PERILAKU PROSOSIAL
Disusun oleh :
FAKULTAS PSIKOLOGI
Pertama-tama kami panjatkan puja dan puji atas rahmat dan ridho Allah SWT.
Karena, tanpa rahmat dan ridhonya, kita dapat menyelesaikan tugas makalah
Pengantar Psikologi Sosial dengan mengangkat judul “Perilaku Prososial” ini dengan
baik dan selesai tepat pada waktunya. Tidak lupa kami ucapkan terima kasih kepada
Dosen Pengampu Mata Kuliah Etika Profesi Bapak Angga Yuni Mantara, S.Psi.,
M.Si. yang membimbing kami dalam pengerjaan tugas paper (makalah) sebagai
tugas kelompok pada semester genap kali ini. Kami juga mengucapkan banyak
terimakasih kepada teman-teman yang selalu membantu dalam mengumpulkan
berbagai macam materi dalam pembuatan makalah ini. Dalam makalah ini kami
menjelaskan tentang pengantar psikologi sosial yang membahas mengenai perilaku
prososial. Mungkin ada kalanya kami membuat kesalahan dalam pembuatan tugas
ini, kami mohon maaf dikarenakan pengalaman dan informasi yang kami dapat
kiranya ada kurang maupun lebihnya. Maka dari itu, kami mohon atas saran dan kritik
dari teman-teman maupun dosen. Demi tercapainya makalah yang sempurna.
2
DAFTAR ISI
3
BAB I
PENDAHULUAN
Disini William (1981) juga membatasi perilaku prososial secara lebih spesifik karena
perilaku prososial disini juga memiliki intensi untuk dapat merubah keadaan fisik atau
psikologis sang penerima bantuan yang kurang baik menjadi lebih baik, yang artinya secara
material atau psikologisnya. Dalam hal ini dapat dikatakan juga bahwa tujuan perilaku
prososial untuk dapat membantu well being seseorang.
1.3 Tujuan
1. mengetahui motivasi seseorang melakukan tindakan prososial
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Empati-Altruisme
1. Aspek emosional
2. Komponen kognitif
Yang melibatkan persepsi pikiran dan perasaan orang lain secara akurat
3. Kepedulian empatik
Ketiga komponen ini memberikan aspek prososial dan efek yang berbeda.
Misalnya kepedulian akurasi empatik menjadi sebuah aspek penting dalam
penyesuaian sosial (Baron, & Branscombe, 2014).
Motif lain mengapa orang lain ingin membantu orang lain agar mereka merasa
lebih baik dang mengurangi emosi negatif dalam dirinya. Perilaku prososial ini
disebut negative-state relief model (Cialdini, Baumann, & Kenrick, 1981
dalam Baron, & Branscombe, 2014).
Perasaan bahagia yang didapatkan saat melihat reaksi atau ekspresi bahagia
dari orang yang kita bantu. Misalnya, apakah Anda ingat betapa senangnya
melihat seseorang yang Anda sayangi tersenyum dan menunjukkan
kegembiraan saat Anda memberi mereka hadiah? Itu adalah contoh Empathic
Joy (Baron, & Branscombe, 2014).
Dari ketiga teori yang dijelaskan bahwa perasaan manusia berperan sangat
penting pada tindakan prososial. Lalu ketiga teori ini dibawa ke perspektif lain
6
dari tindakan prososisal yaitu- Competitive Altruism (Baron, & Branscombe,
2014).
Dari sudut pandang evolusi, tujuan akhir semua organisme - termasuk manusia
- adalah mewariskan gen kita ke generasi berikutnya. Prediksi umum ini telah
didukung oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa kita umumnya
lebih cenderung membantu mereka yang memiliki hubungan dekat dengan kita
daripada mereka yang tidak berhubungan dengan kita (misalnya, Neyer & Lang,
2003 dalam Baron, & Branscombe, 2014).
