Anda di halaman 1dari 50

ETIKA BISNIS ISLAM

DOSEN PENGAMPU : IDWAL B,MA.

DISUSUN OLEH :
NAMA : DENI ELVA RIANI
NIM : 2111130096

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


JURUSAN EKONOMI ISLAM
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI FATMAWATI SUKARNO
BENGKULU
TAHUN 2022 / 2023
A. Pembahasan Tentang Konsep Etika Bisnis
1. Definisi Etika Bisnis
Menurut para ahli, etika tidak lain adalah aturan prilaku, adat kebiasaan
manusia dalam pergaulan antara sesamanya dan menegaskan mana yang benar dan
mana yang buruk. Perkataan etika atau lazim juga disebut etik, berasal dari kata
Yunani Ethos, yang berarti norma-norma, nilai-nilai, kaidah-kaidah dan ukuran-
ukuran bagi tingkah laku manusia yang baik.
Adapun definisi bisnis dalam ilmu ekonomi, bisnis adalah suatu organisasi
yang menjual barang atau jasa kepada konsumen atau bisnis lainnya, untuk
mendapatkan laba.6 Secara historis kata bisnis dari bahasa Inggris business, dari
kata dasar busy yang berarti "sibuk" dalam konteks individu, komunitas, ataupun
masyarakat. Dalam artian, sibuk mengerjakan aktivitas dan pekerjaan yang
mendatangkan keuntungan.
Secara etimologi, bisnis berarti keadaan dimana seseorang atau sekelompok
orang sibuk melakukan pekerjaan yang menghasilkan keuntungan. Kata "bisnis"
sendiri memiliki tiga penggunaan, tergantung skupnya, penggunaan singular kata
bisnis dapat merujuk pada badan usaha, yaitu kesatuan yuridis (hukum), teknis, dan
ekonomis yang bertujuan mencari laba atau keuntungan.
Secara bahasa, bisnis mempunyai beberapa arti; usaha, perdagangan, toko,
perusahaan, tugas, urusan, hak, usaha dagang, usaha komersial dalam dunia
perdagangan atau bidang usaha.1.
Dengan demikian bisnis merupakan aktifitas yang cakupannya sangat luas;
ia meliputi aktifitas memproduksi barang tambang atau pertanian dari bumi,
memproses bahan bahan dasar hingga berguna, membuat berbagai barang jadi,
mendistribusikan barang, menyediakan jasa, menjual dan membeli barang
dagangan ataupun aktifitas yang berkaitan dengan suatu pekerjaan yang bertujuan
untuk memperoleh penghasilan.
Terdapat banyak versi dari definisi etika bisnis dari berbagai pihak, dan
berikut adalah beberapa definisi etika bisnis:

1
Nihayatul Masykuroh, ETIKA BISNIS ISLAM, ed. by Mujang Kurnia (Banten: Media Karya
Publishing, 2020).
a. Menurut Laura Nash (1990), etika bisnis sebagai studi mengenai bagaimana
norma moral personal diaplikasikan dalam aktivitas dan tujuan perusahaan.
b. Etika bisnis adalah istilah yang biasanya berkaitan dengan perilaku etis atau
tidak etis yang dilakukan oleh manajer atau pemilik suatu organisasi (Griffin &
Ebert, 2007).
c. Menurut Velasques (2005), etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan
mengenai moral yang benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar
moral sebagaimana diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis.
d. Menurut Irham Fahmi (2013), etika bisnis adalah aturan-aturan yang
menegaskan suatu bisnis boleh bertindak dan tidak boleh bertindak, dimana
aturan-aturan tersebut dapat bersumber dari aturan tertulis maupun aturan
yang tidak tertulis. Dan jika suatu bisnis melanggar aturanaturan tersebut maka
sangsi akan diterima. Dimana sangsi tersebut dapat berbentuk langsung
maupun tidak langsung.
Dapat disimpulkan etika bisnis merupakan pengetahuan pelaku bisnis tentang
tata cara pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan
moralitas melalui penciptaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat dan memperoleh keuntungan melalui transaksi.
Hal ini berimplikasi bahwa setiap perusahaan harus memperhatikan dan
menjalankan etika-etika yang berlaku. Etika yang perlu dilakukan seperti selalu
bersikap jujur, memiliki komitmen, integritas, serta loyalitas. Etika bisnis dalam
perusahaan memiliki peran yang sangat penting, yaitu untuk membentuk suatu
perusahaan yang kokoh dan memiliki daya saing yang tinggi serta mempunyai
kemampuan menciptakan nilai (value-creation) yang tinggi, diperlukan suatu
landasan yang kokoh.
2. Tujuan Etika Bisnis
Berikut tujuan umum etika bisnis:2
a. Untuk mendapatkan konsep yang sama mengenai penilaian baik dan buruknya
preilaku atu tindakan manusia dalam ruang dan waktu tertentu.

2
Fachrurazi Fachrurazi and others, Konsep Dasar Etika Bisnis (Batam: Cendikia Mulia Mandiri,
2022).
b. Mengarahkan perkembangan masyarakat menuju suasana yang harmonis, tertib,
teratur, damai dan sejahtera.
c. Mengajak orang bersikap kritis dan rasional dalam mengambil keputusan secara
otonom.
3. Prinsip Etika Bisnis
Menurut (Keraf, 1998), prinsip-prinsip etika yang berlaku dalam bisnis yaitu:3
a. Prinsip Otonomi
Sikap dan kemampuan manusia untuk mengambil keputusan
berdasarkan kesadaran sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan.
b. Prinsip Kejujuran
Prinsip kejujuran menanamkan sikap bahwa apa yang dipikirkan adalah
apa yang dikatakan, dan apa yang dikatakan adalah yang dikerjakan. Kejujuran
relevan dalam bisnis berkaitan dengan pemenuhan syarat-syarat kontrak atau
perjanjian, penawaran barang dan jasa yang meliputi mutu dan harga yang
sebanding, dan hubungan kerja internal.
c. Prinsip Keadilan
Prinsip keadilan menanamkan sikap untuk memperlakukan semua
pihak secara adil, yaitu suatu sikap yang tidak membeda-bedakan dari berbagai
aspek baik dari aspek ekonomi, hukum, maupun aspek lainnya. Prinsip saling
menguntungkan
d. Prinsip saling Menguntungkan
Prinsip saling menguntungkan menanamkan kesadaran bahwa dalam
berbisnis perlu ditanamkan prinsip win-win solution, artinya dalam setiap
keputusan dan tindakan bisnis harus diusahakan agar semua pihak merasa
diuntungkan.
e. Prinsip Integritas Moral
Sebagai tuntutan moral dalam diri pelaku bisnis atau perusahaan, agar
dalam menjalankan bisnisnya senantiasa menjaga nama baik perusahaan.
4. Unsur Etika Bisnis
Etika bisnis diartikan sebagai pengetahuan tentang tata cara ideal pengaturan
dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas yang berlaku

3
Fachrurazi and others.
secara universal dan secara ekonomi/sosial, dan penerapan norma dan moralitas
ini menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis, dalam penerapan etika bisnis,
bisnis mesti mempertimbangkan unsur norma dan moralitas yang berlaku di
masyarakat, di samping itu etika bisnis dapat digerakan dan dimunculkan dalam
perusahaan sendiri karena memiliki relevansi yang kuat dengan profesionalisme
bisnis, jadi dengan kata lain, orang yang melakukan kegiatan bisnis harus memiliki
perilaku yang professional, untuk dapat dikatakan sebagai seorang bisnismen yang
yang berperilaku professional itu harus memiliki empat unsur sebagai berikut
(Bertens, 2013): 4
a. Unsur Manajerial Skill
Seorang bisnisman harus mampu mengatur hidup sendiri beserta
dengan keluarganya dan teman-teman di sekelilingnya.
b. Konseptual Skill
Mampu untuk membuat konsep di dalam menjalankan pekerjaan dan
jabatannya dan mampu untuk mendelegasikan kepada orang lain.
c. Technical
Seorang bisnisman yang mampu memberikan teknik-teknik untuk
melaksanakan apa yang menjadi pemikiran dan konsep-konsepnya, serta
memberikan contoh kepada orang lain atau pihak ke-tiga.
d. Integritas Moral Yang Tinggi
Seorang bisnisman harus mampu memilahmilah mana yang boleh dan
tidak boleh dilakukan.

B. Landasan Filosofis Dan Normatif Etika Islam


1. Landasan Filosofis5
Konteks terpenting bagi pelaku ekonomi untuk berprilaku etis karena
kesuksesan tertinggi yang akan diperoleh seorang muslim adalah falah. Falah akan
didapat apabil setiap muslim mengintegrasikan etika Islam dengan setiap perilaku
ekonominya. Titik sentral etika Islam adalah menentukan kebebasan manusia untuk

4
Fachrurazi and others.
5
Rina Desiana and Noni Afrianty, ‘Landasan Etika Dalam Ekonomi Islam’, Al-Intaj : Jurnal Ekonomi
Dan Perbankan Syariah, 3.1 (2017), 119–35.
bertindak dan bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap ke maha kuasaan
Tuhan. Pandangan Islam tentang manusia dalamhubungan dengan dirinya sendiri
dan lingkungan sosialnya, dapat direpresentasikan dengan empat aksiomaetik yang
bersama-sama membentuk perangkat yang tidak dapat dikurangi, diantaranya
adalah :
a. Kesatuan (Tauhid)
Aksioma ini menunjukkan dimensi vertikal dari sistem etika bahwa petunjuk
(hidayah) yang benar berasal dari Allah.22 Kesatuan disini adalah kesatuan
sebagaimana terefleksikan dalam konsep tauhid yang memadukan keseluruhan
aspek-aspek kehidupan muslimbaik dalam bidang ekonomi, social menjadi suatu
“homogeneous whole” atau keseluruhan yang homogen, serta mementingkan
konsep konsistensi dan keteraturan yang menyeluruh.
b. Keseimbangan/Kesejajaran (al- ‘Adlwa al-Ihsan)
Keseimbangan atau keadilan menggambarkan dimensi horizontal ajaran Islam
yang berhubungan dengan keseluruhan harmoni pada alam semesta. Hukum dan
tatanan yang kita lihat pada alam semesta mencerminkan keseimbangan yang
harmonis. Keseimbangan merupakan landasan pikir dan kesadaran dalam
pendayagunaan dan pengembangan harta benda agar harta benda tidak
menyebabkan kebinasaan bagi manusia melainkan menjadi media menuju
kesempurnaan jiwa manusia sebagai khalifah.
c. Kehendak Bebas (Ikhtiyar)
Kehendak bebas merupakan kontribusi Islam yang paling orisinil dalam filsafat
sosial tentang konsep manusia “bebas”. Hanya Tuhan yang bebas, namun dalam
batas-batas skema penciptaan-Nya, manusia juga secara relatif mempunyai
kebebasan. Manusia dianugerahi kebebasan untuk membimbing kehidupannya
sebagai khalifah di muka bumi. Kebebasan individu dipandu oleh pedoman yang
luas dan individu dapat melakukan perjalanan mereka sendiri, diperlukan
pemikiran yang cermat untuk menafsirkan bahwa kebebasan dalam konteks
sosial tertentu dan untuk memenuhi kebutuhan perubahasan zaman.
d. Tanggung Jawab (Fardh)
Secara logis, prinsip tanggung jawab mempunyai hubungan dengan prinsip
kehendak bebas yang menetapkan batasan mengenai apa yang bebas dilakukan
manusia dengan hubungannya pada kebutuhan manusia untuk
bertanggungjawab atas semua yang dilakukannya.
2. Landasan Normatif6
Etika Islam merupakan representasi dari dalam seperangkat aksioma yang
mencakup empat elemen, yaitu kesatuan/Tauhid (Unity), keseimbangan
(Equilibrium), kehendak bebas (Free Will), dan tanggung jawab (Responsibility).
Secara logis dapat dikatakan bahwa keempat perangkat tersebut memiliki semua ciri
sebagai perangkat yang memadai, yakni perangkat yang berfungsi dalam konteks
sekarang sebagai dasar perumusan pernyataan- pernyataan ekonomi. Tetapi
seperangkat prinsip etik harus secara memadai merangkum filsafat etika Islam.
Maka perangkat-perangkat tersebut harus mencakup seluruh aspek yang relevan
untuk menyimpulkan aturan-aturan perilaku ekonomi, tidak hanya aspek etika Islam
saja. Namun begitu, dengan memperhatikan aspek-aspek tersebut, perangkat-
perangkat itu harus komprehensif.
Upaya mencari dasar etika ekonomi Islam tersebut, Naqvi berpendapat
bahwa agama dalam hal ini adalah Al-Quran dan Hadits dijadikan sumber pokok
yang dapat digunakan untuk menyimpulkan prinsip-prinsip umum perilaku
ekonomi Islam. Agama Islam dalam konteks Al-Quran dan Hadits digunakan
sebagai sumber semata- mata karena pelaku ekonomi mempercayainya, dan sebagai
sumber rujukan pertama yang digunakan oleh pelaku ekonomi.
Al-Quran merupakan kallamu Allah, dan Hadits merupakan bayanu kallamu
Allah. Sehingga aspek keimanan manusia merupakan hal penting
dalammemposisikan Al-Quran dan Hadits sebagai wilayah kajian. Seperangkat
aksioma etik yang diajukan ini adalah non-trivial, artinya bahwa tidak ada perangkat
yang dicirikan atau diisi oleh sesuatu yang bersifat non-trivial. Yang mana
merupakan perangkat minimal dalam pengertian untuk menyusun suatu dasar.
Disamping itu, aksioma etik juga harus komprehensif untuk membangun
kerangka aksioma etik ekonomi Islam, sehingga menghasilkan prinsip-prinsip
ekonomi dengan tingkat generalitas yang memadai, maka Naqvi menyatakan bahwa
aksioma etik tersebut harus memenuhi lima sifat yaitu:

6
Desiana and Afrianty.
a. Perangkat tersebut harus merupakan representasi pandangan yang memadai dan
legitimate tentang etika Islam. Sifat ini bisa menghilangkan kesewenang-
wenangan subyektif dalam memilih aksioma-aksioma etik, karena hanya yang
memenuhi syarat saja (yang berasal dari Al-Qur’an dan Sunnah) yang bisa
menjadi perangkat tersebut.
b. Kumpulan aksioma itu harus merupakan suatu perangkat yang memadai, dan
berbentuk suatu dasar. Sifat ini dapat menghasilkan pernyataan ekonomi yang
signifikan.
c. Berkaitan dengan independensi. Sifat ini penting bagi validitas sistem aksioma
etik. Hal ini membuktikan bahwa tidak ada eleman dalam perangkat itu, yang
bisa dideduksi dari perangkat elemen lain dan elemen tersebut akan independen.
d. Semua elemennya harus konsisten satu sama lain. Artinya menunjukkan bahwa
tak satupun dari elemen dalam perangkat ini bisa dideduksi dengan cara
sedemikian sehingga satu elemen bisa bertentangan dengan yang lain. Pengujian
yang konsisten juga dapat dilakukan dalam pengertian yang lebih heuristik,
bahwa kebenaran satu aksioma harus tidak mengingkari kebenaran aksioma lain
dalam perangkat itu, dan masing-masing aksioma dalamperangkat tersebut harus
menunjukkan kebenaran umumtentang sistem sebagai suatu keseluruhan.
e. Sifat kelima ini, perangkat tersebut harus berkaitan dengan daya prediktifnya
yang mampu menjelaskan secara maksimum dari gejala tertentu dengan mengacu
pada prinsip yang terkandung dalam keempat aksioma etik tersebut.

