Lukas menampilkan Mesias dalam dua cara yaitu pertama, kebangkitan dan penggenapan adalah dua istilah
kunci dalam mengenakan gelar Mesias kepada Yesus. Kedua, dalam pemberitaannya mengenai Yesus sebagai
Mesias Injil Lukas terkadang menambahkan ungkapan yang menyatakan bahwa penderitaan dan kematian
Yesus adalah sesuatu yang perlu sesuai dengan yang dinubuatkan dalam Kitab Suci. Jadi bagi Injil Lukas,
Mesias bukan seorang figur politis, melainkan seorang figur Mesias yang menderita sesuai dengan janji Kitab
Suci untuk memberikan keselamatan kepada manusia.
Injil Sinoptik berbeda-beda dalam mengartikan Mesias dalam diri Yesus. Injil Markus bukan hanya
merumuskan rahasia kemesiasan tapi juga sangat menekankan bahwa Mesias tidak punya banyak waktu atau
buru-buru. Hal ini dianggap wajar bahwa ketika keempat tafsiran atas kerahasiaan Mesias terlihat bahwa ada
penderitaan dan harapan eskatologis dan apokaliptik. Injil Markus begitu sangat ingin mewujudkan kedatangan
Mesias itu karena Ia akan membawa kemuliaan dan pembebesan bagi umat, khususnya komunitas Markus.
Injil Matius menyatakan bahwa Yesus adalah keturunan Daud dan penggenapan Perjanjian Lama karena Injil
Matius berhadapan dengan komunitasnya yang merupakan orang Kristen Yahudi. Injil Matius menggunakan
bahan-bahan Perjanjian Lama untuk meyakinkan pembacanya bahwa Yesus adalah benar-benar penggenapan
nubuatan Mesias. Injil Lukas menghindari penggunaan Mesias dalam artian politis karena Injil Lukas ditulis
kepada seorang penguasa Romawi yang bernama Teofilus Yang Agung
Mesias sebagai tokoh politik tidak akan diberitakan oleh Injil Lukas karena pastinya akan mendapat penolakan
dari bangsa Romawi dan mengesankan agama Kristen akan mengudeta pemerintahan Romawi. Keberagaman
pandangan Mesias dalam Injil Sinoptik memperlihatkan bahwa Mesias diartikan sesuai dengan konteks
komunitas yang ada.
2.3. Mesias Nirkekerasan
2.3.1. Latar Belakang Sosial-Politik Mesias Nirkekerasan
Pandangan Mesias di dalam Perjanjian Baru yang sebelumnya disebutkan adalah pandangan dari para penulis
Injil tentang Yesus. Pandangan itu muncul setelah kehidupan pelayanan Yesus, bukan pada saat pelayanan
Yesus terjadi. Diyakini bahwa para penulis Injil tidak terlibat langsung dalam aktifitas pelayanan bersama
Yesus. Lalu bagaimanakah sebenarnya keadaan sosial-politik saat Yesus melakukan pelayanannya, sehingga
beberapa orang yang dikatakan mengatakan bahwa Yesus adalah seorang Mesias?
Dunia di mana hidup Yesus adalah dunia di mana kekaisaran Romawi mendominasi wilayah Palestina.
Herodes Yang Agung menjadi pemimpin yang bertangan besi yang menggunakan kekerasan dalam
mengokohkan kekuasaannya. Herodes Yang Agung memperlakukan orang Yahudi dengan sombong, menyiksa
orang Farisi bahkan membunuh tiga putranya sendiri. Situasi mengerikan ini menjadi bibit dalam munculnya
perlawanan dari pihak Yahudi. Orang Yahudi melakukan perlawanan di bawah pimpinan tokoh karismatik
yang bercirikan Mesias. Perlawanan besar di bawah tokoh karismatik mendesak kekaisaran Romawi untuk
melakukan perlawanan, salah satunya adalah hukuman mati dengan cara disalib kepada orang-orang yang
dianggap mengancam kekuasaan Romawi.
