Anda di halaman 1dari 24

LAPORAN PENDAHULUAN PROFESI NERS

STASE KEPERAWATAN DASAR MEDICAL BEDAH

Disusun oleh :

ASRI HARTATI
(0432950921018)

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANI SALEH
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIPERTIROID

A. Konsep Dasar Penyakit Hipertiroid


1. Definisi
Hipertiroidisme merupakan penyakit metabolik dimana terjadi peningkatan hormon
tiroid lebih dari yang dibutuhkan tubuh. Tirotoksikosis merupakan istilah yang digunakan
dalam manifestasi klinis yang terjadi ketika jaringan tubuh distimulasi oleh peningkatan
hormon tiroid (Nurhayati, 2015)
Hipertiroid adalah gangguan yang terjadi ketika kelenjar tiroid memproduksi hormon
tiroid lebih dari yang dibutuhkan tubuh. Hal ini kadang-kadang disebut tirotoksikosis, istilah
untuk hormon tiroid terlalu banyak dalam darah. Kondisi ini menyebabkan beberapa
perubahan baik secara mental maupun fisik seseorang, yang disebut dengan thyrotoxicosis
(Dermawan & Rahayuningsih, 2010)
Jadi dapat disimpulkan bahwa hipertiroid adalah keadaan kelenjar tiroid yang hiperaktif
sehingga memproduksi hormon tiroid yang berlebihan, hal tersebut akan menimbulkan
tingginya kadar hormon tiroid dalam darah sehingga memengaruhi metabolism tubuh dan
menimbulkan beberapa gejala klinis pada tubuh yang disebut tirotoksikosis.

2. Klasifikasi
Berdasarkan letak anatomi hipertiroid dibagi menjadi hipertiroid primer apabila kelainan
terjadi di kelenjar tiroid dan hipertiroid sekunder apabila letak kelainan di luar kelenjar
tiroid. Hormon tiroid di dalam tubuh beredar dalam dua bentuk yaitu triiodothyronine  (T3)
dan thyroxine (T4). Adapun bentuk bebas dari keduanya masing-masing adalah FT3 dan
FT4. Sedangkan TSH sendiri adalah hormon yang berperan dalam menstimulasi produksi
dari T3 dan T4 tersebut. Sehingga interpretasi dari pemeriksaan nilai FT4 dan TSH adalah:
a. Jika TSH tinggi (diatas nilai normal) namun FT 4 rendah, maka dicurigai adanya kondisi
hipotiroid primer (gangguan di kelenjar tiroidnya)
b. Jika TSH rendah dan FT4 rendah, maka di curgai adanya kondisi hipotiroid sekunder
(gangguan di kelenjar hipofisis atau bukan di kelenjar tiroid)
c. Jika TSH rendah namun FT4 tinggi, maka di curigai adanya kondisi hipertiroid primer
(ada gangguan di kelenjar tiroid)
d.  Jika TSH tinggi dan FT4 tinggi, maka dicurgai adanya kondisi hipertiroid sekunder
(adanya gangguan di kelenjar hipofisi atau bukan di kelenjar tiroid)

Terdapat tiga tipe hipertiroidisme yang sering dijumpai, yaitu :


a. Penyakit Graves
Penyakit ini merupakan penyebab hipertiroidisme yang paling sering ditemukan. Karena
hiperfungsi kelenjar ini berasal dari seluruh bagian kelenjar maka bentuk gondok
umumnya rata. Biasanya terjadi pada usia sekitar 30-40 tahun dan lebih sering ditemukan
pada perempuan daripada laki-laki. Terdapat predisposisi familial terhadap penyakit ini
dan sering berkaitan dengan bentuk-bentuk endokrinopati autoimun lainnya. Dalam
serum pasien ditemukan antibodi IgG, antibodi ini bereaksi dengan reseptor TSH atau
membran plasma tiroid.Terdapat dua gambaran utama yaitu tiroidal dan ekstratiroidal.
Gambaran tiroidal berupa Goiter akibat hiperplasia kelenjar tiroid dan hipertiroidisme
akibat sekresi hormon tiroid yang berlebihan, sedangkan gambaran ekstratiroidal berupa
oftalmopati dan infiltrasi kulit lokal yang biasanya terbatas pada tungkai bawah.
b. Nodul otonom toksik (Plummer)
Kasus ini disebabkan karena adanya satu daerah kelenjar tiroid tertentu yang membesar,
fungsinya hiperaktif dalam membuat hormon yang tidak seperti biasanya,sama sekali
diluar kelenjar hipofisis. Nodul ini bersifat otonom. Penyakit ini tidak disertai gejala mata
yang menonjol.
c. Goiter Multinodular Toksik (GMT)
Paling sering ditemukan pada pasien lanjut usia sebagai komplikasi goiter nodular kronik.
Pada pasien ini, hipertiroid timbul secara lambat dan menifestasi klinisnya lebih ringan
daripada penyakit graves.

