Anda di halaman 1dari 19

Analisa Mengenai Indeks dan Kebijakan pada Perekonomian Indonesia

Tugas ini diberikan untuk menyelesaikan tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia

Dosen Mata Kuliah

Lili Supriyadi S.Pd., M.M

Disusun Oleh:

Lika Malika

11210810000131

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
karuniaNya saya dapat menyelesaikan karya tulis berupa makalah yang berjudul “Analisa
mengenai indeks dan kebijakan pada perekonomian Indonesia” dalam usaha baru” dengan baik
dan tepat pada waktunya Tak lupa sholawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membebaskan kita dari zaman jahiliyah ke zaman yang penuh
kemulian ini.

Penulisan karya tulis berupa makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah
Perekonomian Indonesia sebagai penunjang materi dalam pembelajaran. Dalam penyusunan
makalah ini, saya mendapatkan banyak dukungan, bimbingan, dan petunjuk dari beberapa
pihak. Oleh karena itu, saya mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang sudah
memberikan dukungan dan motivasi kepada saya untuk membuat makalah ini. Tidak lupa pula,
saya mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Lili Supriyadi S.Pd., M.M
selaku dosen pengampu mata kuliah Perekonomian Indonesia yang telah membimbing,
memberikan motivasi, serta arahan kepada penulis dalam pembuatan makalah ini.

Penulis menyadari karya tulis berupa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Untuk
itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran dari pembaca untuk menyempurnakan makalah
ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca serta dapat menambah wawasan
pembaca mengenai Analisa mengenai indeks dan kebijakan pada perekonomian Indonesia.

Jakarta, 17 Oktober 2023

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................................. i

DAFTAR ISI ..............................................................................................................................ii

BAB I ......................................................................................................................................... 1

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................................ 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................... 1

C. Tujuan Penulisan ............................................................................................................. 2

BAB II........................................................................................................................................ 3

PEMBAHASAN ........................................................................................................................ 3

2.1 Analisa Mengenai Indeks dan Perkembangan Distribusi Pendapatan ........................ 3

2.2 Analisa Mengenai Distribusi Fungsional .................................................................... 6

2.3 Analisa Mengenai Kebijakan Distribusi Pendapatan .................................................. 7

2.4 Analisa Mengenai Kemiskinan Dalam Aspek Data dan Kebijakan ............................ 8

BAB III .................................................................................................................................... 14

PENUTUP................................................................................................................................ 14

3.1 Kesimpulan................................................................................................................ 14

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................... 16

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Ketimpangan distribusi pendapatan di sebuah negara tidak terlepas dari strategi
pembangunan yang diterapkan. Pada tahun enam puluhan, pembangunan ekonomi
dengan strategi pertumbuhan banyak diterapkan oleh negara-negara berkembang tak
terkecuali Indonesia. Perencanaan ekonomi di awal masa orde baru sangat percaya
adanya trickle down effect (efek menetes ke bawah) sehingga strategi pembangunan
dilaksanakan dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi yang tinggi sebagai jalan
untuk mengatasi berbagai masalah sosial dan politik,akan tetapi efek menetes ke bawah
yang diharapkan tidak berjalan sempurna. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai masih
ada indikasi adanya ketimpangan distribusi pendapatan. Disparitas pendapatan yang
mencerminkan ketimpangan pembagian hasil pembangunan dalam suatu wilayah akan
dilihat dari pengeluaran penduduk (pendapatan) dan dari kewilayahan baik regional
maupun sektoral. Strategi pembangunan tidak tepat sasaran,dan hasilnya hanya
dinikmati oleh kelompok tertentu saja. Oleh karena itu untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang tinggi disertai upaya pemerataan dalam distribusi
pendapatan perlu terus dilakukan secara konsisten dan berkelanjutan.

