Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Shalat adalah ibadah wajib bagi umat islam. Pada pelaksanaannya,

shalat tidak bisa dilakukan sembarangan. Terdapat syarat sah shalat yang

perlu dipenuhi supaya shalatnya sah dimata Allah SWT. Shalat terbagi jadi

dua bagian, yaitu shalat wajib dan juga shalat sunnah. Berikut adalah satu

ayat perintah shalat dalam Al-Quran :

‫الص ٰلوةَ لِ ِذ ْك ِر ْي‬


َّ ‫َواَقِ ِم‬

"Dan dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku." (QS. Ta Ha: 14)

Ayat ini menunjukkan bahwa shalat merupakan ibadah yang sangat

penting dalam Islam sebagai cara untuk mengingat Allah SWT. Selain itu,

terdapat banyak hadits dan kajian ilmu fiqih yang membahas tentang tata cara

atau kaifiyat dalam melaksanakan shalat yang harus dipahami oleh setiap

muslim.

Fiqih kaifiyat shalat adalah istilah dalam bahasa Arab yang berarti

hukum-hukum atau tata cara dalam shalat. Fiqih kaifiyat shalat adalah cabang

ilmu fiqih yang membahas tentang tata cara melaksanakan shalat dengan baik

dan benar. Aceng Zakaria adalah salah satu ulama yang mempelajari dan

mengajarkan fiqih kaifiyat shalat.


2

Latar belakang masalah mengenai fiqih kaifiyat shalat menurut Aceng

Zakaria dapat dijelaskan sebagai berikut. Di era modern saat ini, banyak umat

islam yang kurang memahami tata cara melaksanakan shalat dengan baik dan

benar. Hal ini disebabkan oleh kurangnya pemahaman tentang ilmu fiqih

kaifiyat shalat.

Selain itu, dalam melaksanakan shalat terkadang banyak umat islam

yang melakukan kesalahan-kesalahan kecil, seperti posisi tangan yang tidak

sesuai, gerakan yang kurang tepat, dan lain sebagainya. Kondisi ini dapat

mengurangi kualitas shalat dan membuat pelaksanaan shalat tidak sempurna.

Oleh karena itu, ilmu fiqih kaifiyat shalat perlu dipelajari secara serius

agar umat islam dapat melaksanakan shalat dengan baik dan benar sesuai

dengan tuntunan syariat Islam. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan

kualitas shalat dan juga meningkatkan kualitas ibadah umat islam secara

keseluruhan.

Aceng Zakaria adalah salah satu ulama yang memiliki pengetahuan

luas tentang fiqih kaifiyat shalat. Beliau telah banyak mengajarkan tata cara

melaksanakan shalat yang baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariat

Islam. Dengan mempelajari ajaran Aceng Zakaria tentang fiqih kaifiyat

shalat, diharapkan umat islam dapat melaksanakan shalat dengan sempurna

dan mendapatkan manfaat yang besar dari ibadah tersebut.

Berdasarkan Latar Belakang Masalah diatas, maka penulis tertarik

untuk membuat Karya Tulis ini dengan judul “FIQIH KAIFIYAT

SHALAT MENURUT ACENG ZAKARIA”


3

B. Rumusan Masalah

Adapun untuk mempermudah rumusan pembahasan, maka penulis

membuat rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apa saja indikator yang dijadikan alasan Aceng Zakaria dalam menilai

berbagai kekeliruan dalam kaifiyat shalat?

2. Bagaimana Aceng Zakaria menetapkan kekeliruan dalam kaifiyat shalat?

3. Apa paradigma adanya kaifiyat shalat yang baik menurut Aceng Zakaria

C. Tujuan Pembahasan

1. Mengenal sosok Aceng Zakaria

2. Mengetahui pengertian Shalat

3. Mengetahui tata cara Shalat yang baik dan benar menurut Aceng Zakaria

D. Metode Pembahasan

Metode yang penulis gunakan adalah metode studi kepustakaan yaitu

mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan materi yang di

bahas, baik dari artikel ataupun makalah, serta dari internet sebagai bahan

tambahan untuk penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan Karya Tulis Ilmiah ini adalah :

BAB I : PENDAHULUAN
4

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Pembahasan

D. Metode Pembahasan

E. Sistematika Penulisan

BAB II : PEMBAHSAN

A. Profil Aceng Zakaria dan Karya-karya nya

a. Biografi Aceng Zakaria

b. Karya-karya Aceng Zakaria

c. Pola pikir Aceng Zakaria dalam fiqih kaifiyat shalat

B. Pandangan Aceng Zakaria tentang fiqih kaifiyat shalat

a. Indikator penyimpangan dalam fiqih kaifiyat shalat

b. Alasan penyimpangan fiqih kaifiyat shalat menurut Aceng

Zakaria

c. Paradigma yang baik menurut Aceng zakaria

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR RIWAYAT HIDUP


5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Profil Aceng Zakaria dan Karya-karya nya

a. Biografi Aceng Zakaria

Ustadz Aceng lahir pada 11 Oktober 1948 di kampung Sukarasa, Desa

Citangtu, Kecamatan Wanaraja, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ia terlahir dari

sebuah keluarga ulama, tepatnya keluarga ajengan (kyai). Ayahnya adalah

Kyai Ahmad Kurhi, seorang ajengan dari garis keturunan KH. A. Shidiq. Ia

mendalami secara khusus ilmu tauhid dan tasawwuf di pesantren Jawa

Tengah, sekitar pergantian abad ke-19. Ini yang disebut oleh para pakar

pesantren sebagai tradisi ngétan atau masantrén ke daerah Jawa. Setelah

tamat, ia mendirikan Pesantren Sukarasa di Garut. Oleh karena itulah, ia

dikenal dengan sebutan Mama Sukarasa.

