Tentang:
EKONOMI ISLAM
Dosen Pengampu: Ismail M.E
FINA JULFIANA
RAHMATAN SETIADIN
Pertama sekali penulis mengucapkan rasa syukur pada Allah SWT yang
telah memberikan kesehatan dan kesempatan pada penulis untuk
menyelesaikan makalah EKONOMI PEMBANGUNAN ISLAM dengan
judul “INDIKATOR DAN ALAT UKUR PEMBANGUNAN EKONOMI
ISLAM”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang turut membantu menyelesaikan laporan ini, khususnya kepada
Dosen pembimbing Mata kuliah EKONOMI PEMBANGUNAN ISLAM
BAPAK ISMAIL M.E yang telah memberikan teori-teori pengalaman
dalam mata kuliah ekonomi pembangunan islam sehingga banyaknya
masukan yang di terima oleh penulis.
Walaupun penulis sudah berusaha sesuai dengan pengetahuan,
pengalaman atau kemampuan penulis, namun penulis masih merasakan
adanya kekurangan -kekurangan, sehingga saran-saran atau masukan
masukan sangat penulis harapkan. Mudah-mudahan laporan ini bermanfaat
bagi pembaca terutama penulis.
L
: life expectancy (tingkat harapan
E
hidup)
E
: education (pendidikan)
F : family and social relationship
(hubungan keluarga dan sosial)
R
: religiosity (religiositas)
Indeks Pembangunan Manusia Islam versi Aydin
Aydin (2017) mengembangkan delapan dimensi komposit dari indeks
pembangunan manusia Islam (Islamic Human Development Index/IHDI)
yang dikembangkan dari pemahaman atas perilaku manusia dari
antropologi tauhid.Dimensi ini termasuk fisik, penalaran, spiritual, etika,
hewan, sosial, menindas, dan memutuskan. Kemudian pengukurannya
menggunakan sembilan indeks berbeda, tiga di antaranya berasal dari HDI
konvensional (cHDI). Aydin (2017) mengikuti metodologi cHDI untuk
menghitung indeks komposit. Perhitungan cHDI melibatkan dua langkah.
Pada langkah pertama, nilai maksimum dan minimum digunakan untuk
mengubah indikator menjadi indeks antara 0 dan
1. Kemudian, rumus berikut digunakan untuk menghitung indeks setiap
dimensi: (nilai saat ini - nilai minimum) / (nilai maksimum- minimum
nilai). Selanjutnya
Wh=f(MW,NW)
MW=f(PO,DE)
NW=f(IEV)
IEV=f(LE,E,FSR,R)
pada langkah kedua, cHDI dihitung dengan rata-rata geometrik dari indeks
tiga dimensi. Demikian pula, pertama-tama dilakukan pengukuran indeks
untuk setiap dimensi. Kemudian dilakukan penghitungan indeks komposit
tunggal dengan menentukan rata-rata geometrik dari delapan dimensi.
Temuannya menunjukkan bahwa peringkat iHDI untuk semua negara
muslim kecuali dua berbeda dari yang ada di cHDI. Perbedaannya lebih
besar
untuk negara-negara dengan perkembangan ekonomi yang lebih tinggi.
Dengan demikian, peningkatan peringkat cHDI untuk negara-negara
muslim berdasarkan perkembangan ekonomi mereka tidak selalu berarti
bahwa mereka bergerak menuju pembangunan manusia yang ideal. Temuan
ini menegaskan perlunya pendekatan indeks pembangunan manusia
alternatif dari perspektif Islam. Indeks Pembangunan Manusia Islam versi
Rama dan Yusuf Versi lain dari Indeks pembangunan Islam dikembangkan
oleh Rama dan Yusuf (2019). Konsep ini dilatarbelakangi karena konsep
indeks pembangunan manusia yang ada bernilai netral dan tidak mampu
menangkap perspektif agama serta etika pembangunan sosial-ekonomi di
negara-negara muslim. Padahal negara muslim memiliki beberapa ciri
khusus, budaya, dan nilai-nilai yang tidak sepenuhnya diakomodasi oleh
pengukuran pengukuran indeks pembangunan manusia. Rama dan Yusuf
(2019) mengusulkan Islamic Human Development Index (I-HDI) sebagai
indeks holistik dan komprehensif untuk pembangunan manusia yang
berasal dari lima dimensi, yaitu maqā'id al-Sharī'ah: agama (dīn),
kehidupan (nafs), pikiran ('aql), keluarga (nasl), dan kekayaan (māl)
Beberapa langkah yang dilakukan dalam menggabungkan indeks.