Di era reformasi ini arah pembangunan telah bergeser dari sentralisasi ke


desentralisasi pemerintahan atau otonomi daerah. Dengan kata lain pemerintah pusat
tidak lagi mengurusi program-program yang berhubungan langsung dengan masyarakat
(service delivery), sehingga pembangunan daerah bisa lebih efisien dan responsif
terhadap kebutuhan, potensi maupun karakteristik masing-masing daerah.
Pembangunan daerah bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan
masyarakat di suatu wilayah melalui pembangunan yang serasi dan terpadu menuju
tercapainya kemandirian daerah dan kemajuan yang merata di wilayah tersebut.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana analisa mengenai indeks dan perkembangan distribusi pendapatan?
2. Bagaimana analisa mengenai distribusi fungsional?
3. Bagaimana analisa mengenai kebijakan distribusi pendapatan?
4. Bagaimana analisa mengenai kemiskinan dalam aspek data dan kebijakan?
1
C. Tujuan Penulisan
1. Bagi Penulis

Makalah ini dapat bermanfaat bagi Mahasiswa dalam mengembangkan ilmu


pengetahuan yang dimiliki khususnya mengenai perekonomian Indonesia sebagai
ilmu yang berdiri sendiri.

2. Bagi Pembaca

Makalah ini dapat dijadikan sarana untuk menambah pengetahuan sebagai


pendoman untuk literasi pembaca berdasar aspek-aspek yang berkembang dalam
makalah ini.

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Analisa Mengenai Indeks dan Perkembangan Distribusi Pendapatan


Para ekonom membedakan dua ukuran pokok distribusi pendapatan. Kedua
ukuran tersebut adalah distribusi ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian
pendapatan yang diterima masingmasing orang dan distribusi Fungsional atau
distribusi kepemilikan factor-faktor produksi. Dari dua jenis distribusi pendapatan
ini kemudian dihitung indicator untuk menunjukan distribusi pendapatan
masyarakat.

1. Distribusi Pendapatan
Ukuran Distribusi pendapatan pendapatan perorangan atau distribusi
ukuran pendapatan. Ukuran ini secara langsung menghitung jumlah pendpatan
yang diterima oleh setiap individu atau rumah tangga. Cara mendapatan
pendapatan itu tidak dimasalahkan. Yang perlu diperhatikan disini adalah
banyaknya pendapatan yang diterima seseorang, tidak peduli dari mana
sumbenya, etah itu berasal dari gaji atau berasal dari sumber lain seperti bunga
tabungan, laba, hasil sewa, hadiah ataupun warisan. Lokasi sumber pendapatan
(desa atau kota) maupun sektor atau bidang pendapatan yang menjadi sumber
pendapatan (pertanian, manufaktur, perdagangan, jasa) juga diabaikan.
Biasanya, populasi dibagi menjadi lima kelompok atau kuintil
(quintiles)atau sepuluh kelompok yang disebut desil (decile) sesuai dengan
tingkat pendapatan yang diperoleh, kemudian menetapkan beberapan proporsi
yang diterima oleh maing-masing kelompok dari pendapatan nasional total.
Contoh, perhatikan tabel 5.1 tabel ini memperlihatkan distribusi pendapatan
yang walaupunn datanya hipotesis, namun bisa ditemui dinegara berkembang.
Tabel 5.1: Distribusi Ukuran Pendapatan Perorangan di Satu Negara
Berdasarkan Pangsa Pendapatan- Kuintil dan Desil.

3
Dalam tabel tersebut, semua penduduk negara tersebut diwakili oleh 20 individu (atau
lebih tepatnya rumah tangga). Kedua puluh rumah tangga tersebut kemudian diurutkan
berdasarkan jumlah pendapatannya per tahun dari yang terendah (0,8 unit), hingga yang
tertinggi (15 unit). Adapun pendapatan total atau pendapatan nasional yang merupakan
penjumlahan dari pendapatan semua individu adalah 100 unit, seperti tampak pada kolom 2
dalam tabel tersebut. Dalam kolom 3, segenap rumah tangga digolong-golongkan menjadi 5
kelompok yang masing-masing terdiri dari 4 individu atau rumah tangga. Kuintil pertama
menunjukkan 20 persen populasi terbawah pada skala pendapatan. Kelompok ini hanya
menerima 5 persen (dalam hal ini adalah 5 unit uang) dari pendapatan nasional total. Kelompok
kedua (individu 5-8) menerima 9 persen dari pendapatan total. Dengan kata lain, 40 persen

4
populasi terendah (kuintil 1 dan 2) hanya menerima 14 persen dari pendapatan total, sedangkan
20 persen teratas (kuintil ke lima) dari populasi menerima 51 persen dari pendapatan total.

