KEGIATAN BELAJAR 2
Hakikat Pembelajaran Bahasa
1. Konsep Belajar
Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara tetap melalui pengalaman dan bahasa yang
dilakukan secara aktif. Hasil belajar atau perubahan tingkah laku itu berkaitan dengan pengetahuan,
sikap atau keterampilan yang dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami atau dikuasi
sebelumnya. Tugas guru dalam pembelajaran adalah menciptakan kegiatann dan lingkungan belajar
yang dapat merangsang dan mendorong siswa secara aktif. Sesibuk apapun guru kalau siswa tidak
mengalami proses belajar maka pembelajaran sebenarnya tidak pernah terjadi. Dalam prespektif ini,
siswa adalah subjek belajar, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilotator, motivator, desainer
dan organisator.
Siswa belajar menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman, pengamatan dan bahasa. Guru
hendaknya mengupayakan agar pembelajaran pembelajaran bertolak dari apa yang telah diketahui
siswa. Guru perlu melakukan, seperti memilih, merancang dan mengorganisasikan
kegiatan/pengalaman belajar yang menarik dan bermakna. Menarik yaitu kegiatan yang dilakukan
menantang sehingga siswa merasa tidak terbebani. Bermakna artinya kegiatan belajar itu sesuai
dengan kebutuhan anak dan tujuan pembelajaran.
2. Belajar Bahasa
Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitasnya, yaitu keluarga,
teman, media radio atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa yang dikatakan oleh
anggota komunitasnya dan sekaligus menyampaikan ide serta perasaan dengan yang lain melalui
bahasa yang digunakan.
Anak belajar bahasa dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban, apalagi diajari secara
khusus. Mereka belajar bahasa melalui pola berikut:
a. Semua komponen, sistem dan keterampilan bahasa dipelajari secara terpadu.
b. Belajar bahasa dilakukan secara alami dan langsung dalam konteks yang otentik.
c. Belajar bahasa dilakukan secara bertahap sesuai dengan kebutuhannya
d. Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji coba (Trial-Error) dan strategi lainnya.
3. Pembelajaran Bahasa
Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe belajar yang melibatkan
bahasa yaitu:
a. Belajar Bahasa
Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan kemampuan berbahasa atau
kemampuan berkomunikasi melalui bahasa yang digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua
hal, yaitu (1) kemampuan untuk menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun
tertulis (melalui menulis), serta (2) kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima pesan,
baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan
membaca). Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu tentu saja melibatkan penguasaan kaidah
bahasa serta pragmatik. Kemampuan pragmatik merupakan kesanggupan pengguna
bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, sesuai dengan
kebutuhan, tujuan, dan konteks berbahasa itu sendiri.
b. Belajar melalui Bahasa
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap, keterampilan. Dalam
konteks ini bahasa berfungsi sebagai alat untuk mempelajari sesuatu, seperti Matematika, IPA,
Sejarah, dan Kewarganegaraan.
c. Belajar tentang Bahasa
Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang terdapat pada suatu bahasa,
seperti sejarah, sistem bahasa, kaidah berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Belajar bahasa Indonesia untuk siswa SD pada dasarnya bertujuan untuk mengasah dan membekali
mereka dengan kemampuan berkomunikasi atau kemampuan menerapkan bahasa Indonesia dengan
tepat untuk berbagai tujuan dan dalam konteks yang berbeda. Dengan kata lain, pembelajaran
bahasa Indonesia berfokus pada penguasaan berbahasa (Tipe 1: belajar bahasa), untuk dapat
diterapkan bagi berbagai keperluan dalam bermacam situasi, seperti belajar, berpikir, berekspresi,
bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi (Tipe 2: belajar melalui bahasa). Agar siswa dapat
berkomunikasi dengan baik maka siswa perlu menguasai kaidah bahasa dengan baik pula (Tipe
3: belajar tentang bahasa). Dalam konteks ini, penguasaan kaidah bahasa bukan tujuan, melainkan
hanyalah sebagai alat agar kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.
Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi secara bersamaan
dalam belajar bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa yang terkait dengan penggunaan
dan konteksnya, ia pun belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan bahasa
untuk mempelajari berbagai mata pelajaran.
Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka wujud kemampuan itu lazimnya
diklasifikasikan menjadi empat macam, yaitu:
a. Kemampuan Menyimak atau Mendengarkan
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang lain.
Siswa mendengarkan beragam simakan dengan tujuan yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar,
hiburan, serta memperoleh, merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons informasi. Tujuan
menyimak yang berbeda tentu saja menuntut strategi menyimak yang berlainan pula.
b. Kemampuan Berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain. Pesan di sini adalah
pikiran, perasaan, sikap, tanggapan, penilaian, dan sebagainya. Berbicara juga bermacam-macam
seperti berinteraksi dengan sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya,
menceritakan, melaporkan, dan menghibur.
c. Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara tertulis oleh pihak
lain. Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga
memahami pesan atau makna yang disampaikan oleh penulis.
d. Kemampuan Menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis. Kemampuan ini bukan hanya
berkaitan dengan kemahiran siswa menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga
mengungkapkan pikiran, pendapat, sikap, dan perasaannya secara jelas dan sistematis sehingga
dapat dipahami oleh orang yang menerimanya, seperti yang dia maksudkan.
Dari penelitiannya, Walter Loban (1976, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) menyimpulkan
adanya hubungan antarketerampilan berbahasa siswa dan keterampilan berbahasa dengan
belajar. Pertama, siswa dengan kemampuan berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang kurang
efektif cenderung kurang efektif pula kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan
menulis). Kedua, terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan berbahasa siswa dengan
kemampuan akademik yang diperolehnya.
Pembelajaran bahasa seyogianya didasarkan pada bagaimana siswa belajar dan bagaimana mereka
belajar bahasa. Selaras dengan uraian sebelumnya tentang belajar dan belajar bahasa maka
paradigma atau cara pandang pembelajaran bahasa di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
a. Imersi
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan “menerjunkan” siswa secara langung dalam kegiatan
berbahasayang dipelajarinya.
b. Pengerjaan (Employment)
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif
dalam berbagai kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional dan otentik.
c. Demonstrasi
Siswa belajar bahasa melalui demonstrasi – dengan pemodelan dan dukungan – yang disediakan
guru.
d. Tanggung jawab
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktifitas
berbahasa yang akan dilakukannnya.
e. Uji coba
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari
prespektif atau sudut pandang siswa.
f. Pengharapan (Expectation)
Siswa berupaya untuk suskses atau berhasil dalam belajar, jika merasa bahwa gurunya
mengharapkan dia menjadi sukses.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan reseptif, yaitu
kemampuan menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain. Kedua, kemampuan
produktif, yaitu kemampuan menghasilkan tuturan, untuk mengekspresikan diri atau menanggapi
rangsang bahasa yang disampaikan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa hal berikut:
a. Pasangan suami istri hanya menguasai bahasa Indonesia.
b. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak menguasai
bahasa pasangannya dengan baik.
c. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang sama, dengan situasi berikut:
1) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
kesehariannya.
2) Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan bahasa daerah
yang tidak dikuasai oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga pendatang).
3) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa yang
digunakan dalam suatu keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis, keluarga tersebut
memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’ (language
acquisition device atau LAD) yang berpusat di otak. Piranti itulah yang membuat anak dapat
berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.
Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan masukan
kepada anak. Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi gramatika
bahasa anak sehingga tersusunlah pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak,
kemudian tercermin dalam tindak berbahasa (ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola
ujar orang dewasa.
2. Pandangan Behavioristis
Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan yang diberikan
lingkungannya. Anak tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai penerima pasif. Perkembangan
bahasa anak terutama ditentukan oleh kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh
lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak terhadap tindak berbahasa lingkungannya.
3. Pandangan Kognitif
Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak ditentukan oleh
daya kognitifnya. Lingkungan tidak serta merta memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan
intelektual dan bahasa anak, kalau si anak sendiri tidak melibatkan secara aktif
dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang berperan aktif untuk terlibat dengan
lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara optimal.
1. Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak (sistem syaraf), alat
dengar, dan alat ucap. Ketergantungan pada salah satu, apalagi ketiganya, akan menghambat
kemampuan berbahasa anak. Kemampuan berbahasa anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap
atau tunawicara maka kemampuan berbahasa mereka pasti berbeda dengan anak yang ketiga
perangkat biologisnya sehat dan normal.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan bawaan dan
kelengkapan berbahasa. Namun demikian, untuk menumbuhkembangkan kemampuan
berbahasanya, seorang anak memerlukan lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa,
memberikan rangsangan, dan tanggapan, serta melakukan latihan dan uji coba berbahasa dalam
konteks yang sesungguhnya.
Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara, kerabat, keluarga,
teman atau anggota masyarakat. Lingkungan yang kaya sumber, mendukung, dan aktif dalam
berinteraksi dengan anak, akan membuat pemerolehan bahasa anak semakin beraneka dan cepat.
Sebaliknya, lingkungan yang miskin dengan aktivitas berbahasa, terlalu banyak menekan dengan
melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan rendah dalam berinteraksi, akan menjadikan
pemerolehan bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan lambat. Dukungan dan keterlibatan sosial
begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa. Inilah yang disebut dengan ’Sistem Pendukung
Pemerolehan Bahasa’ atau Language Acquisition Support System atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar pemeroleh bahasa adalah
sebagai berikut:
a) Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang dewasa terhadap bayi
atau balita melalui penyederhanaan kata atau kalimat, dengan penggunaan tempo yang lebih
lambat dan nada yang lebih lembut. Cara bahasa ini memiliki peran penting untuk dapat
menangkap perhatian dan memelihara komunikasi dengan anak.
b) Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda,
untuk membantu anak belajar bahasa.
c) Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan anak, terutama apabila
tuturannya tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai dengan maksud.
d) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang disampaikan anak dalam
bentuk kebahasaan yang lebih kompleks.
e) Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama yang sesuai.
f) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons positif atas perilaku
berbahasa anak.
g) Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa yang ditunjukkan
orang dewasa kepada anak.
3. Faktor Intelegensi
Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar, termasuk memecahkan
suatu masalah. Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat diamati langsung, kecuali melalui perilaku.
Dalam kaitannya dengan pemerolehan bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat
pencapaiannya cenderung lebih cepat, lebih kaya, dan lebih bervariasi khasanah bahasanya,
daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh inteligensi terletak pada jangka
waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.
4. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak belajar bahasa
karena adanya kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, sakit, serta perhatian dan
kasih sayang. Inilah yang disebut dengan motivasi intrinsik, yang berasal dari diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk membuatnya kian
bergairah belajar bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi belajar bahasa yang tinggi akan
kian memicu proses belajar bahasa anak. Pemicuan motivasi itu, di antaranya dengan cara
merespons dengan bijak pertanyaan dan komentar anak, memperbaiki tindak berbahasa anak secara
halus dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila anak melakukan suatu kesalahan.
Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Mengingat
Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa atau belajar apa
pun. Setiap pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam benaknya. Ketika dia menyentuh,
menyerap, mencium, mendengar, dan melihat sesuatu, memori anak merekamnya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang bunyi dan
kombinasi bunyi-bunyi tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia dengar atau alami. Ingatan itu
akan semakin kuat apabila penyebutan akan benda atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan
cara ini anak akan mengingat bunyi, kombinasi bunyi atau kata, tentang sesuatu sekaligus
mengingat pula cara mengungkapkannya. Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-anak biasanya
dibantu oleh ekspresi muka, gerak tangan, gerak tubuh, dan konteks.
2. Meniru
Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di sini bisa berarti
mencontoh secara kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya, peniruan yang dilakukan anak tidak
selalu berupa pengulangan yang persis sama atas apa saja yang didengarnya. Hal ini karena dalam
belajar bahasa, seorang anak tidak sekadar menangkap kata-kata.
Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan
demikian, peniruan yang dilakukan anak bersifat dinamis dan kreatif. Karena strategi peniruan itu
pula maka orang yang menjadi model (memberikan contoh dan masukan) berbahasa akan sangat
mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak. Apabila modelnya baik maka anak pun akan
mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya, apabila modelnya kurang baik
maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajari dan digunakan anak.
3. Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah mengalami
langsung kegiatan berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika
berkomunikasi dengan orang lain, maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara
langsung, dan sekaligus memperoleh tanggapan dari mitra bicaranya. Dari tanggapan yang
diperolehnya, secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang kewajaran dan ketepatan
perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat masukan dari tindak
berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.
4. Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan kemampuan berbahasa anak.
Dalam bermain, si anak kadang berperan sebagai orang dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam
bermain dagang-dagangan; ibu, bapak atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai dokter,
perawat atau pasien; atau sebagai guru dan murid dalam bermain sekolah-sekolahan. Tanpa
disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus mereka berlatih berbicara dan menyimak.
5. Penyederhanaan
Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya, perkembangan kemampuan
anak yang bertahap yang membuat tuturan yang digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu
atau dua kata mewakili satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau
reduksi. Strategi itu tentu saja tidak disadari si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai orang
dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks terjadinya perilaku berbahasa anak.
1. Tahap Pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati bunyi vokal atau
konsonan tertentu. Tetapi, umumnya bunyi-bunyi tersebut belumlah mengacu pada kata atau
kalimat dengan makna tertentu. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut
tahap pralinguistik. Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
3. Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada tahap ini kosakata dan
gramatika anak berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan otak dan alat ucapnya.
Dalam bertutur anak-anak mulai menggunakan dua kata: papa ikut, mamah main, mau bobo, dan
sebagainya. Hanya kata-kata pokok yang diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja (dasar),
dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan atau kata penghubung.
4. Tahap Telegrafis
Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk kalimat-kalimat
pendek. Ciri yang paling mencolok pada fase ini bukanlah pada jumlah kata yang dihasilkan anak,
tetapi pada variasi bentuk kata yang sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase ini, anak
belum menggunakan kata tugas dalam bertutur. Oleh karena itu, perkembangan bahasa anak pada
fase ini disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan bertambahnya usia dan perkembangan otak
dan perangkat biologis lainnya maka kemampuan anak pun (kaidah bahasa dan kaidah berbahasa)
akan semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang dewasa.
KEGIATAN BELAJAR 2
PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak melalui belajar secara
formal. Dalam memperoleh B2 banyak cara yang dilakukan. Secara umum, tipe perolehan B2 dapat
dibedakan menjadi pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah
(Lihat Subyakto-Nababan, 1992). Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan melalui aktivitas
pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau les. Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari
bersifat formal atau baku. Sementara itu, pemerolehan B2 secara alamiah dilakukan secara spontan.
Dengan demikian seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan juga beberapa bahasa
kedua.
2. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam berinteraksi
sangat menentukan pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan mempermudah dan mempengaruhi
keberhasilan pembelajar dalam mempelajari B2:
3. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna bahasa melalui
keterlibatannya dalam berkomunikasi. Melalui kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat
mengembangkan kaidah gramatika dan penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah
prinsip utama berikut:
4. Model Monitor
Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model Monitor memiliki lima
hipotesis berikut yang mempengaruhi pemerolehan B2:
a) Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
b) Hipotesis urutan alamiah
c) Hipotesis monitor
d) Hipotesis masukan
e) Hipotesis saringan afektif
7. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf. Dua daerah
dalam otak, yaitu belahan otak kanan (daerah Wernickle) dan belahan otak kiri (daerah Brocka),
menentukan pemerolehan B2. Belahan otak kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan
berfungsi untuk merekam dan memproses ujaran yang berpola. Sementara belahan otak kiri
berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi pemrosesan secara sintaktik dan
semantik, serta pengendali aktivitas berbicara dan menulis. Dalam kaitannya dengan pemerolehan
B2, fokus teori ini berkenaan dengan perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada kesiapan
sempurna untuk belajar bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun hingga
usia dewasa menjadi unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil atau menetap secara
permanen), ujaran terpola, dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua hal.
Pertama, fungsi syaraf yang mana yang digunakan untuk berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana
dalam system syaraf tersebut yang dilibatkan.
NIM: 857836546