Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

PSIKOLOGI PSIKOLOGI SOSIAL

PERILAKU PROSOSIAL

Disusun untuk memenuhi tugas Pengantar Psikologi Sosial dengan dosen


pembimbing Bapak Angga Yuni Mantara, S.Psi., M.Si.

Disusun oleh :

Gemma Gelvani Putri (220811602615)

Kansha Elya Tabitha (220811602575)

Nirmala Iga Hawania (220811602263)

Seilla Selviana Putri (220811601611)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


KATA PENGANTAR

Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji atas rahmat dan ridho Allah SWT.
Karena, tanpa rahmat dan ridhonya, kita dapat menyelesaikan tugas makalah
Pengantar Psikologi Sosial dengan mengangkat judul “Perilaku Prososial” ini dengan
baik dan selesai tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Profesi Bapak Angga Yuni Mantara, S.Psi.,
M.Si. yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas paper (makalah) sebagai
tugas kelompok pada semester genap kali ini. Kami juga mengucapkan banyak
terimakasih kepada teman-teman yang selalu membantu dalam mengumpulkan
berbagai macam materi dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami
menjelaskan tentang pengantar psikologi sosial yang membahas mengenai perilaku
prososial. Mungkin ada kalanya kami membuat kesalahan dalam pembuatan tugas
ini, kami mohon maaf dikarenakan pengalaman dan informasi yang kami dapat
kiranya ada kurang maupun lebihnya. Maka dari itu, kami mohon atas saran dan kritik
dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................................................................... 2


DAFTAR ISI .......................................................................................................................................................................... 3
BAB I ......................................................................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN........................................................................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ................................................................................................................................................... 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................................................................ 4
1.3 Tujuan ..................................................................................................................................................................... 4
BAB II........................................................................................................................................................................................ 5
PEMBAHASAN .............................................................................................................................................................. 5
2.1 Motivasi Prososial: Mengapa kita membantu orang lain? ......................................................... 5
2.2 Responding to an Emergency: Will Bystanders Help? ................................................................. 9
2.3 Factors That Increase or Decrease the Tendency (Faktor-faktor yang Meningkatkan
atau Menurunkan Kecenderungan Prososial) ........................................................................................ 11
2.4 The Effects of Being Helped: Why Perceived Motives Really Matter (Efek Dibantu:
Mengapa Motif yang Dirasakan Sangat Penting) ................................................................................. 20
2.5 Final Thoughts: Are Prosocial Behavior and Aggression Opposites? (Pikiran Akhir:
Apakah Perilaku Prososial dan Agresi Berlawanan?) ....................................................................... 20
BAB III................................................................................................................................................................................... 22
KESIMPULAN............................................................................................................................................................. 22
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................................................ 23

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Perilaku Prososial merupakan pengertian dari perilaku yang dapat menguntungkan sang
penerima, tetapi sayangnya tidak ada keuntungan yang begitu jelas bagi penerimanya (staub,
1978; baron & Byrne, 1994).

Disini William (1981) juga membatasi perilaku prososial secara lebih spesifik karena
perilaku prososial disini juga memiliki intensi untuk dapat merubah keadaan fisik atau
psikologis sang penerima bantuan yang kurang baik menjadi lebih baik, yang artinya secara
material atau psikologisnya. Dalam hal ini dapat dikatakan juga bahwa tujuan perilaku
prososial untuk dapat membantu well being seseorang.

Selain itu, perilaku prososial disini juga mencangkup tindakan-tindakan, sharing


(membagi), cooperative (kerjasama), donating (menyumbang), helping (menolong), honesty
(kejujuran), generosity (kedermawanan), serta mempertanggung jawabkan hak dan
kesejahteraan orang lain (Esenberg & Mussen, 1989).

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa motivasi seseorang melakukan tindakan prososial?

2. Saat Keadaan darurat apakah seseorang akan tetap menolong?

3. Faktor apa yang mempengaruhi meningkatnya dan menurunnya kemungkinan


orang menolong orang lain?

4. Efek apa yang dirasakan saat kita dibantu?

5. Apakah perilaku prososial berlawanan dengan agresi?

1.3 Tujuan
1. mengetahui motivasi seseorang melakukan tindakan prososial

2. mengetahui apakah saat Keadaan darurat seseorang akan tetap menolong

3. Mengetahui Faktor apa yang mempengaruhi meningkatnya dan menurunnya


kemungkinan orang menolong orang lain

4. Mengetahui Efek apa yang dirasakan saat kita dibantu

5. mengetahui apakah perilaku prososial berlawanan dengan agresi

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Motivasi Prososial: Mengapa kita membantu orang lain?

2.1.1 Empati-Altruisme

Tindakan prososial melibatkan empati, empati adalah kemampuan untuk


mengalami emosi orang lain sehingga (misalnya, Eisenberg, 2000; Hodges, Kiel
, Kramer, Veach, & Villaneuva, 2010 dalam Baron, & Branscombe, 2014).
Batson, Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) menawarkan hipotesis
empati-altruisme, yang menunjukkan bahwa setidaknya beberapa tindakan
prososial dimotivasi semata-mata oleh keinginan untuk membantu seseorang
yang membutuhkan (Batson & Oleson, 1991 dalam Baron, & Branscombe,
2014)

Empati terdiri dari tiga komponen berbeda yaitu;

1. Aspek emosional

Yang melibatkan berbagi perasaan dan emosi orang lain

2. Komponen kognitif

Yang melibatkan persepsi pikiran dan perasaan orang lain secara akurat

3. Kepedulian empatik

Melibatkan perasaan kepedulian terhadap kesejahteraan orang lain

Ketiga komponen ini memberikan aspek prososial dan efek yang berbeda.
Misalnya kepedulian akurasi empatik menjadi sebuah aspek penting dalam
penyesuaian sosial (Baron, & Branscombe, 2014).