Ada tiga alat ukur tingkat ketimpangan pendapatan dengan bantuan distribusi ukuran , yakni :
1). Rasio Ukuran, 2). Kurva Lorenz dan 3). Kefisien Gini

1) Rasio Ukuran
Rasio ukuran merupakan rasio yang sering dipakai sebagai ukuran tingkat
ketimpangan antara dua kelompok ekstrem, yaitu kelompok yang sangat miskin dan
kelompok yang sangat kaya di suatu Negara. Ukuran umum yang memperlihatkan
tingkat ketimpangan pendapatan dapat ditemukan dalam kolom ke3, yaitu
perbandingan antara pendapatan yang diterima oleh 20% anggota kelompok teratas dan
40% anggota kelompok terbawah. Rasio ketimpangan dalam contoh ini adalah 14
dibagi dengan 51 hasilnya sekitar 0,28.

2) Kurva Lorenz
Pada peraga 1, garis horizontal menunjukan presentasi kumulatif penerimaan
pendapatan, sedangkan sumbu vertical menyatakan bagian dari pendapatan total yang
diterima oleh masing-masing presentase kelompok penduduk. Masing-masing sumbu
berakhir pada titik 100%, sehingga dia membentuk bujur sangkar. Satu garis diagonal
ditarik dari titik nol pada sudut kiri bawah menuju ke sudut kanan atas. Pada setiap titik
yang terdapat pada garis diagonal itu, presentase pendapatan yang diterima persis sama
dengan presentase jumlah penerimanya.
Pada peraga 1, memakai data tabel desil yakni sumbu vertical dan horizontalnya
dibagi menjadi sepuluh bagian yang sama, sesuai dengan sepuluh kelompok desil.pada
titik a, 40% penduduk termisikin menerima hanya 14% dari jumlah pendapatan, pada
titik b, 50% penduduk menerima 19,1% dari jumlah pendapatan pada titik c, 80%
menerima pendapatan hanya menerima 49% dari total pendapatan. Menghubungkan
titik a,b,c, dan titik lainnya akan membentuk kurva Lorenz seperti peraga 1 : semakin
jauh jarak kurva Lorenz dari garis diagonal (garis pemerataan sempurna), maka makin
timpang atau tidak merata distribusi pendapatannya semakin parah ketidak
merataannya atau ketimpangan distribusi pendapatan di satu negara, maka bentuk kurva
Lorennya pun akan semakin melengkung mendekati sumbu horizontal bagian bawah.

5
3) Koefisien Gini dan Ukuran Ketimpangan Agregat
Pada peraga 2, rasio ini adalah rasiodaerah A yang diberi warna agak gelap
dengan luas segitiga BCD. Koefisien gini adalah ukuran ketimpangan agregat yang
angkanya berkisar antar 0 (pemerataan sempurnal) hingga satu (ketimpangan
sempurna). pada prakteknya, koefisien gini untuk Negara-negara yang detrajat
ketimpangannya tinggi berkisar antar 0,50 hingga 0,70, sedangkan sedangkan untuk
Negara-negara yang distribusi pendapatannya relative merata, angkanya berkisar antar
0,20 hingga 0,35. Koefisien Gini untuk distribusi pendapatan hipotesis kita pada tabel
10.1 diatas mendekati 0,61 (menunjukan distribusi pendapatannya yang angat
timpang).

2.2 Analisa Mengenai Distribusi Fungsional


Ukuran distribusi pendapatan kedua yang sering digunakan oleh kalangan
ekonom adalah distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi pendapatan
per faktor produksi (functional or factor share distribution of income). Ukuran ini
berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang diterima oleh masing-
masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal). Teori distribusi
pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan persentase penghasilan
tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit usaha atau faktor produksi
yang terpisah secara individual, dan membandingkannya dengan persentase
pendapatan total yang dibagikan dalam bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-
masing) merupakan perolehan dari tanah, modal, uang, dan modal fisik). Walaupun
individu tertentu mungkin saja menerima seluruh hasil dari segenap sumber daya
tersebut, tetapi hal itu bukanlah merupakan perhatian dari analisis pendekatan
fungsional ini.
Kurva permintaan dan penawaran diasumsikan sebagai sesuatu yang
menentukan harga per satuan (unit) dari masing-masing faktor produksi. Apabila
harga-harga unit faktor produksi tersebut dikalikan dengan kuantitas faktor
produksi yang digunakan bersumber dari asumsi utilitas (pendayagunaan) faktor
produksi secara efisien (sehingga biayanya berada pada taraf minimum), maka bisa
menghitung total pembayaran atau pendapatan yang diterima oleh setiap faktor
produksi tersebut. Sebagai contoh, penawaran dan permintaan terhadap tenaga kerja
diasumsikan akan menentukan tingkat upah. Lalu, bila upah dikalikan dengan

6
seluruh tenaga kerja yang tersedia dipasar, maka akan didapat jumlah keseluruhan
pembayaran upah, yang terkadang disebut dengan istilah tersendiri yakni total
pengeluaran upah (total wage bill).

