Anda di halaman 1dari 15

PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 29

MANUSIA DAN AGAMA


(Konsep Manusia dan Agama dalam Al-quran)

NURMADIAH
(Dosen Fakultas Agama Islam UIT)
Madiah712@gmail.com

ABSTRAK:

Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan dan


menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati
manusia menjadi jernih, halus dan suci. Dalam Al Qur’an, ada beberapa konsep
berkenaan dengan manusia. Dari ayat-ayat yang berkenaan dengan manusia, Al-
Qur’an menyebut manusia dalam beberapa nama:
a. Konsep al-Basyr.Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar mencakup
anak turun Adam secara keseluruhan.Kata basyar disebutkan sebanyak 36 kali
dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk mutsanna. b. Konsep Al-
Insan kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan
minta izin.Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan
substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. c. Konsep Al-Naas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi manusia
sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24).Tentunya sebagai makhluk sosial
manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat. Manusia harus hidup
sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri.Karena manusia tidak bisa hidup sendiri.
d. Konsep Bani Adam digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal
keturunannya.e. Konsep Al-Ins, Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan
sebanyak 18 kali, masing-masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi
dalam Jalaluddin (2003: 28) memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan
al-Nufur.f. Konsep Abdu Allah (Hamba Allah)
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki potensi
berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki Allah

Kata Kunci: Konsep, Manusia, Al-Qur’an , Agama

PENDAHULUAN
Manusia, Agama dan Islam merupakan masalah yang sangat penting,
karena ketiganya mempunyai pengaruh besar dalam pembinaan generasi yang
akan datang, yang tetap beriman kepada Allah dan tetap berpegang pada nila-nilai
spiritual yang sesuai dengan agama- agama samawi (agama yang datang dari
langit atau agama wahyu). Agama merupakan sarana yang menjamin kelapangan
dada dalam individu dan menumbuhkan ketenangan hati pemeluknya.
Agama akan memelihara manusia dari penyimpangan, kesalahan dan
menjauhkannya dari tingkah laku yang negatif. Bahkan agama akan membuat hati
manusia menjadi jernih, halus dan suci. Disamping itu, agama juga merupakan
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 30

benteng pertahanan bagi generasi muda muslim dalam menghadapi berbagai


aliran sesat. Agama juga mempunyai peranan penting dalam pembinaan akidah
dan akhlak dan juga merupakan jalan untuk membina pribadi dan masyarakat
yang individu-individunya terikat oleh rasa persaudaraan, cinta kasih dan tolong
menolong.
Islam dengan berbagai ketentuannya dapat menjamin bagi orang yang
melaksanakan hukum-hukumnya akan mencapai tujuan yang tinggi.
Dari permasalahan yang penyusun angkat, dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Konsep Manusia di dalam Al-Qur'an?
2. Bagaimana Hubungan Manusia dengan Agama?

PEMBAHASAN
A. Konsep dan Pengertian Manusia dalam Al Quran
Manusia merupakan mahluk hidup yang paling sulit dimengerti meskipun
oleh dirinya sendiri. Manusia adalah mahluk yang tidak bisa ditebak, namun
rasional. Manusia juga memiliki fisik yang baik seperti halnya mahluk hidup
lainnya. Manusia juga memiliki akal sehingga dia dapat menciptakan hal-hal yang
luar biasa meskipun secara fisik dia tidak mampu melakukannya. Manusia
melakukan hal-hal hebat dengan bantuan mesin-mesin yang dibuatnya. Dengan
begitu, manusia bukanlah hewan, tapi mirip dengan hewan karena punya akal dan
perasaan. Sehingga manusia tidak memiliki konsep definisi yang jelas akan
dirinya.
Dalam Al Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Dari
ayat-ayat yang berkenaan dengan manusia, Al-Qur’an menyebut manusia dalam
beberapa nama, berikut adalah penjelasannya :
a. Konsep al-Basyr
Penelitian terhadap kata manusia yang disebut al-Qur’an dengan
menggunakan kata basyar menyebutkan, bahwa yang dimaksud manusia
basyar adalah anak turunan Adam, makhluk fisik yang suka makan dan
berjalan ke pasar. Aspek fisik itulah yang membuat pengertian basyar
mencakup anak turun Adam secara keseluruhan.Kata basyar disebutkan
sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan hanya sekali dalam bentuk
mutsanna.
Berdasarkan konsep basyr, manusia tidak jauh berbeda dengan makhluk
biologis lainnya. Dengan demikian kehidupan manusia terikat kepada kaidah
prinsip kehidupan biologis seperti berkembang biak. Sebagaimana halnya dengan
makhluk biologis lain, seperti binatang. Mengenai proses dan fase perkembangan
manusia sebagai makhluk biologis, ditegaskan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an,
yaitu:
1. Prenatal (sebelum lahir), proses penciptaan manusia berawal dari
pembuahan (pembuahan sel dengan sperma) di dalam rahim,
pembentukan fisik (QS. Al Mu’minuun: 12-14)
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 31

Dan sesungguhnya Kami telah ١٢ ‫ﯿﻦ‬ ٖ ِ‫ﺳ َٰﻠﻠَﺔٖ ِّﻣﻦ ط‬ُ ‫ٱﻹﻧ َٰﺴﻦَ ﻣِ ﻦ‬ ِ ۡ ‫ وَ ﻟَﻘَ ۡﺪ َﺧﻠَﻘۡ ﻨَﺎ‬12
menciptakan manusia dari suatu saripati
(berasal) dari tanah.
Kemudian Kami jadikan saripati itu air ١٣ ‫ِﯿﻦ‬ ٖ ‫ ﺛ ُ ﱠﻢ َﺟﻌَﻠۡ َٰﻨﮫُ ﻧُﻄۡ ﻔَﺔٗ ﻓِﻲ ﻗَﺮَ ٖار ﱠﻣﻜ‬13
mani (yang disimpan) dalam tempat
yang kokoh (rahim).
Kemudian air mani itu Kami jadikan ‫ﻋﻠَﻘَﺔٗ ﻓَ َﺨﻠَﻘۡ ﻨَﺎ ٱﻟۡ ﻌَﻠَﻘَﺔَ ﻣُﻀۡ ﻐَ ٗﺔ‬ َ َ‫ ﺛ ُ ﱠﻢ َﺧﻠَﻘۡ ﻨَﺎ ٱﻟﻨﱡﻄۡ ﻔَﺔ‬14
segumpal darah, lalu segumpal darah
‫ﻓَ َﺨﻠَﻘۡ ﻨَﺎ ٱﻟۡ ﻤُﻀۡ ﻐَﺔَ ِﻋ َٰﻈﻤٗ ﺎ ﻓَ َﻜﺴ َۡﻮﻧَﺎ ٱﻟۡ ِﻌ َٰﻈ َﻢ ﻟ َۡﺤﻤٗ ﺎ ﺛ ُ ﱠﻢ‬
itu Kami jadikan segumpal daging, dan
segumpal daging itu Kami jadikan َ‫ﺸ ۡﺄ َٰﻧﮫُ ﺧَﻠۡ ﻘًﺎ ءَاﺧَﺮَۚ ﻓَﺘَﺒَﺎرَ كَ ٱ ﱠ ُ أ َۡﺣﺴَﻦُ ٱﻟۡ َٰﺨ ِﻠﻘِﯿﻦ‬ َ ‫أَﻧ‬
tulang belulang, lalu tulang belulang itu
١٤
Kami bungkus dengan daging.
Kemudian Kami jadikan dia makhluk
yang (berbentuk) lain. Maka Maha Suci
lah Allah, Pencipta Yang Paling Baik.
2. Post natal (sesudah lahir) proses perkembangan dari bayi, remaja, dewasa dan
usia lanjut sebagaimana dalam surat Al Mu’min: 67:
   
    
   
  
  
    
   
  
 
Terjemahnya: Dia-lah yang menciptakan kamu dari tanah kemudian dari
setetes, air mani, sesudah itu dari segumpal darah, kemudian dilahirkannya kamu
sebagai seorang anak, kemudian (kamu dibiarkan hidup) supaya kamu sampai
kepada masa (dewasa), kemudian (dibiarkan kamu hidup lagi) sampai tua, di
antara kamu ada yang diwafatkan sebelum itu. (Kami perbuat demikian) supaya
kamu sampai kepada ajal yang ditentukan dan supaya kamu memahami (nya).

Secara sederhana, Quraish Shihab menyatakan bahwa manusia dinamai


basyar karena kulitnya yang tampak jelas dan berbeda dengan kulit-kulit binatang
yang lain. Dengan kata lain, kata basyar senantiasa mengacu pada manusia dari
aspek lahiriahnya, mempunyai bentuk tubuh yang sama, makan dan minum dari
bahan yang sama yang ada di dunia ini. Dan oleh pertambahan usianya, kondisi
fisiknya akan menurun, menjadi tua, dan akhirnya ajalpun menjemputnya.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia dalam konsep al-Basyr
ini dapat berubah fisik, yaitu semakin tua fisiknya akan semakin lemah dan
akhirnya meninggal dunia. Dan dalam konsep al-Basyr ini juga dapat tergambar
tentang bagaimana seharusnya peran manusia sebagai makhluk biologis.
Bagaimana dia berupaya untuk memenuhi kebutuhannya secara benar sesuai
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 32

tuntunan Penciptanya.Yakni dalam memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan


tersier.
b. Konsep Al-Insan
Kata insan bila dilihat asal kata al-nas, berarti melihat, mengetahui, dan
minta izin.Atas dasar ini, kata tersebut mengandung petunjuk adanya kaitan
substansial antara manusia dengan kemampuan penalarannya. Manusia dapat
mengambil pelajaran dari hal-hal yang dilihatnya, dapat mengetahui apa yang
benar dan apa yang salah, serta dapat meminta izin ketika akan menggunakan
sesuatu yang bukan miliknya. Berdasarkan pengertian ini, tampak bahwa
manusia mampunyai potensi untuk dididik.
Potensi manusia menurut konsep al-Insan diarahkan pada upaya
mendorong manusia untuk berkreasi dan berinovasi. Jelas sekali bahwa dari
kreativitasnya, manusia dapat menghasilkan sejumlah kegiatan berupa
pemikiran (ilmu pengetahuan), kesenian, ataupun benda-benda ciptaan.
Kemudian melalui kemampuan berinovasi, manusia mampu merekayasa
temuan-temuan baru dalam berbagai bidang. Dengan demikian manusia dapat
menjadikan dirinya makhluk yang berbudaya dan berperadaban.
c. Konsep Al-Naas
Dalam konsep an-naas pada umumnya dihubungkan dengan fungsi
manusia sebagai makhluk sosial (Jalaluddin, 2003: 24).Tentunya sebagai
makhluk sosial manusia harus mengutamakan keharmonisan bermasyarakat.
Manusia harus hidup sosial artinya tidak boleh sendiri-sendiri.Karena manusia
tidak bisa hidup sendiri.
Jika kita kembali ke asal mula terjadinya manusia yang bermula dari
pasangan laki-laki dan wanita (Adam dan Hawa), dan berkembang menjadi
masyarakat dengan kata lain adanya pengakuan terhadap spesis di dunia ini,
menunjukkan bahwa manusia harus hidup bersaudara dan tidak boleh saling
menjatuhkan. Secara sederhana, inilah sebenarnya fungsi manusia dalam
konsep an-naas.
d. Konsep Bani Adam
Adapun kata bani adam dan zurriyat Adam, yang berarti anak Adam atau
keturunan Adam, digunakan untuk menyatakan manusia bila dilihat dari asal
keturunannya. Dalam Al-Qur’an istilah bani adam disebutkan sebanyak 7 kali
dalam 7 ayat. Penggunaan kata bani Adam menunjuk pada arti manusia secara
umum. Dalam hal ini setidaknya ada tiga aspek yang dikaji, yaitu: Pertama,
anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah, di antaranya adalah
dengan berpakaian guna manutup auratnya. Kedua, mengingatkan pada
keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu setan yang mengajak
kepada keingkaran.Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam semesta
dalam rangka ibadah dan mentauhidkanNya. Kesemuanya itu adalah
merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah dalam rangka memuliakan
keturunan Adam dibanding makhluk-Nya yang lain. Lebih lanjut Jalaluddin
mengatakan konsep Bani Adam dalam bentuk menyeluruh adalah mengacu
kepada penghormatan kepada nilai-nilai kemanusian.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia dalam konsep Bani
Adam, adalah sebuah usaha pemersatu (persatuan dan kesatuan) tidak ada
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 33

perbedaan sesamanya, yang juga mengacu pada nilai penghormatan


menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusian serta mengedepankan HAM. Karena
yang membedakan hanyalah ketaqwaannya kepada Pencipta.Sebagaimana
yang diutarakan dalam QS. Al-Hujarat: 13):
  
  
 
 
  
  
    
 
Terjemahnya:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki
dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan
bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
e. Konsep Al-Ins
Kata al-Ins dalam Al-Qur’an disebutkan sebanyak 18 kali, masing-
masing dalam 17 ayat dan 9 surat. Muhammad Al-Baqi dalam Jalaluddin
(2003: 28) memaparkan al-Isn adalah homonim dari al-Jins dan al-Nufur.
Lebih lanjut Quraish Shihab mengatakan bahwa dalam kaitannya dengan jin,
maka manusia adalah makhluk yang kasab mata. Sedangkan jin adalah
makhluk halus yang tidak tampak.
Sisi kemanusiaan pada manusia yang disebut dalam al-Qur’an dengan
kata al-Ins dalam arti “tidak liar” atau “tidak biadab”, merupakan kesimpulan
yang jelas bahwa manusia yang insia itu merupakan kebalikan dari jin yang
menurut dalil aslinya bersifat metafisik yang identik dengan liar atau bebas.
Dari pendapat di atas dapat dikatakan bahwa dalam konsep al-ins
manusia selalu di posisikan sebagai lawan dari kata jin yang bebas. bersifat
halus dan tidak biadab. Jin adalah makhluk bukan manusia yang hidup di alam
“antah berantah” dan alam yang tak terinderakan.Sedangkan manusia jelas dan
dapat menyesuaikan diri dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada.
f. Konsep Abdu Allah (Hamba Allah)
M. Quraish Shihab dalam Jalaluddin, seluruh makhluk yang memiliki
potensi berperasaan dan berkehendak adalah Abd Allah dalam arti dimiliki
Allah.Selain itu kata Abd juga bermakna ibadah, sebagai pernyataan
kerendahan diri.
Menurut M. Quraish memandang ibadah sebagai pengabdian kepada
Allah baru dapat terwujud bila seseorang dapat memenuhi tiga hal, yaitu:
1. Menyadari bahwa yang dimiliki termasuk dirinya adalah milik Allah dan
berada di bawah kekuasaan Allah.
2. Menjadikan segala bentuk sikap dan aktivitas selalu mengarah pada usaha
untuk memenuhi perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya.
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 34

3. Dalam mngambil keputusan selalu mengaitkan dengan restu dan izin Allah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konsep Abd Allah,
manusia merupakan hamba yang seyogyanya merendahkan diri kepada
Allah.Yaitu dengan menta’ati segala aturan-aturan Allah.
Sehingga dalam berbagai konsep tersebut manusia merupakan mahluk hidup
yang perlu diberikan suatu tempat sendiri karena dia merupakan mahluk hidup
yang istimewa karena selain memiliki fisik, manusia memiliki akal, bersosialisasi,
dan teratur. Manusia merupakan mahluk ciptaan Allah yang paling sempurna
karena selain memiliki unsur fisik manusia memiliki akal yang membedakan
dengan mahluk hidup lain.