(Baron, & Branscombe, 2014)


5
Apakah Empati Menurun? Dan Jika Begitu, Mengapa?

Terdapat penelitian yang menunjukan terjadinya penurunan empati dari


kalangan mahasiswa AS (Konrath, O'Brien, & Hsing, 2011 dalam Baron, &
Branscombe, 2014). Penurunannya kecil, tetapi signifikan untuk dua aspek
empati:

1. Empathic concern (kepedulian terhadap perasaan dan kesejahteraan orang


lain)
2. Empathic perspective taking (mampu mengambil perspektif orang lain)

Konrath et al. (2011) menemukan faktor penyebab terjadinya penurunah


empati. Seperti,

1. Meningkatnya paparan kekerasan di media dan bahkan di sekolah


2. Peningkatan penekanan di sekolah dan lingkungan lain untuk membangun
harga diri individu dapat mengurangi kecenderungan untuk fokus pada orang
lain dan kebutuhan mereka.
3. Acara televisi realita, yang ditonton oleh puluhan juta orang, cenderung
menekankan pesan-pesan seperti “pemenang mengambil segalanya”, atau
“mendahulukan diri sendiri dan mempermainkan orang lain . . .”
4. Bahwa media sosial berkontribusi pada tren penurunan empati ini
Facebook, Twitter, dan media sosial lainnya mengurangi kontak tatap muka
antara orang-orang, yang membentuk “teman” dan hubungan online daripada
secara langsung (Baron, & Branscombe, 2014)

2.1.2 Negative-State Relief

Motif lain mengapa orang lain ingin membantu orang lain agar mereka merasa
lebih baik dang mengurangi emosi negatif dalam dirinya. Perilaku prososial ini
disebut negative-state relief model (Cialdini, Baumann, & Kenrick, 1981
dalam Baron, & Branscombe, 2014).

2.1.3 Empathic Joy

Perasaan bahagia yang didapatkan saat melihat reaksi atau ekspresi bahagia
dari orang yang kita bantu. Misalnya, apakah Anda ingat betapa senangnya
melihat seseorang yang Anda sayangi tersenyum dan menunjukkan
kegembiraan saat Anda memberi mereka hadiah? Itu adalah contoh Empathic
Joy (Baron, & Branscombe, 2014).

2.1.4 Competitive Altruism

Dari ketiga teori yang dijelaskan bahwa perasaan manusia berperan sangat
penting pada tindakan prososial. Lalu ketiga teori ini dibawa ke perspektif lain

6
dari tindakan prososisal yaitu- Competitive Altruism (Baron, & Branscombe,
2014).

(Baron, & Branscombe, 2014)

Gambar diatas menjelaskan hal yang mendorong seseorang melakukan tindakan


prososial. Pandangan ini menunjukkan bahwa salah satu alasan penting
mengapa orang membantu orang lain adalah karena hal itu meningkatkan status
dan reputasi mereka sendiri dan, dengan cara ini, pada akhirnya memberi mereka
manfaat besar, yang lebih dari sekadar mengimbangi biaya keterlibatan dalam
tindakan prososial. Hasil semacam ini terlihat di banyak kampus universitas, di
mana bangunan atau seluruh sekolah diberi nama sesuai nama orang yang
memberikan sumbangan besar (Baron, & Branscombe, 2014).

2.1.5 Kin Selection Theory

Dari sudut pandang evolusi, tujuan akhir semua organisme - termasuk manusia
- adalah mewariskan gen kita ke generasi berikutnya. Prediksi umum ini telah
didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kita umumnya
lebih cenderung membantu mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kita
daripada mereka yang tidak berhubungan dengan kita (misalnya, Neyer & Lang,
2003 dalam Baron, & Branscombe, 2014).

Namun, ada satu masalah mendasar yang mungkin sudah Anda perhatikan: kami
tidak hanya membantu kerabat biologis; sebaliknya, seringkali kita memang
membantu orang yang tidak berhubungan dengan kita. Mengapa kita
melakukannya? Jika dikaji menggunakan teori Kin Selection Theory hal tersebut
tidak berguna karena tidak akan membantu kita mewariskan gen kita ke generasi
mendatang. Tetapi masalah ini di jawab oleh reciprocal altruism theory yang
7
menunjukkan bahwa kita mungkin bersedia membantu orang yang tidak terkait
dengan kita karena membantu biasanya bersifat timbal balik: Jika kita membantu
mereka, mereka membantu kita, jadi pada akhirnya kita mendapat manfaat, dan
peluang kita untuk bertahan hidup kemudian dapat ditingkatkan secara tidak
langsung (misalnya, Korsgaard, Meglino, Lester, & Jeong, 2010 dalam Baron,
& Branscombe, 2014).

2.1.6 Defensive helping: Helping Outgroups to Reduce Their Threat


to One’s Ingroup

Bantuan defensi adalah bantuan yang diberikan kepada outgrup yang telah
mencapai keberhasilannya untuk mengurangi ancaman terhadap status atau
kekhasan ingrup sendiri. Bantuin ini bertujuan untuk menunjukkan siapa yang
paling hebat bukan atas dasar empaty dan keinginan murni untuk membantu,
melainkan untuk menjatuhkan outgrup dengan cara yang halus dan mengurangi
ancaman terhadap status ingrup. Terkadang mereka menganggap kelompoknya
sendiri berbeda dari kelompok lain bahkan menganggap lebih unggul dan
positif. dengan adanya keberhasilan dari outgrup maka hal tersebut akan
mengancam superioritas kelompok ingrup, sehingga untuk menggurangi
ancaman tersebut menggunakan bantuan atau helping. Dengan menawarkan
bantuan maka outgrup akan bergantung pada kita sehingga dengan
ketergantungan bantuan tersebut akan meningkatkan status kita sebagai ingrup
yang superior.