C. Pandangan Al-Quran Terhadap Harta Kekayaan


1. Harta atau Al-Mal
Secara etimologi, lafaz al-mal merupakan ungkapan bahasa Arab yang
diterjemahkan dengan “harta” dalam bahasa Indonesia. Dalam Ensiklopedi Hukum
Islam disebutkan bahwa al-mal berasal dari ma-la yang artinya condong atau
berpaling dari tengah ke salah satu sisi. Sedangkan secara terminologi berarti segala
sesuatu yang menyenangkan manusia dan mereka pelihara, baik dalam bentuk
materi maupun dalam bentuk manfaat.
Sejauh ini, tidak ditemukan terjemahan yang berlainan terhadap ungkapan
selain “harta” tersebut. Sedangkan harta itu sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia diartikan dengan “barang-barang (uang dan sebagainya) yang menjadi
kekayaan; barang-barang milik orang; kekayaan berwujud dan tidak berwujud yang
bernilai dan yang menurut hukum dimiliki perusahaan.”
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa harta merupakan suatu
material yang bernilai, yang diminati oleh manusia dan dapat ditukar dengan benda
bernilai lainnya. Harta merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan dan tidak dapat
dipisahkan dalam kehidupan manusia, kapan dan di mana pun ia berada.7
2. Harta atau Al – Mal Dalam Al-Quran
Kata al-mal terdapat sebanyak 86 kali dalam Alquran, baik dalam bentuk
tunggal (mufrad) maupun plural (jama`) dalam 70 surat. Dalam bentuk mufrad
disebut sebanyak 24 kali, dan dalam bentuk jama` sebanyak 62 kali.8 Bentuk jama`
lebih banyak disebut ketimbang dalam bentuk mufrad yang mengisyaratkan bahwa
manusia lebih menyenangi harta dalam jumlah banyak, dan sangat langka yang
mencukupkan diri dengan sedikit harta. Pada sisi lain, penyebutan jama’
menunjukkan bahwa harta merupakan kumpulan barang-barang yang bernilai dan
bermanfaat.
Adapun makna al-mal selain harta juga terkandung makna-makna seperti berikut:8
a. Al-mal bermakna al-tha`am (makanan)
Di antara ayat yang menjadi contoh bahwa salah satu makna al-mal adalah al-
tha`am (makanan) seperti terdapat dalam surat al-Baqarah ayat 177.
b. Al-mal bermakna ardhun (tanah)
Tanah merupakan salah satu jenis dari harta yang dimiliki oleh manusia. Karena
itu, Alquran menggunakan kata al-mal untuk makna yang umum mencakup
semua jenis harta termasuk al-ardh (tanah). Al-ardh sebagai salah satu makna
dari lafaz al-mal yang digunakan Alquran terdapat dalam surat al-Baqarah ayat
188.
c. Al-mal bermakna uang (dinar)
Uang adalah salah satu dari jenis harta. Penggunaan lafaz al-mal juga pada
konteks tertentu dan didukung oleh penafsiran berdasarkan kronologis turunnya
ayat (asbab al-nuzul) mempunyai makna uang (salah satu bentuk jenis mata uang

7
Toha Andiko, ‘Konsep Harta Dan Pengelolaannya Dalam Alquran’, Al-Intaj, 2.1 (2016), 57–70.
8
Andiko.
seperti dinar dan sebagainya). Pemaknaan ini oleh alQurthubi didasarkan kepada
hadis Nabi yang memberitakan tentang kasus yang menyebabkan turunnya surat al-
Baqarah ayat 262.
3. Padanan Kata (Sinonim) al-Mal
Adapun padanan kata (sinonim) dari al-mal adalah:
a. Qintharah (harta yang banyak)
Lafaz Qintharah ini disebut dalam Alquran sebanyak 4 kali, 2 kali
terulang dalam satu ayat dan 3 kali terulang dalam satu surat, yaitu surat Ali
`Imran ayat 14 sebanyak 2 kali dan ayat 75 satu kali, dan 1 kali dalam surat al-
Nisa’ ayat 20.
Alquran sebagai sebuah mukjizat, dari segi kebahasaan
mempergunakan lafaz-lafaz yang dapat dianggap sebagai padanan suatu kata,
tetapi bila dikaji secara mendalam, maka setiap lafaz Alquran mempunyai
perbedaan walaupun dalam segi yang sangat sedikit. Adapun lafaz alQanathir,
ia merupakan jamak dari al-Qintharah yang juga berarti harta. Namun kedua
lafaz ini mempunyai segi perbedaan dalam pemakaiannya. Lafaz al-Mal
mengandung makna harta, namun tidak diketahui apakah jumlahnya banyak
atau sedikit. Sedangkan lafaz al-Qintharah mengandung arti harta yang banyak.
b. Tsamarun (kekayaan)
Lafaz tsamarun yang berarti kekayaan hanya terdapat dua kali dalam
Alquran yaitu surat alKahfi: 34 dan ayat 42. Sedangkan yang lainnya bermakna:
berbuah, buah-buahan dan sebagainya. Apabila digabungkan semua dari
berbagai bentuknya yang lain, berjumlah 24 kali.
Lafaz tsamarun ini, terambil dari kata atsmara yang berarti berbuah.
Adapun disebut tsamarun dan tidak disebut dengan lafaz yang lain karena
kekayaan dimaksud merupakan hasil pengembangan dari suatu usaha. Dalam
hal ini, dapat dipahami bahwa lafaz tsamarun khusus digunakan untuk
kekayaan yang didapat dari hasil usaha, bukan dari yang lain-lain.
c. Kanzun (perbendaharaan/kekayaan)
Lafaz lain yang dapat dikatakan sinonim dari al-mal adalah lafaz
kanzun. Lafaz ini terdapat 9 kali dalam Alquran dalam berbagai bentuknya.
Salah satunya terdapat dalam surat Hud ayat 12.
d. Khaza’in (gudang rezeki)
Lafaz ini merupakan jama` dari khazinah, terdapat sebanyak 9 kali
semuanya dalam bentuk jama`, dan tidak pernah digunakan dalam bentuk
mufrad. Perbedaan lafaz khaza’in dengan al-mal adalah jika al-mal bermakna
harta dalam arti umum, sedangkan khaza’in berarti harta yang disimpan atau
tersimpan, dapat juga diartikan dengan perbendaharaan harta.
e. `Ardhun
Alquran juga menggunakan lafaz `ardhun untuk menggambarkan
sesuatu yang mengandung makna hart. Pemaknaan lafaz ini kepada makna
harta seperti terdapat dalam surat al-Anfal ayat 67.
f. Maghanim (harta rampasan)
Di antara ayat yang terkandung di dalamnya lafaz tersebut adalah surat
al-Fath ayat 20.
g. Mata`
Lafaz ini di antaranya terdapat dalam surat Yusuf ayat 79.
h. Al-Khayr
Lafaz ini mempunyai makna yang sangat banyak, salah satunya adalah
bermakna harta. Harta dalam satu segi dapat membawa kepada hal-hal yang
positif sehingga dapat juga dikatakan dengan al-khayr. Namun demikian, tidak
jarang juga harta membawa kepada hal-hal yang negatif. Penggunaan lafaz al-
khayr untuk maksud harta merupakan salah satu keunikan Alquran yang kaya
dengan bahasa dan sastra, sehingga lebih serasi dan lebih mendalam khithab
yang terkandung di dalamnya. Lafaz al-khayr yang bermakna al-mal atau harta
terdapat dalam surat al-`Adiyat ayat 19.
i. Al-Turats (harta pusaka)
Lafaz al-turats juga mempunyai makna harta, namun lebih dikhususkan
pada harta-harta yang berasal dari pusaka orang-orang yang telah terdahulu.
Dengan kata lain, Alquran dapat dikatakan mempunyai perbendaharaan kata
yang kaya, sehingga ia mampu meletakkan lafaz tertentu sesuai dengan konteks
pembicaraan yang sedang dilangsungkan. Lafaz turats ini hanya dijumpai dalam
surat al-Fajr ayat 19.
j. Al-Anfal (harta rampasan)
Makna al-anfal lebih khusus yaitu menerangkan bahwa harta tersebut
berasal dari rampasan perang. Sedangkan al-mal mempunyai makna yang
umum, tanpa merinci apakah harta tersebut berasal dari hasil rampasan perang
ataupun dari hasil yang lain. Lafaz ini terdapat dalam surat al-Anfal ayat 1.
4. Konsep Kepemilikan Harta Menurut Islam
Harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah, di
manaAllah telah menyerahkannya kepada manusia untuk menguasai harta tersebut
sehingga orang tersebut sah memiliki hartanya. Untuk itu, harta dalampandangan
Islam memiliki kedudukan yang penting.
Dalam kaitannya dengan kegiatan bisnis ekonomi dan ritual ibadah, harta
sangat diperhatikan sehingga di dalam maqashid syariah menjadikannya salah satu
poin penting, yaitu memelihara atau menjaga harta. Hal iniadalah maksud dan tujuan
Allah dalam rangka memberikan kemaslahatan kepada manusia untuk kiranya
dijadikan sebagai pedoman didalam berbisnis dan bermuamalah. Islam memandang
harta sebagai sarana bagi manusia untuk mendekatkandiri kepada Khalik-Nya.
Dengan keberadaan harta, manusia diharapkan memiliki sikap derma yang
memperkokoh sifat kemanusiannya. Apabila sikap dermaini berkembang, maka
akan mengantarkan manusia kepada derajat yang mulia, baik di sisi Allah maupun
terhadap sesama manusia.9

D. Teori Perilaku Bisnis dan Investasi Terbaik dan Dilarang Menurut Al-Quran
1. Investasi
Investasi berasal dari bahasa Inggris investment dari kata dasar invest yang
berarti menanam, atau istathmara dalam bahasa Arab, yang berarti menjadikan
berbuah, berkembang dan bertambah jumlahnya (Antonio 2007). Secara istilah,
investasi adalah barang tidak bergerak atau barang milik perseorangan atau
perusahaan yang dimiliki dengan harapan untuk mendapatkan pendapatan periodik
atau keuntungan atas penjualan dan pada umumnya dikuasai untuk periode yang
relatif panjang.

9
Ahmad Junaedi, ‘Konsep Harta Dan Kepemilikan Dalam Prespektif Islam Ekonomi’, 2019, 7–8.
Investasi menurut Islam adalah penanaman dana atau penyertaan modal
untuk suatu bidang usaha tertentu yang kegiatan usahanya tidak bertentangan
dengan prinsip-prinsip syariah, baik objeknya maupun prosesnya.10
2. Aspek Berinvestasi Menurut Islam
Berikut ini adalah beberapa aspek yang harus dimiliki dalam berinvestasi
menurut perspektif islam:11
a. Aspek material atau finansial
Artinya suatu bentuk investasi hendaknya menghasilkan manfaat
finansial yang kompetitif dibandingkan dengan bentuk investasi lainnya.
b. Aspek kehalalan
Artinya suatu bentuk investasi harus terhindar dari bidang maupun
prosedur yang subhat atau haram. Suatu bentuk investasi yang tidak halal hanya
akan membawa pelakunya kepada kesesatan serta sikap dan perilaku destruktif
(ḍarūrah) secara individu maupun sosial.
c. Aspek sosial dan lingkunga
Artinya suatu bentuk investasi hendaknya memberikan kontribusi
positif bagi masyarakat banyak dan lingkungan sekitar, baik untuk generasi saat
ini maupun yang akan datang.
d. Aspek pengharapan kepada rida Allah
Artinya suatu bentuk investasi tertentu dipilih adalah dalam rangka
mencapai rida Allah.
3. Dasar Hukum Investasi dalam Islam12
Islam adalah agama yang pro-investasi, karena di dalam ajaran Islam sumber
daya (harta) yang ada tidak hanya disimpan tetapi harus diproduktifkan, sehingga
bisa memberikan manfaat kepada umat (Hidayat 2011). Hal ini berdasarkan firman
Allah swt. QS. al-Hasyr ayat 7.
Oleh sebab itu dasar pijakan dari aktivitas ekonomi termasuk investasi adalah
Al-Qur’an dan hadis Nabi saw. Selain itu, karena investasi merupakan bagian dari