3. Etiologi
Radang pada kelenjar tiroid juga dapat menyebabkan hipotiroidisme, seperti
pada penyakit Hashimoto tiroiditis. Penyebab lain dapat berupa (Moreno & Visser, 2010) :
a. Radiasi yang digunakan untuk menangani beberapa jenis kanker
b. Mutasi gen dengan ekspresi berupa tiroperoksidase, sebuah enzim pengikat heme yang
terdapat pada membran tirosit.
c. Mutasi gen DEHAL1 dengan ekspresi berupa iodotirosina deiodinase, sebuah enzim
yang mengambil molekul iodina dari residu senyawa iodotirosina guna keperluan
biosintesis hormon oleh kelenjar tiroid.
d. Mutasi gen THOX2 dengan ekspresi berupa tiroid oksidase-2.
e. Tingginya rasio plasma selenium, senyawa yang menghambat aktivitas enzim
iodotironina deiodinase.
f. Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormone tiroid merupakan faktor
penyebab terjadinya pembesaran kelenjar tiroid
a. Defisiensi Iodium
Terjadinya diagnosa struma paling banyak disebabkan karena kurangnya kadar yodium
di dalam tubuh.
b. Kelainan metabolic kongenital yang menghambat sintesa hormone tiroid.
c. Penghambatan sintesa hormone oleh zat kimia

4. Patofisiologi
Hipertiroid terjadi sangat bervariasi tergantung dari penyebab dan lamanya terjadi.
Pertama bila terjadi hiperplasia epitel folikuler yang berbentuk sama sehingga terjadi
peningkatan masa kelenjar tiroid. Bila kelainan ini menetap, arsitektur tiroid hilang
bersamaan bentuknya, kemudian berkembang di area-area involusi dan fibrosis diantara
area-area fokal yang hiperplasia. Proses ini mengakibatkan nodul multipel (goiter
multinoduler). Dengan pemeriksaan skintigrafi, beberapa nodul dapat merupakan ”hot
nodule” dengan uptake isotop tinggi, atau ”cold nodule”, uptake isotop rendah dibandingkan
dengan jaringan tiroid normal. Perkembangan nodul berhubungan dengan berkembangnya
fungsi autonom 15 dan berkurangnya kadar TSH. Secara klinis, perjalanan penyakit goiter
non toksik terus berkembang, produksi nodul dan fungsi autonom, pada sebagian kecil
pasien dapat terjadi tirotoksikosis.
Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3,
ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500
gram. Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan metabolisme
tiroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui rangsangan umpan balik
negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar hipofisis. Keadaan ini menyebabkan
pembesaran kelenjar tiroid. Biasanya tiroid mulai membesar pada usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena pertumbuhannya berangsur-
angsur, dapat menjadi besar tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita
dengan struma nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan. Walaupun sebagian
struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena menonjol kebagian depan, sebagian
lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila pembesarannya bilateral. (Aruji, 2019)
Pathway Hipertiroid :
Defisiensi Yodium

Tyrosin tidak terbentuk Zat kini (pheno

Sekresi hormone tiroid menurun Mengha

Mencegah inhibisi umpan balik TSH yang normal Pen

Merangsang hipofisis Peningkatan produksi TSH Meningkatkan p

Hiperplasi dan hipertrofi kelenjar tiroid Peningkatan jumlah

Penyakit graves, tiroidtis, penggunaan hormone tiroid yang berlebih

HIPERTIROID

BMR meningkat

Hipermetabolisme

Kalsitonin 
Bronkus mengecil Simpatomimetik Vasokontriksi Peristaltik usus 

Kapasitas Bronkus  Perubahan konduksi Reabsorbsi  Masukan Nutrisi  Ca dlm darah 


Hambatan perifer 
Respirasi  listrik jantung
Diare
Tekanan darah  BB  Otot kurang Ca
Takipnea Takhikardi
TIK  Kerja otot 
MK: Defisit nutrisi
MK : Pola nafas MK : Penurunan Pusing Kelemahan otot
tidak efektif curah jantung
MK : Gangguan Mobilitas fisik
MK : Intoleransi
Aktifitas
(Aruji, 2019)
5. Manifestasi Klinis
Gejala umum pada pasien hipertiroid yaitu :
a. Berupa berat badan menurun
b. Nafsu makan meningkat
c. Keringat berlebihan, kelelahan, gelisah
d. Lebih suka udara dingin
e. Sesak napas
f. Jantung berdebar-debar, tremor pada tungkai bagian atas
g. Mata melotot (eksoftalamus)
h. Diare
i. Haid tidak teratur
j. Rambut rontok, dan atrofi otot.
k. Mengeluh adanya gangguan menelan, gangguan pernapasan, rasa tidak nyaman di
area leher, dan suara yang serak.

