Anda di halaman 1dari 9

Adab-Adab Memakai Sandal (Bagian 1) –

Hadis 12

Hadis 12
Adab-Adab Memakai Sandal (Bagian 1)
Al-Hāfizh Ibnu Hajar rahimahullāh membawakan hadis dari ‘Ali RA,

‫ لِيَ ُك ِن اليُ ْمنَى َأ َّولَ ُه َما تُ ْن َع ُل‬،‫ال‬ ِّ ‫ َوِإ َذا نَزَ َع فَ ْليَ ْب َدْأ بِال‬،‫ين‬
ِ ‫ش َم‬ ِ ‫ ِإ َذا ا ْنتَ َع َل َأ َح ُد ُك ْم فَ ْليَ ْب َدْأ بِا ْليَ ِم‬:‫سلَ َّم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ُ ‫ قَا َل َر‬:‫َو َع ْنهُ قَا َل‬
َ ِ ‫سو ُل هَّللَا‬
‫آخ َر ُه َما تُ ْن َز ُع‬ ِ ‫َو‬

Beliau berkata, “Rasulullah ‫ﷺ‬  bersabda, ‘Jika seseorang dari kalian memakai sandal, maka
mulailah dengan sandal bagian kanan. Jika ia melepaskan sandalnya, hendaknya dia
mendahulukan sandal yang kiri. Jadikanlah sandal yang kanan yang pertama kali dipakai dan
jadikanlah sandal yang kanan sebagai yang terakhir dilepas.”([1])

Hadis ini adalah hadis yang sahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dan lainnya, juga diriwayatkan
oleh Imām Mālik dan Abū Dāwūd.

Hadis ini merupakan salah satu pijakan dari kaidah umum yang disebutkan oleh para ulama, yaitu
bahwasanya merupakan sunah Rasulullah ‫ﷺ‬  adalah:

1. Mendahulukan yang kanan dalam perkara-perkara yang baik dan memiliki keutamaan.
2. Menggunakan/mendahulukan yang kiri dalam perkara-perkara yang buruk dan tidak utama.

Dalam sebuah hadis dari ‘Aisyah radhiyAllahu ‘anhā dalam ash-Sahihain, beliau berkata,

‫ َوفِي َشْأنِ ِه ُكلِّ ِه‬،‫ُور ِه‬


ِ ‫ َوطُه‬،‫ َوتَ َرجُّ لِ ِه‬،‫ فِي تَنَ ُّعلِ ِه‬، ُ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم «يُ ْع ِجبُهُ التَّيَ ُّمن‬
َ ‫» َكانَ النَّبِ ُّي‬
“Bahwasanya Rasulullah ‫ ﷺ‬ senang mendahulukan bagian kanan dalam memakai sandal,
menyisir rambut, bersuci dan dalam segala perkara.”([2])

Ini adalah merupakan dalil bahwasanya untuk segala perkara yang baik, Rasulullah ‫ﷺ‬ 
mengajarkan kita untuk mendahulukan yang kanan. Contohnya bersisir, memakai sandal, memakai
baju, makan dan minum menggunakan tangan kanan, dan mengambil perkara-perkara yang baik
menggunakan tangan kanan.  Bahkan disebutkan bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬  tatkala ber-tahallul
(bercukur dalam ibadah haji dan umrah), Beliau terlebih dulu mencukur bagian kepala sebelah
kanan, baru kemudian selanjutnya bagian kepala sebelah kiri.