Bukti kasus yang telah dilaporkan Nedler, Harpaz-Gorodeisky, dan Ben- David
(2009) terdapat 3 sekolah yang memiliki nilai yang berbeda. Mereka memberi
tahu satu sekolah atau sebutannya sekolah (a) bahwa terdapat sekolah lain atau
sekolah (b) yang nilainya lebih tinggi dari pada sekolah (a) dalam tes
kemampuan kognitif (ini menimbulkan ancaman tinggi terhadap keunggulan
kelompok sekolah a), sementara sekolah ketiga atau disebut sekolah (c)
mendapatkan nilai yang sama dengan sekolah (a). Dan Ketika diberi kesempatan
untuk membantu siswa didua sekolah ini, maka mereka menjawab lebih banyak
untuk membantu di sekolah (b) dengan ancaman yang lebih tinggi alasannya
karena untuk mengurangi ancaman status institusinya.

Dalam kasus yang telah ditemukan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
membantu orang lain itu berasal dari berbagai motif salah satunya motif

8
ancaman. Tindakan prososial itu kompleks tidak hanya bentuk yang mereka
ambil dan factor yang mempengaruhinya.

2.2 Responding to an Emergency: Will Bystanders Help?


Dalam keadaan darurat seseorang biasanya akan memberikan bantuan secara terburu
buru, namun sering juga jika melihat disekitar kita seseorang hanya berdiri dan melihat
saja bahkan tidak melakukan apa apa ketika ada keadaan darurat yang menimpa orang
lain. Sehingga munculah pertanyaan, Apa yang bisa menjelaskan perbedaan dalam
perilaku tersebut? Mari kita lihat hasil dari penemuan psikologi sosial tentang
pertanyaan tersebut.

2.2.1 Helping in Emergencies : Apathy – or Action?

Sebagai contoh kita terjatuh Ketika melintas dijalan yang tertutup es, kemudian
kita kehilangan pijakan dan saat kita ingin melangkah ternyata lutut kita terasa
sakit akhirnya kita tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan bantuan orang
lain. Dalam hal ini ada dua kategori yang diberikan

1. jalanan sepi dan hanya satu orang yang melihat apa yang terjadi kepada anda

2. jalanan rame dan banyak orang yang melihat keadaan anda Ketika terjatuh

Dalam situasi pertama mungkin kita hanya berharap dan bergantung kepada satu
orang itu saja untuk bisa membantu kita. Disituasi kedua mungkin kita akan
lebih mudah untuk mendapatkan bantuan karena banyak orang yang akan
termotivasi untuk berperilaku prososial. Jadi timbulah pertanyaan apakah
jumlah pengamat akan mempengaruhi banyakknya korban dalam menerima
bantuan? Jika menurut pemikiran akal sehat, seseorang dalam keadaan darurat
makan semakin banyak pengamat yang ada pada situasi tertentu dan akan
semakin mudah anda untuk mendapatkan pertolongan.

Namun ternyata dalam penelitian psikologi sosial yang telah ditemukan


pernyataan tersebut salah!

John Darley dan Bibb Latane telah bekerja keras tentang masalah pembunuhan
yang terjadi di New York City. Didalam kasus ini terdapat kejahatan yang
diterima oleh Kitty Genovase yang diserang oleh pria dilokasi dimana terdapat
banyak orang yang bisa melihat kejadian tersebut. Penyerang dalam kasus ini

9
terus menyerang korban selama beberapa menit, bahkan pergi dan Kembali
untuk menyerang lagi. Namun dengan banyaknya pengamat pada lokasi tersebut
tidak satupun yang bertindak untuk melaporkan kepada pihak kepolisian.
Sehingga John Darley mengajukan pertanyaan kenapa dalam kasus kitty ini
tidak ada orang yang membantu korban tersebut padahal menurut akal sehat,
semakin banyak pengamat maka semakin mudah untuk mendapatkan
pertolongan.

2.2.2. is There Safety in Numbers? Sometimes, But Not Always

Darley dan Latane mempertimbangkan mungkin tidak ada yang membantu


karena semua saksi berasumsi bahwa orang lain akan melakukannya. Sehingga
Darley dan Latane menyebutnya sebagai difusi tanggung jawab yaitu semakin
banyak orang asing yang ada pada saat kejadian darurat terjadi maka semakin
kecil kemungkinan korban menerima bantuan. Lagi pula, semakin besar jumlah
calon penolong, semakin kurang rasa tanggung jawab dan setiap orang yang
membantu akan berasumsi “orang lain akan melakukannya”. Namun berbeda
dengan orang yang menjadi anggota ingrup sendiri, mereka akan lebih cepat dan
mudah dalam menerima bantuan (Lavine, Prosserr, Evans & Reicher, 2005).

2.2.3. Understanding the Bystandar Effect: Five Crucial Steps in


Decinding to Help – or Not

Berikut ringkasan keputusan yang terlibat, dan factor faktor yang berperan
dimasing masing keputusan menurut Latane dan Darley, 1970)

1. Menyadari, atau gagal menyadari, bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang

terjadi.Keadaan darurat merupakan sesuatu yang terjadi secara tidak terencana


bahkan tak terduga dan belum pasti untuk mengantisipasinya atau menentukan
cara terbaik untuk bisa menanggapi keadaan darurat tersebut.

2. Menafsirkan suatu peristiwa dengan benar sebagai keadaan darurat


3. Memutuskan bahwa bertanggung jawab untuk memberikan bantuan dalam
banyak kasus, respon kemungkinan untuk membantu jelas.
4. Memutuskan bahwa anda memiliki pengetahuan atau keterampilan untuk
bertindak
5. Membuat keputusan akhir untuk memberikan bantuan.