2.3 Analisa Mengenai Kebijakan Distribusi Pendapatan


Salah satu fokus utamanya dalam mengatasi permasalahan ekonomi Indonesia
adalah dengan memperbaiki distribusi pendapatan. Perhatian utamanya adalah
peningkatan pendapatan penduduk 40 persen ekonomi terbawah. Pada tahun 2017,
pemerintah menargetkan pengurangan tingkat pengangguran terbuka sebesar 5,3-
5,6 persen, lebih rendah dari 5,7 persen di 2016 dan tingkat kemiskinan di angka
9,5-10,5 persen dari 10,6 persen.
Pada saat itu, pemerintah mengambil sejumlah kebijakan untuk mendorong
penciptaan lapangan kerja guna tidak terjadinya ketimpangan dalam distribusi
pendapatan. Langkah yang diambil oleh pemerintah adalah pembangunan
infrastruktur yang lebih luas. Dalam jangka pendek, program ini diharapkan dapat
menciptakan kesempatan kerja, dan dalam jangka panjang diharapkan akan
meningkatkan kapasitas perekonomian. Selain hal tersebut, pemerintah juga akan
meningkatkan investasi industri padat karya Terdapat beberapa Kebijakan untuk
memperbaiki distribusi pendapatan:
a) Pengurangan distribusi ukuran golongan atas melalui pajak yang progresif.
Salah satu contoh yang diterapkan di Indonesia adalah pajak penghasilan
perorangan dan badan yang mempunyai sifat progresif. Pajak kekayaan,
(akumulasi aset dan penghasilan) merupakan pajak property perorangan dan
perusahaan yang bersifat progresif, yang biasanya dikenakan kepada orang
kaya. Namun, dalam pelaksanaannya banyak kebijakan progresif berubah
menjadi pajak regresif. Dimana, pada kelompok masyarakat rendah dan
menengah menanggung beban pajak yang lebih besar dibandingkan kelompok
berpenghasilan tinggi.
b) Perbaikan distribusi ukuran melalui redistribusi progresif kepemilikan aset. Hal
ini tentunya juga sangat bergantung kepada distribusi kepemilikan aset di
kelompok masyarakat, terutama modal fisik dan tanah, modal finansial seperti
saham dan obligasi dan sumber daya manusia dalam bentuk pendidikan dan
kesehatan yang lebih baik. Hal ini telah dilaksanakan Indonesia melalui UUPA

7
1960, yang membatasi jumlah kepemilikan tanah pertanian. Pajak dividen
obligasi dan pajak terhadap hasil saham, beasiswa, pemberian kredit komersial
dengan bunga pasar yang wajar bagi para wirausaha kecil.
c) Perbaikan distribusi pendapatan fungsional melalui kebijakan yang dibuat untuk
mengubah harga–harga relative faktor produksi. Seperti upah buruh yang
dilaksanakan dengan menentukan tingkat upah minimum nasional dan regional.
Dimana pemerintah menetapkan tingkat upah minimum yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tingkat upah yang ditentukan atas permintaan dan
penawaran di pasar bebas.

Untuk mengatasi adanya ketidakmerataan di dalam mekanisme distribusi


pendapatan, kebijakan distribusi dapat dilaksanakan dengan berbagai cara. Salah
satu Kebijakan Distribusi Pendapatan dapat berupa mendistribusikan sumber daya
dan kekayaan. Pemerintah dapat melakukannya dengan intervensi langsung atau
melalui regulasi.