Langkahangka rumus (100-Pr) / 100 dimana Pr merupakan tingkat
kemiskinan yang diukur dalam persentase. Jika angka kemiskinan bukan
dalam persentase, yaitu antara nol dan 100, tetapi dalam desimal, maka
kemiskinan dinormalkan menjadi 1-Pr. Indeks yang dibangun digunakan
untuk menentukan peringkat tingkat perkembangan manusia untuk provinsi
di Indonesia. Studi tersebut menemukan bahwa peringkat komposisi antara
I-HDI dan HDI sedikit berbeda. Namun, kedua indeks tersebut memiliki
hubungan positif sehingga asumsi I-HDI dapat berfungsi sebagai prediktor
untuk peringkat HDI. Temuan juga menunjukkan bahwa
mayoritas provinsi di Indonesia memiliki kinerja yang buruk dalam skor
keseluruhan dibandingkan dengan HDI, sementara beberapa provinsi lain
mengalami penurunan peringkat. Beberapa kasus, provinsi dengan
peringkat tertinggi dalam menunjukkan HDI mengalami penurunan
peringkat yang signifikan di I-HDI. Hanya dua provinsi yang tetap stabil di
kedua indeks. Di sisi lain, terdapat hubungan positif dan signifikan antara I-
HDI dan HDI yang menegaskan bahwa I-HDI dapat menjadi predictor
peringkat HDI. Substitusi ini disebabkan oleh fakta bahwa konsep tersebut
dan metodologi untuk menghitung indeks adalah identik. Namun I-HDI
dianggap lebih holistik dan komprehensif dari pada HDI karena dimensinya
mencerminkan perspektif agama dan etika sosial-ekonomi perkembangan
negara muslim tertentu.
Kontribusi setiap dimensi memiliki nilai dengan skor keseluruhan I-HDI
berbeda-beda di setiap provinsi. Beberapa provinsi memiliki hubungan
yang kuat pada satu dimensi, tetapi lemah pada dimensi lain. Ini
menegaskan bahwa I-HDI dapat menangkap variasi objek yang diamati.
Jadi, modelnya adalah lebih dinamis daripada model HDI yang
diakomodasinya tidak hanya dari segi materi, tetapi juga non-materi pada
aspek perkembangan manusia. Secara keseluruhan nilai rata-rata I-HDI
untuk semua provinsi di Indonesia di bawah 50 poin, artinya semua
Nprovinsi di Indonesia masih memilikikinerja yang buruk dalam
mempromosikan dan memperkuat kesejahteraan manusia melalui agama,
kehidupan, pendidikan,keluarga, dan kekayaan. Indeks Zakat Nasional
Salah satu indikator pembangunan yang dikembangkan oleh Pusat Kajian
Strategis Baznas ialah Indeks Zakat Nasional (IZN). Mengapa Indeks Zakat
Nasional dimasukkan dalam buku ini sebagai indikator pembangunan versi
Islam disebabkan
zakat merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam suatu sistem ekonomi
Islam. Indeks Zakat Nasional ini akan menjadi alat ukur standar
pengelolaan zakat nasional yang dapat mengukur kinerja dan
perkembangan zakat nasional. Indeks Zakat Nasional memiliki dua dimensi
yaitu dimensi makro dan mikro. Dimensi makro memiliki tiga indikator
yaitu regulasi, dukungan anggaran pemerintah untuk zakat, dan database
lembaga zakat resmi muzakki dan mustahik. Sedangkan dimensi mikro
terdiri atas indikator kelembagaan dan dampak zakat. Teknik estimasi
penghitungan yang dilakukan dalam memperoleh nilai IZN menggunakan
metode multi-stage weighted index. Nilai indeks yang akan dihasilkan akan
berada pada rentang
0,00 – 1,00. Semakin rendah nilai indeks yang didapatkan maka semakin
buruk kinerja perzakatan nasional, semakin besar nilai indeks yang
diperoleh berarti semakin baik kondisi perzakatan. berdasarkan SK Kepala
Pusat Kajian Strategis Baznas Nomor 07/SK/ PUSKAS-Baznas/II/2020
dilakukan perubahan bobot perhitungan IZN.
