Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN

DAN ASUHAN KEPERAWATAN


KRISIS TIROID

Disusun Oleh :
ASHARINI DWI JUNIARTI
P17212195025

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


JURUSAN KEPERAWATAN
POLITEKNIK KESEHATAN MALANG
Oktober 2019
KRISIS TIROID

A. Definisi
Krisis tiroid adalah suatu keadaan dimana gejala-gejala dari tirotoksikosis
dengan sekonyong-konyong menjadi hebat dan disertai oleh hyperpireksia,
takikardia dan kadang-kadang vomitus yang terus menerus.
Krisis tiroid adalah kondisi hipermetabolik yang mengancam jiwa dan
ditandai oleh demam tinggi dan disfungsi sistem kardiovaskular, sistem saraf, dan
sistem saluran cerna. Awalnya, timbul hipertiroidisme yang merupakan kumpulan
gejala akibat peningkatan kadar hormon tiroid yang beredar dengan atau tanpa
kelainan fungsi kelenjar tiroid. Ketika jumlahnya menjadi sangat berlebihan,
terjadi kumpulan gejala yang lebih berat, yaitu tirotoksikosis. Krisis tiroid
merupakan keadaan dimana terjadi dekompensasi tubuh terhadap tirotoksikosis
tersebut. Tipikalnya terjadi pada pasien dengan tirotoksikosis yang tidak terobati
atau tidak tuntas terobati yang dicetuskan oleh tindakan operatif, infeksi, atau
trauma.

B. Etiologi
Etiologi krisis tiroid antara lain penyakit Graves, goiter multinodular toksik,
nodul toksik, tiroiditis Hashimoto, tiroiditas deQuevain, karsinoma tiroid folikular
metastatik, dan tumor penghasil TSH. Etiologi yang paling banyak menyebabkan
krisis tiroid adalah penyakit Graves (goiter difus toksik). Meskipun tidak biasa
terjadi, krisis tiroid juga dapat merupakan komplikasi dari operasi tiroid. Kondisi
ini diakibatkan oleh manipulasi kelenjar tiroid selama operasi pada pasien
hipertiroidisme. Krisis tiroid dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah operasi.
Operasi umumnya hanya direkomendasikan ketika pasien mengalami penyakit
Graves dan strategi terapi lain telah gagal atau ketika dicurigai adanya kanker
tiroid. Krisis tiroid berpotensi pada kasus-kasus seperti ini dapat menyebabkan
kematian.
Krisis tiroid juga dikaitkan dengan hipokalsemia berat. Seorang kasus wanita
berusia 30 tahun dengan krisis tiroid dan gangguan fungsi ginjal menunjukkan
adanya hipokalsemia. Hipokalsemia pada kasus tersebut telah ada saat kreatinin
serumnya masih normal. Kadar serum normal fragmen ujung asam amino hormon
paratiroid dalam keadaan hipokalsemia pada kasus tersebut menunjukkan adanya
gangguan fungsi paratiroid. Karena kadar serum magnesiumnya normal dan tidak
memiliki riwayat operasi tiroid ataupun terapi radio-iodium, hipoparatiroidisme
yang terjadi dianggap idiopatik. Kasus ini adalah kasus ketujuh yang disebutkan
di literatur tentang penyakit Grave yang disertai hipoparatiroidisme idiopatik.
Krisis tiroid dilaporkan pula terjadi pada pasien nefritis interstisial. Kasus
seorang pria berusia 54 tahun yang telah diterapi dengan tiamazol (5 mg/hari)
menunjukkan kadar hormon tiroid yang meningkat tajam setelah dilakukan
eksodontia. Meskipun dosis tiamazol yang diresepkan dinaikkan setelah
eksodontia pada hari keempat, pria ini mengalami krisis tiroid pada hari ke-52
pasca eksodontia. Temuan laboratoris juga menunjukkan disfungsi ginjal
(kreatinin 1,8 mg/dL pada hari ke 37 pasca eksodontia). Kadar hormon tiroid
kembali dalam batas normal setelah tiroidektomi subtotal. Namun, kadar serum
kreatinin masih tetap tinggi. Pria ini kemudia didiagnosis dengan nefritis
interstisial berdasarkan hasil biopsi ginjal dan diterapi dengan prednisolon 30
mg/hari. Kasus ini mewakilit kejadian krisis tiroid yang terjadi meskipun tiamazol
ditingkatkan dosisnya setelah eksodontia. Tampak bahwa nefritis interstisial
sebagaimana pula eksodontia merupakan faktor yang dapat meningkatkan fungsi
tiroid. Setelah buruknya respon terhadap obat anti-tiroid, penting untuk mencegah
krisis tiroid dengan menentukan faktor-faktor ini dan pengobatan yang sesuai.