Dari Anas bin Malik,

«‫ي‬َّ ‫ار‬ ِ ‫ص‬َ ‫ط ْل َحةَ اَأْل ْن‬


َ ‫ ثُ َّم َدعَا َأبَا‬،ُ‫ق ِشقَّهُ اَأْل ْي َمنَ فَ َحلَقَه‬ َ ِ‫ق نَا َو َل ْال َحال‬َ َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ْال َج ْم َرةَ َونَ َح َر نُ ُس َكهُ َو َحل‬
َ ِ‫لَ َّما َر َمى َرسُو ُل هللا‬
‫اس‬
ِ َّ ‫ن‬‫ال‬ ْ
‫ي‬ ‫ب‬ ‫ه‬ ‫م‬
َ‫ِ ْ ُ َ ن‬ ‫س‬ ْ
‫ق‬ ‫«ا‬ : ‫ال‬
َ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ،»َ ‫ة‬ ‫ح‬
َ ْ
‫ل‬ َ ‫ط‬ ‫ا‬ ‫ب‬‫َأ‬
َ ُ ‫ه‬‫ا‬ َ ‫ط‬ ْ
‫ع‬ ‫َأ‬َ ‫ف‬ ،ُ ‫ه‬َ ‫ق‬َ ‫ل‬ ‫ح‬
َ َ ‫ف‬ ْ
‫ق‬ ِ ‫ل‬ ْ‫«اح‬ : ‫ل‬
َ ‫ا‬ َ ‫ق‬َ ‫ف‬ ،» ‫ر‬ ‫س‬
َ َ ‫ي‬ْ ‫َأْل‬‫ا‬ َّ
‫ق‬ ِّ
‫ش‬ ‫ال‬ ‫ه‬َ ‫ل‬ ‫و‬‫َا‬ ‫ن‬ ‫م‬
ُ َ َّ ُ ‫ُ ِإ‬ُ ‫ث‬ ، ‫ه‬ ‫َّا‬ ‫ي‬ ‫ه‬ ‫ا‬َ ‫ط‬ ْ
‫ع‬ ‫َأ‬َ ‫ف‬»

“Tatkala Rasulullah ‫ ﷺ‬melempar jamarat dan menyembelih onta-onta beliau dan mencukur
gundul maka beliau menyodorkkan kepada sang pencukur bagian kanan kepala beliau agar
digunduli lebih dulu. Lalu beliau memanggil Abu Thalhah al-Anshari lalu beliau memberikan
rambutnya kepada Abu Tholhah. Kemudian beliau menyodorkan bagian kiri kepala beliau lalu
beliau berkata, ‘Cukurlah.’ Lalu kemudian dicukurlah kepala beliau. Lalu beliau memberi
rambutnya kepada Abu Thalhah, lantas beliau berkata, ‘Bagi-bagikanlah rambut itu kepada orang-
orang’.”([3])

Adapun dalam perkara-perkara yang buruk dan tidak utama, maka utamanya mendahulukan atau
menggunakan yang kiri. Contohnya, bersuci dari kotoran dengan menggunakan tangan kiri,
mengambil barang-barang yang kotor menggunakan tangan kiri, masuk ke dalam WC
mendahulukan kaki kiri, dan juga lainnya.

Di antara sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬ tentang hal ini (mendahulukan yang kanan dalam perkara yang baik
dan mendahulukan yang kiri dalam perkara yang buruk) adalah adab menggunakan sandal.

Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Jika seseorang dari kalian memakai sandal, maka mulailah dengan
sandal bagian kanan. Jika ia melepaskan sandalnya, hendaknya dia mendahulukan sandal yang
kiri. Jadikanlah sandal yang kanan yang pertama kali dipakai dan jadikanlah sandal yang kanan
sebagai yang terakhir dilepas.”

Mengapa demikian? Karena menggunakan sandal merupakan perkara yang baik, merupakan bentuk
karamah (perbuatan yang mulia), yaitu menjaga kaki dari kotoran dan dari hal-hal yang bisa
mengganggu. Oleh karenanya didahulukan kaki kanan ketika memakai sandal. Sebaliknya, 
melepaskan sandal dari kaki adalah perkara yang kurang baik (mahanah) karena kita
menghilangkan penjagaan terhadap kaki. Maka ketika kita melepaskan sandal, disunahkan
mendahulukan kaki kiri. Demikianlah sunah dalam hal ini.

Para pembaca yang semoga senantiasa dirahmati oleh Allah ‫ﷻ‬, perkara ini (memakai dan melepas
sandal) adalah perkara yang kita lakukan setiap hari. Kita memperhatikan atau tidak, tetap saja kita
memakai sandal dalam kehidupan kita sehari-hari. Jika demikian, tidakkah kita ingin mendapatkan
kebaikan dan pahala?

Bagaimanakah cara meraih kebaikan dan pahala dari memakai sandal? Mudah saja! Ketika
memakai sandal, niatkan saat memakai sandal di kaki kanan terlebih dahulu, kemudian, ketika
memasukkan kaki kanan ke dalam sandal, untuk mengamalkan sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬. Dengan
demikian semoga Allah akan memberikan pahala. Demikian pula halnya ketika kita ingin melepas
sandal, maka kita lepas sandal dari kaki kiri terlebih dahulu dengan menghadirkan keinginan
mengamalkan sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬.