Munculnya tokoh karismatik yang bercirikan Mesias merupakan konsekuensi logis dari situasi yang dihadapi
orang Yahudi saat itu. Keadaan penindasan dan kekerasan oleh kekaisaran Romawi membuat orang Yahudi
berada dalam dua situasi.
Situasi pertama adalah orang Yahudi melakukan praktik-praktik agamanya sesuai dengan keadaan saat itu.
Orang Yahudi harus menerima keadaan bahwa beberapa peraturan keagamaan saat itu dimodifikasi oleh
kekaisaran Romawi, contohnya adalah persembahan korban yang dilakukan setiap hari di Bait Suci dilakukan
atas nama kaisar dan bukan lagi atas nama Tuhan. Sebagian orang Yahudi menerima perlakuan kasar seperti
ini, namun ada sekelompok orang Yahudi yang melakukan perlawanan terhadap kekaisaran Romawi – dan ini
adalah situasi kedua. Perlawanan orang Yahudi tetap dilakukan di bawah kepemimpinan tokoh karismatik
yang dicirikan Mesias. Orang-orang Yahudi yang melakukan perlawanan itu disebut kaum Zelot. Dua
kelompok Yahudi yang bertahan dengan keadaan yang ada dan kelompok Zelot yang melakukan perlawanan
sebenarnya sama-sama menantikan pemulihan ibadah di Yerusalem.
Kenapa akhirnya tokoh-tokoh karismatik itu bermunculan dan disebut sebagai Mesias? Jika kita merujuk
kepada pemahaman mesias dalam bagian sebelumnya, jelas bahwa seorang pemimpin dibutuhkan dalam
memenuhi aspek pengharapan mesianik orang Yahudi. Pengharapan mesias yang dikenakan pada tokoh
karismatik membawa ingatan orang Yahudi kembali pada kejayaan bangsa Israel. Orang Yahudi yang hidup
saat itu ingin bahwa mereka lepas dari kekuasaan Romawi. Orang Yahudi berharap bahwa ada pemimpin yang
akan memulihkan situasi ketertindasan mereka dan kemurnian ibadah mereka di Yerusalem. Perlawanan oleh
tokoh karismatis yang bercirikan Mesias membuat tentara romawi memperketat pengamanan untuk mencegah
kemungkinan munculnya para Mesias dan para pengikutnya. Bahkan tentara Romawi juga memeriksa dan
menganiaya beberapa orang yang merupakan keturunan Daud untuk mencegah munculnya keturunan Daud
menjadi Mesias.
Yesus dan Mesias Nirkekerasan
Bagi orang Yahudi di masa pemerintahan Romawi, kehadiran Yesus dianggap sebagai salah satu tokoh
karismatik yang bercirikan Mesias. Yesus dianggap demikian karena Yesus mengabarkan tentang Kerajaan
Allah. Anggapan orang Yahudi saat itu tentang Kerajaan Allah adalah Yesus telah dipilih oleh Allah untuk
menjadi wakilNya dalam dunia ini. Pemahaman ini muncul dari kata Kerajaan Allah itu sendiri yang berarti
ada sebuah wilayah di mana Allah akan memerintah atasnya dan otoritas dari Allah untuk memerintah.
Pemahaman Kerajaan Allah dipengaruhi situasi di mana orang Yahudi sering dihadapkan pada penderitaan
yang dilakukan oleh kerajaan dari bangsa lain. Tercatat bahwa beberapa kerajaan telah menindas dan
menaklukan Israel seperti Babilonia, Asyur, Asiria, Persia dan Roma.
Orang Yahudi sudah sangat merindukan bahwa akan datang waktunya di mana Kerajaan Allah yang akan
memerintah dan menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Kerinduan terhadap kejayaan pemerintahan raja Daud
juga melatarbelakangi gerakan orang Yahudi untuk percaya pada Yesus yang akan datang sebagai Mesias,
seorang Raja keturunan Daud, yang akan memerintah di Kerajaan Allah.