10
Elif Pardiansyah, ‘Investasi Dalam Perspektif Ekonomi Islam : Pendekatan Teoritis Dan Empiris
Pendahuluan Dewasa Ini , Kita Mengenal Investasi “ Bodong ” Yang Dilakukan Oleh Orang’, 8
(2017), 337–73.
11
Pardiansyah.
12
Pardiansyah.
aktivitas ekonomi (muamalah māliyah), sehingga berlaku kaidah fikih, muamalah,
yaitu “pada dasarnya semua bentuk muamalah termasuk di dalamnya aktivitas
ekonomi adalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengharamkannya.”(Fatwa
DSN-MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000).
4. Investasi Menurut Al-Qur’an
a. QS. al-Baqarah ayat 268
Ayat ini secara implisit memberikan informasi akan pentingnya
berinvestasi, dimana ayat itu menyampaikan betapa beruntungnya orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah. Orang yang kaya secara financial
(keuangan) kemudian menginfakkan hartanya untuk pemberdayaan masyarakat
yang kurang mampu melalui usaha produktif, maka sesungguhnya dia sudah
menolong ribuan, bahkan ratusan ribu orang miskin untuk berproduktif ke
arah yang lebih baik lagi.
b. QS. al-Nisa ayat 9
Ayat ini dengan tegas memerintahkan kepada manusia untuk tidak
meninggalkan keturunan dalam keadaan lemah, baik lemah moril maupun
materil. Secara tersirat ayat ini memerintahkan kepada umat untuk
meningkatkat kehidupan ekonomi melalui investasi jangka panjang. Investasi
ini akan diwariskan kepada keturunannya untuk mencukupi kehidupan sampai
ia layak berusaha sendiri/mandiri.
c. QS. Yusuf ayat 47-49
Pelajaran (ibrah) dan hikmah dari ayat ini adalah bahwa manusia harus
mampu menyimpan sebagian hartanya untuk mengantisipasi kejadian yang
tidak terduga di kemudian hari. Atinya manusia hanya bisa berasumsi dan
menduga yang akan terjadi hari esok, sedangkan secara pastinya hanya Allah
yang Mahatahu. Oleh sebab itu, perintah nabi Yusuf as.dalam ayat di atas untuk
menyimpan sebagian sebagai cadangan konsumsi di kemudian hari adalah hal
yang baik. Begitu pun dengan menginvestasikan sebagian dari sisa konsumsi
dan kebutuhan pokok lainnya akan menghasilkan manfaat yang jauh lebih luas
dibandingkan hanya dengan disimpan (ditabung).
d. QS. al-Hasyr ayat 18
Ayat ini secara ekplisit memerintahkan manusia untuk selalu
berinvestasi baik dalam bentuk ibadah maupun kegiatan muamalah māliyah
untuk bekalnya di akhirat nanti. Investasi adalah bagian dari muamalah māliyah,
sehingga kegiatannya mengandung pahala dan bernilai ibadah bila diniatkan
dan dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah
e. QS. Luqman ayat 34
Maksud dari ayat ini adalah, manusia itu tidak dapat mengetahui dengan
pasti apa yang akan diusahakannya esok atau yang akan diperolehnya, namun
demikian mereka diwajibkan berdoa, berikhtiar dan bertawakal. Salah satu
ikhtiar manusia dalam mendayagunakan hartanya dengan cara berinvestasi
sesuai prinsip syariah.
Berdasarkan uraian ayat-ayat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa
Islam memandang investasi sebagai hal yang sangat penting sebagai langkah
atisipatif terhadap kejadian di masa depan. Seruan bagi orang-orang yang beriman
untuk mempersiapkan diri (antisipasi) di hari esok mengindikasikan bahwa segala
sesuatunya harus disiapkan dengan penuh perhitungan dan kecermatan. Dalam
perspektif ekonomi, hari esok dalam ayat-ayat di atas bisa dimaknai sebagai masa
depan (future).
5. Prinsip Syariah dalam Investasi13
Prinsip adalah elemen pokok yang menjadi struktur atau kelengkapan
sesuatu (UII 2013), berbeda dengan asas yaitu landasan atau dasar tempat
berpijaknya sesuatu dengan tegak (Langgulung 1992). Adapun prinsip syariah yang
dimaksud dalam tulisan ini adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan ekonomi
dan bisnis berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki
kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Lembaga fatwa yang
dimaksud di sini adalah Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-
MUI).
Namun demikian perlu dijelaskan terlebih dahulu asas-asas fikih
muamalah, karena kegiatan investasi merupakan bagian dari bermuamalah māliyah,
dan asas merupakan pijakan berdirinya prinsip. Asas-asas fikih muamalah

13
Pardiansyah.
sebagaimana dikemukakan Ahmad Azhar Basyir (Basyir 2000), adalah sebagai
berikut:
a. Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah (boleh) kecuali ada dalil
yang mengharamkannya (yang ditentukan lain oleh Al-Qur’an dan sunnah
Rasul) (Djazuli. A 2006); Konsideran Fatwa DSN-MUI);
b. Muamalah dilakukan atas dasar sukarela tanpa mengandung unsur paksaan
(Praja 2004);
c. Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan
menghindari mudharat dalam hidup masyarakat(Sahroni 2016);
d. Muamalah dilakukan dengan memelihara nilai keadilan, menghindari unsur-
unsur penganiayaan, unsur-unsur ḍarar (membahayakan), dan unsur-
unsurpengambilan kesempatan dalam kesempitan.
Selain itu, ada beberapa prinsip syariah khusus terkait investasi yang harus
menjadi pegangan bagi para investor dalam berinvestasi (Aziz 2010), yaitu:
a. Tidak mencari rezeki pada sektor usaha haram, baik dari segi zatnya (objeknya)
maupun prosesnya (memperoleh, mengolah dan medistribusikan), serta tidak
mempergunakan untuk hal-hal yang haram;
b. Tidak menzalimi dan tidak pula dizalimi (la taẓlimūn wa lā tuẓlamūn);
c. Keadilan pendistribusian pendapatan;
d. Transaksi dilakukan atas dasar rida sama rida (‘an-tarāḍin) tanpa ada paksaan;
e. Tidak ada unsur riba, maysīr (perjudian), gharar (ketidakjelasan), tadlīs
(penipuan), ḍarar (kerusakan/kemudaratan) dan tidak mengandung maksiat.
Prinsip-prinsip di atas merupakan saripati dari sumber rujukan utama yaitu
Al-Qur’an dan Sunnah nabi Muhammad saw., yang kemudiandielaborasi oleh para
ulama agar mudah difahami dan diimplementasikan dalam kegiatan ekonomi dan
bisnis. Berdiri di atas asas tersebut prinsip syariah yang diatur oleh fatwa Dewan
Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) sebagai lembaga yang legal
mengeluarkan fatwa terkait aktivitas ekonomi dan bisnis. Fatwa DSN-MUI
mengatur berbagai macam transaksi ekonomi, keuangan dan bisnis termasuk di
dalamnya kegiatan investasi agar sesuai dengan koridor syariah.
Secara khusus fatwa DSN-MUI No. 80/DSNMUI/III/2011 mengatur
bagaimana memilih investasi yang dibolehkan syariat dan melarang kegiatan yang
bertentangan dengan prinsip syariah dalam kegiatan investasi dan bisnis, yaitu:
a. Maisīr, yaitu setiap kegiatan yang melibatkan perjudian dimana pihak yang
memenangkan perjudian akan mengambil taruhannya;
b. Gharar, yaitu ketidakpastian dalam suatu akad, baik mengenai kualitas atau
kuantitas objek akad maupun mengenai penyerahannya;
c. Riba, tambahan yang diberikan dalam pertukaran barang-barang ribawi (al-
amwāl al-ribawiyyah) dan tambahan yang diberikan atas pokok utang dengan
imbalan penangguhan imbalan secara mutlak;
d. Bāṭil, yaitu jual beli yang tidak sesuai dengan rukun dan akadnya (ketentuan
asal/ pokok dan sifatnya) atau tidak dibenarkan oleh syariat Islam;
e. Bay‘i ma‘dūm, yaitu melakukan jual beli atas barang yang belum dimiliki;
f. Iḥtikār, yaitu membeli barang yang sangat dibutuhkan masyarakat (barang
pokok) pada saat harga mahal dan menimbunnya dengan tujuan untuk menjual
kembali pada saat harganya lebih mahal;
g. Taghrīr, yaitu upaya mempengaruhi orang lain, baik dengan ucapan maupun
tindakan yang mengandung kebohongan, agar terdorong untuk melakukan
transaksi;
h. Ghabn, yaitu ketidakseimbangan antara dua barang (objek) yang dipertukarkan
dalam suatu akad, baik segi kualitas maupun kuantitas;
i. Talaqqī al-rukbān, yaitu merupakan bagian dari ghabn, jual beli atas barang
dengan harga jauh di bawah harga pasar karena pihak penjual tidak mengetahui
harga tersebut;
j. Tadlīs, tindakan menyembunyikan kecacatan objek akad yang dilakukan oleh
penjual untuk mengelabui pembeli seolah-olah objek akad tersebut tidak cacat;
k. Ghishsh, merupakan bagian dari tadlīs, yaitu penjual menjelaskan atau
memaparkan keunggulan atau keistimewaan barang yang dijual serta
menyembunyikan kecacatan;
l. Tanājush/Najsh, yaitu tindakan menawar barang dangan harga lebih tinggi oleh
pihak yang tidak bermaksud membelinya, untuk menimbulkan kesan banyak
pihak yang bermniat memblinya;
m. Dharar, tindakan yang dapat menimbulkan bahaya atau kerugian bagi pihak
lain;
n. Rishwah, yaitu suatu pemberian yang bertujuan untuk mengambil sesuatu yang
bukan haknya, membenarkan yang bathil dan menjadikan yang bathil sebagai
ssesuatu yang benar;
o. Maksiat dan zalim, yaitu perbuatan yang merugikan, mengambil atau
menghalangi hak orang lain yang tidak dibenarkan secara syariah, sehingga
dapat dianggap sebagai salah satu bentuk penganiayaan.
Mengacu pada paparan di atas, dalam aktivitas muamalah selama tidak
ditemukan unsur-unsur yang dilarang syariah seperti yang diuraikan di atas, maka
kegiatan investasi boleh dilakukan apapun jenisnya. Disamping itu dengan aturan
seperti itu akan memberikan keleluasaan investor dan pengelola investasi (manager
investasi) untuk berkreasi, berinovasi, dan berakselerasi dalam pengembangan
produk maupun usahanya. Dasar dari kegiatan ekonomi, bisnis dan investasi adalah
kreatifitas yang dibingkai dalam tatanan prinsip syariah. Muara akhir dari kegiatan
ekonomi, bisnis dan investasi dengan berlandaskan syariah dimaksudkan untuk
mencapai kemuliaan hidup (falāh) yaitu bahagia dunia dan akhirat.

E. Teori Etika Bisnis Islam Dalam Produksi, Distribusi, Konsumsi


1. Etika Bisnis Islam dalam Produksi14
Produksi dalam arti yang sederhana bukanlah sesuatu yang dicetuskan oleh
kapitaslis. Produksi telah terjadi semenjak manusia bergelut dengan bumi, karena
produksi merupakan suatu hal yang primer dalam kehidupan. Nabi Adam, bapak
manusia adalah orang pertama dalam berproduksi.
Keluarnya Nabi Adam dari surga dan selanjutnya turun ke bumi adalah
skenario yang telah direncanakan oleh Allah SWT. agar Nabi Adam dapat
memakmurkan bumi dan melangsungkan kehidupan di atasnya. Dan pada dasarnya
Allah SWT. menciptakan manusia dengan tabiat yang terikat dengan kebutuhan
akan makan, minum, pakaian, tempat tinggal dan keturunan.

14
Nur Fadilah, ‘Teori Konsumsi , Produksi Dan Distribusi’, SALIMIYA : Jurnal Studi Ilmu
Keagamaan Islam, 1 (2020), 17–38.
Yusuf Qardhawi mengemukakan, bahawa produksi adalah mendaya
gunakan benda, bukan menciptakan benda. Maksudnya manusia hanya sekedar
mengubah materi menjadi berguna, bukan menciptakan materi. Semua pekerjaan
yang disebut produksi adalah mengambil bahan dari ciptaan Allah.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa dalam Islam produksi
bukan berarti menciptakan, akan tetapi mendayagunakan, dengan mengambil atau
memanfaatkan sumber alam yang ada. Dalam memproduksi, manusia tidak sampai
pada merubah substansi benda.
Yang bisa dilakukan manusia berkisar pada mengambil dari tempat yang
asli dengan mengeluarkan atau mengeksploitasi, memindahkan dari tempat yang
tidak membutuhkan ke tempat yang membutuhkan, atau menjaganya dengan cara
menyimpan agar bisa dimanfaatkan di masa yang akan datang, atau mengolahnya
dengan memasukkan bahan-bahan tertentu, atau mengubah dari satu bentuk
menjadi bentuk yang lain.
2. Etika Bisnis Dalam Distribusi
Kata distribusi disinonimkan dengan kata dulah dalam bahasa Arab. Secara
etimologi kata dulah berarti terus berputar atau perpindahan sesuatu dari satu
tempat ke tempat lain.
Sedangkan secara terminologi kata dulah berarti suatu proses perputaran
atau peredaran yang bersifat konstan tanpa ada hambatan.( Zaki Fuad Chalil, 2009:
46 ).
Distribusi berarti penyaluran, pembagian, pengiriman barang dagangan
atau barang dan jasa kepada konsumen oleh produsen dan pemerintah ( Zaki Fuad
Chalil, 2009: 46 ). Pemahaman distribusi juga telah tercantum di dalam Al-Qur’an
Surat Al-Hasyr ayat 7.15 Distribusi ditinjau dari segi bahasa adalah proses
penyimpanan dan penyaluran produk kepada pelanggan, di antaranya sering kali
melalui perantara (Collins, 1994: 162).
Definisi yang dikemukakan Collins di atas memiliki kajian yang sempit
apabila dikaitkan dengan topik kajian dalam tulisan ini. Hal ini disebabkan definisi
tersebut cenderung mangarah pada perilaku ekonomi yang bersifat individual.

15Amir Salim, ‘Konsep Distribusi Kepemilikan Dalam Islam’, Ekonomica Sharia: Jurnal Pemikiran Dan
Pengembangan Perbankan Syariah, 5.1 (2019), 85–90.
Namun dari definisi di atas dapat ditarik perpaduan, di mana dalam distribusi
terdapat sebuah proses pendapatan dan pengeluaran dari sumber daya yang dimiliki
oleh negara (mencakup “prinsip take and give”).
Adapun prinsip utama dalam konsep distribusi menurut pandangan Islam
ialah peningkatan dan pembagian bagi hasil kekayaan agar sirkulasi kekayaan dapat
ditingkatkan. Dengan demikian, kekayaan yang ada dapat melimpah secara merata
dan tidak hanya beredar di antara golongan tertentu saja (Rahman, 1995: 93).
Ada juga pendapat yang menyatakan bahwa posisi distribusi dalam aktifitas
ekonomi suatu pemerintahan amatlah penting. Hal ini dikarenakan distribusi itu
sendiri manjadi tujuan dari kebijakan fiskal dalam suatu pemerintahan.
Adapun distribusi, seringkali diaplikasikan dalam bentuk pungutan pajak,
baik pajak yang bersifat individu maupun pajak perusahaan. Akan tetapi masyarakat
juga dapat melaksanakan secara swadaya melalui pelem bagaan Zakat, Infak dan
Sedekah (ZIS).
Dalam hal ini pemerintah tidak terlibat langsung dalam mobilisasi
pengelolaan pendapatan ZIS yang diterima (Karim, 1992: 89-90). Sementara Anas
Zarqa mengemukakan bahwa definisi distribusi ialah transfer pendapatan kekayaan
antarindividu dengan cara pertukaran (melalui pasar) atau dengan cara yang lain,
seperti warisan, shadaqah, wakaf dan zakat (Zarqa, 1995: 181).
Demikian konsep ekonomi di bidang distribusi yang ditawarkan oleh Islam.
Islam mengenalkan konsep pemerataan pembagian hasil kekayaan negara melalui
distribusi tersebut, seperti zakat, wakaf, warisan dan lain sebagainya.16 Prinsip-
Prinsip Distribusi Dalam Ekonomi Islam17
Distribusi harta kekayaan yang merata dapat mewujudkan perekonomian
yang baik. Konsep perencanaan dan pengelolaan sistem distribusi akan berjalan
dengan baik, apabila memperhatikan prinsip-prinsip distribusi dalam
melaksanakannya. Adapun prinsip-prinsip distribusi dalam ekonomi islam sebagai
berikut : ( Idri, Hadis Ekonomi, 2017: 150 ).

16 Madnasir Madnasir, ‘Distribusi Dalam Sistem Ekonomi Islam’, Muqtasid: Jurnal Ekonomi Dan
Perbankan Syariah, 2.1 (2011), 57 .
17
Salim.
a. Prinsip Keadilan dan Pemerataan Keadilan
Dalam distribusi sebagai suatu kebebasan melakukan aktivitas ekonomi
yang berada dalam bingkai etika dan norma-norma Islam. Prinsip keadilan dan
pemerataan dalam distribusi mengandung makna. Pertama, kekayaan tidak
boleh dipusatkan pada sekelompok orang saja, tetapi harus menyebar kepada
seluruh masyarakat. Kedua, hasil-hasil produksi yang besumber dari kekayaan
nasional harus dibagi secara adil. Ketiga, Islam tidak mengizinkan tumbuhnya
harta kekayaan yang melampaui batas-batas yang wajar apalagi jika diperoleh
dengan cara yang tidak benar.
b. Prinsip Persaudaraan dan Kasih Sayang
Persaudaraan dan kasih sayang akan memperkuat persatuan dan
kesatuan umat Islam yang kadang-kadang mendapatkan hambatan dan
rintangan sehingga mereka dapat saja terpecah belah dan saling bermusuhan.
Prinsip persaudaraan dan kasih sayang tersebut tidak berarti bahwa umat Islam
tidak boleh melakukan aktivitas ekonomi dengan non Muslim. Islam
memperbolehkan umatnya bertransaksi dengan siapa pun asalkan sejalan
dengan prinsip-prinsip transaksi Islam tanpa membedakan agama, ras, dan
bangsa. Islam menganjurkan persaudaraan dan kasih sayang dalam distribusi
agar supaya umat Islam menjadi kuat, baik secara ekonomi, sosial, politik,
budaya, dan sebagainya.
c. Prinsip Solidaritas Sosial
Prinsip solidaritas sosial merupakan salah satu prinsip pokok dalam
distribusi harta kekayaan. Islam menghimbau adanya solidaritas sosia dan
menggariskan dan menentukannya dalam suatu sistem tersendiri seperti zakat,
sedekah, dan lain-lain.
3. Etika Bisnis Dalam Konsumsi18
Secara etimologi, konsumsi berasal dari bahasa Inggris yaitu consumption
yang berarti menghabiskan atau mengurangi atau kegiatan yang ditujukan untuk
menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang atau jasa yang dilakukan
sekaligus atau bertahap untuk memenuhi kebutuhan (Pujiono, 2000: 304).

18
Melis, ‘Prinsip & Batasan Konsumsi Dalam Islam’, Islamic Banking, Volume 1 N (2015), 13–19.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memaknai konsumsi adalah
pemakaian barang produksi (bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-
barang yang langsung memenuhi keperluan hidup manusia. Sedangkan dalam
Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, konsumsi adalah pemakaian barang produksi
(bahan makanan, pakaian, dan sebagainya); barang-barang yang langsung
memenuhi keperluan hidup manusia (Yasyin, 2005: 2).
Kamus Besar Ekonomi karangan Sujana dan Sigit (2007: 301) kata
konsumsi berarti tindakan manusia baik secara langsung atau tidak langsung untuk
menghabiskan serta mengurangi kegunaan (utility) pada pemuasan terakhir dari
kebutuhannya. Dalam wacana terminologi dijelaskan beberapa pendapat tentang
konsumsi. Huda (2009: 294) menjelaskan bahwa konsumsi adalah suatu kegiatan
manusia yang secara langsung menggunakan barang dan jasa untuk memenuhi
kebutuhannya dengan tujuan untuk memperoleh kepuasan yang berakibat
mengurangi ataupun menghabiskan nilai guna suatu barang/jasa.
Dari pemahaman tersebut dapat dipahami bahwa konsumsi adalah suatu
aktifitas memakai atau menggunakan suatu produk barang atau jasa yang dihasilkan
oleh para produsen atau konsumsi juga berarti segala tindakan menghabiskan atau
mengurangi nilai guna barang dan jasa. Sedangkan tujuan aktifitas konsumsi adalah
memaksimalkan kepuasan (utility) dari mengkonsumsi sekumpulan barang/jasa
yang disebut ’consumption bundle’ dengan memanfaatkan seluruh anggaran/
pendapatan yang dimiliki.
a. Dasar Hukum Konsumsi
Dasar atau landasan Al-Qur’an tentang konsumsi dijelaskan dalam Surat
alMaidah ayat 4 dan 5 yang memerintahkan umat Islam untuk memakan
makanan yang halal. Ayat di atas menjelaskan bahwa manusia diperintahkan
untuk memakan makanan yang baik lagi halal dalam memperolehnya dan ketika
menyembelihnya menyebut nama Allah SWT. Artinya binatang yang disembelih
dalam keadaan menyebut selain nama Allah maka haram untuk di konsumsi.
Konsumen Muslim diperintahkan untuk tidak memakan bangkai, darah,
daging babi, dan binatang (QS. Al-Baqarah: 173), kemudian melarang untuk
mengkonsumsi secara berlebih-lebihan (QS. Al-A’rāf: 31) Maksud ayat di atas
bahwa manusia diperintahkan untuk memakai pakaian yang indah, bagus
namun menutup aurat dan tidak berlebihan di setiap melaksanakan shalat dan
thawaf. Manusia juga tidak dilarang untuk makan dan minum sesuka hatinya
asalkan tidak berlebih-lebihan, karena Allah tidaklah menyukai orang-orang
yang berlebih-lebihan.
b. Prinsip Konsumsi Dalam Islam
Menurut Mannan (2012: 101) ada lima prinsip dalam melakukan
kegiatan konsumsi yang dideskripsikan sebagai berikut:
 Prinsip Keadilan
Syariat ini mengandung arti ganda yang penting mengenai mencari
rezeki secara halal dan tidak dilarang hukum. Dalam soal makanan dan
minuman, yang terlarang adalah darah, daging binatang yang telah mati
sendiri, daging babi, daging binatang yang ketika disembelih diserukan nama
selain Allah. (QS. Al-Baqarah: 173)
 Prinsip Kebersihan
Syariat yang kedua ini tercantum dalam kitab suci Al-Qur’an maupun
Sunnah tentang makanan. Harus baik atau cocok untuk dimakan, tidak kotor
ataupun menjijikkan sehingga merusak selera. Karena itu, tidak semua yang
diperkenankan boleh dimakan dan diminum dalam semua keadaan. Dari
semua yang diperbolehkan makan dan minumlah yang bersih dan
bermanfaat.
 Prinsip Kesederhanaan
Prinsip ini mengatur perilaku manusia mengenai makanan dan
minuman adalah sikap tidak berlebih-lebihan, yang berarti janganlah makan
secara berlebihan.
 Prinsip Kemurahan Hati
Dengan menaati perintah Islam tidak ada bahaya maupun dosa ketika kita
memakan dan meminum makanan halal yang disediakan Tuhan karena
kemurahan hati-Nya. Selama maksudnya adalah untuk kelangsungan hidup
dan kesehatan yang lebih baik dengan tujuan menunaikan perintah Tuhan
dengan keimanan yang kuat dalam tuntutan-Nya, dan perbuatan adil sesuai
dengan itu, yang menjamin persesuaian bagi semua perintah-Nya.
 Prinsip Moralitas
Bukan hanya mengenai makanan dan minuman langsung tetapi
dengan tujuan terakhirnya, yakni untuk peningkatan atau kemajuan nilai-nilai
moral dan spiritual. Seseorang muslim diajarkan untuk menyebut nama Allah
sebelum makan dan menyatakan terima kasih kepada-Nya setelah makan.
Dengan demikian ia akan merasakan kehadiran Ilahi pada waktu memenuhi
keinginan-keinginan fisiknya.
c. Batasan Konsumsi
 Batasan Konsumsi Makanan
Batasan Islam dalam pembelanjaan ada dua kriteria yaitu batasan
yang terkait dengan kriteria sesuatu yang dibelanjakan, cara dan sifatnya.
Batasan ini adalah yang dirumuskan oleh Islam mengenai konsumsi yang
terkait dengan cara dan macam tanpa melihat pada kuantitas sesuatu yang
dibelanjakan, sedikit atau banyaknya, yaitu pembelanjaan yang terkait dengan
hal-hal yang diharamkan Islam seperti: khamar dengan berbagai jenis dan
namanya, berbagai macam tembakau (rokok), yang dapat merusak badan,
melemahkan semangat dan membuang-buang uang, judi yang juga
diharamkan, dan patung-patung yang telah diharamkan. Dengan demikian
bahwa setiap pembelanjaan hal-hal yang diharamkan adalah suatu perbuatan
yang berlebih-lebihan (melampaui batas) dan pemborosan yang dilarang
dalam Islam.
Selanjutnya batasan pada kuantitas dan ukuran Di antara yang
termasuk dalam kriteria ini yaitu membelanjakan harta yang diperlukannya
dari yang tidak dapat ditanggung oleh pendapatannya. Contohnya seseorang
yang membelanjakan hartanya melebihi dari pendapatannya padahal yang ia
belanjakan bukanlah hal mendesak (bukan primer), artinya ia terpaksa
meminjam untuk dapat menutupi kekurangannya, padahal utang itu adalah
keresahan di waktu malam dan kehinaan di waktu siang. Nabi SAW
berlindung kepada Allah dari lilitan utang dan beliau melihatnya sebagai
faktor pendorong pada kejelekan akhlak dari perilaku pelakunya.
Sebagaimana sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya seseorang apabila berutang
maka setiap kali berbicara, ia berdusta atau bila berjanji ia mengingkarinya.”
(HR. Bukhari) [Listiawati, 2012: 48]
 Batasan Konsumsi Pakaian
Islam membolehkan bahkan memerintahkan seorang manusia
khususnya seorang muslim untuk berpenampilan menarik, berwibawa, dan
anggun dengan menikmati perhiasan, pakaian, dan berbagai bentuk aksesoris
yang Allah SWT ciptakan. Islam mewajibkan umatnya untuk menutup
auratnya, yakni wilayah anggota badan yang bagi orang beradab dan bersih
fitrahnya malu bila melihatnya. Itu dilakukan untuk membedakan antara
manusia dengan binatang. Bahkan Islam juga menganjurkan mereka untuk
tetap menutup auratnya meskipun sedang sendirian dan jauh dari orang lain,
hingga rasa malu menjadi tabiat dan akhlaknya.
Untuk seorang muslimah, Islam mengharamkan wanita mengenakan
pakaian yang ketat dan transparan. Termasuk dalam hal ini adalah pakaian
yang menonjolkan bagian-bagian tubuh tertentu. Terutama bagian tubuh
yang menggoda kaum Adam; payudara, pusar, pantat dan sebagainya.
Disebutkan dalam As-Shahih dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Ada dua golongan manusia yang termasuk
penghuni neraka namun saya belum melihatnya. Kaum yang membawa
cambuk seperti ekor sapi untuk mencambuk orang lain (isyarat untuk para
penguasa yang zhalim yang berlaku semena-mena kepada rakyatnya), dan
perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, menggoda dan berlenggak-
lenggok. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak masuk
surga dan tidak pula mendapatkan bau wanginya, meskipun semerbak
baunya dapat dicium dari jarak perjalanan yang jauh.”(HR. Muslim).

F. Teori Etika Bisnis Islam Dalam Pemasaran


Pemasaran merupakan suatu proses perencaan dan menjalankan,
harga,promosi dan distribusi sejumlah ide, barang dan jasa untuk menciptakan
pertukaran yang mampu memuaskan individu dan organisasi. Seperti diketahui bahwa
pemasaran merupakan kegiatan yang amat penting dalam operasional suatu bisnis.
Tidak peduli apakah bisnis itu bergerak dalam sektor industri kecil, tingkat menengah,
apalagi industri besar. Atau bisnis bergerak dalam bidang perdagangan besar,
perdagangan eceran, pertokoan, atau mungkin pula bisnis bergerak dalam bidang
penjualan jasa, transportasi, penginapan, biro perjalanan, kegiatan rekreasi dan
sebagainya, pemasaran menempati posisi utama.
Pemasaran dalam Islam adalah bentuk muamalah yang dibenarkan dalam
Islam, sepanjang dalam segala proses transaksinya terpelihara dari hal-hal terlarang oleh
ketentuan syariah. Syariah Manajemen marketing syariah adalah sebagai suatu ilmu
memilih pasar sasaran dan mendapatkan, menjaga, dan menumbuhkan pelanggan
dengan menciptakan, menyerahkan dan mengkomunikasikan nilai yang unggul kepada
pelanggan dengan berorientasi pada ketentuan-ketentuan syariah. Manajemen dalam
organisasi bisnis (perusahaan) merupakan suatu proses aktivitas penentuan dan
pencapaian tujuan bisnis melalui pelaksanaan empat fungsi dasar, yaitu POAC
(planning, organizing, actuating, dan controlling) dalam penggunaan sumber daya
organisasi.
Pemasaran Syari’ah adalah sebuah disiplin bisnis strategis yang mengarahkan
proses penciptaan, penawaran dan perubahan value dari suatu inisiator kepada
stakeholders-nya, yang dalam keseluruhan prosesnya sesuai dengan akad dan prinsip-
prinsip muamalah (bisnis) dalam Islam.Ini artinya bahwa dalam syariah marketing,
seluruh proses, baik proses penciptaan, proses penawaran, maupun proses perubahan
nilai (value), tidak boleh ada hal-hal yang bertentangan dengan akad dan prinsip-prinsip
muamalah yang Islami. Sepanjang hal tersebut dapat dijamin, dan penyimoangan
prinsip-prinsip muamalah islami tidak terjadi dalam suatu transaksi apapun dalam
pemasaran dapat dibolehkan.19
Etika pemasaran mulai didefinisikan oleh para ahli di tahun 1990an, Pertama,
definisi yang diajukan oleh Laczniak dan Murphy pada tahun 1993 (Murphy, 2017)
menyebutkan bahwa etika pemasaran adalah studi sistematis tentang bagaimana
standar moral diterapkan pada keputusan pemasaran, perilaku dan institusi.
Definisi lain dari etika pemasaran adalah keputusan pemasaran harus diambil
sesuai dengan aturan atau prinsip moral dari perilaku (Abromaityte-Sereikienė, 2005).
Selanjutnya Murphy (2017) menjelaskan bahwa etika pemasaran mengacu pada praktik
yang menekankan pribadi yang transparan, dapat dipercaya dan bertanggung jawab
dan/atau kebijakan dan tindakan pemasaran organisasi yang menunjukkan integritas
serta keadilan bagi konsumen dan pemangku kepentingan lainnya.