Hampir seluruh anak laki-laki Mama Sukarasa menjadi ulama besar

(kyai/ajengan) di berbagai daerah. Dari dua belas anak laki-lakinya itu,


6

sebelas di antaranya menjadi ajengan yang terkenal di Garut. Begitu juga

dengan cucu-cucunya. Disamping K.H. Yusuf Taujiri (Pesantren

Darussalam), cucu-cucunya yang menjadi ulama di antaranya adalah KH. A.

Quddus (Pesantren Cipari) dari jalur Ny. Hj. Muti’ah, K.H. Haramaen dan

K.H. Payumi (Ajengan Uyum) dari jalur Ny. Hj. Atikah yang bersuamikan

KH. Sayuti. Termasuk salah satu cucunya yang menjadi ulama besar adalah

KH. Aceng Zakaria, cucu dari jalur Ajengan Ahmad Kurhi-Ny. Menoh.

Ajengan Engku panggilan khas Kyai Kurhi atas saran dari

keluarganya, menamai bayi mungil tersebut: Zakaria. Nama itu bukan sekedar

nama. Nama itu adalah do’a pengharapan dari sang ayah dan juga kerabat,

keluarga besar Mama Sukarasa. Nama itu merujuk pada nama saudara

Ajengan Engku dari pihak lain ibu, yakni K.H. M. Zakaria (w. 1942).

Sebagaimana diketahui, Mama Zakaria adalah tokoh kyai reformis yang

dihormati pada awal abad ke-20, kesohor melintasi Garut, dikenal di

Bandung, Sukabumi, hingga ke Jakarta (terkait ini, lihat tulisan saya: Madjlis

Ahli Soennah Garoet: Local Islamic Puritanism Movement and Its Roles in

West Java during the Colonialism Era of 1926- 1942). Penyematan nama

Zakaria pada si jabang bayi menunjukkan harapan Ajengan Engku, agar kelak

ia seperti Mama Zakaria, saudaranya tersebut. Mewarisi kebesaran namanya,

menjadi ulama besar. Keluarga besar Mama Sukarasa (sang kakek) dan

Engku itu sendiri adalah tokoh ajengan terkemuka yang sangat dihormati di

kampung Sukarasa, bahkan oleh masyarakat daerah lainnya di Wanaraja dan

Garut pada umumnya. Oleh karena itu, Zakaria muda anak keempat Engku

sering disebut “Aceng” oleh teman-teman dan masyarakat sekitarnya.

“Aceng” adalah semacam panggilan kehormatan bagi anak-anak ulama di

kalangan masyarakat Sunda, khususnya di kawasan Priangan Timur.


7

Maknanya adalah “Ajengan Cilik,” karena merupakan anak Ajengan.

Begitulah, anak muda itupun lebih dikenal dengan panggilan Aceng Zakaria.1

b. Karya-karya Aceng Zakaria

Buku Aqidah

 Ilmu tauhid jilid I, II dan III (Bahasa Arab)

 Pokok-pokok Ilmu Tauhid

 Syahadat Bai`at dan Jamaah Islamiyyah

Buku Fiqh

 Hidayah Fi Masail Fiqhiyyah Mutaa’ridhah

 Haramkah Isbal dan Wajibkah Janggut

 Do`a – Do`a Shalat, Versi Indonesia dan Sunda

 Do`a – Do`a Sehari-hari

 Do’a Haji dan Umrah

 Hadyu Rosul

 Tarbiyah An-Nisa (Bahasa Arab)

 Tarbiyah Nisa (Bahasa Indonesia)

Buku Bahasa

 Al-Muyasar fi Ilmu Nahwi Jilid I, II dan III (Bahasa Arab)

 Al-Kafi (buku Tashrif) Jilid I, II dan III (Bahasa Arab)

 Tashrif 20 Jam

 Nahwu terjemah

1
Pepen Irpan Fauzan .” KH. A. ZAKARIA (1948-2022 M): Warisan Jihad Sang Ulama Persatuan
Islam”, Majalah Risalah NO. 09 th. 60 - Desember 2022., h.8-9
8

 Kamus Tiga Bahasa (Indonesia – Arab – Inggris )

 Ilmu Mantiq (Bahasa Arab)

 Jadul Muta`alim (Bahasa Arab)

 Adi`yyah, (Bahasa Arab)

Bidang tafsir

 Al-Bayan fi Ulumul Qu`ran (Bahasa Arab)

 Ilmu tajwid (Bahasa Arab)

 Tafsir Al Fatihah (bahasa Indonesia)

Buku Hadits

 Ilmu Musthalah hadits (Bahasa Arab)

 Etika Hidup Seorang Muslim

 Kitabul Adab, Jilid I dan II, (Bahasa Arab)

 Ilmu Faraidh2

c. Pola pikir Aceng Zakaria dalam fiqih kaifiyat shalat

K.H. Aceng Zakaria dikenal sebagai ulama yang cakap akan berbagai

disiplin ilmu. Hal tersebut dibuktikan dengan karya yang telah lahir dalam

berbagai disiplin ilmu termasuk hadis. Walaupun beliau bukanlah seorang

yang notabene mengkaji hadis secara komprehensif, namun sedikitnya

terdapat pemikirannya mengenai hadis. Pembahasan yang dikedepankan oleh

K.H. Aceng Zakaria ialah tentang hukum penggunaan hadis sebagai hujjah

serta kaidah-kaidah umum ilmu hadis.


2
https://id.wikipedia.org/wiki/Aceng_Zakaria ,diakses pada 2 April 2023, 17:35
9

a. Definisi Hadis Ṣaḥīḥ , Hasan dan Dhaif

Dalam kitab al- Hidāyah, K.H. Aceng Zakaria memaparkan

tentang klasifikasi hadis yang terdiri dari ṣaḥīḥ , hasan dan dhaif.

Hadis ṣaḥīḥ dan hasan termasuk ke dalam hadis yang dapat

diterima dan diamalkan, sedangkan hadis dhaif tidak dapat

diterima untuk menentukan hukum dalam agama (Zakaria,

2003,hal.43). Pengertian hadis ṣaḥīḥ , hasan dan dhaif yang

dipaparkan oleh K.H. Aceng Zakaria dalam kitab al- Hidāyah tidak

jauh berbeda dengan yang masyhur di kalangan khalayak umum.

Hadis ṣaḥīḥ ialah hadis yang dari segi sanadnya diriwayatkan oleh

orang yang adil, kuat hafalan, sanadnya bersambung, tidak terdapat

‘illat, dan tidak syadz, sedangkan dari segi matannya tidak

bertentangan dengan al-Quran, hadis yang mutawatir, ijma’ yang

qath’I, atau akal sehat serta di dalam lafadznya tidak terdapat

kejanggalan. Sedangkan hadis hasan ialah hadis yang diriwayatkan

oleh rawi yang adil, lemah hafalannya, sanadnya bersambung,

tidak ada ‘illat serta terhindar dari syadz. Terakhir yakni hadis

dhaif, hadis yang tidak terhimpun

di dalamnya sifat-sifat hadis yang dapat diterima (hadis ṣaḥīḥ dan

hasan ). Selanjutnya, K.H. Aceng Zakaria pun menjelaskan secara

singkat mengenai sebab-sebab kedhaifan pada sebuah hadis seperti

sebab cacat pada sanad dan rawi yang terdiri dari hadis mu’allaq,

majhul, mu’allal, mursal, mu’dhal, munqathi’, mudallas, maudhu’,

matruk, munkar, mudraj, maqlub, mudhtharib dan syadz.


10

b. Hukum Menggunakan Hadis Dhaif

Dilihat dari pembahasan pada permulaan kitab, K.H. Aceng Zakaria

membahas mengenai perintah berpegang teguh kepada al-Quran dan al-

Sunnah serta peringatan keras terhadap perbuatan bid’ah. Hal tersebut

menunjukkan bahwa beliau sangat berhati-hati dalam mengambil dan

mengamalkan hadis untuk urusan agama serta menjaga keotentikan teks

keagamaan (baca:hadis). Artinya tidak semua yang dicap ‘hadis’ beliau

jadikan sebagai dalil hukum yang mendasari sebuah perbuatan atau ritual

keagamaan. Maka dari itu beliau membuat bahasan mengenai hukum

menggunakan hadis dhaif sebagai hujjah dalam satu bahasan khusus.

Menariknya beliau pun membuat satu bab khusus tentang hadis-hadis

masyhur di kalangan masyarakat yang ternyata dhaif kualitasnya bahkan

sampai derajat maudhu’. Dalam sub bab hukum menggunakan hadis dhaif,

K.H. Aceng Zakaria membandingkan tiga pendapat ulama. Pertama,

menggunakan hadis dhaif sekalipun untuk fadhail amal itu tidak boleh secara

mutlaq. Artinya dalam hal apapun, kondisi serta alasan apapun hadis dhaif

tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. Kedua, hadis dhaif boleh

digunakan secara mutlaq, maksudnya baik itu sebagai dasar hukum maupun

fadhail amal itu boleh hukumnya. Ketiga, hadis dhaif dapat digunakan dalam

hal fadhail amal dengan beberapa ketentuan yakni, kedhaifannya tidak terlalu

berat, isi dari hadis memang pokok-pokok yang dapat diamalkan, dan tidak

melebihi keyakinan terhadap hadis ṣaḥīḥ serta hal tersebut dilakukan sebagai

sikap kehati-hatian. Dari ketiga pendapat diatas, K.H. Aceng Zakaria

membuat kesimpulan bahwasanya beliau lebih cenderung kepada pendapat

pertama. Beliau menjelaskan bahwasanya dalam masalah fadhail amal tidak

perlu merujuk pada hadis dhaif, sedangkan hadis ṣaḥīḥ sendiri banyak yang
11

mengandung fadhail amal. Sehingga dalam hal ini, beliau menekankan bahwa

dalam segala aspek baik itu fadhail amal apalagi untuk masalah penentuan

hukum menjadi keharusan menggunakan hadis yang maqbul yakni hadis ṣaḥīḥ

dan hasan, sedangkan hadis dhaif ditinggalkan sepenuhnya. Lebih

mendalamnya K.H. Aceng Zakaria menyinggung tentang penilaian terhadap

rawi yang mana hal tersebut menjadi poin penting dalam menentukan derajat

hadis. Dalam penilaian rawi (al-Jarh wa al-Ta’dil), beliau meringkasnya

menjadi beberapa poin yakni, apabila terdapat penilaian jarh dan ta’dil

terhadap seorang rawi secara bersamaan maka dahulukan penilaian jarh jika

dijelaskan sebab jarhnya, sebaliknya bila tidak dijelaskan sebab jarhnya maka

dahulukan penilaian adil, dan apabila penilaian jarh itu tidak disertai dengan

penjelasan akan sebab ke-jarh-annya serta tidak ada pula seorang pun yang

menilai adil maka penilaian jarh itu yang diambil. Kesimpulan ini sama

halnya dengan apa yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar al-Asqalani.

c. Hukum Menggunakan Hadis Mauquf dan Mursa

Sebelum membahas masalah hukumnya, alangkah baiknya

mengetahui terlebih dahulu makna hadis mauquf sendiri. Hadis

mauquf dalam kitab ilmu musthalah hadis disebutkan sebagai hadis

yang tidak sampai kepada Nabi saw (Hazzan, 1990, hal.345).

Dengan kata lain hadis tersebut ialah perkataan, perbuatan atau

taqrir yang disandarkan kepada sahabat atau disebut dengan qaul

sahabat. Banyak pendapat mengenai hukum menggunakan hadis

mauquf sebagai hujjah diantaranya ialah ada yang menerima dan

ada pula yang menolak. Ada dua kelompok yang membahas

perihal penggunaan hadis muaquf sebagai hujjah. Pertama,

kelompok yang menolak yakni syafi’I, asy’ariyah dan mu’tazilah


12

yang mana mereka beranggapan bahwa hadis mauquf tidak dapat

dijadikan hujjah secara Mutlaq (Al-Zuhailiy, 1999, hal.105).

