A. Hakikat Bahasa
1. Pengertian Bahasa
a. Bahasa adalah sebuah simbol bunyi arbiter yang digunakan untuk komunikasi manusia (Wardhaugh, 1972).
b. Bahasa adalah sebuah alat untuk mengomunikasikan gagasan atau perasaan secara sistematis melalui
penggunaan tanda, suara, gerak atau tanda-tanda yang disepakati yang memiliki makna yang dipahami (Webster’s
New Collegiate Dictionary, 1981).
c. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbiter, yang dipergunakan oleh para anggota sosial untuk
berkomunikasi, bekerja sama dan mengidentifikasi diri (Kentjono, Ed., 1984:2).
d. Bahasa adalah salah satu dari sejumlah sistem makna yang secara bersama-sama membentuk budaya
manusia (Hilliday dan Hasan, 1991).
Dari pandangan para ahli diatas ada yang menyatakan bahasa melalui penekanan sistem, ala,t dan juga pada
komunikasi.
2. Karakteristik Bahasa
Sebagai sebuah sistem, bahasa terdiri dari sejumlah unsur yang saling terkait dan tertata secara beraturan, serta
memiliki makna. Unsur-unsur bahasa diatur, seperti pola yang berulang. Kalau salah satu bagian terdeteksi maka
keseluruhan bagiannya dapat diramalkan.
Sebagai sebuah sistem, bahasa bersifat sistematis dan sistemis. Sistematis artinya bahasa itu dapat diuraikan atas
satuan-satuan terbatas yang berkombinasi dengan kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Seandainya bahasa itu
tidak sistematik maka bahasa itu akan kacau, tidak bermakna, dan tidak dapat dipelajari. Sistemis artinya bahasa
terdiri dari sejumlah subsistem, yang satu sama lain saling terkait dan membentuk satu kesatuan utuh yang
bermakna. Bahasa terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem fonologi (bunyi-bunyi bahasa), subsistem gramatika
(morfologi, sintaksis, dan wacana), serta subsistem leksikon (perbendaharaan kata). Ketiga subsistem itu
menghasilkan dunia bunyi dan dunia makna, yang membentuk sistem bahasa.
b. Bahasa merupakan sistem lambang yang arbiter (mana suka) dan konvensional
Bahasa merupakan sistem simbol, baik berupa bunyi dan/atau tulisan yang dipergunakan dan disepakati oleh suatu
kelompok sosial. Sebagai sebuah simbol, bahasa memiliki arti. Pertama, penamaan suatu objek atau peristiwa
yang sama antara satu masyarakat bahasa dengan masyarakat bahasa lainnya tidak sama. Kedua, bahasa terdiri
dari aturan-aturan atau kaidah yang disepakati. Ketiga, tidak ada hubungan langsung dan wajib antara lambang
bahasa dengan objeknya. Hubungan keduanya bersifat mana suka (arbiter).
Memang ada beberapa kata yang bersifat onomatopoe, artinya penamaan suatu objek atau peristiwa berdasarkan
ciri bunyi atau ciri lain yang dimilikinya, seperti cecak, tokek, tekukur, gemerincing atau kokok. Namun demikian,
kata yang bersifat onomatope itu tidak banyak jumlahnya. Jadi, penamaan sesuatu itu (benda, sifat atau peristiwa)
semata-mata hanya karena kesepakatan sosial masyarakat penggunanya. Karena itulah bahasa bersifat
konvensional atau kesepakatan.
Dari huruf-huruf per kata dan selanjutnya dapat dihasilkan satuan bahasa dalam jumlah yang tak terbatas, ribuan
kata, kalimat atau wacana bacaan dengan segala variasinya, sesuai dengan kebutuhan masyarakat penggunanya.
Oleh karena itu, bahasa itu bersifat produktif.
Fungsi bahasa adalah sebagai alat kominikasi, sedangkan penggunaan bahasa oleh suatu kelompok disebut variasi
atau ragam bahasa.
3. Fungsi Bahasa
Halliday (1975, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) secara khusus mengidentifikasi fungsi-fungsi bahasa
sebagai berikut:
a. Fungsi personal, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan pendapat, pikiran, sikap atau perasaan
pemakainya.
b. Fungsi regulator, yaitu penggunaan bahasa untuk mempengaruhi sikap atau pikiran/pendapat orang lain,
seperti bujukan, rayuan, permohonan atau perintah.
c. Fungsi interaksional, yaitu penggunaan bahasa untuk menjalin kontak dan menjaga hubungan sosial, seperti
sapaan, basa-basi, simpati atau penghiburan.
d. Fungsi informatif, yaitu penggunaan bahasa untuk menyampaikan informasi, ilmu pengetahuan atau budaya.
e. Fungsi heuristik, yaitu penggunaan bahasa untuk belajar atau memperoleh informasi, seperti pertanyaan
atau permintaan penjelasan atas sesuatu hal.
f. Fungsi imajinatif, yaitu penggunaan bahasa untuk memenuhi dan menyalurkan rasa estetis (indah), seperti
nyanyian dan karya sastra.
g. Fungsi instrumental, yaitu penggunaan bahasa untuk mengungkapkan keinginan atau kebutuhan
pemakainya, seperti saya ingin ….
4. Ragam Bahasa
a. Berdasarkan pemakainya ragam bahasa dapat dilihat dari segi asal daerah penutur yang melahirkan dialeg
geografis, kelompok sosial yang melahirkan dialeg atau ragam sosial dengan segala variasinya serta sikap bahasa
yang melahirkan ragam resmi dan tak resmi atau keseharian.
b. Berdasarkan bertolak dari pemakaiannya, bidang perbincangan, yang melahirkan ragam ilmiah, ragam
sastra, ragam jurnalistik dan ragam-ragam lainnya. Media berbahasa, yang memunculkan ragam lisan dan tulis,
serta situasi bahasa, yang memunculkan ragam baku dan tak baku.
1. Konsep Belajar
Belajar adalah perubahan tingkah laku siswa secara tetap melalui pengalaman dan bahasa yang dilakukan secara
aktif. Hasil belajar atau perubahan tingkah laku itu berkaitan dengan pengetahuan, sikap atau keterampilan yang
dibangun siswa berdasarkan apa yang telah dipahami atau dikuasi sebelumnya. Tugas guru dalam pembelajaran
adalah menciptakan kegiatann dan lingkungan belajar yang dapat merangsang dan mendorong siswa secara aktif.
Sesibuk apapun guru kalau siswa tidak mengalami proses belajar maka pembelajaran sebenarnya tidak pernah
terjadi. Dalam prespektif ini, siswa adalah subjek belajar, sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilotator,
motivator, desainer dan organisator.
Siswa belajar menggunakan tiga cara, yaitu melalui pengalaman, pengamatan dan bahasa. Guru hendaknya
mengupayakan agar pembelajaran pembelajaran bertolak dari apa yang telah diketahui siswa. Guru perlu
melakukan, seperti memilih, merancang dan mengorganisasikan kegiatan/pengalaman belajar yang menarik dan
bermakna. Menarik yaitu kegiatan yang dilakukan menantang sehingga siswa merasa tidak terbebani. Bermakna
artinya kegiatan belajar itu sesuai dengan kebutuhan anak dan tujuan pembelajaran.
2. Belajar Bahasa
Sebelum masuk ke sekolah dasar, anak belajar bahasa melalui komunitasnya, yaitu keluarga, teman, media radio
atau televisi, dan lingkungannya. Anak memahami apa yang dikatakan oleh anggota komunitasnya dan sekaligus
menyampaikan ide serta perasaan dengan yang lain melalui bahasa yang digunakan.
Anak belajar bahasa dan menguasai bahasa tanpa disadari dan tanpa beban, apalagi diajari secara khusus. Mereka
belajar bahasa melalui pola berikut:
b. Belajar bahasa dilakukan secara alami dan langsung dalam konteks yang otentik.
d. Belajar bahasa dilakukan melalui strategi uji coba (Trial-Error) dan strategi lainnya.
3. Pembelajaran Bahasa
Halliday (1979, dalam Goodman, dkk., 1987) menyatakan ada tiga tipe belajar yang melibatkan bahasa yaitu:
a. Belajar Bahasa
Seseorang mempelajari suatu bahasa dengan fokus pada penguasaan kemampuan berbahasa atau kemampuan
berkomunikasi melalui bahasa yang digunakannya. Kemampuan ini melibatkan dua hal, yaitu (1) kemampuan
untuk menyampaikan pesan, baik secara lisan (melalui berbicara) maupun tertulis (melalui menulis), serta (2)
kemampuan memahami, menafsirkan, dan menerima pesan, baik yang disampaikan secara lisan (melalui kegiatan
menyimak) maupun tertulis (melalui kegiatan membaca). Secara implisit, kemampuan-kemampuan itu tentu saja
melibatkan penguasaan kaidah bahasa serta pragmatik. Kemampuan pragmatik merupakan kesanggupan
pengguna
bahasa untuk menggunakan bahasa dalam berbagai situasi yang berbeda-beda, sesuai dengan kebutuhan, tujuan,
dan konteks berbahasa itu sendiri.
Seseorang menggunakan bahasa untuk mempelajari pengetahuan, sikap, keterampilan. Dalam konteks ini bahasa
berfungsi sebagai alat untuk mempelajari sesuatu, seperti Matematika, IPA, Sejarah, dan Kewarganegaraan.
Seseorang mempelajari bahasa untuk mengetahui segala hal yang terdapat pada suatu bahasa, seperti sejarah,
sistem bahasa, kaidah berbahasa, dan produk bahasa seperti sastra.
Belajar bahasa Indonesia untuk siswa SD pada dasarnya bertujuan untuk mengasah dan membekali mereka
dengan kemampuan berkomunikasi atau kemampuan menerapkan bahasa Indonesia dengan tepat untuk berbagai
tujuan dan dalam konteks yang berbeda. Dengan kata lain, pembelajaran bahasa Indonesia berfokus pada
penguasaan berbahasa (Tipe 1: belajar bahasa), untuk dapat diterapkan bagi berbagai keperluan dalam
bermacam situasi, seperti belajar, berpikir, berekspresi, bersosialisasi atau bergaul, dan berapresiasi (Tipe 2:
belajar melalui bahasa). Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik maka siswa perlu menguasai kaidah
bahasa dengan baik pula (Tipe 3: belajar tentang bahasa). Dalam konteks ini, penguasaan kaidah bahasa bukan
tujuan, melainkan hanyalah sebagai alat agar kemampuan berbahasanya dapat berkembang dengan baik.