Namun, ada satu masalah mendasar yang mungkin sudah Anda perhatikan: kami
tidak hanya membantu kerabat biologis; sebaliknya, seringkali kita memang
membantu orang yang tidak berhubungan dengan kita. Mengapa kita
melakukannya? Jika dikaji menggunakan teori Kin Selection Theory hal tersebut
tidak berguna karena tidak akan membantu kita mewariskan gen kita ke generasi
mendatang. Tetapi masalah ini di jawab oleh reciprocal altruism theory yang
7
menunjukkan bahwa kita mungkin bersedia membantu orang yang tidak terkait
dengan kita karena membantu biasanya bersifat timbal balik: Jika kita membantu
mereka, mereka membantu kita, jadi pada akhirnya kita mendapat manfaat, dan
peluang kita untuk bertahan hidup kemudian dapat ditingkatkan secara tidak
langsung (misalnya, Korsgaard, Meglino, Lester, & Jeong, 2010 dalam Baron,
& Branscombe, 2014).
Bantuan defensi adalah bantuan yang diberikan kepada outgrup yang telah
mencapai keberhasilannya untuk mengurangi ancaman terhadap status atau
kekhasan ingrup sendiri. Bantuin ini bertujuan untuk menunjukkan siapa yang
paling hebat bukan atas dasar empaty dan keinginan murni untuk membantu,
melainkan untuk menjatuhkan outgrup dengan cara yang halus dan mengurangi
ancaman terhadap status ingrup. Terkadang mereka menganggap kelompoknya
sendiri berbeda dari kelompok lain bahkan menganggap lebih unggul dan
positif. dengan adanya keberhasilan dari outgrup maka hal tersebut akan
mengancam superioritas kelompok ingrup, sehingga untuk menggurangi
ancaman tersebut menggunakan bantuan atau helping. Dengan menawarkan
bantuan maka outgrup akan bergantung pada kita sehingga dengan
ketergantungan bantuan tersebut akan meningkatkan status kita sebagai ingrup
yang superior.
Bukti kasus yang telah dilaporkan Nedler, Harpaz-Gorodeisky, dan Ben- David
(2009) terdapat 3 sekolah yang memiliki nilai yang berbeda. Mereka memberi
tahu satu sekolah atau sebutannya sekolah (a) bahwa terdapat sekolah lain atau
sekolah (b) yang nilainya lebih tinggi dari pada sekolah (a) dalam tes
kemampuan kognitif (ini menimbulkan ancaman tinggi terhadap keunggulan
kelompok sekolah a), sementara sekolah ketiga atau disebut sekolah (c)
mendapatkan nilai yang sama dengan sekolah (a). Dan Ketika diberi kesempatan
untuk membantu siswa didua sekolah ini, maka mereka menjawab lebih banyak
untuk membantu di sekolah (b) dengan ancaman yang lebih tinggi alasannya
karena untuk mengurangi ancaman status institusinya.
Dalam kasus yang telah ditemukan diatas dapat disimpulkan bahwa dalam
membantu orang lain itu berasal dari berbagai motif salah satunya motif
8
ancaman. Tindakan prososial itu kompleks tidak hanya bentuk yang mereka
ambil dan factor yang mempengaruhinya.
Sebagai contoh kita terjatuh Ketika melintas dijalan yang tertutup es, kemudian
kita kehilangan pijakan dan saat kita ingin melangkah ternyata lutut kita terasa
sakit akhirnya kita tidak bisa berdiri sendiri dan membutuhkan bantuan orang
lain. Dalam hal ini ada dua kategori yang diberikan
1. jalanan sepi dan hanya satu orang yang melihat apa yang terjadi kepada anda
2. jalanan rame dan banyak orang yang melihat keadaan anda Ketika terjatuh
Dalam situasi pertama mungkin kita hanya berharap dan bergantung kepada satu
orang itu saja untuk bisa membantu kita. Disituasi kedua mungkin kita akan
lebih mudah untuk mendapatkan bantuan karena banyak orang yang akan
termotivasi untuk berperilaku prososial. Jadi timbulah pertanyaan apakah
jumlah pengamat akan mempengaruhi banyakknya korban dalam menerima
bantuan? Jika menurut pemikiran akal sehat, seseorang dalam keadaan darurat
makan semakin banyak pengamat yang ada pada situasi tertentu dan akan
semakin mudah anda untuk mendapatkan pertolongan.
