Anda di halaman 1dari 4

DAMPAK PEMBERLAKUAN SISTEM SATU ARAH PADA JALAN RAYA DI

MALANG
Pada era Reformasi seperti saat ini, kata perubahan menjadi kata yang sering
disuarakan, baik untuk individu ataupun oleh anggota kelompok masyarakat lainnya.
Tuntutan perubahan sering ditujukan kepada aparatur birokrasi menyangkut pelayanan publik
serta pelayanan masyarakat yang diberikan kepada masyarakat. Rendahnya mutu pelayanan
publik yang diberikan oleh aparatur menjadi citra buruk pemerintah ditengah masyarakat.
Masyarakat yang pernah berurusan dengan birokrasi selalu mengeluh dan kecewa terhadap
kelayakan aparatur dalam memberikan pelayanannya.
Terkait dengan pelayanan pemerintah, rasa puas masyarakat terpenuhi apabila apa
yang diberikan oleh pemerintah kepada mereka sesuai dengan apa yang mereka harapkan,
dengan memperhatikan kualitas dan kuantitas pelayanan tersebut diberikan, biaya yang relatif
terjangkau, serta mutu pelayanan yang baik. Sehingga, terdapat tiga unsur pokok dari
pelayanan itu sendiri, yaitu biaya harus relatif lebih terjangkau, waktu yang dibutuhkan
relative lebih efisien, dan mutu pelayanan yang diberikan relatif baik.
Pemerintah berperan penting dalam hal pemenuhan pelayanan dan penanganan
permasalahan yang ada di suatu daerah tertentu, salah satunya kemacetan. Kemacetan banyak
terjadi di kota-kota besar, terutama yang tidak mempunyai sistem transportasi publik dengan
baik atau memadai, ataupun juga tidak seimbangnya kebutuhan jalan dengan kepadatan
penduduk. Perkembangan jumlah penduduk di Indonesia yang sangat pesat mau tidak mau
harus disertai dengan perkembangan sarana dan prasarana transportasi publik yang memadai,
baik armada trosportasi maupun perlengakapan penunjangnya. Hal tersebut tercermin dari
perkembangan yang pesat pada sektor pelayanan publik, mobilitas tinggi, dan didukung
peralatan yang modern. Pemerintah harus dapat menyelesaikan masalah yang ada di dalam
suatu daerah dimana penyelesaian tersebut harus berdampak positif bagi masyarakat sekitar,
bukan menjadikan kerugian atau ketidakpuasan masyarakat yang dapat menimbulkan gejolak
terhadap pemerintah.
Perkotaan di Indonesia tak lagi terbatas sebagai pusat pemukiman masyarakat. Saat
ini, kota juga berfungsi sebagai pusat pemerintahan, pusat hierarki, dan pusat pertumbuhan
ekonomi. Sebagai konsekuensi logis dari peran kota sebagai pusat pertumbuhan dan
ekonomi, kontribusi perkotaan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional semakin meningkat.
Maka dari itu, adanya pertumbuhan masyarakat yang ada di perkotaan tentu menimbulkan
adanya dampak negatif terhadap adanya fenomena tersebut, yaitu permasalahan transportasi
sebagai salah satu dari permasalahan perkotaan.
Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan bersifat lintas sektor dan harus
dilaksanakan serta dilakukan dengan baik melalui pelaksanaan serta penerapan seluruh
program dan pelayanan penyelenggaraan lalu lintas serta angkutan jalan. Dalam hal tersebut,
dalam rangka meningkatkan pelayanan masyarakat, Dinas Perhubungan berperan aktif dalam
pelayanan tersebut untuk menjaga semua fasilitas serta apa yang ada dalam lingkungan lalu
lintas. Seperti halnya banyaknya pendatang yang ke Kota Malang karena ingin mencari ilmu
dan mencari rezeki di Kota Malang. Dengan adanya pertumbuhan tersebut, apabila sarana
prasarana lalu lintas tidak memadai, hal tersebut akan membuat kota tersebut mengalami
masalah seperti halnya kemacetan.