10
Kesimpulannya, memutuskan untuk membantu dalam situasi darurat bukanlah
keputusan satu kali yang sederhana, namun melibatkan banyak keputusan dan
hanya jika semua keputusan bersifat positif barulah bantuan yang sebenarnya
terjadi.

2.3 Factors That Increase or Decrease the Tendency (Faktor-


faktor yang Meningkatkan atau Menurunkan Kecenderungan
Prososial)
Beberapa perilaku prososial kadang mengalami kegagalan dalam menghadapi
situasi tertentu meskipun juga tak jarang banyak yang berhasil. hal ini bisa jadi
dipengaruhi oleh beberapa faktor munculnya inisiatif perilaku prososial dalam diri
setiap individu seperti faktor internal (emosi dan karakteristik individu) dan eksternal
( ketertarikan, tanggung jawab, panutan secara langsung, game prososial dan empati)

2.3.1 Situational (External) Factors Influence Helping : Similarity


and Responsibility (Faktor Situasional (Eksternal) Mempengaruhi
Membantu Kesamaan dan Tanggung Jawab)

Kecenderungan seseorang dalam membantu orang lain memiliki


kemungkinan yang berbeda dalam beberapa situasi, misalnya tindakan prososial
tercipta ketika kita melihat adanya orang yang sedang membantu orang lain di
sekitarnya. Adapun beberapa situasi yang dianggap seseorang menarik sehingga
membuatnya tergerak dalam berperilaku prososial. Pada dasarnya
kecenderungan kita memiliki perilaku prososial, sebagian besar dipengaruhi
oleh keadaan lingkungan sekitar yang membuat kita menarik untuk membantu
orang lain.

HELPING WE LIKE (MEMBANTU ORANG YANG


MEMILIKI KESAMAAN)

Ketika memberikan sebuah bantuan, sebagian besar dari individu memilih


membantu dalam situasi yang menurutnya menarik. Peneliti memfokuskan
bahwa setiap individu pasti memberikan bantuan pada keluarga dan teman dekat
mereka secara setara sedangkan ketika berhadapan dengan orang asing, individu
akan memilah situasi yang membuatnya tergerak dalam berperilaku pro sosial.
Misalnya ketika kita mengamati situasi darurat dan korbannya orang asing tetapi
11
dari segi usia, kebangsaan dan faktor lainnya sama dengan kita, maka kita akan
cenderung memberikan bantuan dibandingkan dengan orang asing yang
memiliki usia jauh diatas kita atau justru dibawah kita, pasti ketika akan berfikir
lebih dulu untuk memberikan bantuan. Peneliti oleh Hodges dan rekannya
(2010) menunjukkan bahwa kesamaan yang dimiliki orang lain dengan kita akan
meningkatkan kepedulian dan pemahaman kita tentang apa yang mereka alami

HELPING THOSE WHO ARE NOT RESPONSIBLE FOR


THEIR PROBLEM (MEMBANTU MEREKA YANG TIDAK
BERTANGGUNG JAWAB ATAS MASALAH MEREKA)

Cara kita melihat situasi atas masalah seseorang akan memunculkan dua
macam pilihan antara memberikan bantuan atau justru memikirkan ulang sikap
bantuan kita terhadap orang lain. Misalnya ketika melihat seseorang yang
terbaring di trotoar dengan pakaian ternoda dan memegang sebotol minuman
keras sedangkan di sisi trotoar lain kita melihat seseorang dengan pakaian rapi
dan memiliki luka parah di dahinya, dorongan yang kita rasakan untuk
menumbuhkan rasa ingin membantu pasti cenderung pada seseorang yang
memiliki luka parah di dahinya dengan berpakaian rapi. Hal ini dikarenakan
ketika rasa ingin membantu itu tumbuh, seseorang akan bertindak jika melihat
situasi dimana individu itu menjadi korban. Pada kasus diatas, seseorang melihat
orang dengan pakaian rapi memiliki luka di dahinya tidak memilih untuk
diserang sedangkan melihat orang yang pingsan di trotoar dengan memegang
minuman keras akan menimbulkan persepsi seorang pemabuk yang putus asa
dipinggir jalan. Situasi tertentu menentukan tindakan seseorang dalam
membantu orang lain.

2.3.2. Exposure to Live Prosocial Models (Paparan Model Prososial


Langsung)

Keberadaan orang lain sebagai panutan dalam berperilaku prososial akan


memberikan dampak yang besar pada orang lainnya. Ketika seorang individu
melihat lingkungan sekitarnya memiliki tingkat kepedulian dalam sikap
menolong yang tinggi, secara tidak sadar individu disekitarnya akan mengikuti
perilaku pro sosial yang terjadi. Contohnya ketika melihat seorang wanita
mengalami kesusahan ketika menaiki sepeda dan orang lain menolongnya, saat
berada dalam situasi yang sama maka individu tersebut akan melakukan hal
yang sama seperti yang dilakukan oleh orang lain yang ia amati. Kehadiran
12
simbolik model penolong dalam lingkungan masyarakat dapat meningkatkan
perilaku prososial. Adanya orang lain sebagai contoh menyebabkan seseorang
memiliki pikiran bahwa ia harus melakukan apa yang telah dilakukan orang lain,
sehingga perilaku prososial meningkat.

2.3.3. Playing Prosocial Video Games (Bermain Video Game


Prososial)

Perilaku prososial ada sejak bawaan dan ada juga yang dipengaruhi oleh
tindakan orang lain, terutama ketika dalam posisi tidak yakin tentang cara yang
baik dan tepat untuk bertindak sendiri. Paparan tindakan orang lain tidak hanya
berasal dari pengamatan di lingkungan sekitar tetapi bisa juga melalui video
games. Mungkin beberapa dari video game dianggap bersifat agresif karena
melibatkan berbagai tindakan kekerasan dan adegan yang seharusnya tidak
dipertontonkan, tapi di sisi lain video game juga memberikan pandangan
mengenai tindakan prososial seperti antar karakter yang saling membantu dan
mendukung. Bermain video game prososial mungkin menjadi pemikiran dan
skema prososial utama kerangka kerja kognitif yang terkait dengan membantu
orang lain. Pemaparan berulang terhadap permainan semacam itu, dari waktu ke
waktu, dapat menghasilkan sikap yang mendukung tindakan prososial, emosi
yang konsisten (misalnya, perasaan positif terkait dengan membantu orang lain),
dan perubahan abadi lainnya dalam cara individu berpikir.