IZN= 0,30X
1 + 0,70X2
Dimana:
IZN : indeks zakat nasional
X
1 : dimensi makro
X
2 : dimensi mikro
Adapun formulasi indeks dimensi makro ialah:
X
1=0,40X11+0,20X12+0,40X13
Dimana:
X
: indeks dimensi makro
1
X
: indeks indikator regulasi
12
X : indeks indikator dukungan
13 APBN/APBD
X : indeks indikator database
14 lembaga zakat
Cara perhitungan indeks indikator database lembaga zakat ialah sebagai
berikut:
X
13=0,30X131+0,40X132+0,30X133
Dimana:
X
13 : indeks indikator database lembaga zakat
X
131 : indeks variabel jumlah lembaga zakat resmi
X
132 : Indeks variabel rasio muzaki individu terhadap jumlah rumah tangga
muslim
X
133 : indeks variabel rasio muzaki Badan terhadap jumlah badan usaha
Sedangkan dimensi mikro memiliki formulasi berikut:
X2
=0,40X
21+ 0,60X22
Dimana:
X2
: Indeks dimensi mikro
X
21 : indeks indikator kelembagaan
X
22 : indeks indikator dampak zakat
Indikator kelembagaan memiliki formulasi berikut:
X
21=0,30X211+0,20X212+0,30X213+0,20X214
Dimana:
X
21 : indeks indikator kelembagaan
X
211 : indeks variabel pengumpulan
X
212 : indeks variabel pengelolaan
X
213 : indeks variabel penyaluran
X
214 : indeks variabel pelaporan
Indikator dampak zakat memiliki perubahan bobot dalam formulasi
perhitungannya sebagai berikut:
X
22=0,50X221+0,20X222+0,30X223
Dimana:
X
22 : indeks indikator dampak zakat
X
221 : indeks variabel kesejahteraan CIBEST (material dan spiritual)
X
222 : indeks variabel pendidikan dan kesehatan (modifikasi IPM)
X
223 : indeks variabel kemandirian
Islamic Finance Development Indicator
Islamic Corporation for the Development (ICD) mengeluarkan Islamic
Finance
Development Indicator (IFDI) yang merupakan suatu indeks tertimbang
gabungan yang mengukur perkembangan keseluruhan industri keuangan
Islam dengan menilai kinerja semua bagiannya sejalan dengan tujuan
berbasis keyakinan yang melekat. Informasi tersebut dikumpulkan secara
komprehensif dari 135 negara semesta dan diukur di lebih dari 10 metrik
utama termasuk Pengetahuan, Tata Kelola, CSR, dan Kesadaran. Indikator
Pengembangan Keuangan Islam (IFDI) global memberikan analisis
terperinci kepada berbagai pemangku kepentingan industri tentang faktor-
faktor utama yang mendorong pertumbuhan dalam industri keuangan Islam.
Ini adalah barometer definitif keadaan industri keuangan Islam pada tahun
2020, dengan peringkat yang disediakan untuk 135 negara di seluruh dunia.
