4
4
A. MULTIKULTURALISME.
Dengan kata lain Ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan disebut
pluralism yang mendorong pemahaman dan penghormatan terhadap budaya lain
termasuk budaya minoritas (Parsudi Suparlan, 2002, Multikulturalisme, Jurnal
Ketahanan Nasional Volume VI No. 1).
dirumuskan dalam pasal 36A UUD 1945 yang berbunyi Lambang Negara ialah Garuda
Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Semboyan ini memuat idealitas
multikulturalisme di Indonesia (Hardiman, 2005:514).
Sebagai suatu historical being, Bhinneka Tunggal Ika yang secara harfiah
diartikan sebagai bercerai berai tetapi satu atau although in pieces yet one, melewati
rentang yang panjang dalam perjalanan sejarah bangsa Indonesia, mulai pada zaman
negara kerajaan Nusantara. Kalimat itu sendiri diambil dari falsafah Nusantara yang sejak
zaman Kerajaan Majapahit juga sudah dipakai sebagai motto pemersatu Nusantara, yang
diikrarkan oleh Patih Gadjah Mada dalam Kakawin Sutasoma, karya Empu Tantular :
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,bhinnêki rakwa ring apan kěna
parwanosěn,mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,bhinnêka tunggal ika tan
hana dharmma mangrwa. (Pupuh 139: 5).
Terjemahannya adalah : Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu
berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya
dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu
sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena
tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhineka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa).
(Tantular, 2009:504-505).
Kitab Sutasoma mengajarkan toleransi kehidupan beragama, yang menempatkan
agama Hindu dan agama Buddha hidup bersama dengan rukun dan damai. Kedua agama
itu hidup beriringan dibawah payung kerajaan, pada jaman pemerintahan raja Hayam
Wuruk. Meskipun agama Hindu dan Buddha merupakan dua substansi yang berbeda,
namun perbedaan itu tidak menimbulkan perpecahan, karena kebenaran Hindu dan
Buddha bermuara pada hal “Satu”. Hindu dan Buddha memang berbeda, tetapi
sesungguhnya satu jenis, tidak ada perbedaan dalam kebenaran.
Tentang hal ini amatlah menarik menyimak apa yang dikemukakan oleh
Suparlan (2008:135) yang mengutip uraian Darmodihardjo (1985), yang menyatakan
bahwa Bhinneka Tunggal Ika secara hakiki mengungkapkan kebenaran historis yang
tidak dapat disangkal lagi sejak zaman kerajaan dahulu. Kerajaan Majapahit memiliki
politik hubungan antar kerajaan yang terungkap dalam semboyan “mitreka satata” yang
6
hal satu, atau antara pluralisme dan monoisme. Bhinneka Tunggal Ika adalah cerminan
keseimbangan antara unsur perbedaan yang menjadi ciri keanekaan dengan unsur
kesamaan yang menjadi ciri kesatuan (Rizal Mustansyir, 1995 : 52). Keseimbangan itu
sendiri merupakan konsep filsafati yang selalu terletak pada ketegangan diantara dua titik
ekstrim, yaitu keanekaan mutlak disatu pihak dan kesatuan mutlak dipihak lain. Setiap
kali segi keanekaan yang menonjolkan perbedaan itu memuncak akan membawa
kemungkinan munculnya konflik, maka kesatuanlah yang akan meredakan atas dasar
kesadaran nasional. Demikian pula sebaliknya, manakala segi kesatuan yang
menonjolkan kesamaan itu tampil secara berlebihan, maka keanekaan selalu
mengingatkan bahwa perbedaan adalah kodrat sekaligus berkah yang tak terelakkan.
Untuk menjaga keberlangsungan hidup berbangsa, kebhinnekaan sebaiknya tidak
dipandang sebagai ancaman, tetapi kebhinnekaan harus dipandang sebagai aset yang
diharapkan mampu berperan sebagai sumber kekayaan bagi bangsa Indonesia.
