Anda di halaman 1dari 14

ETNISITAS, MULTIKULTURALISME DAN PERUBAHAN SOSIAL

VII. REALITAS MULTIKULTURAL DALAM KONTEKS

BHINEKA TUNGGAL IKA

A. MULTIKULTURALISME.

Keberagaman merujuk pada pluralisme. Konsep pluralisme sering digunakan


sebagai konsep yang mendeskripsikan adanya keragaman budaya. Sebagian antropolog
menggunakan pemahaman pluralisme sebagai fakta atas adanya kemajemukan budaya.
Parsudi Suparlan misalnya, menggunakan konsep “masyarakat multikultural Indonesia”
yang dibangun sebagai hasil reformasi dengan “tatanan kehidupan orde baru yang
bercorak ‘masyarakat majemuk’(plural society)”. Plural Society adalah istilah yang
digunakan Furnival untuk menggambarkan segregasi masyarakat Indonesia pada masa
kolonialisme Belanda (Bagir, Dwipayana, Rahayu,Sutarno, Wajidi, 2011: 28-29).

Dengan kata lain Ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan disebut
pluralism yang mendorong pemahaman dan penghormatan terhadap budaya lain
termasuk budaya minoritas (Parsudi Suparlan, 2002, Multikulturalisme, Jurnal
Ketahanan Nasional Volume VI No. 1).

Multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat


diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan
terhadap realitas keagamaan, pluralitas dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan
masyarakat. Pada mulanya, definisi multikulturalisme sendiri adalah democratic state
strategy yang bertujuan untuk memperoleh kompetensi kualitas yang dapat saling
mempengaruhi dalam konteks bernegara (peace existence principle based on tolerant
attitude to other cultures). (Habib Zarbaliyev, 2017, Multiculturalism in Globalization
Era: History and Challenge for Indonesia, International Journal of Scientific Study
Volume 13 No.1).
2

Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian


diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007). Masyarakat multikultural
adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam komunitas budaya dengan
segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem
arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (Parekh, 1997 yang
dikutip dari Azra, 2007).

Proyek multikulturalisme harus dipandang lebih menyeluruh, bukan semata-mata


sebagai jargon politik untuk mencitrakan ideologi atau organisasi yang pro kemanusiaan,
melainkan sebagai sebuah konsep filosofis dengan asumsi-asumsi yang ternyata
problematis. Salah satu ironi dari proyek multikultural, lanjut Anne Phillips (2007:25),
adalah bahwa atas nama kesetaraan dan respek mutual antar elemen masyarakat, ia juga
mendorong kita untuk memandang kelompok-kelompok dan tatanan-tatanan budaya
secara sistematis lebih berbeda daripada kenyataan sesungguhnya dan dalam proses
tersebut, multikulturalisme berkontribusi menciptakan stereotipisasi wujud-wujud
kultural yang ada.

Konsep lain yang berhubungan dengan pluralisme adalah masyarakat majemuk


dan multikulturalisme. Masyarakat majemuk terbentuk dari dipersatukannya masyarakat-
masyarakat suku bangsa oleh sistem nasional, yang biasanya dilakukan secara paksa (by
force) menjadi sebuah bangsa dalam wadah negara. Sebelum Perang Dunia kedua,
masyarakat-masyarakat negara jajahan adalah contoh dari masyarakat majemuk.
Sedangkan setelah Perang Dunia kedua contoh-contoh dari masyarakat majemuk antara
lain, Indonesia, Malaysia, Afrika Selatan, dan Suriname. Ciri-ciri yang menyolok dan
kritikal dari masyarakat majemuk adalah hubungan antara sistem nasional atau
pemerintah nasional dengan masyarakat suku bangsa, dan hubungan diantara masyarakat
suku bangsa yang dipersatukan oleh sistem nasional (Suparlan, 2004).