6. Penatalaksanaan
Pasien dengan kecurigaan kelainan hormon tiroid harus dirujuk untuk pemeriksaan dan
dan terapi. Pasien perlu dijelaskan alasan rujukan adalah untuk diagnosis dan kemungkinan
terapi yang akan diberikan. Pasien dirujuk ke fasilitas kesehatan dengan dokter spesialis
penyakit dalam atau konsultan endokrin metabolik bila ada. Rujukan pada spesialisasi lain
diperlukan tergantung gejala dan tanda yang muncul. Pasien harus diberitahu bahwa ada
beberapa modalitas terapi tirotoksikosis. Terapi yang diberikan menyesuaikan keadaan
pasien dan fasilitas yang tersedia.Terapi farmakologis meliputi:
a. Obat antitiroid
Propiltiourasil (PTU) diberikan dengan dosis awal 300-600mg/hari, dosis maksimal
2.000mg/hari dan etimazol dosis awal 20-40mg/hari. Indikasi pemberian antitiroid adalah
mendapatkan remisi yang menetap atau meperpanjang remisi pada pasien muda dengan
struma ringan-sedang dan tirotoksikosis, mengendalikan tirotoksikosis pada fase sebelum
atau sesudah pengobatan iodium radioaktif, persiapan tiroidektomi, pasien hamil dan
lanjut usia, dan pasien dengan krisis tiroid.
b. Penyekat adrenergik beta pada awal terapi diberikan propranolol 40-200mg dalam 2-3
dosis. Fase ini dilakukan sambil menunggu pasien menjadi eutiroid setelah pemberian
antitiroid selama 6-12 minggu. Pasien dievaluasi setelah 4-6 minggu setelah pemberian
antitiroid. Setelah keadaan eutorid tercapai, pemantauan dilakukan setiap 3-6 bulan sekali.
Pemantauan dilakukan dengan melihat tanda klinis, serta pemeriksaan kadar FT4 dan
TSH dalam darah. Antitiroid dikurangi bertahap dan dipertahankan pada dosis terkecil
selama 12-24 bulan, lalu pengobatan dihentikan. Pasien dikatakan mengalami remisi
apabila setelah 1 tahun penghentian antitiroid, pasien masih dalam keadaan eutiroid.
Setelah fase ini, pasien masih mungkin mengalami keadaan hipertiroid kembali.
c. Indikasi Terapi Pembedahan
Beberapa pasien diindikasikan untuk dilakukan pembedahan. Indikasi pembedahan pada
pasien tirotoksikosis adalah:
1. Pasien usia muda dengan struma besar dan tidak ada respons dengan pengobatan
antitiroid
2. Wanita hamil trimester kedua yang memerlukan obat antitiroid dosis tinggi
3. Pasien dengan alergi terhadap obat antitiroid dan tidak dapat menerima terapi iodium
radioaktif
4. Pasien dengan adenoma toksik atau struma multinodosa toksik
5. Pasien dengan Penyakit Graves yang berhubungan dengan satu atau lebih nodul
d. Indikasi terapi iodium radioaktif
Beberapa pasien dipertimbangkan lebih baik menerima terapi radioiodine. Pasien yang
termasuk indikasi pemberian radioiodine adalah:
1. Pasien berusia >35 tahun
2. Pasien dengan hipertiroidisme yang kambuh setelah terapi pembedahan
3. Pasien yang gagal mencapai remisi setelah pemberian antitiroid
4. Pasien yang tidak mampu atau tidak mau mendapat terapi obat antitiroid
5. Pasien dengan adenoma toksis atau struma multinodosa toksik.
7. Pemeriksaan Fisik
Fokus pengkajian:
a. Keadaan umum : lemah, keletihan, tidak tahan hawa panas, hiperkinesis, BB turun,
b. Gastrointestinal : hiperdefekasi, lapar, makan banyak, haus, muntah, disfagia,
splenomegaly
c. Muskular : rasa lemah
d. Genitourinaria : Oligomenorea, amenorea, libido turun, infertil, ginekomasti
e. Kulit : Rambut rontok, berkeringat, kulit basah, silky hair,dan onikolisis
f. Psikis, saraf dan jantung : Labil, iritabel, tremor, psikosis, nervositas, paralisis
periodik, dispneu, hipertensi, aritmia, palpitasi, gagal jantung
g. Darah dan sistem limfatik : Limfositosis, anemia, splenomegali, leher membesar
h. Mukuloskeleletal : Osteoporosis, epifisis cepat menutup dan nyeri tulang

