Disusun oleh :
ASRI HARTATI
(0432950921018)
2. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi hipertiroid dibagi menjadi hipertiroid primer apabila kelainan
terjadi di kelenjar tiroid dan hipertiroid sekunder apabila letak kelainan di luar kelenjar
tiroid. Hormon tiroid di dalam tubuh beredar dalam dua bentuk yaitu triiodothyronine (T3)
dan thyroxine (T4). Adapun bentuk bebas dari keduanya masing-masing adalah FT3 dan
FT4. Sedangkan TSH sendiri adalah hormon yang berperan dalam menstimulasi produksi
dari T3 dan T4 tersebut. Sehingga interpretasi dari pemeriksaan nilai FT4 dan TSH adalah:
a. Jika TSH tinggi (diatas nilai normal) namun FT 4 rendah, maka dicurigai adanya kondisi
hipotiroid primer (gangguan di kelenjar tiroidnya)
b. Jika TSH rendah dan FT4 rendah, maka di curgai adanya kondisi hipotiroid sekunder
(gangguan di kelenjar hipofisis atau bukan di kelenjar tiroid)
c. Jika TSH rendah namun FT4 tinggi, maka di curigai adanya kondisi hipertiroid primer
(ada gangguan di kelenjar tiroid)
d. Jika TSH tinggi dan FT4 tinggi, maka dicurgai adanya kondisi hipertiroid sekunder
(adanya gangguan di kelenjar hipofisi atau bukan di kelenjar tiroid)
3. Etiologi
Radang pada kelenjar tiroid juga dapat menyebabkan hipotiroidisme, seperti
pada penyakit Hashimoto tiroiditis. Penyebab lain dapat berupa (Moreno & Visser, 2010) :
a. Radiasi yang digunakan untuk menangani beberapa jenis kanker
b. Mutasi gen dengan ekspresi berupa tiroperoksidase, sebuah enzim pengikat heme yang
terdapat pada membran tirosit.
c. Mutasi gen DEHAL1 dengan ekspresi berupa iodotirosina deiodinase, sebuah enzim
yang mengambil molekul iodina dari residu senyawa iodotirosina guna keperluan
biosintesis hormon oleh kelenjar tiroid.
d. Mutasi gen THOX2 dengan ekspresi berupa tiroid oksidase-2.
e. Tingginya rasio plasma selenium, senyawa yang menghambat aktivitas enzim
iodotironina deiodinase.
f. Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormone tiroid merupakan faktor
penyebab terjadinya pembesaran kelenjar tiroid
a. Defisiensi Iodium
Terjadinya diagnosa struma paling banyak disebabkan karena kurangnya kadar yodium
di dalam tubuh.
b. Kelainan metabolic kongenital yang menghambat sintesa hormone tiroid.
c. Penghambatan sintesa hormone oleh zat kimia
4. Patofisiologi
Hipertiroid terjadi sangat bervariasi tergantung dari penyebab dan lamanya terjadi.