2.4 Analisa Mengenai Kemiskinan Dalam Aspek Data dan Kebijakan


Jordan mengartikan orang miskin: “the poor are people whose lack of resources
damage their capacity to participate in a market environment”. Artinya, orang
miskin merupakan orang-orang yang karena kekurangan sumber daya pada dirinya
mengakibatkan rusaknya kapasitas untuk berpartisipasi dalam lingkungan
pasar/dunia usaha. Sedangkan Menurut Chambers mengatakan bahwa kemiskinan
adalah suatu integrated concept yang memiliki 5 (lima) dimensi, yaitu: 1)
kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi
situasi darurat (state of mergency), 4) ketergantungan (dependence), dan 5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kedua teori di
atas menunjukkan bahwa hidup dalam kemiskinan bukan hanya hidup dalam
kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah, tetapi juga banyak hal lain,
seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah, perlakuan tidak adil dalam hukum,
kerentanan terhadap ancaman tindak kriminal, ketidakberdayaan menghadapi
kekuasaan, dan ketidakberdayaan dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

Lebih lanjut dinyatakan oleh Sajogya dalam Suyanto telah membuat suatu
batasan atau klasifikasi kemiskinan sebagai berikut:

8
1. Untuk daerah perkotaan, seseorang disebut miskin apabila mengkonsumsi beras
kurang dari 420 kilogram per tahunnya.
2. Untuk daerah perdesaan, seseorang disebut miskin apabila mengkonsumsi beras
320 kilogram, miskin sekali apabila mengkonsumsi beras 240 kilogram dan
paling miskin apabila mengkonsumsi beras kurang dari 180 kilogram per
tahunnya.

Pemerintah mengganti dan mengembangkan kebijakan penanggulangan


kemiskinan sesuai dengan era masa jabatan presiden. Secara ringkas jika disebutkan
macam kebijakan yang diambil sesuai era presiden menjabat adalah sebagai berikut:

1. Era Presiden Soekarno: Pembangunan Nasional Berencana 8 tahun (Penasbede)


2. Era Presiden Soeharto: Repelita I-IV melalui program Sektoral & Regional,
Repelita IV-V melalui program Inpres Desa Tertinggal, Program Pembangunan
Keluarga Sejahtera, Program Kesejahteraan Sosial, Tabungan Keluarga
Sejahtera, Kredit Usaha Keluarga Sejahtera, Kredit Usaha Tani.
3. Era Presiden Habiebie: Jaring Pengaman Sosial, Program Penanggulangan
Kemiskinan & Perkotaan, Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa
Tertinggal, Program Pengembangan Kecamatan.
4. Era Presiden Gusdur: Jaring Pengaman Sosial, Kredit Ketahanan Pangan-
Program Penangggulangan Kemiskinan & Perkotaan.
5. Era Presiden Megawati: Pembentukan Komite Penganggulangan Kemiskinan,
Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan.
6. Era Presiden SBY: Pembentukan Tim Koordinasi Penanggulangan Kemiskinan,
Bantuan Langsung Tunai, Program Pengembangan Kecamatan, Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan, Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat. Selain program-program di atas telah dibuat juga Strategi Nasional
Penanggulangan Kemiskinan (SNPK) yang kemudian dintegrasi menjadi
Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004-2009
yang kemudian dilanjutkan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 sesuai Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 2010.

Berbagai upaya untuk mengentaskan kemiskinan telah dilakukan oleh


pemerintah yang diaplikasikan dalam wujud kebijakan dan program-program baik

9
yang bersifat langsung maupun tidak langsung. Kebijakan bersifat langsung, yaitu
berupa program yang langsung diberikan kepada penduduk miskin, contoh; bantuan
tunai langsung (BLT), beras untuk masyarakat miskin (raskin), sedangkan
kebijakan tidak langsung, contoh program Jamkesmas, program IDT, BOS.
Walaupun telah dilakukan berbagai upaya namun kemiskinan tidak dapat
dihilangkan seluruhnya, artinya fenomena kemiskinan dengan mudah dapat
dijumpai di hampir seluruh wilayah baik di perkotaan maupun di perdesaan.
Program kemiskinan yang saat ini dilakukan baik yang berasal dari pemerintah
maupun non pemerintah umumnya hanya sementara, artinya program tersebut akan
berjalan selama masih ada anggaran (dana), setelah dana habis maka selesai pula
kegiatan program. Dengan kata lain bahwa programprogram kemiskinan yang
selama ini dilaksanakan berdasarkan pada pendekatan projek dan bukan pendekatan
program. Tidak heran jika program pengentasan kemiskinan tidak berkelanjutan,
akhirnya angka kemiskinan secara absolut di Indonesia tetap saja tinggi.
Tampaknya dalam merumuskan sebuah kebijakan maupun program yang bertujuan
untuk mengentaskan kemiskinan di Indonesia perlu dilakukan beberapa tahapan
kegiatan. Misalnya, diawali dengan assesment, dalam tahap ini dilakukan
merumuskan atau mengkatagorikan dimensi-dimensi dan faktor penyebab
kemiskinan, analisis kebutuhan dan potensi yang dapat dikembangkan, dan
merumuskan bentukbentuk program yang diinginkan oleh penduduk miskin. Selain
itu, dirumuskan pula pihak-pihak yang dapat dilibatkan dalam kegiatan atau
program kemiskinan, serta membuat jadwal pelaksanaannya. Setelah tahap ini
selesai, maka dilanjutkan ke tahap pelaksanaan kegiatan dan diakhiri dengan tahap
monitoring dan evaluasi.

