Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang akrab dengan problema kehidupan. Dalam
penyelesaiannya ternyata manusia kerapkali tidak mampu melakukannya sendiri
dengan baik, sehingga ada kecendrungan untuk menyelesaikan problema tersebut
dengan atau melalui bantuan dan bimbingan orang lain, terutama para ahli yang
berkomponen dalam bidangnya.

Seluruh problema kehidupan manusia baik fisik, psikis, keluarga, sosial,


maupun religius menuntut adanya penyelesaian. Namun, tidak semua problema
dapat diselesaikan sendiri oleh individu, sehingga ia kadangkala membutuhkan
seorang ahli yang sesuai dengan jenis problemnya. Problem–problem ini
membutuhkan penyelesaian yang amat kompleks.

Berbicara tentang manusia berarti membicarakan tentang sesuatu yang


sangat klasik namun senantiasa aktual. Kajian tentang manusia telah banyak
dilakukan para ahli yang dikaitkan dengan berbagai kegiatan, seperti politik,
ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, agama dan lain sebagainya. Hal tersebut
dilakukan karena manusia selain sebagai subjek (pelaku), juga sebagai objek
(sasaran) dari berbagai kegiatan tersebut, termasuk dalam bidang konseling. Al-
Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, sebab
pengenalan manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah yang dimaksud dengan manusia?
2. Bagaimana gambaran bahwa manusia itu benar-benar dalam keadaan
bermasalah?
3. Apakah yang dimaksud dengan peran agama terhadap kesehatan mental?
4. Psikoterapi doa?

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Manusia

Kedudukan manusia dalam Al-Qur’an adalah luhur dan tinggi sekali, baik
dalam neraca akidah, pemikiran dan ciptaan yang dengannya diukur watak
makhluk seluruhnya. Manusia adalah makhluk mukallaf (pemikul beban).1

Manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling indah, paling tinggi,
paling mullia, dan paling sempurna. Dengan demikian tidak ada makhluk lain di
alam ini yang menyamai keberadaan manusia. Kesempurnaan manusia sebagai
makhluk Allah berpangkal dari manusia itu sendiri yang memang sempurna dari
segi fisik, mental, kemampuan dan karya-karyanya.2

Al-Qur’an menyatakan proses penciptaan manusia mempunyai dua tahapan


yang berbeda, yaitu Pertama, disebut dengan tahapan primordial. Manusia
pertama, Adam a.s. diciptakan dari al-tin (tanah), al-turob (tanah debu), min shal
(tanah liat), min hamain masnun (tanah lumpur hitam yang busuk) yang dibentuk
Allah dengan seindah-indahnya, kemudian Allah meniupkan ruh dari-Nya ke
dalam diri (manusia) tersebut (Q.S, Al An’aam (6):2, Al Hijr (15):26,28,29, Al
Mu’minuun (23):12, Al Ruum (30):20, Ar Rahman (55):4). Kedua, disebut
dengan tahapan biologi. Penciptaan manusia selanjutnya adalah melalui proses
biologi yang dapat dipahami secara sains-empirik. Di dalam proses ini, manusia
diciptakan dari inti sari tanah yang dijadikan air mani (nuthfah) yang tersimpan
dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian nuthfah itu dijadikan darah beku
(‘alaqah) yang menggantung dalam rahim. Darah beku tersebut kemudian
dijadikan-Nya segumpal daging (mudghah) dan kemudian dibalut dengan tulang
belulang lalu kepadanya ditiupkan ruh (Q.S, Al Mu’minuun (23):12-14). Hadits
yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menyatakan bahwa ruh dihembuskan
Allah swt. ke dalam janin setelah ia mengalami perkembangan 40 hari nuthfah, 40
hari ‘alaqah dan 40 hari mudghah.

1
Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1980), h. 26
2
Syafaruddin, dkk, Bimbingan dan Konseling Perspektif Al-Quran dan Sains, (Medan :
Perdana Publishing, 2017), h. 271

2
Penciptaan manusia dan aspek-aspeknya itu ditegaskan dalam banyak ayat.
Beberapa di antaranya sebagai berikut:
(a) Setetes Mani
Sebelum proses pembuahan terjadi, 250 juta sperma terpancar dari si laki-laki
pada satu waktu dan menuju sel telur yang jumlahnya hanya satu setiap siklusnya.
Sperma-sperma melakukan perjalanan yang sulit di tubuh si ibu sampai menuju
sel telur karena saluran reproduksi wanita yang berbelok-belok, kadar keasaman
yang tidak sesuai dengan sperma, gerakan ‘menyapu’ dari dalam saluran
reproduksi wanita, dan juga gaya gravitasi yang berlawanan. Sel telur hanya akan
membolehkan masuk satu sperma saja.
Artinya, bahan manusia bukan mani seluruhnya, melainkan hanya sebagian
kecil darinya. Ini dijelaskan dalam Al-Qur’an :
“Apakah manusia mengira akan dibiarkan tak terurus? Bukankah ia hanya
setitik mani yang dipancarkan?” (QS Al Qiyamah:36-37).

