganda A domain of statistics called multivariate analysis offers several techniques for multi-dimensional
menyediakan beberapa teknik untuk menganalisis data multi dimensi yang dapat data analysis in order to capture the essence of the relationship among various indicators of food
menggambarkan hubungan antara berbagai variabel/indikator dari ketahanan pangan. Analisis security. Principal Component Analysis (PCA) and Cluster Analysis are the multivariate analysis used for
Komponen Utama (PCA) dan Analisis Kelompok adalah analisis multivariate yang digunakan analyzing relationship among food security indicators and identifying sub-districts with higher
untuk menganalisa hubungan antar indikator-indikator ketahanan pangan dan mengidentifikasi vulnerability to food insecurity.
kecamatan-kecamatan dengan tingkat kerentanan yang lebih tinggi terhadap kerawanan pangan.

1. Analisis Komponen Utama (PCA) 1. Principal Component Analysis (PCA)


Metode ini bertujuan untuk mengindentifikasi dan menggambarkan hubungan mendasar The objective of PCA is to identify and describe the underlying relationships amongst the variables
antar variabel dengan menciptakan indikator baru (disebut ‘faktor’ atau ‘komponen utama’) by creating new indicators (called ‘factors’ or ‘principal components’) that capture the essence of the
yang menggambarkan hubungan antar variabel. Satu analisis PCA dapat diaplikasikan untuk associations between variables. A single PCA can be applied to food security indicators in general
indikator-indikator ketahanan pangan secara umum (mencakup ketersediaan, akses dan (covering food availability, access, utilization).
pemanfaatan pangan).

Misalkan ada beberapa variabel yang berhubungan dengan ketahanan pangan, PCA sangat Suppose one has several variables relevant to food security, PCA is essentially a process of data
penting dalam proses seleksi untuk pereduksian data. Sebuah seri variabel yang mengukur reduction. A series of variables measuring a particular category (e,g, food access) are optimized into
kategori tertentu (misalnya akses pangan) dikonversi ke dalam komponen utama yang principal components capturing the essence of the relationships among initial variables. Each princi-
menggambarkan hubungan antar variabel asal. Setiap komponen utama kemudian menjadi pal component is thus a new indicator that represents the “best” summary of the linear relationship
indikator baru yang mewakili rangkuman “terbaik” hubungan linear antar variabel asal. PCA among the initial variables. PCA yields as many principal components as there are initial variables.
menghasilkan komponen utama sebanyak variabel asal. Namun, kontribusi setiap komponen However, the contribution of each principal component in explaining the total variance found amongst
utama dalam menjelaskan keragaman antar kecamatan yang ditemukan akan makin berkurang sub-districts will progressively decrease from the first principal component to the last. As a result,
dari komponen pertama hingga komponen terakhir. Akibatnya, serangkaian komponen utama a limited set of principal components explain the majority of the matrix variability and principal
yang terpilih akan menjelaskan sebagian besar matrix keragaman sehingga komponen utama components with little explanatory power can be removed from the analysis. The result is data
dengan kemampuan menjelaskan yang kecil dapat dikeluarkan dari analisa. Proses ini akan reduction with relatively little loss of information.
menghasilkan jumlah komponen yang lebih sedikit dari jumlah indikator tanpa banyak kehilangan
informasi data asal.
In general, the score of principal component (PCj) is defined as weighted linear combination of the
Secara umum skor komponen utama (PCj) didefinisikan sebagai kombinasi linear terboboti dari original indicator.
peubah asal.
PCj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp
PCj = a1jX1 + a2jX2 + … + apjXp
The number of principal components selected depends on the cumulative percentage of variance
Banyaknya komponen utama terpilih tergantung pada besarnya persentase keragaman kumulatif explained by each principal component. Morrison (1976) suggests that cumulative percentage of
yang dijelaskan oleh tiap komponen utama. Morrison (1976) menyatakan bahwa persentase variance should explain 75% or more of total variance.
keragaman kumulatif harus menjelaskan 75% atau lebih dari total keragaman.

2. Analisis Kelompok (Cluster Analysis) 2. Cluster Analysis


Analisis kelompok adalah metode analisis multivariat untuk mengelompokkan obyek menjadi Cluster analysis is a multivariate analysis method to group the objects into relatively homogenenous
kelompok yang relatif lebih homogen yang di sebut ‘cluster’ dengan menghitung jarak antar titik groups called ‘clusters’ by measuring the distance between data points. The final result of the analysis
tengah data. Hasil akhir analisis adalah untuk mendapatkan cluster-cluster dengan karakteristik is to obtain the clusters with similar characteristics of objects.
obyek yang lebih mirip.
Kelompok kecamatan prioritas ditentukan dengan menggunakan dua teknik analisis multivariat di Priority sub-districts are determined using above two multivariate analysis techniques. The detailed
atas. Langkah-langkah analisis lebih rinci dijelaskan di bawah ini. analysis procedures are described as below.