19
Nur Fadilah, ‘Pengertian, Konsep, Dan Strategi Pemasaran Syari’ah’, Salimiya, 1.2 (2020), 208.
Sedangkan Dibb et al., (2019) mendefinisikan etika pemasaran sebagai prinsip
dan standar yang mendefinisikan perilaku pemasaran yang dapat diterima sebagaimana
ditentukan oleh berbagai pemangku kepentingan. termasuk masyarakat, pemerintah,
regulator, kelompok kepentingan swasta, konsumen. industri dan organisasi itu sendiri.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa etika pemasaran merupakan kebijakan dan
keputusan yang dibuat oleh perusahaan untuk memastikan bahwa setiap keputusan dan
kebijakan strategi pemasaran berjalan sesuai dengan nilai dan norma serta hukum
positif yang berlaku di masyarakat sehingga tidak merugikan baik secara makro
maupun mikro.20

G. Teori Tanggung Jawab Sosial Perusahaan Dalam Islam


Tanggung jawab sosial dari perusahaan (Corporate Social Responsibility)
merujuk pada semua hubungan yang terjadi antara sebuah perusahaan dengan semua
stake holder, termasuk didalamnya adalah pelanggan, pegawai, komunitas, pemilik atau
investor, pemerintah, supplier bahkan juga kompetitor. Di dunia internasional sendiri
sudah ditegaskan kewajiban korporat yang tergabung dalam ISO untuk
menyejahterakan komunitas di sekitar wilayah usaha yang ditetapkan dalam pertemuan
antarkorporat dunia di Trinidad pada ISO/COPOLCO (ISO Committee on
Consumer Policy) workshop 2002 di Port of Spain.
Pengembangan program-program sosial perusahaan berupa dapat bantuan
fisik, pelayanan kesehatan, pembangunan masyarakat (community development),
outreach, beasiswa dan sebagainya. Motivasi mencari laba bisa menghambat keinginan
untuk membangun masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Kebijakan pemerintah
untuk mendorong dan mewajibkan perusahan swasta untuk menjalankan tanggung
jawab sosial ini tidak begitu jelas dan tegas, ditambahkan pula banyak program yang
sudahdilaksanakan perusahaan tidak berkelanjutan.
Pemikiran yang mendasari CSR (corporate social responsibility) yang sering
dianggap inti dari Etika Bisnis adalah bahwa perusahaan tidak hanya mempunyai
kewajiban-kewajiban ekonomis dan legal (artinya kepada shareholder) tapi juga

20
Akhmad Sefudin, ‘Etika Pemasaran Dan Tanggung Jawab Sosial’, Teori Pemasaran: Pendekatan
Manajemen Bisnis, September, 2022, 229–47
<https://www.academia.edu/35217145/Etika_Pemasaran_dan_Tanggung_Jawab_Sosial_dalam_
Perencanaan_Strategis>.
kewajiban-kewajiban terhadap pihak-pihak lain yang berkepentingan (stakeholders),
namun lebih dari kewajiban-kewajiban di atas, karena perusahaan tidak bisa berdiri
sendiri tanpa bantuan pihak lain.
Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan pengambilan keputusan
perusahaan yang dikaitkan dengan nilai-nilai etika, memenuhi kaidahkaidah dan
keputusan hukum dan menghargai manusia, masyarakat dan lingkungan. Beberapa hal
yang termasuk dalam CSR ini antara lain adalah tata laksana perusahaan (corporate
governance), kepedulian perusahaan terhadap Iingkungan, kondisi tempat kerja dan
standar bagi karyawan, hubungan perusahan-masyarakat, investasi sosial perusahaan.
Jadi tanggung jawab sosial perusahaan tidak hanya dalam bidang pembangunan sosial
dan ekonomi tetapi juga dalam hal lingkungan hidup.
Secara umum Corporate Social Responsibility merupakan peningkatan kualitas
kehidupan dimana kemampuan manusia sebagai dan anggota masyarakat dapat
menanggapi keadaan sosial yang ada, dan dapat menikmati, memanfaatkan serta
memelihara lingkungan hidup atau dapat dikatakan sebagai proses penting dalam
pengaturan biaya yang dikeluarkan dan keuntungan kegiatan bisnis dari stakeholders
baik secara internal (pekerja, shareholders dan penanam modal) maupun ekstemal
(kelembagaan pengaturan umum, anggota-anggota masyarakat, kelompok masyarakat
sipil dan perusahaan lain).
Corporate social responsibility merupakan komitmen usaha untuk bertindak
secara etis, beroperasi secara legal dan berkontribusi untuk peningkatan ekonomi
bersamaan dengan peningkatan kualitas hidup dari karyawan dan keluarganya,
komuniti lokal dan masyarakal secara lebih luas (Sankat, Clement K, 2002). Pengertian
ini sama dengan apa yang dikemukakan oleh The World Business Council for
Sustainable Development (WBCSD) yaitu komitmen bisnis untuk berkontribusi dalam
pembangunan ekonomi berkelanjutan, bekerja dengan para karyawan perusahaan,
keluarga karyawan tersebut, berikut komuniti-komuniti setempat (lokal) dan
masyarakat secara keseluruhan, dalam rangka meningkatkan kualitas kehidupan.
Konsep corporate social responsibility melibatkan tanggung jawab kemitraan antara
pemerintah, lembaga sumber daya masyarakat, juga masyarakat setempat (lokal).21
Kemitraan ini merupakan tanggung jawab bersama secara sosial antar
stakeholders. Menurut Bank Dunia, Tanggung jawab sosial perusahaan terdiri dari
beberapa komponen utama: perlindungan Iingkungan, jaminan kerja, hak azasi
manusia, interaksi dan keteribatan perusahaan dengan masyarakat, standar usaha,
pasar, pengembangan ekonomi dan badan usaha, perlindungan kesehatan,
kepemimpinan dan pendidikan, bantuan bencana kemanusiaan.
Menurut (1994) tanggung jawab sosial perusahaan dapat berupa : 22
a. Pemelihara sumber daya masyarakat
b. Perusahaan harus bekerja sebagai sistem yang terbuka dua arah dengan
penerimaan masukan secara terbuka dari masyarakat dan memaparkan operasinya
kepada publik.
c. Perusahaan harus mengkalkulasikan biaya sosial maupun manfaat dari suatu
aktivitas, produk, atau jasa dan mempertimbangkannya secara cermat agar dapat
diputuskan apakah kegiatan tersebut perlu dilanjutkan atau tidak.
d. Memperhitungkan biaya sosial dari setiap aktivitas, produk, atau jasa ke dalam
harga sehingga konsumen membayar atas dampak konsumsinya terhadap
masyarakat.
e. Perusahaan melibatkan diri dalam aktivitas sosial, sesuai dengan kompetensinya
dimana terdapat kebutuhan sosial yang penting.

H. Teladan Rasulullah dan Karir Bisnisnya


Dalam Hadis Rasulullah SAW merupakan penafsiran Al-Qur’an dalam praktik
atau penerapan ajaran Islam secara faktual yang juga merupakan perwujudan dari Al-
Qur’an yang ditafsirkan untuk manusia (Ismail, 1990).
Oleh karena itu, siapa saja yang ingin mengetahui cara mengamalkan Islam,
dapat dipelajari secara rinci dalam hadis Rasulullah SAW. Setelah memperhatikan
hadis-hadis Nabi Muhammad SAW. yang berhubungan dengan bisnis, maka pada garis

21
Erni R Ernawan, Program Studi Manajemen, and Universitas Pasundan, ‘Tanggungjawab Sosial
Perusahaan (Corporate Social Responsibility)’, Jurnal Manajemen Dan Bisnis (Performa), 11.2
(2014), 155–73.
22
Ernawan, Manajemen, and Pasundan.
besarnya dapat dibagi kepada dua komponen; yaitu perilaku bisnis yang terpuji dan
perilaku bisnis yang tercela.
Berdasarkan peran dan tugas (nabi) Muhammad, masa kehidupannya dapat
diklasifikasikan menjadi dua periode, yaitu masa sebelum kenabian atau qab al-bi’tsah
dan masa kenabian, setelah ia diangkat menjadi Rasul atau disebut masa ba’d al-bi’tsah.
Masa pra kenabian terjadi sejak Muhammad di-lahirkan pada 571 M hingga 611
M. Masa ini berlangsung selama 39 tahun dan saat itu Muhammad berusia 39 tahun.
Pada usia 40 tahun, Muhammad telah menerima wahyu. Sejak itu kehidupannya atas
bimbingan ayat-ayat alQur’an yang diturunkan melalui malaikat Jibril. Kehidupan
Muhammad sebelum kenabian merupakan sesuatu yang natural. Ia hidup dan bergaual
layaknya masyarakat pada waktu itu. Namun selama itu pula, Muhammad mampu
belajar dari lingkungannya hingga ia menjadi orang besar. Gelar al-Amīn ia peroleh
semasa dewasa. Pengalaman bisnisnya ia peroleh dari realitas sosial, ketika ia
mengunjungi beberapa pasar dan festival perdagangan, serta kunjungan ke negara
Syam, sebuah negara yang menjadi sentral perdagangan dunia pada saat itu.
Muhammad ketika masa kecilnya menjadi penggembala binatang dengan
penghasilan yang tidak banyak. Pekerjaan ini ia lakukan dengan terpaksa hingga ia di
bawah asuhan Abu Thalib. Muhammad sadar bahwa menggembala bukan profesinya.
Pengalaman menggembala ia peroleh ketika bersama anak-anak Halimah di kampung
Banu Sa’ad. Setelah usia 4 tahun ia dikembalikan kepada ibunya (Aminah) dan menjadi
penggembala untuk memenuhi kehidupannya. Adapun orang tuanya (Abdullah) dan
pamannya adalah seorang pedagang. Ia dibesarkan dalam wilayah perdagangan. Apa
yang ia lihat dan rasakan di Makkah menuntut dirinya untuk menjadi pedagang.
Kesempatan untuk menjadi pedagang muncul ketika ia di bawah asuhan Abu Thalib
yang profesinya sebagai pedagang. Pada masa asuhannya, Muhammad sering
berkunjung dan berjualan di pusat-pusat keramaian, seperti pasar Ukaz, Majinna, Dzul
Majaz, Basra, dan lain-lain. Keinginan turut serta dalam kafilah berdagang selalau
ditolak Abu Thalib dengan alasan keselamatan Muhammad. Setelah Abu Thalib merasa
bahwa keinginan Muhammad untuk turut serta dalam rombongan kafilah berdagang
semakin kuat, Abu Thalib menginjinkannya. Saat itulah Muhammad dapat
menyaksikan bagaimana menempuh perjalanan jauh dan transaksi ekonomi
dilangsungkan. Dengan demikian maka pembacaan Muhammad terhadap kondisi
geografis Makkah menjadi motivator bagi dirinya untuk menekuni bisnis, bukan
bertani atau menjadi penggembala.
Pertama, Muhammad diasuh oleh Halimah di kampung Sa’ad. Kampung Sa’ad
adalah tempat dimana banyak Ibu-ibu yang memiliki profesi menyusui sekaligus
sebagai ibu asuh. Atas jasanya mereka akan menerima biaya perawatan bayi selama
diasuhnya dan jasa atas pekerjaannya. Kampung Sa’ad ini berjarak 60 KM dari Makkah.
Suatu waktu ibu-ibu asuh ini berombongan menuju Makkah untuk mencari anak asuh.
Salah satu rombongan tersebut adalah Halimah, sebuah klan dari suku Hawazin.
Beberapa kawan Halimah telah mendapatkan bayi asuh, sementara Halimah
belum mendapatkan. Ia berkunjung ke rumah Siti Aminah karena diketahui ia memiliki
bayi yang baru saja dilahirkan. Setelah melihat Muhammad, Halimah tertarik untuk
merawatnya. Namun ia ragu karena bayi yang akan diasuhnya adalah anak yatim dan
keluarga miskin. Akhirnya Halimah minta pertimbangan suaminya (Haris). Ia
menceritakan kepada suaminya tentang apa yang dialaminya. Ia gagal memperoleh bayi,
namun ada seorang bayi yang memiliki daya tarik dan Halimah ingin untuk
mengasuhnya meskipun tanpa upah.
Setelah memperoleh pertimbangan dan ijin dari suaminya, Halimah kembali
menemui Aminah dan akhirnya Muhammad diserahkan kepada Halimah. Aminah
merasa senang melepas Muhammad meskipun berat melepasnya. Aminah hanya
berharap agar anaknya menjadi orang yang memiliki kemandirian sebagaimana anak-
anak lain yang diasuh oleh orang-orang Badui. Halimah berharap dengan mengasuh
Muhammad ia akan memperoleh berkah dari Tuhan. Muhammad diasuh oleh Halimah
sebanyak dua kali selama empat tahun. Tahap pertama ketika beberapa saat setelah ia
dilahirkan hingga berusia dua tahun.
Tahap kedua, ketika Makkah dilanda wabah penyakit, Halimah mendatangi
Aminah untuk merawatnya. Asuhan kedua ini terjadi selama dua tahun. Selama di
bawah asuhan Halimah, Muhammad hidup dalam serba kekurangan mengingat
keluarga Halimah adalah keluarga miskin. Kedua, Muhammad dipangkuan ibunya
(Aminah). Setelah Muhammad diasuh selama 4 tahun, ia dikembalikan kepada ibunya.
Dengan senang hati Aminah menerimanya karena ia sangat rindu kepadanya. Ia hidup
bersama ibunya selama dua tahun (575–577 M).
Selama bersama ibunya Muhammad Muhammad membantu tetangganya
menggembalakan kambing untuk memperoleh upah. Meskipun upahnya kecil
Muhammad dengan senang hati melakukannya. Hasil jerih payahnya diberikan kepada
ibunya untuk menambah biaya hidup, karena Aminah adalah seorang janda miskin.
Pengalaman menggembala diperoleh Muhammad sewaktu diasuh oleh
Halimah. Pada usia dua tahun ia sudah bisa berjalan dan berlari. Ia sudah bisa dilepas
untuk menggembala kambing bersama anak-anak Halimah. Memang Muhammad
memiliki banyak kelebihan dibanding dengan anak seusianya. Ia tidak malu menjadi
penggembala karena tuntutan hidup. Satu-satunya kegiatan yang bisa dilakukan adalah
membantu ibunya meringankan biaya hidup dengan cara menggembala. Ia belum bisa
bekerja selain menggembala karena usianya masih kecil.
Ketiga, Muhammad diasuh oleh Abdul Muthalib. Sejak ibunya meninggal pada
tahun 577 M, muhammad yang saat itu berusia 6 tahun diajak pindah tinggal bersama
kakeknya, Abdul Muthalib. Bersama kakeknya kehidupannya lebih baik dibanding
bersama ibunya. Abdul Muthalib adalah orang kaya dan memiliki pengaruh besar
terhadap masyarakat suku Quraisy. Meskipun ia hidup di tengah-tengah keluarga yang
kaya raya, Muhammad masih bekerja sebagai penggembala. Ia tidak merasa malu
karena pekerjaannya adalah halal dan mulia, meski upahnya tidak banyak. Pekerjaan
menjadi penggembala merupakan pekerjaan yang mulia. Sejarah nabi-nabi terdahulu
juga pernah menjadi penggembala. Hal ini ditegaskan oleh Muhammad setelah
diangkat menjadi nabi, ia berkata: “Nabi Musa diutus dan dia adalah seorang
penggembala kambing, dan nabi Daud diutus dan dia seorang penggembala kambing
dan aku diutus dan aku juga penggembala kambing keluargaku di kampung Jiyad.
Keempat, Muhammad diasuh oleh pamannya. Pemeliharaan Muhammad oleh
Abu Thalib berdasarkan wasiat Abdul Muthalib ketika ia sedang sakit. Abu Thalib
adalah salah satu anak Abdul Muthalib yang kurang mampu (miskin). Mengapa Abdul
Muthalib tidak menyerahkan pemeliharaan Muhammad kepada anak tertuanya (Haris)
atau kepada Abbas yang kaya raya. Andaikan Muhammad dipelihara oleh Abbas, maka
Muhammad akan hidup sejahtera. Sikap Abdul Muthalib yang menyerahkan
pemeliharaan Muhammad kepada Abu Thalib dengan pertimbangan Abu Thalib
adalah orang yang disegani masyarakat Quraisy karena memiliki akhlak yang baik.
Bahkan menurut satu riwayat, pemeliharaan Abu Thalib kepada Muhammad melebihi
anaknya sendiri. Kemanapun Abu Thalib pergi, Muhammad selalu bersamanya.23

I. Persaingan Dalam Etika Bisnis Islam


Secara umum, persaingan bisnis adalah perseteruan atau rivalitas antara pelaku
bisnis yang secara independen berusaha mendapatkan konsumen dengan menawarkan
harga yang baik dengan kualitas barang dan jasa yang baik pula.16 Tiga unsur yang
harus dicermati dalam persaingan bisnis sebagai unsur dalam persaingan usaha, yaitu
pihak-pihak yang bersaing, cara bersaing, dan objek yang dipersaingkan.
Persaingan bisnis mengacu pada persaingan antara perusahaan yang
menyediakan produk yang serupa atau perusahaan yang mempunyai target konsumen
yang sama. Tujuannya yaitu untuk mengubah dan mempertahankan pelanggan,
meningkatkan pendapatan, dan mendapatkan lebih banyak konsumen dalam pasar.
Dalam bisnis manusia menjadi titik pengendalian bisnis dan menjadi pusat
bisnis. Begitupula bagi seorang muslim melakukan aktivitas bisnis tiada lain kecuali
untuk mengembangkan dan meperoleh harta miliknya. Dengan demikian, persaingan
usaha tidak diartikan sebagai sesuau yang saling merugikan, tetapi justru dipahami
sebagai bagian dari peningkatan layanan, peningkatan mutu produk, serta harga produk
yang bersaing
Salah satu unsur hukum Islam adalah muamalah atau hukum ekonomi Islam,
berbisnis merupakan aktivitas manusia dalam mendapatkan rezeki secara halal,
sehingga tidak bisa dipisahkan dari upaya munculnya persaingan dalam bisnis.
Rasulullah saw., memberikan contoh bagaimana bersaing dengan baik. Ketika
berdagang, Rasul tidak pernah melakukan usaha untuk menghancurkan pesaingnya.24.

J. Peranan Lembaga Hisbah Dalam Mengatur Bisnis


1. Definisi Hisbah25
Secara harfiyah (etimologi) hisbah berarti melakukan suatu tugas dengan
penuh perhitungan (Ahmad 2001). Sedangkan Dr. Jaribah mendefinisikan hisbah

23
Muhammad Saifullah, ‘ETIKA BISNIS ISLAMI DALAM PRAKTEK BISNIS RASULULLAH’, 19, 127–56.
24
Rosmaya Rosmaya and others, ‘Analisis Etika Bisnis Islam Dalam Persaingan Usaha Pabbagang
Di Desa Pallemeang Kabupaten Pinrang’, DIKTUM: Jurnal Syariah Dan Hukum, 20.1 (2022), 01–18.
25
Abdul Hamid, ‘DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM’, 1.2 (2019), 101–12.
secara etimologi berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah
kemungkaran (amar ma’ruf nahi mungkar). Makna terminology adalah
memerintahkan kebaikan apabila ada yang meninggalkannya dan melarang
kemungkaran apabila ada yang mengerjakannya (al-Haritsi 2006: 587).
Konsep hisbah diatas mengulas agar bisa mencakup semua anggota
masyarakat yang mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran.
Sebagaimana ruang lingkup hisbah mencakup sisi kehidupan termasuk bidang
ekonomi.
Hisbah dapat diartikan juga sebagai lembaga yang fungsi pokoknya adalah
menghimbau agar masyarakat melakukan kebaikan dan menjauhi kemungkaran.
Namun demikian wilayah fungsi kontrol ini tidak sebatas bidang agama dan moral.
Tetapi menurut Muhammad al-Mubarak melebar ke wilayah ekonomi dan secara
umum bertalian dengan kehidupan kolektif atau publik untuk mencapai keadilan
dan kebenaran menurut prinsip Islam dan dikembangkan menjadi kebiasaan
umum pada satu waktu dan tempat.
Landasan Hukumnya adalah al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang
artinya; “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf, dan mencegah dari yang
mungkar; mereka itulah orang-orang yang beruntung”. Al-Qur’an Surat An-Nahl:
90, yang artinya, “sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji,
kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pelajaran.” Dasar hukum berupa hadis yaitu; Nabi Muhammad
SAW bersabada: “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah dengan
tangannya. Jika ia tidak bisa, maka rubahlah dengan mulutnya. Jika ia tidak bisa
juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.”
Di Indonesia dalam kaitan dengan masalah pengawasan di bidang ekonomi
(bisnis), apabila mengacu pada perundangan yang berlaku, antara lain diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan
Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Muhammad 2004: 176).
Selanjutnya juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Fungsi pengawasan yang diatur dalam
kedua undang-undang ini menitikberatkan pada masalah pengawasan dalam
bidang usaha (bisnis) dengan maksud agar kepentingan masyarakat, terutama
konsumen, bisa terlindungi. Dengan demikian dilihat dari fungsi pokok yang
dibebankan, secara substansial sama dengan fungsi pengawasan dalam institusi
hisbah dalam Islam.
Hisbah dalam kegiatan ekonomi mempunyai beberapa tujuan. Pengawasan
pasar merupakan tugas pertama seorang muhtasib (pengawas) pada masa
permulaan Islam. Untuk itu pembahasan ini dibagi menjadi dua, yaitu; pertama,
tujuan hisbah dalam kegiatan ekonomi adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan
berikut (al-Haritsi 2006: 591):
a. Memastikan dijalankannya aturan-aturan kegiatan ekonomi. Peran
pengawasan dari luar untuk mencegah orang-orang yang lalai untuk menjaga
aturan-aturan kegiatan ekonomi. Aturan terpentingnya adalah:
Disyariatkannya kegiatan ekonomi, aturan terpenting kegiatan ekonomi
dalam Islam adalah bahwa kegiatan ekonomi tersebut disyariatkan. Senantiasa
terhindar dari maisir, gharar, dan riba. Menyempurnakan pekerjaan dan
melawan penipuan. Penipuan merupakan satu tindakan buruk yang dapat
menyebabkan bahaya besar tehadap umat dan juga kegiatan ekonominya. Di
mana penipuan mempunyai akibat bagi kesejahteraan konsumen,dan juga
pertumbuhan ekonominya. Bentukbentuk penipuan ini dapat berupa:
kualitas, kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang/jasa (A. Karim 2007:
203). Tidak membahayakan orang lain.
b. Mewujudkan keamanan dan ketentraman. Keamanan dan ketrentraman
merupakan menciptakan iklim investasi yang sesuai, dan mewujudkan
pertumbuhan ekonomi.
c. Mengawasi keadaan rakyat. Menurut Umar bin Khattab tujuan hisbah adalah
berjalan pada malam dan siang hari untuk mengetahui keadaan rakyat,
mengetahui kebutuhan-kebutuhan mereka, dan menyantuni orang-orang
yang membutuhkan (al-Haritsi 2006: 596).
d. Melarang orang membuat aliran air tanpa adanya kebutuhan. Islam
memerintahkan agar setiap orang berusaha mewujudkan ketercukupan
untuknya dan ketercukupan untuk orang yang berada dalam tanggungannya
dan tidak memperbolehkan orang yang mampu menjadi beban orang lain (al-
Haritsi 2006: 597).
e. Menjaga kepentingan umum. Kepentingan umum adalah kemaslahatan bagi
umat, dimana umat tidak bisa terpisah dari kepentingan tersebut. Maka harus
ada pengawasan terhadap kepentingan umum tersebut untuk menjaga dan
melindunginya dari orang yang berbuat sia-sia (al-Haritsi 2006: 596). f.
Mengatur transaksi di pasar. Pengawasan pasar dan mengatur persaingan di
dalamnya yaitu dengan memerangi transaksi yang merusak persaingan
tersebut.
Kedua, tujuan hisbah terhadap pasar. Pasar mempunyai peran yang besar
dalam ekonomi. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disisipkan
untuk tukar menukar hak milik dan menukar barang antara produsen dan
konsumen. Tujuan terpenting dari pengawasan pasar dan aturan transaksi di
dalamnya yaitu:
a. Kebebasan keluar masuk pasar. Kebebasan transaksi dan adanya persaingan
yang sempurna di pasar Islam tidak terwujud selama halanganhalangan tidak
dihilangkan dari orang-orang yang melakukan transaksi di pasar. Maka mereka
masuk pasar dan keluar dengan bebas,juga di berikan kebebasan mengangkut
barang dari satu tempat ke tempat lain dan memindahkan unsur produksi
diantara bermacam – macam kegiatan ekonomi sesuai fluktuasi persediaan dan
permintaan barang.
b. Mengatur promosi dan propaganda. Tujuan pengawasan pasar adalah
menunjukkan para pedagang tentang cara-cara promosi dan propaganda yang
menyebabkan lakunya dagangan mereka. Dengan syarat dalam masyarakat
Islam berdiri atas dasar kejujuran dan amanat dalam semua cara yang
diperbolehkan untuk memperluas area pasar di depan barang yang siap dijual.
Ketiga, larangan menimbun barang. Penimbunan barang adalah halangan
terbesar dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Para pelaku monopoli
mempermainkan barang yang dibutuhkan oleh umat dan manfaatkan hartanya
untuk membeli barang, kemudian menahannya sambil menunggu naiknya harga
barang itu tanpa memikirkan penderitaan umat karenanya perilaku ini dilarang
oleh Islam.
Monopoli identik dengan penimbunan. Pembahasan monopoli muncul
sebagai akibat dari masalah pemberian harga karena persaingan tidak sempurna.
Prinsipnya adalah seseorang tidak boleh menimbun hanya karena ingin
memperoleh harga yang lebih tinggi dan menyengsarakan atau member dampak
negative bagi orang lain. Dan praktek monopoli ini justru akan membunuh
mekanisme kebebasan pasar. Dengan menahan dan menyembunyikan,
sesungguhnya, menyebabkan seseorang menjadi lebih miskin dalam arti yang
sebenarnya. Sebab dengan demikian miliknya tidak dapat digunakan orang lain di
masa kekurangan. Sebagai upaya akhir sesungguhnya Negara Islam mempunyai
wewenang untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif dan anti sosial dalam
melakukan penimbunan. Tindakan tegas ini untuk mencegah kenaikan harga yang
tidak semestinya.
Keempat, mengatur perantara perdagangan. Kelima, pengawasan harga.
Sangat harmonis kehidupan ekonomi yang diatur secara islami, bila diterapkan
dengan disiplin. Tidak akan pernah ada praktek-praktek yang tidak sehat dalam
bisnis karena sejak Rasulullah SAW telah melarangnya. Beliau tidak menganjurkan
campur tangan apapun dalam proses penentuan harga oleh Negara ataupun
individual, apalagi bila penentuan harga ditempuh dengan cara merusak
perdagangan yang fair antara lain melalui penimbunan barang.
Kelima, pengawasan barang yang diimpor. Pada masa Umar bin Khattab
telah menunjuk para pengawas pasar. Diantara tugasnya adalah mengawasi barang
yang diimpor dan mengambil Usyur (pajak 10%) dari barang tersebut dengan
tingkatan yang berbeda sesuai pentingnya barang tersebut dan kebutuhan umat
Islam kepadanya (al-Haritsi 2006: 618). Tujuan dibalik hisbah tidak hanya
memungkinkan pasar dapat beroperasi secara bebas sehingga harga, upah dan laba
dapat ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran melainkan juga untuk
menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya.
2. Peran Lembaga Hisbah dalam Perekonomian (Bisnis) Islam26
Dalam sejarah perekonomian Islam, terdapat suatu lembaga yang
dinamakan hisbah, yang tugasnya adalah memantau, mengawasi praktik-praktik
kegiatan perekonomian yang tidak sesuai dengan kaidah al-Qur’an dan Hadist.

26
Hamid.
Lembaga ini dapat membimbing jalannya kehidupan masyarakat kearah sesuai
dengan al-Qur’an dan Hadist. Sehingga masalah kemiskinan dapat terpecahkan.
Memang masalah kemiskinan adalah karena tidak dilakukannya kegiatan
perekonomian sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadist.
Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam Ekonomi (bisnis),
yaitu: pertama, standarisasi Mutu yang cukup tinggi. Masyarakat khususnya kaum
pedagang harus menyediakan barang terbaiknya karena hisbah juga mengatur
tentang mutu barang yang ada di masyarakat.
Ketika ada penipuan atau kecurangan mutu barang yang dilakukan oleh
produsen dan mendzalimi konsumen, maka petugas hisbah siap bertindak.
Kualitas barang harus sesuai dengan harga yang di tetapkan produsen dan yang
dijanjikan oleh produsen kepada konsumen. Produsen pun tidak bisa menjiplak
karya produsen lain, karena dengan adanya peniruan dalam karya produksi akan
menyebabkan kerugian baik bagi produsen yang punya hak cipta atau bagi
masyarakat pengguna. Dan jelas, penjiplakan yang mendzolimi dilarang dalam
Islam.
Kedua, regulasi perdagangan lebih teratur. Lembaga hisbah mempunyai
pengawas yang siap mengawasi setiap kezaliman dalam perdagangan, maka
masyarakat akan cenderung hati-hati dalam berdagang. Apalagi ada dasar
AlQur’an dan ketakutan yang tinggi pada Allah menjadikan masyarakat lebih jujur
dalam berdagang, lebih jujur dalam menyediakan supply barang, tidak ada lagi
penimbunan barang yang membuat peningkatan harga di masyarakat. Dengan
adanya regulasi ini system perdagangan lebih terkendali.
Ketiga, terhindarnya ekonomi biaya tinggi. Dengan regulasi yang teratur
juga akan menyebabkan biaya yang tercipta rendah karena tidak ada uang
pungutan liar sana-sini yang biasa di pungut oleh pihak birokrat ataupun orang-
orang yang ingin mengambil keuntungan diatas penderitaan orang lain.
Keempat, harga yang terbentuk di masyarakat Dengan adanya lembaga
Hisbah ini harga yang terbentuk di masyarakat lebih stabil karena senantiasa ada
pengawasan.Bila harga terlalu tinggi maka dapat diatur khususnya kebutuhan
bahan pokok. Hisbah akan melindungi masyarakat dari harga yang mencekik yang
umumnya di lakukan oleh perusahaan yang bermain secara monopoli.
Kelima, kesejahteraan Masyarakat akan lebih merata. Ketika barang yang
dibutuhkan masyarakat hadir secara cukup dengan harga yang layak, akan
membuat masyarakat jauh dari kemiskinan dan dekat dengan kesejahteraan.
Pendapatan dan kepemilikan barang akan cenderung merata atau distribusi
merata. Sehingga gap atau kecemburuan sosial dapat di cegah. Keenam,
kecerdasan masyarakat dalam ekonomi yang berperan di Hisbah tidak hanya
petugas hisbah saja, namun juga masyarakat umum. Karena pengaduan akan
kedzoliman bisa saja di lakukan oleh masyarakat umum. Secara tidak langsung,
masyarakat di buat untuk lebih punya pemahaman dalam hal ekonomi dan bisnis,
agar tidak mudah untuk di dzolimi dan agar bisa membantu anggota masyarakat
lain yang sedang terdzolimi.

K. Ketetapan Menjelaskan Model Model Bisnis Modern dan Praktek Mal-


Business
1. Model – Model Bisnis Modern
a. Akad Salam
Akad salam menurut bahasa diartikan sebagai menyerahkan sesuatu.
Sedangkan definisi salam menurut istilah adalah transaksi antara penjual dan
pembeli atas suatu barang dengan klasifikasi yang telah ditentukan dan melakukan
pembayaran di muka, namun barang diserahkan pada waktu yang telah ditentukan
sesuai dengan kesepakatan pada saat akad (Qori, 2020).
Akad salam disebut menjual suatu barang yang penyerahannya ditunda, atau
menjual barang yang ciri-cirinya jelas dengan pembayaran modal lebih awal,
sedangkan barangnya diserahkan di kemudian hari setelah adanya pemesanan
(Fadli, 2016).
b. Business Model Canvas
Business model canvas (BMC) merupakan suatu wadah yang digunakan
sebagai strategi untuk mendeskripsikan suatu model bisnis dengan merancang
gambaran dasar pemikiran bagaimana suatu bisnis dapat tercipta dan
memberikan nilai (Warnaningtyas, 2020). Business Model Canvas sebagai salah
satu penawaran alat strategi bisnis modern yang dapat digunakan pelaku usaha
online untuk menghadapi permasalahan dalam bisnis (Hutamy et.al, 2021).
Business model canvas (BMC) mempunyai keutamaan dalam penganalisisan
suatu model bisnis, yaitu mampu memberikan gambaran yang sederhana dan
menyeluruh terhadap suatu bisnis berdasarkan segmen konsumen, value yang
ditawarkan, aliran pendapatan hingga struktur biaya yang dimiliki (Herawati
et.al, 2019). Business model canvas sendiri terdiri dari sembilan elemen yang
dapat digunakan dalam merancang model bisnis. Setiap elemen mempunyai
fungsi dan makna tersendiri sehingga dapat digunakan dalam menganalisa
suatu bisnis. Adapun sembilan elemen tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Customer Segment. Elemen atau blok ini menjelaskan kepada siapa saja
pengguna atau sasaran pemakai dari produk bisnis yang dihasilkan. Dalam
blok ini dapat dipetakan customer manakah yang akan disasar. Selain itu
dalam elemen ini akan terlihat siapa sajakah pengguna produk bisnis yang
dijalankan.
2. Value Proposition. Value proposition merupakan nilai apa yang akan
diberikan kepada pengguna bisnis kita. Dalam value proposition juga
menjelaskan mengenai jawaban dari pemilik bisnis terhadap kebutuhan
pengguna. Value proposition juga menjelaskan mengenai nilai apa saja
yang dapat diberikan kepada pengguna atas permasalahan yang mereka
alami.
3. Channels. Channels merupakan suatu saluran yang dapat menghubungkan
pengguna dalam menjangkau produk dalam suatu model bisnis. Dalam
elemen ini juga dapat dipetakan saluran apa sajakah yang dapat
memudahkan pengguna dalam menjangkau produk dari bisnis yang
dijalankan.
4. Customer Relationship. Customer relationship merupakan elemen yang
menggambarkan mengenai tipe hubungan yang dibangun antara
perusahaan atau pemilik bisnis dengan pengguna produk dari bisnis
tersebut.
5. Revenue Streams. Elemen ini merupakan elemen yang menggambarkan
keuntungan apa yang didapatkan perusahaan dalam menjalankan proses
bisnisnya. Dalam elemen ini pemilik bisnis dapat melihat pendapatan apa
yang didapatkan.
6. Key Resources. Key Resource merupakan elemen yang menjelaskan atau
menggambarkan aset yang penting juga dibutuhkan dalam suatu bisnis.
Segala aset yang dibutuhkan dalam bisnis yang akan dijalankan bahkan
sudah dijalankan dapat dilihat pada elemen ini.
7. Key Activities. Elemen ini akan menggambarkan dan menjelaskan
mengenai kegiatan yang dijalankan dalam perusahaan atau bisnis. Elemen
ini juga dapat memberikan informasi kepada perusahaan atau pemilik
bisnis apa saja kegiatan bisnis yang harus dilakukan agar bisnis dapat tetap
berjalan.
8. Key Partnership. Key partnership merupakan elemen yang menjelaskan
menganai jaringan pemasok ataupun mitra yang dapat menjadikan bisnis
dapat berjalan. mitra atau pihak yang akan diajak Kerjasama dapat
dipetakan dalam elemen ini sehingga dapat mengetahui peran mitra
tersebut dalam menggerakkan bisnis.
9. Cost Structure. Elemen ini menggambarkan mengenai semua biaya yang
akan dikeluarkan perusahaan selama menjalankan bisnis. Dengan elemen
ini perusahaan atau pemilik bisnis dapat melihat biaya apa saja yang akan
dikeluarkan sehingga dapat menekan biaya pengeluaran dan
memaksimalkan laba dalam menjalankan bisnis.
c. E-commerce
Electronic commerce (e-commerce) merupakan hasil dari kemajuan
teknologi dalam bidang perniagaan dimana transaksi yang dilakukan oleh
pelaku usaha secara secara tidak langsung, karena pelayanan jual beli online
telah diwakilkan oleh suatu sistem melalui komputer dan jaringan internet
(Ruslang & et.al, 2020).
E-commerce merupakan bagian dari e-business, dimana cakupan e-
business tidak hanya perniagaan saja, melainkan pengkolaborasian antara mitra
bisnis, pelayanan pelanggan, dan pembayaran berbasis e-money (Muhammad,
2020).
Dalam transaksi e-commerce terdapat beberapa cara untuk
mengklasifikasikannya, salah satu cara yang digunakan adalah dengan melihat
sifat pengguna pada transaksi ecommerce. Sehingga diperolah tiga kategori
utama dari e-commerce adalah bisnis ke konsumen, bisnis ke bisnis, dan
konsumen ke konsumen (Dhinarti & Amalia, 2019).
Artinya e-commerce merupakan proses transaksi jual beli online yang
dilakukan dengan menggunakan jaringan komputer dan internet yang
menyediakan wadah berupa aplikasi atau platform website. Disisi lain e-
commerce tidak hanya memberikan kemudahan bagi konsumen akan tetapi
dengan adanya inovasi ini memudahkan produsen untuk memasaarkan
produknya sehingga dapat meminimalisir biaya operasional usaha yang
dikeluarkan (Astuti, 2018).27
d. Dropshipping
Dropshipping merupakan salah satu metode jual beli online yang
banyak diminati oleh banyak orang karena kemudahannya saat memulai bisnis
maupun saat menjalankannya. Selain itu, dropshipping merupakan salah satu
metode jual beli secara online, di mana badan usaha atau perorangan baik itu
toko online atau pengecer (dropsipper) tidak melakukan penyetokkan barang,
dan barang didapat dari jalinan kerja sama dengan perusahaan lain yang
memiliki barang yang sesungguhnya atau yang disebut supplier.28
3. Praktek Mal Bisnis29
Praktek mal bisnis adalah praktek-praktek bisnis yang tidak terpuji
karena merugikan pihak lain dan melanggar hukum yang ada. Perilaku yang ada
dalam praktek bisnis mal sangat bertentangan dengan nila-nilai yang ada dalam
Al-Qur‟an.
Dalam konteks hubungan kemanusiaan, al-Qur’an pada beberapa
tempat menyatakan kandungan makna kezhaliman adalah sebagai landasan
praktek yang berlawanan dengan nilai-nilai etika, termasuk dalam mal bisnis.

27
Putri Indah Permatasari and Masruchin, ‘Analisa Proses Bisnis Dan Model Bisnis Pada Platform
E-Commerce Syariah Salamin.Id’, Syarikat: Jurnal Rumpun Ekonomi Syariah, 5.1 (2022), 171–80.
28
Yazida Salsabiila and Achmad Fajaruddin, ‘Analisis Model Dropshipping Dalam Etika Bisnis
Islam’, Journal of Islamic Economics and Philanthropy, 3.04 (2020), 978–98 .
29
Lukman Fauroni, ‘Rekonstruksi Etika Bisnis: Perspektif Al-Qur’an’, Iqtisad, 4.1 (2009), 91–106.
Dalam al-Baqarah ayat 279, al-Qur’an mengatakan, bahwa kita seharusnya
tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya oleh pihak lain. “Maka jika kamu tidak
mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-
Nya akan memerangimu.
Dan jika kamu bertaubat (dari mengerjakan riba) maka bagimu pokok
(modal) hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak pula dianiaya. Dalam surat
QS Ibrahim ayat 34, dinyatakan bahwa manusia seringkali berlaku zhalim
terhadap sesama dan mengingkari nikmat yang telah dianugrahkan Allah.
Demikian pula dalam QS. Asy-Syura ayat 42.
Kezhaliman telah banyak dilakukan manusia, misalnya menghalangi
dari jalan Allah, memakan riba, memakan harta dengan jalan bathil Padalah
Allah sama sekali tidak pernah berbuat aniaya terhadap manusia. Al-Qur’an
menyatakan, yang artinya; Maka disebabkan kezhaliman orang-orang Yahudi,
Kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang
dahulunya) dihalalkan bagi mereka dan karena mereka banyak menghalangi
(manusia) dari jalan Allah.
Dan disebabkan mereka memakan riba dan karena mereka memakan
harta dengan orang dengan jalan bathil. Kezhaliman pada hakikatnya
membawa akibat kerugian baik pada diri sendiri maupun pada orang lain.
Kezaliman pada sesama dinilai oleh Al-Qur’an sebagai kezaliman pada Allah.
Dengan demikian dari pemahaman al-bathil, al-fasad dan az-zalim di atas
dihubungkan dengan pengertian hakikat bisnis, dapat diambil benang merah
bahwa salah satu landasan praktek mal bisnis adalah setiap praktek bisnis yang
mengandung unsur kebatilan, kerusakan dan kezaliman baik sedikit maupun
banyak, tersembunyi maupun terang-terangan. Dapat menimbulkan kerugian
secara material maupun immateri baik bagi si pelaku, pihak lain maupun
masyarakat.
Dapat menimbulkan ketidakseimbangan dan ketidakadilan.
Menimbulkan akibat-akibat moral maupun akibat hukum yang mengikutinya,
baik menurut hukum agama maupun hukum positip.
Namun demikian penilaian terhadap suatu praktek mal bisnis tidak
disyaratkan adanya tiga landasan kebatilan, kerusakan dan kezhaliman
sekaligus, melainkan adanya salah satu dari ketiga landasan di atas secara
otomatis telah memasukan suatu aktivitas maupun entitas bisnis ke dalam
kategori praktek mal bisnis. Perilaku-perilaku seperti riba, mengurangi
timbangan atau takaran, penipuan (tadlis), gharar, skandal, korupsi dan kolusi,
monopoli serta penimbunan, merupakan perilaku-perilaku yang bertentangan
dengan etika bisnis, yang kesemuanya mengandung prinsip-prinsip al-batil, al-
fasad dan az-zalim.

L. Teori Perkembangan Bisnis Islam dan Jaringan Bisnis Era Industri 4o


Penguatan industri halal selayaknya disesuaikan dengan perkembangan
teknologi yang berkembang di revolusi industri yang sedang berjalan. Beberapa
penerapan teknologi revolusi industri 4.0 seperti penggunaan: internet, teknologi
seluler, blockchain, penggunaan big data, dukungan smart log-istic serta kecerdasan
intelegensi menjadi sarana percepatan dan optimalisasi rantai bisnis halal yang kedepan
berdampak kepada efektifitas dan efisiensi industri halal tersebut.
Kebangkitan revolusi teknologi yang secara fundamental akan mengu-bah cara
hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain dalam bentuk Revolusi Industri
Keempat (4IR). Komoditas dasar dari 4IR adalah data yang dapat dikumpulkan di
mana-mana dalam rantai pasokan halal; di pertanian, di jalur produksi makanan, di jalur
check-out di supermarket dan akhirnya di menuju konsumen. Rantai Pengembangan
Industri Halal Era Revolusi Industri 4.030
a. Internet dan Industri Halal
Penggunaan internet (Internet of Things) atau IoT menjadi salah-satu
teknologi yang lahir dari revolusi industri 4.0 yang dapat bermanfaat bagi operasi
industri halal. Lajunya perkembangan IoT dapat merevolusi industri halal dengan
memungkinkan akuisisi dan aksesibilitas data dalam jumlah yang jauh lebih besar,
pada kecepatan yang jauh lebih besar, dan jauh lebih efisien dari sebelumnya.
Dengan IoT, digi-talisasi rantai pasokan halal, dari pertanian ke
pergudangan hingga distribusi dan ritel makanan (Senjoyo, Fajri, Hidayat,
Himawan, & Ratnasari, 2018), memungkinkan produsen dan regulator industri

30
Ivan Rahmat Santoso, Eksistensi Bisnis Islam Di Era Revolusi Industri 4.0 (Bandung: Widina
Bhakti Persada, 2020).
halal untuk memantau dan menganalisis keseluruhan proses. Selain itu IoT
memiliki potensi untuk mengatasi berbagai tantangan industri halal, termasuk kua-
litas produk, ketepatan waktu pengiriman, limbah, pembu-sukan, dan penarikan
kembali.
Di bidang parawisata halal, internet telah menjadi media promosi penting
bagi hotel-hotel. Hotel mengumumkan kegiatan promosi mereka di internet
melalui situs web dan media sosial. Selain itu bidang ini juga menyediakan
keuntungan dari persaingan, terutama untuk hotel-hotel yang menargetkan pasar
untuk masyarakat Muslim, Yahudi atau komunitas lain.
b. Teknologi Blockchain
Blockchain, adalah teknologi lain dalam revolusi industri 4.0 yang dapat
memengaruhi industri halal. Blockchain, sistem penyimpanan catatan berbasis-
kriptografi yang mengutak-atik Bitcoin (Iansiti & Lakhani, 2017) dan mata uang
dunia maya lainnya, dapat digunakan untuk memastikan integritas halal dari rantai
distribusi keamanan pangan global (Tieman & Darun, 2017). Jika diterapkan
dengan hati-hati, otoritas halal dapat mengeluarkan sertifikat halal dengan
teknologi blockchain yang dapat mencakup catatan produksi dan distribusi oleh
produsen halal. Sertifikat halal yang diblokir tidak dapat dipalsukan tanpa
meninggalkan jejak pembuktian, yang memungkinkan produsen dan regulator
halal dengan cepat melacak produk kembali ke sumbernya, memungkinkan
penarikan kembali yang cepat dan pengha-pusan jika terjadi kontaminasi atau
penipuan.
Di Indonesia telah menggunakan teknologi ini untuk meningkatkan
jaminan produk halal di indonesia(Charity, 2017), termasuk dalam penggunaanya
terhadap industri makanan. Kunci dari efektifnya operasi ini adalah meningkatnya
faktor kepercayaan masyarakat terhadap industri makanan halal.
c. Smart-Logistic
Teknologi revolusi industri 4.0 (4IR) lain yang menarik serta dapat
menguntungkan operasi halal adalah logistik yang cerdas (smart-logistic). Tujuan
utama dari logistik cerdas adalah untuk memastikan produk halal disimpan dan
dipindahkan dengan aman dan efisien. Kebutuhan untuk memulai lebih banyak
layanan logistik yang didasarkan pada konsep halal sangat penting dalam
memenuhi kebutuhan permintaan yang meningkat oleh pelanggan (Jaafar, Endut,
Faisol, & Omar, 2011).
Dengan kombinasi teknologi yang tepat, logistik yang cerdas dapat
meningkatkan keterlacakan halal, peren-canaan rute yang efisien, dan konektivitas
yang lebih baik, membantu memastikan bahwa pengecer dan konsumen halal
yakin akan keselamatan dan kualitas produk mereka.
Logistik halal adalah fenomena baru, didorong oleh industri halal untuk
memperluas dari halal sumber ke titik pembelian konsumen, untuk memastikan
integritas produk halal untuk pasar konsumen akhir dan ekspor. Selain itu hasil
penelitian menunjukkan bahwa penanganan logistik konvensional untuk produk
halal tidak memberikan jaminan yang cukup untuk konsumen muslim di negara-
negara Muslim dan non-Muslim (Tieman, 2013).
d. Kecerdasan Buatan (Artificial Intelligence)
Dalam ilmu komputer, kecerdasan buatan (AI), kadang-kadang disebut
kecerdasan mesin, adalah kecerdasan yang ditunjukkan oleh mesin, berbeda
dengan kecerdasan alami yang ditampilkan oleh manusia.
Buku teks AI terkemuka mendefinisikan bidang ini sebagai studi tentang
"agen cerdas": perangkat apa pun yang memahami lingkungannya dan mengambil
tindakan yang memaksi-malkan peluangnya untuk berhasil mencapai tujuannya
(Computational intelligence: a logical approach,” 1998). Secara bahasa, istilah
"kecerdasan buatan" sering digunakan untuk mengga-mbarkan mesin (atau
komputer) yang meniru fungsi "kognitif" yang diasosi-asikan manusia dengan
pikiran manusia, seperti "belajar" dan "pemecahan masalah" (Russell & Norvig,
2016). Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) merupakan bidang baru
yang mempengaruhi industri halal.
e. Teknologi Seluler
Banyak manfaat menggunakan teknologi seluler untuk pusat industri halal
di sekitar meningkatkan komunikasi organisasi. Ponsel cerdas membuat bisnis dan
karyawan saling terhubung satu sama lain dan pelanggan di kantor atau berlibur.
Ini memberi individu kemampuan untuk berkomunikasi secara instan dan
menanggapi dengan cepat situasi bisnis. Salah satu bidang aplikasi seluler yang
dapat menguntungkan industri halal adalah kepatuhan audit. Mobilitas audit halal,
didorong melalui smartphone atau tablet, telah menjadi pengubah permainan.
Tablet dengan fasilitas tanda tangan elektronik dapat membantu
mengumpulkan dan memproses data suara, gambar, video, dan bahkan koordinat
GPS dengan aman sebagai bukti elektronik. Pengauditan halal seluler
memungkinkan pengambilan gambar oleh auditor halal di lapangan dengan tablet
yang mengaktifkan kamera. Sebelumnya, kamera-kamera ini harus disinkronkan
dengan catatan dalam database. Namun, hari ini, rekaman audio dapat
ditranskripsi ke teks secara otomatis. Dengan demikian, auditor halal dapat
menghilangkan tugas yang membosankan dengan memasukkan informasi
tambahan setelah kembali dari lapangan ke kantor.
f. Big Data
Big data adalah bidang yang menangani cara untuk menganalisis,
mengekstrak informasi secara sistematis, atau berurusan dengan set data yang
lebih besar atau kompleks untuk ditangani oleh perangkat lunak aplikasi
pemrosesan data tradisional.
Data dengan banyak kasus (baris) menawarkan kekuatan statistik yang
lebih besar, sementara data dengan kompleksitas yang lebih tinggi (lebih banyak
atribut atau kolom) dapat menyebabkan tingkat penemuan palsu yang lebih tinggi
(Breur, 2016). Tantangan big data meliputi pengambilan data, penyimpanan data,
analisis data, pencarian, berbagi, transfer, visualisasi, kueri, pembaruan, privasi
informasi, dan sumber data. Data besar pada awalnya dikaitkan dengan tiga
konsep utama: volume, variasi, dan kecepatan. Ketika kita menangani data besar,
mungkin tidak mengambil sampel tetapi hanya mengamati dan melacak apa yang
terjadi. Oleh karena itu, data besar sering mencakup data dengan ukuran yang
melebihi kapasitas perangkat lunak tradisional untuk diproses dalam waktu dan
nilai yang dapat diterima.
Penggunaan istilah big data saat ini cenderung merujuk pada penggunaan
analitik prediktif, analisis perilaku pengguna, atau metode analitik data lanjutan
tertentu lainnya yang mengekstraksi nilai dari data, dan jarang ke ukuran tertentu
dari kumpulan data. "Ada sedikit keraguan bahwa jumlah data yang sekarang
tersedia memang besar, tetapi itu bukan karakteristik yang paling relevan dari
ekosistem data baru ini." Analisis kumpulan data dapat menemukan korelasi baru
untuk "mengenali tren bisnis, mencegah penyakit, memerangi kejahatan, dan
sebagainya. Para ilmuwan, eksekutif bisnis, praktisi kedokteran, periklanan dan
pemerintah sama-sama secara rutin menghadapi kesulitan dengan data besar- set
di berbagai bidang termasuk pencarian Internet, fintech, informatika perkotaan,
dan informatika bisnis.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Junaedi, ‘Konsep Harta Dan Kepemilikan Dalam Prespektif Islam Ekonomi’,
2019, 7–8
Andiko, Toha, ‘Konsep Harta Dan Pengelolaannya Dalam Alquran’, Al-Intaj, 2.1
(2016), 57–70
Desiana, Rina, and Noni Afrianty, ‘Landasan Etika Dalam Ekonomi Islam’, Al-
Intaj  : Jurnal Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 3.1 (2017), 119–35
Ernawan, Erni R, Program Studi Manajemen, and Universitas Pasundan,
‘Tanggungjawab Sosial Perusahaan (Corporate Social Responsibility)’, Jurnal
Manajemen Dan Bisnis (Performa), 11.2 (2014), 155–73
Fachrurazi, Fachrurazi, Pontianak Indonesia, Muhamad Fatih Rusydi, and Dhiana
Ekowati, Konsep Dasar Etika Bisnis (Batam: Cendikia Mulia Mandiri, 2022)
Fadilah, Nur, ‘Teori Konsumsi , Produksi Dan Distribusi’, SALIMIYA  : Jurnal Studi
Ilmu Keagamaan Islam, 1 (2020), 17–38
Fauroni, Lukman, ‘Rekonstruksi Etika Bisnis: Perspektif Al-Qur’an’, Iqtisad, 4.1
(2009), 91–106 <https://doi.org/10.20885/iqtisad.vol4.iss1.art6>
Hamid, Abdul, ‘DALAM SISTEM PEREKONOMIAN ISLAM’, 1.2 (2019), 101–12
Madnasir, Madnasir, ‘Distribusi Dalam Sistem Ekonomi Islam’, Muqtasid: Jurnal
Ekonomi Dan Perbankan Syariah, 2.1 (2011), 57
<https://doi.org/10.18326/muqtasid.v2i1.57-71>
Masykuroh, Nihayatul, ETIKA BISNIS ISLAM, ed. by Mujang Kurnia (Banten:
Media Karya Publishing, 2020)
Melis, ‘Prinsip & Batasan Konsumsi Dalam Islam’, Islamic Banking, Volume 1 N
(2015), 13–19
Nur Fadilah, ‘Pengertian, Konsep, Dan Strategi Pemasaran Syari’ah’, Salimiya, 1.2
(2020), 208 <https://ejournal.iaifa.ac.id/index.php/salimiya>
Pardiansyah, Elif, ‘Investasi Dalam Perspektif Ekonomi Islam  : Pendekatan Teoritis
Dan Empiris Pendahuluan Dewasa Ini , Kita Mengenal Investasi “ Bodong ”
Yang Dilakukan Oleh Orang’, 8 (2017), 337–73
Putri Indah Permatasari, and Masruchin, ‘Analisa Proses Bisnis Dan Model Bisnis
Pada Platform E-Commerce Syariah Salamin.Id’, Syarikat: Jurnal Rumpun
Ekonomi Syariah, 5.1 (2022), 171–80
<https://doi.org/10.25299/syarikat.2022.vol5(1).9030>
Rosmaya, Rosmaya, Muhammad Ali Rusdi Bedong, Muhammad Kamal Zubair, and
Wahidin Wahidin, ‘Analisis Etika Bisnis Islam Dalam Persaingan Usaha
Pabbagang Di Desa Pallemeang Kabupaten Pinrang’, DIKTUM: Jurnal Syariah
Dan Hukum, 20.1 (2022), 01–18
<https://doi.org/10.35905/diktum.v20i1.2711>
Saifullah, Muhammad, ‘ETIKA BISNIS ISLAMI DALAM PRAKTEK BISNIS
RASULULLAH’, 19, 127–56
Salim, Amir, ‘Konsep Distribusi Kepemilikan Dalam Islam’, Ekonomica Sharia: Jurnal
Pemikiran Dan Pengembangan Perbankan Syariah, 5.1 (2019), 85–90
<https://doi.org/10.36908/esha.v5i1.104>
Salsabiila, Yazida, and Achmad Fajaruddin, ‘Analisis Model Dropshipping Dalam
Etika Bisnis Islam’, Journal of Islamic Economics and Philanthropy, 3.04 (2020), 978–
98 <https://doi.org/10.21111/jiep.v3i04.5279>
Santoso, Ivan Rahmat, Eksistensi Bisnis Islam Di Era Revolusi Industri 4.0 (Bandung:
Widina Bhakti Persada, 2020)
Sefudin, Akhmad, ‘Etika Pemasaran Dan Tanggung Jawab Sosial’, Teori Pemasaran:
Pendekatan Manajemen Bisnis, September, 2022, 229–47
<https://www.academia.edu/35217145/Etika_Pemasaran_dan_Tanggung_Jaw
ab_Sosial_dalam_Perencanaan_Strategis>

Anda mungkin juga menyukai