B. REALITAS MULTIKULTURAL INDONESIA.


3

Indonesia yang penuh dengan keberagaman digambarkan oleh Hildred Geertz


sebagai berikut : “Terdapat lebih dari tiga ratus kelompok etnis yang berbeda-beda di
Indonesia, masing-masing kelompok mempunyai identitas budayanya sendiri-sendiri dan
lebih dari dua ratus lima puluh bahasa yang berbeda-beda dipakai. Hampir semua agama
besar dunia diwakili, selain dari agama-agama asli yang jumlahnya banyak sekali.”
(Heldred, 1963: 24)
Dalam masyarakat Indonesia yang majemuk itu, ada dua istilah yang penting
dipahami yaitu kemajemukan (pluralitas) dan keanekaragaman (heterogenitas). Pluralitas
sebagai kontraposisi dari singularitas mengindikasikan adanya suatu situasi yang terdiri
dari kejamakan dan bukan ketunggalan (Kusumohamidjojo, 2000:45). Artinya, dalam
“masyarakat Indonesia” dapat dijumpai berbagai subkelompok masyarakat yang tidak
bisa disatukelompokkan antara satu dengan yang lainnya. Adanya setidaknya kurang dari
500 suku bangsa di Indonesia menegaskan kenyataan itu. Demikian pula halnya dengan
kebudayaan mereka. Sementara heterogenitas yang merupakan kontraposisi dari
homogenitas mengindikasikan suatu kualitas dari keadaan yang menyimpan
ketidaksamaan dalam unsur-unsurnya (Kusumohamidjojo, 2000:45). Artinya dari
masing-masing golongan dan kelompok memiliki potensi kecenderungan untuk sifat
ethnosentisme karena keberagaman dan perbedaan cenderung mendorong manusia
menganggap pandangan pada sudut pandang golongan atau kelompok tersebut.
Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai multicultural nation-state dalam
konteks negara-kebangsaan Indonesia modern, bukan sebagai monocultural nation-state.
Hal itu dapat dicermati dari dinamika praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu
pada konstitusi yang pernah dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949,
dan UUDS 1950, serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi
dampak langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak
perkembangan internasional pada setiap zamannya itu. Cita-cita, nilai, dan konsep
demokrasi, yang secara substantif dan prosedural menghargai persamaan dalam
perbedaan dan persatuan dalam keberagaman, secara konstitusional dianut oleh ketiga
konstitusi tersebut.
4

Konsep masyarakat multikultural (multicultural society) perlu dibedakan dengan


konsep masyarakat majemuk (plural society) yang menunjukkan keanekaragaman suku
bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep
pluralisme budaya dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam
sebuah masyarakat (Suparlan, 2005:98). Multikulturalisme ini mengusung semangat
untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur
yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra,
2006:154, Suparlan 2005). Individu dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan
sosial dan budaya dimana mereka menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak
masyarakat Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika bukan lagi keanekaragaman suku
bangsa dan kebudayaannya tetapi keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat Indonesia.
C. BHINNEKA TUNGGAL IKA SEBAGAI SEMBOYAN NEGARA.

Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang disemangati oleh Sumpah


Pemuda tahun 1928, sebetulnya merupakan terbentuknya sebuah bangsa dalam sebuah
negara yaitu Indonesia tanpa ada unsur paksaan. Namun begitu, pembentukan bangsa
yang ada tersebut bukanlah tanpa halangan. Pada awal kemerdekaan Indonesia, tantangan
pertama adalah membuat berbagai perangkat guna melegitimasi pembentukan negara
baru, seperti pembuatan perangkat hukum (undang-undang dasar), perangkat
pemerintahan (penyusunan alur tata negara) dan juga penentuan simbol-simbol
kebangsaan. Proses pembuatan berbagai perangkat yang ada tersebut dijalankan oleh
suatu badan yang dikenal dengan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI)
melalui sidang-sidangnya. Pada akhirnya dihasilkanlah UUD 1945 sebagai undang-
undang dasar, pasangan proklamator sebagai Presiden dan Wakil Presiden, Pancasila
sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara Indonesia.

Para pendiri negara (founding fathers) yang memahami betul konstelasi


masyarakat Indonesia yang plural dan sekaligus juga heterogen telah menjadikan ujar-
ujar Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bagi Negara Republik Indonesia
(Kusumohamidjojo, 2000:1, 45), bahkan setelah proses perubahan UUD 1945, ujar-ujar
Bhinneka Tunggal Ika itu semakin dikukuhkan sebagai semboyan bangsa sebagaimana
5

dirumuskan dalam pasal 36A UUD 1945 yang berbunyi Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini memuat idealitas
multikulturalisme di Indonesia (Hardiman, 2005:514).

Sebagai suatu historical being, Bhinneka Tunggal Ika yang secara harfiah
diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau although in pieces yet one, melewati
rentang yang panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, mulai pada zaman
negara kerajaan Nusantara. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak
zaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang
diikrarkan oleh Patih Gadjah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Empu Tantular :

Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,bhinnêki rakwa ring apan kěna
parwanosěn,mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,bhinnêka tunggal ika tan
hana dharmma mangrwa. (Pupuh 139: 5).
Terjemahannya adalah : Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu
berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya
dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu
sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena
tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
(Tantular, 2009:504-505).
Kitab Sutasoma mengajarkan toleransi kehidupan beragama, yang menempatkan
agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama
itu hidup beriringan dibawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam
Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda,
namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan
Buddha bermuara pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi
sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.
Tentang hal ini amatlah menarik menyimak apa yang dikemukakan oleh
Suparlan (2008:135) yang mengutip uraian Darmodihardjo (1985), yang menyatakan
bahwa Bhinneka Tunggal Ika secara hakiki mengungkapkan kebenaran historis yang
tidak dapat disangkal lagi sejak zaman kerajaan dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki
politik hubungan antar kerajaan yang terungkap dalam semboyan “mitreka satata” yang
6

berarti “persahabatan dengan dasar saling menghormati” dengan kerajaan-kerajaan Asia


Tenggara lainnya seperti Champa, Syam, Burma. Pujangga Empu Tantular melukiskan
kehidupan beragama dengan baik dengan kalimat “bhinneka tunggal ika tan hana darma
mangrua” yang berarti “walaupun berbeda, satu adanya, tidak ada agama yang tujuannya
berbeda”. Empu Tantular sudah mendudukan ujar-ujar tersebut sebagai falsafah Kerajaan
Majapahit pada zamannya (abad ke-14).
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika mulai menjadi pembicaraan terbatas antara M.
Yamin, Bung Karno, I Gusti Bagus Sugriwa dalam sidang-sidang BPUPKI sekitar 2,5
bulan sebelum Proklamasi (Kusuma R.M. A.B, 2004). Secara resmi lambang tersebut
dipakai dalam sidang Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dipimpin Bung
Hatta pada 11 Februari 1950 berdasarkan rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II
(1913-1978). Panitia Teknis Lencana Negara dibawah koordinator Sultan Hamid II,
dengan susunan M. Yamin sebagai ketua, Ki Hajar Dewantara, M A Pellaupessy, Moh
Natsir dan RM Ng Purbatjaraka sebagai anggota yang dibentuk pada tanggal 10 Januari
1950.
Istilah “Bhinneka Tunggal Ika” yang semula menunjukkan semangat toleransi
keagamaan, kemudian diangkat menjadi semboyan bangsa Indonesia. Sebagai semboyan
bangsa konteks permasalahannya bukan hanya menyangkut toleransi beragama tetapi
jauh lebih luas seperti yang umum disebut dengan istilah Suku, Agama, Ras dan Antar
Golongan (SARA). Semboyan itu dilukiskan dibawah lambang negara Indonesia yang
dikenal dengan nama Garuda Pancasila. Lambang negara Indonesia lengkap dengan
semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66
tahun 1951 tentang Lambang Negara.
D. REALITAS MULTIKULTURAL DALAM KONTEKS BHINEKA TUNGGAL
IKA.
Kebhinnekaan atau yang berbeda-beda itu menunjuk pada realitas objektif
masyarakat Indonesia yang memiliki keanekaragaman yang tinggi. Keanekaragaman
masyarakat Indonesia dapat ditemukan dalam berbagai bidang kehidupan.
Keanekaragaman di bidang politik diwarnai oleh adanya kepentingan yang berbeda-beda
antara individu atau kelompok yang satu dengan individu atau kelompok yang lainnya.
Di bidang ekonomi, keanekaragaman dapat dilihat dari adanya perbedaan kebutuhan
7

hidup, yang akhirnya berimplikasi terhadap munculnya keanekaragaman pada pola


produksi. Di bidang sosial, keberagaman itu tercermin dari adanya perbedaan peran dan
status sosial. Selain itu, keanekaragaman juga dapat dilihat dari segi geografis, budaya,
agama, etnis dan sebagainya. Keanekaragaman itu pun masih dikukuhkan lagi oleh
kebhinnekaan perseorangan masing-masing anak negeri yang kini berjumlah lebih dari
200 juta jiwa. Dengan adanya keanekaragaman dalam berbagai bidang tersebut
menyebabkan Indonesia dijuluki sebagai masyarakat yang multi etnik, multi agama
(multi religi), multi budaya (multikultural) dan sebagainya. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa Indonesia merupakan masyarakat yang majemuk (Plural Society).
Jika dilihat dari struktur sosialnya, keanekaragaman atau kemajemukan
masyarakat Indonesia berdimensi ganda, karena memiliki kemajemukan secara horizontal
dan vertikal. Kemajemukan secara horizontal dalam sosiologi dikenal dengan istilah
deferensiasi sosial. Diferensiasi sosial merupakan suatu sistem kelas sosial dengan sistem
linear atau tanpa membeda-bedakan tinggi-rendahnya kelas sosial itu sendiri. Misalnya,
perbedaan agama, ras, etnis, clan (klan), pekerjaan, budaya, maupun jenis kelamin.
Kemajemukan secara vertikal melahirkan stratifikasi sosial. Dalam Sosiologi, stratifikasi
sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-
kelas secara bertingkat. Perwujudannya adalah adanya lapisan-lapisan di dalam
masyarakat, ada lapisan yang tinggi dan ada lapisan-lapisan di bawahnya, seperti lapisan
kaya dan miskin, penguasa dan jelata. Makna kesatuan (tunggal ika) dalam Bhinneka
Tunggal Ika merupakan cerminan rasionalitas yang lebih menekankan kesamaan daripada
perbedaan. Kesatuan merupakan sebuah gambaran ideal. Dikatakan ideal karena kesatuan
merupakan suatu harapan atau cita-cita untuk mengangkat atau menempatkan unsur
perbedaan yang terkandung dalam keanekaragaman bangsa Indonesia ke dalam suatu
wadah, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesatuan adalah upaya untuk
menciptakan wadah yang mampu menyatukan kepelbagaian atau keanekaragaman.
Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa Bhinneka Tunggal Ika
merupakan pernyataan jiwa dan semangat bangsa Indonesia yang mengakui realitas
bangsa yang majemuk, namun tetap menjunjung tinggi kesatuan. Bhinneka Tunggal Ika
merumuskan dengan tegas adanya harmoni antara kebhinnekaan dan ketunggalikaan,
antara keanekaan dan keekaan, antara kepelbagaian dan kesatuan, antara hal banyak dan
8

hal satu, atau antara pluralisme dan monoisme. Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan
keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur
kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal Mustansyir, 1995 : 52). Keseimbangan itu
sendiri merupakan konsep filsafati yang selalu terletak pada ketegangan diantara dua titik
ekstrim, yaitu keanekaan mutlak disatu pihak dan kesatuan mutlak dipihak lain. Setiap
kali segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa
kemungkinan munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar
kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, manakala segi kesatuan yang
menonjolkan kesamaan itu tampil secara berlebihan, maka keanekaan selalu
mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terelakkan.
Untuk menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya tidak
dipandang sebagai ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang sebagai aset yang
diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Kebhinnekaan sebagai kekayaan serta mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi
pondasi kokoh persatuan dari sebuah imagined community yang bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi
mencita-citakan kesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus bersama dalam Soempah
Pemuda 1928 telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan
mengantar negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai
sekarang, bahkan juga nanti.
Sumpah Pemuda adalah basis geopolitik Indonesia, dimana terdapat tiga makna
dapat diambil dalam Sumpah Pemuda. Pertama, mengaku bertumpah darah satu Tanah
Air Indonesia, artinya kita bersumpah menjadikan teritorial Indonesia dari 186 kerajaan
menjadi satu yang namanya Indonesia yang dulu berawal dari kerajaan Sriwijaya
kemudian dikuasai Majapahit dan sekarang menjadi bangsa Indonesia. Kedua, mengaku
berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia yang mengatasnamakan 1.340 kesukubangsaan
yang menjadi satu dengan nama Indonesia. Ketiga, mengaku berbahasa satu yaitu bahasa
Indonesia yang diambil dari bahasa Melayu milik Kerajaan Melayu Kecil di daerah
Kepulauan Riau dengan nama Kerajaan Penyengat. Proyek Sumpah Pemuda ini harus
kita usahakan setiap detik untuk menjadikan realisasi proyek “Indonesia Raya” sehingga
9

geopolitik Sumpah Pemuda akan menjadi wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara
kedepan.
Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan oleh adanya perbedaan memang
sangat rawan terhadap konflik. Indonesia sebagai masyarakat yang berbhinneka, secara
internal telah mengandung sumber-sumber ketegangan dan pertentangan. Menurut Eka
Dharmaputera (1997 : 40), baik keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah
kenyataan sekaligus persoalan. Kebhinnekaan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih
menonjol daripada kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan
ancaman baik riil maupun potensial. Jika bertumpu pada realitas bangsa yang
berbhinneka, bahaya disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun
karena Indonesia tidak hanya berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, maka integrasi
bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang
mengabaikan kedua atau salah satu dimensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan
mencapai sasaran. Selanjutnya Eka Darmaputera (1997 : 8-9) juga mengatakan, agar
masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu mengatasi disintegrasi
potensial yang ada didalam dirinya sendiri. Seluruh masyarakat dapat berfungsi hanya
apabila anggota-anggotanya bersedia untuk mengintegrasikan diri, baik dalam bentuk
integrasi normatif maupun integrasi nilai. Integrasi normatif tercermin dari adanya
kehidupan bersama dimana seluruh anggota masyarakat bersedia mematuhi dan
mengikuti “aturan permainan” yang telah ditentukan. Sedangkan integrasi nilai tercermin
dari adanya nilai-nilai fundamental yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama.
Perbedaan dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan
tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan. Membeda-bedakan perbedaan justru akan dapat
menimbulkan bahaya disintegrasi. Perbedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan
atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk
membangun kebersamaan. Karena kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan, maka untuk
mewujudkan cita-cita kesatuan ditengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya
kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda
itu. Secara individu, setiap manusia adalah berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya
maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian,
setiap manusia memiliki kesamaan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia).
10

Demikian juga dalam konteks ke-Indonesiaan, terdapat beragam suku, agama, ras, dan
golongan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi
semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia (sesama bangsa
Indonesia). Konsep “sesama” tidak hanya terbatas pada manusia. Manusia dengan
binatang juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk
hidup). Demikian juga kesamaan bisa ditemukan dalam hubungannya dengan yang lain,
sehingga muncul adanya berbagai konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau
sesama isi dunia, dan lain sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas (Pursika,
2009 : 28).
Persatuan merupakan konsep integrasi nasional. Integrasi adalah suatu pola
hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak
memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait
dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut
pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha (Sunarto, 2004).
Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda menjadi sebuah
kesatuan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak
jumlahnya menjadi suatu bangsa (Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Dalam
hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika, maka konsep integrasi nasional sangat
berkaitan erat dengan konsep identitas nasional. Identitas nasional adalah manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation
(bangsa) dengan ciri-ciri yang khas, yang dari ciri khas tersebut, suatu bangsa menjadi
berbeda dengan bangsa lain (Wibisono dalam Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
Dilihat dari konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku
yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan
acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya
(Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
Perubahan cara berpikir pluralisme ke multikulturalisme adalah perubahan
kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai dasar yang tidak mudah diwujudkan. Oleh
karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai konsep multikulturalisme
yang sesuai dengan konteks Indonesia dan pemahaman itu harus berjangka panjang,
11

konsisten dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung. Masyarakat baru yang
merupakan pergeseran dari masyarakat majemuk ke masyarakat multikultural Indonesia
yang dicita-citakan adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai
yang mengatur kehidupannya sebagai warga suatu bangsa. Sebagai dasar kehidupan
bernegara, Pancasila memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara bagi setiap warga negara.
1. Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa diakui bahwa agama yang dianut
oleh bangsa Indonesia merupakan sumber etika dan moral. Manusia Indonesia
yang bermoral adalah manusia yang menjalankan nilai-nilai agama yang
dianutnya.
2. Sila kedua Pancasila mengandung nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Seorang manusia Indonesia hanyalah mempunyai arti di dalam kehidupan
bersama manusia Indonesia lainnya untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan.
Hal ini berarti manusia dan masyarakat Indonesia adalah manusia dan masyarakat
yang humanis dan mengakui akan hak asasi manusia.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, seperti yang telah dijelaskan oleh
Soekarno merupakan alat dan bukan tujuan di dalam kehidupan bersama
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang memaksa
menghilangkan kebhinnekaan masyarakat Indonesia adalah bertentangan dengan
sila Persatuan Indonesia.
4. Sila keempat mengandung nilai-nilai demokrasi dan pandangan populis.
Kehidupan bersama masyarakat Indonesia berpihak kepada kepentingan rakyat
dan bukan kepada kepentingan penguasa atau kepada segolongan masyarakat
yang better off.
5. Sila kelima Pancasila, yang penting ialah penguasaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan sosial sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soekarno didalam salah satu pidatonya.
Sifat pandangan ethnosentrisme ini harus diatur dan diarahkan agar tidak
mendominasi dari lingkungan yang majemuk dan banyak golongan berbeda. Bhineka
Tunggal Ika sebagai alat pengatur masyarakat yang multikultural merupakan paham yang
digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai alasan atau sebab pemersatu bangsa.
12

E. REFLEKSI ATAS MULTIKULTURALISME DAN PLURALISME DI


INDONESIA.
Apa yang menjadi kekhawatiran terkait dengan multikulturalisme dan pluralism
saat ini adalah terkadang bangsa Indonesia sendiri lupa akan sejarah masa lalu yang
sedemikian baik dari para nenek moyang, tentang bagaimana melakukan penataan
hubungan sosial kemasyarakatan itu dengan baik. Seperti bagaimana model-model
penataan masyarakat berdasarkan kearifan-kearifan yang ada di dalam masyarakat dalam
kehidupan sehari-hari yang begitu beragam menjadi sesuatu hal yang sangat penting bagi
bangsa Indonesia. Hal tersebut menunjukan realitas multikultural tidak dapat lepas dari
persoalan disintegrasi bangsa yang tentunya tidak kita kendaki, sedangkan yang
dikehendaki adalah integrasi bangsa. Untuk menciptakan integrasi bangsa perlu adanya
“respect” saling menghormati perbedaan-perbedaan yang ada.
Dalam mengelola keberagaman, Ahmad Safii Maarif mengatakan bahwa hanya
di Indonesia terdapat penentangan terhadap pluralisme karena dianggap sebagai
sinkretisme, padahal konsep sebenarnya justru dalam pluralismelah umat manusia harus
hidup berdampingan secara damai dengan sesama umat beragama bahkan juga dengan
orang yang tidak beragama sekalipun dan “Pancasila sebagai filosofi negara-bangsa
Indonesia membuka pintunya bagi pluralisme yang telah diterima oleh mayoritas besar
bangsa Indonesia”. (Ahmad Syafii Maarif, “Pluralisme Sebagai Fakta Sejarah:
Tanggapan atas Anthony Reid”, dalam Bernard Adeney-Risakotta (ed.), Mengelola
Keragaman Di Indonesia, 79)
Oleh karena itu problem yang dihadapi Indonesia dewasa ini adalah toleransi
keagamaan yang dapat melahirkan bagaimana mengelola keberagaman, sehingga
hubungan sosial menjadi sesuatu yang penting dan menjadi objek yang sebenarnya dari
hukum untuk menata masyarakat. Dalam pemikiran Barat itu sering dikatakan persoalan
agama adalah persoalan pribadi, hal ini yang melatar belakangi konsep “spirit”
memisahkan agama dan Negara dikarenakan banyak sekali terjadi hal-hal yang tidak
diinginkan. Perlu menemukan cara-cara agar kelompok-kelompok agama yang berbeda
hidup berdampingan, yaitu apa yang kita namakan rekayasa social. Bagaimana pendiri
negara ini sudah mengelola keberagaman Indonesia.
13