Seperti yang dikemukakan oleh Nazara menjelaskan tahapan-tahapan dalam


merumuskan kebijakan sebagai berikut:

1. Tahap Pertama: melakukan diagnosis dan analisis tentang kemiskinan. Pada


tahap ini dilakukan kegiatan melakukan pengukuran tingkat kemiskinan,
penargetan dan penentuan jenis kebijakan atau program yang ingin dibuat.
2. Tahap Kedua: menentukan tujuan, target dan indikator yang ingin dicapai.
Seperti yang dikemukakan, lebih lanjut oleh Nazara ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam menentukan target, yaitu pertama; tujuan yang ingin dicapai
harus menyesuaikan dengan standar internasional, yaitu harus sesuai dengan

10
tujuan MDGs. Kedua, dalam menentukan tujuan perlu memerhatikan distribusi
pendapatan. Ketiga, tujuan ditentukan melalui proses partisipasi semua pihak.
Keempat, tujuan ditentukan dengan menentukan ukuran pencapaian atau
benchmark berdasarkan waktu yang tersedia. Kelima, dalam menetukan tujuan
agar lebih tepat sasaran harus berdasarkan pada beberapa ukuran kemiskinan
berbeda. Keenam, tujuan harus dibuat secara spesifik dengan program agar
proses monitoring menjadi lebih mudah.
3. Tahap ketiga, yaitu merancang dan mengimplementasikan program. Hasil dari
tahap ini, yaitu berupa peraturan, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis.
Pada saat akan mengimplementasikan program harus dimulai dengan kegiatan
sosialisasi program pada taha awal, kemudian dilanjutkan dengan kegiatan
monitoring selama program berlangsung, dan diakhiri dengan kegiatan evaluasi
ketika program berakhir. Monitoring dilakukan untuk menyediakan informasi
apakah kebijakan program diimplementasikan sesuai dengan rencana dalam
upaya mencapai tujuan. Monitoring ini merupakan alat manajemen yang efektif,
pada kegiatan ini jika implementasi program tidak sesuai dengan rencana maka
dapat mengidentifikasi letak masalahnya kemudian dicari penyelesainnya.
Sedangkan evaluasi berfungsi untuk melihat dampak dengan mengisolasi efek
suatu intervensi. Kebijakan dalam upaya pengentasan kemiskinan tentunya
dalam implementasi melalui program-program yang berbasis pada penggalian
potensi yang ada di masyarakat itu sendiri. Artinya perlu melibatkan peran serta
masyarakat dalam melaksanakan program, dan pemerintah berperan sebagai
fasilitator.

Lebih lanjut sebagaimana yang telah diuraikan di muka, Dunn menjelaskan


secara rinci terkait tahap-tahap kebijakan publik sebagai berikut:

1. Penyusunan Agenda (Agenda Setting).


2. Formulasi Kebijakan (Policy Formulating).
3. Adopsi/Legitimasi Kebijakan (Policy Adoption).
4. Implementasi Kebijakan (Policy Implementation).
5. Penilaian/Evaluasi Kebijakan (Policy Evaluation).