Efek paparan video games yang positif cenderung meningkatkan perilaku


prososial yang ada dalam diri individu. Pada sebuah penelitian peserta
memainkan video game prososial (misalnya Lemmings), agresif (misalnya
Lamers), atau netral (Tetris). Kemudian mereka dihadapkan pada situasi di mana
mereka dapat melakukan pertolongan spontan, pelaku eksperimen
menumpahkan secangkir pensil ke lantai. Seperti yang diharapkan, proporsi
yang lebih tinggi dari mereka yang memainkan video game prososial (57 persen)
membantu mengambil pensil, sedangkan proporsi yang lebih rendah dari mereka
yang memainkan permainan netral (33 persen) atau permainan agresif (28
persen) membantu. Kesimpulannya, video game yang seringkali di kritik negatif
sebagai permainan membuang buang waktu, ternyata menghasilkan sikap netral
dalam diri seseorang. Bergantung pada konten yang mereka pilih apakah
mengandung tindakan agresif, berbahaya atau justru menguntungkan karena

13
pada dasarnya sifat dari permainan itu sendiri yang nantinya akan berhubungan
langsung dengan sisi sosial kehidupan

2.3.4. Gratitude : How It Increases Future Helping (Syukur:


Bagaimana Ini Meningkatkan Bantuan Lebih Lanjut)

Setiap orang ketika melakukan hal yang sifatnya menolong pasti ingin
dihargai. Ucapan penghargaan terhadap sebuah bantuan biasanya berupa “terima
kasih” meski tanpa imbalan lebih. Menurut beberapa orang diberi ucapan terima
kasih merupakan sebuah timbal balik yang membuat dirinya senang. Hal ini
akan meningkatkan bentuk perilaku prososial berikutnya. Ketika seseorang
memberikan sebuah bantuan pada orang lain lalu orang tersebut tidak
mengucapkan sepatah katapun meski hanya sekedar berterima kasih, akan
membuat sebagian besar orang tidak merasa dihargai keberadaannya.

Menurut Grant dan Gino (2010), ada dua kemungkinan mengapa ungkapan
terimakasih dapat meningkatkan perilaku prososial berikutnya. Pertama, ucapan
terima kasih dapat menambah rasa self-efficacy yang mana bantuan yang
mereka berikan mampu, kompeten, dan telah bertindak efektif (dan dengan cara
yang baik). Kedua, hal itu dapat menambah perasaan harga diri penolong,
keyakinan mereka bahwa mereka dihargai oleh orang lain. Bayangkan ketika
memberikan pertolongan pada orang lain tetapi tidak mendapat timbal balik
sama sekali otomatis akan menjadi malas berurusan dan membantunya kembali
ketika susah. Secara keseluruhan, tampaknya rasa syukur meningkatkan bantuan
dengan cara yang sangat mudah dengan membuat orang yang diberi ucapan
terima kasih atas bantuan mereka merasa bahwa mereka memang dihargai oleh
orang lain, terutama oleh orang yang mendapat manfaat dari tindakan prososial
mereka. Jadi, mengucapkan terima kasih bukan hanya hal yang sopan dan benar
untuk dilakukan jika Anda menerima bantuan dari orang lain.

14
2.3.5 Emosions and Prososial Behavior (Mood dan Perilaku
Prososial)

Ketika akan meminta bantuan orang lain pasti seseorang akan melihat
terlebih dahulu gimana kondisi hati seseorang yang akan di mintai tolong
olehnya, karena biasanya seseorang yang berada dalam emosi positif dan negatif
memiliki perbedaan sikap dalam memberikan bantuan.

POSITIVE EMOTIONS AND PROSOSIAL BEHAVIOR


(EMOSI POSITIF DAN PERILAKU PROSOSIAL)

Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa orang lebih bersedia untuk
membantu orang asing ketika suasana hati mereka meningkat oleh beberapa
pengalaman baru-misalnya, mendengarkan seorang komedian (Wilson, 1981),
karena dengan suasana hati yang baik akan menciptakan perilaku yang berjalan
tanpa beban sehingga ketika membantuu orang lain tidak merasa terbebani.
Namun disisi lagi suasana hati yang positif juga bisa menurunkan kemungkinan
merespon secara prososial, karena ketika seseorang berada dalam fase hati yang
sangat baik, ia akan cenderung fokus pada kebahagiaannya sehingga ketika
berada di situasi serius yang membutuhkan bantuan, seringkali menafsirkannya
sebagai sesuatu yang tidak serius

NEGATIVE EMOTIONS AND PROSOSIAL BEHAVIOR


(EMOSI NEGATIF DAN PERILAKU PROSOSIAL)

Berada dalam suasana hati yang buruk bukan berarti tidak dapat menumbuhkan
perilaku prososial. Hal ini dikarenakan ada beberapa orang yang ketika berada
dalam suasana hati yang buruk ketika melakukan bantuan kepada orang lain
justru akan memperbaiki suasana hatinya. Dengan membantu orang lain ia
15
merasa dibutuhkan dan membuat dirinya merasa lebih baik. Hanya saja hal ini
masih berlaku pada suasana hati yang tidak terlalu kuat sehingga mudah untuk
mengambil pengalihan dengan membantu orang lain.