(b) Segumpal Darah Yang Melekat di Rahim


Setelah lewat 40 hari, dari air mani tersebut, Allah menjadikannya segumpal
darah yang disebut ‘alaqah.
"Dia telah menciptakan manusia dengan segumpal darah". (al ‘Alaq/96:2).
Ketika sperma dari laki-laki bergabung dengan sel telur wanita, terbentuk
sebuah sel tunggal yang dikenal sebagai “zigot” , zigot ini akan segera
berkembang biak dengan membelah diri hingga akhirnya menjadi “segumpal
daging”. Tentu saja hal ini hanya dapat dilihat oleh manusia dengan bantuan
mikroskop.
Tapi, zigot tersebut tidak melewatkan tahap pertumbuhannya begitu saja. Ia
melekat pada dinding rahim seperti akar yang kokoh menancap di bumi dengan
carangnya. Melalui hubungan semacam ini, zigot mampu mendapatkan zat-zat
penting dari tubuh sang ibu bagi pertumbuhannya. Pada bagian ini, satu keajaiban
penting dari Al Qur’an terungkap. Saat merujuk pada zigot yang sedang tumbuh
dalam rahim ibu, Allah menggunakan kata “alaq” dalam Al Qur’an. Arti kata
“alaq” dalam bahasa Arab adalah “sesuatu yang menempel pada suatu tempat”.
Kata ini secara harfiah digunakan untuk menggambarkan lintah yang menempel
pada tubuh untuk menghisap darah.

3
(c) Pembungkusan Tulang oleh Otot
Disebutkan dalam ayat-ayat Al Qur’an bahwa dalam rahim ibu, mulanya
tulang-tulang terbentuk, dan selanjutnya terbentuklah otot yang membungkus
tulang-tulang ini. “Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu
segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu
Kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan
daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha
Sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik” (QS Al Mu’minun:14)
Para ahli embriologi beranggapan bahwa tulang dan otot dalam embrio
terbentuk secara bersamaan. Karenanya, sejak lama banyak orang yang
menyatakan bahwa ayat ini bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Namun,
penelitian canggih dengan mikroskop yang dilakukan dengan menggunakan
perkembangan teknologi baru telah mengungkap bahwa pernyataan Al-Qur’an
adalah benar kata demi katanya.
Penelitian di tingkat mikroskopis ini menunjukkan bahwa perkembangan
dalam rahim ibu terjadi dengan cara persis seperti yang digambarkan dalam ayat
tersebut. Pertama, jaringan tulang rawan embrio mulai mengeras. Kemudian sel-
sel otot yang terpilih dari jaringan di sekitar tulang-tulang bergabung dan
membungkus tulang-tulang ini.

(d) Saripati Tanah dalam Campuran Air Mani


Cairan yang disebut mani tidak mengandung sperma saja. Ketika mani
disinggung di Al-Qur’an, fakta yang ditemukan oleh ilmu pengetahuan modern,
juga menunjukkan bahwa mani itu ditetapkan sebagai cairan campuran: “Dialah
Yang menciptakan segalanya dengan sebaik-baiknya, Dia mulai menciptakan
manusia dari tanah liat. Kemudian Ia menjadikan keturunannya dari sari air
yang hina.” (Al-Qur’an, 32:7-8).

Dalam pandang Marzuki, ada tiga cara atau pendekatan yang dapat
ditempuh untuk memahami hakikat manusia, yaitu melalui pendekatan bahasa,
melalui cara manusia menunjukkan eksistensinya di hadapan makhluk lain, dan
melalui hasil karyanya. Dalam tinjauan bahasa, manusia dapat dipahami dengan

4
melihat makna-makna dari istilah-istilah yang digunakan untuk menyebut
manusia dalam suasana kultur asalnya. 3
Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia,
yaitu; pertama, menggunakan kata basyar. Kedua, menggunakan kata yang terdiri
dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas. Ketiga,
menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.

Selain dari 3 kata tersebut, terdapat pula kata khalifah yang juga
digunakan dalam al-qur’an untuk menunjukkan pada manusia.

1. Kelompok Kata Al-Basyar.


Secara bahasa kata yang huruf-hurufnya terdiri dari kombinasi huruf ba,
syin dan ra (basyar) berarti sesuatu yang nampak jelas dan biasanya cantik dan
indah. Manusia disebut al-basyar karena kulitnya tampak jelas. Berbeda dengan
binatang yang kulitnya ditutupi dengan bulu-bulu. Dari pengertian secara
etimologi di atas dapat diambil pengertian bahwa penggunaan kata al-
basyar adalah dalam konteks manusia sebagai makhluk biologis atau sisi fisik
manusia.