Jumlah kendaraan bermotor di Kota Malang berpotensi memunculkan permasalahan
kemacetan dalam beberapa tahun mendatang. Saat ini, di beberapa ruas jalan di Kota Malang
kerap terjadi kemacetan dan antisipasi pelebaran jalan tampaknya sulit untuk dilakukan.
Sebagai salah satu kota pendidikan dan kota wisata di Jawa Timur, Kota Malang pada tahun
2025 mendatang diprediksi akan mengalami kemacetan total. Prediksi tersebut dilihat dari
kinerja Pemerintah Kota Malang yang sampai saat ini belum menunjukkan upaya
perencanaan pembuatan jaringan jalan hingga tahun 2030 (Iskandar, 2020).
Beberapa ruas jalan yang kerap terjadi kemacetan panjang dan lama adalah di
pertigaan Jalan MT Haryono, perempatan Institut Teknologi Negeri Malang (ITN), pertigaan
jembatan Soekarno-Hatta, dan perempatan Rajabally. Kepadatan arus lalu lintas di sepanjang
Jalan Basuki Rahmat dan sekitarnya mulai menunjukkan perkembangan yang semakin
menghawatirkan. Di jam-jam biasa, yaitu di luar jam berangkat kerja pada pagi hari dan jam
pulang kerja pada sore hari, kendaraan hanya mampu bergerak dengan kecepatan maksimal
40 km per jam. Sementara pada jam-jam sibuk, kendaraan tentu hanya bisa merambat. Jalan
mulai lengang setelah pukul 23.00 WIB. Tidak hanya itu saja, hal tersebut mengakibatkan
adanya pembongkaran median jalan di sepanjang Jalan Basuki Rahmat.
Terkait dengan kemacetan dan pembongkaran median jalan di sepanjang Jalan Basuki
Rahmat, Pemerintah Kota Malang mulai melakukan uji coba pemberlakuan jalan satu arah di
Jalan Basuki Rahmat dan sekitarnya pada Januari hingga Februari 2023. Kebijakan tersebut
diberlakukan karena adanya titik kemacetan yang sangat besar. Kebijakan jalur satu arah
untuk kendaraan bermotor tersebut telah diwacanakan sejak akhir 2022, namun karena
infrastrukturnya masih belum mendukung, kebijakan tersebut ditunda hingga awal 2023.
Jalur satu arah demi mengurai kemacetan arus lalu lintas di kota Malang diberlakukan
di seputar kawasan Kayutangan. Perempatan Rajabally yang seharusnya lurus akhirnya
dialihkan ke Jalan Semeru dan Jalan Kahuripan. Kebijakan tersebut diujicobakan sejak 23
Januari 2023. Namun, kebijakan tersbut berlaku bagi kendaraan pribadi dan tidak berlaku
bagi angkutan umum. Dengan demikian, pihak yang diistimewakan adalah para sopir
angkutan umum, karena hal tersebut membuat para pengguna angkutan umum tidak memutar
karena kebijakan jalan satu arah tersebut hanya diberlakukan untuk para pengguna jalan
pribadi. Namun, tidak seluruh kebijakan pemerintah membawa dampak positif bagi pengguna
jalan atau sekitar jalan yang dilalui. Di satu sisi, kebijakan tersebut menimbulkan
permasalahan baru bagi warga sekitar kawasan Kayutangan yang tidak menerima hal
tersebut.
Kebijakan tersebut memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat sekitar
jalan yang diberlakukan jalan satu arah. Masyarakat merasa bahwa kebijakan tersebut
merugikan masyarakat sekitar karena dengan adanya jalur satu arah, perekonomian
masyarakat sekitar menjadi menurun. Bukan itu saja, dampak yang ditimbulkan dari
kebijakan tersebut adalah dampak sosiokultural serta kekeluargaan masyarakat yang
membuat masyarakat menjadi geram. Mereka merasa dirugikan karena perekonomian
semakin menurun, terjadinya kecelakaan, serta adanya jalan-jalan kecil yang dilewati
pengendara dengan kurang tertib. Hal tersebut membuat masyarakat tidak nyaman dengan
kebijakan tersebut.