Dalam kaitannya merumuskan kebijakan pengentasan kemiskinan di Indonesia,


maka perlu dilakukan kajian akademik secara komprehensif dan memerhatikan

11
tahap-tahap kebijakan publik yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi
kemiskinan di Indonesia. Selain itu perlu juga dirumuskan strategi untuk
keberlangsungan program (kegiatan) di masyarakat yang didukung dengan adanya
koordinasi antara instansi terkait. Berbagai program telah banyak dilakukan, namun
terkesan hanya dapat mengatasi masalah sesaat dan tidak mengatasi akar
masalahnya, sehingga relatif lambat dalam upaya mengatasi kemiskinan.

Selain memerhatikan tahap-tahap komprehensif yang terdapat di dalam proses


kebijakan publik, pemerintah perlu melakukan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pengadaan tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) dan Clean
Governance
Berdasarkan analisis penulis, tanpa good dan clean governance, maka
untuk mengentaskan kemiskinan yang memiliki dana terbatas jumlahnya tidak
akan dapat digunakan secara baik. Hal ini dikarenakan masih terjadi kurangnya
transparansi pemerintahan; terjadinya praktik Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) yang mementingkan kepentingankepentingan pihak tertentu dan
mengabaikan kesejahteraan masyarakat; serta tidak jelasnya system peradilan
yang mengakibatkan terhabatnya pertumbuhan ekonomi yang dapat membantu
masyarakat miskin keluar dari kemiskinan. Program pengentasan kemiskinan
merupakan program yang berkelanjutan (sustainable), terusmenerus dan
mengedepankan kemandirian masyarakat. Tak dapat dipungkiri bahwa
pengentasan kemiskinan harus dilakukan secara bertahap, berkesinambungan
serta berintegrasi dan didasarkan pada pola kemandirian masyarakat.
Tujuannya, agar masyarakat miskin dapat membantu diri sendiri. Dengan kata
lain, program kemiskinan yang diberikan berkesesuaian dengan peningkatan
kemampuan masyarakat miskin untuk melakukan kegiatan produktif sehingga
dapat menghasilkan nilai tambah (pendapatan) yang lebih besar untuk keluar
dari garis kemiskinan. Sebagaimana yang disampaikan oleh Sumodiningrat
bahwa: “Upaya meningkatkan kemampuan menghasilkan nilai tambah, paling
tidak harus ada perbaikan akses terhadap 4 (empat) hal, yaitu: (1) akses terhadap
sumber daya; (2) akses terhadap teknologi, yaitu kegiatan dengan cara dan alat
yang lebih efektif dan efisien; (3) akses terhadap pasar; (4) akses terhadap
sumber pembiayaan. Disini koordinasi dan pengembangan sistem kredit kecil
yang menjangkau masyarakat bawah perlu dilanjutkan dan ditingkatkan.”

12
2. Mengembangkan Perekonomian Rakyat
Berdasarkan analisis penulis, pengembangan ekonomi rakyat melalui
pendekatan kelompok, dalam bentuk usaha ekonomi bersama dianggap efektif
dalam mengentaskan kemiskinan. Hal ini disebabkan karena di dalam
pengembangan ekonomi rakyat tersebut bersinergi dengan kegiatan-kegiatan
pemberdayaan masyarakat miskin.
3. Hubungan sinergis dan terpadu antara pemerintah dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) dalam program penyiapan dan pendampingan masyarakat.

Perlunya hubungan sinergis dan terpadu antara komponen tersebut bertujuan


untuk lebih mendekatkan program pengentasan miskin ke wilayah perdesaan yang
ada di daerah-daerah. Melalui peran LSM diharapkan dapat menumbuhkan
kemandirian dan mengembangkan pembangunan partisipatif pada level masyarakat
kelas bawah. Sebagaimana pendapat Sumodiningrat bahwa:

“Ada beberapa alternative bentuk hubungan antara pemerintah dengan LSM: (1)
LSM melakukan suatu kegiatan kemudian diadopsi dan diterapkan oleh
pemerintah; (2) LSM bertindak sebagai perintis atau pionir bagi pengembangan
daerah kritis, di mana program pembanguna belum menjangkau; (3) LSM
melengkapi program pemerintah; (4) LSM senantiasa bekerjasama dengan
pemerintah dalam program pemberdayaan mulai dari perencanaan, pelaksanaan
sampai ke tahap pemantauan dan monitoring.

