Anda di halaman 1dari 13

Diplomasi Ekonomi Indonesia, G20 dan Tantangan Global Tahun

2013

Judha Nugraha1

Pendahuluan
Sovereign debt crisis di zona Euro serta beban defisit fiskal yang besar di negara maju
lainnya telah melemahkan kemampuan negara-negara tersebut dalam mendorong pertumbuhan
ekonominya. Kebutuhan untuk menyehatkan keseimbangan fiskal melalui konsolidasi dalam
jangka menengah telah mengurangi ruang gerak kebijakan fiskal (fiscal policy space) sebagai
salah satu komponen pembentuk pertumbuhan ekonomi. Dampak nyata dari kondisi tersebut ini,
negara-negara maju dipredikasi akan mengalami perlambatan ekonomi serta tingkat
pengangguran yang relatif tinggi tidak hanya dalam jangka pendek tetapi juga dalam jangka
menengah.

Mengingat peran ekonomi zona Euro dan negara maju lainnya yang dominan, tentu tidak
dapat dihindari bahwa situasi ekonomi yang suram ini akan mewarnai perekonomian global
secara keseluruhan. Hal ini telah ditunjukan dengan melambatnya pertumbuhan ekonomi
Republik Rakyat Tiongkok (RRT) pada kuartal kedua 2012 menjadi sebesar 7.6% (year-on-year)
dibandingkan kuartal sebelumnya sebesar 8.1%. Sebagai kekuatan ekonomi yang menyumbang
seperlima dari output dunia, menurunnya pertumbuhan ekonomi RRT akan berdampak cukup
besar terutama bagi kawasan Asia yang selama ini telah menjadi motor pertumbuhan ekonomi
dunia.

Pada tingkat nasional, Indonesia sebenarnya telah menunjukan ketahanan ekonomi yang
cukup mapan. Selama krisis ekonomi global 2009, Indonesia mampu mempertahankan
pertumbuhan ekonomi sebesar 4.5%, disaat ekonomi dunia mengalami kontraksi 0.8%. Namun
meskipun demikian, Indonesia tetap tidak imun terhadap memburuknya kondisi ekonomi global
saat ini. pertumbuhan kuartal pertama tahun 2012 telah menunjukkan perlambatan menjadi 6.3%
yang antara lain dikarenakan menurunnya tingkat ekspor ke manca negara.
1
Penulis bekerja di Direktorat Pembangunan Ekonomi dan Lingkungan Hidup, Kementerian Luar Negeri. Penulis
dapat dihubungi di judha.nugraha@gmail.com.

1
Berkaca dari situasi ekonomi global, regional dan nasional tersebut, pertanyaan yang
relevan kemudian adalah bagaimana postur dan strategi diplomasi ekonomi Indonesia ke depan
untuk mengamankan target pertumbuhan nasional2, penciptaan lapangan kerja, pengentasan
kemiskinan dan kepentingan ekonomi lainnya? Bagaimana memanfaatkan berbagai fora
internasional yang ada sebagai wahana mencapai kepentingan ekonomi nasional tersebut? Secara
khusus, bagaimana Indonesia dapat memberdayakan dan memanfaatkan forum kerja sama G20
untuk mencapai kepentingan ekonomi strategisnya?

Tulisan ini akan mengupas secara singkat bagaimana tujuan diplomasi harus dibangun
bersama di tingkat nasional, Selanjutnya, bagaimana tujuan diplomasi tersebut dapat dirumuskan
dalam sebuah strategi terintegrasi dengan memanfaatkan berbagai fora kerja sama internasional
yang ada baik di tataran bilateral, regional maupun multilateral. Secara khusus, tulisan ini akan
mengupas bagaimana Indonesia dapat memanfaatkan kerja sama G20 sebagai wahana dalam
mencapai kepentingan nasionalnya dan apa saja prioritas ekonomi Indonesia yang dapat
diproyeksikan melalui kerja sama G20 pada tahun 2013.