B. Fitrah Manusia
Dalam setiap diri manusia selalu ada pertanyaan yang selalu muncul dalam
dirinya yaitu “dari mana saya datang?”, “apa yang terjadi ketika saya sudah
mati?”. Pertanyaan-pertanyaan ini yang mengakibatkan manusia selalu mencari
jawabannya. Mencari jawaban dan selalu ingin tahu merupakan fitrah manusia
yaitu hal yang sudah ada dan berdasar di dalam hidup manusia. Para ahli teologi
Islam mengatakan bahwa fitrah adalah satu hal yang dibekalkan Allah kepada
setiap manusia. Karenanya, ciri-ciri sesuatu yang bersifat fitri adalah tidak
dipelajari, ada pada semua manusia, tidak terkurung oleh batas-batas teritorial dan
masa, dan tidak akan pernah hilang. Hal-hal dasar yang mengakibatkan manusia
sering mencari disebabkan karena menurut Al-Qur’an manusia terdiri atas:
1. Ruh dan Jiwa (Al-Ruh dan Al-Nafs)
Banyak ulama yang menyamakan pengertian antara ruh dan jasad. Ruh
berasal dari alam arwah dan memerintah dan menggunakan jasad sebagai
alatnya. Sedangkan jasad berasal dari alam ciptaan, yang dijadikan dari unsur
materi. Tetapi para ahli sufi membedakan ruh dan jiwa. Ruh berasal dari tabiat
Ilahi dan cenderung kembali ke asal semula. Ia selalu dinisbahkan kepada
Allah dan tetap berada dalam keadaan suci. Karena ruh bersifat kerohanian dan
selalu suci, maka setelah ditiup Allah dan berada dalam jasad, ia tetap suci.
Ruh di dalam diri manusia berfungsi sebagai sumber moral yang baik dan
mulia. Jika ruh merupakan sumber akhlak yang mulia dan terpuji, maka lain
halnya dengan jiwa. Jiwa adalah sumber akhlak tercela, al-Farabi, Ibn Sina dan
al-Ghazali membagi jiwa pada: jiwa nabati (tumbuh-tumbuhan), jiwa hewani
(binatang) dan jiwa insani.
Jiwa nabati adalah kesempurnaan awal bagi benda alami yang organis
dari segi makan, tumbuh dan melahirkan. Adapun jiwa hewani, disamping
memiliki daya makan untuk tumbuh dan melahirkan, juga memiliki daya untuk
mengetahui hal-hal yang kecil dan daya merasa, sedangkan jiwa insani
mempunyai kelebihan dari segi daya berfikir (al-nafs-al-nathiqah).
Daya jiwa yang berfikir (al-nafs-al-nathiqah atau al-nafs-al-insaniyah).
Inilah, menurut para filsuf dan sufi, yang merupakan hakekat atau pribadi
manusia. Sehingga dengan hakekat, ia dapat mengetahui hal-hal yang umum
dan yang khusus, Dzatnya dan Penciptaannya. Karena pada diri manusia tidak
hanya memiliki jiwa insane (berpikir), tetapi juga jiwa nabati dan hewani,
maka jiwa (nafs) manusia mejadi pusat tempat tertumpuknya sifat-sifat yang
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 35

tercela pada manusia. Itulah sebabnya jiwa manusia mempunyai sifat yang
beraneka sesuai dengan keadaannya. Apabila jiwa menyerah dan patuh pada
kemauan syahwat dan memperturutkan ajakan syaithan, yang memang pada
jiwa itu sendiri ada sifat kebinatangan, maka ia disebut jiwa yang menyuruh
berbuat jahat. Firman Allah,
    
  
   
    
 
Terjemahnya: "Sesungguhnya jiwa yang demikian itu selalu menyuruh
berbuat jahat." (QS. 12: 53)

Apabila jiwa selalu dapat menentang dan melawan sifat-sifat tercela, maka ia
disebut jiwa pencela, sebab ia selalu mencela manusia yang melakukan keburukan
dan yang teledor dan lalai berbakti kepada Allah. Hal ini ditegaskan oleh-Nya:
  
 
Terjemahnya:
"Dan Aku bersumpah dengan jiwa yang selalu mencela." (QS. 75:2).
Tetapi apabila jiwa dapat terhindar dari semua sifat-sifat yang tercela, maka
ia berubah jadi jiwa yang tenang (al-nafs al-muthmainnah). Dalam hal ini Allah
menegaskan,
 
 
  
  
   
  
Terjemahnya: "Hai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan
rasa puas lagi diridhoi, dan masuklah kepada hamba-hamba-Ku, dan masuklah
ke dalam Surga-Ku." (QS. 89:27-30)