Ini mengacu pada lima indikator yang dianggap sebagai pendorong utama
pembangunan di industri. Dengan mengukur perubahan dalam indikator ini
dari waktu ke waktu dan lintas negara, IFDI menyediakan alat penting
dalam memandu kebijakan di dalam industri. IFDI mengevaluasi kekuatan
ekosistem di balik perkembangan industri secara keseluruhan serta ukuran
dan pertumbuhan berbagai sector keuangan Islam di banyak negara tempat
IFDI hadir. Lima indikator utama IFDI adalah: Perkembangan Kuantitatif,
Pengetahuan, Tata Kelola, Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, dan
Kesadaran. Laporan ini merangkum keadaan industri keuangan Islam
global saat ini melalui indikatorindikator ini dan menyoroti negara-negara
peringkat teratasnya menurut IFDI. Untuk menilai Perkembangan
Kuantitatif lembaga dan pasar keuangan Islam, perlu untuk melihat semua
sub-sektor industri dan meninjau dimensi kuantitatifnya. Indikator ini
menyoroti pertumbuhan keuangan, kedalaman dan kinerja industry
keuangan Islam secara keseluruhan dan berbagai sektornya. Ia juga melihat
tren dan peluang utama di lima sektor utamanya: Perbankan Islam; Takaful;
Lembaga Keuangan Islam Lainnya; Sukuk; dan Dana Islam. Menurut
Islamic Finance Development Report 2020, industri keuangan Islam
mengalami pertumbuhan dua digit sebesar 14% pada 2019 menjadi total
asset US $ 2,88 triliun. Hal ini terjadi meskipun ketidakpastian yang
dirasakan di pasar keuangan Islam terbesar selama beberapa tahun terakhir
karena harga minyak yang rendah dan pertumbuhan industri yang lemah
pada tahun 2018. Laporan ini memberikan gambaran rinci tentang keadaan
industry saat ini berdasarkan Indikator Perkembangan Keuangan Islam
(IFDI) yang mempertimbangkan lima indikator utama dalam
pengembangan keuangan Islam: Perkembangan Kuantitatif; Pengetahuan;
Pemerintahan; Tanggung jawab sosial perusahaan; dan Kesadaran. Analisis
kami terhadap lima area industri ini di 135 negara di seluruh dunia
menunjukkan bahwa nilai indikator global secara keseluruhan tetap konstan
pada 10,8, dengan peningkatan pada indikator Pengetahuan dan Tanggung
Jawab Sosial Perusahaan diimbangi dengan penurunan pada tiga lainnya.
Pertumbuhan 14% aset industri keuangan Islam
global sebagian disebabkan oleh peningkatan tingkat penerbitan sukuk di
pasar tradisional di GCC dan Asia Tenggara. Sukuk Hijau dan SRI
(investasi yang bertanggung jawab secara sosial) tumbuh menonjol di UEA
dan Asia Tenggara dan terus tumbuh dalam popularitas pada tahun 2020
dengan masuknya emiten baru seperti Saudi Electricity Co.
Pihak berwenang di Kazakhstan dan Uzbekistan juga sedang
mempersiapkan
peraturan yang memungkinkan sukuk hijau diterbitkan di sana juga.
Industri
pertama lainnya termasuk Mesir yang memasuki pasar sukuk untuk
pertama
kalinya pada tahun 2020 dan penerbitan sukuk Formosa pertama kali oleh
Qatar Islamic Bank di Taiwan. Dana syariah juga memberikan kontribusi
yang signifikan terhadap pertumbuhan industri. Kelas aset naik 30% pada
2019, terutama di GCC, dengan peluncuran baru dana yang diperdagangkan
di bursa Islam (ETF) di sejumlah negara dan aset investasi terkait ESG
tersedia melalui media digital yang menarik khususnya bagi kaum milenial.