C. Patofisiologi
Pada orang sehat, hipotalamus menghasilkan thyrotropin-releasing hormone
(TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior untuk menyekresikan thyroid-
stimulating hormone (TSH) dan hormon inilah yang memicu kelenjar tiroid
melepaskan hormon tiroid. Tepatnya, kelenjar ini menghasilkan prohormone
thyroxine (T4) yang mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi
bentuk aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2 bentuk:
1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik; dan 2) bentuk yang
terikat pada thyroid-binding globulin (TBG). Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak
terikat sangat berkorelasi dengan gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini
mengatur kadar hormon tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang
menyuplai kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya tirotoksikosis ini
melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang diarahkan pada 4 antigen dari
kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase, simporter natrium-iodida, dan reseptor
TSH. Reseptor TSH inilah yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi
penyakit ini. Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap
reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan produksi
hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak ditemukan dari subkelas
imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan
TBG yang diperantarai oleh 3,’5′-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP).
Selain itu, antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat yang melibatkan
banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari tirotoksikosis.
Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh hormon tiroid yang semakin menguat
seiring meningkatnya pelepasan hormon tiroid (dengan/tanpa peningkatan
sintesisnya) atau meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada
derajat tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk
bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa hormon
tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic adenosine
monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa. Kadar plasma dan
kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun norepinefrin normal pada pasien
tirotoksikosis.
Meskipun patogenesis krisis tiroid tidak sepenuhnya dipahami, teori berikut
ini telah diajukan untuk menjawabnya. Pasien dengan krisis tiroid dilaporkan
memiliki kadar hormon tiroid yang lebih tinggi daripada pasien dengan
tirotoksikosis tanpa komplikasi meskipun kadar hormon tiroid total tidak
meningkat, pengaktifan reseptor adrenergik adalah hipotesis lain yang muncul.
Saraf simpatik menginervasi kelenjar tiroid dan katekolamin merangsang sintesis
hormon tiroid. Berikutnya, peningkatan hormon tiroid meningkatkan kepadatan
reseptor beta-adrenergik sehingga menamnah efek katekolamin. Respon dramatis
krisis tiroid terhadap beta-blockers dan munculnya krisis tiroid setelah tertelan
obat adrenergik, seperti pseudoefedrin, mendukung teori ini. Teori ini juga
menjelaskan rendah atau normalnya kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin
katekolamin. Namun, teori ini tidak menjelaskan mengapa beta-blockers gagal
menurunkan kadar hormon tiroid pada tirotoksikosis.
Teori lain menunjukkan peningkatan cepat kadar hormon sebagai akibat
patogenik dari sumbernya. Penurunan tajam kadar protein pengikat yang dapat
terjadi pasca operasi mungkin menyebabkan peningkatan mendadak kadar
hormon tiroid bebas. Sebagai tambahan, kadar hormon dapat meningkat cepat
ketika kelenjar dimanipulasi selama operasi, selama palpasi saat pemeriksaan,atau
mulai rusaknya folikel setelah terapi radioactive iodine (RAI). Teori lainnya yang
pernah diajukan termasuk perubahan toleransi jaringan terhadap hormon tiroid,
adanya zat mirip katekolamin yang unik pada keadaan tirotoksikosis, dan efek
simpatik langsung dari hormon tiroid sebaai akibat kemiripan strukturnya dengan
katekolamin.
D. Pathway