Penunjukan kata al-basyar ditujukan Allah kepada seluruh manusia tanpa


terkecuali, termasuk eksistensi Nabi dan Rasul. Eksistensi nabi dan rasul,
memiliki kesamaan dengan manusia pada umumnya, akan tetapi memiliki
perbedaan khusus bila dibandingkan dengan manusia lainnya. Adapun perbedaan
lainnya yang dinyatakan dalam Al-Qur‟an dengan adanya wahyu dan tugas
kenabian yang disandang para nabi dan rasul. Pada aspek ini semua manusia
dalam berbagai tingkatan sosial budaya adalah sama, tidak ada yang melebihi satu
sama lainnya.4

Al-Quran menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal


dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut
lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya. Karena itu Nabi

3
Marzuki, “Manusia Dan Problematikanya Dalam Pembentukan Karakter Mulia Perspektif
Islam”, Pknh FIS UNY, h. 2
4
Sri Haryanto, “Manusia dalam Terminologi Al-Qur’an”. Jurnal Kajian Pendidikan Sains,
Yogyakarta,80-81.

5
Muhammad Saw. Diperintahkan untuk menyampaikan bahwa, Aku adalah basyar
(manusia) seperti kamu yang diberi wahyu (QS Al-Kahf [18]: 110).5
Artinya: Katakanlah: "Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang
diwahyukan kepadaku: "Bahwa sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan
yang Esa". Barang siapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorang pun dalam beribadat kepada Tuhannya".

2. Kelompok kata insan yang juga meliputi kombinasi huruf alif, nun dan
sin, seperti: kata al-ins, al-nas, dan al-unas.
Kata-kata “Insan” diambil dari kata “Uns” yang berarti jinak, tidak liar,
senang hati, tampak atau terlihat. Seperti yang dijelaskan dalam firman Allah
SWT yakni :
“sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang
sebaik-baiknya”. (QS. At-Tiin, 95; 4).
“Ins” berarti seorang manusia. Insani” berarti dua orang manusia. Dari
kata “Insan” itu tersirat makna bahwa manusia mempunyai dua unsur
kemanusiaannya, yaitu aspek lahiriyah dan bathiniyah. Firman Allah yang
mengandung kata “Ins” yakni :
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
mengabdi kepada-Ku.”(QS. Adz Dzariyat, 51-56).
Sedangkan kata-kata “Ins” dan “Unas” , hal ini menunjukkan makna
bahwa sifat dasar manusia adalah fitri yang terpancar dari alam rohaninya yaitu
gemar bersahabat, ramah, lemah lembut, sopan santun serta taat kepada Allah
SWT.
Kata Insan Menurut Azizah dapat diambil dari tiga akar kata. Yaitu: 1).
Dari kata anasa (‫)أنس‬, yang berarti abshara(‫)أبصر‬, ‘alima (‫)علم‬, ista’zana (‫)إستأذن‬
atau melihat, menalar, berpikir, mengetahui, meminta izin. 2). Dari
kata Anisa (‫ )أنس‬yang berarti jinak, ramah. 3). Dari kata nasia (‫ )نسي‬yang berarti
lupa.6

5
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan Umat, (
Bandung: Mizan, 1996), h. 276
6
Ibid, hal. 278

6
Lafadz insan disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat 43 surat. Lafad al-
ins disebut sebanyak 18 kali dalam 17 ayat dan 9 surat. Lafad al-nas disebut
sebanyak 243 kali dalam 225 ayat dan 53 surat. Lafad unas disebut sebanyak 5
kali dalam ayat dan 4 surat. Lafad insiyya disebut 1 kali dalam 1ayat.

Kata insan, digunakan Al-Quran untuk menunjuk kepada manusia dengan


seluruh totalitasnya, jiwa dan raga. Manusia yang berbeda antara seseorang
dengan yang lain, akibat perbedaan fisik, mental, dan kecerdasan.

Bila kata al-basyar menunjukkan makna manusia secara biologis, maka


kata insan menunjukkan pengertian manusia sebagai makhluk psikologis yang
memiliki sikap prilaku. Insan mempunyai makna makhluk yang mempunyai
daya nalar, daya pikir yang membuatnya dapat berkembang ke arah yang lebih
baik. Manusia berilmu, beradab dan ramah dalam pergaulan serta dapat
menyesuikan diri dengan perkembangan dan lingkungan juga memiliki sifat
lupa yang berarti manusia memiliki kesadaran diri dan tidak selalu dalam
kebenaran.

3. Kelompok kata Bani Adam atau zuriyat Adam.


Kata bani (‫)بنى‬ secara etimologi merupakan bentuk jamak dari
kataibnun (‫ )إبن‬yang berarti anak. Bentuk awalnya adalah banun (‫ )بنون‬atau banin
(‫)بنين‬, karena ia merupakan kata idhafah maka dalam kaidah bahasa Arab huruf
nun yang terdapat pada akhir jamak muzakkar salim maka harus dibuang, maka
jadilah banu Adam atau Bani Adam.