Dengan demikian, ketiga tipe belajar tersebut saling terkait. Ketiganya terjadi secara bersamaan dalam belajar
bahasa. Ketika siswa belajar kemampuan berbahasa yang terkait dengan penggunaan dan konteksnya, ia pun
belajar tentang kaidah bahasa, dan sekaligus belajar menggunakan bahasa untuk mempelajari berbagai mata
pelajaran.
Apabila kita berbicara tentang kemampuan berbahasa maka wujud kemampuan itu lazimnya diklasifikasikan
menjadi empat macam, yaitu:
Kemampuan memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara lisan oleh orang lain. Siswa
mendengarkan beragam simakan dengan tujuan yang berbeda: untuk berkomunikasi, belajar, hiburan, serta
memperoleh, merangkum, mengolah, mengkritisi, dan merespons informasi. Tujuan menyimak yang berbeda tentu
saja menuntut strategi menyimak yang berlainan pula.
b. Kemampuan Berbicara
Kemampuan untuk menyampaikan pesan secara lisan kepada orang lain. Pesan di sini adalah pikiran, perasaan,
sikap, tanggapan, penilaian, dan sebagainya. Berbicara juga bermacam-macam seperti berinteraksi dengan
sesama, berdiskusi dan berdebat, berpidato, menjelaskan, bertanya, menceritakan, melaporkan, dan menghibur.
c. Kemampuan Membaca
Kemampuan untuk memahami dan menafsirkan pesan yang disampaikan secara tertulis oleh pihak lain.
Kemampuan ini tidak hanya berkaitan dengan pemahaman simbol-simbol tertulis, tetapi juga memahami pesan
atau makna yang disampaikan oleh penulis.
d. Kemampuan Menulis
Kemampuan menyampaikan pesan kepada pihak lain secara tertulis. Kemampuan ini bukan hanya berkaitan
dengan kemahiran siswa menyusun dan menuliskan simbol-simbol tertulis, tetapi juga mengungkapkan pikiran,
pendapat, sikap, dan perasaannya secara jelas dan sistematis sehingga dapat dipahami oleh orang yang
menerimanya, seperti yang dia maksudkan.
Dari penelitiannya, Walter Loban (1976, dalam Tompkins dan Hoskisson, 1995) menyimpulkan adanya hubungan
antarketerampilan berbahasa siswa dan keterampilan berbahasa dengan belajar. Pertama, siswa dengan
kemampuan berbahasa lisan (menyimak dan berbicara) yang kurang efektif cenderung kurang efektif pula
kemampuan berbahasa tulisnya (membaca dan menulis). Kedua, terdapat hubungan yang kuat antara kemampuan
berbahasa siswa dengan kemampuan akademik yang diperolehnya.
Pembelajaran bahasa seyogianya didasarkan pada bagaimana siswa belajar dan bagaimana mereka belajar
bahasa. Selaras dengan uraian sebelumnya tentang belajar dan belajar bahasa maka paradigma atau cara
pandang pembelajaran bahasa di sekolah dasar adalah sebagai berikut:
a. Imersi
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan “menerjunkan” siswa secara langung dalam kegiatan berbahasayang
dipelajarinya.
b. Pengerjaan (Employment)
Pembelajaran bahasa dilakukan dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat aktif dalam berbagai
kegiatan berbahasa yang bermakna, fungsional dan otentik.
c. Demonstrasi
Siswa belajar bahasa melalui demonstrasi – dengan pemodelan dan dukungan – yang disediakan guru.
d. Tanggung jawab
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih aktifitas berbahasa yang akan
dilakukannnya.
e. Uji coba
Pembelajaran bahasa yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan dari prespektif atau
sudut pandang siswa.
f. Pengharapan (Expectation)
Siswa berupaya untuk suskses atau berhasil dalam belajar, jika merasa bahwa gurunya mengharapkan dia menjadi
sukses.
Pemerolehan bahasa (language acquisition) adalah proses pemilikan kemampuan berbahasa secara alamiah.
Proses pemerolehan bahasa memiliki karakteristik berikut:
b. Terjadi secara langsung dalam situasi informal, tanpa melalui pembelajaran formal.
c. Didorong oleh kebutuhan, baik kebutuhan untuk memahami maupun dipahami orang lain.
d. Berlangsung secara terus-menerus dalam konteks berbahasa yang nyata dan bermakna.
Kegiatan pemerolehan bahasa melibatkan dua kemampuan. Pertama, kemampuan reseptif, yaitu kemampuan
menyerap, menerima, dan memahami tuturan orang lain. Kedua, kemampuan produktif, yaitu kemampuan
menghasilkan tuturan, untuk mengekspresikan diri atau menanggapi rangsang bahasa yang disampaikan oleh
orang lain. Ketika anak melakukan kegiatan berbahasa secara langsung, secara perlahan dan tentu saja tanpa
disadari, telah terbangun unsur dan kaidah bahasa (kosakata, struktur, dan makna) dan kaidah berbahasa.
Bahasa pertama (B1) adalah bahasa yang pertama kali dipelajari dan dikuasai oleh seorang anak. Bahasa pertama
itu bisa hanya satu bahasa atau dua bahasa yang dikuasai anak secara bersamaan. Sementara itu, bahasa kedua
adalah bahasa yang dikuasai anak setelah menguasai bahasa pertama. Dalam menguasai dua bahasa atau lebih,
anak dapat melakukannya secara serempak atau berurut. Pemerolehan serempak dua bahasa (simultaneous
bilingual acquisition) terjadi pada anak yang dibesarkan dalam masyarakat bilingual (dua bahasa) atau multilingual
(lebih dari dua bahasa). Anak mengenal, mempelajari, dan menggunakan kedua bahasa tersebut sama baiknya
secara bersamaan. Pemerolehan berurut dua bahasa (successive bilingual acquisition) terjadi apabila penguasaan
anak atas dua bahasa atau lebih terjadi dalam rentang waktu yang berjauhan.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa pertama anak biasanya terjadi karena beberapa hal berikut:
b. Perkawinan antarpenutur bahasa daerah yang berbeda. Masing-masing pihak tidak menguasai bahasa
pasangannya dengan baik.
2) Lingkungan sosial sekitar tempat tinggal keluarga tersebut menggunakan bahasa daerah yang tidak dikuasai
oleh keluarga tersebut (mungkin keluarga pendatang).
3) Lingkungan sekitar menggunakan bahasa daerah yang sama dengan bahasa yang digunakan dalam suatu
keluarga. Tetapi karena pertimbangan praktis, keluarga tersebut memutuskan untuk menggunakan bahasa
Indonesia dalam berkomunikasi.
a. Pandangan Nativistis
Menurut pandangan nativistis, setiap anak yang lahir telah dilengkapi dengan kemampuan bawaan atau alami
untuk dapat berbahasa. Bukan lingkungan yang membuat anak mampu berbahasa. Juga bukan karena meniru
orang lain karena banyak juga ungkapan kreatif yang dimunculkan anak ketika berbahasa, yang belum pernah
dicontohkan sebelumnya. Jadi, kalau bukan karena kemampuan bawaan, mustahil anak dapat mempelajari dan
menguasai suatu bahasa yang komponen dan aturannya begitu rumit hanya dalam waktu yang begitu singkat.
Hanya dalam waktu sekitar empat tahun anak telah dapat berbahasa dengan rapi dan komunikatif. Selama belajar
bahasa, sedikit demi sedikit potensi berbahasa yang secara genetis telah terprogram menjadi terbuka dan
berkembang.
Kemampuan bawaan berbahasa itu disebut dengan ’piranti pemerolehan bahasa’ (language acquisition device atau
LAD) yang berpusat di otak. Piranti itulah yang membuat anak dapat berbahasa, sebagaimana halnya sirip dan
ekor yang memungkinkan seekor ikan bisa berenang.
Cara kerja LAD yaitu Ujaran atau tuturan lisan dalam lingkungan anak memberikan masukan kepada anak.
Selanjutnya, data tersebut diolah oleh LAD dengan memakai potensi gramatika bahasa anak sehingga tersusunlah
pola-pola kaidah bahasa dan kaidah berbahasa pada diri anak, kemudian tercermin dalam tindak berbahasa
(ujaran) yang dihasilkan anak yang sesuai dengan pola ujar orang dewasa.
b. Pandangan Behavioristis
Menurut behavioris, penguasaan bahasa anak ditentukan oleh rangsangan yang diberikan lingkungannya. Anak
tidak memiliki peranan aktif, hanya sebagai penerima pasif. Perkembangan bahasa anak terutama ditentukan oleh
kekayaan dan lamanya latihan yang diberikan oleh lingkungan, serta peniruan yang dilakukan anak terhadap
tindak berbahasa lingkungannya.
c. Pandangan Kognitif
Menurut pandangan kognitif, penguasaan dan perkembangan bahasa anak ditentukan oleh daya kognitifnya.
Lingkungan tidak serta merta memberikan pengaruhnya terhadap perkembangan intelektual dan bahasa anak,
kalau si anak sendiri tidak melibatkan secara aktif dengan lingkungannya. Dengan kata lain, anaklah yang
berperan aktif untuk terlibat dengan lingkungannya agar penguasaan bahasanya dapat berkembang secara
optimal.
a. Faktor Biologis
Perangkat biologis yang menentukan penguasaan bahasa anak adalah otak (sistem syaraf), alat dengar, dan alat
ucap. Ketergantungan pada salah satu, apalagi ketiganya, akan menghambat kemampuan berbahasa anak.
Kemampuan berbahasa anak-anak tunarungu, lemah mental, gagap atau tunawicara maka kemampuan berbahasa
mereka pasti berbeda dengan anak yang ketiga perangkat biologisnya sehat dan normal.
Telah dikemukakan sebelumnya bahwa setiap anak memiliki kemampuan bawaan dan kelengkapan berbahasa.
Namun demikian, untuk menumbuhkembangkan kemampuan berbahasanya, seorang anak memerlukan
lingkungan sosial sebagai contoh atau model berbahasa, memberikan rangsangan, dan tanggapan, serta
melakukan latihan dan uji coba berbahasa dalam konteks yang sesungguhnya.
Lingkungan sosial di sini adalah perilaku berbahasa orang tua, saudara, kerabat, keluarga, teman atau anggota
masyarakat. Lingkungan yang kaya sumber, mendukung, dan aktif dalam berinteraksi dengan anak, akan
membuat pemerolehan bahasa anak semakin beraneka dan cepat. Sebaliknya, lingkungan yang miskin dengan
aktivitas berbahasa, terlalu banyak menekan dengan melakukan pelarangan dan menyalahkan, dan rendah dalam
berinteraksi, akan menjadikan pemerolehan bahasa anak pun tidak beragam, miskin, dan lambat. Dukungan dan
keterlibatan sosial begitu penting bagi anak dalam belajar bahasa. Inilah yang disebut dengan ’Sistem Pendukung
Pemerolehan Bahasa’ atau Language Acquisition Support System atau LASS.
Cara lingkungan sosial memberikan dukungan kepada anak dalam belajar pemeroleh bahasa adalah sebagai
berikut:
1) Bahasa semang (motherless), yaitu cara bahasa yang dilakukan orang dewasa terhadap bayi atau balita
melalui penyederhanaan kata atau kalimat, dengan penggunaan tempo yang lebih lambat dan nada yang lebih
lembut. Cara bahasa ini memiliki peran penting untuk dapat menangkap perhatian dan memelihara komunikasi
dengan anak.
2) Parafrase, yaitu pengungkapan kembali ujaran yang diucapkan anak dengan cara yang berbeda, untuk
membantu anak belajar bahasa.
3) Menegaskan kembali (echoing), yaitu mengulang apa yang disampaikan anak, terutama apabila tuturannya
tidak lengkap, tidak jelas atau tidak sesuai dengan maksud.
4) Memperluas (expanding), yaitu mengungkapkan kembali apa yang disampaikan anak dalam bentuk
kebahasaan yang lebih kompleks.
5) Menamai (labeling), yaitu melakukan identifikasi suatu benda dengan nama yang sesuai.
6) Penguatan (reinforcement), yaitu menanggapi dan memberikan respons positif atas perilaku berbahasa
anak.
7) Pemodelan (modelizing), yaitu pemberian contoh atau model berbahasa yang ditunjukkan orang dewasa
kepada anak.
c. Faktor Intelegensi
Inteligensi adalah kemampuan seseorang dalam berpikir atau bernalar, termasuk memecahkan suatu masalah.
Inteligensi bersifat abstrak dan tak dapat diamati langsung, kecuali melalui perilaku. Dalam kaitannya dengan
pemerolehan bahasa, anak-anak yang bernalar tinggi tingkat pencapaiannya cenderung lebih cepat, lebih kaya,
dan lebih bervariasi khasanah bahasanya, daripada anak yang bernalar sedang atau rendah. Jadi, pengaruh
inteligensi terletak pada jangka waktu dan tingkat kreativitas perkembangan bahasanya.
d. Faktor Motivasi
Dalam belajar bahasa, anak tidak melakukannya demi bahasa itu sendiri. Anak belajar bahasa karena adanya
kebutuhan dasar yang bersifat praktis, seperti lapar, haus, sakit, serta perhatian dan kasih sayang. Inilah yang
disebut dengan motivasi intrinsik, yang berasal dari diri anak itu sendiri.
Pemberian motivasi dari lingkungan sosial sangat berarti bagi anak untuk membuatnya kian bergairah belajar
bahasa. Anak yang dibesarkan dengan motivasi belajar bahasa yang tinggi akan kian memicu proses belajar
bahasa anak. Pemicuan motivasi itu, di antaranya dengan cara merespons dengan bijak pertanyaan dan komentar
anak, memperbaiki tindak berbahasa anak secara halus dan tidak langsung, dan tidak segera menyalahkan bila
anak melakukan suatu kesalahan.
Sejumlah strategi dalam belajar suatu bahasa, di antaranya adalah sebagai berikut:
a. Mengingat
Mengingat memainkan peranan yang cukup penting dalam belajar bahasa atau belajar apa pun. Setiap
pengalaman indrawi yang dilalui anak, dicatat dalam benaknya. Ketika dia menyentuh, menyerap, mencium,
mendengar, dan melihat sesuatu, memori anak merekamnya.
Pada tahap awal belajar bahasa, anak mulai membangun pengetahuan tentang bunyi dan kombinasi bunyi-bunyi
tertentu yang merujuk pada sesuatu yang dia dengar atau alami. Ingatan itu akan semakin kuat apabila
penyebutan akan benda atau peristiwa itu terjadi berulang-ulang. Dengan cara ini anak akan mengingat bunyi,
kombinasi bunyi atau kata, tentang sesuatu sekaligus mengingat pula cara mengungkapkannya. Hanya saja, ketika
diungkapkan bunyinya tidak selalu tepat. Mungkin lafalnya tidak pas, strukturnya terbalik atau hanya suku kata
awal atau akhir yang terucapkan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan otak dan kelengkapan fisik berbahasa anak
masih sedang berkembang. Oleh karena itu, dalam berbahasa anak-anak biasanya dibantu oleh ekspresi muka,
gerak tangan, gerak tubuh, dan konteks.
b. Meniru
Dalam belajar bahasa anak pun menggunakan strategi peniruan. Peniruan di sini bisa berarti mencontoh secara
kreatif atau menginspirasi. Pada dasarnya, peniruan yang dilakukan anak tidak selalu berupa pengulangan yang
persis sama atas apa saja yang didengarnya. Hal ini karena dalam belajar bahasa, seorang anak tidak sekadar
menangkap kata-kata.
Dia juga mencerna dan mengolah prinsip-prinsip organisasi bahasa secara alami. Dengan demikian, peniruan yang
dilakukan anak bersifat dinamis dan kreatif. Karena strategi peniruan itu pula maka orang yang menjadi model
(memberikan contoh dan masukan) berbahasa akan sangat mempengaruhi corak bahasa yang dimiliki anak.
Apabila modelnya baik maka anak pun akan mempelajari versi bahasa yang baik, logis, dan santun. Sebaliknya,
apabila modelnya kurang baik maka versi bahasa yang kurang baik itulah yang akan dipelajari dan digunakan
anak.
c. Mengalami Langsung
Strategi lain yang mempercepat anak menguasai bahasa pertamanya adalah mengalami langsung kegiatan
berbahasa dalam konteks yang nyata. Anak menggunakan bahasanya baik ketika berkomunikasi dengan orang
lain, maupun sewaktu sendirian. Dia menyimak dan berbicara langsung, dan sekaligus memperoleh tanggapan dari
mitra bicaranya. Dari tanggapan yang diperolehnya, secara tidak sadar anak memperoleh masukan tentang
kewajaran dan ketepatan perilaku berbahasanya, dan dalam waktu yang sama juga si anak mendapat masukan
dari tindak berbahasa yang dilakukan mitra berbicaranya.
d. Bermain
Kegiatan bermain sangat penting untuk mendorong pengembangan kemampuan berbahasa anak. Dalam bermain,
si anak kadang berperan sebagai orang dewasa; sebagai penjual atau pembeli dalam bermain dagang-dagangan;
ibu, bapak atau anak dalam bermain rumah-rumahan; sebagai dokter, perawat atau pasien; atau sebagai guru dan
murid dalam bermain sekolah-sekolahan. Tanpa disadari, mereka sedang bermain drama, sekaligus mereka
berlatih berbicara dan menyimak.
e. Penyederhanaan
Di samping perbuatan anak bersifat egosentris (berpusat pada dirinya, perkembangan kemampuan anak yang
bertahap yang membuat tuturan yang digunakannya lebih sederhana dan langsung. Satu atau dua kata mewakili
satu kalimat. Ciri berbahasa anak seperti itu disebut penyederhanaan atau reduksi. Strategi itu tentu saja tidak
disadari si anak. Meskipun sederhana, kita sebagai orang dewasa akan memahaminya karena dibantu oleh konteks
terjadinya perilaku berbahasa anak.
a. Tahap Pralinguistik
Pada tahap ini, bunyi-bunyi bahasa yang dihasilkan akan semakin mendekati bunyi vokal atau konsonan tertentu.
Tetapi, umumnya bunyi-bunyi tersebut belumlah mengacu pada kata atau kalimat dengan makna tertentu. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut tahap pralinguistik.
Fase ini berlangsung sejak anak lahir sampai berumur sekitar 12 bulan.
1) Pada umur 0 - 2 bulan, anak hanya mengeluarkan bunyi-bunyi refleksif untuk menyatakan rasa lapar, haus,
sakit atau ketidaknyamanan, serta bunyi-bunyi vegetatif yang berkaitan dengan aktivitas tubuh, seperti batuk,
bersin, sendawa, telanan (ketika makan), dan tegukan (ketika menyusu atau minum).
2) Pada umur 2 – 5 bulan, anak mulai mendekut dan mengeluarkan bunyibunyi vokal yang bercampur dengan
bunyi-bunyi mirip konsonan. Bunyi itu biasanya muncul sebagai respons terhadap senyum atau ucapan orang
tuanya.
3) Pada umur 4 – 7 bulan, anak mulai mengeluarkan bunyi yang agak utuh dengan rentang waktu yang lebih
lama. Bunyi mirip vokal dan konsonannya lebih bervariasi. Konsonan nasal /m/ dan /n/ sudah mulai muncul. d.
Pada umur 6 – 12 bulan, anak mulai berceloteh. Celotehannya berupa reduplikasi atau pengulangan konsonan dan
vokal yang sama, seperti /ba-ba-ba/, /ma-ma-ma/, dan /da-da-da/. Vokal yang muncul adalah vokal dasar /a/
dengan konsonan hambat labial /p, b/, nasal /m, n, n/, dan alveolar /t, d/. Selanjutnya, celotehan reduplikasi
tersebut berubah lebih bervariasi. Vokalnya sudah mulai menuju vokal /u/ dan /i/. Konsonan frikatif pun, seperti
/s/ sudah mulai muncul.