Kedua, kelommpok yang enerimana yakni Hanafi, maliki, dan

hanbali berpendapat bahwa hadis mauquf (qaul sahabat)

merupakan argument yang sah artinya dapat dijadikan hujjah

seperti halnya hadis marfu’ (Al-Zuhailiy, 1999, hal.106).

Kelompok pertama menyimpulkan bahwa qaul sahabat hanyalah

pendapat individualis yang dikeluarkan tanpa kesempurnaan Dan

setiap mujtahid diperbolehkan melakukan kesalahan dan kelalaian.

K.H. Aceng Zakaria sendiri menyebutkan dalam beberapa

penjelasan bahwasanya hadis mauquf tidak dapat dijadikan hujjah,

namun ada pengecualian yakni apabila hadis tersebut termasuk

marfu’ hukmi atau derajatnya sama dengan marfu’. Salah satu

contohnya ialah masalah bilangan takbir dalam shalat ‘iedain,

Terdapat hadis yang menyebutkan bahwa bilangan takbir pada

shalat ‘Iedain ialah tujuh dan lima dengan redaksi terjemahan

sebagai berikut:

“Dari Nafi’ Maula ‘Abdullah bin ‘Umar, ia berkata: ‘aku


menyaksikan ‘ied al-Adha dan ied al-fitri bersama Abu Hurairah,
lalu ia bertakbir tujuh kali takbir sebelum membaca al-Fatihah
dan di rakaat kedua lima kali takbir sebelum membaca al-
Fatihah.” (HR. Malik, al-Muwatha, 1:180)

Hadis di atas merupakan hadis mauquf sedangkan terdapat sebuah

kaidah yang menyatakan bahwa ucapan seorang sahabat tidak

dapat dijadikan hujjah, namun hadis ini tetap diamalkan oleh

sahabat yang lain dan tidak ada teguran atau pun pertentangan

dalam mengamalkan hadis ini. Maka hadis tersebut dihukumi

sebagai marfu ḥukmi, yakni hadis mauquf yang derajatnya setara

dengan hadis marfu’. Seperti yang dikutip oleh K.H. Aceng


13

Zakaria dari kitab Tuḥfah al-aḥwazi menerangkan bahwasanya hal

tersebut walaupun suatu perbuatan yang dilakukan oleh seorang

sahabat (Abu Hurairah) tetapi tertutup kemungkinan hasil

ijtihadnya sendiri melainkan atas dasar apa yang dilakukan pada

zaman Nabi saw (Zakaria,2003, hal.78). Sehingga dapat

disimpulkan bahwasanya K.H. Aceng Zakaria menggunakan hadis

mauquf sebagai hujjah apabila keadaannya marfu’ hukmi

(derajatnya setara dengan marfu’) (AlShiddieqy, 2009, hal.151).

Berkaitan dengan hadis mursal perlu diketahui bahwasanya mursal

termasuk bagian hadis dhaif yang sebab cacatnya ialah karena

diakhir sanadnya terdapat rawi yang gugur. Artinya hadis tersebut

diriwayatkan oleh seorang tabi’in dari Nabi saw. namun tidak

menyebutkan nama sahabat yang menjadi perantara tabi’in dan

Nabi saw (AlShiddieqy, 2009, hal.303). Sama halnya dengan

kehujjahan hadis mauquf, perselisihan dalam menetapkan apakah

hadis mursal dapat digunakan sebagai hujjah pun terbagi menjadi

dua kelompok yakni yang membolehkan dan tidak secara mutlaq.

Empat ulama madzhab memberikan pandangannya terhadap

persoalan ini, Abu Hanifah dan Malik berpendapat bahwa hadis

mursal sama derajatnya dengan hadis ahad yang muttasil apabila

yang meriwayatkannya adalah orang yang terpercaya. Sedangkan

menurut Imam Syafi’I hadis mursal bisa saja diterima dengan

beberapa ketentuan yakni orang yang meng-irsal-kan ialah seorang

tabi’in besar yang memang berjumpa dengan sebagian besar

sahabat Nabi saw. dan hadisnya semakna dengan hadis yang

sanadnya muttasil atau dikuatkan dengan adanya jalur sanad lain,

Berbeda halnya dengan pendapat Imam Ahmad yang menegaskan


14

bahwasanya hadis mursal adalah dhaif, itu berarti hadisnya tidak

dapat dijadikan hujjah. Dalam kitab al- Hidāyah karya K.H. Aceng

Zakaria pun tidak ketinggalan membahas mengenai kehujjahan

hadis mursal. Hal ini dapat dilihat dari pengambilan hukum sebuah

masalah, misalnya saja berkaitan dengan shalat jumat. Melalui

hadis yang diriwayatkan oleh Thariq bin Syihab yang artinya:

“bahwasanya kewajiban shalat jumat itu bagi setiap manusia


kecuali empat golongan yakni kaum wanita, hamba sahaya, anak
kecil dan orang sakit”( H.R. Abu Daud).

Hadis diatas dinilai sebagai hadis mursal yang mana dalam riwayat

Abu Daud yang lain dijelaskan bahwasanya Thariq hanya melihat

perbuatan Nabi saw dan tidak mendengar langsung hadis tersebut

dari baginda Nabi. Seperti yang telah diketahui terdapat pendapat

yang menyatakan bahwa hadis mursal tidak dapat dijadikan hujjah.

Namun dalam hal ini K.H. Aceng Zakaria menetapkan bahwa

hadis mursal dapat dijadikan hujjah. Hal tersebut didasari oleh

beberapa pendapat salah satunya ialah yang tercantum dalam kitab

Fath al-Mughis. Hadis mursal yang dapat dijadikan hujjah ialah

mursal shahabi (Alam, 2015, hal.415) , dan hadis tersebut termasuk

ke dalam hadis mursal shahabi menurut sebagian besar muhadisin

d. Metode Pemahaman Hadis K.H. Aceng Zakaria

Dilihat dari segi tema pembahasan, K.H. Aceng Zakaria

menjelaskan serta memaknai hadis-hadis hukum (fiqih).

Sedangkan dalam penjelasan dan penentuan masalah, K.H. Aceng

Zakaria meninjau dari apa yang banyak terjadi di masyarakat.

Beliau menjelaskan setiap topik berdasarkan pada realitas

kemudian lebih mendalam menyajikan hadis sebagai dasar hukum

atas realitas tersebut. Asumsi-asumsi yang berkembang dan


15

membudaya di masyarakat baik pro maupun kontra menjadi awal

dari sebuah pembahasan yang kritis dan analitis. Dalam mengutip

sebuah hadis, K.H. Aceng Zakaria tidak terlalu memperhatikan

sanadnya secara utuh. Beliau hanya mencantumkan sanad dari

mulai sahabat saja, walaupun ada yang dicantumkan secara

keseluruhan namun hanya sedikit sekali jumlahnya. Beliau pun

kadang kala tidak mencantumkan sumber hadis ketika

menyebutkan hadis sebagai dalil, sehingga untuk melacak

keberadaan hadis tersebut cukup sulit bagi para pembaca dan

peneliti. Dari segi komponen hadis, antara sanad dan matan beliau

sajikan secara berimbang. Tidak hanya pemahamannya saja yang

beliau tonjolkan namun juga berkaitan dengan sanad dan kritiknya

seperti pembahasan jarh wa ta’dil dijelaskan cukup intens.

Walaupun memang tidak selalu dalam setiap pembahasan beliau

jelaskan secara rinci, namun penilaian terhadap sanad hadis

terbilang tidak pernah terlewatkan. Berkaitan dengan cara

memahami hadis, K.H. Aceng Zakaria tidak menyebutkannya

secara gamblang mengenai hal tersebut dan tidak menetapkan

ketentuanketentuan yang mutlak dalam memahami hadis. Namun

berdasarkan apa yang telah diteliti, penulis menyimpulkan ada

beberapa hal yang terlihat Ketika K.H. Aceng Zakaria menjelaskan

sebuah hadis. Pertama, memahami hadis sesuai petunjuk ayat

alQuran. Kedua, memahami hadis berdasarkan hadis lainnya.

Ketiga, memahami hadis berdasarkan pada peristilahannya.

Metode ini lebih banyak digunakan dalam memaknai hadis dari

segi penetapan hukum seperti wajib, mubah, haram, sunnah, dan

makruh. Peristilahan tersebut dilihat dari beberapa ungkapan yakni


16

ungkapan yang jelas dan tidak mengandung makna lain, ungkapan

lafadz yang umum, ungkapan yang mengandung beberapa makna

(musytarak), serta ungkapan yang disimpulkan secara general,

deduktif dan analogis. Keempat, penyelesaian hadis yang

bertentangan dalam hal ini K.H. Aceng Zakaria menggunakan

salah satu dari beberapa metode yakni aljam’u, al-tarjih, al-naskh,

dan al-tawaquf (Zakaria, 2003, hal.34). Namun dalam kitab al-

Hidayah lebih ditonjolkan penggunaan dua metode pertama yakni

al-jam’u dan altarjih. Kelima, memahami hadis dengan fakta

sejarah yakni memahami hadis dengan melihat sebab datangnya

hadis (asbabul wurud). Lebih detailnya berikut uraian metode

pemahaman hadis K.H. Aceng Zakaria.

a. Memahami hadis sesuai dengan petunjuk al-Quran

b. Memahami hadis berdasarkan pada hadis lain

c. Menghimpun hadis-hadis yang setema dan bertentangan

d. Mengkompromikan atau tarjih hadis-hadis yang bertentangan

e. Memahami hadis sesuai dengan latar belakang

f. Memahami hadis berdasarkan kaidah-kaidah ushul

g. Memahami hadis berdasarkan ungkapannya (‘am, musytarak).

Dari segi tipologi pemikirannya, dalam Islam sendiri terdapat 3

kategori pemikiran yang berkembang yakni tradisional, moderat

dan liberal. Pemikiran yang tradisional ialah pemikiran yang

mempertahankan tradisi-tradisi yang telah mapan maksudnya

dalam hal ini ‘mereka’ yang tradisionalis memegang teguh

terhadap apa yang ada sejak dulu dan menganggap hal itu telah

selesai dibahas sehingga cenderung menerima tanpa memeriksa

kembali apa yang didapatnya (Zuhdi, 2012, hal.53). Sedangkan


17

pemikiran yang moderat ialah pemikiran yang berusaha menjadi

penengah antara yang saling bertentangan dan menolak pada sikap

berlebihan kepada salah satu pihak, pemikiran ini menjadi jalan

tengah, penyeimbang bagi dua ekstrimitas yang bertentangan

(Zuhdi, 2012, hal.57). Dan pemikiran liberal ialah pemikiran yang

sifatnya dapat dikatakan bebas artinya membuka peluang untuk

adanya penelusuran dan penelitian ulang terhadap apa yang sudah

ada, misalnya dalam hal memahami sebuah teks dan kebenarannya

akan senantiasa dikaji ulang sebab menurut ‘mereka’ kebenaran itu

relatif, terbuka dan plural. Dikatakan bebas sebab bisa jadi

pemahaman dan pemikirannya melampaui apa yang dikehendaki

dan yang tersurat. Dari ketiga kategori tersebut, penulis

menyimpulkan bahwasanya K.H. Aceng Zakaria cenderung berada

pada posisi pertengahan yakni moderat. Tolok ukurnya ialah

bahwa K.H. Aceng Zakaria membuka peluang terhadap

komponen-komponen lain di luar pemahaman tekstual al-Quran

dan asSunnah seperti ushul fikih, fikih, mantiq, dan lain

sebagainya. Dari segi aliran pemahaman, K.H. Aceng Zakaria

dikategorikan ke dalam aliran pemahaman tekstual. Sebab, dalam

memahami sebuah hadis K.H. Aceng Zakaria cenderung lebih

banyak menggali perihal gramatikal atau susunan kebahasaannya

dan juga penggunaan kaidah-kaidah ushul yang cukup dominan.

