Anda di halaman 1dari 54

Candra Dewi Rahayu

MENINGKATKAN KUALITAS DISCHARGE


PLANNING MELALUI COACHING
KEPERAWATAN
PRAKATA
Senarai Isi

Prakata ⸺
Senarai Isi ⸺

PENDAHULUAN
Mengenal Coaching dan Discharge Planning ⸺
Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK) ⸺

COACHING KEPERAWATAN
Definisi ⸺
Prinsip ⸺
Proses ⸺
Fasilitator yang Efektif ⸺
Model ⸺
Coaching dalam Keperawatan ⸺
Efektivitas ⸺

DISCHARGE PLANNING
TERINTEGRASI
Definisi ⸺
Tujuan ⸺
Prinsip ⸺
Pemberi Layanan ⸺
Faktor Pemengaruh ⸺
Discharge Planning sebagai Sistem ⸺
Model ⸺
Implementasi ⸺
Efektivitas ⸺
PERTALIAN DUA VARIABEL
Kemampuan Coaching Kepala Ruang ⸺
Kualitas Discharge Planning ⸺
Peningkatan Kemampuan Coaching
Kepala Ruang ⸺
Peningkatan Kualitas
Discharge Planning ⸺

Bibliografi ⸺
Tentang Penulis ⸺
PENDAHULUAN
Mengenal Coaching
dan Discharge Planning
Pendidikan pasien dan keluarga merupakan kebutuhan pasien
selama masa perawatan di rumah sakit yang bertujuan untuk
membantu persiapan pemulangan, berpartisipasi lebih baik
dalam asuhan yang diberikan, serta mendapat informasi guna
mengambil keputusan. Ditegaskan dalam standar akreditasi
Komisi Akreditasi Rumah Sakit (KARS) 2012, pendidikan
pasien dan keluarga (PPK) bertujuan menjamin proses
pendidikan kesehatan terlaksana dengan baik sehingga
membantu pasien mempersiapkan pemulangan. 1 Persiapan
pemulangan pasien (discharge planning) mampu
memberikan informasi kepada pasien dan keluarga sehingga
terjadi perubahan perilaku, toleran dalam melakukan ADL
(activity dialy living), meningkatkan kemampuan pasien dan
keluarga dalam melakukan perawatan diri secara mandiri,
serta menjamin keselamatan pasien.2–4
Discharge planning merupakan bagian dari asuhan
keperawatan. Discharge planning yang berkualitas akan
meningkatkan mutu asuhan keperawataan dan kualitas hidup
pasien. Penelitian Wahyuni di tiga rumah sakit Bukit Tinggi
menyimpulkan discharge planning akan memengaruhi status
personal, pengetahuan, kemampuan, dan koping.5 Discharge
planning mampu meningkatkan self efficacy (efikasi diri)
pada pasien dan keluarga sehingga meningkatkan kualitas
hidup pasien dengan mengurangi angka kekambuhan sebesar
60,8%.6
Discharge planning merupakan tindakan terintegrasi
antara perawatan yang didapatkan di rumah sakit dengan
perawatan yang diberikan setelah pasien pulang. Discharge
planning dibutuhkan pasien di masa transisi sebagai upaya
mempersiapkan perawatan pasien ketika di rumah atau di
pelayanan kesehatan lain.7 Perawatan ini bersifat
komprehensif, tidak hanya melihat satu aspek perawatan, akan
tetapi melihat secara menyeluruh dan berkelanjutan. Sejalan
dengan penelitian Pemila, perawatan di rumah sakit akan
bermakna jika dilanjutkan dengan perawatan di rumah.8
Discharge planning berkelanjutan dan terprogram dapat
menurunkan angka kunjungan ulang ke rumah sakit dengan
keluhan yang sama. Kunjungan ulang dengan keluhan yang
sama merupakan salah satu indikator mutu pelayanan
kesehatan.9 Discharge planning terprogram dapat
menurunkan angka kekambuhan pada pasien stroke iskemik, 8
bahkan dapat menurunkan angka terjadinya komplikasi. 7,10
Discharge planning terprogram dapat menurunkan LOS
(length of stay) dan menekan biaya perawatan.11,12
Discharge planning dilakukan berdasarkan hasil
pengkajian dengan melibatkan pasien dan keluarga.
Keterlibatan pasien dan keluarga dalam proses discharge
planning belum menjamin bahwa pasien dan keluarga mampu
melakukan edukasi yang telah disampaikan oleh perawat. 12
Poglitsch dalam Rofi’i menjelaskan bahwa terdapat lima
komponen yang memengaruhi pelaksanan discharge planning
yaitu faktor personel perencanaan, keterlibatan dan
partisipasi, komunikasi, perjanjian dan konsensus, serta
waktu.13
Discharge planning merupakan suatu keharusan sebagai
upaya persiapan pasien dan keluarga dalam melakukan
perawatan dan penanganan jika terjadi kegawatan setelah
proses pemulangan. Frekuensi tingkat keparahan kejadian
setelah pemulangan menjadi persoalan global sejak lama. Di
Amerika, lebih dari 14% pasien rawat inap dirawat ulang
dengan keluhan yang sama dalam tempo 30 hari setelah
pemulangan. Agency For Health Care Research and Quality
(AHQR) melansir pemulangan pasien dari rumah sakit dapat
membahayakan dan menimbulkan komplikasi yang dialami
oleh 20% pasien setelah tiga minggu pemulangan dan tiga
perempat dari kejadian tersebut bisa dicegah selama
perawatan di rumah sakit dengan penerapan discharge
planning yang baik.14
Pelaksanaan discharge planning belum optimal.
Penelitian Wong yang dilakukan di Hong Kong
mengidentifikasi bahwa discharge planning di negara tersebut
belum dilakukan dengan baik. Hal ini disebabkan kurangnya
perencanaan, kebijakan pelaksanan discharge planning yang
kurang kuat, serta kurangnya koordinasi dan komunikasi
antar tim kesehatan.15 Ini berbeda dengan penelitian Graham
di Sydney yang menunjukkan pelaksanaan discharge planning
23% belum dilaksanakan dengan baik disebabkan kurangnya
kepatuhan perawat dalam melaksanakan discharge planning
sesuai standar yang ditetapkan rumah sakit. Penelitian lain
menjelaskan pengetahuan petugas mengenai tujuan dari
discharge planning, motivasi dalam melakukan discharge
planning, serta adanya supervisi akan memengaruhi proses
pelaksanaan discharge planning.16,17 Pelaksanaan discharge
planning di Indonesia sendiri juga belum optimal, salah
satunya pada rumah sakit milik Pemerintah Provinsi Jawa
Tengah. Dalam laporan aplikasi mahasiswa magister
keperawatan di rumah sakit tersebut dijelaskan bahwa dari 72
perawat pelaksana, 47,6% di antaranya menyatakan discharge
planning dilakukan setelah pasien selesai melakukan
administrasi, dan pada kasus pasien pulang paksa, 29,41%
discharge planning terkadang tidak dilakukan.18
Optimalisasi pelaksanaan discharge planning menuntut
kepala ruang harus mampu menjalankan fungsi manajemen
dengan baik sehingga mendorong perawat melakukan asuhan
sesuai kode etik disiplin dan profesi keperawatan. Seiring
penelitian yang telah dilakukan penulis, pelaksanaan asuhan
sesuai dengan kode etik profesi dipengaruhi oleh motivasi,
pengawasan dari manajer, konsep diri, pendidikan,
pengetahuan, supervisi, sanksi, dan pelatihan.19,20 Teori
Banner menyatakan bahwa seorang manajer harus
mempunyai kompetensi dalam memberikan bimbingan,
manajemen situasi, menjaga kualitas asuhan, dan sebagai role
model.21 Hal ini akan memengaruhi perawat dalam
memberikan asuhannya, termasuk pelaksanaan discharge
planning yang berkualitas (terprogram dan terencana).22
Pengembangan sumber daya kinerja yang optimal untuk
mendapatkan discharge planning yang berkualitas dapat
dilakukan dengan training, coaching, mentoring,
preceptorship. 23,24
Manajemen sumber daya manusia
keperawatan dikatakan baik apabila manajer/kepala ruang
memiliki kemampuan dalam melakukan pengawasan,
pengarahan, bimbingan, serta memberikan perhatian secara
penuh terhadap apa yang ditugaskan dan menjadi tanggung
jawab staf. Pengembangan kepemimpinan klinis merupakan
proses berkelanjutan yang berorientasi pada intervensi dan
fokus kepada pelayanan. Coaching, mentoring, serta
pembelajaran aktif harus dikembangkan sebagai bentuk
bimbingan dan pengarahan.25,26
Keduanya merupakan fungsi tugas yang melekat pada
supervisi kepala ruang kepada staf perawat. Coaching ialah
salah satu cara manajer/kepala ruang dalam melakukan
supervisi.27–30 Ia merupakan metode bimbingan terbaik dari
manajer langsung berupa diskusi terarah, aktivitas bimbingan
untuk belajar memecahkan masalah atau melakukan tugas
yang lebih baik, serta membangun budaya kepemimpinan
keperawatan dalam pelayanan klinis.31
Metode bimbingan coaching diyakini merupakan cara
untuk mencapai kinerja terbaik bagi individu maupun
organisasi. Coaching membuka potensi seseorang untuk
memaksimalkan kinerja.32 Ia tidak memberikan pengetahuan
atau keterampilan baru, tetapi membantu coachee untuk
menerapkan pengetahuan, keterampilan yang telah diperoleh,
dan pengalaman sukses sebelumnya sehingga menampilkan
kinerja terbaiknya. Dari sintesis hasil penelitian dicatat bahwa
sebanyak 96% coaching mampu meningkatkan kinerja
individu dan 87% mampu meningkatkan kinerja organisasi.24
Pernyataan WHO terkait proses pemberian bimbingan
menyatakan pemberian pelayanan dalam bidang keperawatan
dengan menggunakan metode coaching sebagai upaya
peningkatan profesionalisme perawat masih jarang dilakukan.
pelaksanaan bimbingan masih dilakukan secara massal
melalui kegiatan seminar dan lokakarya serta proses belajar
tradisional yang menekankan penilaian pada informasi yang
sudah dipelajari.32
Bimbingan dan pengarahan keperawatan merupakan
bagian dari fungsi manajemen. Seorang pemimpin harus
mampu mendorong staf memaksimalkan kinerjanya dalam
mencapai visi dan misi organisasi. Coaching merupakan
kompetensi yang harus dimiliki oleh pimpinan, manajer,
pendidik, peneliti, dan praktisi. Coaching membantu perawat
dalam mengembangkan keterampilan praktik keperawatan,
komitmen dalam berkarir, serta profesionalisme.33,34 Coaching
yang dilakukan oleh manajer kepada perawat pelaksana dapat
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan sehingga akan
meningkatkan kinerja.35,36 Penelitian yang dilakukan oleh
Nurhayati yang dilakukan di Rumah Sakit Haji Jakarta
menunjukkan bahwa 60% kemampuan coaching kepala ruang
masih kurang.32
Coaching merupakan metode bimbingan yang dapat
dikembangkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
keperawatan yang akan meningkatkan kualitas asuhan yang
diberikan kepada pasien dan keluarga. Coaching mampu
meningkatkan kepuasan kerja, kemampuan intrapersonal,
kemampuan interpersonal, berpikir sistem, kemampuan untuk
memanfaatkan kekuatan dalam organisasi, kesadaran diri,
keseimbangan dalam bekerja dan perawatan diri, selain itu
coaching juga mampu menurunkan stress kerja, burnout dan
kecemasan.35 Coaching merupakan suatu upaya pembinaan
manajerial di lingkungan kerja. 34
Pelaksanaan perencanaan pulang dapat menurunkan
length of stay (LOS) yang merupakan indikator mutu rumah
sakit. Mutu pelayanan keperawatan di Studi Rumah Sakit
Umum Daerah (RSUD) KRT selalu dievaluasi secara terus
menerus yang bersumber dari sensus harian rawat inap pada
tahun 2015 menunjukkan bahwa Bed Occupation Rate (BOR)
adalah 61,14%, Length Of Stay (LOS) adalah 2,99 hari, turn
over interveal (TOI) adalah 2,02 hari, dan bed turn over
(BTO) 70,07 kali.
Hasil wawancara dengan ketua komite dan kepala ruang
discharge planning dilakukan dan didokumentasikan
berdasarkan format yang telah disediakan rumah sakit
dilakukan oleh perawat maksimal dua hari setelah pasien
masuk rumah sakit. Wawancara kepada 7 perawat pelaksana
di 4 (empat) ruang rawat inap didapatkan bahwa terdapat
perbedaan persepsi dalam pelaksanaan discharge planning
yaitu 57,14% perawat menyatakan bahwa discharge planning
dilakukan sejak pasien masuk sampai pasien pulang, 42,85%
perawat menyatakan bahwa discharge planning diberikan
pada saat pasien pulang. wawancara pada 3 pasien
menunjukkan bahwa 66,6 % pasien dan keluarga belum
mampu memahami edukasi yang telah dilakukan oleh
perawat. Hasil lain didapatkan dengan melakukan wawancara
pada keluarga dan pasien (klien) yang sudah dilakukan
perawatan selama 3 hari, keluarga menyatakan perawat belum
menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan persiapan
pemulangan. Hasil wawancara tersebut menunjukkan bahwa
pelaksanaan discharge planning di RSUD KRT Stjonegoro
Wonosobo belum optimal.
Pengkajian lain yang dilakukan oleh peneliti yaitu dengan
menggunakan lembar kuesioner dan observasi. Kuesioner
yang diberikan kepada 12 perawat pelaksana yang diambil
secara acak di ruang rawat inap di dapatkan bahwa 58,33%
menyatakan bahwa setiap pasien pulang selalu diberikan
discharge planning, 58,33% dorongan melakukan discarge
planning berasal dari dalam diri perawat, pelaksanaan
discharge planning 41,66% menyatakan sering dipimpin oleh
kepala ruang sedangkan pelaksanaan discharge planning
66,6% dilakukan setelah pasien menyelesaikan administrasi.
Studi dokumentasi pencatatan discharge planning pada
pasien rawat inap pada bulan november dan desember tahun
2015 yang diambil secara acak sebanyak 68 rekam medis
didapatkan nilai rata-rata adalah 63,72 dengan nilai terendah
39 dan nilai tertinggi 93, di mana skor total dalam kuesioner
ini adalah 132.
Evaluasi kepala ruang terkait dengan pelaksanaan
discharge planning berupa pengawasan dokumentasi, belum
dilakukan pembimbingan dan pengarahan terprogram.
Evaluasi yang dilakukan kepala ruang berdasarkan gaya
kepemimpinan masing-masing yaitu metode klasik berupa
instruksi dan penugasan yang melekat pada tugas supervisi
kepala ruang, belum menggunakan metode coaching dalam
pelaksanaan bimbingan dan arahannya.
Ketua Komite dan Kepala Bidang keperawatan
menyatakan bahwa rumah sakit selalu berupaya untuk
meningkatkan SDM yang ada. Upaya yang sudah dilakukan
oleh rumah sakit untuk meningkatkan sumber daya yaitu
melalui pelatihan keperawatan seperti pelatihan manajemen
kepala ruang, memberikan kesempatan studi lanjut kepada
perawat. Kegiatan pelatihan dan seminar sering diadakan
tetapi pelatihan tentang metode bimbingan coaching sebagai
salah satu fungsi managemen yaitu actuating (pengarahan)
belum pernah dilakukan.

Pendidikan Pasien dan Keluarga (PPK)


Pendidikan pasien dan keluarga adalah pengetahuan yang
diperlukan oleh pasien dan keluarga selama proses asuhan
maupun setelah pemulangan dari rumah sakit ke pelayanan
kesehatan lain atau ke rumah. Pendidikan pasien dapat
mencakup informasi pelayanan kesehatan di komunitas untuk
tindak lanjut pelayanan apabila diperlukan, dukungan
keluarga dan perawatan di rumah serta bagaimana akses ke
pelayanan kegawatan bila dibutuhkan.1,38
Pendidikan yang efektif diawali dengan pengkajian
kebutuhan pembelajaran pasien dan keluarganya. pengkajian
ini menentukan kebutuhan pembelajaran dan efektivitas
pembelajaran yang akan diberikan kepada pasien dan
keluarga. Pembelajaran yang efektif harus memperhatikan
bio-psiko-sosio-kulturan dan spiritual dari klien. Pendidikan
pasien dan keluarga meliputi hal-hal berikut berikut.1
a. Pengkajian kebutuhan pendidikan pasien dan keluarga.
b. Pencatatan hasil pengkajian pendidikan kesehatan pasien
dan keluarga.
c. Sistem pencatatan pendidikan kesehatan pasien dan
keluarga.
d. Pembelajaran meliputi bagaimana pasien dan keluarga
berpartisipasi dalam melakukan pengambilan keputusan.
e. Pembelajaran kondisi kesehatan dan Diagnosis pasti dari
pasien.
f. Hak pasien dan keluarga untuk berpartisipasi dalam
proses pelayanan.
COACHING
KEPERAWATAN
Pengertian
Coaching merupakan suatu metode pendampingan
berkelanjutan yang menciptakan kesempatan bagi penerima
coaching (coachee) untuk mengeksplorasi potensi diri dan
memaksimalkan tahap demi tahap. Coaching sebagai alat
dalam fungsi manajemen keperawatan yaitu proses planing-
organizing-actuating-controling (POAC). Coaching diartikan
sebagai suatu proses interaktif antara manajer dan staf untuk
berkolaborasi menyelesaiakan permasalahan kinerja.23,52
Coaching adalah upaya pemberdayaan dan
pendampingan secara tidak langsung (non-directive) kepada
coachee dan memimpin dari belakang (leading from behind).53
Menurut Kemenkes RI dalam Nurhayani, coaching adalah
bimbingan intensif melalui perorangan dan praktik yang
diikuti dengan pemberian umpan balik.32
Coaching merupakan suatu proses yang digunakan
sebagai alat komunikasi antara staf dan manajer yang
merupakan fungsi POAC dalam manajemen untuk mencapai
alternatif pemecahan masalah. Selain itu coaching juga
digunakan sebagai alat untuk mengetahui potensi staf dan
meningkatkan kinerja.