G3 organik kelenjar G3 Fungsi


tiroid Hipotalamus /hipofisis

Produksi TSH
meningkat

Produksi
hormone
tiroid meningkat

Metabolisme tubuh
Peningkatan
Peningkatan Proses
meningkat rangsangan Aktifitas
aktv SSP SSP glikogenesi
GI
s
meningk
Produksi kalor Kebutuhan Perub konduksi Peningkatan Proses
meningkat cairan
listrik jantung aktivitas SSP pembakara Nafsu
meningkat
n lemak makan
meningkat meningkat
Peningkatan
Defisit Beban kerja Disfungsi
suhu tubuh
SSP
volume jantung naik Penurunan
cairan berat badan
Agitasi,
Aritmia,
kejang,
takikardi koma

penurunan
curah jantung
E. Gambaran klinis
Riwayat penyakit dahulu pasien mencakup tirotoksikosis atau gejala-gejala
seperti iritabilitas, agitasi, labilitas emosi, nafsu makan kurang dengan berat badan
sangat turun, keringat berlebih dan intoleransi suhu, serta prestasi sekolah yang
menurun akibat penurunan rentang perhatian. Riwayat penyakit sekarang yang
umum dikeluhkan oleh pasien adalah demam, berkeringat banyak, penurunan
nafsu makan dan kehilangan berat badan. Keluhan saluran cerna yang sering
diutarakan oleh pasien adalah mual, muntah, diare, nyeri perut, dan jaundice.
Sedangkan keluhan neurologik mencakup gejala-gejala ansietas (paling banyak
pada remaja tua), perubahan perilaku, kejang dan koma.
Pada pemeriksaan fisik, ditemukan demam dengan temperatur konsisten
melebihi 38,5oC. Pasien bahkan dapat mengalami hiperpireksia hingga melebihi
41oC dan keringat berlebih. Tanda-tanda kardiovaskular yang ditemukan antara
lain  hipertensi dengan tekanan nadi yang melebar atau hipotensi pada fase
berikutnya dan disertai syok. Takikardi terjadi tidak bersesuaian dengan demam.
Tanda-tanda gagal jantung antara lain aritmia (paling banyak supraventrikular,
seperti fibrilasi atrium, tetapi takikardi ventrikular juga dapat terjadi). Sedangkan
tanda-tanda neurologik mencakup agitasi dan kebingungan, hiperrefleksia dan
tanda piramidal transien, tremor, kejang, dan koma. Tanda-tanda tirotoksikosis
mencakup tanda orbital dan goiter.
Selain kasus tipikal seperti digambarkan di atas, ada satu laporan kasus
seorang pasien dengan gambaran klinis yang atipik (normotermi dan normotensif)
yang disertai oleh sindroma disfungsi organ yang multipel, seperti asidosis laktat
dan disfungsi hati, dimana keduanya merupakan komplikasi yang sangat jarang
terjadi. Kasus ini menunjukkan bahwa kedua sistem organ ini terlibat dalam krisis
tiroid dan penting untuk mengenali gambaran atipik ini pada kasus-kasus krisis
tiroid yang dihadapi.

F. Gambaran laboratoris
Diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran
laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh
ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas
tirotoksikosis. Pada pemeriksaan status tiroid, biasanya akan ditemukan konsisten
dengan keadaan hipertiroidisme dan bermanfaat hanya jika pasien belum
terdiagnosis sebelumnya. Hasil pemeriksaan mungkin tidak akan didapat dengan
cepat dan biasanya tidak membantu untuk penanganan segera. Temuan biasanya
mencakup peningkatan kadar T3, T4 dan bentuk bebasnya, peningkatan uptake
resin T3, penurunan kadar TSH, dan peningkatan uptake iodium 24 jam.
Kadar TSH tidak menurun pada keadaan sekresi TSH berlebihan tetapi hal ini
jarang terjadi. Tes fungsi hati umumnya menunjukkan kelainan yang tidak
spesifik, seperti peningkatan kadar serum untuk SGOT, SGPT, LDH, kreatinin
kinase, alkali fosfatase, dan bilirubin. Pada analisis gas darah, pengukuran kadar
gas darah maupun elektrolit dan urinalisis dilakukan untuk menilai dan memonitor
penanganan jangka pendek.

G. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis pada krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu
menangani faktor pencetus, mengontrol pelepasan hormon tiroid yang
berlebihan, menghambat pelepasan hormon tiroid, dan melawan efek
perifer hormon tiroid (Hudak & Gallo, 1996).
Penatalaksanaan medis krisis tiroid meliputi:
a. Koreksi hipertiroidisme
1) Menghambat sintesis hormon tiroid
Obat yang dipilih adalah propiltiourasil (PTU)atau metimazol.
PTU lebih banyak dipilih karena dapat menghambat konversi T4
menjadi T3 di perifer. PTU diberikan lewat selang NGT dengan
dosis awal 600-1000 mg kemudian diikuti 200-250 mg tiap 4
jam. Metimazol diberikan dengan dosis 20 mg tiap 4 jam, bisa
diberikan dengan atau tanpa dosis awal 60-100mg.
2) Menghambat sekresi hormon yang telah terbentuk
Obat pilihan adalah larutan kalium iodida pekat (SSKI) dengan
dosis 5 tetes tiap 6 jam atau larutan lugol 30 tetes perhari dengan
dosis terbagi 4.
3) Menghambat konversi T4 menjadi T3 di perifer
Obat yang digunakan adalah PTU, ipodate, propanolol, dan
kortikosteroid.
4) Menurunkan kadar hormon secara langsung
Dengan plasmafaresis, tukar plasma, dialisis peritoneal, transfusi
tukar, dan charcoal plasma perfusion. Hal ini dilakukan bila
dengan pengobatan konvensional tidak berhasil.
5) Terapi definitif
Yodium radioaktif dan pembedahan (tiroidektomi subtotal atau
total).
b. Menormalkan dekompensasi homeostasis
1) Terapi suportif
a) Dehidrasi dan keseimbangan elektrolit segera diobati
dengan cairan intravena
b) Glukosa untuk kalori dan cadangan glikogen
c) Multivitamin, terutama vitamin B
d) Obat aritmia, gagal jantung kongstif
e) Lakukan pemantauan invasif bila diperlukan
f) Obat hipertermia (asetaminofen, aspirin tidak dianjurkan
karena dapat meningkatkan kadar T3 dan T4)
g) Glukokortikoid
h) Sedasi jika perlu
2) Obat antiadrenergik
Yang tergolong obat ini adalah beta bloker, reserpin, dan
guatidin. Reserpin dan guatidin kini praktis tidak dipakai lagi,
diganti dengan Beta bloker. Beta bloker yang paling banyak
digunakan adalah propanolol. Penggunaan propanolol ini tidak
ditujukan untuk mengobati hipertiroid, tetapi mengatasi gejala
yang terjadi dengan tujuan memulihkan fungsi jantung dengan
cara menurunkan gejala yang dimediasi katekolamin. Tujuan
dari terapi adalah untuk menurunkan konsumsi oksigen
miokardium, penurunan frekuensi jantung, dan meningkatkan
curah jantung.
c. Pengobatan faktor pencetus
Obati secara agresif faktor pencetus yang diketahui, terutama
mencari fokus infeksi, misalnya dilakukan kultur darah, urine, dan
sputum, juga foto dada (Bakta & Suastika, 1999).