Dalam perspektif psikologi sosial, khususnya terkait dengan perubahan perilaku,
dapat diketahui bahwa kebijakan tersebut dapat menyebabkan protes bagi masyarakat yang
kurang dapat menerima kebijakan tersebut. Istilah protes mengandung pengertian sebagai
pernyataan ketidaksetujuan, sanggahan, penyangkalan, dan penolakan. Protes dapat dilakukan
secara induvidual atau kolektif dalam berbagai bentuk, seperti aksi unjuk rasa,
pembangkangan, penolakan membayar pajak, mogok kerja, dan pembuatan petisi (Hanna et
al., 2016).
Menurut Hanna et al. (2016), kata protes mengandung pengertian pernyataan
pendapat secara beramai-ramai dan biasanya berupa pembangkangan; keluhan, keberatan,
atau ungkapan keengganan terhadap suatu gagasan atau tindakan; ekspresi penolakan secara
lugas; deklarasi oleh pihak tertentu sebelum atau saat melaksanakan kewajiban yang
dibebankan kepadanya dan dianggap ilegal, pengingkaran terhadap tuntutan yang dibebankan
dan menuntut hak untuk melakukan klaim guna menunjukkan bahwa tindakannya tidak
dilakukan secara sukarela; menyatakan sesuatu hal secara terbuka di hadapan umum;
melakukan deklarasi penolakan tertulis secara formal; bersumpah; berjanji untuk melakukan
penolakan secara beramai-ramai; serta mendudukkan permasalahan pada proporsinya.
Dalam perkembangannya, kata protes tersebut kemudian disertai dengan konsep,
sehingga kata protes tersebut memiliki persamaan dengan tindakan kolektif, sebab individu
atau sekelompok individu yang melakukan aksi protes tersebut bertindak secara kolektif
dengan mengusung tujuan tertentu. Sebagaimana dikemukakan oleh Welch dan Yates (2018)
bahwa konsep protes tersebut memiliki persamaan dengan konsep aksi kolektif atau
perkumpulan bertujuan. Meskipun Welch dan Yates (2018) mengakui adanya persamaan
antara konsep protes dengan tindakan kolektif, mereka menolak menggunakan konsep protes
karena dua hal. Pertama, kata protes seperti halnya pemberontakan, kekacauan, gangguan,
atau istilah sejenisnya dari sudut pandang penguasa tampak mencerminkan adanya intensi
dan posisi politik pelaku. Kedua, persepsi bahwa protes hampir identik dengan kata-kata
kejahatan dan kerusuhan sebagai cara untuk menggambarkan perilaku kolektif berupa
kekerasan massal, penjarahan, dan kekacauan.
Protes dalam konteks perilaku kolektif tersebut mencerminkan bahwa kehidupan
sosial tidak selamanya berjalan sesuai dengan norma-norma sosial serta peraturan-peraturan
institusional yang ada. Hal tersebut tercermin dalam berbagai bentuk protes yang dilakukan
anggota masyarakat secara kolektif, seperti unjuk rasa atau demonstrasi. Terlebih lagi norma,
peraturan, dan hukum tersebut datang dari pemerintahan yang otoriter, dan hal tersebut hanya
menguntungkan penguasa daripada masyarakat. Dengan kata lain, norma, peraturan dan
hukum dirancang untuk mendukung atau melanggengkan kekuasaan, sehingga ruang
kebebasan masyarakat terasa dibatasi. Tentu saja kondisi tersebut, cepat atau lambat, akan
memunculkan ketidakpuasan secara kolektif dalam bentuk protes.
DAFTAR PUSTAKA
Hanna, P., Vanclay, F., Langdon, E. J., & Arts, J. (2016). Conceptualizing social protest and
the significance of protest actions to large projects. The Extractive Industries and
Society, 3(1), 217–239.
Iskandar, A. H. (2020). SDGs desa: Percepatan pencapaian tujuan pembangunan nasional
berkelanjutan. Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Welch, D., & Yates, L. (2018). The practices of collective action: Practice theory,
sustainability transitions and social change. Journal for the Theory of Social
Behaviour, 48(3), 288–305.

Anda mungkin juga menyukai