Inisiasi menyusu dini (IMD) adalah tercapainya pemberian ASI kepada bayi dalam satu jam pertama dan memastikan bahwa bayi mendapatkan kolostrum yang dapat melindungi bayi dari penyakit (Mugadza et al 2019). Menunda melakukan inisiasi menyusui dini 23 jam usai bayi lahir, dapat menambah angka kematian pada pertama bulan kelahirannya sebesar 40% (UNICEF, 2016). Ketidakberhasilan dalam jam menyusui disebabkan karena beberapa problem baik dari bayi maupun ibu, masalah dari ibu dapat dijumpai sebelum persalinan, keadaan melahirkan dini, dan melahirkan berikutnya (Maryunani, 2015). Angka kematian bayi (AKB) merupakan faktor utama bagi kesehatan anak, angka kematian bayi juga merupakan ukuran dari kondisi kesehatan bagi masyarakat. Masih banyak meninggalnya bayi adalah problem yang sering kita jumpai pada bayi baru lahir/neonatal (Kemenkes, 2017). Berdasarkan data dari Profil Kesehatan Tahun 2019 dari 277.925 bayi baru lahir, dilaporkan hanya 168.826 bayi yang mendapatkan IMD (60,75%) ada peningkatan jumlah cakupan bayi yang mendapat IMD dibandingkan pada Tahun 2018 dari 294.275 bayi baru lahir, dilaporkan hanya 160.680 bayi yang mendapatkan IMD (54,6%). Berdasarkan data dari profil Kesehatan 2019 Kabupaten/Kota yang tertinggi bayi baru lahir yang mendapatkan IMD adalah Tapanuli Selatan (100%), Kabupaten/Kota terendah adalah Medan (22,19%). Sedangkan kabupaten Samosir (68,03%). 2. Kurangnya Kepatuhan Cuci Tangan Pakai Sabun di Masyarakat Cuci Tangan Pakai Sabun merupakan hal yang amat penting, tidak hanya untuk menghindarkan diri dari virus COVID-19 yang hingga hari ini masih menjadi masalah dan untuk mengurangi risiko wabah. Mencuci tangan dengan sabun masih jarang dilakukan. Peneliti memperkirakan bahwa hanya 19% dari penduduk dunia yang mencuci tangan dengan sabun dan air setelah kontak dengan tinja (Freeman et al., 2014). Potensi mencuci tangan yang sangat besar untuk mencegah penyakit, terutama dinegara berkembang, dikombinasikan dengan tingkat cuci tangan yang rendah, menuntut promosi cuci tangan yang efektif dalam skala besar. 3. Kurangnya Kepatuhan masyarakat memakai masker ketika berobat ke puskesmas Masker dapat digunakan baik untuk melindungi orang yang sehat (dipakai untuk melindungi diri sendiri saat berkontak dengan orang yang sakit) atau untuk mengendalikan sumber (di pakai oleh orang yang terinfeksi untuk mencegah penularan lebih lanjut). Kesadaran penggunaan masker bagi pasien dan pengunjung rawat jalan Puskesmas masih kurang hal ini dibuktikan dengan ada beberapa pasien dan pangunjung yang datang berobat tidak menggunakan masker ada yang menggunakan masker hanya karena takut tidak akan dilayani oleh dokter dan setelah dilayani maskernya di lepas. Hal itu disebabkan oleh kurangnya pemahaman pasien dan pengunjung tentang pentingnya memakai masker. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran pasien dan pengunjung untuk menggunakan masker 4. Tingginya kasus BBLR ( berat badan lahir rendah) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) diartikan sebagai bayi yang lahir dengan berat badan kurang dari 2500 gram. BBLR merupakan prediktor tertinggi angka kematian bayi, terutama dalam satu bulan pertama kehidupan (Kemenkes RI,2015). Bayi BBLR mempunyai risiko kematian 20 kali lipat lebih besar di bandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Lebih dari 20 juta bayi di seluruh dunia lahir dengan BBLR dan 95.6% bayi BBLR lahir di negara yang sedang berkembang, contohnya di Indonesia. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia tahun 2014-2015, angka prevalensi BBLR di Indonesia masih tergolong tinggi yaitu 9% dengan sebaran yang cukup bervariasi pada masing-masing provinsi.Angka terendah tercatat di Bali (5,8%) dan tertinggi di Papua (27%),sedangkan di Provinsi Sumatera Utara berkisar 7,2% (Kemenkes RI,2015). BBLR disebabkan oleh usia kehamilan yang pendek (prematuritas),dan IUGR (Intra Uterine Growth Restriction) yang dalam bahasa Indonesia disebut Pertumbuhan Janin Terhambat (PJT) atau keduanya. Kedua penyebab ini dipengaruhi oleh faktor risiko, seperti faktor ibu, plasenta,janin dan lingkungan. Faktor risiko tersebut menyebabkan kurangnya pemenuhan nutrisi pada janin selama masa kehamilan. Bayi dengan berat badan lahir rendah umumnya mengalami proses hidup jangka panjang yang kurang baik. Apabila tidak meninggal pada awal kelahiran, bayi BBLR memiliki risiko tumbuh dan berkembang lebih lambat dibandingkan dengan bayi yang lahir dengan berat badan normal. Selain gangguan tumbuh kembang, individu dengan riwayat BBLR mempunyai faktor risiko tinggi untuk terjadinya hipertensi, penyakit jantung dan diabetes setelah mencapai usia 40 tahun (Juaria dan Henry, 2014) . 5. Rendahnya minat WUS menggunakan alat kontrasepsi jangka Panjang Penggunaan MKJP (Metode Kontrasepsi Jangka Panjang) masih sangat rendah dikarenakan pengetahuan masyarakat yang masih rendah tentang kelebihan metode MKJP dan keterbatasan jumlah tenaga terlatih serta sarana yang ada. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan disebutkan bahwa pemerintah wajib menjamin ketersediaan sarana informasi dan sarana pelayanan kesehatan reproduksi yang aman, bermutu dan terjangkau masyarakat, termasuk keluarga berencana. Pelayanan kesehatan dalam keluarga berencana dimaksudkan untuk pengaturan kehamilan bagi pasangan usia subur untuk membentuk generasi penerus yang sehat dan cerdas (Dinkes Sumut,2019) Berdasarkan data BKKBN Provinsi Sumatera Utara, dari 2.259.714 PUS tahun 2019, sebanyak 1.572.121 (69,57%) diantaranya merupakan peserta KB aktif. KB suntik menjadi jenis kontrasepsi terbanyak digunakan yaitu sebesar 31,72%, diikuti Pil sebesar 27,36%, Implan sebesar 16,16%, Alat Kontrasepsi Dalam Rahim (AKDR) sebesar 8,99%, Kondom sebesar 7,87%. Jenis kontrasepsi yang paling sedikit digunakan adalah Metode Operasi Pria (MOP), yaitu sebesar 0,79%.