2. Penatalaksanaan keperawatan
Tujuan penatalaksanaan keperawatan mencakup, mengenali efek dari
krisis yang timbul, memantau hasil klinis secara tepat, dan memberikan
perawatan suportif untuk pasien dan keluarga. Intervensi keperawatan
berfokus pada hipermetabolisme yang dapat menyebabkan dekompensasi
sistem organ, keseimbangan cairan dan elektrolit, dan memburuknya
status neurologis. Ini termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak
perlu, penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan
memberikan tingkat aktivitas yang sesuai, pemantauan kriteria hasil.
Setelah periode krisis, intervensi diarahkan pada penyuluhan pasien dan
keluarga dan pencegahan proses memburuknya penyakit (Hudak &Gallo,
1996).

A. Pemeriksaan penunjang
Menurut Smeltzer dan Bare(2002) terdapat beberapa jenis pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan untuk memastikan diagnosis keadaan dan
lokalisasi masalah pada kelenjar tiroid.
1. Test  T4 serum
Test yang paling sering dilakukan adalah penentuan T4 serum dengan
tekhnik radioimunoassay atau  pengikatan kompetitif nilai normal berada
diantara 4,5 dan 11,5 µg/dl ( 58,5 hingga 150 nmol/L) dan terjadi
peningkatan pada krisis tiroid.
2. Test T3 serum
Adalah test yang mengukur kandungan T3 bebas dan terikat, atau T3
total dalam serum dengan batas normal adalah 70 hingga 220 µg/dl ( 1,15
hingga 3,10 nmol/L) dan meningkat pada krisis tiroid.
3. Test T3 Ambilan Resin
Merupakan pemeriksan untuk mengukur secara tidak langsung kadar
TBG tidak jenuh. Tujuannnya adalah untuk menentukan jumlah hormon
tiroid yang terikat dengan TBG dan jumlah tempat pengikatan yang ada.
Nilai Ambilan Resin T3 normal adal 25% hingga 35% ( fraksi ambilan
relatif : 0,25 hingga 0,35 ) yang menunjukan bahwa kurang lebih
sepertiga dari tempat yang ada pada TBG sudah ditempati oleh hormone
tiroid. Pada krisis tiroid biasanya terjadi peningkatan.
4. Test TSH ( Thyroid – Stimulating Hormone )
Pengukuran konsetrasi TSH serum sangat penting artinya dalam
menegakkan diagnosis serta penatalaksanaan kelainan tiroid dan untuk
membedakan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada kelenjar
tiroid sendiri dengan kelainan yang disebabkan oleh penyakit pada
hipofisis atau hipothalamus.
5. Test Thyrotropin_Releasing Hormone
Merupakan cara langsung untuk memeriksa cadangan TSH dihipofisis
dan akan sangat berguna apabila hasil test T3 serta T4 tidak dapat
dianalisa. Test ini sudah jarang dikerjakan lagi pada saat ini, karena
spesifisitas dan sensitifitasnya meningkat.
6. Tiroglobulin
Tiroglobulin merupakan prekursor untuk T3 dan T4 dapat diukur
kadarnya dalam serum dngan hasil yang bisa diandalkan melalui
pemeriksaan radioimunnoassay. Pemeriksaan ini diperlukan untuk tindak
lanjut dan penanganan penderita karsinoma tiroid, serta penyakit tiroid
metastatik.    

Melihat kondisi krisis tiroid merupakan suatu keadaan gawat medis maka
diagnosis krisis tiroid didasarkan pada gambaran klinis bukan pada gambaran
laboratoris. Jika gambaran klinis konsisten dengan krisis tiroid, terapi tidak boleh
ditunda karena menunggu konfirmasi hasil pemeriksaan laboratorium atas
tirotoksikosis. Kecurigaan  akan terjadinya krisis tiroid harus diketahui dengan
jelas oleh perawat. Kecurigaan akan terjadinya krisis tiroid terdapat dalam triad
1). Menghebatnya tanda tirotoksikosis 2). Kesadaran menurun 3). Hipertermi.
Apabila terdapat tiroid maka dapat meneruskan dengan menggunakan skor indeks
klinis kritis tiroid dari Burch – Wartofsky. Skor menekankan 3 gejala pokok
hipertermia, takikardi dan disfungsi susunan saraf.