FEELINGS OF ELEVATION AND HELPING OTHERS


(PERASAAN MEMBANTU ORANG LAIN)

Saat melihat orang lain terlibat dalam tindakan yang baik atau membantu, ini
akan berdampak kuat pada emosi sesorang. Secara khusus, itu dapat memicu
perasaan positif sehingga membuat kita merasa terinspirasi, terangkat, dan
optimis tentang sifat manusia. Ketika orang lain melakukan kebaikan, keinginan
dalam diri tiba tiba menjadi kuat hanya karena melihat sesuatu yang menurutnya
pantas untuk ditiru. Kondisi seberapa tinggi rasa ingin membantu orang lain
dalam diri sebagian besar dipengaruhi dengan menyaksikan tindakan orang lain

2.3.5.1 Empathy: An Important Foundation for Helping (Empati:


Landasan Penting untuk Membantu)

Di antara berbagai faktor pribadi yang mempengaruhi pertolongan, salah satu


yang tampaknya paling penting adalah kecenderungan untuk mengalami empati
terhadap orang lain—reaksi emosional yang terfokus atau berorientasi pada
orang lain, dan mencakup perasaan kasih sayang, simpati, dan perhatian
(misalnya , Batson & Oleson, 1991). Empati melibatkan beberapa komponen
tanggapan afektif dan kognitif terhadap keadaan emosional orang lain dan
kapasitas untuk mengambil perspektif orang lain (Batson et al., 2003). Orang
yang berempati merasakan apa yang orang lain rasakan dan memahami mengapa
orang itu merasakan apa yang dia rasakan (Azar, 1997; Darley, 1993; Duan,
2000). Misalnya, jika orang lain mengalami rasa malu, seseorang yang
mengalami empati terhadap individu ini akan mengalami (secara perwakilan)
rasa malu ini juga (Stocks, Lishner, Waits, & Downum, 2011). Perbedaan
individu dalam kecenderungan mengalami empati tampak relatif konsisten dari
waktu ke waktu.

Komponen afektif (empati emosional) merupakan komponen penting dari


empati, dan anak-anak semuda 12 bulan tampak jelas merasakan kesusahan
dalam menanggapi kesusahan orang lain (Brothers, 1990). Komponen kognitif
empati tampaknya merupakan kualitas manusia yang unik yang berkembang
hanya setelah kita berkembang melampaui masa bayi. Kognisi seperti itu
16
mencakup kemampuan untuk mempertimbangkan sudut pandang orang lain,
terkadang disebut sebagai pengambilan perspektif—kemampuan untuk
"menempatkan diri Anda pada posisi orang lain". Pengambilan perspektif
menurut Psikologi sosial dibagi menjadi 3 (Batson, Early, & Salvarani, 1997) :

1. Seseorang dapat membayangkan bagaimana orang lain memandang


suatu peristiwa dan bagaimana perasaannya jika mengambil "bayangan orang
lain". Mereka yang menggunakan perspektif ini mengalami empati yang relatif
murni yang memotivasi perilaku altruistik
2. Seseorang dapat membayangkan bagaimana perasaannya jika berada
dalam situasi tersebut mengambil perspektif “membayangkan diri”. Mereka
yang mengambil perspektif ini juga mengalami empati, tetapi mereka cenderung
dimotivasi oleh kepentingan pribadi, yang dapat mengganggu perilaku
prososial.
3. Pengambilan perspektif yang ketiga melibatkan fantasi yaitu
merasakan empati terhadap karakter fiksi. Dalam hal ini, ada reaksi emosional
terhadap kegembiraan, kesedihan, dan ketakutan seseorang (atau binatang)
dalam buku, film, atau acara TV.

EMPATHY AND HELPING ACROSS GROUP


BOUNDARIES (EMPATI DAN MEMBANTU MELINTASI
BATAS KELOMPOK)

Perilaku pro sosial cenderung dilakukan ketika seseorang berada dalam lingkup
kelompok yang sama dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini dikarenakan
saat berada dalam lingkup yang sama, seseorang akan merasa lebih dekat
sehingga ketika meminta atau mendapatkan sebah bantuan tidak merasa segan.

HOW DOES EMPATHY DEVELOP? (BAGAIMANA


EMPATI BERKEMBANG)

Orang-orang sangat berbeda dalam cara mereka menanggapi tekanan


emosional orang lain. Ada pengalaman yang dapat meningkatkan atau justru
menghambat perkembangan empati seseorang, seperti orangtua. Orangtua
merupakan model utama seorang anak menumbuhkan rasa empatinya seperti
menunjukkan rasa peduli, kesedihan dan rasa sakit. Anak-anak belajar banyak
dengan mengamati apa yang orang tua mereka lakukan dan katakan dalam

17
kehidupan sehari-hari mereka (Bandura, 1986). Selain itu, mereka belajar dari
anak lain dan dari guru di sekolah (Ma, Shek, Cheung, & Tam, 2002).

2.3.5.2 Factors That Reduce Helping: Social Exclusion, Darkness,


and Putting an Economic Value on Our Time and Effort (Faktor-
Faktor Yang Mengurangi Bantuan: Pengucilan Sosial, Kegelapan,
dan Menempatkan Nilai Ekonomi pada Waktu dan Usaha)

Komunitas merupakan perilaku prososial yang dapat melibatkan keyakinan,


diantara calon-calon penolong. Komunitas disini juga disebut sebagai kumpulan
masyarakat dimana orang di dalamnya akan saling membantu,mendukung dan
juga kebaikan. Keyakinan disini dapat mendorong empati seseorang, empati
merupakan suatu rasa yang kuat untuk bergerak membantu. Lantas apa yang
akan terjadi bila seseorang dikucilkan (social exclusion?) yang pasti dirasakan
yaitu reaksi emosional sesorang yang dulunya sering berinteraksi dengan sesama
kini lebih mengurangi kedekatannya dengan lingkungan sekitar (rasa takut).
Dikucilkan secara sosial merupakan suatu pengalaman yang sangat amat
menyakitkan, dan mungkin bagi orang yang dikucilkan dia hanya memiliki
sumber daya emosional (Twenge,Baumeister, Dewell, Ciarocco, dan Bartels,
2007).