Adapun kebiasaan kbanyak orang jika memakai sandal mendahulukan kaki kanan dan ketika
melepaskan pun juga mendahulukan kaki kanan (memakai dan melepaskan sandal dengan
mendahulukan kaki kanan), adalah kurang sempurna mengamalkan sunahnya. Sunah yang
sempurna adalah mendahulukan kaki kanan ketika memakai sandal dan mendahulukan kaki kiri
ketika melepaskannya.

Di akhir pembahasan ini, saya ingin mengingatkan bahwa para ulama telah berijmak bahwa
memakai sandal dengan mendahulukan kaki  kanan hukumnya adalah sunah, tidak sampai
diwajibkan. Akan tetapi, merupakan perkara yang kurang baik apabila seseorang dengan sengaja
memakai sandal dengan mendahulukan kaki kiri setelah mengetahui sunah Rasulullah ‫ﷺ‬  ini. Kita
tidak mengatakan bahwa dengan mendahulukan kaki kiri ketika memakai sandal itu dia berdosa.
Akan tetapi kita katakan bahwa dia menyelisihi sunah dan menyelisihi sunah itu adalah perbuatan
yang buruk meskipun tidak sampai dinyatakan sebagai perbuatan dosa.

Footnote:

________

([1]) HR. Bukhari no. 5855.

([2]) HR. Bukhari no. 168 dan 5926.

([3]) HR. Muslim No. 1305.


Adab-Adab Memakai Sandal (Bagian 2) –
Hadis 13
Hadis 13
Adab-Adab Memakai Sandal (Bagian 2)

Dari ‘Ali bin Abī Thālib radhiallahu ‘anhu, beliau berkata:

ٌ َ‫ ُمتَّف‬. ‫ َو ْليُ ْن ِع ْلهُ َما َج ِميعًا َأوْ لِيَ ْخلَ ْعهُ َما َج ِميعًا‬،‫اح َد ٍة‬
‫ق َعلَ ْي ِه َما‬ ِ ‫ش َأ َح ُد ُك ْم فِي نَ ْع ٍل َو‬
ِ ‫ اَل يَ ْم‬:‫قَا َل َرسُو ُل هَّللَا ِ صلى هللا عليه وسلم‬

Rasulullah ‫ﷺ‬  bersabda: “Janganlah salah seorang dari kalian berjalan memakai satu sandal saja.
Hendaknya dia memakai kedua-dua sandalnya atau dia melepaskan kedua-duanya.”([1])

Hadis ini menjelaskan kepada kita larangan memakai sandal hanya sebelah (kanan saja atau kiri
saja). Hendaknya kita memakai kedua sandal (sepasang) atau melepaskannya sama sekali.

Disebutkan dalam hadis bahwa Rasulullah ‫ﷺ‬  kadang-kadang berjalan tanpa memakai alas kaki.
Bahkan beliau memerintahkan para sahabat untuk terkadang berjalan tanpa sendal. Hal ini
menunjukkan bahwa sesekali kita disunahkan berjalan tanpa menggunakan alas kaki sama
sekali([2]).

Adapun tentang ilat atau sebab dilarangnya memakai satu sandal saja, terdapat beberapa pendapat di
kalangan para ulama sebagai berikut.

 Pendapat pertama menyatakan bahwa kita dituntut untuk berbuat adil dalam segala hal,
termasuk berbuat adil terhadap anggota tubuh kita. Maka tidak boleh bagi kita memakai
sandal hanya pada satu kaki, karena itu berarti bahwa kita tidak adil pada satu kaki yang
lainnya.
 Pendapat kedua mengatakan jika kita hanya memakai satu sandal saja, dikhawatirkan kaki
yang satunya akan terkena gangguan, seperti tertusuk paku atau duri. Oleh karena itu,
diperintahkan untuk memakai sandal pada kedua kaki. Namun pendapat kedua ini kurang
kuat karena Rasulullah membolehkan berjalan bahkan dengan melepas kedua sendal
sekaligus.
 Pendapat ketiga mengatakan bahwa ilatnya karena berjalan dengan satu sandal saja akan
menarik Perhatian, sedangkan kita diperintahkan untuk menjauhi syuhrah, yaitu melakukan
sesuatu perbuatan yang akan menarik Perhatian dan menimbulkan ketenaran, apalagi
ketenaran dalam hal yang aneh-aneh seperti memakai sebelah sandal ini.

