Bocah laki-laki berusia lima tahun itu memeluk kedua kaki mamanya yang hendak keluar dari rumah dengan erat. Kepalanya mendongak, memandang sang mama dengan tatapan polosnya. Ada kekhawatiran yang tercetak jelas di mata hitamnya. Nafisha—perempuan berusia tiga puluh tahunan, ibu dari Canva—itu berjongkok untuk menyetarakan tingginya dengan anak semata wayangnya. “Anva sayang, Mama mau pergi sebentar, ya. Cari uang buat beli susunya Anva,” kata perempuan itu seraya mengusap puncak kepala anaknya dengan lembut. “Pergi?” tanya Canva tidak mengerti. “Anva sama siapa kalau Mama pergi?” Nafisha tersenyum manis. “Anva tinggal sama Nenek dulu. Sebentar aja, kok. Mama pasti balik lagi.” Canva menggeleng kuat. Kedua matanya mulai berkaca-kaca. Perasaannya semakin tidak enak. Canva takut mamanya berbohong. Dia takut tidak bisa bertemu dengan mamanya lagi. “Sebentaaar aja. Mama janji nggak bakalan lama.” Canva terdiam seraya terus memperhatikan wajah Nafisha. Terdapat keraguan yang begitu besar dalam lubuk hatinya. Mau bagaimana pun juga, dia hanyalah seorang anak kecil yang tidak ingin berpisah lama dengan orang yang sangat disayanginya. “Beneran cuma sebentar?” Akhirnya Canva kembali membuka suara. Nafisha mengangguk mengiyakan. “Iya, sebentar. Mama, kan, nggak bisa terlalu lama jauh-jauh dari Anva. Mama mau nyusulin Papa biar cepet pulang ke sini dan kumpul lagi bareng kita.” Pada akhirnya, Canva pun membiarkan mamanya pergi dari hadapannya. Berharap kalau mamanya itu benar-benar menepati ucapannya untuk tidak pergi terlalu lama. 2 Eccedentesiast Namun, harapannya itu berakhir sia-sia. Sebentar yang dimaksud adalah 12 tahun yang tentunya sangat lama untuk seorang anak yang masih butuh pengawasan orang tua. Mamanya berbohong. Nafisha tidak bisa menepati janji yang dibuatnya sendiri.