Pertumbuhan yang kuat dalam aset industri juga didorong oleh
pertumbuhan
berkelanjutan dalam aset perbankan syariah, yang menyumbang sebagian
besar aset industri. Ekspansi tercepat terlihat di pasar non-inti seperti
Maroko, dimana ‘perbankan partisipatif’ diperkenalkan pada tahun 2017.
Pasar lain yang cenderung melihat ekspansi lebih lanjut dalam perbankan
Islam termasuk Turki dan Filipina.
Undang-undang perbankan Islam baru yang disahkan di Filipina pada
2019 memungkinkan bank domestik dan asing untuk membangun jendela
perbankan yang sesuai dengan Syariah. Aset keuangan Islam tetap
terkonsentrasi di tiga pasar utama Iran, Arab Saudi, dan Malaysia, yang
mana di antara mereka menyumbang 66% dari aset global pada 2019.
STUDI KASUS
“In the Midst of Every Crisis, Lies Great Opportunity”
Kutipan siasat perang seorang jenderal militer China Sun Tzu dalam
risalahnya The Art of War itu cocok menggambarkan strategi ekonomi
Islam di periode krisis keuangan global 2008. Kala itu, bank Islam sebagai
wajah utama ekonomi Islam cukup sukses memposisikan diri sebagai
institusi keuangan yang tahan krisis dibanding bank konvensional.
Hasilnya, perkembangan bank Islam semakin pesat. Bukan hanya di
negara dengan populasi muslim mayoritas, tetapi juga minoritas,
seperti Inggris Raya, Amerika Serikat, Australia, Siprus, Thailand, dan
Afrika Selatan. Total aset bank syariah secara global pun meroket dari
947 miliar dollar AS (Rp15.000 triliun) di 2008, menjadi 1,76 triliun dollar
AS (Rp28.000 triliun) pada 2018. Satu dekade lebih berselang, krisis
kembali terjadi. Pandemi Covid-19 mewabah di hampir seluruh penjuru
dunia. Kali ini dapatkah ekonomi Islam mempraktikkan kembali strategi
Sun Tzu? Dampak Covid-19 pada industry syariah berbeda dengan krisis
keuangan global 2008, pandemi Covid-19 menyerang sistem kesehatan
publik. Sudah pasti implikasinya multidimensi.
Pada sektor riil, penawaran tenaga kerja terganggu karena banyaknya
penduduk yang sakit. Suplai barang dan jasa pun kacau. Cepatnya transmisi
human-to-human Covid-19 memaksa negara melakukan hal-hal yang tidak
terpikirkan di masa damai. Bisnis-bisnis non-esensial, sekolah dan
perkuliahan, dan sistem transportasi dihentikan. Hingga karantina wilayah
(lockdown) juga menjadi opsi yang selalu ada di atas meja. Sistem
keuangan pun otomatis terusik. Banyak bisnis tidak beroperasi
meningkatkan gagal bayar pembiayaan bank. Investor pasar modal terbang
ke aset yang lebih aman. Entah emas atau surat berharga Amerika Serikat.
Nilai tukar sekarat dan cadangan devisa terkuras. Efeknya bisa lebih
katastropik dari krisis sebelumnya. Tak berlebihan bila editor The Sunday
Telegraph, Allister Heath menyebut krisis ini economic Armageddon.
Lantas bagaimana dampaknya pada industri syariah? Pertama, perlu
dipahami bahwa krisis Covid-19 dapat menghantam setiap negara dengan
kadar yang sama. Pada krisis keuangan global, negara pusat keuangan
Islam, seperti Malaysia dan negara-negara Timur Tengah tidak memiliki
konektivitas produk keuangan yang tinggi dengan Amerika Serikat. Jadi
efek krisisnya lebih rendah. Namun kali ini, efek negatif
ke perekonomian negara-negara episentrum industri keuangan Islam
bisa jadi lebih tinggi. Karena sistem kesehatan publik mereka yang relatif
lemah. Dari 57 negara Organisasi Kerjasama Islam (OIC) hanya Oman (8)
yang berada di 25 besar sistem kesehatan publik terbaik WHO. Indonesia
sendiri berada di peringkat 92, di antara Lebanon (91) dan Iran (93).