8. Pemeriksaan Penunjang
a. Tes Fungsi Hormon
Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara testes fungsi tiroid
untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total tiroksin dan triyodotiroin
serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin bebas serum mengukur kadar
tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur
dengan assay radioimunometrik. Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai
indikator fungsi tiroid. Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan
berada di bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini
dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit tiroid.
Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur kemampuan
kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
b. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau menyumbat
trakea (jalan nafas).
c. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak di layar
TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan adanya kista/nodul
yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher. Kelainan-kelainan yang
dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista, adenoma, dan kemungkinan
karsinoma.
d. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama technetium-99m
dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah. Setengah jam kemudian
berbaring di bawah suatu kamera 12 canggih tertentu selama beberapa menit. Hasil
pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan ukuran, bentuk lokasi dan yang utama
adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
e. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi aspirasi
jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas.
Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu karena lokasi biopsi
kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan pembuatan preparat yang
kurang baik atau positif palsu karena salah intrepertasi oleh ahli sitologi.

B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pasien dengan Hipertiroid


1. Pengkajian
Pengkajian adalah tahap awal dari proses keperawatan dan merupakan prose sang
sistematik dalam pengumpulana data dari berbagai sumber data untuk mengevaluasi dan
mengidentifikasi status kesehatan pasien.
a. Identitas
Meliputi nama pasien, nama panggilan, jenis kelamin perempuan lebih mendominasi
terjadinya goiter daripada laki-laki (DEPKES, 2017), jumlah saudara, alamat atau tempat
tinggal penderita Goiter lebih berisiko di daerah dataran tinggi karena kurangnya yodium,
bahasa yang digunakan, usia sering terjadi pada usia dibawah 40 tahun (halodoc, 2019),
namun besar kemungkian dapat terjadi pada remaja ataupun dewasa.
b. Keluhan Utama
Menurut (Sdwijo, 2011) pada pasien mengeluh terdapat pembesaran pada leher.
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Menurut (Sdwijo, 2011) biasanya pasien mengalami pembesaran nodul pada leher yang
semakin membesar sehingga mengakibatkan terganggunya pernapasan karena penekanan
trakea
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Perlu ditanyakan mengenai apakah pasien penah mengalami penyakit yang sama
e. Riwayat Psikososial
Perlu dikaji bagaimana hubungan pasien dengan orang lain saat mengalami sakit
f. Fokus pengkajian :
1) Keadaan umum, keadaan pasien terlihat lemah serta perubahan pada

tanda-tanda vital (TD meningkat, suhu meningkat, RR meningkat, nadi

meningkat)

2) Kepala dan leher, pada pasien adanya benjolan pada leher

3) Sistem pernapasan, biasanya pasien merasa sesak

4) Sistem neurologi, pada pemeriksaan reflek didapatkan hasil positif.

5) Sistem gastrointestinal, biasanya pasien mengalami diare, bising usus

meningkat

6) Aktivitas/istirahat, biasanya pasien akan merasa lemah dan sulit tidur.

7) Eliminasi, output urine pasien akan mengalami pertambahan sekitar

1000 ml

8) Integritas ego, mengalami stres yang berat baik emosional maupun

fisik, emosi labil, depresi.

9) Makanan/cairan, kehilangan berat badan yang mendadak, nafsu makan

menurun.

10) Rasa nyeri/kenyamanan, nyeri orbital, fotofobia.

11) Keamanan, tidak toleransi terhadap panas, keringat yang berlebihan,

alergi terhadap iodium (mungkin digunakan pada pemeriksaan), suhu


meningkat di atas 37,40C, diaforesis, kulit halus, hangat dan

kemerahan, rambut tipis, mengkilat dan lurus, eksoptamus : retraksi,

iritasi pada konjungtiva dan berair, pruritus, lesi eritema (sering terjadi

pada pretibial) yang menjadi sangat parah.

2. Analisa Data

Dari hasil pengkajian kemudian data tersebut dikelompokan lalu dianlias

sehingga dapat ditarik kesimpulan masalah yang timbul dan untuk selanjutnya

dapat dirumuskan diagnose keperawatan.