Ketenaran yang disebabkan karena memakai baju yang bagus yang tampil beda dibandingkan orang
lain sehingga menarik Perhatian orang banyak (libāsusy-syuhrah) saja adalah sesuatu yang
dilarang([3]), apalagi ketenaran yang disebabkan oleh perilaku aneh dengan berjalan hanya
memakai sandal sebelah seperti ini. Bisa jadi kita malah akan dikenakan tuduhan yang tidak-tidak,
seperti dituduh gila atau stres. Karenanya, hal ini dilarang oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬. Demikianlah Islam
menjaga adab dan kemuliaan seorang manusia.

 Pendapat keempat, mengatakan bahwa di antara ilat larangan ini adalah karena perbuatan
seperti ini termasuk meniru setan.

Dalam sebuah hadis sahih Rasulullah ‫ﷺ‬  berkata,


‫احدَة‬ َ ‫طانَ يَ ْم ِشي بِالنَّع ِْل ْا‬
ِ ‫لو‬ َ ‫ِإ َّن ال َّش ْي‬

“Sesungguhnya setan berjalan hanya mengenakan satu sandal saja.([4])”

Terhadap kabar gaib seperti ini kita harus menerima dan mengimani sepenuhnya. Kita beriman
kepada kabar yang disampaikan oleh Rasulullah ‫ﷺ‬  bahwa setan memakai sandal hanya sebelah
ketika berjalan, sebagaimana  kita juga beriman kepada hadis-hadis yang menyebutkan bahwa setan
makan dan minum dengan tangan kiri, serta setan memberi dan mengambil juga dengan tangan kiri.

Dalam hadis Ibnu Umar, Rasulullah bersabda :

« ‫ َواَل‬،‫«واَل يَْأ ُخ ُذ بِهَا‬


َ :‫ َو َكانَ نَافِ ٌع يَ ِزي ُد فِيهَا‬:‫ قَا َل‬،»‫ َويَ ْش َربُ بِهَا‬،‫ فَِإ َّن ال َّش ْيطَانَ يَْأ ُك ُل بِ ِش َمالِ ِه‬،‫ َواَل يَ ْش َربَ َّن بِهَا‬،‫اَل يَْأ ُكلَ َّن َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم بِ ِش َمالِ ِه‬
‫»يُ ْع ِطي بِهَا‬

“Janganlah seorang dari kalian makan dengan tangan kirinya, dan jangan pula minum dengan
tangan kirinya, karena setan makan dengan tangan kirinya dan minum dengan tangan kirinya”.
Nafi’ (perawi dari Ibnu Umar) memberi tambahan, “Dan janganlah ia mengambil (sesuatu)
dengan tangan kirinya dan janganlah memberi dengan tangan kirinya.”([5])

Dalam hadis Abu Hurairah radhiallahu ‘anhusulullah bersabda :

« ،‫ْطي بِ ِش َمالِ ِه‬ ِ ‫ َويُع‬،‫ َويَ ْش َربُ بِ ِش َمالِ ِه‬،‫— فَِإ َّن ال َّش ْيطَانَ يَْأ ُك ُل بِ ِش َمالِ ِه‬،‫— َو ْليُ ْع ِط بِيَ ِمينِ ِه‬،‫ َو ْليَْأ ُخ ْذ بِيَ ِمينِ ِه‬،‫— َو ْليَ ْش َربْ بِيَ ِمينِ ِه‬،‫لِيَْأ ُكلْ َأ َح ُد ُك ْم بِيَ ِمينِ ِه‬
‫»ويَْأ ُخ ُذ بِ ِش َمالِ ِه‬
َ

“Hendaknya seorang dari kalian makan dengan tangan kanannya dan minum dengan tangan
kanannya, mengambil dengan tangan kanannya dan memberi dengan tangan kanannya, karena
setan makan dengan tangan kirinya, minum dengan tangan kirinya, memberi dengan tangan
kirinya dan mengambil dengan tangan kirinya.”([6])

Karena memakai sandal sebelah termasuk perbuatan setan, maka kita harus menyelisihnya.
Sebabnya adalah lantaran kita diperintahkan untuk menyelisihi setan. Kalau kita tahu bahwa setan
berjalan dengan satu sandal maka larangan untuk berjalan dengan satu sandal menjadi semakin
keras.