Diplomacy Begins at Home


Diplomasi abad ke-21 bercirikan dengan semakin meningkatnya interdependensi antar
negara. Thomas Freidman menggambarkan globalisasi kontemporer sebagai ‘farther, faster,
cheaper and deeper’3. Globalisasi terjadi hampir di semua aspek kehidupan mulai dari ekonomi,
militer, budaya dan juga lingkungan. Sehingga saat ini tidak dapat dihindarkan bahwa kerja sama
dan kolaborasi antar-negara menjadi prasyarat utama tercapainya tatanan global yang mapan.

Interaksi di tataran internasional tersebut berangkat dari kebijakan luar negeri masing-
masing negara (foreign policy) dimana diplomasi menjadi wahana untuk mencapai kepentingan
nasionalnya4. Dari hal ini jelas tergambar bahwa tujuan dan sasaran diplomasi dimulai dan
berakar pada kepentingan nasional. Tanpa pemahaman dan visi yang sama di antara pemangku

2
Pemerintah dalam RAPBN-P tahun 2012 telah merubah target pertumbuhan dari 6,7% menjadi 6,5%.
3
Thomas L. Friedman (1999), The Lexus and the Olive Tree, Farrar, Straus & Giroux
4
Krieger, J. (ed) (1999), “Diplomacy”, “Foreign Policy”, The Oxford Companion to Politics of the World, Oxford:
Oxford University Press

2
kepentingan yang beragam, tidak saja di tingkat nasional namun juga di tingkat daerah,
mengenai apa yang harus dicapai oleh kebijakan luar negeri, sudah barang tentu hubungan
internasional menjadi tidak akan efektif. Dengan kata lain, diplomasi luar negeri yang kuat
berasal dari pemahaman dan visi yang didefinisikan secara jelas, didukung bersama dan
dikoordinasikan dengan baik di dalam negeri.

Ketika kita merujuk pada pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2010-2014,
terlihat bahwa 7 dari 11 prioritas nasional terkait erat dengan kepentingan ekonomi. Keputusan
Presiden No.32 Tahun 2011 mengenai MP3EI bahwa menetapkan target untuk menjadikan
Indonesia menjadi negara maju pada tahun 2025. Sebuah target yang ambisius yang memerlukan
strategi yang ambisius pula. Jika kita mengacu pada RPJMN dan Keppres No. 31 Tahun 2011
tersebut, terlihat bahwa bidang ekonomi menjadi salah satu prioritas kepentingan nasional yang
harus dicapai. Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana menformulasikan kebijakan luar negeri
dan diplomasi yang efektif untuk merealisasikan sasaran tersebut?

Setidaknya terdapat 5 hal yang perlu didukung realisasinya melalui diplomasi ekonomi
agar kepentingan nasional dapat tercapai:

1) Infrastruktur dan konektivitas


Lemahnya infrastruktur fisik di Indonesia menjadi salah satu penyebab ekonomi biaya
tinggi dan penghambat pembangunan. Konektivitas yang baik antar daerah di negara
kepulauan seperti Indonesia menjadi syarat mutlak untuk mengembangkan ekonomi dan
pembangunan nasional. Dengan semakin meningkatnya interdepedensi antarnegara, apalagi
dengan target menjadi negara maju pada tahun 2025, konektivitas Indonesia dengan
kawasan regional dan global juga perlu ditingkatkan untuk semakin mendorong
pertumbuhan ekonomi nasional.

2) Infrastruktur kelembagaan
Selain infrastruktur fisik, infrastruktur kelembagaan perlu terus dikembangkan. Good
governance harus menjadi standar dalam menjalankan kepemerintahan sehingga birokrasi
dapat menjadi pendorong dan justru bukan menjadi penghambat pembangunan. Reformasi

3
birokrasi yang telah diupayakan selama ini perlu terus diperkuat sehingga layanan publik
dapat lebih efektif, efisien, transparan dan akuntabel. Kepastian hukum baik dari sisi
konsistensi peraturan maupun sisi penegakan hukum akan semakin meningkatkan
kepercayaan internasional untuk menanamkan investasinya di Indonesia.

3) Perdagangan internasional
Dengan hanya mengandalkan permintaan domestik tentu tidak akan cukup untuk
mengantarkan Indonesia menjadi negara maju. Untuk itu, perdagangan internasional
diperlukan untuk mengatasi keterbatasan ekonomi nasional untuk menciptakan
pertumbuhan ekonomi yang kuat dan berkelanjutan. Sepanjang tahun 2010-2011, ditandai
dengan tercapainya beberapa rekor ekspor bulanan Indonesia sebelum akhirnya melambat
pada tahun 2012 dikarenakan pengaruh ekonomi global.5 Namun setidaknya hal tersebut
menunjukkan potensi ekspor Indonesia yang tinggi dan untuk itu, Indonesia memiliki
kepentingan besar untuk menjaga tetap terbukanya akses pasar di negara mitra dagangnya.
Belajar dari pengalaman sebelumnya, krisis ekonomi global kerap diikuti oleh merebaknya
kebijakan perdagangan proteksionis. Bahkan laporan monitoring yang dilakukan WTO
pada mulai Mei 2012, menunjukkan telah terdapat peningkatan dan akumulasi kebijakan
proteksionis. Hal ini semakin menegaskan perlunya Indonesia meningkatkan trade policy
intelligence dalam diplomasi ekonominya.

4) Pengentasan kemiskinan dan Millennium Development Goals (MDGs)


Meskipun Laporan Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) mengenai pencapaian MDGs tahun
2012 menyebutkan bahwa target MDGs 1 - yaitu menurunkan separuh kemiskinan ekstrim
dari tingkat tahun 1990 - telah tercapai, namun kemiskinan itu sendiri tetap masih menjadi
permasalahan di banyak negara termasuk Indonesia. Walaupun terdapat penurunan, jumlah
penduduk miskin di Indonesia pada September 2011 masih tercatat sebanyak 29,89 juta
orang.

5) Ketahanan ekonomi nasional


Belum stabilnya perekonomian global menumbuhkan kebutuhan untuk semakin

5
Kompas, 1 Juli 2011

4
meningkatkan ketahanan ekonomi nasional. Meskipun Indonesia tidak dapat sepenuhnya
imun terhadap gejolak ekonomi dunia, namun berbagai langkah perlu dilakukan untuk
meredam dampaknya bagi perekonomian nasional. Di sektor keuangan, kerja sama CMIM
di tingkat regional dan Crisis Management Protocol (CMP) di tingkat nasional perlu
didukung dan diperkuat dengan kerja sama di tingkat global. Sedangkan di sektor lainnya,
ketahanan pangan merupakan salah satu tantangan yang perlu segera diatasi mengingat
dampaknya yang luas tidak hanya secara ekonomi tetapi juga secara sosial dan keamanan.
Kelompok masyarakat rentan juga harus dilindungi karena keterbatasan mereka dalam
menghadapi krisis melalui perkuatan jaring pengaman sosial dan keuangan inklusif.

Connecting the Dots


Hubungan internasional saat ini, didukung oleh globalisasi teknologi transportasi dan
komunikasi, dipenuhi oleh interaksi berbagai jaringan (web) yang saling terkait satu sama lain
baik itu hubungan bilateral, regional maupun multilateral. Ketiga hubungan tersebut memiliki
dinamika masing-masing. Hubungan bilateral dan regional relatif lebih mudah dikelola namun
memiliki keterbatasan dalam mengatasi permasalahan yang bersifat sistemik global. Sedangkan
di tataran multilateral relatif lebih sulit mencapai kesepakatan namun dapat memobilisasi kerja
sama secara global.

Diplomasi sebagai sebuah strategi mempersuasi aktor internasional lainnya juga ditentukan
oleh leverage politik dan ekonomi yang dimiliki suatu negara. Hal ini kemudian yang
menentukan apakah suatu kepentingan akan lebih efektif disalurkan melalui jalur bilateral,
regional, multilateral atau kombinasi ketiganya. Penurunan tingkat subsidi pertanian di negara
maju akan lebih mudah dilakukan melalui kerja sama multilateral ketimbang melalui kerja sama
bilateral maupun regional. Namun kerja sama pembukaan akses pasar dalam bentuk penurunan
tarif yang progresif akan lebih mudah dilakukan secara bilateral dan regional ketimbang secara
multilateral.