3. Diagnosa yang Mungkin Muncul


Menurut SDKI (2017), kemungkinan masalah yang muncul adalah sebagai

berikut :

a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan,

hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot

pernapasan)

b. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, imobilitas

c. Defisit nutrisi berhubungan dengan etidakmampuan menelan makanan,

ketidakmampuan mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi

nutrien, peningktan kebutuhan metabolisme

d. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kelemahan

otot, ketidakbugaran fisik, gangguan neuroskeletal,

e. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan

afterload, Perubahan frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan

kontraktilitas
4. Intervensi

Pola nafas tidak efektif Setelah dilakukan tindakan asuhan SIKI : Pemantauan Respirasi
Penyebab : keperawatan selama ….x…. jam 1. Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan
 Depresi pusat pernapasan diharapkan pola nafas pasien efektif upaya napas
 Hambatan upaya napas dengan kriteria hasil: 2. Monitor pola napas
 Deformitas dinding dada  Ventilasi semenit 3. Monitor kemempuan batuk efektif
 Deformitas tulang dada  Kapasitas vital 4. Monitor produksi sputum
 Gangguan neuromuscular  Diameter thorak anterior posterior 5. Monitor sumbatan jalan napas
 Tekanan ekspirasi 6. Palpasi kesimetrisan ekspansi paru
 Gangguan neurologis
 Tekanan inspirasi 7. Auskultasi bunyi napas
 Imaturitas neurologis
8. Monitor saturasi oksigen
 Penurunan energy  Tidak Dyspnea
9. Monitor nilai AGD
 Obesitas  Penggunaan otot bantu napas
10. Monitor foto thorax
 Posisi tubuh menghambat ekspansi paru  Pemanjangan fase ekspirasi
11. Atur interval pemantauan respirasi sesuai
 Sindrom hipoventilasi  Tidak Ortopnea
kondisi pasien
 Kerusakan inervasi diafragma  Pernapasan pursed lip 12. Dokumentasikan hasil pemantauan
 Cedera pada medulla spinalis  Pernapasan cuping hidung 13. Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Efek agen farmakologi  Frekuensi napas normal 14. Informasikan hasil pemantauan
 Kecemasan  Kedalaman napas normal
 Ekskursi dada
Gejala mayor
Subjektif : dyspnea
Objektif
 Penggunaan otot bantu pernapasan
 Fase ekspirasi memanjang
 Pola napas abnormal
Gejala minor
Subjektif : ortopnea
Objektif
 Pernapasan pursed lip
 Pernapasan cuping hidung
 Diameter thorak anterior posterior
meningkat
 Ventilasi semenit menurun
 Kapasitas vital menurun
 Tekanan ekspirasi menurun
 Tekanan inspirasi menurun
 Ekskursi dad berubah
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan Manajemen Energi
Penyebab : selama …. X…. jam, maka bersihan jalan Orientasi
Ketidak seimbangan antara suplai dan nafas meningkat dengan kriteria hasil : 1. Identifikasi gangguan fungsi tubuh
kebutuhan oksigen  Toleransi Terhadap Aktivitas 2. Monitor kelelahan fisik dan emosional
 Tirah baring merupakan suatu respon fisiologis 3. Monitor pola dan jam tidur
 Kelemahan tubuh terhadap adanya pergerakan 4. Monitor lokasi dan ketidknyamanan selama
 Imobilitas yang memerlukan energi dalam melakukan aktivitas
 Gaya hidup monoton aktivitas sehari-hari Terapeutik
Gejala dan Tanda Mayor  Saturasi oksien ketika beraktivitas 1. Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah
Subjektif : (skala 5; tidak terganggu) stimulus
 Mengeluh lelah  Frekuensi pernafasan ketika 2. Lakukan latihan gerak pasif atau aktif
Objektif beraktivitas (skala 5; tidak 3. Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
 Frekuensi jantung meningkat >20% terganggu) Edukasi
dari kondisi istirahat  Kemudahan bernafas ketika 1 Anjurkan tirah baring
beraktivitas (skala 5; tidak 2 Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
Gejala dan Tanda Minor terganggu) 3 Anjurkan menghubungi perawat jika tanda dan
Subjektif :  Warna kulit (skala 5; tidak terganggu gejala kelelahan tidak berkurang Ajarkan
 Dispenua saat atau setelah beraktivitas  Kecepatan berjalan (skala 4; sedikit strategi koping untuk mengurangi kelelahan
 Merasa tidak nyaman setelah aktivitas terganggu)
 Merasa lelah Manajemen medikasi
 Jarak berjalan (skala 4; sedikit
Objektif : Orientasi
terganggu)
1 Identifikasi penggunaan obat