Dari keempat pendapat di atas, muncullah ikhtilaf di antara para ulama tentang hukum berjalan
dengan satu sandal saja, apakah larangan ini sampai pada tingkatan haram atau hanya sampai pada
hukum makruh saja.

Secara lahir, hadis ini menunjukkan bahwa memakai satu sandal saja hukumnya haram. Dengan
demikian, tidak boleh bagi seorang muslim berjalan dengan satu sandal saja. Dia harus memakai
kedua-duanya atau melepaskan kedua-duanya. Akan tetapi, banyak ulama yang menjelaskan bahwa
hukumnya tidak sampai pada derajat haram, tetapi hanya sampai derajat makruh saja.

Sebagian ulama, seperti Imām Nawawi rahimahullāh([7]) dan beberapa orang ulama lainnya,
menyebutkan adanya ijmak seluruh ulama dalam hal ini bahwa hukumnya adalah makruh.
Dikatakan makruh dan tidak sampai haram karena menurut mereka hal ini terkait dengan masalah
arahan adab saja. Maka segala pelarangan dalam permasalahan-permasalahan yang berkenaan
dengan adab dan pengarahan hukumnya tidak sampai haram tapi hanya sampai pada makruh([8]).
Adapun Ibnu Hazm Azh-Zhāhiri menyatakan bahwasanya berjalan dengan satu sandal hukumnya
adalah haram([9]).

Wallahu a’lam bish-shawāb. Terlepas dari hukumnya apakah haram atau makruh, yang penting
bagi kita adalah berusaha mengamalkan sunah Rasulullah ‫ ﷺ‬, yaitu kita tidak berjalan dengan
memakai satu sandal, tetapi kita pakai dua-duanya atau kita lepas dua-duanya.

Semua penjelasan di atas adalah dalam kondisi sedang berjalan. Bagaimana jika dalam kondisi tidak
berjalan? Bagaimana jika kita sedang duduk kemudian memakai sandal yang kanan dulu kemudian
yang kiri. Tentunya ini tidak masalah karena yang dilarang adalah ketika sedang berjalan.

Adapun misalnya kita sedang berdiri di atas satu sandal sementara kaki yang satu lagi belum sempat
kita pakaikan alas kaki, maka ini pun in syā Allah tidak mengapa karena larangan dalam hadis
Rasulullah ‫ﷺ‬  berkaitan dengan seseorang yang sedang berjalan kendati mengamalkan sunah lebih
utama. Wallahu Ta’āla a’lam bish shawāb.

Footnote:
________

([1]) HR. Bukhari no. 5856 dan Muslim no. 2097.

([2]) Abdullah bin Buraidah berkata: “

َ َ‫ير ِمنَ اِإل رفاه ق‬


‫ َمالِي اَل‬:‫ال‬ ٍ ِ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َكانَ يَ ْنهَانَا ع َْن َكث‬ َ ِ ‫ُول هَّللا‬ َ ‫— َما لِي َأ َرا‬:‫ضالَةَ ْب ِن ُعبَ ْي ٍد‬
َ ‫ ِإ َّن َرس‬:‫ك َش ِعثًا؟ قَا َل‬ َ َ‫ال َر ُج ٌل لِف‬
َ َ‫ق‬
‫ْأ‬
‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَ ُم ُرنَا َأ ْن نحتفي َأحْ يَانًا‬
َ ِ ‫هَّللا‬ ‫ل‬
ُ ‫ُو‬‫س‬ ‫ر‬ َ َ‫َ ان‬ َ
‫ك‬ :‫ل‬ ‫ا‬َ ‫ق‬ ‫؟‬‫ء‬ ‫ا‬ َ
‫ذ‬ ‫ح‬
ً ِ َ َ َ‫ك‬ ْ
‫ي‬ َ ‫ل‬ ‫ع‬ ‫ى‬ ‫ر‬‫َأ‬

“Seseorang berkata kepada Fadhalah bin ‘Ubaid radhiyallahu ‘anhu, ‘Kenapa aku melihatmu dalam
kondisi semrawut?’ Fadhalah berkata, ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
melarang kami dari bermewah-mewahan secara sering.’ Ia kembali berkata, ‘Kenapa aku
melihatmu tidak memakai sendal?’ Fadhalah berkata, ‘Rasulullah shallallahu álaihi wasallam
memerintahkan kami untuk tidak memakai sandal kadang-kadang’.” (HR Abu Daud no 4160
dan Ahmad 23969, dan dinyatakan sahih oleh Albani dalam As-Sahihah 2/20 di penjelasan hadis no
501).