Bukti bahwa orang mengalami pengucilan sosial, mereka merasa hati hati
terhadap lingkungan sosialnya. Mereka ingin menjalin hubungan baik dengan
orang lain, tetapi karena baru saja ditolak, akhirnya mereka enggan membuka
diri terhadap risiko pengucilan yang lebih jauh. Akibatnya, mereka cenderung
tidak mengalami empati terhadap orang lain, dan cenderung menggunakan
tindakan prososial sebagai cara untuk mendapatkan teman baru dan dukungan
sosial. Hal ini menunjukkan bahwa eksklusi terkadang memiliki efek yang
bertahan lama, karena secara efektif mencegah orang yang mengalaminya untuk
membangun hubungan sosial baru yang sangat mereka inginkan. Maka dari itu
pengucilan sosial ini harus sangat-sangat dihindari karena akan merugikan orang
yang mengalaminya juga dapat membuat trauma kepada si korban, selain itu
juga mengakibatkan mereka enggan menolong orang lain karena mereka takut
akan penolakan (Twenge et al.2007).

18
DARKNESS: FEELINGS OF ANONYMITY REDUCE THE
TENDENCY TO HELP OTHERS (KEGELAPAN:
PERASAAN ANONIM MENGURANGI KECENDERUNGAN
MEMBANTU ORANG LAIN)

Salah satu alasan orang dalam fase kegelapan ini adalah karena mereka
merasa dirinya anonim (orang lain tidak dapat melihat keberadaan atau jati diri
mereka). Jika perilaku prososial terkadang terjadi karena dapat diamati oleh
orang lain dan memenangkan persetujuan mereka, maka kegelapan harus
mengurangi atau menghilangkan motif ini. Dengan kata lain, individu ini
cenderung tidak terbuka dan tidak mau membantu orang lain, di fase kegelapan
ini mereka hanya percaya bahwa mereka ada dalam kondisi anomitas.

Kegelapan ini juga merupakan suatu keadaan dalam penurunan kesadaran


yang dapat mendorong perilaku yang liar dan implusif. Karena pada dasarnya
keadaan dalam keadaan anonim ini mereka tidak akan melakukan hal yang sama
pada keadaan sadar atau pada umumnya (Postmes & Spears, 1998).

PUTTING AN ECONOMIC VALUE ON OUR TIME


REDUCES PROSOCIAL BEHAVIOR (MEMBERIKAN
NILAI EKONOMI PADA WAKTU KITA MENGURANGI
PERILAKU PROSOSIAL)

Ada banyak faktor yang dapat mempengaruhi kecenderungan untuk dapat


berpartisipasi kepada orang lain, salah satunya yaitu faktor emosional yang di
bantu oleh rasa empati, dan juga faktor kognitif (ketepatan kita dalam
memahami perasaan orang lain dan memahami kebutuhan mereka akan bantuan)
juga penting. Faktor kognitif tambahan mungkin sejauh mana kita berpikir untuk
membantu orang lain dalam hal biaya ekonomi bagi kita: Waktu yang digunakan
untuk membantu orang lain tidak dapat digunakan untuk kegiatan lain, termasuk
yang menghasilkan pendapatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa
sejauh kita melampirkan nilai ekonomi pada waktu kita, kemungkinan kecil kita
menyumbangkannya untuk membantu orang lain (misalnya, Leboeuf & Shafir,
dalam pers).

19
2.4 The Effects of Being Helped: Why Perceived Motives Really
Matter (Efek Dibantu: Mengapa Motif yang Dirasakan Sangat
Penting)
Ditolong oleh seseorang saat kita dalam keadaan susah itu luar biasah nikmatnya.
Tapi apa benar hal itu selalu sering terjadi? Apakah pihak yang di bantu selalu
berpikiran positif? Jawabannya ialah tidak. Ada pula orang yang menerima bantuan dari
orang lain itu menganggap bahwa dirinya seolah-olah di rendahkan oleh penolong.
Dalam kasus seperti itu, menerima bantuan menunjukkan perbedaan status di antara
mereka (misalnya, Penner, Dovidio, Piliavin, & Schroeder, 2005). Anggota kelompok
berstatus rendah (ArabIsrael) bereaksi negatif dalam beberapa hal (lebih banyak
perasaan negatif, evaluasi lebih rendah dari kelompok lain dan penolong terhadap
bantuan yang tidak diminta).

Selain itu pastinya juga ada respon yang positif, reaksi yang lebih positif untuk
membantu sering terjadi ketika orang yang menerima bantuan percaya bahwa bantuan
itu ditawarkan karena perasaan positif dari pihak penolong (Ames, Flynn, & Weber,
2004) atau berasal dari motivasi pribadi untuk membantu. Ada motivasi otonom
merupakan kondisi yang memaksa penolong untuk memberikan bantuan, selain itu ada
juga motivasi terkendali dimana motivasi ini akan terlihat buruk jika mereka tidak
melakukannya, dan nyatanya pada kondisi ini penolong atau yang ditolong reaksinya
kurang menyenangkan positif (Weinstein & Ryan, 2010).

Jadi, ketika kita membantu orang lain, usahakan untuk memastikan bahwa kita
melakukannya karena kita menginginkannya; sebaliknya, jika kita membantu karena
kita merasa itu diperlukan atau karena kita berkewajiban untuk membantu mereka,
kemungkinan baik kita maupun mereka tidak akan merasa senang dengan pengalaman
itu.