 Tekanan darah berubah >20% dari  Kekuatan tubuh bagian atas (skala 5;
2 Identifikasi pengetahuan dan kemampuan
kondisi istirahat tidak terganggu)
 Gambaran EKG menunjukkan aritma  Kekuatan tubuh bagian bawah (skala menjalani pengobatan
saat atau setelah aktivitas 5; tidak terganggu) 3 Monitor kepatuhan menjalani program
 Gambaran EKG menunjukkan iskemia pengobatan
 Sianosis Terapeutik
Kondisi klinis terkait : Sediakan informasi program pengobatan secara
 Anemia visul dan tertulis
 Gagal jantung kongestif Edukasi
1 Ajarkan pasien dan keluarga cara mengelola
 Penyakit jantung koroner
obat (dosis, penyimpanan, rute, dan waktu
 Penyakit katup jantung
pemberian)
 Aritmia
2 Anjurkan menghubungi petugas kesehatan jika
 PPOK
terjadi efek samping obat
 Gangguan metabolik
 Gangguan muskuloskeletal Pemantauan tanda vital
Observasi
1 Monitor tekanan darah
2 Monitor nadi (frekuensi, kekuatan, irama)
3 Monitor pernapasan (frekuensi, kedalaman)
4 Identifikasi penyebab perubahan tanda vital
Terapeutik
Dokumentasikan hasil pemantauan
Edukasi
1 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
2 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu
Defisit nutrisi Setelah dilakukan asuhan keperawatan SIKI
Penyebab : selama …..x…. jam diharapkan nutrisi Pemberian makanan parenteral
 Ketidakmampuan menelan makanan membaik dengan criteria hasil : 1. Identifikasi terapi yang diberikan sesuai untuk
 Ketidakmampuan mencerna makanan  Berat badan Indeks Massa Tubuh usia, kondisi, dosis, kecepatan, dan rute
 Ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien (IMT) membaik 2. Monitor tanda inflamasi, flebitis, dan
 Tebal lipatan kulit trisep membaik thrombosis
 Peningkatan kebutuhan metabolisme
3. Monitor nilai laboratorium (mis. BUN,
 Faktor ekonomi (mis. Finansial tidak
kreatinin, gula darah, elektrolit, faat, hepar)
mencukupi) 4. Monitor berat badan
 Faktor psikologis (mis. Stres, keenggann 5. Monitor produksi urine
untuk makan) 6. Monitor jumlah cairan yang masuk dan keluar
7. Berikan label pada wadah makanan parenteral
Gejala dan tanda mayor : dengan tanggal, waktu dan inisial perawat
Subjektif : - 8. Pastikan alarm infus dihidupkan dan berfungsi,
Objektif : jika tersedia
 Berat badan menurun minimal 10% 9. Hindari pengambilan sampel darah dan
Dibawah rentang ideal pemberian obat pada selang nutrisi parenteral
Gejala dan tanda minor : Pemberian makanan enteral
Subjektif : 1. Gunakan teknik bersih dalam pemberian
 Cepat kenyang setelah makan makanan via selang
 Kram/nyeri abdomen 2. Berikan tanda pada selang untuk
 Nafsu makan menurun mempertahankan lokasi yang tepat
3. Tinggikan kepala tempat tidur 30-45 derajat
Objektif : selama pemberian makan
 Bising usus hiperaktif 4. Ukur residu sebelum pemberian makan
 Otot pengunyah lemah 5. Peluk dan bicara dengan bayi selama diberikan
 Otot menelan lemah makanan untuk menstimulasi aktivitas makan
 Membran mukosa pucat
6. Irigasi selang dengan 30 ml air setiap 4-6 am
selama pemberian makan dan setelah pemberian
 Sariawan
makan intermiten
 Serum albumin turun 7. Hindari pemberian makanan lewat selang 1 jam
 Rambut rontok berlebihan sebelum prosedur atau pemindahan pasien
 Diare 8. Hindari pemberian makanan jika residu lebih
dari 150cc atau lebih dari 110%-120% dari
Kondisi Klinis Terkait : jumlah makanan tiap jam
 Stroke Pemantauan nutrisi :
 Parkinson 1. Timbang berat badan
 Mobius syndrome 2. Ukur antroprometrik komposisi tubuh (mis.
Indeks massa tubuh, pengukuran pinggang,
 Cerebral palsy dan ukuran lipatan kulit)
 Cleft lift 3. Hitung perubahan berat badan
 Cleft palate 4. Dokumentasikan hasil pemantauan
 Amvotropic lateral sclerosis
Referensi :
 Luka bakar
 Kanker
 Infeksi
 AIDS
 Penyakit Crohn’s
 Enterokolitis Fibrosis kistik
Gangguan Mobilitas Fisik Setelah dilakukan asuhan keperawatan 1. DUKUNGAN AMBULASI (1.06171)
Penyebab selama …..x…. jam mobilitas membaik 1. Observasi
 Kerusakan integritas struktur tulang dengan criteria hasil :  Identifikasi adanya nyeri atau keluhan
 Perubahan metabolisme Utama : Mobilitas fisik fisik lainnya
 Ketidakbugaran fisik  Identifikasi toleransi fisik melakukan
Tambahan :
 Penurunan kendali otot ambulasi
 Penurunan massa otot  Berat badan  Monitor frekuensi jantung dan tekanan