Riwayat ini menunjukan terkadang seseorang tidak memakai sendal lantas berjalan di luar agar
tidak selalu terlihat necis dan tidak berlebihan mencintai dunia yang akan ditinggalkan.

([3]) Rasulullah melarang menggunakan pakaian syuhrah dalam sabdanya :

‫ب َم َذلَّ ٍة يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة‬


َ ْ‫ب شهر ٍة منَ ال ُّد ْنيَا َأ ْلبَ َسهُ هَّللا ُ ثَو‬
َ ْ‫س ثَو‬
َ ِ‫َم ْن لَب‬

“Barang siapa yang memakai pakaian ketenaran di dunia maka Allah akan memakaikannya
pakaian kehinaan pada hari kiamat.”(HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah, dan dihasankan
oleh Al-Albani)

Dan yang dimaksud dengan pakaian syuhrah -sebagaiamana penjelasan para ulama- antara lain :

Pertama : Pakaian yang terlalu indah dan mahal sehingga dijadikan sarana untuk berlebih-lebihan
dan kesombongan. Rasulullah bersabda :

ٌ‫اف َواَل َم ِخيلَة‬ ْ


ٌ ‫ُخالطه ِإس َْر‬ ‫ص َّدقُوا َو ْالبَسُوا َما لم ي‬
َ َ‫ُكلُوا َوا ْش َربُوا َوت‬

“Makan dan minumlah, bersedakahlah dan pakailah pakaian, selama tidak tercampur dengan
sikap berlebih-lebihan dan kesombongan.” (HR. Ahmad, An-Nasaai, dan Ibnu Majah, dan
dihasankan oleh Al-Albani)

Ibnu Abbas berkata

ٌ‫ َأوْ َم ِخيلَة‬،‫ف‬ ِ ‫ َما َأ ْخطََأ ْتكَ ْاثنَت‬، َ‫ َوالبَسْ َما ِشْئت‬، َ‫ُكلْ َما ِشْئت‬
ٌ ‫ َس َر‬:‫َان‬

“Makanlah sesukamu, berpakainlah sesukamu, selama engkau tidak terkena dua perkara, berlebih-
lebihan dan kesombongan.” (Diriwayatkan Al-Bukhari dalam sahih-nya, 7/140)

Kedua : Pakaian yang terlalu usang sehingga menarik Perhatian karena syariat memerintahkan kita
untuk memakai pakaian yang wajar dan sedang.

Sufyan Ats-Tsauri berkata :

ُ‫ َويُ ْستَ َذلُّ ِدينُه‬،‫اب ال َّر ِديَئةَ الَّتِي يُحْ تَقَ ُر فِيهَا‬
َ َ‫ َوالثِّي‬،‫ارهُ ْم‬
َ ‫ص‬َ ‫ َويَرْ فَ ُع النَّاسُ فِيهَا َأ ْب‬،‫اب ْال ِجيَا َد الَّتِي يُ ْشتَهَ ُر فِيهَا‬
َ َ‫ الثِّي‬،‫َكانُوا يَ ْك َرهُونَ ال ُّش ْه َرتَي ِْن‬

“Para salaf dahulu membenci dua ketenaran, pakaian bagus yang menjadikan tenar sehingga
orang-orang memperhatikannya, dan pakaian yang jelek yang jadi bahan hinaan dan menjadikan
agama pemakainya direndahkan.” (Islah al-Mal, karya Ibnu Abid Dunya, hal 113 No. 403)

As-Sarakhsi (ulama mazhab hanafi) berkata :