Fase ini berlangsung ketika anak berusia 12 – 18 bulan. Pada tahap ini, anak menggunakan satu kata yang
bermakna mewakili keseluruhan ide yang disampaikannya. Tegasnya, satu kata yang diucapkan anak mewakili
satu frasa, kalimat atau wacana. Karena itu, fase ini disebut juga tahap holofrasis. Kata-kata yang diucapkan anak
adalah kata-kata yang telah dikenal dan dikuasainya. Kata-kata itu biasanya sering muncul dalam tuturan
keseharian di lingkungan anak. Kata-kata itu umumnya berkaitan dengan kegiatan rutin anak, pemanggilan orang-
orang sekitar, dan benda atau objek yang dekat dengan anak.
c. Tahap Dua-Kata
Fase ini berlangsung sewaktu anak berusia sekitar 18 – 24 bulan. Pada tahap ini kosakata dan gramatika anak
berkembang dengan cepat, seiring dengan kematangan otak dan alat ucapnya. Dalam bertutur anak-anak mulai
menggunakan dua kata: papa ikut, mamah main, mau bobo, dan sebagainya. Hanya kata-kata pokok yang
diucapkan anak, seperti kata benda, kata kerja (dasar), dan/atau kata sifat. Tak ada kata tugas seperti kata depan
atau kata penghubung.
d. Tahap Telegrafis
Antara usia 2 – 3 tahun anak telah menghasilkan ujaran dalam bentuk kalimat-kalimat pendek. Ciri yang paling
mencolok pada fase ini bukanlah pada jumlah kata yang dihasilkan anak, tetapi pada variasi bentuk kata yang
sudah mulai muncul. Namun demikian, pada fase ini, anak belum menggunakan kata tugas dalam bertutur. Oleh
karena itu, perkembangan bahasa anak pada fase ini disebut dengan tahap telegrafis. Seiring dengan
bertambahnya usia dan perkembangan otak dan perangkat biologis lainnya maka kemampuan anak pun (kaidah
bahasa dan kaidah berbahasa) akan semakin meningkat hingga mendekati tuturan orang dewasa.
Suatu bahasa disebut bahasa kedua apabila bahasa tersebut dikuasai anak melalui belajar secara formal. Dalam
memperoleh B2 banyak cara yang dilakukan. Secara umum, tipe perolehan B2 dapat dibedakan menjadi
pemerolehan B2 secara terpimpin, secara alamiah, serta terpimpin dan alamiah (Lihat Subyakto-Nababan, 1992).
Pemerolehan B2 secara terpimpin dilakukan melalui aktivitas pembelajaran, baik di sekolah maupun kursus atau
les. Umumnya, ragam bahasa yang dipelajari bersifat formal atau baku. Sementara itu, pemerolehan B2 secara
alamiah dilakukan secara spontan. Dengan demikian seorang anak bisa memiliki beberapa bahasa pertama dan
juga beberapa bahasa kedua.
Kunci keberhasilan belajar B2 adalah kemauan belajar, keberanian mempraktikkan dalam situasi riel, dan
keintensifan dalam berkomunikasi dengan B2. Memang penting belajar kosakata dan kaidah bahasa dengan
menggunakan berbagai sumber. Tetapi, tak kalah pentingnya adalah faktor individu pembelajar B2, dalam hal ini
keberanian menggunakan bahasa tersebut dalam interaksi dengan penutur asli atau pengguna B2. Tidak malu,
tidak takut salah, dan tidak perlu khawatir ditertawakan kalau unjuk berbahasanya kurang pas. Semakin berani
dalam berbahasa dan semakin intensif dalam berinteraksi, biasanya semakin cepat B2 tersebut dikuasai.
a. Model Akulturasi
Akulturasi adalah proses adaptasi atau penyesuaian dengan kebudayaan baru. Dalam pemerolehan B2, akulturasi
dipandang penting karena bahasa sebagai ungkapan budaya serta berhubungan dengan saling menilai antara
masyarakat B1 dengan B2. Akulturasi ditentukan oleh jarak sosial dan jarak psikologis antara pembelajar (B1)
dengan budaya bahasa sasaran (B2). Jarak sosial adalah pengaruh faktor-faktor pembelajar sebagai anggota
masyarakat yang harus berhubungan dengan masyarakat ’pemilik’ B2. Sementara itu, jarak psikologis adalah
pengaruh faktor afeksi pembelajar sebagai pribadi pembelajar.
5) kesesuaian budaya;
Sementara itu, faktor-faktor penentu jarak psikologis yang sebenarnya lebih bersifat afektif, meliputi kejutan
bahasa, guncangan budaya, motivasi, dan batas-batas keakuan.
b. Teori Akomodasi
Teori akomodasi menyatakan bahwa hubungan masyarakat B1 dengan B2 dalam berinteraksi sangat menentukan
pemerolehan B2. Faktor-faktor berikut akan mempermudah dan mempengaruhi keberhasilan pembelajar dalam
mempelajari B2:
4) Terbuka dan tidak ketat dalam mempersepsikan batas kelompok B1 dengan B2.
5) Pembelajar B1 mengidentifikasi diri sama kuat dan memuaskannya dengan kelompok sosial lainnya.
c. Teori Wacana
Teori wacana menekankan pentingnya pembelajar B2 menemukan makna bahasa melalui keterlibatannya dalam
berkomunikasi. Melalui kesertaannya dalam komunikasi, pembelajar dapat mengembangkan kaidah gramatika dan
penggunaan bahasanya. Teori wacana mempunyai sejumlah prinsip utama berikut:
2) Penutur asli akan menyesuaikan tuturannya untuk mencapai makna yang disepakati bersama penutur
nonasli.
3) Strategi percakapan yang ditempuh untuk mencapai makna yang disepakati dan masukan mempengaruhi
kecepatan dan urutan pemerolehan B2.
Menurut teori wacana interaksi sosial sangat penting karena dapat memberikan data terbaik bagi pembelajar untuk
dapat diolah oleh otak. Melalui data tersebut disusunlah suatu model masukan yang pantas dan terkait.
d. Model Monitor
Monitor adalah proses konstruksi kreatif dalam berbahasa. Model Monitor memiliki lima hipotesis berikut yang
mempengaruhi pemerolehan B2:
1) Hipotesis pemerolehan-pembelajaran
3) Hipotesis monitor
4) Hipotesis masukan
Model ini menyatakan bahwa cara seseorang mempelajari bahasa akan mencerminkan cara orang itu
menggunakan bahasa yang dipelajarinya. Produk penggunaan bahasa terdiri atas berbagai macam produk bahasa
(wacana) dari yang tidak terencana sampai yang terencana. Produk yang tidak direncanakan adalah wujud
penggunaan bahasa yang penyampaiannya bersifat spontan, tanpa persiapan, dan tidak melalui pemikiran yang
matang. Penggunaan bahasa ini terjadi dalam komunikasi rutin seperti tutur-sapa, percakapan.
1) Pembelajar menyimpan pengetahuan tunggal yang berisi kaidah-kaidah bahasa antara (interlangue).
Secara otomatis, penyimpan ini akan aktif apabila dirangsang, didorong, dan dipicu untuk berlatih menerapkan B2.
c) proses kognitif
3) Tampilan B2 merupakan variable yang dihasilkan melalui proses primer dalam wacana yang tidak terencana
atau proses sekunder dalam wacana yang direncanakan.
a) pemerolehan kaidah-kaidah baru dari B2 melalui keterlibatan pembelajar dalam berbagai tipe wacana;
b) pengaktifan kaidah-kaidah B2 yang sudah ada pada dalam bentuk tidak teranalisis dan tidak otomatis atau
teranalisis sehingga dapat digunakan untuk wacana yang tidak direncanakan.
f. Hipotesis Universal
Hipotesis universal menyatakan bahwa anak menemukan kaidah-kaidah bahasa dengan bentuk gramatika
universal, yakni gramatika inti. Contoh gramatika universal, umumnya bahasa memiliki struktur kalimat yang
berpola subjek-predikat. Dalam pembelajaran B2 jika pembelajar menemukan kaidah B2 yang bermarkah,
pembelajar tersebut tergoda untuk kembali ke kaidah B1, terutama apabila B1 itu memiliki kaidah universal yang
sama.
g. Teori Neurofungsional
Teori ini menyatakan adanya hubungan antara bahasa dengan anatomi syaraf. Dua daerah dalam otak, yaitu
belahan otak kanan (daerah Wernickle) dan belahan otak kiri (daerah Brocka), menentukan pemerolehan B2.
Belahan otak kanan berkaitan dengan proses menyeluruh dan berfungsi untuk merekam dan memproses ujaran
yang berpola. Sementara belahan otak kiri berkaitan dengan penggunaan bahasa secara kreatif yang meliputi
pemrosesan secara sintaktik dan semantik, serta pengendali aktivitas berbicara dan menulis. Dalam kaitannya
dengan pemerolehan B2, fokus teori ini berkenaan dengan perbedaan usia (pada usia kritis otak berada pada
kesiapan sempurna untuk belajar bahasa), fosilisasi (aspek bahasa yang telah terkuasai bertahun-tahun hingga
usia dewasa menjadi unsur kompetensi yang otomatis dan memfosil atau menetap secara permanen), ujaran
terpola, dan pola latihan di kelas dalam mempelajari B2.
Pemerolehan B2 dapat diterangkan menurut fungsi syaraf dengan memperhatikan dua hal. Pertama, fungsi syaraf
yang mana yang digunakan untuk berkomunikasi. Kedua, tingkatan mana dalam system syaraf tersebut yang
dilibatkan.
MODUL 3
MODUL 3
Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran Bahasa
Kegiatan Belajar 1
Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran Bahasa
A. METODE
Pada umumnya metode diartikan sebagai ‘cara mengajar’. Sebenarnya pengertian yang tepat untuk cara mengajar
adalah teknik mengajar, sendangan metode pada hakikatnya adalah suatu prosedur untuk mencapai sesuatu
tujuan yang telah ditetapkan, yang meliputi hal-hal berikuit.
a. Pemilihan Bahan
b. Urutan Bahan
c. Penyajian Bahan
d. Pengulangan Bahan
Tentang pemilihan bahan atau materi pelajaran dapat digunakan prinsip alamiah atau random. Prinsip alamiah
dalam pemilihan bahan adalah sesuai dengan apa yang diperlukan, seperti halnya kalau kita mempelajari bahasa
sendiri. Pemilihan bahan secara random, yaitu pemilihan bahasa yang dirasa penting (oleh guru) dan sesuai pula
dengan situasi yang dihadapi.