 Penurunan kekuatan otot


 Fungsi Sensori darah sebelum memulai ambulasi
 Keseimbangan  Monitor kondisi umum selama
 Keterlambatan perkembangan
 Konservasi energy melakukan ambulasi
 Kekakuan sendi
 Koordinasi pergerakan 2. Terapeutik
 Kontraktur
 Motivasi  Fasilitasi aktivitas ambulasi dengan alat
 Malnutrisi
 Pergerakan sendi bantu (mis. tongkat, kruk)
 Gangguan muskuloskeletal  Status neurologis  Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, jika
 Gangguan neuromuskular  Status nutrisi perlu
 Indeks masa tubuh diatas persentil ke-75  Toleransi aktifitas  Libatkan keluarga untuk membantu
sesuai usia pasien dalam meningkatkan ambulasi
 Efek agen farmakologis 3. Edukasi
 Program pembatasan gerak  Jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
 Nyeri  Anjurkan melakukan ambulasi dini
 Kurang terpapar informasi tentang aktivitas  Ajarkan ambulasi sederhana yang harus
fisik dilakukan (mis. berjalan dari tempat tidur
 Kecemasan ke kursi roda, berjalan dari tempat tidur
 Gangguan kognitif ke kamar mandi, berjalan sesuai
 Keengganan melakukan pergerakan toleransi)
 Gangguan sensoripersepsi

Gejala dan Tanda Mayor


Subjektif
 Mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas
 Objektif
 Kekuatan otot menurun
 Rentang gerak (ROM) menurun

Gejala dan Tanda Minor


Subjektif
 Nyeri saat bergerak
 Enggan melakukan pergerakan
 Merasa cemas saat bergerak

Objektif
 Sendi kaku
 Gerakan tidak terkoordinasi
 Gerakan terbatas
 Fisik lemah

Kondisi Klinis Terkait


 Stroke
 Cedera medula spinalis
 Trauma
 Fraktur
 Osteoarthirtis
 Ostemalasia
 Keganasan