ِ ‫س نِهَايَةَ َما يَ ُكونُ ِم ْن الثِّيَا‬


‫ب‬ َ َ‫صابِ ِع َأوْ يَ ْلب‬
َ ‫ب َعلَى َوجْ ٍه يُ َشا ُر إلَ ْي ِه بِاَأْل‬ِ ‫س نِهَايَةَ َما يَ ُكونُ ِم ْن ْال ُح ْس ِن َو ْال َجوْ َد ِة فِي الثِّيَا‬ َ َ‫َو ْال ُم َرا ُد َأ ْن اَل يَ ْلب‬
‫ور َأوْ َسطُهَا‬ ‫ُأْل‬ ِ ‫ فَِإ َّن َأ َح َدهُ َما يَرْ ِج ُع إلَى اِإْل ْس َر‬،‫صابِ ِع‬
َ ‫ق َعلَى َوجْ ٍه يُ َشا ُر إلَ ْي ِه بِاَأْل‬
ِ ‫ير َوخَ ْي ُر ا ُم‬ ِ ِ‫اف َواآْل َخ َر يَرْ ِج ُع إلَى التَّ ْقت‬ ِ َ‫ْال َخل‬

“Yang dimaksud adalah tidak memakai pakaian yang terlalu indah dan elok sehingga menjadi
pusat Perhatian atau memakai pakaian yang sangat buruk sehingga mejadi pusat Perhatian. Yang
pertama (dilarang) karena sebab berlebih-lebihan dan yang kedua (dilarang) karena sebab
membuat orang yang melihatnya tidak tertarik. Dan sebaik-baik perkara adalah yang berada pada
pertengahan.” (Al-Mabsuth 30/268)

Ketiga : Pakaian yang modelnya aneh (tidak sesuai dengan adat berpakaian masyarakat setempat)
sehingga menjadi pusat Perhatian.

([4]) HR. Imām Thahawi dalam Syarah Musykil Al-Atsar dan disebutkan oleh Syekh Al-Albani
rahimahullāh dalam Ash-Sahihah hadis no. 348.

([5]) HR. Muslim no. 2020.

([6]) HR. Ibnu Majah No. 3266 dan dinyatakan sahih oleh Al-Albani.

([7]) An-Nawawi berkata :

ْ ‫يُ ْك َرهُ ْال َم ْش ُي فِي نَ ْع ٍل َوا ِح َد ٍة … َوهَ ِذ ِه اآْل دَابُ … ُمجْ َم ٌع َعلَى ا ْستِحْ بَابِهَا َوَأنَّهَا لَ ْي َس‬
ً‫ت َوا ِجبَة‬

“Dimakruhkan berjalan hanya memakai satu sendal… dan ini adalah termasuk dari adab-adab (yaitu
diantaranya tidak berjalan dengan satu sendal-pen)….disepakati (ijmak) sebagai sunah dan tidak
diwajibkan.” (Lihat al-Minhaj Syarh Sahih Muslim, An-Nawawi 14/75 dengan sedikit perubahan
redaksi).

([8]) Syekh al-Utsaimin berkata, “Sebagian ulama menempuh jalan yang baik, yaitu…bahwasanya
perintah-perintah terbagi menjadi dua macam: —ٌ‫ َأ َوا ِم ُر تَ َعبُّ ِديَّة‬perintah-perintah yang merupakan ibadah
dan —ٌ‫ َأ َوا ِم ُر تَْأ ِد ْيبِيَّة‬perintah-perintah yang berkaitan dengan adab, yaitu termasuk bab adab dan akhlak
mulia. Jika yang dimaksudkan adalah peribadatan maka perintah tersebut untuk wajib karena Allah
memerintahkan kita untuk mengerjakannya dan Allah suka kita bertakarub kepada-Nya dengan
perintah tersebut, maka wajib bagi kita untuk mengerjakannya. Adapun jika suatu perintah
berkaitan dengan adab dan akhlak yang mulia dan tidak ada hubungan antara perintah tersebut
dengan takarub kepada Allah, perintah tersebut adalah sunah dan larangannya adalah makruh bukan
haram.” (Manzhumah Ushul al-Fiqh wa Qawa’idihi, hal 121)

Diantara para ulama tersebut adalah al-Imam Asy-Syafií. Beliau berkata:

ُ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم – َأ َّن ُك َّل َما نَهَى َع ْنهُ فَهُ َو ُم َح َّر ٌم َحتَّى تَْأتِ َي َع ْنهُ َداَل لَةٌ تَدُلُّ َعلَى َأنَّهُ إنَّ َما نَهَى َع ْنه‬
َ – ِ ‫َأصْ ُل النَّه ِْي ِم ْن َرسُو ِل هَّللا‬
‫َأْل‬ ‫َأ‬ ‫ُأْل‬
ْ
‫ب َوااِل ختِيَا ِر‬ ْ ْ ْ َّ
ِ ‫ْض َوِإ َّما َرا َد بِ ِه الن ْه َي لِلتَّن ِزي ِه عَنْ ال َمن ِه ِّي َوا َد‬ ٍ ‫ور ُدونَ بَع‬ ِ ‫ْض ا ُم‬ ِ ‫لِ َم ْعنًى َغي ِْر التَّحْ ِر ِيم إ َّما َأ َرا َد بِ ِه نَ ْهيًا ع َْن بَع‬

“Asal dari larangan yang datang dari Rasulullah shallallahu álaihi wasallam adalah bahwa semua
yang beliau larang bersifat haram hingga didapatkan dalil yang menunjukan bahwa Rasulullah
melarang untuk tujuan lain selain pengharaman. Misalnya Beliau ingin melarang sebagian perkara
saja dan tidak sebagian lainnya, atau maksud Beliau adalah larangan tanzih (makruh) dari yang
dilarang dan berupa adab serta pilihan.”  (al-Umm, 7/305).

Demikian juga Ibnu Hajar, beliau berkata:

‫َّارفَةَ لِلنَّه ِْي َع ِن التَّحْ ِر ِيم … َو ِه َي َأ َّن َذلِكَ أدب من اآْل دَاب‬
ِ ‫ْالقَ ِرينَةَ الص‬

“Bahwasanya indikator yang memalingkan dari larangan pengharaman (menjadi makruh) adalah
bahwasanya perkara yang dilarang tersebut merupakan salah satu perkara adab.” (Fathul Bari
1/253)

Ibnu Abdilbarr berkata:


َ ‫ب َأ َّن ُك َّل َما َكانَ فِي ِم ْل ِك‬
َ‫ك فَنُ ِهيت‬ ِ ‫ب اَل نَ ْه ُي تَحْ ِر ٍيم َواَأْلصْ ُل فِي هَ َذا ْالبَا‬ ٍ ‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َع ِن ْال َم ْش ِي فِي نَ ْع ٍل َوا ِح َد ٍة نَ ْه ُي َأ َد‬
َ ُ‫َونَ ْهيُه‬
َ‫صرَّفُ فِي ِه َك ْيفَ ِشْئت‬ َ َ‫ك تَت‬ ْ ‫َأِل‬
َ ‫ب نَّهُ ِمل ُك‬ ‫َأ‬ ْ
ٍ ‫صرُّ فِ ِه َوال َع َم ِل بِ ِه فَِإنَّ َما هُ َو نَ ْه ُي َد‬
َ َ‫ع َْن َش ْي ٍء ِم ْن ت‬

“Dan larangan Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berjalan hanya dengan mengenakan satu
sandal adalah larangan adab bukan larangan pengharaman. Dan dasar pijakannya dalam bab ini
(berbagai permasalahan seperti ini) bahwasanya segala perkara yang merupakan milikmu lalu
engkau dilarang dari sesuatu darinya terkait penggunaannya atau mengerjakannya maka itu adalah
larangan adab, karena itu adalah milikmu dan engkau berhak menggunakannya sebagaimana yang
engkau kehendaki.” (At-Tamhid 18/177)

Di antara hal yang menguatkan kaidah ini yaitu banyak perkara-perkara adab yang telah datang
perintah untuk melakukannya akan tetapi para ulama sepakat bahwa hukumnya adalah mustahab
(sunah) dan tidak wajib. Wallahu a’lam bis-shawab.

([9]) Lihat al-Muhalla bil Atsar, Ibnu Hazm, 1/337 (cetakan Dar al-Fikr).

Diakses dari :
https://bekalislam.firanda.com/6314-adab-adab-memakai-sandal-bagian-2-hadis-13.html
Sunday, December 18, 2022
12/18/2022 4:18:07 PM

Anda mungkin juga menyukai