13
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dalam materi Analisa mengenai indeks dan kebijakan pada
perekonomian Indonesia dapat disimpulkan bahwa, ekonom membedakan dua
ukuran pokok distribusi pendapatan. Kedua ukuran tersebut adalah distribusi
ukuran, yakni besar atau kecilnya bagian pendapatan yang diterima
masingmasing orang dan distribusi Fungsional atau distribusi kepemilikan
factor-faktor produksi. Dari dua jenis distribusi pendapatan ini kemudian
dihitung indicator untuk menunjukan distribusi pendapatan masyarakat.
Ukuran distribusi pendapatan kedua yang sering digunakan oleh
kalangan ekonom adalah distribusi pendapatan fungsional atau pangsa distribusi
pendapatan per faktor produksi (functional or factor share distribution of
income). Ukuran ini berfokus pada bagian dari pendapatan nasional total yang
diterima oleh masing-masing faktor produksi (tanah, tenaga kerja, dan modal).
Teori distribusi pendapatan fungsional ini pada dasarnya mempersoalkan
persentase penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan, bukan sebagai unit-unit
usaha atau faktor produksi yang terpisah secara individual, dan
membandingkannya dengan persentase pendapatan total yang dibagikan dalam
bentuk sewa, bunga, dan laba (masing-masing) merupakan perolehan dari tanah,
modal, uang, dan modal fisik).
Salah satu fokus utamanya dalam mengatasi permasalahan ekonomi
Indonesia adalah dengan memperbaiki distribusi pendapatan. Perhatian
utamanya adalah peningkatan pendapatan penduduk 40 persen ekonomi
terbawah. Pada tahun 2017, pemerintah menargetkan pengurangan tingkat
pengangguran terbuka sebesar 5,3-5,6 persen, lebih rendah dari 5,7 persen di
2016 dan tingkat kemiskinan di angka 9,5-10,5 persen dari 10,6 persen.
Jordan mengartikan orang miskin: “the poor are people whose lack of
resources damage their capacity to participate in a market environment”.
Artinya, orang miskin merupakan orang-orang yang karena kekurangan sumber
daya pada dirinya mengakibatkan rusaknya kapasitas untuk berpartisipasi dalam
lingkungan pasar/dunia usaha. Sedangkan Menurut Chambers mengatakan

14
bahwa kemiskinan adalah suatu integrated concept yang memiliki 5 (lima)
dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3)
kerentanan menghadapi situasi darurat (state of mergency), 4) ketergantungan
(dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun
sosiologis. Kedua teori di atas menunjukkan bahwa hidup dalam kemiskinan
bukan hanya hidup dalam kekurangan uang dan tingkat pendapatan rendah,
tetapi juga banyak hal lain, seperti: tingkat kesehatan, pendidikan rendah,
perlakuan tidak adil dalam hukum, kerentanan terhadap ancaman tindak
kriminal, ketidakberdayaan menghadapi kekuasaan, dan ketidakberdayaan
dalam menentukan jalan hidupnya sendiri.

15
DAFTAR PUSTAKA

Edy Suandi Hamid. 1999. Perekonomian Indonesia, Masalah dan Kebijakan Kontemporer.
Yogyakarta: UII Press

Tuluh T.H. Tambunan. Perekonomian Indonesia: Beberapa Isu Penting. Jakarta: Ghalia

Edy Suandi Hamid. 1999. Perekonomian Indonesia, Masalah dan Kebijakan Kontemporer.
Yogyakarta: UII Press

Thomas Soseco. 2010. Perkiraan Ketimpangan Distribusi Pendapatan di Indonesia dengan

Indeks Theil. Jurnal Ekonomi dan Studi Pembangunan, Vol. 2, Nomor 2, 2010 (Akses 10 Maret
2021)

Suharto, Suharto. 2001. Distribusi Pendapatan Dalam Pembangunan (Akses 15 Maret 2021)

Totok Harjanto, R. Misriah Ariyani. Distribusi Pendapatan di Indonesia.


https://core.ac.uk/download/pdf/288058334.pdf ( Akses 13 Maret 2021 )

Lia Istifhama. Urgensi Konsep Distribusi Pendapatan dalam Kebijakan Publik Sebagai

Strategi Mewujudkan Sustainability Pasar Tradisional. ( Akses 13 Maret 2021 )

Tiffany Kalalo, Daisy S.M Engka dan Mauna Th.B . Maramis.2016. Analisis Distribusi

Pendapatan Masyarakat Airmadidi Kabupaten Minahasa Utara. ( Akses 10 Maret 2021 )

16

Anda mungkin juga menyukai