H. Komplikasi
Komplikasi dapat ditimbulkan dari tindakan bedah, yaitu antara lain
hipoparatiroidisme, kerusakan nervus laringeus rekurens, hipotiroidisme pada
tiroidektomi subtotal atau terapi RAI, gangguan visual atai diplopia akibat
oftalmopati berat, miksedema pretibial yang terlokalisir, gagal jantung dengan
curah jantung yang tinggi, pengurangan massa otot dan kelemahan otot
proksimal.1 Hipoglikemia dan asidosis laktat adalah komplikasi krisis tiroid yang
jarang terjadi. Sebuah kasus seorang wanita Jepang berusia 50 tahun yang
mengalami henti jantung satu jam setelah masuk rumah sakit dilakukan
pemeriksaan sampel darah sebelumnya. Hal yang mengejutkan adalah kadar
plasma glukosa mencapai 14 mg/dL dan kadar asam laktat meningkat hingga
6,238 mM. Dengan demikian, jika krisis tiroid yang atipik menunjukkan keadaan
normotermi hipoglikemik dan asidosis laktat, perlu dipertimbangkan untuk
menegakkan diagnosis krisis tiroid lebih dini karena kondisi ini memerlukan
penanganan kegawatdaruratan. Penting pula untuk menerapkan prinsip-prinsip
standar dalam penanganan kasus krisis tiroid yang atipik.

I. Pencegahan
Pencegahan dilakukan dengan melakukan terapi tirotoksikosis yang ketat
setelah diagnosis ditegakkan. Operasi dilakukan pada pasien tirotoksik hanya
setelah dilakukan blokade hormon tiroid dan/atau beta-adrenergik. Krisis tiroid
setelah terapi RAI untuk hipertiroidisme terjadi akibat: 1) penghentian obat anti-
tiroid (biasanya dihentikan 5-7 hari sebelum pemberian RAI dan ditahan hingga
5-7 hari setelahnya); 2) pelepasan sejumlah besar hormon tiroid dari folikel yang
rusak; dan 3) efek dari RAI itu sendiri. Karena kadar hormon tiroid seringkali
lebih tinggi sebelum terapi RAI daripada setelahnya, banyak para ahli
endokrinologi meyakini bahwa penghentian obat anti-tiroid merupakan penyebab
utama krisis tiroid. Satu pilihannya adalah menghentikan obat anti-tiroid
(termasuk metimazol) hanya 3 hari sebelum dilakukan terapi RAI dan memulai
kembali obat dalam 3 hari setelahnya. Pemberian kembali obat anti-tiroid yang
lebih dini setelah terapi RAI dapat menurunkan efikasi terapi sehingga
memerlukan dosis kedua. Perlu pula dipertimbangkan pemeriksaan fungsi tiroid
sebelum prosedur operatif dilakukan pada pasien yang berisiko mengalami
hipertiroidisme (contohnya, pasien dengan sindroma McCune-Albright).
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Tanda dan gejala krisis tiroid adalah bervariasi dan nonspesifik. Tanda klinik
yang dapat dilihat dari peningkatan metabolism adalah demam, takikardi,
tremor, delirium, stupor, coma, dan hiperpireksia.
1. B1 (Breathing)
Peningkatan respirasi dapat diakibatkan oleh peningkatan kebutuhan
oksigen sebagai bentuk kompensasi peningkatan laju metabolisme yang
ditandai dengan takipnea.
2. B2 (Blood)
Peningkatan metabolisme menstimulasi produksi katekolamin yang
mengakibatkan peningkatan kontraktilitas jantung, denyut nadi dan
cardiac output. Ini mengakibatkan peningkatan pemakaian oksigen dan
nutrisi. Peningkatan produksi panas membuat dilatasi pembuluh darah
sehingga pada pasien didapatkan palpitasi, takikardia, dan peningkatan
tekanan darah. Pada auskultasi jantung terdengar mur-mur sistolik pada
area pulmonal dan aorta. Dan dapat terjadi disritmia,atrial fibrilasi,dan
atrial flutter. Serta krisis tiroid dapat menyebabkan angina pectoris dan
gagal jantung.
3. B3 (Brain)
Peningkatan metabolisme di serebral mengakibatkan pasien menjadi
iritabel, penurunan perhatian, agitasi, takut. Pasien juga dapat mengalami
delirium, kejang, stupor, apatis, depresi dan bisa menyebabkan koma.
4. B4 (Bladder)
Perubahan pola berkemih ( poliuria, nocturia).
5. B5 (Bowel)
Peningkatan metabolisme dan degradasi lemak dapat mengakibatkan
kehilangan berat badan. Krisis tiroid juga dapat meningkatkan
peningkatan motilitas usus sehingga pasien dapat mengalami diare, nyeri
perut, mual, dan muntah.
6. B6 (Bone)
Degradasi protein dalam musculoskeletal menyebabkan kelelahan,
kelemahan, dan kehilangan berat badan.
B. Diagnosis Keperawatan dan Perencanaan
DIAGNOSI PERENCANAAN
S TUJUAN INTERVENSI RASIONAL
NO
KEPERAW
ATAN
1 Defisit Setelah diberi asuhan 1. Kaji status volume 1. Takikardia, dispnea, atau
volume keperawatan, cairan cairan (TD, suhu, hipotensi dapat
cairan tubuh seimbang bunyi jantung) tiap 1 mengindikasikan kekurangan
berhubunga dengan kriteria: jam volume cairan