Dalam Alquran ungkapan Bani Adam dijumpai sebanyak 7 kali dalam 7


surat dan tujuh ayat. Konteks ayat yang menggunakan istilah Bani Adamadalah 3
ayat tentang keharusan manusia menggunakan pakaian yang berfungsi untuk
menutupi aurat dan memperindah tubuh. Sedangkan 1 ayat berkaitan dengan
pemuliaan Allah terhadap manusia, 1 ayat berkaitan dengan keimanan 1 ayat
tentang keharusan untuk mengikuti Rasul dan 1 ayat tentang musuh utama
manusia yaitu syaitan.

7
Selain tiga kata di atas, ada juga kata dalam Al-Qur’an yang menyebutkan
manusia sebagai khalifah. Dalam jurnal konsepsi al-qur’an oleh santoso irfan
Khalifah berarti orang yang menggantikan orang yang sebelumnya, berasal dari
kata kerja khalafa, artinya menggantikan. Kata Al-khalaf= Al-iwadl = Al-bada,
artinya ganti. Al-Khalf maknanya belakang dan Al-khilaf, maknanya waktu
sesudahnya. Al-khalifah juga berarti Al-imarah, kepemimpinan atau ahs-shulthan,
kekuasaan. Bisa juga orang yang menggantikan orang lain dan dia menempati
tempat serta kedudukannya. Atau orang yang menggantikan orang lain,
menggantikan kedudukannya, kepemimpinannya atau kekuasaannya. 7

Bentuk jamak khalifah selain khulafa’, adalah khalaif, terdapat pada QS


Al-An’am/6: 165 dan Yunus/10: 14 + 73, sebagai penguasa di bumi, dimaksudkan
juga bahwa Allah mengangkat derajat sebagian kamu/ mereka atas sebagian yang
lain, beberapa derajat. Yang dituju di sini adalah umat manusia pada umumnya.

Secara umum dapat dipahami bahwa manusia merupakan perpaduan dari


dua unsur yang sangat berbeda sifat dan bentuknya, yakni unsur jasmani (raga)
dan unsur rohani (jiwa). Unsur jasmani merupakan bentuk fisik manusia yang
kasad mata, sedangkan unsur rohani merupakan bentuk nonfisik manusia yang
tidak dapat ditangkap oleh mata (tidak kasad mata).8

B. Gambaran Bahwa Manusia Itu Benar-Benar Dalam Keadaan


Bermasalah
Masalah biasanya dartikan sebagai suatu kesenjangan, ketidak sesuaian,
atau ketidak cocokkan antara ide dan kenyataan, antara yang seharusnya dengan
fakta yang ada, atau antara keinginan dan harapan dengan realitas yang terjadi.
Arikunto menyebutkan bahwa permasalahan adalah sesuatu yang tidak beres,
dalam arti tidak atau belum sesuai dengan kondisi yang seharusnya. 9

Di dalam jurnal problem solving berbasis konseling Al- Qur’an oleh


Ahmad menyatakan bahwa setiap manusia pasti akan menghadapi masalah di

7
Santoso Irfan, “Konsepsi Al-Qur’an tentang Manusia”. Jurnal Hunafa. Vol. 4 No. 3,
Purwokerto, 295-296.
8
Marzuki, Manusia.., h. 5
9
Ahmad, Ahmad Yasser Mansyur, “Problem Solving Berbasis Konseling Al- Qur’an, Konseling
Religi”, Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 8, No. 1, Universitas Negeri Makassar , 2017. h. 46

8
dalam kehidupannya, oleh karena masalah merupakan bagian dari kehidupan yang
tidak mungkin dihindari. Dalam perspektif spiritual Islam masalah hidup
(kesulitan hidup) merupakan hukum alam (sunnatullah) yang sengaja diciptakan
untuk membedakan antara mereka yang beriman dan mereka yang kurang
beriman atau tidak beriman. Sedangkan dalam perspektif Psikologi masalah
merupakan tantangan hidup yang harus dihadapi dan disikapi secara tepat untuk
mencapai kualitas hidup yang lebih baik.10

Kenyataan menunjukkan bahwa manusia di dalam kehidupannya


menghadapi berbagai persoalan yang datang silih berganti. Permasalahan yang
satu diatasi, persoalan yang lain muncul, demikian seterusnya. Manusia juga tidak
sama antara satu dengan lainnya, baik dalam sifat maupun kemampuan. Ada
manusia yang sanggup mengatasi masalah tanpa bantuan pihak lain, tetapi tidak
sedikit manusia yang tidak mampu mengatasi masalah tanpa bantuan orang lain.11

Masalah ada juga menimpa jiwa seseorang, ada yang menimpa tubuhnya,
ada yang menimpa hartanya, ada yang menimpa keluarganya dan ada juga yang
menimpa negerinya. Allah SWT menjelaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah
ayat 155

Artinya: “Dan kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar
genbira kepada orang-orang yang sabar” (Q.S Al-Baqarah ayat 155)

Quraish shihab menjelaskan, Ayat ini mengisyaratkan hakikat hidup di


dunia, antara lain ditandai oleh keniscayaan adanya cobaan yang beraneka ragam.
Ujian yang diberikan Allah kadarnya sedikit bila dibandingkan dengan potensi
yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia. Ia hanya sedikit, sehingga setiap
yang diuji akan mampu memikulnya jika ia menggunakan potensi-potensi yang
dianugerahkan Allah itu.

Ujian yang akan terjadi yang diinformasikan Allah itu adalah nikmat besar
tersendiri, karena dengan mengetahuinya manusia dapat mempersiapkan diri

10
Ibid, hal. 46
11
Syafaruddin, dkk, Bimbingan..., h.265

9
menghadapi aneka ujian itu. Yang buruk adalah kegagalan menghadapi ujian.
Allah tidak menjelaskan kapan dan dalam situasi apa ia akan terjadi.

Bentuk ujian itu adalah sedikit dari rasa takut, yakni keresahan hati
menyangkut sesuatu yang buruk, atau hal-hal yang tidak menyenangkan yang
diduga akan terjadi. Sedikit rasa lapar, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan.
Buah-buahan bisa dalam arti sebenarnya maupun buah-buahan dalam arti buah
dari apa yang dicita-citakan.

Semata-mata menamakan diri beriman tidak berimplikasi secara langsung


kepada keluasan rizki, hilangnya rasa takut dan kesedihan, serta kekuasaan yang
kokoh. Semua itu berlangsung sesuai dengan sunnatullah dalam penciptaan,
sebagaimana halnya sunnah dalam penciptaan adalah terjadinya musibah
berdasarkan sebab-sebab yang mengantar terjadinya secara signifikan.12

Di dalam Tafsir Al-Maraghi menjelaskan Sungguh Allah akan menguji


dengan aneka ragam percobaan. Misalnya perasaan takut terhadap musuh dan
adanya musibah yang wajar terjadi, seperti kelaparan dan kekurangan buah-
buahan (panceklik). Bagi orang yang beriman kepada Allah, keadaan seperti ini
akan dilaluinya, sekalipun terisolir dari lingkungan keluarga, bahkan diusir tanpa
membawa sesuatu. Sampai-sampai karena rasa laparnya, orang-orang beriman
jika memerlukan makan hanya cukup dengan menghisap buah kurma, lalu
disimpannya kembali mengingat jangka yang masih panjang. Terutama sekali
ketika mereka berlaga di medan perang Ahzab dan Tabuk. Allah juga menguji
mereka dengan terbubuh di medan perang, atau mati karena sakit. Sebab ketika
kaum muslimin melakukan hijrah ke madinah, disitu terjangkit wabah penyakit
panas dingin yang luar biasa.13

Ayat di atas memberikan pengertian bahwa iman itu tidak menjamin


seseorang untuk mendapatkan rizki yang banyak, kekuasaan atau tidak ada rasa
takut. Tetapi semuanya itu justru berjalan sesuai dengan ketentuan sunnatullah

12
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Quran, (Jakarta:
Lentera Hati, 2005), Vol. 14, hal. 42-43
13
Imas Laila, Kajian Al-Quran dan Kajian Hadis Tentang Ujian dan Cobaan, (Bogor: 2014),
hal. 3

10
yang berlaku untu hamba-Nya, jika terdapat sesuatu yang mendatangkan musibah,
maka musibah itu tidak dapat dihalangi dan akan menimpanya, tetapi bagi
seseorang yang mempunyai kesempurnaan iman, dan dirinya sudah mempunyai
pengalaman digembleng dalam penderitaan, maka adanya musibah itu akan
semakin membersihkan jiwanya.14

Ada beberapa ayat Al-Quran yang berkenaan tentang manusia dan


masalahnya, termaktub dalam surat Al-Baqarah ayat 233, surat An Nisa ayat 84,
surat Al An’am ayat 152, surat Al A’raf ayat 42, surat Al Mu’minum ayat 62,
surat Shad ayat 86. Dan surat ath Thalaq ayat 7. Ayat-ayat tersebut intinya
menjelaskan tentang kerumitan masalah masih sesuai dengan taraf kemampuan
(masih dalam batas kemampuan) manusia. Dalam bahasa lain Allah menegaskan
bahwa Dia tidak pernah mebebankan sesuatu di luar batas (melampaui batas)
kemampuan manusia. Kadar beban dan kemamouan menerima/menyelesaikannya
dijadikan Allah dengan berimbang.15

Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan


menyebabkan semua dosa-dosa besarnya adalah “kepicikan” (dha’f) dan
“kesempitan fikiran” (qathr). Al-Qur’an tak henti-hentinya menyebutkan
kelemahan ini di dalam bentuk-bentuk dan konteks-konteks yang berbeda. Baik
karena kesombongan manusia karena memandang dirinya sebagai hukum
tertinggi maupun keputusasaannya adalah akibat dari kepicikan (dha’f). Sifat
manusia yang mementingkan dirinya sendiri, ketamakan yang senantiasa
dimilikinya, tingkah lakunya yang ceroboh dan panik, kurangnya kepercayaan
kepada dirinya sendiri, dan kekuatiran-kekuatiran yang terus menerus
menghantuinya pada dasarnya adalah akibat dari kesempitan fikiran (qathr).16