Yesus menghadirkan sebuah cara agar umat tidak terperangkap dalam lingkaran kekerasan. Yesus hidup dan
mengajarkan sebuah jalan nirkekerasan. Jalan nirkekerasan yang dilakoni Yesus adalah respon atas keinginan
orang Yahudi abad pertama yang memilih untuk menjadi nirkekerasan. Josephus mengatakan bahwa saat itu
orang Yahudi melakukan perlawanan nirkekerasan terhadap kekaisaran Romawi. Josephus mengatakan bahwa
perlawanan nirkekerasan itu lebih banyak pada aspek religius.
Salah satu contoh yang diberikan Josephus adalah Kaisar Caligula yang hendak mendirikan patungnya di Bait
Allah di Yerusalem pada tahun 39 M. Orang Yahudi menolaknya dengan memilih mati daripada hidup untuk
menyaksikan patung Caligula masuk dalam Bait Allah.
Namun konsep nirkekerasan yang diajarkan Yesus mendapat pertentangan karena masih bernuansa kekerasan.
Hal itu dapat ditemui dalam perumpamaanperumpamaan yang cenderung menghakimi dan bersifat destruktif.
Perumpamaan itu menimbulkan ketegangan bagi para pembaca karena diperhadapkan dengan nirkekerasan
Yesus dan kekerasan ilahi (Allah). Ketegangan ini akan membawa orang untuk melegalkan tindakan kekerasan
karena dipercaya tindakannya dilakukan juga oleh Allah. Beberapa perkataan Yesus juga dinilai mengandung
unsur kekerasan. Salah satu perkataan Yesus yang dipakai untuk menolak konsep nirkekerasan adalah
Matius 10:34 “Jangan kamu menyangka, bahwa Aku datang untuk membawa damai di atas bumi; Aku datang
bukan untuk membawa damai, melainkan pedang.” Kata pedang memang identik dengan tindak kekerasan,
namun perkataan Yesus ini perlu dilihat dalam konteks di mana perkataan itu dimuat oleh Injil Matius. Pedang
yang dimaksudkan dalam Matius 10:34 adalah pemisahan atau perlawanan. Perkataan Yesus mengenai pedang
bukanlah sebuah ajakan bagi pengikutnya untuk mengangkat pedang dan melakukan perlawanan. Perkataan
tersebut ingin menegaskan bahwa kesetiaan dalam mengikuti-Nya akan membawa seseorang dalam situasi
sulit di mana keluarga dekatnya akan memberikan penolakan.
Perumpamaan Yesus mengenai penghakiman akhir dipakai juga untuk menyanggah konsep mesias
nirkekerasan. Perumpamaan mengenai penghakiman akhir menyuguhkan situasi yang mengerikan di mana
tidak diberikannya pengampunan dan pembuangan orang-orang fasik ke dalam jurang kegelapan.
Gambaran ini tentunya bertentangan dengan konsep nirkekerasan yang penuh dengan kasih. Adanya kekerasan
dalam perumpamaan Yesus setidaknya dapat dipahami dalam dua hal. Pertama, kekerasan yang ditampilkan
dalam perumpamaan menyimbolkan kekerasan yang dialami oleh umat Kristen saat itu. Penghakiman akhir itu
adalah bentuk penghiburan di mana setiap umat Kristen yang menderita akan mendapatkan penghiburan yaitu
keselamatan dan bukan penghukuman. Penghukuman itu akan diberikan pada pihak-pihak yang telah membuat
umat Kristen menderita. Pemahaman ini dapat dikatakan bahwa si korban yaitu umat Kristen tetap bertindak
nirkekerasan walaupun kekerasan mengiringi kehidupan mereka.