Pertama bila terjadi hiperplasia epitel folikuler yang berbentuk sama sehingga terjadi
peningkatan masa kelenjar tiroid. Bila kelainan ini menetap, arsitektur tiroid hilang
bersamaan bentuknya, kemudian berkembang di area-area involusi dan fibrosis diantara
area-area fokal yang hiperplasia. Proses ini mengakibatkan nodul multipel (goiter
multinoduler). Dengan pemeriksaan skintigrafi, beberapa nodul dapat merupakan ”hot
nodule” dengan uptake isotop tinggi, atau ”cold nodule”, uptake isotop rendah dibandingkan
dengan jaringan tiroid normal. Perkembangan nodul berhubungan dengan berkembangnya
fungsi autonom 15 dan berkurangnya kadar TSH. Secara klinis, perjalanan penyakit goiter
non toksik terus berkembang, produksi nodul dan fungsi autonom, pada sebagian kecil
pasien dapat terjadi tirotoksikosis.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3,
ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500
gram. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-
angsur, dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita
dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian
struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian depan, sebagian
lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. (Aruji, 2019)
Pathway Hipertiroid :
Defisiensi Yodium
HIPERTIROID
BMR meningkat
Hipermetabolisme
Kalsitonin
Bronkus mengecil Simpatomimetik Vasokontriksi Peristaltik usus
6. Penatalaksanaan
Pasien dengan kecurigaan kelainan hormon tiroid harus dirujuk untuk pemeriksaan dan
dan terapi. Pasien perlu dijelaskan alasan rujukan adalah untuk diagnosis dan kemungkinan
terapi yang akan diberikan. Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan dokter spesialis
penyakit dalam atau konsultan endokrin metabolik bila ada. Rujukan pada spesialisasi lain
diperlukan tergantung gejala dan tanda yang muncul. Pasien harus diberitahu bahwa ada
beberapa modalitas terapi tirotoksikosis. Terapi yang diberikan menyesuaikan keadaan
pasien dan fasilitas yang tersedia.Terapi farmakologis meliputi:
a. Obat antitiroid
Propiltiourasil (PTU) diberikan dengan dosis awal 300-600mg/hari, dosis maksimal
2.000mg/hari dan etimazol dosis awal 20-40mg/hari. Indikasi pemberian antitiroid adalah
mendapatkan remisi yang menetap atau meperpanjang remisi pada pasien muda dengan
struma ringan-sedang dan tirotoksikosis, mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum
atau sesudah pengobatan iodium radioaktif, persiapan tiroidektomi, pasien hamil dan
lanjut usia, dan pasien dengan krisis tiroid.
b. Penyekat adrenergik beta pada awal terapi diberikan propranolol 40-200mg dalam 2-3
dosis. Fase ini dilakukan sambil menunggu pasien menjadi eutiroid setelah pemberian
antitiroid selama 6-12 minggu. Pasien dievaluasi setelah 4-6 minggu setelah pemberian
antitiroid. Setelah keadaan eutorid tercapai, pemantauan dilakukan setiap 3-6 bulan sekali.
Pemantauan dilakukan dengan melihat tanda klinis, serta pemeriksaan kadar FT4 dan
TSH dalam darah. Antitiroid dikurangi bertahap dan dipertahankan pada dosis terkecil
selama 12-24 bulan, lalu pengobatan dihentikan. Pasien dikatakan mengalami remisi
apabila setelah 1 tahun penghentian antitiroid, pasien masih dalam keadaan eutiroid.
Setelah fase ini, pasien masih mungkin mengalami keadaan hipertiroid kembali.
c. Indikasi Terapi Pembedahan
Beberapa pasien diindikasikan untuk dilakukan pembedahan. Indikasi pembedahan pada
pasien tirotoksikosis adalah:
1. Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak ada respons dengan pengobatan
antitiroid
2. Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat antitiroid dosis tinggi
3. Pasien dengan alergi terhadap obat antitiroid dan tidak dapat menerima terapi iodium
radioaktif
4. Pasien dengan adenoma toksik atau struma multinodosa toksik
5. Pasien dengan Penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
d. Indikasi terapi iodium radioaktif
Beberapa pasien dipertimbangkan lebih baik menerima terapi radioiodine. Pasien yang
termasuk indikasi pemberian radioiodine adalah:
1. Pasien berusia >35 tahun
2. Pasien dengan hipertiroidisme yang kambuh setelah terapi pembedahan
3. Pasien yang gagal mencapai remisi setelah pemberian antitiroid
4. Pasien yang tidak mampu atau tidak mau mendapat terapi obat antitiroid
5. Pasien dengan adenoma toksis atau struma multinodosa toksik.
7. Pemeriksaan Fisik
Fokus pengkajian:
a. Keadaan umum : lemah, keletihan, tidak tahan hawa panas, hiperkinesis, BB turun,
b. Gastrointestinal : hiperdefekasi, lapar, makan banyak, haus, muntah, disfagia,
splenomegaly
c. Muskular : rasa lemah
d. Genitourinaria : Oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil, ginekomasti
e. Kulit : Rambut rontok, berkeringat, kulit basah, silky hair,dan onikolisis
f. Psikis, saraf dan jantung : Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervositas, paralisis
periodik, dispneu, hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung
g. Darah dan sistem limfatik : Limfositosis, anemia, splenomegali, leher membesar
h. Mukuloskeleletal : Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang
8. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara testes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin
serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar
tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur
dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai
indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan
berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini
dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid.
Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan
kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
b. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat
trakea (jalan nafas).
c. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar
TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul
yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang
dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
d. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m
dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian
berbaring di bawah suatu kamera 12 canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
e. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.
meningkat)
meningkat
1000 ml
menurun.
iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi
2. Analisa Data
sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang timbul dan untuk selanjutnya
berikut :
pernapasan)
kontraktilitas
4. Intervensi
Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan asuhan SIKI : Pemantauan Respirasi
Penyebab : keperawatan selama ….x…. jam 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
Depresi pusat pernapasan diharapkan pola nafas pasien efektif upaya napas
Hambatan upaya napas dengan kriteria hasil: 2. Monitor pola napas
Deformitas dinding dada Ventilasi semenit 3. Monitor kemempuan batuk efektif
Deformitas tulang dada Kapasitas vital 4. Monitor produksi sputum
Gangguan neuromuscular Diameter thorak anterior posterior 5. Monitor sumbatan jalan napas
Tekanan ekspirasi 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
Gangguan neurologis
Tekanan inspirasi 7. Auskultasi bunyi napas
Imaturitas neurologis
8. Monitor saturasi oksigen
Penurunan energy Tidak Dyspnea
9. Monitor nilai AGD
Obesitas Penggunaan otot bantu napas
10. Monitor foto thorax
Posisi tubuh menghambat ekspansi paru Pemanjangan fase ekspirasi
11. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
Sindrom hipoventilasi Tidak Ortopnea
kondisi pasien
Kerusakan inervasi diafragma Pernapasan pursed lip 12. Dokumentasikan hasil pemantauan
Cedera pada medulla spinalis Pernapasan cuping hidung 13. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
Efek agen farmakologi Frekuensi napas normal 14. Informasikan hasil pemantauan
Kecemasan Kedalaman napas normal
Ekskursi dada
Gejala mayor
Subjektif : dyspnea
Objektif
Penggunaan otot bantu pernapasan
Fase ekspirasi memanjang
Pola napas abnormal
Gejala minor
Subjektif : ortopnea
Objektif
Pernapasan pursed lip
Pernapasan cuping hidung
Diameter thorak anterior posterior
meningkat
Ventilasi semenit menurun
Kapasitas vital menurun
Tekanan ekspirasi menurun
Tekanan inspirasi menurun
Ekskursi dad berubah
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi
Penyebab : selama …. X…. jam, maka bersihan jalan Orientasi
Ketidak seimbangan antara suplai dan nafas meningkat dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
kebutuhan oksigen Toleransi Terhadap Aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
Tirah baring merupakan suatu respon fisiologis 3. Monitor pola dan jam tidur
Kelemahan tubuh terhadap adanya pergerakan 4. Monitor lokasi dan ketidknyamanan selama
Imobilitas yang memerlukan energi dalam melakukan aktivitas
Gaya hidup monoton aktivitas sehari-hari Terapeutik
Gejala dan Tanda Mayor Saturasi oksien ketika beraktivitas 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
Subjektif : (skala 5; tidak terganggu) stimulus
Mengeluh lelah Frekuensi pernafasan ketika 2. Lakukan latihan gerak pasif atau aktif
Objektif beraktivitas (skala 5; tidak 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
Frekuensi jantung meningkat >20% terganggu) Edukasi
dari kondisi istirahat Kemudahan bernafas ketika 1 Anjurkan tirah baring