Fenomena radikalisme yang berkembang saat ini terkait dengan kemiskinan dan
kesalahan yang berkaitan dengan ketidakadilan. Konflik cenderung terjadi di daerah
miskin, baik miskin secara ekonomi maupun miskin secara intelektual. Secara edukasi
media massa turut andil dalam menyebarkan berita berita yang ambigu di dalam
masyarakat. Masalah membangun kebebasan beragama di Indonesia merupakan
tantangan yang sulit jika tidak didukung oleh kemampuan otoritas Negara. Peran hukum
untuk mengatur hubungan-hubungan sosial menjadi sangat penting dan kebijakan publik
harus dapat bertindak sebagai kontrak sosial bagi setiap warga negara dan mengikat
semua pihak. Jika tidak dikonsepkan secara sistematis maka akan mendorong munculnya
konflik di dalam masyarakat multikultur yang sulit untuk dihindari yang dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu : Pertama, Faktor Sosial Ekonomi, artinya berkaitan penguasaan
terhadap persoalan ekonomi. Terjadi klaim bersama dalam mendominasi sumber daya
terbatas, kecemburuan sosial yang berasal dari kesenjangan ekonomi antara migran dan
penduduk asli; Kedua, Faktor Sosial Budaya, motivasi emosional etnis dan sentimen
diantara para penganut agama; dan Ketiga, Faktor Sosial Politik, dengan adanya
distribusi daya tidak merata, individu atau kelompok yang tidak patuh sebagai pihak yang
didominasi terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang berkuasa dan perselisihan
antara kelompok petahana dan kelompok bawahan.
Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa menjelang Pemilihan Umum isu suku
dan agama menjadi cara yang paling efektif di tengah “keterbatasan kreativitas politik”
dan menguatkan politik identitas di daerah. Politik identitas primordial ini untuk diangkat
menjadi In group dan Out Group di dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya rasa
saling curiga dan kemudian tidak adanya toleransi serta muncul kebencian terhadap
persoalan primordial (perbedaan suku). Di lain sisi, Bangsa Indonesia dapat menjadi
nyata karena dua kali ada komponen bangsa merelakan kedudukan dominannya demi
persatuan bangsa. Peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928
dimana pemuda Djong Djava merelakan Bahasa Melayu menjadi Bahasa nasional dan
bukan Bahasa Jawa. Yang berikutnya penetapan Pancasila sebagai dasar negara dalam
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para wakil umat Islam setuju
untuk tidak menuntut kedudukan khusus dalam UUD meskipun menjadi agama Islam
adalah mayoritas di Indonesia.
14

Pemahaman geopolitik tetap menjadi instrumen strategis dalam membuat pranata


kebijakan politik, karena dimensi spasial tetap menjadi aset vital, nilai prestise dan
bargaining position sebagai daya dukung untuk mempertahankan suatu eksistensi
Negara. Saat ini harus membangun karakter ke-Indonesia-an sebagai modal dasar dalam
satu proyek yang tanpa henti (never ending) sehingga terjadi suatu transformasi Indonesia
dalam konteks politik. Transformasi dari karakter primordial menjadi karakter ke-
Indonesia-an sebagai satu konsep sipil politik tumbuh dan berawal dari adanya beberapa
suku bangsa kita yang mengaku menjadi Bangsa Indonesia di dalam Sumpah Pemuda
sebagai wadah kesatuan dan persatuan. Dalam hal ini berarti masyarakat di dalamnya
menjadi apa yang disebut sebagai Warga Negara Indonesia yang berperan dalam
mengembangkan konsep bangsa Indonesia sebagai negeri non diskriminatif di dunia
sehingga yang diatur di dalam konstitusi suatu negara itu hanyalah warga Negara.
Kemudian yang berikutnya yaitu bergerak dari politik lokal sebagaimana kerajaan-
kerajaan lokal menjadi negara atau bangsa-bangsa. Proyek bangsa Indonesia menjadi
negara bangsa-bangsa adalah negara dalam konteks sangat modern. Namun, yang masih
memprihatinkan adalah karakter masyarakat yang masih berdiri di kesukubangsaan. Kita
masih berdiri pada politik lokal dan berdiri di primordial. Kita harus menghindari
sentimen-sentimen etnik dan harus menjadi Warga Negara Indonesia dimana yang
nondiskriminatif sampai Indonesia ini menjadi negara dan bangsa yang sangat modern.
Daoed Joesoef (1926-2018), “Tanah air yang kita miliki bersama sekarang ini
bukanlah pusaka yang kita warisi dari angkatan 66, 45, 28, 08 ataupun dari nenek
moyang kita yang lebih jauh, akan tetapi kekayaan yang kita pinjam dari generasi yang
akan dating, dari anak cucu kita”, sehingga dalam konteks ini generasi sekarang
berhutang dengan anak cucu kita kedepan. Ini berarti bahwa, apabila anak cucu kita di
masa mendatang mengalami kemiskinan atau kemelaratan maka dosa besar bagi generasi
sekarang karena telah merampas hak anak cucu kedepan.

Anda mungkin juga menyukai