Risiko Penurunan Curah Jantung Pompa Jantung efektif (0400) A. PERAWATAN JANTUNG (I.02075)
Faktor Risiko : Status sirkulasi (0401) 1. Observasi
 Perubahan afterload. Setelah dilakukan intervensi keperawatan  Identifikasi tanda/gejala primer
 Perubahan frekuensi jantung. selama ……….. klien dapat mencapai Penurunan curah jantung (meliputi
 Perubahan irama jantung. pompa jantung efektif dan status sirkulasi dispenea, kelelahan, adema ortopnea
 Perubahan kontraktilitas. dengan kriteria hasil: paroxysmal nocturnal dyspenea,
 Perubahan preload.  HR klien dalam kisaran : 0– 3 bln : peningkatan CPV)
85 -200 x/mt 3 bl-2 th : 100–190x/mt  Identifikasi tanda /gejala sekunder
Kondisi Klinis Terkait. 2 th-10 th : 60-140 x/mt penurunan curah jantung (meliputi
 Respirasi Rate klien dalam kisaran: peningkatan berat badan, hepatomegali
 Gagal jantung kongestif
< 1 th 30 -40x/ mt 2 th - 5 th 20-30 ditensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi
 Sindrom koroner akut.
x/mt 5 th-12 th 15 -20 x/mt > 12 th basah, oliguria, batuk, kulit pucat)
 Gangguan katup jantung (stenosis /
12 –16 x/mt Cardiac index normal  Monitor tekanan darah (termasuk tekanan
regirgitasi aorta, pulmonalis, trikuspidalis,
 Toleransi aktifitas normal darah ortostatik, jika perlu)
atau mitralis).
 Ukuran jantung normal  Monitor intake dan output cairan
 Atrial / ventricular septal defect.
 Warna kulit normal  Monitor berat badan setiap hari pada
 Aritmia. waktu yang sama
 Tidak terjadi disritmia
 Monitor saturasi oksigen
 Tidak ada suara jantung yang
 Monitor keluhan nyeri dada (mis.
abnormal Tidak terdapat angina
Intensitas, lokasi, radiasi, durasi,
 Tidak terdapat edema perifer, edema
presivitasi yang mengurangi nyeri)
pulmo
 Monitor EKG 12 sadapoan
 Tidak terdapat mual
 Monitor aritmia (kelainan irama dan
frekwensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis.
Elektrolit, enzim jantung, BNP, Ntpro-
BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekwensi
nadisebelum dan sesudah aktifitas
 Periksa tekanan darah dan frekwensi nadi
sebelum pemberian obat (mis.
Betablocker, ACEinhibitor, calcium
channel blocker, digoksin)
2. Terapeutik
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler
dengan kaki kebawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis.
Batasi asupan kafein, natrium, kolestrol,
dan makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik
intermiten, sesuai indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk
modifikasi hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi stres, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan
spiritual
 Berikan oksigen untuk memepertahankan
saturasi oksigen >94%
3. Edukasi
 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai
toleransi
 Anjurkan beraktivitas fisik secara
bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur
intake dan output cairan harian
4. Kolaborasi
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika
perlu
 Rujuk ke program rehabilitasi jantung
B. PERAWATAN JANTUNG AKUT :
AKUT( I.02076)
1. Observasi
 Identifikasi karakteristik  nyeri dada
(meliputi faktor pemicu dan dan pereda,
kualitas, lokasi, radiasi, skala, durasi dan
frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk
perubahan ST dan T
 Monitor Aritmia( kelainan irama dan
frekuensi)
 Monitor elektrolit yang dapat
meningkatkan resiko aritmia( mis.
kalium, magnesium serum)
 Monitor enzim jantung (mis. CK, CK-
MB, Troponin T, Troponin I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom
koroner akut(mis. Skor TIMI, Killip,
Crusade)
2. Terapiutik
 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk
mengurangi ansietas dan stres
 Sediakan lingkungan yang kondusif
untuk beristirahat dan pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner
perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan spiritual dan
emosional
3. Edukasi
 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
 Anjurkan menghindari manuver Valsava
(mis. Mengedan sat BAB atau batuk)
 Jelaskan tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan teknik menurunkan kecemasan
dan ketakutan
4. Kolbaorasi
 Kolaborasi pemberian antiplatelat, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian antiangina(mis.
Nitrogliserin, beta blocker, calcium
channel bloker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropik, jika
perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk
mencegah manuver Valsava (mis.,
pelunak, tinja, antiemetik)
 Kolaborasi pemberian trombus dengan
antikoagulan, jika perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada , jika
perlu
5. Implementasi
Implementasi keperawatan merupakan kategori dari perilaku keperawatan dimana
tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan
keperawatan yang telah dilakukan dan diselesaikan. Implementasi diterapkan berdasarkan
intervensi yang telah disusun (Hardi & Huda, 2015).

6. Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses keperawatan untuk mengukur respon pasien terhadap
kefektifan pemberian tindakan keperawatan dan kemajuan pasien terhadap tercapainya tujuan
yang telah disusun. Evaluasi dibedakan menjadi dua yaitu evaluasi formatif dan sumatif
(Hardi & Huda, 2015).
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan, hambatan upaya
napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan) teratasi sesuai dengan
kriteria hasil yang diharapkan
2. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, imobilitas teratasi sesuai dengan
kriteria hasil yang diharapkan
3. Defisit nutrisi berhubungan dengan etidakmampuan menelan makanan, ketidakmampuan
mencerna makanan, ketidakmampuan mengabsorbsi nutrien, peningktan kebutuhan
metabolisme teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan
4. Ganguan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan kelemahan otot, ketidakbugaran
fisik, gangguan neuroskeletal teratasi sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan
5. Risiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan afterload, Perubahan
frekuensi jantung, perubahan irama jantung, perubahan kontraktilitas teratasi sesuai
dengan kriteria hasil yang diharapkan
DAFTAR PUSTAKA

Aruji, 2019. Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Post Operative Tiroidektomi Pada Nn. L
dengan Struma Nodusa Non Toxic di Ruang H2 RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya.
Repository STIKes Hang Tuah Surabaya2, pp. 1-70.
Dermawan, D. & Rahayuningsih, T., 2010. Keperawatan Medikal Bedah. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.
Dinoyo & Mulyanti, S., 2013. Keperawatan Medikal Bedah: Sistem Pencernaan. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Hardi, K., & Huda Amin, N, 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan. Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc (2nd ed.). Yogyakarta: Mediaction.
Moreno, J. C. & Visser, T. J., 2010. Genetics and Phenomics of Hypothyroidism and Goiter Due
to Iodotyrosine Deiodinase (DEHAL1) Gene Mutations. PubMed.
Nurhayati, N., 2015. Perawat Nunung Nurhayati, Jakarta: s.n.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Jakarta : PPNI
_______, 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia Definisi dan Tindakan Keperawatan.
Jakarta : PPNI

Anda mungkin juga menyukai