2.5 Final Thoughts: Are Prosocial Behavior and Aggression


Opposites? (Pikiran Akhir: Apakah Perilaku Prososial dan
Agresi Berlawanan?)
Agresi menurut psikologi sosial merupakan suatu upaya untuk melukai orang lain
dengan berbagai cara. Tetapi apakah membantu dan agresi benar-benar berlawanan?
Jika Anda menghentikan 100 orang secara acak, menunjukkan kepada mereka sebuah
garis, dan meminta mereka untuk menempatkan bantuan dan agresi di sepanjang garis

20
itu, hampir semua dari mereka sebenarnya akan menempatkan bentuk-bentuk perilaku
sosial ini pada sisi yang berlawanan.

Tetapi pada dasarnya pada psikologi sosial ini perilaku prososial dan agresi
sebenarnya itu tidak berlawanan. Kenyataannya, mereka saling melengkapi satu sama
lain tanpa kalian sadari. Pertama, pertimbangkan motif yang mendasari tindakan
tersebut. Motivasi buat membantu, kita mungkin berasumsi, hanyalah untuk melakukan
sesuatu yg berguna bagi penerima; motivasi buat serangan, sebaliknya, ialah melakukan
sesuatu buat menyakiti penerima menggunakan cara eksklusif. Lihat lebih dekat: seperti
yang telah kita bahas pada bab ini, orang kadang-kadang terlibat dalam tindakan
prososial bukan terutama untuk membantu penerima, melainkan buat menaikkan status
mereka sendiri, buat menimbulkan kewajiban, dan buat menerima reputasi positif.

Dalam tindakan prososial ini juga membantu penerimaan dalam berbagai cara,
sementara pada tindakan agresif dapat merugikan mereka, sehingga dapat menimbulkan
tindakan yang berbeda-beda. Nah disini juga di temukan ada dua persepsi bahwasannya
tidak semua tindakan agresif dan prososial saling melengkapi. contohnya : seseorang
perempuan muda mengambil jarum tajam serta menggunakannya buat menusuk kulit
orang lain, yg berteriak kesakitan. Apakah dia berperilaku agresif? Mungkin ya
mungkin tidak. Bagaimana Jika beliau menghasilkan tato di tubuh yg disebut sebagai
"korban" tato yg dia minta dan bayar pada muka? Jadi, meskipun tindakan ini mungkin
tampak proaktif, tindakan tersebut mungkin sebenarnya hanya sedikit atau tidak
terdapat hubungannya dengan melukai "korban".

Agresi menghasilkan kerugian dan tindakan prososial menghasilkan keuntungan,


tetapi sekali lagi, tidak selalu. contohnya, pertimbangkan seorang yang menggunakan
pisau yang sangat tajam buat memotong tubuh orang lain. Apakah ini serangan? pada
bagian atas mungkin tampak mirip itu. namun bagaimana Bila orang yang melakukan
tindakan ini merupakan seseorang pakar bedah yang terampil, yg berusaha
menyelamatkan nyawa orang lain? dampak jangka pendeknya mungkin tampak
berbahaya (“korban” mengeluarkan banyak darah), tetapi dampak jangka panjangnya
sebenarnya berguna: kesehatan pasien dipulihkan.

Jadi dapat di simpulkan bahwa perilaku agresi dan prososial biasanya digunakan
oleh individu hanya untuk mendapatkan popilaritas dan status. Orang-orang seperti itu
"andal" serta asertif, tetapi pula mempunyai keterampilan sosial yang memungkinkan
mereka menjadi menawan serta senang membantu; serta mereka tahu kapan wajib

21
"menghidupkan" serta mematikan sisi tangguh mereka. Hawley dan rekan-rekannya
(2007) mendeskripsikan hal ini menjadi “daya pikat teman yg kejam” (daya tarik orang
yg memang proaktif namun juga memiliki keterampilan lain yg membantu mereka
mencapai tujuan penting) (Hawley, Card, & Little, 2007).

BAB III

KESIMPULAN
Perilaku Prososial merupakan pengertian dari perilaku yang dapat menguntungkan
sang penerima, tetapi sayangnya tidak ada keuntungan yang begitu jelas bagi
penerimanya (staub, 1978; baron & Byrne, 1994). Tindakan prososial melibatkan
empati, empati adalah kemampuan untuk mengalami emosi orang lain sehingga (misalnya,
Eisenberg, 2000; Hodges, Kiel , Kramer, Veach, & Villaneuva, 2010 dalam Baron, &
Branscombe, 2014). Batson, Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) menawarkan
hipotesis empati-altruisme, yang menunjukkan bahwa setidaknya beberapa tindakan
prososial dimotivasi semata-mata oleh keinginan untuk membantu seseorang yang
membutuhkan (Batson & Oleson, 1991 dalam Baron, & Branscombe, 2014)

Beberapa perilaku prososial kadang mengalami kegagalan dalam menghadapi situasi


tertentu meskipun juga tak jarang banyak yang berhasil. hal ini bisa jadi dipengaruhi
oleh beberapa faktor munculnya inisiatif perilaku prososial dalam diri setiap individu
seperti faktor internal (emosi dan karakteristik individu) dan eksternal ( ketertarikan,
tanggung jawab, panutan secara langsung, game prososial dan empati). ketika kita
22
membantu orang lain, usahakan untuk memastikan bahwa kita melakukannya karena
kita menginginkannya; sebaliknya, jika kita membantu karena kita merasa itu
diperlukan atau karena kita berkewajiban untuk membantu mereka, kemungkinan baik
kita maupun mereka tidak akan merasa senang dengan pengalaman itu. Dan perilaku
agresi dan prososial biasanya digunakan oleh individu hanya untuk mendapatkan
popilaritas dan status.

DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A & Branscombe, Nyla R. (2014). Social Psychology: Thirteenth
Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited.

23

Anda mungkin juga menyukai