n dengan a. Tanda-tanda vital 2. Kaji turgor kulit dan 2. Turgor kulit tidak elastis dan
tetap stabil (TD membrane mukosa dan membran mukosa kering
status
100-120/60-90 mulut setiap 8 jam dapat menjadi gejala kurang
hipermetabo
lik mmHg, N: 60- 3. Ukur asupan dan cairan.

100x/menit, R” haluaran setiap 1 3. Haluaran urin yang rendah


sampai 4 jam. Catat mengindikasikan hipovolemi.
16-22x/menit, S:
dan laporkan 4. Cairan intravena yang cukup
36-37,5 OC)
perubahan yang dapat menormalkan
b. Warna kulit dan
signifikan termasuk dekompensasi homeostasis
suhu dalam batas
urine. 5. Nilai elektrolit abnormal
normal
4. Berikan cairan IV dapat menjadi tanda
c. Balance cairan sesuai instruksi. kekurangan cairan dan
seimbang 5. Kaji semua data elektrolit
d. Turgor kulit laboratorium, 6. Beta adrenergik dapat
elastis dan laporkan nilai menurunkan gejala yang
membrane elektrolit abnormal dimediasi katekolamin
mukosa lembab 6. Berikan beta sehingga memulihkan fungsi
adrenergik sesuai jantung
instruksi
2 Hipertermia Setelah diberi asuhan 1. Pantau Tanda Vital 1. Menilai peningkatan dan
berhubunga keperawatan, tidak (Suhu ) Tiap 1 jam penurunan suhu tubuh
n dengan terjadi hipertermi 2. Anjurkan banyak 2. Hidrasi yang cukup dapat
status dengan kriteria: minum bila tidak ada menurunkan suhu tubuh
hipermetabo a. Suhu dalam batas kontraindikasi 3. Kompres hangat
normal 36-
lik 3. Beri kompres hangat mendilatasi pembuluh darah
37,5OC 4. Gunakan pakaian tipis sehingga mengurangi panas
b. Tidak ada dan menyerap 4. Pakaian tipis dan menyerap
konvulsi keringat keringat menurunkan
c. kulit tidak 5. Pertahankan cairan metabolisme sehingga
memerah intravena sesuai menurunkan panas
d. tidak ada
progam 5. Cairan intravena memenuhi
takikardi
6. Berikan antipiretik kebutuhan cairan sehingga
sesuai program menurunkan panas
6. Antipiretik menghambat
produksi prostaglandin di
hipotalamus anterior
sehingga menurunkan suhu
3 Perubahan Setelah diberi asuhan 1. Kaji status neurologi 1. Menskrining perubahan
perfusi keperawatan, perfusi tiap jam tingkat kesadaran dan status
jaringan jaringan serebral 2. Lakukan tindakan neurologis
serebral efektif, dengan pencegahan terhadap 2. Kejang merupakan tanda

berhubunga kriteria: kejang perburukan terhadap


a. Tingkat 3. Kaji adanya perubahan status neurologi
n dengan
kesadaran kelemahan, patensi 3. Ketidakpatenan jalan nafas,
hipertiroidis
meningkat (GCS: jalan napas, kelemahan, bisa terjadi
me
E:4, M:6, V:5) keamanan, jika karena peningkatan status
b. Klien tidak tingkat kesadaran neurologi
mengalami pasien menurun 4. Cedera rawan terjadi pada
cedera 4. Lakukan tindakan pasien dengan perubahan
c. Jalan napas paten pengamanan untuk status neurulogi
mencegah cedera
4 Penurunan Setelah diberi asuhan 1. Pantau tekanan darah 1. Hipotensi umum atau
curah keperawatan, tidak tiap jam ortostatik dapat terjadi
jantung terjadi penurunan 2. Periksa kemungkinan sebagai akibat dari
berhubunga curah jantung, dengan adanya nyeri dada vasodilatasi perifer yang

n dengan kriteria: atau angina yang berlebihan dan penurunan


a. Nadi perifer dikeluhkan pasien. volume sirkulasi
gagal
dapat teraba 3. Auskultasi suara 2. Merupakan tanda adanya
jantung,
normal (60- nafas. Perhatikan peningkatan kebutuhan
status 100x/menit, kuat) adanya suara yang oksigen oleh otot jantung
hipermetabo b. TD:100-120/80- tidak normal (seperti atau iskemia.
lik 90x.menit, RR: krekels) 3. S1 dan murmur yang
16-20x/menit, 4. Observasi tanda dan menonjol berhubungan
S:36-37,50C gejala haus yang dengan curah jantung
c. Capilary reffil <2 hebat, mukosa meningkat pada keadaan
detik membran kering, nadi hipermetabolik
d. Status mental lemah, penurunan 4. Dehidrasi yang cepat dapat
baik produksi urine dan terjadi yang akan
e. Palpitasi hipotensi,pengisian menurunkan volume
berkurang kapiler lambat sirkulasi dan menurunkan
5. Kolaborasi : berikan curah jantung
obat sesuai dengan 5. Diberikan untuk
indikasi : Penyekat mengendalikan pengaruh
beta seperti: tirotoksikosis terhadap
propranolol, atenolol, takikardi, tremor dan gugup
nadolol serta obat pilihan pertama
pada krisis tiroid akut.
Menurunkan frekuensi/
kerja jantung oleh daerah
reseptor penyekat beta
adrenergic dan konversi
dari T3 dan T4.
DAFTAR PUSTAKA

Bakta, I.M. dan Suastika, I.K. 2002. Gawat Darurat di Bidang Penyakit Dalam.
Jakarta: EGC.

Chang, E. dkk. 2010. Patofisiologi Aplikasi pada Praktik Keperawatan. Jakarta:


EGC

Guyton, Arthur C. & John E. Hall. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 9.
Editor: Irawati Setiawan. Jakarta :EGC.

Hariawan, Hamdan. 2013 . Askep Krisis Tiroid. http://hamdan-hariawan-


fkp13.web.unair.ac.id/artikel_detail-88249-askep%20endokrin-askep
%20krisis%20tiroid.html. Diunduh tanggal 26 Februari 2017.

Hudak dan Gallo. 2010. Keperawatan Kritis. Jakarta: EGC.

Price Sylvia, A.2008. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jilid


2. Edisi 4. Jakarta: EGC.

Nanda International. 2015. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC.

Rumahorbo, H. 2010. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem


Endokrin. Jakarta: EGC.

Sudoyo. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Edisi IV. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai