Anda di halaman 1dari 19

RANGKUMAN MATERI PENDIDIKAN

BAHASA INDONESIA MODUL 1-2


RANGKUMAN PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA SD MODUL 1-2

MODUL 1 : HAKIKAT BAHASA DAN PEMBELAJARAN BAHASA

A.      Hakikat Bahasa
1.      Pengertian Bahasa

Menurut beberapa sumber dari para ahli, bahasa adalah:

a.       Bahasa adalah sebuah simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi
manusia (Wardhaugh, 1972).
b.      Bahasa adalah sebuah alat untuk mengomunikasikan gagasan atau perasaan
secara sistematis melalui penggunaan tanda, suara, gerak atau tanda-tanda yang
disepakati yang memiliki makna yang dipahami (Webster’s New Collegiate
Dictionary, 1981).
c.       Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para
anggota sosial untuk berkomunikasi, bekerja sama dan mengidentifikasi diri
(Kentjono, Ed., 1984:2).
d.      Bahasa adalah salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama
membentuk budaya manusia (Hilliday dan Hasan, 1991).

Dari pandangan para ahli diatas ada yang menyatakan bahasa melalui penekanan
sistem, ala,t dan juga pada komunikasi.

2.      Karakteristik Bahasa

Pada dasarnya konsep bahasa memiliki karakteristik sebagai berikut:

a.       Bahasa adalah sebuah sistem

Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri dari sejumlah unsur yang saling
terkait dan tertata secara beraturan, serta memiliki makna. Unsur-unsur bahasa
diatur, seperti pola yang berulang. Kalau salah satu bagian terdeteksi maka
keseluruhan bagiannya dapat diramalkan.

Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu dapat
diuraikan atas satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat
diramalkan. Seandainya bahasa itu tidak sistematik maka bahasa itu akan kacau, tidak bermakna,
dan tidak dapat dipelajari. Sistemis artinya bahasa terdiri dari sejumlah subsistem, yang satu sama
lain saling terkait dan membentuk satu kesatuan utuh yang bermakna. Bahasa terdiri dari tiga
subsistem, yaitu subsistem fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika (morfologi, sintaksis,
dan wacana), serta subsistem leksikon (perbendaharaan kata). Ketiga subsistem itu menghasilkan
dunia bunyi dan dunia makna, yang membentuk sistem bahasa.  
b.      Bahasa merupakan sistem lambang yang arbiter (mana suka) dan konvensional

Bahasa merupakan sistem simbol, baik berupa bunyi dan/atau tulisan yang
dipergunakan dan disepakati oleh suatu kelompok sosial. Sebagai sebuah simbol,
bahasa memiliki arti. Pertama, penamaan suatu objek atau peristiwa yang sama
antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya tidak
sama. Kedua, bahasa terdiri dari aturan-aturan atau kaidah yang
disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan langsung dan wajib antara lambang
bahasa dengan objeknya. Hubungan keduanya bersifat mana suka (arbiter).

Memang ada beberapa kata yang bersifat onomatopoe, artinya penamaan


suatu objek atau peristiwa berdasarkan ciri bunyi atau ciri lain yang dimilikinya,
seperti cecak, tokek, tekukur, gemerincing atau kokok. Namun demikian, kata
yang bersifat onomatope itu tidak banyak jumlahnya. Jadi, penamaan sesuatu itu
(benda, sifat atau peristiwa) semata-mata hanya karena kesepakatan sosial
masyarakat penggunanya. Karena itulah bahasa bersifat konvensional atau
kesepakatan.

c.       Bahasa bersifat produktif

Dari huruf-huruf per kata dan selanjutnya dapat dihasilkan satuan bahasa
dalam jumlah yang tak terbatas, ribuan kata, kalimat atau wacana bacaan dengan
segala variasinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya. Oleh
karena itu, bahasa itu bersifat produktif.

d.      Bahasa memiliki fungsi dan variasi

Fungsi bahasa adalah sebagai alat kominikasi, sedangkan penggunaan


bahasa oleh suatu kelompok disebut variasi atau ragam bahasa.

3.      Fungsi Bahasa

Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) secara khusus


mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa sebagai berikut:

a.       Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat,


pikiran, sikap atau perasaan pemakainya.
b.      Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau
pikiran/pendapat orang lain, seperti bujukan, rayuan, permohonan atau perintah.
c.       Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan
menjaga hubungan sosial, seperti sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan.
d.      Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi,
ilmu pengetahuan atau budaya.
e.       Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh
informasi, seperti pertanyaan atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal.
f.       Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan
rasa estetis (indah), seperti nyanyian dan karya sastra.
g.      Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan
atau kebutuhan pemakainya, seperti saya ingin ….

4.      Ragam Bahasa

Berdasarkan pemakai dan pemakaiannya:

a.       Berdasarkan pemakainya ragam bahasa dapat dilihat dari segi asal daerah
penutur yang melahirkan dialeg geografis, kelompok sosial yang melahirkan
dialeg atau ragam sosial dengan segala variasinya serta sikap bahasa yang
melahirkan ragam resmi dan tak resmi atau keseharian.
b.      Berdasarkan bertolak dari pemakaiannya, bidang perbincangan, yang melahirkan
ragam ilmiah, ragam sastra, ragam jurnalistik dan ragam-ragam lainnya. Media
berbahasa, yang memunculkan ragam lisan dan tulis, serta situasi bahasa, yang
memunculkan ragam baku dan tak baku.

B.       Hakikat Pembelajaran Bahasa


1.      Konsep Belajar

Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara tetap melalui pengalaman
dan bahasa yang dilakukan secara aktif. Hasil belajar atau perubahan tingkah laku
itu berkaitan dengan pengetahuan, sikap atau keterampilan yang dibangun siswa
berdasarkan apa yang telah dipahami atau dikuasi sebelumnya. Tugas guru dalam
pembelajaran adalah menciptakan kegiatann dan lingkungan belajar yang dapat
merangsang dan mendorong siswa secara aktif. Sesibuk apapun guru kalau siswa
tidak mengalami proses belajar maka pembelajaran sebenarnya tidak pernah terjadi.
Dalam prespektif ini, siswa adalah subjek belajar, sedangkan guru lebih berperan
sebagai fasilotator, motivator, desainer dan organisator.
Siswa belajar menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman, pengamatan
dan bahasa. Guru hendaknya mengupayakan agar pembelajaran pembelajaran
bertolak dari apa yang telah diketahui siswa. Guru perlu melakukan, seperti memilih,
merancang dan mengorganisasikan kegiatan/pengalaman belajar yang menarik dan
bermakna. Menarik yaitu kegiatan yang dilakukan menantang sehingga siswa
merasa tidak terbebani. Bermakna artinya kegiatan belajar itu sesuai dengan
kebutuhan anak dan tujuan pembelajaran.

2.      Belajar Bahasa

Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitasnya,


yaitu  keluarga, teman, media radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak
memahami apa yang dikatakan oleh anggota komunitasnya dan sekaligus
menyampaikan ide serta perasaan dengan yang lain melalui bahasa yang digunakan.

Anak belajar bahasa dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban,
apalagi diajari secara khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut:

a.    Semua komponen, sistem dan keterampilan bahasa dipelajari secara terpadu.


b.    Belajar bahasa dilakukan secara alami dan langsung dalam konteks yang otentik.
c.    Belajar bahasa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhannya
d.   Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji coba (Trial-Error) dan strategi
lainnya.

3.      Pembelajaran Bahasa

Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe belajar yang
melibatkan bahasa yaitu:

a.       Belajar Bahasa

Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan


kemampuan berbahasa atau kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang
digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan untuk
menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun tertulis
(melalui menulis), serta (2)  kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima
pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun
tertulis (melalui kegiatan membaca). Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu
tentu saja melibatkan penguasaan kaidah bahasa serta pragmatik. Kemampuan
pragmatik merupakan kesanggupan pengguna
bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang berbeda-beda,
sesuai dengan kebutuhan, tujuan, dan konteks berbahasa itu sendiri.

b.      Belajar melalui Bahasa

Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap,


keterampilan. Dalam konteks ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempelajari
sesuatu, seperti Matematika, IPA, Sejarah, dan Kewarganegaraan.

c.       Belajar tentang Bahasa

Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang terdapat


pada suatu bahasa, seperti sejarah, sistem bahasa, kaidah berbahasa, dan produk
bahasa seperti sastra.

Belajar bahasa Indonesia untuk siswa SD pada dasarnya bertujuan untuk


mengasah dan membekali mereka dengan kemampuan berkomunikasi atau
kemampuan menerapkan bahasa Indonesia dengan tepat untuk berbagai tujuan dan
dalam konteks yang berbeda. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia
berfokus pada penguasaan berbahasa (Tipe 1:  belajar bahasa), untuk dapat
diterapkan bagi berbagai keperluan dalam bermacam situasi, seperti belajar, berpikir,
berekspresi, bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi (Tipe 2:  belajar melalui
bahasa). Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik  maka  siswa perlu menguasai
kaidah bahasa dengan baik pula (Tipe 3:  belajar tentang bahasa). Dalam konteks ini,
penguasaan kaidah bahasa bukan tujuan, melainkan hanyalah sebagai alat agar
kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.

Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi
secara bersamaan dalam belajar bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa
yang terkait dengan penggunaan dan konteksnya, ia pun belajar tentang kaidah
bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan bahasa untuk mempelajari berbagai
mata pelajaran.

Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa  maka  wujud


kemampuan itu lazimnya diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:

a.       Kemampuan Menyimak atau Mendengarkan

Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara


lisan  oleh orang lain. Siswa mendengarkan beragam simakan dengan tujuan
yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta memperoleh,
merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons informasi. Tujuan
menyimak yang berbeda tentu saja menuntut strategi menyimak yang berlainan
pula.

b.      Kemampuan Berbicara

Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain.


Pesan di sini adalah pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian, dan
sebagainya. Berbicara juga bermacam-macam seperti berinteraksi dengan
sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya,
menceritakan, melaporkan, dan menghibur.

c.       Kemampuan Membaca

Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan


secara tertulis oleh pihak lain. Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan
pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga memahami pesan atau makna
yang disampaikan oleh penulis.

d.      Kemampuan Menulis

Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis.


Kemampuan ini bukan hanya berkaitan dengan kemahiran siswa menyusun dan
menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga mengungkapkan pikiran,
pendapat, sikap, dan perasaannya secara jelas dan sistematis sehingga dapat
dipahami oleh orang yang menerimanya, seperti yang dia maksudkan.

Dari penelitiannya, Walter Loban (1976, dalam  Tompkins dan Hoskisson,


1995) menyimpulkan adanya hubungan antarketerampilan berbahasa siswa dan
keterampilan berbahasa dengan belajar. Pertama, siswa dengan kemampuan
berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang kurang efektif cenderung kurang
efektif pula kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan menulis). Kedua,
terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berbahasa siswa dengan
kemampuan akademik yang diperolehnya.

Pembelajaran bahasa seyogianya didasarkan pada bagaimana siswa belajar dan


bagaimana mereka belajar bahasa. Selaras dengan uraian sebelumnya tentang belajar
dan belajar bahasa maka paradigma atau cara pandang pembelajaran bahasa di
sekolah dasar adalah sebagai berikut:

a.         Imersi
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan “menerjunkan” siswa secara langung
dalam kegiatan berbahasayang dipelajarinya.

b.        Pengerjaan (Employment)

Pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa


untuk terlibat aktif dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna,
fungsional dan otentik.

c.         Demonstrasi

Siswa belajar bahasa melalui demonstrasi – dengan pemodelan dan dukungan –


yang disediakan guru.

d.        Tanggung jawab

Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk


memilih aktifitas berbahasa yang akan dilakukannnya.

e.         Uji coba

Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk


melakukan kegiatan dari prespektif atau sudut pandang siswa.

f.         Pengharapan (Expectation)

Siswa berupaya untuk suskses atau berhasil dalam belajar, jika merasa bahwa
gurunya mengharapkan dia menjadi sukses.

MODUL 2 : PEMEROLEHAN BAHASA ANAK

A.      Pemerolehan Bahasa Pertama

1.      Pengertian Pemerolehan Bahasa

Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan


kemampuan berbahasa secara alamiah. Proses pemerolehan bahasa memiliki
karakteristik berikut:

a.       Berjalan secara spontan, tanpa sadar, dan tanpa beban.

b.      Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui pembelajaran


formal.
c.       Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun dipahami
orang lain.

d.      Berlangsung secara terus-menerus dalam konteks berbahasa yang nyata dan


bermakna.

e.       Diperoleh secara lisan melalui tindak berbahasa menyimak/mendengarkan dan


berbicara.

Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan


reseptif, yaitu kemampuan menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain.
Kedua, kemampuan produktif, yaitu kemampuan menghasilkan tuturan, untuk
mengekspresikan diri atau menanggapi rangsang bahasa yang disampaikan oleh orang
lain. Ketika anak melakukan kegiatan berbahasa secara langsung, secara perlahan dan
tentu saja tanpa disadari, telah terbangun unsur dan kaidah bahasa (kosakata, struktur,
dan makna) dan kaidah berbahasa.

Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai
oleh seorang anak. Bahasa pertama itu bisa hanya satu bahasa atau dua bahasa yang
dikuasai anak secara bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua adalah bahasa yang
dikuasai anak setelah menguasai bahasa pertama. Dalam menguasai dua bahasa atau
lebih, anak dapat melakukannya secara serempak atau berurut. Pemerolehan serempak
dua bahasa (simultaneous bilingual acquisition) terjadi pada anak yang dibesarkan
dalam masyarakat bilingual (dua bahasa) atau multilingual (lebih dari dua bahasa).
Anak mengenal, mempelajari, dan menggunakan kedua bahasa tersebut sama baiknya
secara bersamaan. Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual acquisition)
terjadi apabila penguasaan anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang
waktu yang berjauhan.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa
hal berikut:

a.       Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.

b.      Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak


menguasai bahasa pasangannya dengan baik.

c.       Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi berikut:

1)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi


kesehariannya.
2)      Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan
bahasa daerah yang tidak dikuasai oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga
pendatang).

3)      Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa


yang digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis,
keluarga tersebut memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam
berkomunikasi.

2.      Teori Pemerolehan Bahasa

a.      Pandangan Nativistis

Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi


dengan kemampuan bawaan atau alami untuk dapat berbahasa. Bukan lingkungan
yang membuat anak mampu berbahasa. Juga bukan karena meniru orang lain
karena banyak juga ungkapan kreatif yang dimunculkan anak ketika berbahasa,
yang belum pernah dicontohkan sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena
kemampuan bawaan, mustahil anak dapat mempelajari dan menguasai suatu
bahasa yang komponen dan aturannya begitu rumit hanya dalam waktu yang
begitu singkat. Hanya dalam waktu sekitar empat tahun anak telah dapat
berbahasa dengan rapi dan komunikatif. Selama belajar bahasa, sedikit demi
sedikit potensi berbahasa yang secara genetis telah terprogram menjadi terbuka
dan berkembang.

Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan


bahasa’ (language acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak. Piranti
itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor
yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.

Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak
memberikan masukan kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD
dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola
kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, kemudian tercermin dalam
tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola ujar
orang dewasa.

b.      Pandangan Behavioristis

Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan


yang diberikan lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai
penerima pasif. Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh kekayaan
dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang
dilakukan anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.

c.       Pandangan Kognitif

Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak


ditentukan oleh daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan
pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak, kalau si anak
sendiri tidak melibatkan secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain,
anaklah yang berperan aktif untuk terlibat dengan lingkungannya agar penguasaan
bahasanya dapat berkembang secara optimal.

3.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pemerolehan Bahasa Anak

a.      Faktor Biologis

Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak


(sistem syaraf), alat dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah satu,
apalagi ketiganya, akan menghambat kemampuan berbahasa anak. Kemampuan
berbahasa anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap atau tunawicara maka
kemampuan berbahasa mereka pasti berbeda dengan anak yang ketiga perangkat
biologisnya sehat dan normal.

b.      Faktor Lingkungan Sosial

Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan


bawaan dan kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk
menumbuhkembangkan kemampuan berbahasanya, seorang anak memerlukan
lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa, memberikan rangsangan,
dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji coba berbahasa dalam konteks
yang sesungguhnya.

Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara,


kerabat, keluarga, teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya
sumber, mendukung, dan aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan membuat
pemerolehan bahasa anak semakin beraneka dan cepat. Sebaliknya, lingkungan
yang miskin dengan aktivitas berbahasa, terlalu banyak menekan dengan
melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan rendah dalam berinteraksi, akan
menjadikan pemerolehan bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan lambat.
Dukungan dan keterlibatan sosial begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa.
Inilah yang disebut dengan ’Sistem Pendukung Pemerolehan Bahasa’ atau
Language Acquisition Support System atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar
pemeroleh bahasa adalah sebagai berikut:

1)        Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang


dewasa terhadap bayi atau balita melalui penyederhanaan kata atau kalimat,
dengan penggunaan tempo yang lebih lambat dan nada yang lebih lembut.
Cara bahasa ini memiliki peran penting untuk dapat menangkap perhatian
dan memelihara komunikasi dengan anak.

2)        Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan


cara yang berbeda, untuk membantu anak belajar bahasa.

3)        Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan


anak, terutama apabila tuturannya tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai
dengan maksud.

4)        Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang


disampaikan anak dalam bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.

5)        Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama


yang sesuai.

6)        Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons


positif atas perilaku berbahasa anak.

7)        Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa


yang ditunjukkan orang dewasa kepada anak.

c.       Faktor Intelegensi

Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar,


termasuk memecahkan suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat
diamati langsung, kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan
pemerolehan bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat pencapaiannya
cenderung lebih cepat, lebih kaya, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya,
daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh inteligensi
terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.

d.      Faktor Motivasi

Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak
belajar bahasa karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus,
sakit, serta perhatian dan kasih sayang. Inilah yang disebut dengan motivasi intrinsik,
yang berasal dari diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk
membuatnya kian bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi
belajar bahasa yang tinggi akan kian memicu proses belajar bahasa anak.
Pemicuan motivasi itu, di antaranya dengan cara merespons dengan bijak
pertanyaan dan komentar anak, memperbaiki tindak berbahasa anak secara halus
dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila anak melakukan suatu
kesalahan.

4.      Strategi Pemerolehan Bahasa

Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:

a.       Mengingat

Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa


atau belajar apa pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam
benaknya. Ketika dia menyentuh, menyerap, mencium, mendengar, dan melihat
sesuatu, memori anak merekamnya.

Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan


tentang bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada sesuatu
yang dia dengar atau alami. Ingatan itu akan semakin kuat apabila penyebutan
akan benda atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini anak akan
mengingat bunyi, kombinasi bunyi atau kata, tentang sesuatu sekaligus
mengingat pula cara mengungkapkannya. Hanya saja, ketika diungkapkan
bunyinya tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya tidak pas, strukturnya terbalik atau
hanya suku kata awal atau akhir yang terucapkan. Hal ini terjadi karena
pertumbuhan otak dan kelengkapan fisik berbahasa anak masih sedang
berkembang. Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-anak biasanya dibantu oleh
ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh, dan konteks.

b.      Meniru

Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di


sini bisa berarti mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya,
peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa pengulangan yang persis sama
atas apa saja yang didengarnya.  Hal ini karena dalam belajar bahasa, seorang
anak tidak sekadar menangkap kata-kata.

Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara


alami. Dengan demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat dinamis dan
kreatif. Karena strategi peniruan itu pula maka orang yang menjadi model
(memberikan contoh dan masukan) berbahasa akan sangat mempengaruhi corak
bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya baik maka anak pun akan
mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya, apabila
modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan
dipelajari dan digunakan anak.

c.       Mengalami Langsung

Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah


mengalami langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak
menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang lain, maupun
sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus
memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya,
secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan ketepatan
perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat
masukan dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.

d.      Bermain

Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan


kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai
orang dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan;
ibu, bapak atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai dokter, perawat
atau pasien; atau sebagai guru dan murid dalam bermain sekolah-sekolahan.
Tanpa disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus mereka berlatih
berbicara dan menyimak.

e.       Penyederhanaan

Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya,


perkembangan kemampuan anak yang bertahap yang membuat tuturan yang
digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau dua kata mewakili satu
kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau reduksi.
Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai
orang dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks terjadinya
perilaku berbahasa anak.

5.      Tahap-Tahap Pemerolehan Bahasa

a.       Tahap Pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin
mendekati bunyi vokal atau konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-bunyi
tersebut belumlah mengacu pada kata atau kalimat dengan makna tertentu. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut tahap pralinguistik.

Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.

1)      Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksif untuk


menyatakan rasa lapar, haus, sakit atau ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi
vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk, bersin,
sendawa, telanan (ketika makan), dan tegukan (ketika menyusu atau minum).

2)      Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyibunyi


vokal yang bercampur dengan bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi itu
biasanya muncul sebagai respons terhadap senyum atau ucapan orang tuanya.

3)      Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh
dengan rentang waktu yang lebih lama. Bunyi mirip vokal dan konsonannya
lebih bervariasi. Konsonan nasal /m/ dan /n/ sudah mulai muncul. d. Pada
umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh. Celotehannya berupa reduplikasi
atau pengulangan konsonan dan vokal yang sama, seperti /ba-ba-ba/, /ma-ma-
ma/, dan /da-da-da/. Vokal yang muncul adalah vokal dasar /a/ dengan
konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, n/, dan alveolar /t, d/. Selanjutnya,
celotehan reduplikasi tersebut berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah
mulai menuju vokal /u/ dan /i/. Konsonan frikatif pun, seperti /s/ sudah mulai
muncul.

b.      Tahap Satu-Kata atau Holofrasis

Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini, anak
menggunakan satu kata yang bermakna mewakili keseluruhan ide yang
disampaikannya. Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili satu frasa,
kalimat atau wacana. Karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis. Kata-kata
yang diucapkan anak adalah kata-kata yang telah dikenal dan dikuasainya. Kata-
kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan keseharian di lingkungan anak.
Kata-kata itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin anak, pemanggilan
orang-orang sekitar, dan benda atau objek yang dekat dengan anak.

c.       Tahap Dua-Kata

Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada


tahap ini kosakata dan gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring dengan
kematangan otak dan alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai
menggunakan dua kata: papa ikut, mamah main, mau bobo, dan sebagainya.
Hanya kata-kata pokok yang diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja
(dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan atau kata
penghubung.

d.      Tahap Telegrafis

Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk


kalimat-kalimat pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah pada
jumlah kata yang dihasilkan anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang sudah
mulai muncul. Namun demikian, pada fase ini, anak belum menggunakan kata
tugas dalam bertutur. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini
disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan bertambahnya usia dan
perkembangan otak dan perangkat biologis lainnya maka kemampuan anak pun
(kaidah bahasa dan kaidah berbahasa) akan semakin meningkat hingga mendekati
tuturan orang dewasa.

B.     Pemerolehan Bahasa Kedua

1.      Pengertian dan Cara Pemerolehan Bahasa Kedua

Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak
melalui belajar secara formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang
dilakukan. Secara umum, tipe perolehan B2 dapat dibedakan menjadi
pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah
(Lihat Subyakto-Nababan, 1992). Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan
melalui aktivitas pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau les.
Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari bersifat formal atau baku. Sementara itu,
pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan secara spontan. Dengan demikian
seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan juga beberapa bahasa
kedua.

Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian


mempraktikkan dalam situasi riel, dan keintensifan dalam berkomunikasi dengan
B2. Memang penting belajar kosakata dan kaidah bahasa dengan menggunakan
berbagai sumber. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah faktor individu pembelajar
B2, dalam hal ini keberanian menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi
dengan penutur asli atau pengguna B2. Tidak malu, tidak takut salah, dan tidak
perlu khawatir ditertawakan kalau unjuk berbahasanya kurang pas. Semakin
berani dalam berbahasa dan semakin intensif dalam berinteraksi, biasanya
semakin cepat B2 tersebut dikuasai.
 

2.      Teori Pemerolehan Bahasa Kedua

a.       Model Akulturasi

Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan


baru. Dalam pemerolehan B2, akulturasi dipandang penting karena bahasa
sebagai ungkapan budaya serta berhubungan dengan saling menilai antara
masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak
psikologis antara pembelajar (B1) dengan budaya bahasa sasaran (B2). Jarak
sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota masyarakat
yang harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara itu,
jarak psikologis adalah pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi
pembelajar.

Faktor-faktor yang menentukan jarak sosial antara kelompok B1 dan B2


adalah:

1)        kesamaan derajat sosial;

2)        timbulnya keinginan asimilasi;

3)        saling terlibatnya antardua kelompok;

4)        kelompok belajar B2 kecil dan tidak kohesif;

5)        kesesuaian budaya;

6)        saling memiliki sikap positif;

7)        lama tidaknya berasimilasi antara kelompok B1 dan B2.

Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya lebih


bersifat afektif, meliputi kejutan bahasa, guncangan budaya, motivasi, dan
batas-batas keakuan.

b.      Teori Akomodasi

Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan


B2 dalam berinteraksi sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor
berikut akan mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar
dalam mempelajari B2:
1)        Anggapan pembelajar B2 bahwa dirinya merupakan bagian dari
masyarakat B2.

2)        Tidak memandang rendah kelompok masyarakat B2.

3)        Persepsi pembelajar tentang pentingnya etnolinguistik.

4)        Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1


dengan B2.

5)        Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya


dengan kelompok sosial lainnya.

c.       Teori Wacana

Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan


makna bahasa melalui keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui
kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat mengembangkan kaidah
gramatika dan penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah
prinsip utama berikut:

1)        Pemerolehan B2 mengikuti urutan alamiah dalam perkembangan


sintaksis.

2)        Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang


disepakati bersama penutur nonasli.

3)        Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang


disepakati dan masukan mempengaruhi kecepatan dan urutan
pemerolehan B2.

Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat memberikan
data terbaik bagi pembelajar untuk dapat diolah oleh otak. Melalui data
tersebut disusunlah suatu model masukan yang pantas dan terkait.

d.      Model Monitor

Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model


Monitor memiliki lima hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan B2:

1)        Hipotesis pemerolehan-pembelajaran

2)        Hipotesis urutan alamiah


3)        Hipotesis monitor

4)        Hipotesis masukan

5)        Hipotesis saringan afektif

e.       Model kompetensi variabel

Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan


mencerminkan cara orang itu menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk
penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa (wacana) dari
yang tidak terencana sampai yang terencana. Produk yang tidak direncanakan
adalah wujud penggunaan bahasa yang penyampaiannya bersifat spontan,
tanpa persiapan, dan tidak melalui pemikiran yang matang. Penggunaan
bahasa ini terjadi dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa, percakapan.

Model kompetensi variabel menyampaikan prinsip-prinsip berikut:

1)        Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-kaidah


bahasa antara (interlangue). Secara otomatis, penyimpan ini akan aktif
apabila dirangsang, didorong, dan dipicu untuk berlatih menerapkan B2.

2)        Pembelajar memiliki kemampuan untuk menggunakan bahasa.


Kemampuan itu berbentuk:

a)      proses wacana primer,

b)      proses wacana sekunder

c)      proses kognitif

3)        Tampilan B2 merupakan variable yang dihasilkan melalui proses primer


dalam wacana yang tidak terencana atau proses sekunder dalam wacana
yang direncanakan.

4)        Perkembangan pemerolehan B2 terjadi sebagai akibat:

a)      pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan


pembelajar dalam berbagai tipe wacana;

b)      pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk


tidak teranalisis dan tidak otomatis atau teranalisis sehingga dapat
digunakan untuk wacana yang tidak direncanakan.
f.       Hipotesis Universal

Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah


bahasa dengan bentuk gramatika universal, yakni gramatika inti. Contoh
gramatika universal, umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang berpola
subjek-predikat. Dalam pembelajaran B2 jika pembelajar menemukan kaidah
B2 yang bermarkah, pembelajar tersebut tergoda untuk kembali ke kaidah B1,
terutama apabila B1 itu memiliki kaidah universal yang sama.

g.      Teori Neurofungsional

Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi


syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle)
dan belahan otak kiri (daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2. Belahan
otak kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi untuk merekam
dan memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan otak kiri berkaitan
dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi pemrosesan secara
sintaktik dan semantik, serta pengendali aktivitas berbicara dan menulis.
Dalam kaitannya dengan pemerolehan B2, fokus teori ini berkenaan dengan
perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada kesiapan sempurna untuk
belajar bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun
hingga usia dewasa menjadi unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil
atau menetap secara permanen), ujaran terpola, dan pola latihan di kelas dalam
mempelajari B2.

Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan


memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan
untuk berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana dalam system syaraf tersebut
yang dilibatkan

Anda mungkin juga menyukai