Prinsip
Menurut Wilson, ada delapan prinsip dalam coaching, yaitu32
1. Kesadaran (awareness)
Proses coaching menghasilkan kesadaran, dengannya
coachee akan mendapatkan lebih banyak manfaat sebab
apa pun yang dilakukan coach terpusat pada upaya untuk
mendapatkan kesadaran baru dan wawasan,
mengidentifikasi tujuan, dan mengambil tindakan yang
menantang bagi coachee.
2. Tanggung jawab (responsibility)
Coach lebih memilih untuk menciptakan solusi dari
coachee sendiri daripada memberi tahu apa yang harus
dilakukan coachee karena belum tentu dapat diterima
olehnya. Ini, antara lain, bisa disebabkan perbedaan
keyakinan dan nilai-nilai. Salah satu prinsip inti dari
coaching adalah self-responsibility, atau mengambil alih
sepenuhnya apa yang sudah menjadi keputusan dirinya.

3. Percaya diri (self belief)


Ada dua komponen untuk membangun kepercayaan diri
coachee. Pertama, memberikan kemungkinan mereka
ruang untuk berlatih, belajar, meregangkan diri ataupun
membuat kesalahan. Kedua, memberi mereka pengakuan
dan pujian atas prestasi yang diperoleh. Percaya diri
bahwa coachee mampu melakukan sesuatu merupakan
faktor penting dalam pencapaian tujuan.

4. Tidak menyalahkan (blame free)


Ketika kesalahan diperlakukan sebagai pengalaman
belajar, coachee akan termotivasi untuk mencoba lagi dan
belajar dari pengalaman. Menyalahkan hanya membuat
coachee berhenti di tengah jalan, dapat menciptakan
keyakinan bahwa prestasi tidak mungkin tercapai, dan
karena itu tidak layak untuk mencoba lagi.

5. Fokus pada solusi (solution focus)


Ketika coachee memikirkan dan berfokus pada masalah,
ia menjadikan masalah tersebut tampak lebih besar dan
sangat menguras energi. Tetapi ketika coachee berfokus
pada solusi, masalah yang muncul lebih kecil dan coachee
memiliki lebih banyak energi untuk menghadapinya.
Inilah sebabnya mengapa berfokus pada solusi sangat
menentukan dalam proses coaching.

6. Tantangan (challenge)
Sebagian besar dari kita menyukai tantangan dan
mengeluarkan semua kekuatan dan pikiran dalam
lingkungan yang mendukung dan mendorong. Ketika
menetapkan tujuan dan sasaran lebih tinggi dari yang
seharusnya diperlukan, maka coachee dapat dengan
mudah mencapai sasaran yang diperlukannya, karena kita
cenderung memaksakan batas saat menetapkan tujuan
untuk diri kita sendiri.

7. Tindakan (action)
Coaching mengungkap perspektif baru dan kesadaran.
Melalui cara ini coachee mendapatkan wawasan baru
dengan berbagai pilihan yang menuntun coachee untuk
mengambil tindakan dan perubahan.

8. Kepercayaan (trust)
Kepercayaan penting untuk membina hubungan antara
coach dan coachee. Tanpa kepercayaan, proses coaching
tidak akan berlangsung.

Proses
Proses coaching merupakan suatu arah pengembangan
rencana kerja untuk mencapai tujuan. Coaching dan
mentoring terkadang sulit dibedakan, tetapi pada dasarnya
keduanya berbeda. Seorang mentor mempunyai pengalaman
dan pengetahuan di bidang khusus berbeda dengan coach
yang mempunyai bidang pengetahuan yang lebih luas. Proses
coaching akan membantu menciptakan visi yang sesuai
dengan tujuan. Coaching akan mengarahkan coachee untuk
mampu menjelaskan dengan rinci tujuan evaluasi pekerjaan
pada saat itu, siapa dan bagaimanan keberadaan coachee akan
diarahkan untuk menbuat keputusan, kemudian apa yang
akan menjadi prioritas dari keputusan yang sudah dipilih. 32
Passmore mendeskripsikan perbedaan coaching dan
mentoring sebagai berikut.25

Tabel 1. Perbedaan coaching dan mentoring


Coaching Mentoring
Tingkat Lebih formal: kontrak Kurang formal:
Formalitas atau aturan dasar, kebanyakan diantar dua
ditetapkan, sering pihak
melibatkan orang
ketiga

Lama Jangka waktu 4—12 Jangka waktu lebih


kontrak kali pertemuan antara panjang, tidak dibatasi
2—12 bulan jumlah pertemuan antara 3
—5 tahun

Fokus Fokus ganda (individu Fokus tunggal (kebutuhan


dan organisasi) dan individu) dan lebih fokus
lebih fokus pada pada karier
kinerja

Tingkat Coach memiliki Mentor memiliki


bidang pengetahuan bidang pengetahuan dalam bidang
pengetahua terbatas bisnis atau organisasi
n
Pelatihan Pelatihan membangun pelatihan manajemen
hubungan (dasar (mentor memiliki latar
psikologi, psikoterapi, belakang manajemen
SDM) senior)

Menurut WHO, apabila pada materi pelatihan


keterampilan manajerial pelatih menggabungkan beberapa
kompetensi dengan prinsip belajar orang dewasa, mastery
learning, coaching, dan humanistik, maka hasilnya adalah
metode paling efektif untuk mengajarkan keterampilan teknis.
Proses belajar reflektif dapat mengurangi ketegangan para
peserta dan memperkecil ketidaknyamanan klien. Pendekatan
coaching merupakan komponen penting untuk memperbaiki
kualitas bimbingan keterampilan klinik yang kemudian akan
meningkatkan kualitas pelayanaan. 32
Proses coaching merupakan dialog antara seorang peserta
dengan orang yang membimbing (fasilitator). Pada penerapan
konteks pendekatan hasil yang produktif, seorang coach akan
melibatkan coachee untuk membicarakan sesuatu yang sudah
diketahui. Coaching mampu meningkatkan kemampuan
berpikir ktitis coachee.
Seorang coach akan membantu coachee dalam proses
pembelajarannya, tetapi ia tidak perlu mengetahui bagaimana
mengerjakan sesuatu dengan lebih baik daripada yang
dikerjakan coachee. seorang coach akan lebih mengobservasi
pola menetapkan tahap-tahap tindakan lebih baik yang akan
dikerjakan. Coaching dilakukan melalui berbagai teknik, di
antaranya mendengarkan dan refleksi. Lewat keduanya,
seorang coach akan menolong coachee untuk membangkitkan
dirinya. Hal ini mendorong cochee untuk berpikir kritis
dengan membangkitkan pertanyaan dan menemukan
jawabannya. 25
Fasilitator yang Efektif
Perbandingan fasilitator efektif dan tidak efektif dapat dilihat
pada tabel berikut.32

Tabel 2. Perbandingan fasilitator efektif dan tidak efektif


Efektif Tidak efektif
Memfokuskan perhatian Memfokuskan perhatian pada
pada praktik klinis teori

Mendorong kerja sama dan Menjaga jarak


hubungan antar sejawat

Berusaha mengurangi stres Sering membuat stres

Komunikasi dua arah Menggunakan komunikasi satu


arah

Melihat dirinya sebagai Melihat dirinya sebagai


fasilitator penguasa atau satu sumber
pengetahuan

Peran fasilitator yang efektif melibatkan semua peserta


dalam memberikan umpan balik yang positif, sementara
fasilitator yang tidak efektif mengendalikan dan menolak
keterlibatan dan gagal memberikan umpan balik yang positif.

Model
Model bimbingan menggunakan coaching telah digunakan di
bidang industri dan berhasil dengan baik. Elemen esensial dari
strategi coaching diuraikan dalam lima konsep yang
dikristalkan dalam akronim COACH. Setiap proses coaching
hendaknya menyertakan elemen-elemen berikut.32
1. C = Clear performance (model kinerja yang jelas). Kepada
peserta hendaknya diperlihatkan secara jelas dan efektif
keterampilan yang mereka pelajari.
2. O = Open learning (keterbukaan untuk belajar). Coaching
harus menyertakan peserta dalam berbagai kegiatan yang
dirancang untuk mempersiapkan belajar dan
menggunakan keterampilan baru.
3. A = Asesessment of performance (penilaian kinerja).
Coaching klinis mengupayakan pengukuran kompetensi
keterampilan yang diajarkan serta memberikan umpan
balik terhadap kemajuan ke arah kinerja sesuai standar.
4. C = Comunication (komunikasi). Komunikasi dua arah
yang efektif antara peserta dan fasilitator merupakan
faktor penting untuk memperoleh keterampilan awal dan
dicapai kompetensi keterampilan.
5. H = Help and follow up (menolong dan tindak lanjut).
Bimbingan klinis hendaknya mencakup juga perencanaan
untuk aplikasi keterampilan pada lingkungan baru peserta
dan membantu mengatasi hambatan dalam penggunaan
keterampilan tersebut.
Keterampilan manajer keperawatan sudah digunakan
untuk menilai dan mengembangkan kompetensi staf. Model
bimbingan coaching mengidentifikasi masalah dengan
membuat tujuan dan dan solusi terpilih yang akan digunakan.
Hal ini bertujuan membangun self efficacy dan meningkatkan
kinerja coachee. Tujuan yang ditetapkan harus sesuai dengan
tujuan organisasi. Salah satu metode coaching yang efektif
mencapai tujuan, yaitu GROW model.
1) G = Goals (tujuan)
Tujuan apa yang akan dicapai dan bagaimana cara
mencapai tujuan tersebut.
2) R = Reality (realitas)
Permasalahan yang dialami, apa yang sudah dilakukan
untuk menyelesaikan masalah.
3) O = Option (pilihan)
Pilihan-pilihan yang bisa dilakukan untuk mengatasi
masalah.
4) W = Wrap-up (ringkasan)
Pilihan langkah paling kuat yang akan lakukan.