Dalam kaitan ini, Indonesia perlu merumuskan strategi diplomasi yang komprehensif agar
efektif dalam mendukung realisasi kepentingan nasionalnya. Suatu sasaran diplomasi perlu
dibedah lebih dalam apakah akan disalurkan melalui mesin diplomasi bilateral, regional atau

5
multilateral atau kombinasi ketiganya. Hal ini penting agar deployment mesin-mesin diplomasi
Indonesia dapat efektif, efisien dan tepat sasaran.

Lebih jauh lagi adalah bagaimana menghubungkan ketiga level diplomasi tersebut ke
dalam sebuah sinergi. Globalisasi telah menumbuhkan berbagai macam fora-fora international.
Di kawasan, Indonesia terlibat dalam berbagai macam kerja sama antara lain ASEAN, APEC,
EAS, dan IOR-ARC, sedangkan di tataran multilateral, Indonesia terlibat dalam kerja sama PBB
dan specialized agencies dibawahnya. G20, meskipun keanggotaannya terbatas, juga telah
menjadi salah satu wahana dalam menyalurkan kepentingan nasional Indonesia. Kesemua fora
tersebut perlu diintegrasikan dalam sebuah strategi diplomasi yang konsisten, koheren,
komprehensif dan saling terkoneksi (‘connecting the dots’).

‘Connecting the dots’ juga perlu diaplikasikan di tataran domestik. Kerja sama
internasional saat ini dilakukan hampir di semua kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.
Untuk itu, komunikasi dan koordinasi sangat diperlukan agar mesin diplomasi dapat berjalan
dengan efektif dan terarah. Jika tidak, yang akan terjadi adalah diplomasi sporadis dan
pemborosan sumber daya yang terbatas.

Diplomasi di era globalisasi ini juga bukan menjadi monopoli instansi pemerintah saja.
Sekali lagi globalisasi telah memunculkan aktor-aktor internasional baru seperti multi-national
corporations, non-governmental organizations maupun people-to-people contact. Kesemua aktor
ini perlu diberdayakan dan dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi diplomasi. Sudah barang
tentu, aktor-aktor tersebut memiliki dorongan kepentingan yang berbeda-beda, namun
kemampuan pemerintah untuk merangkul, tanpa mengkooptasi, mereka agar mendukung sasaran
diplomasi melalui jaringan masing-masing akan menjadi salah satu faktor yang menentukan
keberhasilan kebijakan luar negeri. Congress of Indonesian Diaspora di Los Angeles tanggal 6-8
Juli 2012 merupakan contoh untuk memberdayakan jaringan orang Indonesia di perantauan
untuk mendukung kepentingan nasional.

Selain komunikasi dan koordinasi di tingkat nasional, penguatan kapasitas baik sumber
daya manusia maupun institusi juga menjadi salah satu hal yang perlu diatasi bersama. Selain

6
kemampuan personal dalam berdiplomasi, kesiapan institusi yang perlu ditingkatkan.
Keberhasilan diplomasi dibangun dari pengalaman bertahun-tahun. Namun hampir di semua
instansi, mempertahankan institutional memory merupakan salah satu kendala utama. Promosi
dan perpindahan jabatan jika tidak diikuti oleh sistem institutional memory yang baik akan
membuat pejabat yang baru harus memulai kembali proses dari awal.

Indonesia dan Penguatan Peran G20


Dari berbagai jaringan fora internasional yang diikuti Indonesia, G20 telah menjadi salah
satu forum yang mengemuka terutama pasca kerja sama G20 meningkat ke level leader di tahun
2008. Pada krisis ekonomi global 2008-2009, G20 telah mampu membuktikan keefektifannya
melalui koordinasi kebijakan ekonomi makro. Sentralitas G20 dalam tata kelola ekonomi global
kemudian semakin menguat ketika Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Pittsburgh bulan
September 2009 menyepakati G20 sebagai ‘the premier forum for international economic
cooperation’.

Leverage G20 yang besar yang meliputi 90% GDP dunia, 80% perdagangan dunia dan 2/3
penduduk dunia telah menjadi salah satu faktor penentu bagi kemampuan G20 dalam
mempengaruhi perekonomian dunia. Menilik dari leverage kelompok yang besar tersebut,
keanggotaan Indonesia di G20 menjadi aset yang berharga dalam diplomasi internasionalnya.
Keterlibatan Indonesia lebih dalam di G20 tentu saja perlu diikuti dengan perubahan paradigma.
Indonesia yang dahulu ada di periphery ketika tata kelola global didominasi G8, kini telah
berada dalam lingkaran kelompok ekonomi utama dunia. Hal ini menjadi kesempatan sekaligus
memberikan tanggung jawab lebih bagi Indonesia. Sebagai sebuah negara emerging baru,
Indonesia harus siap memainkan peran globalnya dan siap berkontribusi lebih.

Sebagai salah satu wahana diplomasi Indonesia, Indonesia berkepentingan untuk menjaga
agar G20 tetap efektif dan kredibel sebagai global player. Untuk itu, terdapat beberapa hal utama
yang perlu terus diupayakan di G20:

1) Menjaga G20 sebagai sebuah informal leader-led forum


Salah satu kunci kekuatan G20 adalah bentuk kerja sama yang bersifat informal di tingkat

7
leader. Kekakuan dan kebuntuan diplomasi di fora lain dapat lebih mudah dipecahkan
dalam suasana yang informal di G20. Struktur G20 yang sederhana dan tidak rigid juga
membuat kelompok ini mudah beradaptasi dengan berbagai tantangan global.

2) Mendorong implementasi berbagai komitmen yang telah dibuat


Kredibilitas G20 sangat ditentukan dari seberapa jauh kelompok ini dapat merealisasikan
berbagai komitmen yang telah dibuat. Semakin jauh panggang dari api, tentu akan
menurunkan kredibilitas G20 itu sendiri yang pada akhirnya akan melemahkan
kemampuannya mempengaruhi perekononmian dunia.

3) Mendorong akseptabilitas G20


Disadari bahwa kesepakatan G20 tidak berasal dari proses multilateral yang inklusif
dibandingkan proses ‘G193’ di PBB. Sehingga dapat dimengerti bahwa kesepakatan G20
tidak sepenuhnya dapat diterima negara-negara lain. Untuk itulah, penting bagi G20 untuk
mendorong proses outreach guna menampung aspirasi negara-negara non-anggota.
Akseptabilitas ini juga ditunjukkan dengan positioning G20 sebagai komplemen, dan bukan
sebagai substitusi, fora multilateral lainnya. G20 lebih berperan sebagai pendorong (prime
mover) dan tidak sebagai pengambil alih (taking over) berbagai pembahasan di tingkat
global.

4) Menjaga proliferasi isu


Kerja sama G20 yang efektif dalam mengatasi krisis ekonomi global 2008-2009 telah
menumbuhkan harapan agar G20 juga dapat dapat mengatasi permasalahan global lainnya.
Tentu ekspektasi tersebut perlu dikelola secara berhati-hati. Untuk saat ini di saat
perekonomian global masih belum stabil, kerja sama G20 perlu terus difokuskan pada tata
kelola ekonomi global. Jangan sampai kredibilitas G20 justru menjadi menurun karena
overburdened dengan berbagai isu global lainnya.

Prioritas G20 Tahun 2013


Efektifitas kerja sama G20 kembali diuji. Setelah koordinasi stimulus ekonomi yang
dikoordinasi G20 mampu mendorong pertumbuhan ekonomi global pada tahun 2010 dan 2011,

8
namun pertumbuhan kembali melemah pada tahun 2012. Berbeda dengan krisis ekonomi global
tahun 2008-2009, krisis saat ini - setidaknya sampai pertengahan tahun 2012 - relatif lebih
terlokalisir di zona Euro dan beberapa negara maju lainnya. Hal ini memunculkan ujian baru
bagi soliditas sesama negara anggota G20.

Kekompakan kelompok yang ditunjukkan pada KTT G20 di Los Cabos tanggal 18-19 Juni
2012 sedikit banyak mampu menumbuhkan kepercayaan pasar. Pada KTT tersebut, negara
anggota G20 sepakat meningkatkan sumber daya IMF sebesar US 450 milyar. Tambahan dana
tersebut diharapkan dapat semakin memperkuat kemampuan IMF dalam menjaga stabilitas
keuangan global baik dalam konteks crisis prevention maupun crisis resolution. Negara-negara
zona Euro juga memperlihatkan kesiapannya untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan
guna menstabilkan kawasan. Secara umum, perdebatan antara austerity measures dan growth
tidak dikedepankan, melainkan lebih ditekankan pada upaya menjaga keseimbangan diantara
keduanya. Austerity measures diperlukan untuk mengembalikan kepercayaan pasar. Namun
austerity tanpa growth dipandang tidak akan berhasil dan berkelanjutan.

Stabilisasi perekonomian dunia tetap menjadi salah satu tantangan utama ke depan di tahun
2013. Implementasi berbagai kesepakatan di Los Cabos perlu terus didorong agar kredibilitas
G20 tetap dapat dipertahankan karena pasar tidak hanya menunggu deklarasi politis G20 namun
juga implementasinya di lapangan.

Pada bulan Desember 2012 sampai satu tahun ke depan, keketuaan G20 akan beralih dari
Meksiko ke Rusia. Pada saat konferensi pers seusai KTT G20 di Los Cabos, Presiden Vladimir
Putin telah menyampaikan secara garis besar isu-isu yang akan menjadi prioritas Rusia selama
keketuaanya:

1) Reformasi keuangan dan moneter internasional;


2) Penguatan lembaga keuangan internasional dan regulasi pasar keuangan;
3) Energi, perubahan iklim, perdagangan global dan bantuan pembangunan.

Rusia juga akan mengupayakan outreach yang melibatkan pemangku kepentingan yang

9
lebih luas seperti antara lain berbagai negara non-G20, organisasi internasional, kalangan bisnis,
organisasi masyarakat madani, dan expert/think-tank.

Bagi Indonesia, situasi perekonomian global saat ini perlu disikapi dengan mengambil
sikap proaktif. Indonesia harus mempersiapkan diri atas realitas pertumbuhan ekonomi di negara
zona Euro dan negara maju lainnya yang akan melambat dalam jangka relatif cukup panjang.
Dengan kata lain, Indonesia harus mampu mengantisipasi kemungkinan skenario terburuk.
Mengacu realitas tersebut, berbagai langkah dapat diupayakan oleh Indonesia di forum G20
adalah:

1) Mendorong investasi infrastruktur


Pada KTT G20 Los Cabos, Indonesia telah mendorong global infrastructure investment
initiative yang kemudian berhasil diadopsi dalam Deklarasi Para Pemimpin G20. Inisiatif ini
tidak hanya bermanfaat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara global, namun juga
dapat mendorong pembangunan dan pengentasan kemiskinan serta mengurangi
ketidakseimbangan global.

Dalam kerja sama G20. kesepakatan pengembangan investasi infrastruktur perlu didorong
implementasinya selama keketuaan Rusia di tahun 2013. Kerja sama dengan multilateral
development banks juga perlu dikembangkan untuk menjajaki berbagai sumber pendanaan
inovatif bagi pembangunan infrastruktur, memobilisasi skema pendanaan di tingkat global,
membantu meningkatkan kapasitas institusional dalam merealisasikan proyek infrastruktur,
serta memberikan dukungan keuangan dalam bentuk penjaminan/underwriting proyek
infrastruktur.

2) Mengembangkan keuangan inklusif


Sebagian besar penduduk miskin dan UMKM di Indonesia saat ini masih memiliki
keterbatasan dalam mengakses produk dan jasa keuangan. Inovasi dalam bentuk keuangan
inklusif yang mampu menjangkau kelompok masayarakat rentan tersebut dalam membuka
potensi ekonomi kelompok tersebut. Hal ini bermanfaat tidak hanya sebagai sarana
pengentasan kemiskinan tetapi juga untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan ketahanan

10
ekonomi secara nasional.

Dalam konteks G20, Indonesia perlu mendorong kerangka kerja sama sebaga wahana
knowledge sharing berbagai pengalaman antarnegara dalam menerapkan skema keuangan
inklusif. G20 juga perlu bekerja sama dengan institusi yang membahas regulasi keuangan
internasional (Basel Committee) agar tujuan keuangan inklusif dan tujuan peningkatan
standar perbankan dalam berjalan seiring.

3) Memperkuat ketahanan pangan


Jumlah penduduk Indonesia akan terus bertambah secara signifikan yang menurut proyeksi
BPS akan mencapai 273,2 juta jiwa pada tahun 2025. Tekanan penduduk ini tentu akan
berdampak pada ketersediaan bahan pangan. Pencapaian ketahanan pangan memang
merupakan masalah pelik baik dari sisi volatilitas harga dan juga dari sisi produksi.
Perubahan iklim menjadi salah masalah dalam produksi bahan pangan.

Dalam hal ini, kerja sama G20 perlu diarahkan pada upaya peningkatan produksi dan
produktivitas pertanian. Peran pengembangan teknologi termasuk pembiayaannya perlu
dicari terobosannya dalam kerja sama G20 ke depan. Inisiatif penelitian untuk produk
gandum yang berhasil disepakati pada KTT G20 di Cannes perlu dikembangkan pula pada
produk padi.

Strategi diplomasi melalui G20 ini juga perlu disinergikan dengan rencana keketuaan
Indonesia di APEC tahun 2013. Dalam hal ini, G20 dapat menciptakan plaftom kerja sama di
tataram global, sedang APEC berupaya mengembangkannya di tataran regional. Keselarasan dan
kesinambungan pembahasan isu diantara dua fora ini, meskipun berbeda pemangku
kepentingannya, perlu terus diupayakan. Apalagi mengingat kawasan Asia Pasifik diharapkan
tetap dapat menunjukkan ketahan ekonominya dan menjadi motor pertumbuhan ekonomi global.

Penutup
Situasi perekonomian global tahun 2012 yang ditandai dengan melambatnya pertumbuhan
ekonomi dan angka pengangguran yang tinggi terutama di zona Euro diperkirakan akan berlanjut

11
ke tahun 2013 dan tahun-tahun berikutnya. Situasi ini akan mejadi realitas baru dalam tata kelola
ekonomi global.

Di saat tingkat interdependensi antarnegara semakin tinggi di era globalisasi ini, realitas
baru tersebut cepat atau lambat akan berpengaruh kepada Indonesia. Yang menjadi pertanyaan
kemudian adalah bagaimana Indonesia dapat mempersiapkan diri menghadapi skenario
kemungkinan terburuk dan bagaimana diplomasi ekonomi dapat dioptimalkan untuk
mengamankan kepentingan nasional.

Dari berbagai kepentingan nasional yang coba diperjuangkan melalui diplomasi ekonomi,
terdapat tiga isu yang dapat dibahas melalui kerja sama G20 khususnya pada tahun 2013 yaitu
infrastruktur, keuangan inklusif dan ketahanan pangan. Tentu pemilihan prioritas isu tersebut
bukanlah hal yang rigid. Namun penetapan prioritas merupakan hal yang mutlak dalam strategi
diplomasi dikarenakan sumber daya yang terbatas.

Perjuangan melalui G20 juga perlu disinergikan dengan fora internasional lainnya
(connecting the dots). Secara khusus, mengingat Indonesia akan memegang keketuaan APEC
pada tahun 2013, terdapat kesempatan besar untuk menyelaraskan pembahasan antara G20 di
tingkat global dan APEC di tingkat regional. Sinergi ini sangat diperlukan terutama menghadapi
memburuknya situasi di tahun 2013 dimana kawasan Asia Pasifik sekali lagi diharapkan dapat
menjadi motor pertumbuhan pertumbuhan ekonoi global.

Satu hal yang perlu diingat bahwa selain memberdayakan dan mensinergikan semua fora
internasional yang tersedia, Indonesia memiliki mesin diplomasi berupa Perwakilan Republik
Indonesia sejumlah 130 perwakilan yang tersebar di berbagai belahan dunia. Mesin diplomasi ini
perlu dimanfaatkan keberadaannya untuk mencapai sasaran diplomasi Indonesia.

_____000_____

12
Referensi
Friedman, T. L. (1999). The Lexus and the Olive Tree: Understanding Globalization. New York:
Farrar, Straus, and Giroux.
Republik Indonesia. (2010). Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2010 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Jakarta: Kementerian Negara
Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional.
Republik Indonesia. (2011). Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Inodnesia (MP3EI). Jakarta: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Krieger, J. (ed). (1999). The Oxford Companion to Politics of the World. Oxford: Oxford
University Press

13

Anda mungkin juga menyukai