Lampiran / Annex B-29


1. Persiapan analisis data 1. Data preparation
• Semua indikator pada awalnya dibuat “unidirectional’ – semakin besar nilainya, semakin • All indicators were first made unidirectional – the larger the value, the higher the
tinggi tingkat kerawanannya. vulnerability.
• Melakukan standarisasi data dengan mengggunakan Z-skor. Z-skor dihitung dengan cara • The data was then standardized using the Z-score. Z-scores are computed by subtracting the
mengurangi rata-rata nilai indikator yang terkait di sebuah kecamatan dan kemudian mean of an indicator from the individual value pertaining to a sub-district and then dividing it
dibagi dengan standar deviasi dari indikator tersebut. Angka Z-skor bisa positif atau by the standard deviation of the indicator. The Z-score value could be both positive as well as
negatif; angka rata-rata selalu ‘nol’ dan standar deviasi Z-skor selalu ‘satu’. negative; the mean should be always ‘zero’ and the standard deviation of the Z-scores should
be always ‘one’.
2. Penentuan jumlah komponen utama dengan menggunakan PCA. 2. Determine the number of principal components by PCA
• PCA dijalankan dengan menggunakan Z-skor. Seperti terlihat pada tabel 1 di bawah • The PCA was run with the Z-scores. As Table 1 below shows, the first Principal Component
ini, komponen utama pertama (PC1) paling besar kontribusinya dalam menjelaskan (PC1) has significant contribution in describing the variance of information in the original
keragaman (informasi) data asal yaitu sebesar 31,5%, diikuti komponen utama kedua data (31.5%), followed by second Principal Component (PC2) (14.0%) and third Principal
(PC2) (14,0%) dan komponen utama ketiga (PC3) (13,0%). Persentase keragaman Component (PC3) (13.0%). The cumulative percentage of variance reaches a satisfactory
kumulatif mencapai tingkat yang memuaskan (92,1%) ketika 7 komponen dimasukan level (92.1%) when 7 components were involved.
dalam analisis.

Tabel 1. Analisis Eigen untuk Komponen Matrix


Table 1. Eigen Analysis of the Correlation Matrix

PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 PC9

Eigenvalue 2.8320 1.2566 1.1673 0.9150 0.7862 0.7573 0.5784 0.3582 0.3490
Proportion 0.315 0.140 0.130 0.102 0.087 0.084 0.064 0.040 0.039
Cumulative 0.315 0.454 0.584 0.686 0.773 0.857 0.921 0.961 1.000

Variabel/Variable PC1 PC2 PC3 PC4 PC5 PC6 PC7 PC8 PC9

Electricity_Z 0.480 0.004 -0.192 -0.030 -0.270 -0.043 0.204 0.765 -0.174
Water_Z 0.452 0.072 -0.393 -0.059 -0.137 0.032 -0.016 -0.554 -0.553
Illiteracy_Z 0.469 -0.184 -0.261 -0.081 -0.116 -0.064 -0.181 -0.184 0.767
Poverty_Z 0.241 0.233 0.136 0.756 0.200 -0.492 0.098 -0.064 0.032
Road_Z -0.303 -0.286 -0.504 -0.009 0.112 -0.237 0.700 -0.076 0.088
Health_Z -0.273 -0.196 -0.586 0.321 0.145 0.009 -0.598 0.224 -0.110
Underweight_Z 0.052 0.658 -0.295 0.009 0.429 0.479 0.157 0.069 0.185
Life_Exp2_Z 0.186 -0.523 0.161 0.440 0.108 0.649 0.191 -0.040 -0.033
NCPR_Z 0.290 -0.281 0.110 -0.347 0.791 -0.210 -0.085 0.092 -0.140

Lampiran / Annex B-30


3. Melakukan pengelompokan komponen dengan Analisis Kelompok. 3. Grouping of components by Cluster Analysis
6 cluster terbentuk dari hasil Analisis Kelompok. Cluster 1 (31 kecamatan), As a result of cluster analysis, 6 clusters were formed. Cluster 1 includes 31 sub-districts, Cluster
Cluster 2 (26 Kecamatan), Cluster 3 (7 Kecamatan), Cluster 4 (15 Kecamatan), Cluster 5 2 includes 26 sub-districts, Cluster 3 includes 7 sub-districts, Cluster 4 includes 15 sub-districts,
(6 Kecamatan), dan Cluster 6 (20 Kecamatan). Dan perlu dicatat bahwa Cluster tidak Cluster 5 includes 6 sub-districts and Cluster 6 includes 20 sub-districts. It should be noted that
menunjukkan tingkat prioritas pada proses ini. clusters do not indicate priority level at this stage of the process.

Tabel 2. Analisis Kelompok dari Observasi


Table 2. Cluster Analysis of Observations

Number of Within cluster Average distance Maximum distance


observations sum of squares from centroid from centroid
Cluster1 31 151.6190 2.0007 5.6336
Cluster2 26 75.2860 1.5253 3.8490
Cluster3 7 29.0760 1.9985 2.7172
Cluster4 15 38.1310 1.4016 4.0452
Cluster5 6 34.9560 2.2785 3.0962
Cluster6 20 91.6190 2.0502 3.3258

4. Menentukan tingkat prioritas dari cluster. 4. Determine the priority level of clusters
Cluster Centroids dihitung untuk setiap komponen utama (PC1 – PC7) berdasarkan hasil Cluster centroids are calculated for each principal component (PC1 to PC7) based on the result
Analisis Kelompok. Komponen utama pertama (PC1) yang paling besar kontribusinya dalam of cluster analysis. The first principal component (PC1) which accounts for the highest variance
menjelaskan keragaman data (31,5%) menjadi dasar dalam menghitung tingkat kerentanan of the data (31.5%) was selected as a primary means of measuring the vulnerability level of the
cluster. Dengan kata lain, semakin besar cluster centroid PC1 menunjukan semakin tinggi clusters. In other words, the larger cluster centroid of PC1 indicates higher vulnerability to food
tingkat kerentanan terhadap kerawanan pangan. Tabel 4 di bawah ini menunjukan cluster insecurity. Table 4 below shows the cluster centroids of PC1 in descending order.
centroids PC1 diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil.

Tabel 3. Titik Tengah Cluster


Table 3. Cluster Centroids

Variabel/Variable Kelompok/ Kelompok/ Kelompok/ Kelompok/ Kelompok/ Kelompok/


Cluster1 Cluster2 Cluster3 Cluster4 Cluster5 Cluster6
PC1 0.4914 1.9776 -0.2263 -1.4486 -3.5172 -1.1117
PC2 -0.1574 -0.2732 -0.2638 -0.4479 -1.4467 1.4615
PC3 0.5540 -0.4012 -1.4152 1.2388 -2.3016 -0.0805
PC4 -0.1223 -0.0246 1.4913 0.0202 0.0048 -0.3170
PC5 0.1907 -0.2879 0.4929 -0.3980 0.2484 0.1301
PC6 -0.1739 -0.1268 0.2903 0.2662 -0.4353 0.2637
PC7 0.0126 0.1510 -1.5901 0.2619 1.0147 -0.1602

Lampiran / Annex B-31


Tabel 4. Cluster Centroid komponen utama 1 (PC1) diurutkan dari yang terbesar hingga terkecil
Table 4. Cluster Centroid of Principal Component 1 (PC1) in descending order

Kelompok / Cluster Cluster Centroid

2 1.9776
1 0.4914
3 -0.2263
6 -1.1117
4 -1.4486
5 -3.5172

Akhirnya, 6 cluster akan dibuat peringkatnya yaitu dari prioritas 1 hingga prioritas 6 Finally, 6 clusters were ranked from priority 1 to priority 6 based on the cluster centroids of PC1. Table
berdasarkan cluster centroids PC1. Tabel 5 merangkum centroid PC1 dan jumlah kecamatan di tiap 5 summarises the centroid of PC1 and the number of sub-districts for each priority group.
kelompok prioritas.

Tabel 5. Centroid PC1 dan Jumlah Kecamatan pada tiap Kelompok Prioritas
Table 5. The centroid of PC1 and the Number of Sub-districts for each Priority Group

Prioritas / Kelompok / Skor PC1 / #Kecamatan /


Priority Cluster PC1 Score # Sub-districts

1 2 1.97757 26
2 1 0.49137 31
3 3 -0.22625 7
4 6 -1.11170 20
5 4 -1.44857 15
6 5 -3.51721 6

Lampiran / Annex B-32


Lampiran 6.2: Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit
Annex 6.2: Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group

Lampiran / Annex B-33


Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit
Annex 6.2 (contd): Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group

Lampiran / Annex B-34


Lampiran 6.2 (lanjutan): Peringkat Kecamatan Berdasarkan Indikator Individu dan Kelompok Prioritas Ketahanan Pangan Komposit
Annex 6.2 (contd): Ranking of Sub-districts Based on Individual Indicators and Composite Food Security Priority Group

Catatan / Note:
Rank Avai: Peringkat rasio konsumsi normatif per kapita terhadap ketersediaan serealia / Rank of Ratio Per capita normative consumption to cereal availability
Rank Pov: Peringkat penduduk hidup di bawah garis kemiskinan / Rank of people below poverty line
Rank Road: Peringkat desa yang tidak memiliki akses penghubung yang memadai / Rank of villages with inadequate connectivity
Rank Elec: Peringkat rumah tangga tanpa akses listrik / Rank of households without access to electricity
Rank Health: Peringkat desa dengan jarak lebih dari 5 km dari fasilitas kesehatan / Rank of villages living more than 5 km away from Health facilities
Rank Water: Peringkat rumah tangga tanpa akses ke air bersih / Rank of households without access to improved drinking water
Rank Flit: Peringkat perempuan buta huruf / Rank of female Illiteracy
Rank U5: Peringkat berat badan balita di bawah standar / Rank of underweight rate of under 5 children
Rank Life: Peringkat angka harapan hidup pada saat lahir / Rank of Life Expectancy at birth

Penduduk/Population: Jumlah penduduk berdasarkan BPS Kabupaten 2008 / Population number based on district BPS 2008

Pertama, seluruh indikator individu disusun peringkatnya berdasarkan nilai masing-masing, peringkat yang lebih tinggi menunjukkan tingkat kerawanan yang semakin tinggi. Peringkat ini
kemudian disusun menurut peringkat komposit untuk menunjukkan faktor utama yang menyebabkan peringkat kecamatan pada setiap prioritas / All individual indicators are first ranked according
to their values, showing higher ranks to higher degree of vulnerability. These ranks are then sorted by composite ranking to demonstrate the major factors responsible for the composite rank of each
sub-district within each priority.

Lampiran / Annex B-35


Peta Ketahanan dan Kerentanan Pangan (FSVA) Provinsi The collaboration between Provincial Food Security Office
Nusa Tenggara Barat (NTB) 2010 merupakan hasil (FSO) NTB and the United Nations World Food
kerjasama antara Badan Ketahanan Pangan (BKP) Provinsi Programme (WFP) brings us the Provincial Food Security
NTB dengan United Nations World Food Programme & Vulnerability Atlas (FSVA) of Nusa Tenggara Barat (NTB)
(WFP). FSVA provinsi NTB mencakup 105 Kecamatan di 8 Province 2010. Provincial FSVA covering 105 sub-districts
Kabupaten serta merupakan konsolidasi berbagai aspek in 8 rural districts that consolidated many variables of the
yang terkait dengan ketahanan pangan, seperti: food security aspects such as food availability, food access
ketersediaan pangan, akses dan distribusi pangan, serta and distribution, and health and nutrition. Provincial FSVA
gizi dan kesehatan. FSVA provinsi menyediakan sarana serves as an important tool for decision making in
bagi pengambil kebijakan dalam hal penentuan sasaran targeting and developing recommendations for
dan memberikan rekomendasi untuk intervensi responding to food and nutrition insecurity at the district
kerawanan pangan dan gizi di tingkat kabupaten dan and sub-districts levels.
kecamatan.

Berdasarkan analisa 13 indikator yang terkait dengan Analyzed 13 indicators related to food security for the
ketahanan pangan untuk periode 2007-2009, serta period of 2007-2009, and composite analysis of 9 of them
analisis komposit (berdasarkan komposit 9 indikator), allow the FSVA to answer three key questions on food
FSVA dapat menjawab tiga pertanyaan kunci terkait security and its vulnerability: Where are the higher
ketahanan dan kerentanan pangan yaitu: Di mana daerah vulnerable to food insecurity (by district, sub-district);
yang paling rawan ketahanan pangannya (per kabupaten, How Many are they (estimated population); and Why
kecamatan); Berapa banyak penduduk (perkiraan are they higher vulnerable (main determinants for food
penduduk); dan Mengapa mereka paling rawan (penentu insecurity)?.
utama untuk kerawanan pangan)?.

Laporan FSVA provinsi ini tersedia dalam 2 pilihan bahasa The provincial FSVA are available in bilingual (Bahasa
yaitu Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Indonesia and English).

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat World Food Programme (WFP)


Badan Ketahanan Pangan Vulnerability, Analysis and Mapping (VAM)
Bidang Ketersediaan Pangan Jl. Amir Hamzah No. 12
Jl. Majapahit No. 29, Mataram Karang Sukun, Mataram,
Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Barat
Indonesia Indonesia
Tel. : (62) 370 - 623 935 PEMERINTAH PROVINSI Tel. : (62) 370 - 628150/ 644 577
Fax. : (62) 370 - 636 005 Nusa Tenggara Barat Fax. : (62) 370 - 640739

Anda mungkin juga menyukai