Coaching dalam Keperawatan


Seorang manajer keperawatan harus mampu untuk melakukan
perubahan di lingkungan perawatan kesehatan. Pimpinan
perawat saat ini lebih konsisiten dari sebelumnya untuk
pengembangan staf dan mempertahankan kinerja yang
berkualitas. Lebih dari itu, memberikan bimbingan dan
umpan balik kepada staf coaching adalah strategi
pembelajaran dan pengembangan untuk meningkatkan kinerja
individu dan organisasi. Nally menjelaskan, coaching dapat
membuat orang membuka diri untuk melakukan inovasi
dalam bidang organisasi keperawatan. 32
American Nurse Association (ANA) menyatakan bahwa
pimpinan keperawatan bertanggung jawab dan memastikan
kemampuan anggota tim untuk mempertahankan kinerja.
Penerapan bimbingan dapat digunakan dalam berbagai
situasi, di antaranya mengembangkan perencanaan pimpinan
keperawatan yang kompeten, peningkatan kinerja, dan proses
perubahan. Fasilitator (manajer keperawatan) memberikan
arahan kepada staf untuk berpikir kreatif dalam memberikan
pelayanan keperawatan dengan menggunakan petunjuk
evidence based practice dalam lingkungan kerja yang sehat.
Manajer keperawatan harus mampu menjadi role model staf
untuk pengembangan budaya organisasi.32
Aktivitas kegiatan bimbingan didasarkan pada prinsip
pembelajaran orang dewasa: kesadaran, relevansi, tindakan,
dan refleksi. Menggunakan data yang dikumpulkan dari
penilaian proses tahap bimbingan, fasilitator melibatkan
anggota tim berdialog dan merancang kegiatan untuk
meningkatkan kesadaran diri, belajar keterampilan,
mengembangkan kompetensi, perubahan perilaku, dan
pencapaian hasil. Peningkatan dan perbaikan merupakan
bagian integral dari proses bimbingan.54

Efiktivitas
Fungsi dalam manajemen keperawatan adalah perencanaan
(planning), pengorganisasian (organizing), pengarahan dan
implementasi (actuating), dan pengawasan atau pengendalian
(controling) yang dilakukan oleh manajer keperawatan
termasuk kepala ruang, sehingga tujuan pelayanan
keperawatan dapat dicapai sesuai dengan waktu yang telah
ditetapkan secara efektif dan efisien. Seorang kepala ruang
menjadi pemimpin yang efektif apabila mampu menentukan
strategi yang tangguh, menjadi perencana yang andal, menjadi
organisator yang cekatan, motivator yang efektif, pengawas
yang objektif dan rasional, dan tidak terpengaruh oleh
pertimbangan pertimbangan yang subjektif.
Motivator yang baik harus memperhatikan metode yang
tepat dalam upaya mengarahkan, melakukan bimbingan, dan
memberdayakan kompetensi stafnya yang merupakan bagian
dari fungsi actuating dalam fungsi manajemen keperawatan.
Salah satu metode yang dapat digunakan adalah metode
coaching.
Banyak penelitian yang menjelaskan efektivitas coaching
terhadap peningkatan kinerja, salah satunya penelitian
bertujuan untuk mengetahui efektivitas selling skill coaching
terhadap peningkatan kinerja. Berdasarkan analisis data pre-
test dan post-test menggunakan teknik wilcoxon signed rank
test, diperoleh nilai z = -2,368 dengan p = 0,018 (p < 0,05).
Hasil ini mengindikasikan adanya perbedaan yang cukup
signifikan dalam hal pengetahuan selling skill subjek antara
sebelum dan sesudah program coaching.55

DISCHARGE
PLANNING
TERINTEGRASI
Pengertian
Seluruh pasien yang dilakukan perawatan di rumah sakit
membutuhkan discharge planning, di mana isi dari perencaan
tersebut berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan pasien.7
Discharge planning diartikan sebagai persiapan untuk
pemindahan pasien dari satu tingkat perawatan ke tingkat
perawatan yang lain atau perawatan di rumah sakit menuju
perawatan di rumah.39,40 Discharge Planning merupakan suatu
proses yang terpusat, terkoordinasi, dan terdiri dari berbagai
disiplin ilmu yang memberi kepastian bahwa klien mempunyai
suatu rencana untuk memperoleh perawatan berkelanjutan
setelah meninggalkan rumah sakit.41
Discharge planning sebagai suatu proses terdiri dari
langkah-langkah atau tahapan yang segera dilakukan setelah
klien masuk rumah sakit. Perencanaan harus melibatkan
pengembangan dan implementasi rencana untuk memberikan
fasilitas klien dalam perpindahan perawatan dari rumah sakit
ke rumah dengan melibatkan multidisiplin, pasien, dan
keluarga (klien).42 Discharge planning merupakan sebuah
proses perencanaan pemulangan klien yang melibatkan
berbagai disiplin ilmu dengan klien sebagai fokus
pelayanannya yang dilakukan pada saat klien masuk rumah
sakit dan bertujuan untuk memampukan klien melakukan
perawatan lanjutan setelah meninggalkan rumah sakit.

Tujuan
Tujuan discharge planning adalah memberikan pelayanan
terbaik untuk menjamin keberlanjutan asuhan berkualitas
antara rumah sakit dan komunitas dengan memfasilitasi
komunikasi yang efektif. Selain itu discharge planning juga
bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan kualitas
pemberian pelayanan kesehatan dengan memperpendek lama
perawatan, memfasilitasi klien dalam proses perpindahan dari
rumah sakit menuju perawatan rumah atau pelayanan
kesehatan lain. Memberikan informasi tentang kondisi
penyakit dan perawatannya pascahospitalisasi kepada
klien.11,40,43

Prinsip
Prinsip dalam discharge planning adalah sebagai berikut.14,38
1) Libatkan klien sebagai mitra penuh dalam discharge
planning.
2) Diskusikan dengan klien mengenai apa yang harus
diperhatikan dan dilakukan dalam melakukan perawatan
di rumah, tanda-tanda kegawatan, penggunaan obat, hasil
pemeriksaan penunjang, dan jadwal pemeriksaaan ulang
sehingga kemungkinan masalah yang muncul di rumah
dapat diantisipasi.
3) Diskusikan mengenai kondisi klien, proses pemulangan,
dan langkah selanjutnya terkait dengan perawatan pasien
dengan menggunakan bahasa yang sederhana.
4) Perencanaan pulang dilakukan secara kolaborasi
(multidisiplin).
5) Mendengarkan dan menghormati tujuan, preferensi,
pengamatan, serta kekhawatiran klien.
6) Standar format discharge planning yang digunakan harus
dapat digunakan administrasi rumah sakit.
7) Standar format discharge planning yang digunakan
membantu tim kesehatan untuk optimalisasi perawatan
pada klien.
8) Kelengkapan fasilitas seperti leaflet, video, dan alat peraga
sebagai upaya pemenuhan standar.
Pemberi Layanan
Proses discharge planning dibutuhkan sebuah tim
multidisiplin yang harus bekerja secara komprehensif.41
Seorang yang merencanakan pemulangan atau koordinator
asuhan berkelanjutan adalah staf rumah sakit yang berfungsi
sebagai konsultan untuk proses discharge planning
bersamaan dengan tim kesehatan lain.44
Seorang yang merencanakan pemulangan (discharge
planner) bertugas membuat rencana, mengkoordinasikan,
memonitor, dan memberikan tindakan serta proses perawatan
berkelanjutan. Discharge planning menempatkan perawat
pada posisi penting dalam proses perawatan dan tim
perencanaan pulang di rumah sakit. Pengetahuan dan
keterampilan perawat dalam proses keperawatan dapat
memberikan kontinuitas perawatan melalui kegiatan
discharge planning. Perawat merupakan seseorang yang
memiliki komunikasi yang baik dan memahami setiap kondisi
dalam masyarakat.12
Discharge planning diberikan kepada semua klien yang
mendapatkan perawatan di rumah sakit.44 The Royal Marsden
Hospital menyatakan discharge planning tidak hanya
melibatkan pasien, akan tetapi melibatkan keluarga, teman-
teman. dan pemberi layanan kesehatan.12 Dalam arti bahwa
pasien dan seluruh anggota keluarga harus mendapatkan
informasi tentang rencana pemulangan. Kondisi-kondisi
tertentu menyebabkan kebutuhan pelayanan berkelanjutan
tidak dapat terpenuhi, seperti pasien yang menderita penyakit
terminal atau pasien dengan kecacatan permanen. 41

Faktor Pemengaruh
Proses discharge planning menunjukkan bahwa untuk
mendapatkan pelayanan discharge planning yang berkualitas
dibutuhkan kerja sama, perencanaan terstruktur, keamanan
pasien, perawatan berkelanjutan, dan dokumentasi.14
Discharge planning dipengaruhi oleh banyak faktor. Poglitsch
dalam Rofi’i menjelaskan bahwa terdapat lima komponen yang
memengaruhi pelaksanaan perencanaan pulang, yaitu faktor
personel perencanaan, keterlibatan dan pasrtisipasi,
komunikasi, perjanjian dan konsensus, serta waktu. Dijelaskan
bahwa faktor tertinggi yang memengaruhi pelaksanaan
discharge planning adalah perjanjian dan konsensus yaitu
perencanaan pasien setelah pulang dengan nilai p = 0,007
dengan nilai α = 0,05.13
Pelaksanaan discharge planning dipengaruhi faktor
psikologis, individu, dan organisasi. Dijelaskan Gibson bahwa
kinerja seseorang akan dipengaruhi oleh faktor individu
seperti keterampilan, umur, jenis kelamin, dan masa kerja;
juga faktor organisasi seperti kepemimpinan, imbalan, jenjang
karir, struktur, desain pekerjaan. Psikologi menurut Gibson
juga akan memengeruhi kinerja seperti persepsi, sikap,
motivasi, kepribadian, belajar, dan kepuasan kerja.17 Seorang
manajer harus mampu memberikan pengarahan dan petunjuk
yang jelas sehingga mampu meningkatkan semangat dan
komitmen staf dalam memberikan asuhan keperawatan yang
baik.

Discharge Planning sebagai Sistem


Menurut Patersson, sistem perencanaan pulang terdiri atas
tiga area penting, yaitu12
1) Partisipasi klien
Partisipasi klien dalam perencanaan pulang merupakan
suatu hal yang sangat penting. Proses perencanaan pulang
merupakan suatu proses ketika klien dan tenaga
kesehatan berdiskusi dan memutuskan keadaan masa
depan klien, di mana klien akan tinggal dan bagaimana
klien akan menjalani hari-hari berikutnya. Klien perlu
mendapatkan informasi terkait tujuan perencanaan
pulang dan perlu dipersiapkan. Klien yang dipersiapkan
ini dapat berpartisipasi dalam proses perencanaan pulang
dengan menyampaikan kebutuhan dan harapan yang
mereka inginkan setelah keluar dari rumah sakit. Tenaga
kesehatan bertanggung jawab untuk menciptakan
pemahaman dengan menggunakan dialog dan umpan
balik.

2) Kompetensi praktisi
Proses discharge planning memerlukan kompetensi
tenaga kesehatan, di antaranya kemampuan
mendengarkan kebutuhan dan harapan klien, pendapat
dari anggota tim kesehatan lain, dan tidak hanya berpikir
bahwa mereka sendiri yang mampu menyelesaikan semua
masalah. Pemahaman tentang proses discharge planning
sangat penting dimiliki karena proses ini rutin dilakukan
di tempat pelayanan kesehatan. Kepercayaan diri tenaga
kesehatan di hadapan klien juga menentukan
keberhasilan proses discharge planning.

3) Dukungan organisasi
Dukungan oganisasi disepakati sebagai bagian yang
diperlukan dalam proses discharge planning. Organisasi,
dalam hal ini rumah sakit, perlu mengetahui bahwa proses
discharge planning pasien merupakan aktivitas yang
penting. Saat ini banyak dijumpai aktivitas discharge
planning bukan merupakan tugas prioritas di rumah
sakit, sehingga rumah sakit perlu memahami pertanggung
jawaban terhadap proses perencanaan pulang bagi pasien.
Model
Model perawatan yang berpusat pada pasien merupakan
karakteristik kunci kualitas pelayanan kesehatan. Dalam
model ini, pilihan klien, nilai, dan kebutuhan informasi
menjadi karakteristik utama dalam pemberian layanan
kesehatan. Model perawatan yang berpusat pada klien telah
banyak diteliti, hasil penelitian menunjukkan klien
mengekpresikan keinginan tentang informasi dan mereka
memilih terlibat secara aktif serta memperhatikan sudut
pandang klein.45,46
Pengelolaan discharge planning yang berkualitas
bertujuan untuk mengurangi kunjungan ulang dengan kasus
yang sama, daftar tunggu yang panjang, pemulangan yang
tertunda, jumlah hari perawatan memanjang, dll. Masalah ini
muncul karena adanya pertumbuhan dan kompleksitas jumlah
penyakit kronis. Selain itu, adanya peningkatan permintaan
untuk proses dan perawatan berkualitas tinggi. Efektivitas
discharge planning memerlukan praktisi kesehatan yang
mempunyai kompetensi yang tepat. Model discharge planning
yang tepat akan memengaruhi kualitas discharge planning
yang diberikan kepada pasien.47 National Council of Social
Service (NCSS) mengatakan bahwa discharge planning
merupakan tindakan keperawatan sitematis yang dimulai dari
pengkajian sampai dengan evaluasi dan tindak lanjut. 48 Hal ini
seperti yang terlihat pada gambar berikut.
Pengkajian Pasien

Penerimaan

Pengkajian multidisiplin

Interpretasi data

Pengkajian Pasien

Rencanakan perawatan dan


perencanaan pemulangan, libatkan
klien dan care giver Penerimaan

Pengkajian multidisipli
Implementasi

Interpretasi data
Monitor tujuan, kaji kembali
perencanaan (dibutuhkan
perubahan), perkembangan
kesehatan
Rencanakan perawatan d
perencanaan pemulangan, lib
klien dan care giver
Pemulangan

Implementasi
Tindak lanjut

Monitor tujuan, kaji kemb


perencanaan (dibutuhka
Gambar 1. Model pelaksanaan discharge planning
perubahan), perkembang
kesehatan

Pemulangan

Tindak lanjut
Implementasi
Proses discharge planning terdiri dari tiga fase, yaitu akut,
transisional, dan pelayanan berkelanjutan. Pada fase akut,
perhatian utama medis berfokus pada usaha discharge
planning. Sedangkan pada fase transisional, kebutuhan
pelayanan akut selalu terlihat, tetapi tingkat urgensinya
semakin berkurang dan pasien mulai dipersiapkan untuk
pulang serta merencanakan kebutuhan perawatan masa
depan. Pada fase pelayanan berkelanjutan, pasien mampu
berpartisipasi dalam perencanaan dan pelaksanaan aktivitas
perawatan berkelanjutan yang dibutuhkan setelah
pemulangan. 49,50
Hal ini juga disepakati dalam National
Council of Social Service di Singapura bahwa pelaksanaan
discharge planning harus terprogram dimulai dari pasien
masuk sampai pasien siap dipulangkan.48
1. Pengkajian
a) Sejak pasien masuk, kaji kebutuhan pemulangan
pasien dengan menggunakan riwayat keperawatan,
berdiskusi dengan pasien dan care giver, fokus pada
pengkajian berkelanjutan terhadap kesehatan fisik
pasien, status fungsional, sistem pendukung sosial,
sumber-sumber finansial, nilai kesehatan, latar
belakang budaya dan etnis, tingkat pendidikan, serta
rintangan terhadap perawatan.
b) Kaji kebutuhan pasien dan keluarga terhadap
pendidikan kesehatan berhubungan dengan
bagaimana menciptakan terapi di rumah, penggunaan
alat-alat medis di rumah, larangan sebagai akibat
gangguan kesehatan, dan kemungkinan terjadinya
komplikasi. Kaji cara pembelajaran yang lebih
diminati pasien (seperti membaca, menonton video,
atau mendengarkan petunjuk-petunjuk). Tipe materi
pendidikan yang berbeda-beda dapat meningkatkan
efektivitas cara pembelajaran yang berbeda pada
pasien.
c) Kaji bersama-sama dengan pasien dan keluarga faktor
lingkungan rumah yang mungkin menghalangi
perawatan diri seperti ukuran ruangan, kebersihan
rumah, lebar jalan, fasilitas kamar mandi, dan
ketersediaan alat-alat yang berguna.
d) Kolaborasi dengan dokter dan profesi lain untuk
mengkaji kebutuhan rujukan di pelayanan perawatan
rumah yang terlatih atau fasilitas perawatan yang
lebih luas.
e) Kaji persepsi pasien dan keluarga terhadap
keberlanjutan perawatan kesehatan di luar rumah
sakit. Mencakup pengkajian terhadap kemampuan
keluarga untuk mengamati care giver dalam
memberikan perawatan kepada pasien. Pengambilan
keputusan atas perawatan pasien harus dilakukan
bersama antara pasien, keluarga, dan perawat.
f) Kaji penerimaan pasien terhadap masalah kesehatan
berhubungan dengan pembatasan.
g) Konsultasikan tim pemberi layanan kesehatan yang
lain tentang kebutuhan setelah pemulangan (seperti
ahli gizi, pekerja sosial, perawat klinik spesialis,
perawat pemberi perawatan kesehatan di rumah),
serta tentukan kebutuhan rujukan.

2. Diagnosis
Diagnosis keperawatan didasarkan pada pengkajian
discharge planning, seperti cemas, takut, kurang
pengetahuan, pemeliharaan rumah, manajemen resimen
terapuetik, intoleransi aktivitas, gangguan perawatan diri
(ADL), gangguan mobilitas fisik, kebutuhan nutrisi, risiko
ketidakseimbangan kadar glukosa darah, dan nyeri.
Diagnosis tersebut dikembangkan untuk mengetahui
kebutuhan klien.

3. Perencanaan
Perencanaan pemulangan pasien membutuhkan
identifikasi kebutuhan spesifik. Kebutuhan rencana
pengajaran yang baik untuk persiapan pulang klien, yang
disingkat dengan METHOD, yaitu
a) Medication (obat)
Pasien sebaiknya mengetahui obat yang harus
dilanjutkan setelah pulang.
b) Environment (lingkungan)
Lingkungan tempat klien akan pulang dari rumah
sakit sebaiknya aman. Pasien juga sebaiknya memiliki
fasilitas pelayanan yang dibutuhkan untuk
kontinuitas perawatannya.
c) Treatment (pengobatan)
Perawat harus memastikan bahwa pengobatan dapat
berlanjut setelah klien pulang yang dilakukan oleh
klien atau anggota keluarga. Jika hal ini tidak
memungkinkan, perencanaan harus dibuat sehingga
seseorang dapat berkunjung ke rumah untuk
memberikan keterampilan perawatan.
d) Health teaching (pengajaran kesehatan)
Klien yang akan pulang sebaiknya diberitahu
bagaimana mempertahankan kesehatan. Termasuk
tanda dan gejala yang mengindikasikan kebutuhan
perawatan kesehatan tambahan.
e) Outpatient referral
Klien sebaiknya mengenal pelayanan dari rumah sakit
atau agen komunitas lain yang dapat meningkatan
perawatan berkelanjutan.
f) Diet
Klien sebaiknya diberi tahu tentang pembatasan pada
dietnya.

4. Tindakan
Implementasi adalah pelaksanaan rencana
pengajaran, seluruh pengajaran yang diberikan harus
didokumentasikan pada catatan perawat dan ringkasan
pulang (discharge summary).
Penyerahan home care dibuat sebelum klien pulang.
Informasi tentang pasien dan perawatannya diberikan
kepada keluarga dan pasien. Seperti informasi tentang
jenis pembedahan, pengobatan, status fisik dan mental
klien, faktor sosial (misal kurang atau tidak ada pemberi
perawatan), kebutuhan yang diharapkan oleh klien, dan
ketersediaan transportasi.

5. Evaluasi
Evaluasi terhadap proses discharge planning
merupakan hal penting. Perencanaan dan pelaksanaan
harus diteliti dengan cermat untuk menjamin kualitas dan
pelayanan yang diberikan sesuai harapan klien. Evaluasi
berjalan terus-menerus dan membutuhkan perubahan.
Evaluasi dari proses pemulangan dapat dilakukan
satu minggu setelah pemulangan, dilakukan melalui
telepon, kuesioner, atau kunjungan rumah (home visit).
Indikator keberhasilan discharge planning dapat dilihat
melalui variabel berikut:
a. derajat penyakit;
b. hasil yang diharapkan dari perawatan;
c. durasi perawatan yang dibutuhkan;
d. jenis-jenis pelayanan yang diperlukan;
e. komplikasi tambahan; dan
f. ketersediaan sumber-sumber.

Efektivitas
Discharge Planning yang efektif mendukung keberlanjutan
perawatan kesehatan, antara tempat pelayanan kesehatan
dengan komunitas, berdasarkan kebutuhan individu klien. Hal
ini disebabkan discharge planning digambarkan sebagai
hubungan kritis antara pengobatan atau perawatan yang
diterima klien di rumah sakit dengan perawatan yang diterima
klien setelah pemulangan.
Discharge planning yang dilakukan kepada pasien dapat
menurunkan lama rawat inap dan menurunkan angka
kekambuhan. Sulch membuktikan bahwa intervensi discharge
planning telah meningkatkan kualitas hidup pasien dan
aktivitas hidup sehari-hari dibanding pada kelompok kontrol.
Klien yang menerima intervensi discharge planning
mengalami peningkatan tingkat kepuasan dengan perawatan
mereka di rumah sakit dan perawatan pemulangan. Cost
effectiveness sebagai pengaruh dari implementasi discharge
planning dilaporkan dapat menghemat biaya pelayanan
kesehatan.11,40
Efek pemberian discharge planning pada saat masuk dan
adanya tujuan yang tertulis, brosur atau leaflet perencanaan
dengan video dan diikuti dengan tindakan tindak lanjut
melalui telepon pada 48—72 jam setelah pemulangan dan 10—
14 hari setelah pemulangan terbukti meningkatkan kesiapan,
kepuasan dan perasaan lebih percaya diri tentang perawatan
yang harus dilakukan.51
PERTALIAN
DUA VARIABEL
Kemampuan Coaching Kepala Ruang
Supervisi klinis merupakan sebuah proses profesional yang
dilakukan oleh supervisor melalui proses pengarahan,
pembimbingan dan evaluasi kepada supervisee secara terus
menerus sehingga tercapai kualitas pelayanan yang optimal.
Coaching salah satu metoda yang efektif dalam melakukan
pengarahan dan pembimbingan untuk meningkatkan
kinerja.31,32 seoarang kepala ruang harus mempunyai
kemampuan coaching untuk mengembangkan keterampilan
praktik dan kompetensi perawat sehingga meningkatkan
kinerja individu dan organisasi.33–36
Setelah dilakukan intervensi yaitu pelatihan coaching,
kemampuan coaching kepala ruang meningkat secara signikan
dengan perubahan nilai mean dari 10,25 menjadi 22,75. Sesuai
dengan yang dikemukakan oleh Dedi Kurniadi bahwa
pelatihan akan meningkatkan penguasaan ketemapilan dan
keahlian.60 Siagian menyatakan bahwa pelatihan dapat
membantu perawat untuk bekerja dengan baik, berperilaku
lebih baik, dan mampu meningkatkan rasa percaya diri. 61 Hal
ini sejalan dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan yang menjelaskan bahwa dalam
pengembangan keahlian dan kewenangan secara terus
menerus harus ditungkatkan mutunya melalui pendidikan
berkelanjutan salah satunya adalah pelatihan. 62

Kualitas Discharge Planning


Discharge planning merupakan bagian dari asuhan
keperawatan sehingga kualitas discharge planning akan
mencerminkan kualitas asuhan keperawatan. Menjaga kualitas
merupakan tanggung jawab semua individu.63 Discharge
planning yang berkualitas harus terprogram dan sistematis.
Discharge planning yang berkualitas akan meningkatkan
kemandirian pasien sehingga menurunkan LOS, selain itu
mampu mengurangi kasus kambuh dan kunjungan ulang serta
mencegah komplikasi dari penyakit sehingga akan
meningkatkan kepuasan pelanggan akan pelayan yang
diberikan rumah sakit yang berpengaruh terhadap citra rumah
sakit. 4,8,9,11,12
Hasil amatan yang dilakukan di RSUD KRT Setjonegoro
dengan menggunakan lembar observassi terhadap dokumen
pelaksanaan discharge planning dengan 33 item pernyataan
dan pilihan jawaban 1 (satu) jika tidak ada data, 2 (dua) jika
data lengkap namun tidak relevan, 3 (tiga) jika data relevan
namun tidak lengkap sedangkan 4 (empat) jika data lengkap
dan relevan. Hasil amatan menunjukkan bahwa rata-rata hasil
observasi yaitu nilai 2 (dua) dan (tiga) dengan nilai mean
80,70 pada kelompok intervensi dan 78,47 pada kelompok
kontrol. Sejalan hasil penelitian Wong dan Graham yang
menunjukkan bahwa pelaksanaan discharge planning belum
optimal, demikian juga kondisi di Indonesia. Hasil laporan
menunjukkan bahwa discharge planning dilakukan setelah
pasien pulang dan pada kasus-kasus pasien pulang paksa
discharge planning terkadang tidak dilakukan. 7,15,18
Kualitas discharge planning setelah pelatihan mengalami
peningkatan pada kelompok intervensi yaitu nilai mean 98,41,
begitu juga pada kelompok kontrol yaitu 81,65. Perlakukan
yang dilakukan pada kelompok intervensi, yaitu dengan
memberikan bimbingan dan pengarahan menggunakan
coaching yang dilakukan oleh kepala ruang. Sedangkan pada
kelompok kontrol yaitu dengan memberikan draf standar
prosedur operasional tentang discharge planning. Hasil
amatan menunjukkan bahwa supervisi dengan memberikan
bimbingan dan pengarahan lebih signifikan dalam
meningkatkan kualitas discharge planning, yaitu
meningkatkan nilai mean 17,76 dibandingkan dengan
pemberian standar prosedur operasional yaitu meningkatkan
nilai mean sebesar 3,17.
Bimbingan dan pengarahan merupakan bagian dari
pelaksanaan supervisi. Standar operasional prosedur
merupakan kebijakan internal rumah sakit yang bertujuan
untuk meningkatankan kepatuhan staf dalam melakukan
sebuah tindakan. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
kebijakan, supervisi, dan motivasi berperan kuat dalam
meningkatkan kualitas discharge planning. 15–17