beraktivitas (skala 5; tidak 2 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Gejala dan Tanda Minor terganggu) 3 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
Subjektif : Warna kulit (skala 5; tidak terganggu gejala kelelahan tidak berkurang Ajarkan
Dispenua saat atau setelah beraktivitas Kecepatan berjalan (skala 4; sedikit strategi koping untuk mengurangi kelelahan
Merasa tidak nyaman setelah aktivitas terganggu)
Merasa lelah Manajemen medikasi
Jarak berjalan (skala 4; sedikit
Objektif : Orientasi
terganggu)
1 Identifikasi penggunaan obat
Tekanan darah berubah >20% dari Kekuatan tubuh bagian atas (skala 5;
2 Identifikasi pengetahuan dan kemampuan
kondisi istirahat tidak terganggu)
Gambaran EKG menunjukkan aritma Kekuatan tubuh bagian bawah (skala menjalani pengobatan
saat atau setelah aktivitas 5; tidak terganggu) 3 Monitor kepatuhan menjalani program
Gambaran EKG menunjukkan iskemia pengobatan
Sianosis Terapeutik
Kondisi klinis terkait : Sediakan informasi program pengobatan secara
Anemia visul dan tertulis
Gagal jantung kongestif Edukasi
1 Ajarkan pasien dan keluarga cara mengelola
Penyakit jantung koroner
obat (dosis, penyimpanan, rute, dan waktu
Penyakit katup jantung
pemberian)
Aritmia
2 Anjurkan menghubungi petugas kesehatan jika
PPOK
terjadi efek samping obat
Gangguan metabolik
Gangguan muskuloskeletal Pemantauan tanda vital
Observasi
1 Monitor tekanan darah
2 Monitor nadi (frekuensi, kekuatan, irama)
3 Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman)
4 Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Defisit nutrisi Setelah dilakukan asuhan keperawatan SIKI
Penyebab : selama …..x…. jam diharapkan nutrisi Pemberian makanan parenteral
Ketidakmampuan menelan makanan membaik dengan criteria hasil : 1. Identifikasi terapi yang diberikan sesuai untuk
Ketidakmampuan mencerna makanan Berat badan Indeks Massa Tubuh usia, kondisi, dosis, kecepatan, dan rute
Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien (IMT) membaik 2. Monitor tanda inflamasi, flebitis, dan
Tebal lipatan kulit trisep membaik thrombosis
Peningkatan kebutuhan metabolisme
3. Monitor nilai laboratorium (mis. BUN,
Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak
kreatinin, gula darah, elektrolit, faat, hepar)
mencukupi) 4. Monitor berat badan
Faktor psikologis (mis. Stres, keenggann 5. Monitor produksi urine
untuk makan) 6. Monitor jumlah cairan yang masuk dan keluar
7. Berikan label pada wadah makanan parenteral
Gejala dan tanda mayor : dengan tanggal, waktu dan inisial perawat
Subjektif : - 8. Pastikan alarm infus dihidupkan dan berfungsi,
Objektif : jika tersedia
Berat badan menurun minimal 10% 9. Hindari pengambilan sampel darah dan
Dibawah rentang ideal pemberian obat pada selang nutrisi parenteral
Gejala dan tanda minor : Pemberian makanan enteral
Subjektif : 1. Gunakan teknik bersih dalam pemberian
Cepat kenyang setelah makan makanan via selang
Kram/nyeri abdomen 2. Berikan tanda pada selang untuk
Nafsu makan menurun mempertahankan lokasi yang tepat
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat
Objektif : selama pemberian makan
Bising usus hiperaktif 4. Ukur residu sebelum pemberian makan
Otot pengunyah lemah 5. Peluk dan bicara dengan bayi selama diberikan
Otot menelan lemah makanan untuk menstimulasi aktivitas makan
Membran mukosa pucat
6. Irigasi selang dengan 30 ml air setiap 4-6 am
selama pemberian makan dan setelah pemberian
Sariawan
makan intermiten
Serum albumin turun 7. Hindari pemberian makanan lewat selang 1 jam
Rambut rontok berlebihan sebelum prosedur atau pemindahan pasien
Diare 8. Hindari pemberian makanan jika residu lebih
dari 150cc atau lebih dari 110%-120% dari
Kondisi Klinis Terkait : jumlah makanan tiap jam
Stroke Pemantauan nutrisi :
Parkinson 1. Timbang berat badan
Mobius syndrome 2. Ukur antroprometrik komposisi tubuh (mis.
Indeks massa tubuh, pengukuran pinggang,
Cerebral palsy dan ukuran lipatan kulit)
Cleft lift 3. Hitung perubahan berat badan
Cleft palate 4. Dokumentasikan hasil pemantauan
Amvotropic lateral sclerosis
Referensi :
Luka bakar
Kanker
Infeksi
AIDS
Penyakit Crohn’s
Enterokolitis Fibrosis kistik
Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)
Penyebab selama …..x…. jam mobilitas membaik 1. Observasi
Kerusakan integritas struktur tulang dengan criteria hasil : Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
Perubahan metabolisme Utama : Mobilitas fisik fisik lainnya
Ketidakbugaran fisik Identifikasi toleransi fisik melakukan
Tambahan :
Penurunan kendali otot ambulasi
Penurunan massa otot Berat badan Monitor frekuensi jantung dan tekanan
Objektif
Sendi kaku
Gerakan tidak terkoordinasi
Gerakan terbatas
Fisik lemah
Risiko Penurunan Curah Jantung Pompa Jantung efektif (0400) A. PERAWATAN JANTUNG (I.02075)
Faktor Risiko : Status sirkulasi (0401) 1. Observasi
Perubahan afterload. Setelah dilakukan intervensi keperawatan Identifikasi tanda/gejala primer
Perubahan frekuensi jantung. selama ……….. klien dapat mencapai Penurunan curah jantung (meliputi
Perubahan irama jantung. pompa jantung efektif dan status sirkulasi dispenea, kelelahan, adema ortopnea
Perubahan kontraktilitas. dengan kriteria hasil: paroxysmal nocturnal dyspenea,
Perubahan preload. HR klien dalam kisaran : 0– 3 bln : peningkatan CPV)
85 -200 x/mt 3 bl-2 th : 100–190x/mt Identifikasi tanda /gejala sekunder
Kondisi Klinis Terkait. 2 th-10 th : 60-140 x/mt penurunan curah jantung (meliputi
Respirasi Rate klien dalam kisaran: peningkatan berat badan, hepatomegali
Gagal jantung kongestif
< 1 th 30 -40x/ mt 2 th - 5 th 20-30 ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
Sindrom koroner akut.
x/mt 5 th-12 th 15 -20 x/mt > 12 th basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
Gangguan katup jantung (stenosis /
12 –16 x/mt Cardiac index normal Monitor tekanan darah (termasuk tekanan
regirgitasi aorta, pulmonalis, trikuspidalis,
Toleransi aktifitas normal darah ortostatik, jika perlu)
atau mitralis).
Ukuran jantung normal Monitor intake dan output cairan
Atrial / ventricular septal defect.
Warna kulit normal Monitor berat badan setiap hari pada
Aritmia. waktu yang sama
Tidak terjadi disritmia
Monitor saturasi oksigen
Tidak ada suara jantung yang
Monitor keluhan nyeri dada (mis.
abnormal Tidak terdapat angina
Intensitas, lokasi, radiasi, durasi,
Tidak terdapat edema perifer, edema
presivitasi yang mengurangi nyeri)
pulmo
Monitor EKG 12 sadapoan
Tidak terdapat mual
Monitor aritmia (kelainan irama dan
frekwensi)
Monitor nilai laboratorium jantung (mis.
Elektrolit, enzim jantung, BNP, Ntpro-
BNP)
Monitor fungsi alat pacu jantung
Periksa tekanan darah dan frekwensi
nadisebelum dan sesudah aktifitas
Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi
sebelum pemberian obat (mis.