John Darley dan Bibb Latane telah bekerja keras tentang masalah pembunuhan
yang terjadi di New York City. Didalam kasus ini terdapat kejahatan yang
diterima oleh Kitty Genovase yang diserang oleh pria dilokasi dimana terdapat
banyak orang yang bisa melihat kejadian tersebut. Penyerang dalam kasus ini
9
terus menyerang korban selama beberapa menit, bahkan pergi dan Kembali
untuk menyerang lagi. Namun dengan banyaknya pengamat pada lokasi tersebut
tidak satupun yang bertindak untuk melaporkan kepada pihak kepolisian.
Sehingga John Darley mengajukan pertanyaan kenapa dalam kasus kitty ini
tidak ada orang yang membantu korban tersebut padahal menurut akal sehat,
semakin banyak pengamat maka semakin mudah untuk mendapatkan
pertolongan.
Berikut ringkasan keputusan yang terlibat, dan factor faktor yang berperan
dimasing masing keputusan menurut Latane dan Darley, 1970)
1. Menyadari, atau gagal menyadari, bahwa sesuatu yang tidak biasa sedang
10
Kesimpulannya, memutuskan untuk membantu dalam situasi darurat bukanlah
keputusan satu kali yang sederhana, namun melibatkan banyak keputusan dan
hanya jika semua keputusan bersifat positif barulah bantuan yang sebenarnya
terjadi.
Cara kita melihat situasi atas masalah seseorang akan memunculkan dua
macam pilihan antara memberikan bantuan atau justru memikirkan ulang sikap
bantuan kita terhadap orang lain. Misalnya ketika melihat seseorang yang
terbaring di trotoar dengan pakaian ternoda dan memegang sebotol minuman
keras sedangkan di sisi trotoar lain kita melihat seseorang dengan pakaian rapi
dan memiliki luka parah di dahinya, dorongan yang kita rasakan untuk
menumbuhkan rasa ingin membantu pasti cenderung pada seseorang yang
memiliki luka parah di dahinya dengan berpakaian rapi. Hal ini dikarenakan
ketika rasa ingin membantu itu tumbuh, seseorang akan bertindak jika melihat
situasi dimana individu itu menjadi korban. Pada kasus diatas, seseorang melihat
orang dengan pakaian rapi memiliki luka di dahinya tidak memilih untuk
diserang sedangkan melihat orang yang pingsan di trotoar dengan memegang
minuman keras akan menimbulkan persepsi seorang pemabuk yang putus asa
dipinggir jalan. Situasi tertentu menentukan tindakan seseorang dalam
membantu orang lain.
Perilaku prososial ada sejak bawaan dan ada juga yang dipengaruhi oleh
tindakan orang lain, terutama ketika dalam posisi tidak yakin tentang cara yang
baik dan tepat untuk bertindak sendiri. Paparan tindakan orang lain tidak hanya
berasal dari pengamatan di lingkungan sekitar tetapi bisa juga melalui video
games. Mungkin beberapa dari video game dianggap bersifat agresif karena
melibatkan berbagai tindakan kekerasan dan adegan yang seharusnya tidak
dipertontonkan, tapi di sisi lain video game juga memberikan pandangan
mengenai tindakan prososial seperti antar karakter yang saling membantu dan
mendukung. Bermain video game prososial mungkin menjadi pemikiran dan
skema prososial utama kerangka kerja kognitif yang terkait dengan membantu
orang lain. Pemaparan berulang terhadap permainan semacam itu, dari waktu ke
waktu, dapat menghasilkan sikap yang mendukung tindakan prososial, emosi
yang konsisten (misalnya, perasaan positif terkait dengan membantu orang lain),
dan perubahan abadi lainnya dalam cara individu berpikir.
13
pada dasarnya sifat dari permainan itu sendiri yang nantinya akan berhubungan
langsung dengan sisi sosial kehidupan
Setiap orang ketika melakukan hal yang sifatnya menolong pasti ingin
dihargai. Ucapan penghargaan terhadap sebuah bantuan biasanya berupa “terima
kasih” meski tanpa imbalan lebih. Menurut beberapa orang diberi ucapan terima
kasih merupakan sebuah timbal balik yang membuat dirinya senang. Hal ini
akan meningkatkan bentuk perilaku prososial berikutnya. Ketika seseorang
memberikan sebuah bantuan pada orang lain lalu orang tersebut tidak
mengucapkan sepatah katapun meski hanya sekedar berterima kasih, akan
membuat sebagian besar orang tidak merasa dihargai keberadaannya.
Menurut Grant dan Gino (2010), ada dua kemungkinan mengapa ungkapan
terimakasih dapat meningkatkan perilaku prososial berikutnya. Pertama, ucapan
terima kasih dapat menambah rasa self-efficacy yang mana bantuan yang
mereka berikan mampu, kompeten, dan telah bertindak efektif (dan dengan cara
yang baik). Kedua, hal itu dapat menambah perasaan harga diri penolong,
keyakinan mereka bahwa mereka dihargai oleh orang lain. Bayangkan ketika
memberikan pertolongan pada orang lain tetapi tidak mendapat timbal balik
sama sekali otomatis akan menjadi malas berurusan dan membantunya kembali
ketika susah. Secara keseluruhan, tampaknya rasa syukur meningkatkan bantuan
dengan cara yang sangat mudah dengan membuat orang yang diberi ucapan
terima kasih atas bantuan mereka merasa bahwa mereka memang dihargai oleh
orang lain, terutama oleh orang yang mendapat manfaat dari tindakan prososial
mereka. Jadi, mengucapkan terima kasih bukan hanya hal yang sopan dan benar
untuk dilakukan jika Anda menerima bantuan dari orang lain.
14
2.3.5 Emosions and Prososial Behavior (Mood dan Perilaku
Prososial)
Ketika akan meminta bantuan orang lain pasti seseorang akan melihat
terlebih dahulu gimana kondisi hati seseorang yang akan di mintai tolong
olehnya, karena biasanya seseorang yang berada dalam emosi positif dan negatif
memiliki perbedaan sikap dalam memberikan bantuan.
Secara umum, penelitian ini menunjukkan bahwa orang lebih bersedia untuk
membantu orang asing ketika suasana hati mereka meningkat oleh beberapa
pengalaman baru-misalnya, mendengarkan seorang komedian (Wilson, 1981),
karena dengan suasana hati yang baik akan menciptakan perilaku yang berjalan
tanpa beban sehingga ketika membantuu orang lain tidak merasa terbebani.
Namun disisi lagi suasana hati yang positif juga bisa menurunkan kemungkinan
merespon secara prososial, karena ketika seseorang berada dalam fase hati yang
sangat baik, ia akan cenderung fokus pada kebahagiaannya sehingga ketika
berada di situasi serius yang membutuhkan bantuan, seringkali menafsirkannya
sebagai sesuatu yang tidak serius
Berada dalam suasana hati yang buruk bukan berarti tidak dapat menumbuhkan
perilaku prososial. Hal ini dikarenakan ada beberapa orang yang ketika berada
dalam suasana hati yang buruk ketika melakukan bantuan kepada orang lain
justru akan memperbaiki suasana hatinya. Dengan membantu orang lain ia
15
merasa dibutuhkan dan membuat dirinya merasa lebih baik. Hanya saja hal ini
masih berlaku pada suasana hati yang tidak terlalu kuat sehingga mudah untuk
mengambil pengalihan dengan membantu orang lain.
Saat melihat orang lain terlibat dalam tindakan yang baik atau membantu, ini
akan berdampak kuat pada emosi sesorang. Secara khusus, itu dapat memicu
perasaan positif sehingga membuat kita merasa terinspirasi, terangkat, dan
optimis tentang sifat manusia. Ketika orang lain melakukan kebaikan, keinginan
dalam diri tiba tiba menjadi kuat hanya karena melihat sesuatu yang menurutnya
pantas untuk ditiru. Kondisi seberapa tinggi rasa ingin membantu orang lain
dalam diri sebagian besar dipengaruhi dengan menyaksikan tindakan orang lain
Perilaku pro sosial cenderung dilakukan ketika seseorang berada dalam lingkup
kelompok yang sama dibandingkan dengan kelompok lain. Hal ini dikarenakan
saat berada dalam lingkup yang sama, seseorang akan merasa lebih dekat
sehingga ketika meminta atau mendapatkan sebah bantuan tidak merasa segan.
17
kehidupan sehari-hari mereka (Bandura, 1986). Selain itu, mereka belajar dari
anak lain dan dari guru di sekolah (Ma, Shek, Cheung, & Tam, 2002).
Bukti bahwa orang mengalami pengucilan sosial, mereka merasa hati hati
terhadap lingkungan sosialnya. Mereka ingin menjalin hubungan baik dengan
orang lain, tetapi karena baru saja ditolak, akhirnya mereka enggan membuka
diri terhadap risiko pengucilan yang lebih jauh. Akibatnya, mereka cenderung
tidak mengalami empati terhadap orang lain, dan cenderung menggunakan
tindakan prososial sebagai cara untuk mendapatkan teman baru dan dukungan
sosial. Hal ini menunjukkan bahwa eksklusi terkadang memiliki efek yang
bertahan lama, karena secara efektif mencegah orang yang mengalaminya untuk
membangun hubungan sosial baru yang sangat mereka inginkan. Maka dari itu
pengucilan sosial ini harus sangat-sangat dihindari karena akan merugikan orang
yang mengalaminya juga dapat membuat trauma kepada si korban, selain itu
juga mengakibatkan mereka enggan menolong orang lain karena mereka takut
akan penolakan (Twenge et al.2007).
18
DARKNESS: FEELINGS OF ANONYMITY REDUCE THE
TENDENCY TO HELP OTHERS (KEGELAPAN:
PERASAAN ANONIM MENGURANGI KECENDERUNGAN
MEMBANTU ORANG LAIN)
Salah satu alasan orang dalam fase kegelapan ini adalah karena mereka
merasa dirinya anonim (orang lain tidak dapat melihat keberadaan atau jati diri
mereka). Jika perilaku prososial terkadang terjadi karena dapat diamati oleh
orang lain dan memenangkan persetujuan mereka, maka kegelapan harus
mengurangi atau menghilangkan motif ini. Dengan kata lain, individu ini
cenderung tidak terbuka dan tidak mau membantu orang lain, di fase kegelapan
ini mereka hanya percaya bahwa mereka ada dalam kondisi anomitas.
19
2.4 The Effects of Being Helped: Why Perceived Motives Really
Matter (Efek Dibantu: Mengapa Motif yang Dirasakan Sangat
Penting)
Ditolong oleh seseorang saat kita dalam keadaan susah itu luar biasah nikmatnya.
Tapi apa benar hal itu selalu sering terjadi? Apakah pihak yang di bantu selalu
berpikiran positif? Jawabannya ialah tidak. Ada pula orang yang menerima bantuan dari
orang lain itu menganggap bahwa dirinya seolah-olah di rendahkan oleh penolong.
Dalam kasus seperti itu, menerima bantuan menunjukkan perbedaan status di antara
mereka (misalnya, Penner, Dovidio, Piliavin, & Schroeder, 2005). Anggota kelompok
berstatus rendah (ArabIsrael) bereaksi negatif dalam beberapa hal (lebih banyak
perasaan negatif, evaluasi lebih rendah dari kelompok lain dan penolong terhadap
bantuan yang tidak diminta).
Selain itu pastinya juga ada respon yang positif, reaksi yang lebih positif untuk
membantu sering terjadi ketika orang yang menerima bantuan percaya bahwa bantuan
itu ditawarkan karena perasaan positif dari pihak penolong (Ames, Flynn, & Weber,
2004) atau berasal dari motivasi pribadi untuk membantu. Ada motivasi otonom
merupakan kondisi yang memaksa penolong untuk memberikan bantuan, selain itu ada
juga motivasi terkendali dimana motivasi ini akan terlihat buruk jika mereka tidak
melakukannya, dan nyatanya pada kondisi ini penolong atau yang ditolong reaksinya
kurang menyenangkan positif (Weinstein & Ryan, 2010).
Jadi, ketika kita membantu orang lain, usahakan untuk memastikan bahwa kita
melakukannya karena kita menginginkannya; sebaliknya, jika kita membantu karena
kita merasa itu diperlukan atau karena kita berkewajiban untuk membantu mereka,
kemungkinan baik kita maupun mereka tidak akan merasa senang dengan pengalaman
itu.
20
itu, hampir semua dari mereka sebenarnya akan menempatkan bentuk-bentuk perilaku
sosial ini pada sisi yang berlawanan.
Tetapi pada dasarnya pada psikologi sosial ini perilaku prososial dan agresi
sebenarnya itu tidak berlawanan. Kenyataannya, mereka saling melengkapi satu sama
lain tanpa kalian sadari. Pertama, pertimbangkan motif yang mendasari tindakan
tersebut. Motivasi buat membantu, kita mungkin berasumsi, hanyalah untuk melakukan
sesuatu yg berguna bagi penerima; motivasi buat serangan, sebaliknya, ialah melakukan
sesuatu buat menyakiti penerima menggunakan cara eksklusif. Lihat lebih dekat: seperti
yang telah kita bahas pada bab ini, orang kadang-kadang terlibat dalam tindakan
prososial bukan terutama untuk membantu penerima, melainkan buat menaikkan status
mereka sendiri, buat menimbulkan kewajiban, dan buat menerima reputasi positif.
Dalam tindakan prososial ini juga membantu penerimaan dalam berbagai cara,
sementara pada tindakan agresif dapat merugikan mereka, sehingga dapat menimbulkan
tindakan yang berbeda-beda. Nah disini juga di temukan ada dua persepsi bahwasannya
tidak semua tindakan agresif dan prososial saling melengkapi. contohnya : seseorang
perempuan muda mengambil jarum tajam serta menggunakannya buat menusuk kulit
orang lain, yg berteriak kesakitan. Apakah dia berperilaku agresif? Mungkin ya
mungkin tidak. Bagaimana Jika beliau menghasilkan tato di tubuh yg disebut sebagai
"korban" tato yg dia minta dan bayar pada muka? Jadi, meskipun tindakan ini mungkin
tampak proaktif, tindakan tersebut mungkin sebenarnya hanya sedikit atau tidak
terdapat hubungannya dengan melukai "korban".
Jadi dapat di simpulkan bahwa perilaku agresi dan prososial biasanya digunakan
oleh individu hanya untuk mendapatkan popilaritas dan status. Orang-orang seperti itu
"andal" serta asertif, tetapi pula mempunyai keterampilan sosial yang memungkinkan
mereka menjadi menawan serta senang membantu; serta mereka tahu kapan wajib
21
"menghidupkan" serta mematikan sisi tangguh mereka. Hawley dan rekan-rekannya
(2007) mendeskripsikan hal ini menjadi “daya pikat teman yg kejam” (daya tarik orang
yg memang proaktif namun juga memiliki keterampilan lain yg membantu mereka
mencapai tujuan penting) (Hawley, Card, & Little, 2007).
BAB III
KESIMPULAN
Perilaku Prososial merupakan pengertian dari perilaku yang dapat menguntungkan
sang penerima, tetapi sayangnya tidak ada keuntungan yang begitu jelas bagi
penerimanya (staub, 1978; baron & Byrne, 1994). Tindakan prososial melibatkan
empati, empati adalah kemampuan untuk mengalami emosi orang lain sehingga (misalnya,
Eisenberg, 2000; Hodges, Kiel , Kramer, Veach, & Villaneuva, 2010 dalam Baron, &
Branscombe, 2014). Batson, Duncan, Ackerman, Buckley, dan Birch (1981) menawarkan
hipotesis empati-altruisme, yang menunjukkan bahwa setidaknya beberapa tindakan
prososial dimotivasi semata-mata oleh keinginan untuk membantu seseorang yang
membutuhkan (Batson & Oleson, 1991 dalam Baron, & Branscombe, 2014)
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Robert A & Branscombe, Nyla R. (2014). Social Psychology: Thirteenth
Edition. Edinburgh: Pearson Education Limited.
23