“Sesungguhnya manusia mempunyai sifat yang goyah. Jika mendapat


kemalangan ia pun berkeluh kesah tetapi jika mendapat kebaikan ia berusaha
agar kebaikan itu tidak sampai kepada orang-orang lain” (Q.S Al-Ma’arij:19-
21). Karena kepicikan itulah manusia mempunyai sifat yang suka terburu-buru,
nafsu, panik, dan tidak mengetahui akibat jangka panjang dari reaksi-reaksi yang

14
Ibid, hal. 4
15
Syafaruddin, dkk, Bimbingan..., h. 118
16
M. Yusuf Musa, Al-Qur’an dan Filsafat, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1988), h. 56

11
dilakukannya. Karena sifat terburu nafsu inilah manusia menjadi sombong atau
berputus asa. Tidak ada makhluk lain yang dapat menjadi sombong dan berputus
asa sedemikian gampangnya seperti manusia. Al-Qur’an berulangkali
menandaskan bahwa setelah memperoleh rahmat manusia segera “melupakan”
Allah; jika sebab-sebab alamlah membuat manusia merasa puas dan
berkecukupan (untuk berdiri sendiri) maka ia tidak “melihat” peranan Allah
didalam sebab-sebab tersebut.17

Manusia juga memiliki sifat yang goyah, sifat goyah ini senantiasa beralih
dari satu titik ekstrim ke titik ekstrim lainnya yang disebabkan oleh kesempitan
akal dan kepicikannya ini menunjukkan berbagai tensi moral yang dasar, dimana
tingkah laku manusia harus berfungsi jika ia ingin menjadi kokoh dan berhasil.

1. Manusia sering mendapat celaan Tuhan karena ia amat aniaya dan


mengingkari nikmat (QS Ibrahlm [14]: 34),

Artinya :

“Dan Dia telah memberikan kepadamu (keperluanmu) dan segala apa yang
kamu mohonkan kepadanya. Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah
dapat kamu menghinggakannya. Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan
sangat mengingkari (nikmat Allah).”

2. Sangat banyak membantah (QS Al-Kahf [18]: 54)

Artinya: “Dan sesungguhnya Kami telah mengulang-ulangi bagi manusia


dalam Al Quran ini bermacam-macam perumpamaan. Dan manusia adalah
makhluk yang paling banyak membantah”

17
Elfi Mu’awanah , Rifa Hidayah. Bimbingan Konseling Islami Di Sekolah Dasar. (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), h. 24

12
3. Bersifat keluh kesah lagi kikir (QS Al-Ma'arij [70]: l9),

Artinya: “Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”.

4. “…Sesungguhnya manusia itu sangatlah dzalim dan amat bodoh” (QS. Al-
Ahzab (33). 72).

Artinya: “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit,


bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan
mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh”.

5. “Manusia benar-benar sangat mengingkari nikmat” (QS. Al-Hajj ayat 66).

Artinya: “Dan Dialah Allah yang telah menghidupkan kamu, kemudian


mematikan kamu, kemudian menghidupkan kamu (lagi), sesungguhnya manusia
itu, benar-benar sangat mengingkari nikmat.”

Ayat-ayat tersebut menunjukkan beberapa kelemahan manusia yang harus


dihindarinya. Disamping menunjukkan bahwa makhluk ini mempunyai potensi
(kesediaan) untuk menempati tempat tertinggi sehingga ia terpuji, atau berada di
tempat yang rendah sehingga ia tercela.

Dan dari ayat-ayat diatas nampak jelas, bahwa perangai manusia


digambarkan oleh al-Qur’an adakalanya baik dan adakalanya tidak baik, kadang
dipuji dan kadang dicaci. Manusia memiliki kesempurnaan yang potensial dan
mereka harus mengarahkan diri mereka kepada “kesempurnaan positif”, dan tidak

13
sebaliknya. Modal untuk melaksanakannya telah diberikan oleh Dzat yang
menciptakannya, yaitu, fitrah, nafsu, hati/qold, ruh dan akal.18

C. Peran Agama Terhadap Kesehatan Mental


1. Pengertian Kesehatan Mental
Kesehatan mental adalah perwujudan keselarasan yang sungguh-sungguh
antara fungsi-fungsi kejiwaan dan terciptanya penyesuaian diri antara manusia
dengan dirinya sendiri dan lingkungannya, berlandaskan keimanan dan ketakwaan
serta bertujuan mencapai hidup yang bermakna dan bahagia di dunia dan akhirat.
Beberapa ahli mengartikan kesehatan mental dengan terhindarnya seseorang dari
gejala-gejala gangguan jiwa (neuroses) dan dari segala gejala penyakit jiwa
(psychose), dan kemampuan untuk menyesuaikan diri sendiri dengan orang lain
dan masyarakat serta lingkungan tempat ia hidup.19