Jadi, jiwa mempunyai tiga buah sifat, yaitu jiwa yang telah menjadi tumpukan
sifat-sifat yang tercela, jiwa yang telah melakukan perlawanan pada sifat-sifat
tercela, dan jiwa yang telah mencapai tingkat kesucian, ketenangan dan
ketentraman, yaitu jiwa muthmainnah. Dan jiwa muthmainnah inilah yang telah
dijamin Allah langsung masuk surga. Jiwa muthmainnah adalah jiwa yang selalu
berhubungan dengan ruh. Ruh bersifat Ketuhanan sebagai sumber moral mulia
dan terpuji, dan ia hanya mempunyai satu sifat, yaitu suci. Sedangkan jiwa
mempunyai beberapa sifat yang ambivalen. Allah sampaikan,
   
 
 
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 36

Terjemahnya: "Demi jiwa serta kesempurnaannya, Allah mengilhamkan jiwa


pada keburukan dan ketaqwaan." (QS.91:7-8).

terjemahnya, dalam jiwa terdapat potensi buruk dan baik, karena itu jiwa
terletak pada perjuangan baik dan buruk.
2. Akal
Akal yang dalam bahasa Yunani disebut nous atau logos atau intelek
(intellect) dalam bahasa Inggris adalah daya berpikir yang terdapat dalam otak,
sedangkan "hati" adalah daya jiwa (nafs nathiqah). Daya jiwa berpikir yang ada
pada otak di kepala disebut akal. Sedangkan yang ada pada hati (jantung)
didada disebut rasa (dzauq). Karena itu ada dua sumber pengetahuan, yaitu
pengetahuan akal (ma'rifat aqliyah) dan pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah).
Kalau para filsuf mengunggulkan pengetahuan akal, para sufi lebih
mengunggulkan pengetahuan hati (rasa).
Menurut para filsuf Islam, akal yang telah mencapai tingkatan tertinggi
akal perolehan (akal mustafad) ia dapat mengetahui kebahagiaan dan berusaha
memperolehnya. Akal yang demikian akan menjadikan jiwanya kekal dalam
kebahagiaan (Jannah). Namun, jika akal yang telah mengenal kebahagiaan itu
berpaling, berarti ia tidak berusaha memperolehnya. Jiwa yang demikian akan
kekal dalam kesengsaraan (neraka). Adapun akal yang tidak sempurna dan
tidak mengenal kebahagiaan, maka menurut al-Farabi, jiwa yang demikian
akan hancur. Sedangkan menurut para filsuf tidak hancur. Karena
kesempurnaan manusia menurut para filsuf terletak pada kesempurnaan
pengetahuan akal dalam mengetahui dan memperoleh kebahagiaan yang
tertinggi, yaitu ketika akan sampai ketingkat akal perolehan.
3. Hati (Al-Qalb)
Hati atau sukma terjemahan dari kata bahasa Arab qalb. Sebenarnya
terjemahan yang tepat dari qalb adalah jantung, bukan hati atau sukma. Tetapi,
dalam pembahasan ini kita memakai kata hati sebagaimana yang sudah biasa.
Hati adalah segumpal daging yang berbentuk bulat panjang dan terletak didada
sebelah kiri. Hati dalam pengertian ini bukanlah objek kajian kita di sini,
karena hal itu termasuk bidang kedokteran yang cakupannya bisa lebih luas,
misalnya hati binatang, bahkan bangkainya.
Adapun yang dimaksud hati di sini adalah hati dalam arti yang halus,
hati-nurani daya pikir jiwa (daya nafs nathiqah) yang ada pada hati, di rongga
dada. Dan daya berfikir itulah yang disebut dengan rasa (dzauq), yang
memperoleh sumber pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Dalam kaitan ini
Allah berfirman,
"Mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakan memahaminya." (QS. 7:1-
79).
Dari uraian di atas, dapat kita ambil kesimpulan sementara, bahwa menurut
para filsuf dan sufi Islam, hakekat manusia itu jiwa yang berfikir (nafs insaniyah),
tetapi mereka berbeda pendapat pada cara mencapai kesempurnaan manusia. Bagi
para filsuf, kesempurnaan manusia diperoleh melalui pengetahuan akal (ma'rifat
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 37

aqliyah), sedangkan para sufi melalui pengetahuan hati (ma'rifat qalbiyah). Akal
dan hati sama-sama merupakan daya berpikir.
Menurut sufi, hati yang bersifat nurani itulah sebagai wadah atau sumber
ma'rifat suatu alat untuk mengetahui hal-hal yang Ilahi. Hal ini hanya
dimungkinkan jika hati telah bersih dari pencemaran hawa nafsu dengan
menempuh fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta menggantikan moral yang
tercela dengan moral yang terpuji, lewat hidup zuhud yang penuh taqwa, wara'
serta dzikir yang kontinyu, ilmu ladunni (ilmu Allah) yang memancarkan sinarnya
dalam hati, sehingga ia dapat menjadi Sumber atau wadah ma'rifat, dan akan
mencapai pengenalan Allah Dengan demikian, poros jalan sufi ialah moralitas.
Latihan-latihan ruhaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji adalah sebagai
kesehatan hati dan hal ini yang lebih berarti ketimbang kesehatan jasmani sebab
penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan di dunia
ini saja, sementara penyakit hati nurani akan membuat hilangnya kehidupan yang
abadi. Hati nurani ini tidak terlepas dari penyakit, yang kalau dibiarkan justru
akan membuatnya berkembang banyak dan akan berubah menjadi hati dhulmani
hati yang kotor.
Kesempurnaan hakikat manusia (nafs insaniyah) ditentukan oleh hasil
perjuangan antara hati nurani dan hati dhulmani. Inilah yang dimaksud dengan
firman Allah yang artinya,
 
   
  
Terjemahnya: “Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan
dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang mensucikan
jiwanya, dan rugilah orang yang mengotorinya." (QS. 91:8-9).

Hati nurani bagaikan cermin, sementara pengetahuan adalah pantulan gambar


realitas yang terdapat di dalamnya. Jika cermin hati nurani tidak bening, hawa
nafsunya yang tumbuh. Sementara ketaatan kepada Allah serta keterpalingan dari
tuntutan hawa nafsu itulah yang justru membuat hati-nurani bersih dan cemerlang
serta mendapatkan limpahan cahaya dari Allah Swt. Bagi para sufi, kata al-
Ghazali, Allah melimpahkan cahaya pada dada seseorang, tidaklah karena
mempelajarinya, mengkajinya, ataupun menulis buku, tetapi dengan bersikap
asketis terhadap dunia, menghindarkan diri dari hal-hal yang berkaitan
dengannya, membebaskan hati nurani dari berbagai pesonanya, dan menerima
Allah segenap hati. Dan barangsiapa memiliki Allah niscaya Allah adalah
miliknya. Setiap hikmah muncul dari hati nurani, dengan keteguhan beribadat,
tanpa belajar, tetapi lewat pancaran cahaya dari ilham Ilahi. Hati atau sukma
dhulmani selalu mempunyai keterkaitan dengan nafs atau jiwa nabati dan hewani.
Itulah sebabnya ia selalu menggoda manusia untuk mengikuti hawa nafsunya.
Kesempurnaan manusia (nafs nathiqah), tergantung pada kemampuan hati-nurani
dalam pengendalian dan pengontrolan hati dhulmani.
Karenanya manusia memerlukan Agama sebagai jawaban atas
ketidaktahuannya dan keingintahuannya atas dirinya sendiri dan tujuan hidupnya.
Agama dalam hal ini Agama Islam diharapkan manusia berhasil memenuhi
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 38

kebutuhannya dan menaati Agama Islam, sesuai dengan firman Allah Surat Ar-
Rum:
  
    
    
    
  
   

Terjemahnya:“Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah,
tetaplah atas fitrah Allah yang telah menciptakan manusia sesuai dngan fitrah
itu”. (QS.Al-Rum: 30).

C. Tujuan Penciptaan Manusia


Ajaran Islam memperkenalkan manusia dengan menjelaskan fungsinya
di dunia ini. Manusia diciptakan di dunia ini adalah:
1. Untuk menyembah kepada-Nya berdasarkan Firman Allah Q.S. Adz
Dzaariyaat: 56:
  
   
Terjemahnya: “dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku.”
Menyembah Allah SWT. Berarti memusatkan penyembahan kepada semata-
mata, tidak ada yang disembah dan mengabdikan diri kecuali kepada-Nya saja.
2. Khalifah Allah di bumi. Manusia adalah makhluk yang bertugas mengurus
bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban memakmurkannya sebagai
amanah dari Allah SWT. Berdasarkan firman Allah SWT pada Q.S. Al an’am
165:
  
  
  
  
    
  
  
Terjemahnya:“dan Dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di
bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain)
beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya
kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu Amat cepat siksaan-Nya dan
Sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

D. Hubungan Manusia dengan Agama


Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sistem yang
mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 39

Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan
manusia serta lingkungannya.
Kata "agama" berasal dari bahasa Sanskerta, āgama yang berarti
"tradisi". Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare yang
berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi, seseorang mengikat
dirinya kepada Tuhan.
Menurut agama Islam, manusia diciptakan di bumi untuk
beribadah kepada Allah. Selain itu, manusia diciptakan di bumi sebagai
khalifah atau pemimpin di bumi. Dengan perannya tersebut, manusia
diharapkan untuk:
1. Sadar sebagai mahluk individu yaitu mahluk hidup yang berfungsi sebagai
mahluk yang paling utama di antara mahluk-mahluk lain. Sebagai mahluk
utama di muka bumi, manusia diingatkan perannya sebagai khaifah dibumi dan
mahluk yang diberi derajat lebih daripada mahluk lain yang ada di bumi.
Sesuai dengan firman Allah:
   
  
 
 
 
   
 
Terjemanya: “Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak Adam dan
Kami angkat mereka itu melalui daratan dan lautan serta Kami beri mereka
rezeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka atas kebanyakan mahluk
yang kami ciptakan (Q.S. Al-Isra: 70)
2. Sadar bahwa manusia adalah mahluk sosial. Sebagai mahluk sosial, manusia
harus mengadakan interelasi dan interaksi dengan sesamanya. Itulah sebabnya
Islam mengajarkan perasamaan
  
   
  
  
  
 
 
   
  
   
  
  
Terjemahnya: “Berpeganglah kamu semuanya dalam tali Allah dan janganlah
kamu berpecah belah…” (Q.S. Ali Imran: 103)
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 40

  


  
   
 
Terjemahnya: “Sesungguhnya semua orang mukmin adalah bersaudara.”(Q.S.
Al Hujarat: 10)

3. Sadar manusia adalah hamba Allah SWT. Manusia sebagai mahluk yang
berketuhanan, memiliki sikap dan watak religius yang perlu dikembangkan.
Manusia harus selalu beribadah keapada Allah karena merupakan tugasnya
untuk beribadah kepada Allah sesauai dengan firman Allah:
    
     
   
   

Terjemahnya:“(Yang memiliki sifat-sifat) demikian itu adalah Tuhanmu, tidak
ada Tuhan selain Dia, pencipta segala sesuatu maka sembahlah Dia, dan Dia
adalah pemelihara segala sesuatu, Dia tidak dapat dijangkau oleh daya
penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan, dan
Dialah Yang Maha Mengetahui.”(Q.S. Al An’aam: 102
Untuk menjalankan tujuan-tujuan tersebut, dalam hal ini Agama Islam,
mengajarkan 3 hal yang merupakan dasar dari agama yaitu:
1. Aqidah
Beberapa ulama Islam juga menafsirkan tentang aqidah. Hasan al-
Banna dalam Majmu’ ar-Rasaail menafsirkan bahwa:
“Aqaid (bentuk jamak dari aqidah) adalah beberapa perkara yang wajib
diyakini dalam hati, mendatangkan ketentraman jiwa dan tidak tercampur
sedikitpun dengan keragu-raguan.”
Abu Bakar Al-jazairi dalam kitab Aqidah Al-Mukmin menafsirkan bahwa:
“Aqidah merupakan sejumlah kebenarannya yang dapat diterima secara
mudah oleh manusia berdasarkan akal, wahyu (yang didengar) dan fitrah.
Kebenaran itu dipatrikan dalam hati dan ditolak segala yang bertentangan
dengan kebenaran itu.”
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut maka aqiadah merupakan
keyakinan dalam hati yang benar-benar mantab dan tidak akan goyah walaupun
banyak hal yang berusaha menentang hal tersebut. Aqidah atau sistem aqidah
merupakan sistem keyakinan yang sering disebut rukun iman yaitu:
· Iman kepada Allah
· Iman kepada malaikat dan mahluk gaib lainnya
· Iman kepada kitab-kitab Allah
· Iman kepada Nabi dan Rasul Allah
· Iman kepada Hari Kiamat
· Iman kepada Qada dan Qadar
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 41

Aqidah merupakan suatu keyakinan yang harus dimiliki setiap mukmin


dalam menjalankan kehidupannya sehari-hari. Keyakinan tersebut membuat
mukmin makin mudah menjalankan ibadah dalam kehidupan sehari-harinya
2. Syariat
Syari’at bisa disebut syir’ah. Artinya secara bahasa adalah sumber
air mengalir yang didatangi manusia atau binatang untuk minum. Perkataan
“syara’a fiil maa’i” artinya datang ke sumber air mengalir atau datang pada
syari’ah.
Kemudian kata tersebut digunakan untuk pengertian hukum-hukum Allah
yang diturunkan untuk manusia.
Kata “syara’a” berarti memakai syari’at. Juga kata “syara’a” atau
“istara’a” berarti membentuk syari’at atau hukum. Dalam hal ini Allah
berfirman,
 
 
  
  
  
  
    
  
   
  
   
  
 
  
  
   
 
  
  
Terjemahnya:“Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad
dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan
yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

Sedangkan arti syari’at menurut istilah adalah “maa anzalahullahu li


‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani rusulihil kiraami liyukhrijan naasa min
dayaajiirizh zhalaami ilan nuril bi idznihi wa yahdiyahum ilash shiraathil
mustaqiimi.” Artinya, hukum-hukum (peraturan) yang diturunkan Allah swt.
melalui rasul-rasulNya yang mulia, untuk manusia, agar mereka keluar dari
kegelapan ke dalam terang, dan mendapatkan petunjuk ke jalan yang lurus.
Jika ditambah kata “Islam” di belakangnya, sehingga menjadi frase
Syari’at Islam (asy-syari’atul islaamiyatu), istilah bentukan ini berarti, ” maa
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 42

anzalahullahu li ‘ibaadihi minal ahkaami ‘alaa lisaani sayyidinaa muhammadin


‘alaihi afdhalush shalaati was salaami sawaa-un akaana bil qur-ani am bisunnati
rasuulillahi min qaulin au fi’lin au taqriirin.” Maksudnya, syari’at Islam adalah
hukum-hukum peraturan-peraturan) yang diturunkan Allah swt. untuk umat
manusia melalui Nabi Muhammad saw. baik berupa Al-Qur’an maupun Sunnah
Nabi yang berwujud perkataan, perbuatan, dan ketetapan, atau pengesahan.
Pembagian Syari’at Islam
Hukum yang diturunkan melalui Nabi Muhammad saw. untuk segenap
manusia dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
Ilmu Tauhid, yaitu hukum atau peraturan-peraturan yang berhubungan
dengan dasar-dasar keyakinan agama Islam, yang tidak boleh diragukan dan harus
benar-benar menjadi keimanan kita. Misalnya, peraturan yang berhubungan
dengan Dzat dan Sifat Allah swt. yang harus iman kepada-Nya, iman kepada
rasul-rasul-Nya, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan iman kepada hari
akhir termasuk di dalamnya kenikmatan dan siksa, serta iman kepada qadar baik
dan buruk. Ilmu tauhid ini dinamakan juga Ilmi Aqidah atau Ilmu Kalam.
Ilmu Akhlak, yaitu peraturan-peraturan yang berhubungan dengan
pendidikan dan penyempurnaan jiwa. Misalnya, segala peraturan yang mengarah
pada perlindungan keutamaan dan mencegah kejelekan-kejelekan, seperti kita
harus berbuat benar, harus memenuhi janji, harus amanah, dan dilarang berdusta
dan berkhianat.
Ilmu Fiqh, yaitu peraturan-peraturan yang mengatur hubungan manusia
dengan Tuhannya dan hubungan manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh
mengandung dua bagian: pertama, ibadah, yaitu yang menjelaskan tentang
hukum-hukum hubungan manusia dengan Tuhannya. Dan ibadah tidak sah (tidak
diterima) kecuali disertai dengan niat. Contoh ibadah misalnya shalat, zakat,
puasa, dan haji. Kedua, muamalat, yaitu bagian yang menjelaskan tentang hukum-
hukum hubungan antara manusia dengan sesamanya. Ilmu Fiqh dapat juga disebut
Qanun (undang-undang).
3. Ahlak
Akhlak secara terminologi berarti tingkah laku seseorang yang didorong
oleh suatu keinginan secara sadar untuk melakukan suatu perbuatan yang baik.
Akhlak merupakan bentuk jamak dari kata khuluk, berasal dari bahasa
Arab yang berarti perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Tiga pakar di bidang akhlak yaitu Ibnu Miskawaih, Al Gazali, dan Ahmad
Amin menyatakan bahwa akhlak adalah perangai yang melekat pada diri
seseorang yang dapat memunculkan perbuatan baik tanpa mempertimbangkan
pikiran terlebih dahulu.
Ahlak-ahlak yang baik adalah:
·1. Jujur (Ash-Shidqu)
·2. Berprilaku baik (Husnul Khuluqi)
·3. Malu (Al-Haya')
·4. Rendah hati (At-Tawadlu')
·5. Murah hati (Al-Hilmu)
·6.Sabar (Ash-Shobr)
Sedangkan ahlak-ahlak yang buruk adalah:
PENDAIS Volume I Nomor 1 2019 43

·1. Mencuri/mengambil bukan haknya


·2. Iri hati
·3. Membicarakan kejelekan orang lain (bergosip)
·4. Membunuh
· Segala bentuk tindakan yang tercela dan merugikan orang lain (mahluk lain)
Dasar-dasar Islam diatas telah menerangkan dan mengatur tentang
bagaimana manusia melaksanakan kewajibannya di muka bumi. Agama dalam hal
ini agama Islam, merupakan suatu pengatur kehidupan yang harus dijalankan
setiap pemeluknya agar dapat melaksanakan tugas-tugasnya di muka bumi ini
dengan baik. Sehingga, hubungan antara manusia dan agama sebagai pengatur
kehidupannya diharapakan menjadikan manusia menjadi manusia yang lebih baik
bagi sesamanya, bagi alam sekitarnya dan bagi dirinya sendiri.

III. PENUTUP
Kesimpulan
Dalam Al-Qur’an, ada beberapa konsep berkenaan dengan manusia. Yaitu
Konsep Al-Basyr, Konsep Al-Insan, Konsep Al-Naas, Konsep Bani Adam,
Konsep Al-Ins, Konsep Abdu Allah (Hamba Allah). Manusia merupakan mahluk
Tuhan yang paling sempurna karena manusia memiliki segala unsur dari mahluk
hidup lainnya ditambah dengan akal pikiran.
Manusia membutuhkan agama karena hal tersebut merupakan fitrah
manusia. Fitrah tersebutlah yang menyebabkan manusia berhubungan dengan
agama untuk mencari jati dirinya.
Tujuan penciptaan manusia adalah untuk menyembah kepada Allah dan
menjadi khalifah fil ardi.
Agama memiliki tujuan untuk menjadikan manusia melakasankan segala
peran yang diperintahkan Allah. Sehingga agama mengatur segala sendi
kehidupan manusia dan dapat dikatakan agama merupakan pengatur manusia
untuk menjalankan perannya di muka bumi.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad A.K. Muda. 2006. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Jakarta: Reality
Publisher.
Anonim, 2011. Konsep Manusia dalam Al Quran
Arifin. 2008. Ilmu Pendidikan Islam: Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan
Pendekatan Interdisipliner. Jakarta: PT. Bumi Aksara

Azra, Prof. Dr. Asyurmudi, dkk. 2002. Buku Teks Pendidikan Agama Islam Pada
Perguruan Tinggi dan Umum. Jakarta : Departemen Agama RI

http://majelispenulis.blogspot.com diakses tanggal 26 September 2012)

Anda mungkin juga menyukai