Dengan
asumsi tingkat keparahan wabah yang sama, beban mayoritas negara OIC
untuk mengatasi wabah Covid-19 lebih berat. Ruang fiskal dan moneter
untuk intervensi stimulus ekonomi pun terbatas. Berbeda dengan Amerika
Serikat, misalnya, yang telah menjanjikan stimulus ekonomi “awal” sebesar
850 miliar dollar AS (Rp13.500 triliun) atau Jerman dengan 500 miliar
euro (Rp8.500 triliun) atau Inggris Raya dengan 350 miliar poundsterling
(Rp6.400 triliun). Konsekuensinya, proses recovery industri syariah
mungkin akan lebih lambat. Kedua, pariwisata halal adalah primadona baru
industri syariah di tengah kebutuhan negara-negara produsen minyak
mendiversifikasi ekonomi mereka. Indonesia juga salah satu yang gencar
mempromosikan pariwisata halal. Sayangnya, industri inilah yang paling
terkena imbaspandemi Covid-19. Di buku Economics in the Time of Covid-
19, kepala Ekonom Citibank Catherine L. Mann mengatakan bahwa bentuk
shock and recovery industri pariwisata adalah L shape. Artinya, pemulihan
industry sangat sulit dan butuh waktu yang panjang untuk kembali ke posisi
semula. Maskapai Inggris Flybe menjadi contohnya. Perusahaan
penerbangan regional terbesar di Eropa pailit karena sepinya permintaan di
masa krisis berdarah-darah. Tanpa intervensi pemerintah, maskapai-
maskapai lain tidak mustahil bernasib sama. Ketiga, perbankan Islam tidak
memiliki keunggulan komparatif seperti pada krisis 2008. Salah satu alasan
bank Islam “selamat” pada krisis sebelumnya adalah karena paparan
terhadap aktivitas derivatif bank konvensional yang rendah. Namun, Covid-
19 memengaruhi seluruh lini produk perbankan dari pembiayaan standar
konsumsi hingga perdagangan derivatif. Secara global bahkan perbankan
Islam saat ini berada dalam posisi kurang menguntungkan. Perang harga
minyak antara Arab Saudi dan Rusia membuat “surplus” yang ditempatkan
di perbankan syariah semakin kecil. Telah menjadi rahasia umum bahwa
petrodollar adalah bagian tidak terpisahkan dari kelahiran perbankan Islam.
Menangkap peluang di tengah krisis lantas masihkah ada celah untuk
industri syariah bersinar di krisis Covid-19 ini? Tentu masih ada. Dengan
syarat industri syariah beranjak dari sekadar berlabel “halal” kepada
pemenuhan sistem nilai Islam yang melandasinya. Karakter industry
Syariah yang sesungguhnya dibangun di atas empat pilar, yakni pemenuhan
hukum Tuhan (legal), kebutuhan diri (self-interest), kesejahteraan sosial
(social-interest), dan kesinambungan lingkungan (ecological-interest).
Sayangnya, pembangunan industri “halal” seringkali hanya berfokus pada
pilar pertama dan melupakan kesetimbangan tiga pilar yang lain. Masa
krisis adalah waktu yang paling tepat untuk memunculkan karakter di atas.
Karena di momen inilah manusia menunjukkan sifat aslinya. Sebuah realita
di Inggris Raya dapat menjadi contoh sederhana. Hand sanitizer dan
masker adalah dua produk yang sangat langka di masa pandemi Covid-19,
sebagaimana juga terjadi di negara lain. Suatu waktu di kota Durham,
menelusuri beberapa supermarket untuk mencari produk tersebut. Durham
terkenal dengan sebutan kota pensiunan. Selain mahasiswa sebagian besar
penduduknya telah berusia lanjut. Beberapa kali menyaksikan kesedihan
dan kekecewaan para penduduk senior karena tidak mendapatkan barang
yang mereka cari. Padahal untuk berjalan saja mereka kepayahan. Mereka
pun masuk kategori yang paling rentan dalam wabah Covid-19. Masyarakat
Inggris Raya dengan histori panjang peradabannya yang glamor pun tidak
sanggup menahan panic buying. Demi memproteksi diri sendiri dari
serangan wabah Covid-19. Lebih parah lagi, banyak pemilik modal yang
melakukan price gouging. Meningkatkan harga barang yang sangat
dibutuhkan di waktu bencana atau krisis. Hand sanitizer yang biasa
dibanderol tidak lebih dari 1 poundsterling (Rp18.000), kini ini meroket
3.000% menjadi 30 poundsterling (Rp540.000). Sementara di bagian
Inggris Raya yang lain, sebuah toko kelontong di Scotland membagikan
paket berisi hand sanitizer, hand wash, dan masker kepada para pensiunan
di komunitas sekitar secara gratis. Asiyah and Jawad Javed mengorbankan
uang 2.000 poundsterling (Rp36 juta) yang seyogianya akan mereka
gunakan untuk liburan di musim panas (self-interest) untuk komunitas
mereka (social and ecological-interest). Walaupun pandemi Covid-19 lebih
sistemik dan multi dimensi dibandingkan krisis keuangan 2008, industri
syariah masih berpeluang mengaplikasikan petuah Jenderal Sun Tzu.
Musibah ini dapat menjadi momentum pembuktian kedua, bahwa ekonomi
Islam dapat menghadirkan keadilan dalam berekonomi melalui
keseimbangan antara legal, self-interest, social-interest, dan ecological-
interest. Momen ini tepat untuk menunjukkan empat karakter yang
membedakan ekonomi Islam dengan selainnya tersebut. Sebagaimana
Denis Leary katakan “crisis doesn’t create character; it reveals it.”1
BAB 3
KESIMPULAN
1
Penyusun A.Jajang W. Mahri,Cupian,M. Nur Rianto Al Arif,Tika Arundina,Tika Widiastuti,Faizul Mubarok,Muhamad
Fajri,Azizon,Aas Nurasyiah,Ekonomi Pembangunan Islam,2021,Hal 118-140
Pembangunan ekonomi merupakan suatu proses pembangunan yang harus
bersifat multidimensional. Untuk mengetahui dan menganalisis
perkembangan proses pembangunan ekonomi dari periode ke periode
diperlukan suatu indikator pembangunan yang dapat terukur. Hal ini yang
mendasari terbentuknya indikator pembangunan, baik di ekonomi
konvensional maupun ekonomi Islam. Indikator pembangunan ekonomi
konvensional yang dibahas pada bab inimencakup pendapatan per kapita,
indeks kualitas hidup, indeks pembangunan manusia, dan indeks
pembangunan gender. Selain itu, disajikan pula Millenium Development
Goals (MDGs) yang merupakan kesepakatan para pemimpin negara yang
tergabung pada Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) pada kurun waktu 2000-
2015 dan Sustainable Development Goals (SDGs) yang menjadi tujuan dan
target pembangunan pada kurun waktu 2015 sampai dengan tahun 2030.
Sementara itu, indikator pembangunan Islam yang dibahas pada bab ini
ialah indeks ke Islaman ekonomi dan indeks pembangunan manusia Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Penyusun A.Jajang W. Mahri,Cupian,M. Nur Rianto Al Arif,Tika Arundina,Tika Widiastuti,Faizul Mubarok,Muhamad
Fajri,Azizon,Aas Nurasyiah,Ekonomi Pembangunan Islam,2021,Hal 149-202