2. Kesehatan mental menurut Islam


Dalam Islam kesehatan mental dapat disimpulkan sebagai akhlak yang
mulia. Oleh sebab itu, kesehatan mental didefinisikan sebagai keadaan jiwa yang
menyebabkan merasa rela (ikhlas) dan tentram ketika ia melaksanakan akhlak
yang mulia. Ada dua pola dalam mengidentifikasi kesehatan mental:
a. Pola negatif (salaby), bahwa kesehatan mental adalah terhindarnya
seseorang dari segala neurosis (al-amradh al-ashabiyah) dan psikosis (al-
amradh adz-dzihaniyah).
b. Pola positif (ijabiy), bahwa kesehatan mental adalah kemampuan
individu dalam penyesuaian terhadap diri sendiri dan terhadap
lingkungan sosial.20

3. Peranan agama terhadap kesehatan mental


Dari pengalaman para ahli ilmuwan jiwa dengan pasien-pasiennya yang
menderita kesukaran emosi dan gangguan jiwa, serta hasil penyelidikan ilmiah
yang dilakukan terhadap tingkah laku dan sikap seseorang, terbukti bahwa
gangguan jiwa terjadi akibat dorongan untuk memenuhi keinginan-keinginan atau

18
M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an.., h. 275-279
19
Anas Salahudin, Bimbingan dan Konseling, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2010), hal. 150
20
Hamdani, Bimbingan dan Penyuluhan, (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2012), hal. 238

14
kebutuhan-kebutuhan yang dirasakannya. Bila kebutuhan-kebutuhan itu terpenuhi
tidak terpenuhi orang akan merasakan tidak enak, gelisan dan kecewa. Oleh
karena itu, kebutuhan-kebutuhan tersebut harus terpenuhi, sedangkan kebutuhan-
kebutuhan tersebut dapat dibagi menjadi dua :
a. Kebutuhan primer, yaitu kebutuhan jasmani (fisik) seperti makan, minum,
seks, dan sebagainya.
b. Kebutuhan rohani (psychis and social)

Dalam pandangan agama, kebutuhan-kebutuhan primer ini diakui adanya


dan juga diakui bahwa semua makhluk hidupakan berusaha memenuhinya dengan
sekuat tenaga, karena merasa cemas apabila tidak memenuhinya. Untuk itu
menghilangkan rasa cemas dan gelisah itu, Tuhan menjamin bahwa tidak ada satu
makhluk pun yang tidak ada rizkinya.

Agama merupakan unsur yang terpenting dalam pembinaan mental. Tanpa


agama, rencana-recana pembangunan tidak akan terlaksana dengan sebaik-
baiknya, karena dapatnya seseorang melakukan suatu rencana dengan baik
tergantung pada ketenangan jiwa. Jika jiwa gelisah, ia tidak akan sanggup
menghadapi kesukaran yang mungkin terdapat dalam pelaksanaan rencana-
rencana tersebut. Mental yang tumbuh tanpa agama belum tentu akan dapat
mencapai integritas, karena kurangnya ketenangan dan ketentraman jiwa.
Semakin dekat manusia dengan tuhan dan agama, dan semakin banyak
beribadahnya, maka akan semakin tentram jiwanya serta semakin mampu dia
menghadapi kekecewaan dan kesukaran-kesukaran dalam hidupnya. Dan
demikian pula sebaliknya, semakin jauh orang itu dari agama akan semakin susah
baginya untuk mencari ketentraman batin. Intinya adalah agama sangatlah penting
bagi manusia dibumi ini, dan sangat diperlukan dalam kehidupan manusia yang
sempurna.21

D. Psikoterapi Doa
Rasulullah SAW dilihat dari salah satu sisi kehidupannya adalah sebagai
konselor dan tarapis. Beliau sering memberikan beberapa nasehat pada orang yang
sedih, cemas, takut dan gangguan kejiwaan lainnya melalui metode doa. Doa

21
Ibid, hal 184

15
secara harfiah berarti ibadah, istighasah memohon bantuan. Adapun pengertian
doa secara istilah adalah melahirkan kehinaan dan kerendahan diri serta
menyatakan hajat dan ketunduksn kepada Allah SWT.22

Sedangkan menurut Al-Khattabi Al-Busti, hakikat doa adalah permohonan


seseorang hampa kepada Tuhannya akan pertolongan-Nya, yang berarti
menampakkan rasa butuh dan menyandarkan daya dan kekuatan hanya kepada-
Nya. Sedangkan fungsi doa sebagai berikut:
a. Doa sebagai pencerminan kehambaan makhluk di hadapan Khaliq.
b. Doa merupakan salah satu bentuk ibadah, karena merupakan perintah dari
Allah SWT.
c. Doa sebagai proses solusi problem kehidupan baik spiritual maupun
material.
d. Doa sebagai pengendali pusat gerak spiritual yang merupakan refleksi lahir
melalui zikir dan doa.