Sedangkan unsur-unsur lain di luar teks seperti latar belakang teks

tidak terlalu ditonjolkan. Sedangkan metode dalam menjelaskan

dan memahami hadis K.H. Aceng Zakaria menggunakan metode

tahlili yang mana beliau menjelaskan hadis dari berbagai aspek


18

seperti kosakata, konotasi makna, latar belakang datangnya hadis

dan keterkaitannya dengan hadis lain.3

B. Pandangan Aceng Zakaria tentang fiqih kaifiyat shalat

a. Pengertian Shalat

Shalat adalah salah satu ibadah yang penting dalam agama Islam.

Secara bahasa, shalat berasal dari bahasa Arab "‫ "صالة‬yang artinya adalah doa

atau permohonan. Sedangkan secara istilah, shalat memiliki definisi yang

lebih kompleks.

Menurut para ulama, shalat adalah ibadah yang dilakukan oleh seorang

muslim dengan cara mengikuti aturan dan tata cara yang telah ditentukan oleh

syariat Islam, yang dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada

Allah SWT dan memperoleh ridha-Nya.

”Sholat adalah tiang agama, maka barang siapa yang menegakannya

berarti menegakan sholat agama, dan barang siapa yang meninggalkannya

berarti meruntuhkan agama.” (HR. Baihaqi dari Umar ra).4

Secara lebih rinci, shalat adalah ibadah yang terdiri dari gerakan-

gerakan tertentu yang dilakukan oleh seorang muslim dengan niat dan

menghadap kiblat, serta membaca bacaan-bacaan tertentu dalam bahasa Arab.

Gerakan-gerakan shalat meliputi berdiri, rukuk, sujud, dan duduk di antara

sujud. Shalat juga diwajibkan untuk dilakukan pada waktu-waktu tertentu

yang telah ditentukan, yaitu shalat lima waktu (shalat Subuh, shalat Dhuhur,

shalat Asar, shalat Maghrib, dan shalat Isya).

Shalat memiliki peran yang sangat penting dalam agama Islam. Selain

sebagai ibadah yang wajib dilakukan oleh seorang muslim, shalat juga

3
Jurnal ilmu hadis Arini Azzahra,hal 46-52
4
Sazali,” Signifikansi Ibadah Sholat Dalam Pembentukan Kesehatan Jasmani dan Rohani” Jurnal
Ilmu dan Budaya, Volume : 40, No.52, Juli /2016, h.5890
19

merupakan sarana untuk memperkuat iman dan taqwa, memperbaiki diri,

serta memperoleh rahmat dan keberkahan dari Allah SWT.

Dalam praktiknya, shalat juga memiliki berbagai macam hikmah dan

manfaat. Selain sebagai bentuk penghambaan dan ketaatan kepada Allah

SWT, shalat juga dapat membantu seseorang untuk memperbaiki akhlak dan

kesehatan jasmani dan rohani, serta memperkuat hubungan sosial dengan

sesama muslim.

Dengan demikian, shalat adalah salah satu ibadah yang sangat penting dalam

agama Islam. Meskipun memiliki tata cara yang kaku dan rumit, shalat memberikan

banyak manfaat dan keberkahan bagi kehidupan seorang muslim. Oleh karena itu,

shalat harus selalu dijaga dan dilakukan dengan penuh kesadaran dan keikhlasan.

b. Perintah wajib shalat

Dalam kesimpulannya, perintah wajib shalat merupakan salah satu

kewajiban utama dalam agama Islam yang harus dilakukan oleh setiap muslim.

Allah SWT. berfirman dalam surat Hud ayat 114 :

‫ك ِذ ْك ٰرى‬ ِ
َ ‫السيِّاٰ ِتۗ ٰذل‬ ِ ‫الص ٰلو َة طَريَفِ النَّها ِر و ُزلًَفا ِّمن الَّي ِل ۗاِ َّن احْل سن‬
َّ َ ‫ٰت يُ ْذ ِهنْب‬ َّ ‫َواَقِ ِم‬
ََ ْ َ َ َ َ

َّ ِ‫ل‬
‫لذاكِ ِريْ َن‬

Dan laksanakanlah salat pada kedua ujung siang (pagi dan petang) dan

pada bagian permulaan malam. Perbuatan-perbuatan baik itu menghapus

kesalahan-kesalahan. Itulah peringatan bagi orang-orang yang selalu

mengingat (Allah).
20

Lima waktu shalat yang harus dilakukan setiap hari memiliki manfaat

yang besar bagi kehidupan seseorang, namun juga memiliki konsekuensi

yang berat jika tidak dilakukan. Oleh karena itu, setiap muslim diharapkan

untuk menjalankan kewajiban shalat dengan penuh kesadaran dan ketaqwaan

kepada Allah SWT.

Perintah wajib shalat merupakan salah satu kewajiban utama dalam

agama Islam yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang sudah baligh dan

mukallaf. Shalat merupakan salah satu rukun Islam yang memiliki nilai

penting dalam kehidupan seorang muslim karena shalat merupakan sarana

untuk mengakui kebesaran Allah SWT dan sebagai bentuk ketaatan kepada-

Nya.

Perintah wajib shalat terdiri dari lima waktu shalat yang harus

dilakukan setiap hari. Lima waktu shalat tersebut adalah shalat Fajar, shalat

Dzuhur, shalat Ashar, shalat Maghrib, dan shalat Isya'. Setiap waktu shalat

memiliki tata cara dan jumlah rakaat yang berbeda-beda.

Shalat Fajar dilakukan sebelum terbitnya matahari dan terdiri dari dua

rakaat. Shalat Dzuhur dilakukan pada saat matahari berada di atas kepala dan

terdiri dari empat rakaat. Shalat Ashar dilakukan pada saat matahari mulai

condong ke barat dan terdiri dari empat rakaat. Shalat Maghrib dilakukan

setelah matahari terbenam dan terdiri dari tiga rakaat. Sedangkan shalat Isya'

dilakukan setelah terbenamnya matahari dan terdiri dari empat rakaat.

Perintah wajib shalat memiliki banyak manfaat bagi kehidupan

seorang muslim. Melakukan shalat secara rutin dapat meningkatkan keimanan

dan ketaqwaan seseorang kepada Allah SWT. Selain itu, shalat juga dapat

membantu seseorang untuk meredakan stres dan mengurangi kecemasan


21

dalam kehidupan sehari-hari. Shalat juga dapat membantu meningkatkan

konsentrasi dan fokus dalam berbagai aktivitas.

Namun, perintah wajib shalat juga memiliki beberapa konsekuensi

jika tidak dilakukan. Seorang muslim yang meninggalkan shalat dengan

sengaja dan tanpa alasan yang sah akan berdosa dan dapat dikenakan

hukuman. Hal ini karena shalat merupakan salah satu kewajiban yang harus

dilakukan oleh setiap muslim dan tidak dapat diabaikan.

Salat merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap-tiap

manusia yang sudah berikrar tunduk kepada Allah Swt. Dalam Al-Qur'an

disebut:

َ‫ْطى َوقُوْ ُموْ ا هّٰلِل ِ ٰقنِتِ ْين‬


ٰ ‫ت َوالص َّٰلو ِة ْال ُوس‬ َّ ‫َحافِظُوْ ا َعلَى ال‬
ِ ‫صلَ ٰو‬

Peliharalah semua salat (fardu) dan salat Wusṭā.75) Berdirilah

karena Allah (dalam salat) dengan khusyuk. (Al-Baqarah [2]:238)

Ayat ini sekalipun tidak menyebut secara eksplisit macam-macam

salat akan tetapi para ulama sependapat bahwa yang dimaksud ialah salat lima

waktu.

Alasan para ulama adalah (1) lafal "as-shalawat" adalah bentuk jamak

yang menunjukkan jumlah bilangan tiga ke atas, (2) lafal as-shalat al-

wustha dalam bentuk tunggal yang berarti ada lagi salat selain yang disebut

dalam lafal as-shalawat; dan (3) masih berkaitan dengan lafal as-shalawat al-

wustha atau salat yang terletak di tengah antara salat-salat lain, para ulama

berpendapat bahwa kalau salat dalam sehari jumlahnya genap maka tidak ada

yang disebut salat yang di tengah. Hal itu berarti jumlah salat yang

diwajibkan bagi ummat Islam jumlahnya ganjil, yakni 5 waktu sehari.Selain


22

QS. Al-Baqarah: 238 Perintah Salat lima waktu juga didapati dalam beberapa

ayat al-Quran. Pertama dalam QS. An-Nuur: 58 disebut langsung nama salat

Isya' dan salat Fajar (subuh). Allah Swt berfirman:

ٍ ‫ث م ٰر‬ ِ ِ َّ ِ ِ ِ ِ
ۗ‫ت‬ ٰ ْ ‫ٓيٰاَيُّ َها الَّذيْ َن اٰ َمُن ْوا ليَ ْستَْأذنْ ُك ُم الَّذيْ َن َملَ َك‬
ّ َ َ ‫ت اَمْيَانُ ُك ْم َوالذيْ َن مَلْ َيْبلُغُ وا احْلُلُ َم مْن ُك ْم َثل‬

ِ ِ ‫وة الْ َفج ِر و ِح تَض عو َن ثِي اب ُكم ِّمن الظَّ ِهي ر ِة و ِمنۢ بع ِد ص ٰل‬
ِ ‫ِمن َقب ِل ص ٰل‬
ُ ‫وة الْعِ َش اۤءۗ ثَ ٰل‬
‫ث‬ َ ْ َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ ْ ُ َ َ ‫ْ َ نْي‬ َ ْ ْ

ٍ ‫ض ُك ْم َع ٰلى َب ْع‬
‫ض‬ ٌ َ‫س َعلَْي ُك ْم َواَل َعلَْي ِه ْم ُجن‬
ُ ‫احۢ َب ْع َد ُه َّنۗ طََّوا ُف ْو َن َعلَْي ُك ْم َب ْع‬ َّ ٍ
َ ‫َع ْو ٰرت ل ُك ْمۗ لَْي‬

‫تۗ َوال ٰلّهُ َعلِْي ٌم َح ِكْي ٌم‬


ِ ‫ك يبنِّي ال ٰلّه لَ ُكم ااْل ٰ ٰي‬
ُ ُ ُ َُ َ ‫َكذل‬
ِٰ

Wahai orang-orang yang beriman, hendaklah hamba sahaya (laki-

laki dan perempuan) yang kamu miliki dan orang-orang yang belum balig

(dewasa) di antara kamu meminta izin kepada kamu tiga kali, yaitu sebelum

salat Subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)-mu di tengah hari,

dan setelah salat Isya. (Itu adalah) tiga (waktu yang biasanya) aurat

(terbuka) bagi kamu.523) Tidak ada dosa bagimu dan tidak (pula) bagi

mereka selain dari (tiga waktu) itu. (Mereka) sering keluar masuk

menemuimu. Sebagian kamu (memang sering keluar masuk) atas sebagian

yang lain. Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat kepadamu. Allah Maha

Mengetahui lagi Mahabijaksana. (An-Nūr [24]:58).5

C. Syarat wajib, sah dan Hal-hal yang membatalkan shalat

1. Syarat Wajib Sholat

1. Islam
5
https://www.kemenag.go.id/opini/salat-lima-waktu-dalam-al-qur039annbsp-11zili ,diakses
pada 2 April 2023, 12:01
23

2. Baligh. Batasan baligh dalam Islam adalah :

a. Bagi laki-laki telah keluar sperma atau mimpi basah

b. Bagi perempuan telah keluar darah haid

3. Berakal, tidak gila atau mabuk.

4. Suci dari haid dan nifas bagi perempuan.

5. Telah sampai dakwah kepadanya

6. Terjaga, tidak sedang tidur.

2. Syarat Sah Sholat

1. Suci badan dari hadats besar dan kecil

Hadas besar adalah hadas yang harus disucikan dengan cara mandi

besar sedangkan hadas kecil adalah hadas yang dapat disucikan dengan

cara berwudu. Tayamum dapat dipilih untuk bersuci dengan catatan

apabila sedang berhalangan memakai air. Contoh hadas besar adalah

haid, junub, nifas dan keluar mani dan hadas kecil adalah setuatu yang

keluar dari dua lubang.

Bersuci dari hadats kecil dengan berwudhu dan bersuci

dari hadats besar dengan mandi wajib. Sebagaimana firman

Allah ‘azza wa jalla:

ِ ِ‫صاَل ِة فَا ْغ ِسلُوا ُوجُوهَ ُك ْم َوَأ ْي ِديَ ُك ْم ِإلَى ْال َم َراف‬


‫ق َوا ْم َسحُوا بِ ُر ُءو ِس ُك ْم‬ َّ ‫يَاَأيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا ِإ َذا قُ ْمتُ ْم ِإلَى ال‬

َ‫ضى َأوْ َعلَى َسفَ ٍر َأوْ َجا َء َأ َح ٌد ِم ْن ُك ْم ِمن‬


َ ْ‫َوَأرْ ُجلَ ُك ْم ِإلَى ْال َك ْعبَ ْي ِن َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهَّرُوا َوِإ ْن ُك ْنتُ ْم َمر‬

‫ص ِعيدًا طَيِّبًا فَا ْم َسحُوا بِ ُوجُو ِه ُك ْم َوَأ ْي ِدي ُك ْم ِم ْنهُ َما ي ُِري ُد‬
َ ‫ْالغَاِئ ِط َأوْ اَل َم ْستُ ُم النِّ َسا َء فَلَ ْم تَ ِجدُوا َما ًء فَتَيَ َّم ُموا‬

‫ج َولَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكرُون‬
ٍ ‫هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر‬
24

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan

shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan

sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,

dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam

perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh

perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah

dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan

tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak

membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya

kamu bersyukur. (QS Al-Maidah : 6)

Begitu pula dalam hadits.

َ ‫ ” اَل تُ ْقبَ ُل‬:َ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم ع َْن َأبِي ه َُري َْرة‬
‫صاَل ةُ َم ْن‬ َ َ‫ي هَّللا ُ َع ْنهُ ق‬
َ ِ‫ قَا َل َرسُو ُل هللا‬:‫ال‬ ¨َ ‫ض‬
ِ ‫َر‬

‫ضَأ‬ َ ‫َأحْ د‬
َّ ‫َث َحتَّى يَتَ َو‬

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shalallahu

a’alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan menerima shalat seorang

yang berhadats sampai dia wudhu.”(HR. Bukhari dan Muslim)

2. Menutup aurat

Aurat laki-laki adalah antara pusar sampai lutut, sedang aurat

perempuan adalah seluruh anggota badan kecuali kedua telapak tangan

dan wajah.

ِ ‫ابَنِي آ َد َم ُخ ُذوا ِزينَتَ ُك ْم ِع ْن َد ُكلِّ َمس‬


‫ْج ٍد‬
25

‘’Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap memasuki

masjid.(QS. Al-A’raf : 31).

3. Telah masuk waktu sholat

َ ‫ت َعلَى ْالمُْؤ ِمن‬


‫ِين ِك َتابًا َموْ قُوتًا‬ ْ ‫صاَل َة َكا َن‬
َّ ‫ِإنَّ ال‬

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam

dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu

disaksikan (oleh malaikat).

4. Menghadap kiblat

Kiblat adalah arah yang dituju umat Islam dalam sebagian konteks

ibadah, termasuk dalam salat. Arah ini menuju kepada bangunan

Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, Arab Saudi, yang menurut umat

Islam adalah bangunan suci yang dibangun dua orang Nabi yaitu

Ibrahim dan anaknya Ismail.6

Seperti dijelaskan dalam surah al-Baqarah ayat 144.

۟ ُّ‫ْث ما ُكنتُ ْم فَ َول‬


ْ ‫وا ُوجُوهَ ُك ْم َش‬ ْ ‫ك َش‬
‫ط َرهۥُ َّربِّ ِه ْم‬ َ ُ ‫ْج ِد ْٱل َح َر ِام َو َحي‬
ِ ‫ط َر ْٱل َمس‬ َ َ‫فَ َو ِّل َوجْ ه‬

Artinya : “maka palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. dan

dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. (QS. al-

Baqarah : 144)

6
https://id.wikipedia.org/wiki/Kiblat ,diakses pada 8 april 2023, 14:21
26

ada beberapa hal yang dapat membatalkan shalat, sehingga penting

untuk mengetahui apa saja faktor-faktor tersebut.

Beberapa faktor yang dapat membatalkan shalat antara lain:

1. Keluarnya sesuatu dari dua tempat yang dimaksudkan untuk

keluarnya, seperti kentut, buang air kecil, dan buang air besar.

2. Hilangnya kesucian wudhu atau hilangnya kesucian badan seperti

keluarnya darah haid atau nifas.

3. Hilangnya syarat shalat, seperti menutup aurat, menghadap kiblat,

dan berdiri bagi yang mampu.

4. Terjadinya gerakan yang menghilangkan khusyu' dalam shalat,

seperti bicara, tertawa, dan gerakan yang tidak sesuai dengan

shalat. Mengulur-ulurkan shalat hingga masuk waktu shalat

berikutnya.

Adapun jika salah satu hal di atas terjadi, maka shalat yang sedang

dilakukan menjadi batal dan harus diulang kembali setelah memenuhi

syarat-syarat shalat yang diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai