PENYUSUN:
RIKA OKTAPIANI (5210041)
TITI FATIAH (5210042)
ULVA ZAHROTUN N (5210043)
PGMI
STIT PEMALANG
PGMI-1-2023
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmaanirrohiim
Segala puji bagi Allah Azza wa Jalla dan aku mohon pertolongan-Nya.
Seraya memohon ampun dan perlindungan-Nya dari segala keburukan
jiwaku dan kejelekan amaliahku. Barang siapa telah Allah Azza wa Jalla
berikan petunjuk jalan baginya, maka tidak ada yang bisa
menyesatkannya. Dan barang siapa yang telah Allah Azza wa Jalla
sesatkan jalannya, maka tiada yang bisa memberinya petunjuk. Aku
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah Azza wa Jalla dan aku bersaksi
bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam adalah hamba dan
utusan Allah Azza wa Jalla.
Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kata sempurna. Besar harapan penulis agar pembaca memberikan umpan
balik berupa kritik dan saran. Semoga makalah ini dapat bermanfaat untuk
berbagai pihak. Aamiin.
Tim Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
Pada masyarakat luas sifat korupsi seperti sudah biasa dan mengakar
hingga sulit untuk dirubah. Sifat inibiasanya ada pada orang yang memiliki
kekuasaan seperti, pejabat publik dan semisalnya. Karena hal ini maka
timbullah praktek kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Sifat seperti ini
seperti tertanam kuat pada diri seseorang sehingga mengakar dan menjadi
budaya akibatnya hal semacam ini menjadi lumrah untuk dilakukan.
Salah satu ‘upaya luar biasa’ yang dilakukan adalah dengan membentuk
sebuah lembaga penegak hukum baru dalam sistem peradilan pidana, yaitu
Komisi 4 M. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) yang ditetapkan
dalam UndangUndang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
1
ini dianggap kurang ‘garang’ untuk memerangi salah satu bentuk kejahatan
luar biasa ini. Keberadaan pasal-pasal suap yang diintroduksikan dari
KUHAP ke dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi baik Pasal 1 ayat
(1) sub c Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 maupun Pasal 5 sampai
dengan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, selama ini hanya
sebagai pasal-pasal tidur yang tidak memiliki makna. Dalam sejarah
pemberantasan tindak pidana korupsi, penerapan pasal-pasal tersebut
tidak mencapai 0.1% dari totalitas perkara korupsi.
Tindak pidana pun hanya sebagai cambukan kecil untuk mereka yang tidak
akan membekas sehingga mereka dapat melakukan hal demikian secara
berulang. Ketegasan pemerintah dalam menanggulangi hal ini sepertinya
harus lebih diperketat dengan membuat sanksi baru yang lebih berat agar
para pelaku korupsi menjadi jera. Disamping itu pendidikan moral dan
agama pada setiap instansi perlu digalakan agar tertanam jiwa yang takut
kepada Allah Azza wa Jalla penguasa hari pembalasan.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Tindak korupsi sendiri dapat terjadi di mana saja dan tak sebatas dalam
bisnis atau pemerintahan. Pengadilan, media, dan masyarakat sipil, serta
3
di semua sektor mulai dari kesehatan, pendidikan hingga infrastruktur dan
bahkan olahraga dapat terjangkit korupsi.
Penyebab korupsi secara internal berasal dari diri sendiri atau dorongan
keluarga. Faktor-faktor ini diantaranya sebagai berikut:
Aspek perilaku penyebab korupsi adalah sifat tamak atau rakus. Korupsi
yang dilakukan bukan karena kebutuhan primer atau kebutuhan pangan.
Pelakunya adalah orang yang berkecukupan, tetapi memiliki sifat
tamak, rakus, mempunyai hasrat memperkaya diri sendiri. Unsur
penyebab tindak korupsi berasal dari dalam diri sendiri yaitu sifat
tamak/rakus.
Faktor penyebab korupsi internal dan eksternal yang kedua yaitu karena
gaya hidup yang konsumtif. Menjalani hidup di kota-kota besar biasanya
akan mendorong gaya hidup seseorang menjadi lebih konsumtif.
Sayangnya, gaya hidup ini seringkali tidak seimbang dengan apa yang
mereka miliki. Pendapatan yang tidak dapat mendukung gaya hidup
konsumtif akan mendorong seseorang melakukan apa saja untuk
memenuhi keinginannya. Salah satunya adalah dengan tindakan korupsi.
4
3. Moral
Karena moral yang dimiliki lemah. Orang yang memiliki moral yang tidak
kuat atau lemah, cenderung mudah terpengaruh untuk melakukan
tindakan korupsi. Pengaruh-pengaruh ini bisa datang dari atasan, teman
kerja, atau pihak mana pun yang memberi kesempatan untuk melakukan
korupsi. Salah satu penyebab korupsi di Indonesia adalah masih
bertahannya sikap primitif terhadap praktik korupsi karena belum ada
kejelasan mengenai batasan bagi istilah korupsi. Sehingga terjadi beberapa
perbedaan pandangan dalam melihat korupsi.
4. Dorongan Keluarga
5
Kaum behavioris mengatakan bahwa lingkungan keluargalah yang secara
kuat memberikan dorongan pada seseorang untuk melakukan korupsi.
Dorongan ini bahkan bisa mengalahkan sifat baik dari orang yang sudah
menjadi traits pribadinya. Lingkungan yang seharusnya mengarahkan dan
membangun moral yang baik, justru mendukung seseorang ketika ia
menyalahgunakan kekuasaannya.