Selain fungsi-fungsi yang telah disebutkan, doa memiliki prinsip-prinsip


penyembuhan berdasarkan isyarat nama-nama surah yang muat ayat tentang
fungsi Al-Qur’an sebagai As-Syifa’ adalah:
a. rinsip taubat: upaya menghentikan dan menggantikan perilaku negatif
menurut syara’ dan urf (pengetahuan nilai-nilai dan norma-norma yang
disepakati oleh komunitas tertentu dalam bentuk kegiatan tertentu).
b. Prinsip kelembutan dan kehalusan budi: bahwa kelembutan dan kehalusan
budi itu menjadi dasar etik dalam upaya melaksanakan proses
penyembuhan.
c. Prinsip kesadaran diri: proses mengintropeksi perilaku lahir dan batin yang
dikategorisasikan sebagai perilaku dzalim untuk diganti dengan perilaku
adil, yaitu dengan cara menggunakan kompetensi diri tu sendiri secara
proporsional menurut keharusan syari’at.
d. Prinsip madu: prinsip ini dimaksudkan dalam upaya penyembuhan
karakteristik yang ada pada lebah untuk dijadikan pelajaran penting sebagai
sandaran perilaku penyembuhan.

22
Ibid, hal. 185

16
e. Prinsip rekreasi spiritual (al-isyra’): melalui pengalaman komunikasi
transcendental dengan ciptaan Allah yang maha kuasa, bahwa betapa
keberadaan itu merupakan subsistem dan merupakan anggota dari
makrokosmo yang bergerak dalam ketentuan hukum alam ciptaan Allah
SWT.
f. Prinsip diagnostik sebab-akibat: bahwa proses penyembuhan merupakan
upaya menghilangkan berbagai macam penyakit baik jasmani maupun
rohani.
g. Prinsip tawakal: yaitu bahwa upaya penyembuhan adalah proses menjalani
hukum kausalitas immaterial ciptaan Tuhan.

17
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kedudukan manusia dalam Al-Qur’an adalah luhur dan tinggi sekali, baik
dalam neraca akidah, pemikiran dan ciptaan yang dengannya diukur watak
makhluk seluruhnya. Ada tiga kata yang digunakan Al-Quran untuk menunjuk
kepada manusia, yaitu; pertama, menggunakan kata basyar. Kedua, menggunakan
kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin, semacam insan, ins, nas, atau unas.
Ketiga, menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.

Manusia adalah makhluk yang akrab dengan problema kehidupan. Seluruh


problema kehidupan manusia baik fisik, psikis, keluarga, sosial, maupun religius
menuntut adanya penyelesaian. Berdasarkan konsep konseling, pribadi tidak sehat
adalah pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri
sendiri, orang lain, maupun lingkungan. Ayat-ayat Al Qur’an menerangkan
tentang pribadi yang tidak mampu mengatur diri dalam hubungannya dengan diri
sendiri, orang lain, dan lingkungan, juga menerangkan pribadi yang tidakmampu
mengatur diri dalam hubungannya dengan Allah SWT.

18
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Ahmad Yasser Mansyur. 2017. Problem Solving Berbasis Konseling Al-
Qur’an, Konseling Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam, Vol. 8, No.
1,2017.

Al- Qur’anul Karim

Hamdani. 2012. Bimbingan dan Penyuluhan. Bandung: CV.Pustaka Setia.

Haryanto, Sri, Manusia dalam Terminologi Al-Qur’an. Jurnal Kajian Pendidikan


Sainsa, Yogyakarta.

Irfan, Santoso. Konsepsi Al-Qur’an tentang Manusia. Jurnal Hunafa. Vol. 4 No.
3, Purwokerto.

Laila Imas. 2014. Kajian Al-Quran dan Kajian Hadis Tentang Ujian dan Cobaan.
Bogor

Mu’awanah, Elfi , Rifa Hidayah. 2009. Bimbingan Konseling Islami Di Sekolah


Dasar. Jakarta: Bumi Aksara.

Quraish, M. Shihab. 1996. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai


Persoalan Umat. Bandung: Mizan.

Quraish, M Shihab. 2005. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Quran. Jakarta: Lentera Hati. Vol. 14
Rahman, Fazlur. 1980. Tema Pokok Al-Qur’an. Bandung: Pustaka.

Syafaruddin, dkk. 2017. Bimbingan dan Konseling Perspektif Al-Quran dan


Sains, Medan : Perdana Publishing.

Salahudin Anas. 2010. Bimbingan dan Konseling. Bandung: CV.Pustaka Setia.

Yusuf, M. Musa. 1988. Al-Qur’an dan Filsafat. Jakarta : PT. Bulan Bintang

19

Anda mungkin juga menyukai