Kebhinnekaan sebagai kekayaan serta mendaya-gunakannya justeru dapat menjadi
pondasi kokoh persatuan dari sebuah imagined community yang bernama Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran sebagai masyarakat yang berbhinneka tetapi
mencita-citakan kesatuan yang dikukuhkan sebagai konsensus bersama dalam Soempah
Pemuda 1928 telah menjadi modal sosial ampuh yang berhasil mempersatukan dan
mengantar negara-bangsa ini mampu melewati masa-masa sulit dari dulu sampai
sekarang, bahkan juga nanti.
Sumpah Pemuda adalah basis geopolitik Indonesia, dimana terdapat tiga makna
dapat diambil dalam Sumpah Pemuda. Pertama, mengaku bertumpah darah satu Tanah
Air Indonesia, artinya kita bersumpah menjadikan teritorial Indonesia dari 186 kerajaan
menjadi satu yang namanya Indonesia yang dulu berawal dari kerajaan Sriwijaya
kemudian dikuasai Majapahit dan sekarang menjadi bangsa Indonesia. Kedua, mengaku
berbangsa satu yaitu bangsa Indonesia yang mengatasnamakan 1.340 kesukubangsaan
yang menjadi satu dengan nama Indonesia. Ketiga, mengaku berbahasa satu yaitu bahasa
Indonesia yang diambil dari bahasa Melayu milik Kerajaan Melayu Kecil di daerah
Kepulauan Riau dengan nama Kerajaan Penyengat. Proyek Sumpah Pemuda ini harus
kita usahakan setiap detik untuk menjadikan realisasi proyek “Indonesia Raya” sehingga
9
geopolitik Sumpah Pemuda akan menjadi wawasan kebangsaan dan wawasan nusantara
kedepan.
Masyarakat yang berbhinneka yang dicirikan oleh adanya perbedaan memang
sangat rawan terhadap konflik. Indonesia sebagai masyarakat yang berbhinneka, secara
internal telah mengandung sumber-sumber ketegangan dan pertentangan. Menurut Eka
Dharmaputera (1997 : 40), baik keanekaragaman maupun kesatuan Indonesia adalah
kenyataan sekaligus persoalan. Kebhinnekaan Indonesia sepintas lalu memang jauh lebih
menonjol daripada kesatuannya. Oleh karena itu, bahaya disintegrasi selalu merupakan
ancaman baik riil maupun potensial. Jika bertumpu pada realitas bangsa yang
berbhinneka, bahaya disintegrasi memang merupakan ancaman yang amat nyata. Namun
karena Indonesia tidak hanya berbhinneka, tetapi juga tunggal ika, maka integrasi
bukanlah sesuatu yang mustahil. Setiap pembahasan tentang Indonesia yang
mengabaikan kedua atau salah satu dimensi tersebut, dapatlah dipastikan tidak akan
mencapai sasaran. Selanjutnya Eka Darmaputera (1997 : 8-9) juga mengatakan, agar
masyarakat dapat berfungsi dengan baik, masyarakat harus mampu mengatasi disintegrasi
potensial yang ada didalam dirinya sendiri. Seluruh masyarakat dapat berfungsi hanya
apabila anggota-anggotanya bersedia untuk mengintegrasikan diri, baik dalam bentuk
integrasi normatif maupun integrasi nilai. Integrasi normatif tercermin dari adanya
kehidupan bersama dimana seluruh anggota masyarakat bersedia mematuhi dan
mengikuti “aturan permainan” yang telah ditentukan. Sedangkan integrasi nilai tercermin
dari adanya nilai-nilai fundamental yang dijadikan sebagai pandangan hidup bersama.
Perbedaan dalam kebhinekaan merupakan suatu realitas, karena itu perbedaan
tidak perlu lagi untuk dibeda-bedakan. Membeda-bedakan perbedaan justru akan dapat
menimbulkan bahaya disintegrasi. Perbedaan dalam kebhinnekaan perlu disinergikan
atau dikelola dengan cara mendayagunakan aneka perbedaan menjadi modal sosial untuk
membangun kebersamaan. Karena kesatuan dicirikan oleh adanya kesamaan, maka untuk
mewujudkan cita-cita kesatuan ditengah-tengah kebhinnekaan diperlukan adanya
kesadaran, kemauan dan kemampuan untuk melihat kesamaan pada sesuatu yang berbeda
itu. Secara individu, setiap manusia adalah berbeda, baik dilihat dari segi fisiknya
maupun mentalnya. Setiap manusia merupakan subjek yang otonom. Namun demikian,
setiap manusia memiliki kesamaan, yaitu sama-sama manusia (sesama manusia).
10
Demikian juga dalam konteks ke-Indonesiaan, terdapat beragam suku, agama, ras, dan
golongan yang masing-masing memiliki karakteristik yang berbeda-beda, tetapi
semuanya memiliki kesamaan, yaitu sama-sama bangsa Indonesia (sesama bangsa
Indonesia). Konsep “sesama” tidak hanya terbatas pada manusia. Manusia dengan
binatang juga memiliki kesamaan, yaitu sama-sama mahluk hidup (sesama mahluk
hidup). Demikian juga kesamaan bisa ditemukan dalam hubungannya dengan yang lain,
sehingga muncul adanya berbagai konsep sesama, seperi sesama ciptaan Tuhan, atau
sesama isi dunia, dan lain sebagainya. Inilah konsep “sesama” dalam arti luas (Pursika,
2009 : 28).
Persatuan merupakan konsep integrasi nasional. Integrasi adalah suatu pola
hubungan yang mengakui adanya perbedaan ras dalam masyarakat, tetapi tidak
memberikan makna penting pada perbedaan ras tersebut. Hak dan kewajiban yang terkait
dengan ras seseorang hanya terbatas pada bidang tertentu saja dan tidak ada sangkut
pautnya dengan bidang pekerjaan atau status yang diraih dengan usaha (Sunarto, 2004).
Integrasi nasional adalah penyatuan bagian-bagian yang berbeda menjadi sebuah
kesatuan yang lebih utuh atau memadukan masyarakat-masyarakat kecil yang banyak
jumlahnya menjadi suatu bangsa (Herdiawanto & Hamdayama, 2010). Dalam
hubungannya dengan Bhinneka Tunggal Ika, maka konsep integrasi nasional sangat
berkaitan erat dengan konsep identitas nasional. Identitas nasional adalah manifestasi
nilai-nilai budaya yang tumbuh dan berkembang dalam aspek kehidupan suatu nation
(bangsa) dengan ciri-ciri yang khas, yang dari ciri khas tersebut, suatu bangsa menjadi
berbeda dengan bangsa lain (Wibisono dalam Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
Dilihat dari konteks Indonesia, identitas nasional merupakan manifestasi nilai-nilai
budaya yang tumbuh dan berkembang dalam berbagai aspek kehidupan dari ratusan suku
yang dihimpun dalam satu kesatuan Indonesia menjadi kebudayaan nasional dengan
acuan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai dasar dan arah pengembangannya
(Herdiawanto & Hamdayama, 2010).
Perubahan cara berpikir pluralisme ke multikulturalisme adalah perubahan
kebudayaan yang menyangkut nilai-nilai dasar yang tidak mudah diwujudkan. Oleh
karena itu diperlukan pemahaman yang mendalam mengenai konsep multikulturalisme
yang sesuai dengan konteks Indonesia dan pemahaman itu harus berjangka panjang,
11
konsisten dan membutuhkan kondisi politik yang mendukung. Masyarakat baru yang
merupakan pergeseran dari masyarakat majemuk ke masyarakat multikultural Indonesia
yang dicita-citakan adalah masyarakat yang menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai
yang mengatur kehidupannya sebagai warga suatu bangsa. Sebagai dasar kehidupan
bernegara, Pancasila memiliki nilai-nilai yang menjadi pedoman kehidupan berbangsa
dan bernegara bagi setiap warga negara.
1. Pada sila Ketuhanan Yang Maha Esa diakui bahwa agama yang dianut
oleh bangsa Indonesia merupakan sumber etika dan moral. Manusia Indonesia
yang bermoral adalah manusia yang menjalankan nilai-nilai agama yang
dianutnya.
2. Sila kedua Pancasila mengandung nilai-nilai demokrasi dan HAM.
Seorang manusia Indonesia hanyalah mempunyai arti di dalam kehidupan
bersama manusia Indonesia lainnya untuk mewujudkan cita-cita yang diinginkan.
Hal ini berarti manusia dan masyarakat Indonesia adalah manusia dan masyarakat
yang humanis dan mengakui akan hak asasi manusia.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, seperti yang telah dijelaskan oleh
Soekarno merupakan alat dan bukan tujuan di dalam kehidupan bersama
masyarakat Indonesia. Oleh sebab itu berbagai kebijakan yang memaksa
menghilangkan kebhinnekaan masyarakat Indonesia adalah bertentangan dengan
sila Persatuan Indonesia.
4. Sila keempat mengandung nilai-nilai demokrasi dan pandangan populis.
Kehidupan bersama masyarakat Indonesia berpihak kepada kepentingan rakyat
dan bukan kepada kepentingan penguasa atau kepada segolongan masyarakat
yang better off.
5. Sila kelima Pancasila, yang penting ialah penguasaan dan pemanfaatan
ilmu pengetahuan dan teknologi bagi kesejahteraan sosial sebagaimana yang
dikemukakan oleh Soekarno didalam salah satu pidatonya.
Sifat pandangan ethnosentrisme ini harus diatur dan diarahkan agar tidak
mendominasi dari lingkungan yang majemuk dan banyak golongan berbeda. Bhineka
Tunggal Ika sebagai alat pengatur masyarakat yang multikultural merupakan paham yang
digunakan oleh bangsa Indonesia sebagai alasan atau sebab pemersatu bangsa.
12
Fenomena radikalisme yang berkembang saat ini terkait dengan kemiskinan dan
kesalahan yang berkaitan dengan ketidakadilan. Konflik cenderung terjadi di daerah
miskin, baik miskin secara ekonomi maupun miskin secara intelektual. Secara edukasi
media massa turut andil dalam menyebarkan berita berita yang ambigu di dalam
masyarakat. Masalah membangun kebebasan beragama di Indonesia merupakan
tantangan yang sulit jika tidak didukung oleh kemampuan otoritas Negara. Peran hukum
untuk mengatur hubungan-hubungan sosial menjadi sangat penting dan kebijakan publik
harus dapat bertindak sebagai kontrak sosial bagi setiap warga negara dan mengikat
semua pihak. Jika tidak dikonsepkan secara sistematis maka akan mendorong munculnya
konflik di dalam masyarakat multikultur yang sulit untuk dihindari yang dipengaruhi oleh
tiga faktor, yaitu : Pertama, Faktor Sosial Ekonomi, artinya berkaitan penguasaan
terhadap persoalan ekonomi. Terjadi klaim bersama dalam mendominasi sumber daya
terbatas, kecemburuan sosial yang berasal dari kesenjangan ekonomi antara migran dan
penduduk asli; Kedua, Faktor Sosial Budaya, motivasi emosional etnis dan sentimen
diantara para penganut agama; dan Ketiga, Faktor Sosial Politik, dengan adanya
distribusi daya tidak merata, individu atau kelompok yang tidak patuh sebagai pihak yang
didominasi terhadap sanksi yang diberikan oleh pihak yang berkuasa dan perselisihan
antara kelompok petahana dan kelompok bawahan.
Franz Magnis Suseno, mengatakan bahwa menjelang Pemilihan Umum isu suku
dan agama menjadi cara yang paling efektif di tengah “keterbatasan kreativitas politik”
dan menguatkan politik identitas di daerah. Politik identitas primordial ini untuk diangkat
menjadi In group dan Out Group di dalam masyarakat yang menyebabkan terjadinya rasa
saling curiga dan kemudian tidak adanya toleransi serta muncul kebencian terhadap
persoalan primordial (perbedaan suku). Di lain sisi, Bangsa Indonesia dapat menjadi
nyata karena dua kali ada komponen bangsa merelakan kedudukan dominannya demi
persatuan bangsa. Peristiwa yang dimaksud adalah peristiwa Sumpah Pemuda pada 1928
dimana pemuda Djong Djava merelakan Bahasa Melayu menjadi Bahasa nasional dan
bukan Bahasa Jawa. Yang berikutnya penetapan Pancasila sebagai dasar negara dalam
Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, para wakil umat Islam setuju
untuk tidak menuntut kedudukan khusus dalam UUD meskipun menjadi agama Islam
adalah mayoritas di Indonesia.
14