Betablocker, ACEinhibitor, calcium
channel blocker, digoksin)
2. Terapeutik
Posisikan pasien semi-fowler atau fowler
dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
Berikan diet jantung yang sesuai (mis.
Batasi asupan kafein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi lemak)
Gunakan stocking elastis atau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
Fasilitasi pasien dan keluarga untuk
modifikasi hidup sehat
Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stres, jika perlu
Berikan dukungan emosional dan
spiritual
Berikan oksigen untuk memepertahankan
saturasi oksigen >94%
3. Edukasi
Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
Anjurkan berhenti merokok
Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
berat badan harian
Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
intake dan output cairan harian
4. Kolaborasi
Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu
Rujuk ke program rehabilitasi jantung
B. PERAWATAN JANTUNG AKUT :
AKUT( I.02076)
1. Observasi
Identifikasi karakteristik nyeri dada
(meliputi faktor pemicu dan dan pereda,
kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan
frekuensi)
Monitor EKG 12 sadapan untuk
perubahan ST dan T
Monitor Aritmia( kelainan irama dan
frekuensi)
Monitor elektrolit yang dapat
meningkatkan resiko aritmia( mis.
kalium, magnesium serum)
Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-
MB, Troponin T, Troponin I)
Monitor saturasi oksigen
Identifikasi stratifikasi pada sindrom
koroner akut(mis. Skor TIMI, Killip,
Crusade)
2. Terapiutik
Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
Pasang akses intravena
Puasakan hingga bebas nyeri
Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi ansietas dan stres
Sediakan lingkungan yang kondusif
untuk beristirahat dan pemulihan
Siapkan menjalani intervensi koroner
perkutan, jika perlu
Berikan dukungan spiritual dan
emosional
3. Edukasi
Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
Anjurkan menghindari manuver Valsava
(mis. Mengedan sat BAB atau batuk)
Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
Ajarkan teknik menurunkan kecemasan
dan ketakutan
4. Kolbaorasi
Kolaborasi pemberian antiplatelat, jika
perlu
Kolaborasi pemberian antiangina(mis.
Nitrogliserin, beta blocker, calcium
channel bloker)
Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
Kolaborasi pemberian inotropik, jika
perlu
Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah manuver Valsava (mis.,
pelunak, tinja, antiemetik)
Kolaborasi pemberian trombus dengan
antikoagulan, jika perlu
Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada , jika
perlu
5. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan yang telah dilakukan dan diselesaikan. Implementasi diterapkan berdasarkan
intervensi yang telah disusun (Hardi & Huda, 2015).
6. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses keperawatan untuk mengukur respon pasien terhadap
kefektifan pemberian tindakan keperawatan dan kemajuan pasien terhadap tercapainya tujuan
yang telah disusun. Evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi formatif dan sumatif
(Hardi & Huda, 2015).
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, hambatan upaya
napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan) teratasi sesuai dengan
kriteria hasil yang diharapkan
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, imobilitas teratasi sesuai dengan
kriteria hasil yang diharapkan
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan etidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan
mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, peningktan kebutuhan
metabolisme teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan
4. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kelemahan otot, ketidakbugaran
fisik, gangguan neuroskeletal teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan
5. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload, Perubahan
frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan kontraktilitas teratasi sesuai
dengan kriteria hasil yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA
Aruji, 2019. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Post Operative Tiroidektomi Pada Nn. L
dengan Struma Nodusa Non Toxic di Ruang H2 RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya.
Repository STIKes Hang Tuah Surabaya2, pp. 1-70.
Dermawan, D. & Rahayuningsih, T., 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Dinoyo & Mulyanti, S., 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Hardi, K., & Huda Amin, N, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan. Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc (2nd ed.). Yogyakarta: Mediaction.
Moreno, J. C. & Visser, T. J., 2010. Genetics and Phenomics of Hypothyroidism and Goiter Due
to Iodotyrosine Deiodinase (DEHAL1) Gene Mutations. PubMed.
Nurhayati, N., 2015. Perawat Nunung Nurhayati, Jakarta: s.n.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta : PPNI
_______, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta : PPNI