Baik secara alamiah atau ranbom, pemilihan bahan itu didasarkan kriteria berikut ini.
a. Bagian-bagian yang paling sering digunakan
b. Paling berguna
c. Paling muda mengerjakannya
d. Gabungan ketiganya.
Kelancaran berbahasa merupakan suatu malasah pengulangan. Ada dua cara untuk mengulangi bahasa, dengan
cara dihafalkan dikepala, atau dengan cara substitusi (penggantian). Suatu contoh substitusi adalah urutan
kegiatan, yaitu berupa lakukan dan kataan.
Dalam pembelajaran bahasa menurut Mackey (dalam Parera, 1987:19) terdapat lima belas macam metode, seperti
berikut ini.
a. Direct Method
b. Natural Method
c. Psychological Method
d. Phonetic Method
e. Reading Method
f. Granmnar Language Method
g. Translation Method
h. Grammar Translation Method
i. Eclectic Method
j. The Unit Method
k. Language Control Method
l. Mim-Mem Method
m. Practice-theory Method
n. The Dual Language
o. Cognate Method
a. Direct Method
Direct method atau metode langsung ialah metode pengajaran bahasa yang didalam pelaksanaannya guru
langsung menggunakan bahasa sasaran yaitu bahasa yang diajarkan. Dari pihak siswa tidak boleh menggunakan
bahasa ibu atau bahasa pertamanya sebelum pembelajaran berlangsung.
Penggunaan Metode Langsung dalam pengajar bahasa menuntut agar semua aspek bahasa yang diberikan
disajikan dalam bahasa Indonesia pula, tetapi apabila mengajar bahasa inggris maka pelajaran disajikan dalam
bahasa inggris. Hal ini, yaitu pembelajaran bahasa Indonesia di SD, dengan menggunakan Metode Langsung tidak
begitu menyulitkan guru karena di jenjang pendidikan TK pada umumnya siswa sudah biasa menggunakan bahasa
Indonesia. Tujuan Metode Langsung di SD ialah penggunaan bahasa secara sasaran dalam hal ini bahasa
Indonesia, yang merupakan bahasa ke dua secara lisan agar siswa mampu berkomunikasi dalam bahasa ke dua
tersebut.
Adapun fungsi Metode langsung ini bisa dibedakan menjadi dua, yaitu bagi siswa dan bagi guru. Bagi siswa
berfungsi memudahkan siswa untuk mampu berbahasa (lisan) dengan tepat, memberikan situasi yang
menyenangkan, dan mendorong siswa untuk belajar bahasa, sendangan bagi guru metode ini memudahkan guru
untuk mengajar berbahasa tanpa menggunakan bahasa pengantar bahasa lain selain bahasa sasaran.
b. Natural Method
Natural Method yang disebut Metode Murni atau Metode Alamiah adalah metode yang dalam pelaksanaannya
penggunaan peraga yang berupa benda-benda, gambar-gambar, atau peragaan secara langsung dalam aktivitas
sehari-hari. Metode Murni atau Metode Alamiah ini mempunyai ciri-ciri, seperti berikut ini.
1) Kosakata baru dijelaskan dengan cara menggunakan kata-kata yang sudah diketahui siswa sebelumnya.
2) Makna sesuatu kata yang di ajarkan dengan cara inferensi/menarik kesimpulan dari beberapa contoh yang
diberikan.
3) Kamus digunakan untuk mengingatkan kata-kata yang dilupakan atau mencari makna kata-kata baru.
4) Tata bahasa dipergunakan untuk membetulkan kesalahan.
5) Penyajian pelajaran mengikuti urutan: Mendengarkan (menyimak), Berbicara, Membaca, dan menulis,
kemudian diajarkan tata bahasa.
c. Reading Method
Reading Method atau Metode Membaca dipakai di Amerika Serikat pada tahun 1929-an baik di sekolah menengah
maupun di perguruan tinggi. Tujuannya ialah antara lain, untuk memberikan pelajar/mahasiswa kemampuan
dalam memahami teks ilmiah yang mereka perlukan dalam study mereka.
Metode ini dapat juga diterapkan untuk pembelajran bahasa Indonesia di SD dengan jalan dimodifikasi disesuaikan
dengan kebutuhan dan tingkat kemampuan siswa. Metode ini cocok diterapkan di SD kelas Tinggi.
d. Eclectic Method
Lahirnya metode ini dilatarbelakangi oleh kenyataan bahwa tidak ada satupun metodepengajaran bahasa yang
paling baik karena setiap metode yang ada, di sam[ing ada keuntungan/keunggulan/kebaikan, juga ada
kerugian/kelemahan/kejelasannya. Itulah sebabnya maka guru bebas memilih metode yang mana paling cocok
dengan situasi kelas yang akan diajarkan. Guru dapat mengurangi/menutup kekurangan satu metode dengan jalan
memasukan metode yang lain.
Eclectic artinya ‘memilih secara bebas’. Dalam hubungannya dengan metode pengajaran bahasa, bebas di sini
adalah bebas untuk menambah atau mengombinasi/mencapur antar metode yang satu dengan lainya yang
dianggap cocok, dan diperkirakan dapat mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Itulah sebabnya
Eclectic Method diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Indonesia Metode Campuran.
B. TEKNIK
Sebenarnya baik pendekatan maupun metode masih bersifat teoretis karena masih ada alat lain yang digunakan
langsung oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Alat itu adalah teknik yang mengandung makna cara-
cara dan alat-alat yang digunakan guru dalam kelas. Dengan demikian, teknik adalah upaya guru, usaha-usaha
guru, atau cara-cara yang digunakan guru untuk mencapai tujuan langsung dalam pelaksanaan pembelajaran di
dalam kelas pada saat itu. Jadi, teknik ini bersifat implementasional.
Karena kata teknik mengandung makna ‘cara-cara, dan metode juga mengandung makna ‘penyajian bahan’ maka
kedua istilah ini adakalanya dipakai dalam arti yang sama. Hal ini dapat kita pada komponen satuan pelajaran yang
berbunyi Metode Teknik.
Adapun macam-macam teknik pembelajaran bahasa (yang dapat juga kita jumpai pembelajaran mata pelajaran
lain), seperti berikut ini (Saliwangi, 1989:56-63).
a. Teknik ceramah
Sampai sekarang teknik ini masih banyak digunakan guru dalam proses belajar-mengajar. Hal ini disebabkan oleh
anggapan bahwa mengajar itu adalah menerapakan dengan berbicara/berceramah. Itulah sebabnya mengapa
salah satu fungsi guru di dalam kelas adalah sebagai informatory, yaotu pemberi informasi pada siswa-siswanya.
Teknik ceramaj ini dapat digunakan untuk melatih keterampilan mendengarjan (menyimak). Siswa dilatih untuk
membuat intisari dari ceramah yang didengarnya, kemudian mencerikatan kembali dengan bahasa sendiri. Dapat
juga Teknik Ceramah ini dirangkaikan dengan teknik yang lain, misalnya Teknik Tanya-Jawab, jika memang telah
direncanakan setelah ceramah selesai siswa diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang
berhubungan dengan ceramah yang baru didengarnya.
b. Teknik Tanya-jawab
Pada umumnya Teknik Tanya-jawab ini mengikuti Teknik Ceramah yang telah kita lakukan. Tujuanmnya ialah
untuk mengecek pemahaman siswa terhadap ceramah yang bari diberikan atau bisa juga pertanyaan yang
diajukan guru untuk mengecek pemahaman siswa terhadap isi bacaan yang telah mereka baca. Jika Teknik Tanya-
jawab ini tika laksanakan pada waktu membuka pelajaran, secara tidak langsung kita sudah melaksanakan pretes,
yaitu untuk menjajaki sampai dimana penguasaan siswa terhadap bahan yang akan kita diberikan.
c. Teknik Diskusi Kelompok
Tujuan digunakan tekni ini adalah melatih siswa untuk mengeluarkan pendapat dan mau menerima kritikan kalau
pendapatnya memang kurang benar. Juga melalui diskusi kelompok ini siswa dapat menguji kebenaran
pendapatnya sesuatu hal.
d. Teknik Pemberian Tugas
Teknin Pemberian Tugas ini disebut juga Resitas yang dapat diberikan kapada siswa secara individu atau kelompok.
Dengan teknik ini diharapkan siswa lebih mendalami materi pelajaran yang diberikan guru. Biasanya pemberian
tugas ini diikuti oleh tugas melaporkan hasil kerja siswa yang disebut resitasi.
e. Teknik Ramu Pendapat (brainstorming)
Teknik ini merupakan perpaduan dari Teknik Tanya-jawab dan Teknik Diskusi. Teknik ini bisa diterapkan dalam
pembelajaran sastra misalnya. Siswa kita ajak mendiskusi karya sastra, coba anda sebutkan! Baik, bisa puisi,
cerpen, atau novel. Jika yang dibahas adalah cerpen maka yang mereka diskusikan, misalnya tentang temannya,
plotnya, perwatakannya, para tokohnya, danb sebagainya. Secara bergiliran siswa kita beri kesempatan
mengemukakan pendapatnya terhadap pertanyaan-pertanyaan yang kita ajukan.
f. Simulasi
Simulasi artinya tiruan (imitasi). Teknik Simulasi ini tepat sekali untuk melatih keterampilan berbicara. Dalam
pelaksanaannya guru terlebih dahulu menetapkan peran-peran yang akan dilakukan oleh guru siswa dalam
permainan simulasi, misalnya ada yang berperan (berpura-pura) sebagai kepala desa, sebagai ketua RW, sebagai
ketua RT, sebagai warga RT yang sedang bersengketa soal air, dan sebagainya.
Guru memberikan pengarahan tentang apa yang akan diperankan oleh masing-masing siswa yang telah ditunjuk.
Oleh karena itu siswa harus memerankan seseorang tokoh tertentu dalanm permainan tersebut maka Teknik
Bermain Peran.
SK : mampu menulis beberapa kalimat yang dibuat sendiri dengan huruf lepas danhuruf sambung, menulis kalimat
yang didikte guru, dan menulis rapi menggunakanhuruf sambung KELAS 2a. MendengarkanSK : mampu
mendengarkan dan memahami ragam wacana lisan melaluimendengarkan pembacaan teks pendek, dan
menyimak pesan pendek sertamendengarkan dongengb. BerbicaraSK: mampu mengungkapkan pikiran,
pendapat, gagasan dan perasaan secara lisanmelalui kemampuan bertanya/menyapa, menceritakan kegiatan
sehari hari,melakukan percakapan, menceritakan pengalaman, melaporkan dan mendeskripsikansesuatu serta
mendeklamasikan pantun, menceritakan kembali cerita dan bermainperanc. MembacaSK : mampu membaca
dan meamahami teks pendek dengan cara membaca lancer(bersuara) beberapa kalimat sederhana dan membaca
puisid. MenulisSK : mampu menulis beberapa kalimat yang dibuat sendiri dengan huruf sambung,menulis kalimat
yang didikte guru, dan menulis melengkapi cerita, menulis rapimenggunakan huruf sambung, dan
menuliskan pengalaman tentang kesukaan danketidaksukaan.Dalam praktiknya, keempat keterampilan tersebut
dilaksanakan secara terpadu.C. PERPADUAN ANTARASPEK DALAM PEMBELAJARANDalam pembelajaran mata
pelajaran bahasa dan sastra indonesia menurutkurikulim 2004, baik aspek kemampuan berbahasa maupun
aspek kemampuan bersastradikemas dalam keempat keterampilan berbahasa
KEGIATAN BELAJAR 1
Menulis adalah suatu prosses berpikir dan menuangkan pemikiran dalam bentuk wacana (karangan). Tahapan
Proses menulis adalah sebagai berikut : diagram alum menulis Obeservasi-observasi yang telah dilakukan
terhadap penulis menunjukkan bahwa proses menulis tidak bersifat lenear dan sederhana. Dalam proses menulis,
seseorang memulai dengan membuat perencanaan, kemudian menulis dan merevisinya kemudian menulis lagi
merevisi lagi dan menulis lagi. Tahapan ini diulang-ulang sampai diperoleh tulisan akhir. A. Menulis Kebahasaan
Dalam menuliskan kata serta kalimat, perlu memperhatikan dan mentaati konvensi dalam penggunaan huruf,
tanda baca, serta konvensi tata tulis lainnya.
Pemakaian Kata
Contoh :
Penulisan Kalimat
Penggunaan kalimat efektif dimaksudkan agar tulisan-tulisan tersebut dapat dibaca dengan mudah. Kalimat-
kalimat efektif mutlak digunakan untuk karangan- karangan yang bersifat ekspositoris dan argumentatif. Namun,
tidak dapat dijadikan pegangan untuk tulisan-tulisan naratif dan puitis. a. Unsur subjek dan predikat Dalam sebuah
kalimat yang efektif terdapat unsur subjek dan predikat. b. Kehematan Selain hubungan subjek dan predikat dalam
kalimat harus jelas, pemakaian unsur bahasa dalam tulisann ekspositoris dan argumentatif tidak perlu berlebihan.
Kalimat yang efektif harus memenuhi syarat kehematan dalam pemakaian kata. Contoh kalimat tidak efektif:
Target yang ditetapkan terlalu tinggi sekali. Kalimat efektifnya adalah Target yang ditetapkan terlalu tinggi. c.
Kesejajaran Syarat lain yang harus dipenuhi dalam sebuah kalimat efektif adalah kesejajaran bentuk. Perhatikan
kedua kalimat di bawah ini:
Materi pelajaran dikembangkannya dengan baik dan menyajikannya dengan penuh kepercayaan diri.
Materi pelajaran dikembangkannya dengan baik dan disajikannya dengan penuh kepercayaan diri.
Kalimat pertama di atas tidak memiliki kesejajaran bentuk sehingga kalimat tersebut bukanlah kalimat yang
efektif, sedangkan kalimat kedua memenuhi syarat kesejajaran sehingga dapat disebut kalimat efektif. d.
Kevariasian Dalam menulis karangan- karangan perlu memperhatikan aspek kevariasian pemakaian kata dan
struktur kalimat. e. Penekanan Penekanan kalimat biasanya diwujudkan dengan cara meletakkan bagianyang
mendapat penekanan pada awal kalimat.
Penggunaan Ejaan
a. Pemenggalan kata
Jika di tengah kata terdapat dua vokal berurutan maka pemenggalannya di antara kedua vokal tersebut. Contoh:
maaf jika dipenggal menjadi ma-af. Saat jika penggal menjadi sa-at. Buah jika dipenggal menjadi bu-ah.
Namun huruf-huruf yang menandai diftong seperti au, ai, dan oi tidak boleh dipisah penulisannya. Contoh: sungai,
harimau, dan amboi.
Jika ditengah kata terdapat vokal dan konsonan maka pemengalan kata dapat dilakukan sebelum konsonan.
Contoh: Media jika dipenggal menjadi me-di-a. peraga jika dipenggal menjadi pe-ra-ga.
Jika ditengah kata terdapat dua konsonan, pemenggalan dilakukan di antara konsonan tersebut. Contoh: ahli jika
dipenggal menjadi ah-li. Teknik jika dipenggal menjadi tek-nik.
Jika di tengah kata terdapat tiga konsonan atau lebih maka pemenggalan suku katanya di antara konsonan
pertama dan kedua. Contoh: instrumen jika dipenggal menjadi in-stru-men. Konstruktif jika dipenggal menjadi
kon-struk-tif.
Imbuhan berupa awalan dan akhiran diperlakukan sebagai satu suku kata bila dipenggal. Contoh: Makanan bila
dipenggal menjadi ma-kan-an. Permainan bila dipenggal menjadi per-ma-in-an.
Namun apabila pembubuhan awalan menyebabkan asalisasi dan konsonan maka huruf yang terletak pada awal
kata dasar akan luluh. Contoh: sayang menjadi menyayangi jika dipenggal menjadi me-nya-yang-i. pukul menjadi
memukul jika dipenggal menjadi me-mu-kul. b. Penulisan kata depan Untuk membedakan kata depan di dengan
imbuhan di-yaitu kata depan di selalu diikuti oleh kata atau frase benda saja. Contoh: di sekolah, di rumah, di
ladang. Sedangkan imbuhan di- tidak demikian. Contoh: dimakan, dibuang, ditendang. c. Pemakaian tanda baca
Tulisan fiksi adalah hasil tulisan kreatif dan imajinatif. Seandainya terdapat fakta yang disajikan dalam tulisan fiksi,
itu hanya hasil imajinasi penulisnya. Proses penulisan fiksi yang dilakukan setiap pengarang berbeda-beda. Hal
yang sama yang dilakukan oleh penulis fiksi adalah membuat catatan-catatan mengenai peristiwa-peristiwa dan
kesan-kesan imajenatif yang muncul dalam kepalanya. Jadi penulisa sebuah fiksi dimulai dengan sebuah sinopsis
cerita.
Pemilihan Topik
Langkah pertama dalam sebuah karangan adalah memilih topik karangan.
Kriteria pemilihan pertama, topik hendaknya menarik hati bagi penulis sendiri agar pekerjaan menulis tidak
membosankan.
Kriteria pemilihan kedua topik hendaknya aktual, sedang hangat dibicarakan.
Kriteria pemilihan ketiga topik hendaknya tersedia atau dapat dijangkau artinya data atau informasi yang
berhubungan dengan topik dapat diperoleh dalam batas waktu dan sumber dana yang tersedia.
Kriteria pemilihan keempat topik hendaknya sesuai cakupan ruang lingkupnya dengan waktu dan sumber dana
yang tersedia.
Perumusan Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam menulis yaitu berusaha mempengaruhi sikap pembaca atau agar pembaca
melakukan tindakan srsuai dengan topik.
Dengan mendaftarkan seluruh subtopik dari topik yang telah dipilih, kemudian memilah-milah, mengelompokan
dan menyusunnya menjadi suatu struktur kerangka.
Langsung menentukan subtopik dan langsung mengurutkannya, kemudian setiap subtopiok diperinci lagi sesuai
keperluan.
Setelah sebuah kerangka karangan terwujud perlu mengumpulkan bahan-bahan berupa teori, data, atau informasi
lainnya. Setelah terkumpul langkah selanjutnya adalah mengembangkan kerangka karangan menjadi karangan
utuh.
MODUL 6
MEDIA PEMBELAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
SEKOLAH DASAR
KEGIATAN BELAJAR 1 Hakikat Media Pembelajaran
A. Pengertian Media Pembelajaran
Media pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia pada dasarnya adalah segala sesuatu yang dipergunakan dalam
pembelajaran bahasa dan sastra yang mempermudah pencapaian tujuan pembelajaran tersebut.
B. Media Pembelajaran dan Teori Belajar Bahasa
Ada dua teori yang dapat dihubungkan dengan media pembelajaran , yakni teori akomodasi dan hipotesis saringan
afektif.
1. Teori Akomodasi Ellis dan Media Pembelajaran
Dalam pembelajaran bahasa, motivasi merupakan penentu utama kemahiran berbahasa kedua (Ellis, 1986:255).
Teori ini memberikan penjelasan bahwa motivasi yang tinggi pada diri pembelajar akan menghasilkan kemahiran
berbahasa yang lebih dibandingkan dengan motivasi yang rendah.
2. Hipotesis Saringan Afektif Krashen dan Media Pembelajaran
Menurut Krashen (1985:3), saringan afektif yang dimiliki pembelajar bahasa akan menentukan seberapa banyak
pembelajar bias berhubungan dengan input bahasa dan bagaimana pembelajar dapat mengubah input menjadi
intake.
C. Menghadirkan Media dalam Pembelajaran
Ada enam tahap yang dilakukan agar media yang dihadirkan menjadi efektif, antara lain:
1. Menganalisis cirri-ciri pembelajar atau siswa. Guru harus mengetahui bagaimana karakteristik peserta
didiknya.
2. Merumuskan tujuan. Tujuan dirumuskan dari Kompetensi Dasar yang ada di kurikulum.
3. Memilih, mengubah dan merancang bahan.
4. Menggunakan bahan.
5. Mengukuhkan respon siswa.
6. Mengevaluasi media.
Menurut DeVito, mengemukakan ciri-ciri dari manusia antarbudaya, seperti berikut:1. Keterbukaan2.
Empati3. Sikap mendukung4. Sikap positif5. Kesetiaan6. Percaya diri7. Kedekatan (immediacy)8. Manajemen
Interaksi9. Reorientasi pada pihak lain10. Daya ekspresiWarga negara Indonesia memiliki karakteristik
sebagai manusia antarbudaya yangdemokratis, dan terbuka. Selain itu agar dapat hidup aman dan damai
dalam suatu masyarakatyang majemuk dan beragam harus memiliki sifat simpati dan empati sehingga dalam
pergaulansehari-hari dapat memberikan perlakuan dan komunikasi yang tidak harus sama akan tetapi
tetapmemperhatikan perbedaan latar belakang sosial dan budaya seseorang. Manusia antar budayaadalah manusia
yang mampu hidup dalam kemajemukan dan perbedaan. Dan inilah karakteristikwarga negara yang kita
perlukan untuk mengatasi permasalahan yang berkaitan dengankesalahpahaman antarbudaya.Untuk
menciptakan masyarakat yang damai, kreatif dan terbuka harus diwujudkanpemerintahan yang bersih
dan berwibawa, masyarakat yang mandiri dan kreatif dan masyarakatswasta bertanggung jawab dan gerubka yang
disebut good governance.KEGIATAN BELAJAR 2Pembelajaran Materi Komunikasi Antarsosial Budaya
Konsep multikulturalisme menunjuk kepada masyarakat yang beraneka ragam, yangterdiri dari
berbagai golongan seperti etnis, agama, bahasa, adat istiadat dan budaya. Sistembudaya yang tepat bagi
masyarakat sepeti ini adalah pendidikan multikultural, yaitu sistempendidikan yang memberi kesempatan
pada semua orang atau golongan. Dalam masyarakat multikultural tidak ada golongan, budaya, etnis, dan
sebagainya yangkedudukanya lebih tinggi dari golongan, budaya atau etnis lainya, ada kesamaan
derajat.Kesederajatan ini dicerminkan dalam sistem pendidikan. Apabila sistem pendidikan kita, sudahberorientasi
pada keberagaman budaya atau golongan akan direduksi. Kurikulum nasional hanya menetapkan
kompetensi dasar yang harus dicapai oleh siswa,cara dan metode pembelajaranya ditentukan oleh guru. Sekolah
mempunyai kebebasan yangseluas-luasnya untuk mengembangkan kurikulum sendiri, yang lebih dikenal
KTSP. Inikesempatan bagi sekolah untuk mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan
masyarakatmultikultural. Pendidikan multikultural dirancang untuk menanggulangi permasalahan yang
berkaitandengan kesalahpahaman anatarbudaya dan konflik ssosial budaya yang disebabkan
olehkeberagaman budaya dalam masyarakat kita, termasuk didalamnya adalah keberadaan etnik, adatistiadat dan
agama. Dengan demikian, perlu diambil langkah-langkah untuk mengantisipasi danmengatasi permasalahan yang
berkaitan dengan konflik dan benturan antarbudaya.
Pendidikan multikultural berupaya memberikan pengetahuan dan wawasan sertapengalaman
tentang komunikasi antarsosial budaya melalui mata pelajaran PKn di sekolah. Jadimateri ini bukan merupakan
mata pelajaran baru, tetapi merupakan bagian dari PKn. Oleh karenaitu, guru harus pandai-pandai memilih pokok
bahasan atau subpokok bahasan yang sesuai. Dalam proses pembelajaran guru harus secara
kreatif memberikan berbagai variasimetode dan pendekatan, salah satunya adalah pendekatan
multikulturalisme, yang memberikanperhatian terhadap keberagaman, kemajemukan sosial budaya dan
kesederajatan masyarakat kita.Selain itu, studi kasus cerita daerah dan cerita para pahlawan akan melatih siswa
berpikir kritikdan evaluatif, serta memberikan pengalaman dalam kaitanya dengan komunikasi
antarsosialbudaya
. MODUL 10 Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Fokus Menyimak Kegiatan Belajar 1 Pembelajaran Bahasa
Indonesia di SD A. Hakikat Pembelajaran Kimble (dalam Hergenhahn, 1982) mengemukakan bahwa perubahan
tingkah laku siswa setelah melaksanakan pembelajaran adalah tingkah laku yang relatif permanen, tingkah laku
yang diakibatkan oleh adaya penguatan (reinforcement) praktis. Beberapa detail hakikat pembelajaran tersebut
dikemukakan sebagai berikut: 1. Pembelajaran menyebabkan tingkah laku 2. Perubahan tingkah laku tersebut
relatif permanen 3. Perubahan tingkah laku tidak dapat berubah menjadi pengalaman 4. Perubahan tingkah laku
disebabkan pengalaman/latihan praktis 5. Pengalaman/latihan harus selalu ditajamkan, terutama pada tanggapan
yang memerlukan adanya reward. Pembelajaran dapat membuat seseorang memiliki pengalaman dan tingkah laku
sesuai dengan pengalaman yang diterimanya. Oleh sebab itu, dalam pembelajaran Bahasa Indonesia (BI) sebagai
B2 bagi siswa SD perlu diberikan kesempatan kepada siswa untuk berlatih menggunakan bahasa agar apa yang
dilakukan itu dapat mengubah tingkah laku dalam berbahasa Indonesia.
2. B. Pembelajaran Bahasa Pembelajaran adalah sebuah aktivitas yang sistemik, sistematis dan terencana.
Dikatakan sistemik karena di dalamnya terdapat seprangkat subsistem yang saling berkaitan dan berinterkasi
secara fungsional untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan. Dikatakan sistemik karena dalam
pelaksanaannya terdapat tatanan dan tahapan yang bersifat procedural dan berhubungan secara kronologis-
kausatif. Selanjutnya, dikatakan terencana karena dalam pembelajaran terlihat jelas dan tegas adanya dasar,
arah/tujuan. Dan sasaran yang ingin dicapai. Untuk melaksanakan pembelajaran perlu perencanaan yang
dipersiapkan dan evaluasi sebagai tindak lanjut untuk mengetahui berhasil tidaknya pembelajaran tersebut. Untuk
mewujudkan ketiga karakteristik pembelajaran bahasa, terdapat beberapa permasalahan yang harus diantisipasi
dan didudukkan secara proporsional. Permasalahan tersebut berkaitan dengan hal-hal berikut: 1.Tujuan
pembelajaran 2. Materi pembelajaran 3. Strategi pembelajaran 4. Evaluasi 5. pengajar (guru) 6. Siswa
3. • C. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD • Bahasa Indonesia bagi sebagian besar masyarakat Indonesian
diperoleh dengan dua cara, yaitu pemerolehan secara formal dan nonformal. Menurut kurikulum berbasis
kompetensi (KBK), mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan untuk mengembangkan kemampuan siswa
berkomunikasi baik lisan maupun tulis sebagai alat untuk mempelajari rumpun pelajaran lain, berpikir kritis dalam
berbagai aspek kehidupan, serta mengembangkan sikap menghargai Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional
dan apresiatif terhadap karya sastra Indonesia (Mulyasa, 2003:89). • Untuk kelas I dan II (kelas rendah),
pembelajaran Bahasa Indonesia menekankan pada aspek peningkatan kemampuan membaca dan menulis
permulaan, sedangkan untuk III-VI (kelas tinggi) menekankan pada peningkatan kemampuan berkomunikasi lisan
dan tulis. Pelaksanaan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan kurikulum. •
Standar Kompetensi mata pelajaran Bahasa Indonesia bersumber pada hakikat pembelajaran bahasa, yaitu belajar
bahasa adalah berkomunikasi dan belajar sastra belajar menghargai manusia dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh
karena itu, pembelajaran BI mengupayakan peningkatan kemampuan siswa untuk berkomunikasi secara lisan dan
tulis serta menghargai karya cipta bangsa Indonesia, ruang lingkup standar kompetensi mata pelajaran Bahasa
Indonesia SD terdiri atas aspek mendengarkan (menyimak lisan), berbicara, membaca, dan menulis.
4. D. Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Fokus Menyimak 1. Teori Menyimak • Menyimak merupakan
kegiatan yang paling banyak dilakukan manusia. Kegiatan menyimak yang dalam kurikulum 2004 disebut dengan
istilah mendengarkan tidak bisa dilepaskan dengan kegiatan berbicara karena sebagai suatu jalinan komunikasi.
Antara menyimak, berbicara, membaca, dan menulis memiliki hubungan dalam jalinan keterampilan berbahasa. a.
Hakikat menyimak Mendengar, mendengarkan, menyimak merupakan kegiatan aktif reseptif, sedang berbiacara
kegiatan aktif produktif yang melibatkan unsure kejiwaan dan metakognitif seseorang. Jika dilihat dari segi tingkat
pemaknaan, mendengarkan lebih tinggi daripada mendengar, dan menyimak lebih tinggi daripada mendengarkan.
b. Jenis-jenis menyimak 1. Menyimak ekstensif, yaitu menyimak bahan-bahan alamiah dan otentik, seperti
mendengarkan radio, televise, percakapan orang lain dan sebagainya. Meliputi menyimak sosial, menyimak
sekunder, menyimak estetika, menyimak pasif 2. Menyimak intensif Yaitu menyimak yang dilakukan dengan
sengaja, terencana, dan sungguh-sungguh yang diarahkan untuk memahami hal-hal yang diinginkan, jenis
menyimak ini lebih banyak digunakan para pelajar dan mahasiswa. c. Unsur-unsur menyimak Kegiatan menyimak
merupakan kegiatan yang cukup kompleks kareba sangat bergantung kepada berbagai unsur dasar dan unsur
tambahan yang mendukung. Yang dimaksud dengan unsur dasar adalah unsur pokok yang menyebabkan
timbulnya komunikasi dalam menyimak. Setiap unsur merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dengan
unsur yang lain. Unsur-unsur dasar menyimak adalah pembicara, penyimak, bahan simakan, bahasa lisan yang
digunakan. d. Teknik menyimak efektif Syarat-syarat menyimak efektif, antara lain: menyimak dengan
konsentrasi, menelaah materi simakan, menyimak dengan kritis dan membuat catatn (UT, 1985:35).
5. 2. Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Fokus Menyimak Aspek keterampilan berbahasa (kompetensi dasar)
yang menjadi fokus harus mendapatkan penekanan dalam pembelajaran. Misalnya, kita memilih menyimak
sebagai fokus pembelajaran materi yang di sampaikan dengan teknik-teknik menyimak, yaitu kegiatan dimulai
dengan kegiatan siswa menyimak dan hasil menyimak menjadi tujuan mencapai hasil belajar. Tujuan pembelajaran
menyimak di SD adalah untuk mendapatkan fakta, menganalisis fakta, mengevaluasi fakta, mendapatkan inspirasi,
mendapatkan hiburan, dan memperbaiki kemampuan bicara.
6. Kegiatan Belajar 2 Model Pembelajaran Bahasa Indonesia Dengan Fokus Menyimak A. Materi atau bahan yang
sesuai untuk kegiatan menyimak Di dalam kurikulum 2004, yakni kurikulum berbasis kompetensi (KBK), bahwa
standar kompetensi “mendengarkan” (menyimak lisan) terdiri atas mendengarkan beita, pengumuman,perintah,
bunyi atau suara,penjelasan,laporan, dialog atau percakapan. Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan fokus
menyimak adalah pembelajaran bahasa yang menekankan aspek menyimak sebagai pusat kegiatan aktivitas
belajar siswa. Materi atau bahan pelajaran menyimak dapat diambil dari berbagai sumber. Dalam menyusun bahan
ajar yang perlu diperhatikan adalah siswa, pendekatan, tema (khusus untuk kelas rendah), media, lingkungan,
kompetensi dasar kebahasaan, sarana. Teknik pembelajaran menyimak yang dapat digunakan untuk pembelajaran
bahasa Indonesia di SD adalah teknik simak-ulang ucap, Simak-tulis, simak-terka, simak-cerita, simak-jawab,
simak-baca, simak-rangkum, simak-lengkapi, simak-kerjakan, simak-lakukan, simak- bisik berantai, simak-
sanggah, dan simak-temukan benda/objek.
Modul 11
Pembelajaran Bahasa Indonesia dengan Fokus Berbicara
Kegiatan Belajar 1
Pembelajaran Bahasa Indonesia di SD
Kimble (dalam Hergenhahn 1982) mengemukakan bahwa perubahan tingkah laku siswa setelah melaksanakan
pembelajaran adalah kingkah laku yang relative permanen, tingkah laku yang diakibatkan oleh adanya penguatan
(reinforcement) praktis, B.F Skinner menyatakan bahwa perubahan tingkah laku adalam pembelajaran dan tidak
melalui proses yang dapat disimpulkan, sedangkan para ahli yang lain menyatakan bahwa perubahan tingkah laku
merupakan akibat proses pembelajaran. Kecuali Skinner, para ahli berpendapat bahwa pembelajaran merupakan
mediator perubahan tingkah laku.
Pembelajaran pada dasarnya merupakan sebuah aktivitas yang sistemik, sistematis, dan terencana. Untuk
mewujudkan ketiga karateristik pelajaran nahasa, terdapat beberapa masalah yang harus diantisipasi dan
didudukkan secara proprsional. Permasalahan tersebut berkaitan dengan (1) tujuan pembelajaran, (2) materi
pembelajaran, (3) strategi pembelajaran, (4) evaluasi, (5) pengajar (guru), dan (6) siswa.
Menurut kurikulum 2004, yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mata pelajaran Bahasa Indonesia bertujuan
untuk mengembangkan kemampuan siswa berkomunikasi baik lisan maupun tulis, sebagai alat untuk mempelajari
rumpun pelajaran lain, berpikir kritis dalam berbagai aspek kehidupan, serta mengembangkan sikap menghargai
bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan apresiatif karya sastra Indonesia (Mulyasa, 2003:89). Agar anda
dapat melaksanakan pembelajaran berbicara di SD, terlebih dahulu anda pelajari tentang hal-hal berikut ini:
1. Teori Berbicara
2. Komponen Berbicara
3. Hakikat Berbicara
4. Jenis-jenis Berbicara
Berbicara di depan umum memerlukan teknik tertentu. Penguasaan teknik yang digunakan untuk menyajikan
pikiran dan gagasan secara oral merupakan persyarakat yang harus dipenuhi oleh calon pembicara. Sebagai salah
satu metode penyampaian lisan yang ditunjukkan kepada pendengar (khalayak). Ada beberapa persyarakatn untuk
melatih kemampuan berbicara adalah sebagai berikut
1. Memiliki Keberanian dan Tekad yang Kuat
2. Memiliki Pengetahuan yang Luas
3. Memahami Proses Kominikasi Massa
4. Menguasai bahasa yang Baik dan Lancar
5. Pelatihan yang Memadai
Kegiatan Belajar 2
Model Pembelajaran BI dengan Fokus Berbicara
Dalam proses pembelajaran, Coles (1995) menyatakan bahwa berbahasa lisan merupakan inti dari setiap
kurikulum pengajaran. Pada kenyataannya sebagian besar kegiatan belajar dan mengajar dilakukan melalui media
kominukasi lisan (Pollard dan Tann, 1993). Model pembelajaran BI dengan focus berbicara di sekolah yang satu
dengan yang lainnya tentulah amat berguna. Ada hal-hal yang perlu anda perhatikan dalam pembelajaran
berbicara antaralain (1) suasana belajar di sekolah (dikelas) dan (2) kegiatan berbicara.
Beberapa metode pembelajaran berbicara yang dapat diterapkan (Tarigan dalam Idra 2002: 56) adalah:
1. Metode Ulang Ucap
2. Metode Lihat Ucap
3. Metode Memerikan
4. Metode Menjawab Pertanyaan
5. Metode Bertanya
6. Metode Bertanya Menggali
7. Metode Melanjutkan Cerita
8. Metode Menceritakan Kembali
9. Metode Bercakap-cakap
10. Mereka Cerita Gambar
11. Bercerita
12. Memberi Petunjuk
13. Metode Melaporkan
14. Metode Wawancara
15. Metode Diskusi
16. Metode Bertelepon
17. Metode Dramatisasi
Tujuan pembeajaran sastra atau hasil belajar sastra yang akan dicapai kelas 2 SD adalah berikut ini.
1. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran mendengarkan adalah menjelaskan isi dongeng
yang telah didengar dan mengajukan pertannyaan.
2. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran berbicara adalah:
a. Mendeklamasikan pantun dengan penghayatan yang sesuai dan ekspresi yang sesuai.
b. Memerankan percakapan sesuai isi dan ekspresi yang tepat
c. Mnceritakan kembali cerita yang didengarkan dengan menggunakan kata-kata sendiri.
d. Memerankan tokoh yang berkaitan dengan kehidupan sehari hari dengan menggunkan dialog sederhana.
e. Memeran kan ekspresi emosional tertentu (marah, senang, sedih, haru, dll).
3. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran membaca adalah membaca puisi dengan
penghayatan dan ekspresi yang sesuai.
E. TUJAN PEMBELAJARAN SASTRA DIKELAS TINGGI
Tujuan pembeajaran sastra atau hasil belajar sastra yang akan dicapai kelas 3 SD adalah berikut ini.
a. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran mendengarkan adalah:
1) Menanggapi tokoh-tokoh dalam cerita dari mendengarkan pembacaan cerita
2) Menjelaskan isi teks drama yang dibacakan duru atau teman, kemudian memrankan tokohnya.
b. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran berbicara adalah:
1) Memerankan tokoh dalam teks cerita sesuai dengan sifatnya dengan menggunakan kalimat sederhana.
2) Memerankan tokoh sesuai dengan pekerjaan atau profesinya sesuai dengan sifatnya dengan menggunakan
kalimat sederhan.
c. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran membaca adalah:
1) Membacakan dongeng dengan penghayatan dan ekspresi yang sesuai
2) Membacakan puisi dengan penghayatan dan menjelaskan isinya.
Tujuan pembeajaran sastra atau hasil belajar sastra yang akan dicapai kelas 4 SD adalah berikut ini.
a. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran mendengarkan adalah menyimpulkan isi pantun.
b. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran berbicara adalah
1) Menceritakan kembali isi dongeng dari hasil kegiatan membaca atau mendengarkan dengan bahasa
yang runtut
2) Memerankan berbagai karakter tokoh dengan penghayatan.
c. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran membaca adalah:
1) Menjelaskan latar dongeng, tokoh, dan penokohan
2) Membacakan pantun secara berpasangan dengan lafal dan intonasi yang sesuai.
d. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran menulis adalah:
1) Menulis cerita rekaan berdasarkan pengalaman dengan bahasa yang runtut dengan menggunakan EYD
yang tepat
2) Melanjutkan pantun yang sesuai denan isinya.
Tujuan pembeajaran sastra atau hasil belajar sastra yang akan dicapai kelas 5 SD adalah berikut ini.
a. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran mendengarkan adalah:
1) Menanggapi isi cerita rakyat dari berbagai segi:
2) Menanggapi cerita pendek dalam berbagai segi:
b. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran berbicara adalah memerankan drama pendek
dengan ekspresi yang sesuai.
c. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran membaca adalah membacakan puisi dengan lafal,
intonasi, dan ekspresi yang tepat.
d. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran menulis adalah:
1) Menulis pengalaman pribadi dalam bentuk prosa sederhana
2) Menuangkan gagasan dalam bentuk puisi
Tujuan pembeajaran sastra atau hasil belajar sastra yang akan dicapai kelas 6 SD adalah berikut ini.
a. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran mendengarkan adalah memahami isi cerita dari
berbagai segi dan menceritakan kembali dengan bahasa sendiri.
b. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran berbicara adalah berain peran drama anak dengan
lafal, intonasi, dan ekspresi yang sesuai.
c. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran membaca adalah
1) Membaca novel anak, menjelaskan isi dengan lafal, dan menyimpulkan amanatnya
2) Memahami cerita rakyat, menentukan tokoh dan penokohan
3) Membaca cerita lama yang masih populer dengan gaya membaca yang menarik.
d. Pembelajaran sastra yang terpadu dengan pembelajaran menulis adalah:
1) Membuat parafrase puisi dengan tetap mempertahankan makna puisi
2) Menyusun percakapan berdasarkan ilustrasi gambar.