6
Hal ini kurang disadari oleh masyarakat. Bahkan seringkali
masyarakat sudah terbiasa terlibat pada kegiatan korupsi sehari-
hari dengan cara-cara terbuka namun tidak disadari.
➢ Masyarakat kurang menyadari bahwa korupsi akan bisa dicegah
dan diberantas bila masyarakat ikut aktif dalam agenda
pencegahan dan pemberantasan. Pada umumnya masyarakat
berpandangan bahwa masalah korupsi adalahtanggung jawab
pemerintah semata. Masyarakat kurang menyadari bahwa
korupsi itu bisa diberantas hanya bila masyarakat ikut
melakukannya.
b. Aspek Ekonomi
Pendapatan tidak mencukupi kebutuhan. Dalam rentang kehidupan ada
kemung-kinan seseorang mengalami situasi terdesak dalam hal ekonomi.
Keterdesakan itu membuka ruang bagi seseorang untuk mengambil
jalan pintas diantaranya dengan melakukan korupsi.
c. Aspek Politis
Menurut Rahardjo (1983) bahwa kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai
dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial tersebut dijalankan dengan
menggerakkan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan
negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasikan secara politik, melalui
lembaga-lembaga yang dibentuknya. Dengan demikian instabilitas politik,
kepentingan politis, meraih dan mempertahankan kekuasaan
sangat potensi menyebabkan perilaku korupsi.
d. Aspek Organisasi
• Kurang adanya sikap keteladanan pimpinan
Posisi pemimpin dalam suatu lembaga formal maupun informal
mempunyai pengaruh penting bagi bawahannya. Bila pemimpin
tidak bisa memberi keteladanan yang baik di hadapan bawahannya,
7
misalnya berbuat korupsi, maka kemungkinan besar bawahnya akan
mengambil kesempatan yang sama dengan atasannya.
• Lemahnya pengawasan
Secara umum pengawasan terbagi menjadi dua, yaitu pengawasan
internal (pengawasan fungsional dan pengawasan langsung
oleh pimpinan) dan pengawasan bersifat eksternal (pengawasan dari
8
legislatif dan masyarakat). Pengawasan ini kurang bisa efektif karena
beberapa faktor, diantaranya adanya tumpang tindih pengawasan
pada berbagai instansi, kurangnya profesional pengawas serta
kurangnya kepatuhan pada etika hukum maupun pemerintahan oleh
pengawas sendiri.
e. Aspek hukum
1. Adanya peraturan perundang-undangan yang bermuatan
kepentingan pihak-pihak tertentu,
2. Kualitas peraturan perundang-undangan kurang memadai,
3. Peraturan kurang disosialisasikan,
4. Sanksi yang terlalu ringan,
5. Penerapan sanksi yang tidak konsisten dan pandang bulu,
6. Lemahnya bidang evalusi dan revisi peraturan perundang-undangan.
Dari beberapa hal yang disampaikan, yang paling penting adalah budaya
sadar akan aturan hukum. Dengan sadar hukum, maka masyarakat
9
akan mengerti konskuensi dari apa yang ia lakukan. Sementara itu
Rahman Saleh merinci ada empat faktor dominan penyebab
merajalelanya korupsi di Indonesia, yakni faktor penegakan hukum,
mental aparatur, kesadaran masyarakat yang masih rendah, dan
rendahnya ‘political will’ (Rahman Saleh:2006).
10
faktor pengungkapan terkait dengan tindakan atau konsekuensi yang
dihadapi oleh pelaku kecurangan apabila pelaku ditemukan melakukan
kecurangan .
Korupsi terjadi karena adanya faktor kekuasaan dan monopoli yang tidak
dibarengi dengan akuntabilitas.
Menurut teori ini, korupsi terjadi jika manfaat korupsi yang dirasakan lebih
besar dari biaya/risikonya (Nilai Manfaat Bersih Korupsi)
11
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Korupsi adalah kejahatan atau penyimpangan berupa pelanggaran
hukum yang dilakukan dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan
sebesar-besarnya demi kepentingan pribadi, di mana tindakan tersebut
menimbulkan kerugian yang besar bagi negara dan masyarakat. Tindak
korupsi bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri . perilaku korupsi
menyangkut berbagai hal yang sifatnya kompleks. Adapun faktor-faktor
penyebabnya bisa dari internal perilaku-perilaku korupsi, tetapi bisa juga
berasal dari situasi lingkungan yang kondusif bagi seseorang untuk
melakukan korupsi.
Adapun penyebabnya antara lain, ketiadaan dan kelemahan
pemimpin, kelemahan pengajaran dan etika, kolonialisme, penjajahan
rendahnya pendidikan, kemiskinan, tidak adanya hukuman yang keras,
kelangkaan lingkungan yang subur untuk perilaku korupsi, rendahnya
sumber daya manusia, serta struktur ekonomi.
B. Saran
Semua faktor-faktor itu sangat mempengaruhi diri individu untuk
melakukan kejahatan korupsi. Hal ini disebabkan kurangnya rasa
kesadaran akan pentingnya tanggung jawab moral bagi mereka yang
memiliki jabatan dan kekuasaan. Oleh karena itu, meskipun terkesan
sebagai mimpi dan harapan yang muluk, memperbaiki kesadaran
seseorang dan mengembalikan rasa tanggung jawab moralnya adalah
salah satu cara yang paling ampuh untuk mencegah dan menghentikan
korupsi di negeri ini.
12
masyarakat. Adapun sikap untuk menghindari korupsi seharusnya
ditanamkan sejak dini. Dan pencegahan korupsi dapat dimulai dari hal yang
kecil.
13
DAFTAR PUSTAKA
14