Peningkatan Kemampuan Coaching


Kepala Ruang
Tuntutan masyarakat akan pelayanan kesehatan terus
berkembang. Dibutuhkan perubahan dan inovasi dari berbagai
pihak untuk mendapatkan kualitas pelayanan kesehatan sesuai
harapan masyarakat. Menjadi tantangan tersendiri bagi pihak
manajemen untuk mewujudkan hal tersebut. Upaya-upaya
harus dioptimalisasi termasuk merubah metode dalam
melakukan supervisi sehingga mampu meningkatkan kinerja
baik individu maupun organisasi. Coaching merupakan suatu
cara dalam melakukan supervisi.27–30 Dijelaskan bahwa
coaching merupakan metode supervisi yang paling efektif
dibandingkan metode mentoring dan supervisi klasik.30
Coaching merupakan sebuah kompetensi yang harus dimiliki
oleh seorang manajer.
Hasil amatan menunjukkan terdapat peningkatan
kemampuan coaching kepala ruang sebelum dilakukan
pelatihan dan setelah dilakukan pelatihan dengan p-value -
0,02 pada kelompok intervensi. Berbeda dengan kelompok
kontrol hasil analisa menunjukkan tidak ada perubahan yang
signifikan yaitu p-value 0,5. Hal ini menunjukkan bahwa
terdapat pengaruh pelatihan coaching yang diberikan kepada
kepala ruang.
Penelitian dilakukan dengan tiga tahap pengukuran, yaitu
pengukuran awal sebelum dilakukan pelatihan, pengukuran
empat minggu setelah pelatihan, dan pengukuran delapan
minggu setelah pelatihan. Seperti teori yag dikemukakan oleh
Roger bahwa berubah akan dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pengetahuan, persuasi, pengambilan keputusan, serta
konfirmasi.64 Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan yang
diberikan melalui pelatihan merupakan hal penting yang
mampu meningkatkan produktivitas sebagai penentu
keberlangsungan organisasi.60
Pengukuran yang dilakukan pada minggu keempat dan
kedelapan tidak mempunyai perubahan yang bermakna yaitu
p-value 0,182. Sesuai dengan teori perubahan dari Lewin yang
mengemukakan bahwa sesorang untuk bergerak ke dalam
keadaan yang baru karena mempunyai cukup informasi
mengetahui tahap-tahap untuk berubah, akan tetapi untuk
mencapai proses pembekuan atau keseimbangan baru harus
tetap dijaga agar tidak mengalami kemunduran atau tahap
perkembangan semula yaitu dengan cara pemberian umpan
balik dan upaya pembinaan secara terus-menerus.65
Pada pengukuran kelompok kontrol tidak ada perubahan
yang bermakna di tiap pengukuran. Hal ini menunjukkan ada
perbedaan antara kelompok kontrol dan kelompok intervensi.
Kondisi ini menguatkan hipotasa penelitian bahwa terjadi
peningkatan kemampuan coaching kepala ruang sebelum dan
setelah dilakukan pelatihan.
Peningkatan Kualitas Discharge Planning

Discharge planning yang berkualitas merupakan salah satu


indikator kualitas asuhan keperawatan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa coaching mampu meningkat kinerja
perawat, meningkatkan kompetensi pemasangan endotracheal
tube serta meningkatkan kompetensi perawatan luka. 37,66,67
Subramanian menyatakan coaching merupakan bagian dari
supervisi. Natasia menyatakan bahwa supervisi mampu
meningkakan kinerja perawat dalam melakukan dokumentasi
discharge planning.17,30 Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa coaching mampu meningkatkan kualitas discharge
planning dengan p-value 0,00.
Bibliografi

1. KARS, Direktorat Jenderal Bina Upaya Kesehatan


Kementerian Kesehatan. Standar Akreditasi Rumah
Sakit. Kementerian Kesehatan; 2011.
2. Pemila U. Konsep Discharge Planning. FK UI. fk.iu.ac.id.
Published 2014.
3. Coleman, Cough William et. all. understanding And
Execition Of Discharge Instruction. Am J Med Qual.
2013;5.
4. Block L, Morgan-Gouveia M, Levine RB, Cayea D. We
Could Have Done a Better Job: A Qualitative Study of
Medical Student Reflections on Safe Hospital Discharge. J
Am Geriatr Soc. 2014;62-6. doi:1147–1154, 2014.
5. Wahyuni Aria, Elly Nurrocman DG. kesiapan pulang
pasien penyakit jantung koroner melalui penerapan
discarge planning. J Keperawatan Indones. 2012;15 N0 3.
6. Ekim A. Efficacy of a transition teory-base discharge
planning program for children ashtma management. Int J
Nurs Knowladge. 2015.
7. Graham Jane RG and JB. Nurses’ discharge planning and
risk assessment: behaviours, understanding and barriers.
J Clin Nurs. 2013;22. doi:10.1111.
8. Pemila U, Sitorus R, Hastono SP. Penurunan risiko
kambuh dan lama rawat pada klien stroke iskemic melalui
perencanaan pemulangan terstruktur. Jural Keperwatan
Indones. 2010;Vol 3 No 3.
9. Wee S-L, Loke C-K, Liang C. Effectiveness of a National
Transitional Care Program in Reducing Acute Care Use.
Am Geriatr Soc. 2014;62:747–753. doi:10.1111/jgs.12750.
10. Zekry D, Herrmann FR, E. Graf C, et al. High Levels of
Comorbidity and Disability Cancel Out the Dementia
Effect in Predictions of Long-Term Mortality after
Discharge in the Very Old. Dement Geriatr Cogn Disord.
2011;32:103. doi:10.1159/000326950.
11. Wrobleski DMS, Joswiak ME, Dunn DF, Maxson PM,
Holland DE. Discharge Planning Rounds to the Bedside :
A Patient- and Family- Centered Approach. 2014;23(2).
12. Purnamasari I. Rancangan model perencanaan pulang
anak diare studi kasus di RSUD KRT Setjonegoro
Wonosobo. 2014. tesis Fakultas Kedokteran Program
Studi Magister Keperawatan Universitas Gajah Mada
tidak dipublikasikan.
13. Rofii M, Haryati TS, Pujasari H. Perjanjian dan konsensus
dalam pelaksanaan perencanaan pulang pada perawat
rumah sakit. J Keperawatan Indones. 2012;Vol. 15 No.
14. Agency For Healt care Research and Qualily (AHQR).
IDEAL Discharge Planning Overview, Process, and
Checklist. US; 2015. http://www.ahrq.gov/patients-
consumers/index.html.
15. Wong EL, HK Yam C, WL A. Barrier to efective discharege
planning: aqualitatif study investigating the perspective of
frontline healt care profesional. BMC Heal Cervice.
2011;11:242. doi:10.11861/14 72-69 11-242.
16. Istiyati S, Harya nto S, Subandono J. Pelaksanaan
discharge planning pada pasien post sectio caesaria. J
Kebidanan dan Keperawatan. 2014;Vol. 10 No.
17. Natasia N, Andarini S, Koeswo M. Hubungan antara
Faktor Motivasi dan Supervisi dengan Kinerja Perawat
dalam Pendokumentasian Discharge Planning di RSUD
Gambiran Kota Kediri. J Apl Manaj. 2014;Vol 12 No .
18. Setiawan H, Triwijayanti R, Rahayu CD, Astuti EE.
Implementasi Supervisi Klinis Keperawatan Kepala
Ruang Terhadap Pelaksanaan Timbang Terima, DRK
Dan Dokumentasi Keperawatan. Semarang; 2015. Tidak
dipublikasikan.
19. Widyaningtyas KS. Analisis Faktor-Faktor Yang
Memengaruhi Kepatuhan Perawat Dalam
Pendokumentasian Asuhan Keperawatan. Institutional
Repos. 2010. http://eprints.undip.ac.id/.
20. Kamaluddin R, Rahayu E. Analisis Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Kepatuhan Asupan Cairan pada Pasien
Gagal Ginjal Kronik dengan Hemodialisis di RSUD Prof.
Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. JKS. 2009;4.
http://jos.unsoed.ac.id/index.php/keperawatan/article/vi
ew/175.
21. Numminen O, Laine T, Isoaho H. Do educational
outcomes correspond with the requirements of nursing
practice: educators’ and managers’ assessments of novice
nurses’ professional competence. J Caring Sci. 2014;28;
812–82. doi:10.1111/scs.12115.
22. Rahayu CD. Analisis Faktor-Faktor Yang Mempengeruhi
Kualitas Discharge Planning Terhadap Tingkat
Kemandiarian Pasien Dengan Gangguan Cardiovarcular
Pasca Hositalisasi. 2014:64. unsiq.ac.id.
23. Kok EJ. Coaching Genius. pertama. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama; 2015.
24. Stephen Neale LS-A and LW. Emotional Intelegent
Coaching Improving Performance for Leaders, Coaches
and the Individual. London and Philadelphia: Kogan
Page; 2009.
25. Jonathan Passmore. An Integrative Model for Executive
Coaching. Consult Psychol J Pract Res. 2007;59, No. 1:68-
78. doi:10.1037/1065-9293.59.1.68.
26. McNamara MS, Fealy GM, Casey M, et al. Mentoring,
coaching and action learning: interventions in a national
clinical leadership development programme. J Clin Nurs.
2014;23, 2533–2. doi:10.1111/jocn.12461.
27. Brinkert R. Conflict coaching training for nurse managers:
a case study of a two-hospital health system. J Nurs
Manag. 2011;19, 80–91. doi:10.1111/j.1365-
2834.2010.01133.x.
28. Vikki G Brock. grounded teori of the roots and emergence
of coaching. 2008.
29. Nursalam. Manajemen Keperawatan Aplikasi Dalam
Praktik Keperawatan Profesional. edisi 3. Jakarta:
Salemba Medika; 2012.
30. Subramaniam A, Silong AD, Uli J, Ismail IA. Effects of
coaching supervision, mentoring supervision and abusive
supervision on talent development among trainee doctors
in public hospitals: moderating role of clinical learning
environment. BMC Med Educ. 2015;15:129.
doi:10.1186/s12909-015-0407-1.
31. Serio IJ. Using coaching to create empowered nursing
leadership to change lives. Contin Educ Nurs. 2014.
doi:10.3928/00220124-20140103-14.
32. Nurhayani S. Hubungan karakteristik perawat pelaksana
dengan kemampuan kepala ruang melakukan bimbingan
(coaching) menurut persepsi perawat pelaksana diruang
rawat inap rumah sakit haji Jakarta. tidak dipublikasikan.
2011.
33. Donner G, Wheeler MM. Coaching in Nursing: An
Introduction. Genewa ,: International Council Of Nurses
and The Honor Society of Nursing: Genewa, Sigma Theta
Tau International: Indianapolis; 2009.
34. Batson VD, Yoder LH. Managerial coaching: a concept
analysis. J Adv Nurs. 2012;68(7). doi:10.1111/j.1365-
2648.2011.
35. Chyntia B. The effect of coaching on nursing manager
leadership of unit base performance improvement:
Exkploratory Case Study. 2013. Uknowladge@lsv.uky.edu.
36. Fielden SL, Davidson MJ, Sutherland VJ. Innovations in
coaching and mentoring: implications for nurse leadership
development. Heal Serv Manag Res. 2009;22: 92–99.
doi:10.1258/hsmr.2008.008021.
37. Handiyani D, Murti B, Subandono J. Pengaruh metode
bimbingan coaching dan motivasi terhadap kompetensi
rawat luka di akademi keperawatan Pemerintah Kota
Pasuruan. 2011.
38. American Healt Asosiation. Health IT assistance found in
their own backyards. Hospitals & Health Networks /
AHA. http://web.a.ebscohost.com/. Published 2015.
39. Bulekheck GM and Dochterman JM. Nursing
Intervention Clasification (NIC). ST Louis: Mosby; 2013.
40. Shepperd S, Parkes J, McClaren J PC. Discharge planning
from hospital to home. pubmed. 2010.
41. Patricia P. No TitlePatricia A, Fundamental of Nursing:
Concepts, Proses Adn Practice. 1st Editio. Jakarta: EGC;
2005.
42. Salter M. Discharge planning Patient and carer
satisfaction. 2016;12(8):43-46.
43. Thungjaroenkul P. The Impact of Nurse Staffing on
Hospital Costs and Patient Length of Stay:A Systematic
Review. CNE vo25. 2007.
44. Discharge Planning Ascocition. Discharge Planning.
http://www.dischargeplanning.org.au/. Published 2008.
45. Antoni Mery K & Barr DH. A Patient Centered Model Of
Care for Hospital Discharge. Clin Nurs Res. 2004;ol. 13
no. doi:10.1177/1054773804263165.
46. Florin J. Patient participation in clinical decision making
in nursing – a collaborative effort between patients and
nurses. Joanna Jansdotter. 2007.
47. Nitya Ahilandam Kamalanathan, Alan Eardley, Caroline
Chibelushi TC. Improving the Patient Discharge Planning
Process through Knowledge Management by Using the
Internet of Things. Sci Res. 2013;3 No.2A.
doi:10.4236/ait.2013.32A003.
48. National Council of Social Service (NCSS). Care and
Discharge Planning A Guide for Service Providers.
Singapura National Council of Social Service. Singapura;
2006. doi:032/SDD19/DEC06.
49. Perry & Potter. Clinical Nursing Skill Anda Technique. 6
edition. Missouri: Mosby.Inc; 2006.
50. Johnson M, Sense L, Capass d V. Improving Patient Flow
Through a Better Discharge Proces. J Healthc Manag.
2012;57:2. doi:111-152.
51. Hager JS. Effect of discharge planning intervention on
perceived readines for discahrge, doctor of nursing
practice system change projec. 2010.
52. Verwey R, Weegen S van der, Tange H, at all. A case study
of the user-centred design process and testing of a web-
based coaching system to stimulate the physical activity of
chronically ill patients in primary care. Inform Prim Care.
2012;20:289-298.
53. Pramudianto. I’m a Coach Strategi Mengembangkan
Potensi Diri Dengan Coaching. Yogyakarta: CV ANDI
OFFSET; 2015.
54. Goaldsmit & Laurence. Coaching for Leadership. 2nd ed.
San Francesco: Ca Pfiffer; 2006.
55. Aryanti NF. Efektivitas selling skill coaching terhadap
peningkatan kinerja salesman pt. Pesona graha hexa
mandiri semarang. 2015.
56. Sugiono. Metodologi Penelitian Manajemen. Bandung:
Alfabeta; 2014.
57. Polit D, CT B. Nursing Research Methods, Appraisal and
Utilization. 6th Ed. Philadelphia: Lippincott William and
Wilkins; 2006.
58. Darma KK. Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta:
CV. Trans Info Media; 2011.
59. Dahlan s. Langkah-Langkah Membuat Proposal
Penelitian. Jakarta: Cv Sagung Seto; 2008.
60. Kurniadi K, Irianto J. Prinsip-Prinsip Dasar Manajemen
Pelatihan. Bandung; 2007.
61. Siagian S. Pengembangan Sumber Daya Manusia.
Jakarta: Rineka Cipta; 2009.
62. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Undang-
Undang No.36 Tentang Kesehatan. Indonesia; 2009.
63. Al-Assaf. Mutu Pelayanan Kesehatan Perspektif
Internasional. Fema Solek. (Srita Agusti Hardiyanti, ed.).
Jakarta: EGC; 2009.
64. Alligood MR and AMT. Nursing Theorist and Their Work.
sixth edit. Philadelpia: Elsevier Mosby; 2012.
65. Nursalam. Manajemen keperawatan:Aplikasi Dalam
Praktik Keperawatan Profesional. 3rd ed. Salemba
Medika; 2011.
66. Lestari M. Model Coaching GROW Untuk Meningkatkan
Kinerja Perawat Pelasana Di RS Islam Sultan Agung
Semarang. 2014. Tesis. Program Studi Magister
Keperawatan. Fakultas Kedokteran Unversitas
Diponegoro. Tidak Dipublikasikan.
67. Murwani A. Pengaruh Metode Bimbingan Coaching dan
Motivasi Terhadap Kompetensi Melakukan Pemasangan
Endotracheal Tube pada Mahasiswa STIKES Surya Global
Yogyakarta. 2010.
BIODATA PENULIS

Candra Dewi Rahayu, S. Kep., Ns.,


1  Nama Lengkap (dengan gelar)
M.Kep.

2  Jenis Kelamin  P

3  Jabatan Fungsional  Asisten Ahli

4 Pangkat/Golongan III B

5  NIDN  0629018703

6  No Sertifikat Pendidik  19106103006251

7  Tempat, Tanggal Lahir Wonosobo, 29 Januari 1986

8  E-mail candra.ners@gmail.com

9  Nomor Telepon/HP  08112920090


 Jl. Raya kalibeber km.03 Mojotengah
10  Alamat Kantor
Wonosobo

11  Nomor Telepon/Faks  (0286)323737

12  Lulusan yang Telah Dihasilkan  S-1 = - orang; S-2 = -orang; S-3 = - orang

13  Nomor Telepon/Faks  (0286)323737

1. Konsep Dasar Keperawatan


2. Metodologi Keperawatan
14  Mata Kuliah yang Diampu 3. Dokumentasi keperawatan
4. Manajemen Keperawatan
5. Keperawatan Gawat Darurat

6. Manajemen Pasien Safety

7. Falsafah dan Teoeri Keperawatan

Riwayat Pendidikan
S-1 Profesi Ners S-2

Stikes ‘Aisyiyah Stikes ‘Aisyiyah  UNDIP


 Nama Perguruan Tinggi
Yogyakarta Yogyakarta Semarang

Keperawatan Manajemen
 Bidang Ilmu  Keperawatan
Keperawatan

 Tahun Masuk-Lulus  2005-2009 2009-2010  2014-2016

- Pengaruh
Hubungan Coaching
Perilaku Caring Kepala Ruang
Perawatan Terhadap
Dengan Mutu Kualitas
 Judul
Pelayanan Dokumentasi
Skripsi/Tesis/Disertasi
Keperawatan di Disharge
RSUD KRT Planning di
Setjonegoro RSUD KRT
Wonosobo Setjonegoro
Wonosobo

Anda mungkin juga menyukai