Di sisi lain penghukuman terhadap pelaku kekerasan tetap menjadi sorotan karena juga menyetujui adanya
kekerasan. Namun jika pernyataan ini digiring kembali pada situasi terbentuknya konsep mesias, maka
penggambaran penghakiman akhir adalah sesuatu yang wajar karena Mesias yang datang menghakimi adalah
harapan dari setiap orang yang menderita kekerasan. Guna menghindari keambiguan konsep mesias
nirkekerasan maka perumpamaan yang mengandung kekerasan dalam dipahami dalam hal yang kedua yaitu
perumpamaan tersebut adalah ajakan untuk melakukan nirkekerasan. Perumpamaan tentang penghakiman
akhir adalah hal yang bersifat eskatologis, sedangkan nirkekerasan lebih bersifat waktu sekarang. Nirkekerasan
justru berusaha untuk mewujudkan agar di waktu kelak akan tercipta juga situasi nirkekerasan bukan
kekerasan seperti yang digambarkan oleh perumpamaan itu.
Apabila setiap orang tetap berada dalam lingkaran kekerasan, maka yang terjadi adalah penghukuman tanpa
pengampunan dan pembedaan antara orang benar dan orang fasik. Hal ini dilihat sebagai sikap individu yang
terus melakukan kekerasan tanpa memikirkan akibatnya bagi korban dan setiap orang akan melakukan apapun
untuk menjadi kuat dan terbebas dari keadaan mencekam. Jadi perumpamaan tentang penghakiman akhir yang
penuh dengan kekerasan itu adalah situasi yang akan terjadi apabila kekerasan tetap dibiarkan tumbuh sumbur
dalam masyarakat. Setiap orang harus keluar dari lingkaran kekerasan itu untuk menciptakan hari esok yang
penuh harapan di mana setiap orang menjalani sikap nirkekerasan dan situasi yang penuh kasih dan damai
dapat tercipta.
Nirkekerasan Yesus dapat dijelaskan melalui kata Yunani antistenai. Kata antistenai merupakan bentukan dari
dua kata yaitu anti, yang berarti melawan dan histemi yang berarti pemberontakan yang menggunakan
kekerasan. Kata antistenai sendiri digunakan dalam Septuaginta untuk merujuk pada situasi di mana ada dua
kubu saling berlawanan sampai salah satu kubu kalah. Kata antistenai berarti ‘jangan melawan kejahatan’.
Walter Wink tidak menyetujui pengartian ‘jangan melawan kejahatan’ karena terkesan hanyalah sebuah
perintah dan menggiring pada sebuah kepatuhan semu. Walter Wink melihat bahwa antistenai lebih baik
diartikan
‘jangan bertindak dengan keras kepada seseorang yang bertindak jahat’. Pengartian lebih mengarahkan
pembacanya kepada sebuah tindakan nyata.
Beberapa kisah dalam Injil menunjukkan bagaimana seharusnya bertindak dalam menghadapi kekerasan, salah
satunya adalah kisah tentang memberikan pipi yang di sebelah kanan ketika ada seseorang yang menampar
pipi kiri. Pemberian pipi kanan untuk ditampar bukanlah sebuah tindakan yang pasif, mengalah ataupun
melukai. Ketika seseorang mendaratkan tamparan di pipi kanan seseorang, maka ia akan menggunakan bagian
luar tangannya. Bagian luar tangan kanan seseorang adalah bagian yang sering dipakai untuk menunjukkan
kepatuhan dan sikap tunduk pada seseorang yang lebih tinggi status sosialnya, seperti para budak yang
mencium bagian luar tangan kanan tuannya.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa seseorang tidak dapat direndahkan dengan cara apapun. Kisah pemberian
pipi kanan adalah untuk menciptakan keseteraan di antara manusia. Seseorang yang menampar berarti
merendahkan orang yang ditampar. Ia mengambil peran sebagai yang superior dan si korban menjadi inferior.
Namun ketika si korban membiarkan pipi kanannya ditampar dengan menggunakan bagian luar tangan si
penampar, maka terjadilah pertukaran posisi antara si penampar
(inferior) dan si korban (inferior). Tindakan ini dilakukan bukan untuk bermaksud melukai si korban, tapi
untuk menjadikan sebuah situasi agar tidak terulang lagi lingkaran setan kekerasan. Setiap korban pasti akan
cenderung membalas kekerasan kepada pelakunya. Kalau hal itu terjadi, maka setiap orang akan berusaha
untuk menaklukan lawannya dan menguasai lawannya. Pemberian pipi kanan adalah cara agar setiap orang
tidak lagi berpikir untuk mendominasi orang lain, tapi lebih pada penyetaraan derajat – tidak ada lagi istilah
inferior dan superior. Hal ini juga untuk melawan kultur Romawi yang keras dan senang mencari kehormatan.
Nirkekerasan bukanlah sebuah tindakan yang pasif atau tindakan yang mengalah. Nirkekerasan adalah sebuah
tindakan nyata, ia melakukan sesuatu dalam melawan kejahatan yaitu tidak bertindak dengan keras. Seseorang
yang melakukan nirkekerasan melakukan satu tindakan tapi bukan tindakan yang mengandung kekerasan.
Ketika Yesus dikatakan sebagai Mesias, berarti Ia akan memimpin perlawanan melawan Romawi untuk
memberi kehidupan baru bagi orang Yahudi yang menderita kala itu. Yesus sebagai Mesias nirkekerasan
membawa perubahan bagi kehidupan masyarakat saat itu untuk tidak bertindas keras terhadap para
penindasnya (Romawi).
Nirkekerasan dan Gereja
Mesias nirkekerasan telah mengubah makna Mesias itu sendiri. Mesias nirkekerasan bukan lagi menjadi
sebuah konsep eskatologis, tapi ia menjadi konsep yang bernilai ‘hari ini’. Mesias nirkekerasan bukan lagi
menjadi sebuah keyakinan dogmatis, tetapi ia telah menjadi sebuah tindakan etis. Jalan nirkekerasan yang
dipilih Yesus bukanlah sebuah perubahan sosial tapi adalah sebuah pemahaman diri yang baru. Jalan
nirkekerasan Yesus adalah sebuah bentuk konkrit dari penghayatan spiritural diriNya. Oleh karenanya Yesus
mengajak bukan untuk mengubah dunia ini tapi untuk menunjukkan bahwa tindakan etis, atau dalam hal ini
tidak melawan kekerasan dengan kekerasan, adalah hasil perenungan spiritual bukan hanya norma atau
ketaatan biasa. Perenungan itu menghasilkan hubungan yang antar pribadi yang saling menghargai dan
menghormati.
Mesias nirkekerasan mengandung kasih Allah di dalamnya. Nirkekerasan menjadi sebuah tindakan Allah bagi
manusia. Mesias nirkekerasan menjadi penghubung antara dunia Allah yaitu kasih dan dunia manusia yaitu
dosa. Mesias nirkekerasan membawa kasih dari Allah dan membawa keberdosaan manusia. Ketaatan Yesus
dalam menjalani perannya sebagai Mesias nirkekerasan, sampai mati di kayu salib, memampukan kekristenan
melakukan nirkekerasan yang di dalamnya terdapat kasih. Jalan nirkekerasan merupakan jalan untuk masuk ke
dalam kasih Allah. Nirkekerasan bukanlah menilai bahwa seseorang punya hak untuk menolak kekerasan
terjadi dalam dirinya. Nirkekerasan adalah cara untuk tetap berada dalam kasih Allah. Ketika seseorang telah
membalas kekerasan dengan kekerasan dia telah memalingkan diri dari kasih Allah. Jadi nirkekerasan
bukanlah sebuah sikap yang menuntut kepatuhan tapi sebuah kesadaran diri untuk tidak berlaku kekerasan.
Nirkekerasan berada dalam ruang kasih Allah yang tidak menuntut balasan dari manusia. Kasih Allah selalu
diberikan dan ditujukan bagi umat walaupun umat melakukan kekerasan yang membuat mereka terasing dari
kasih Allah. Allah menerima kekerasan dari umat namun tidak membalas kekerasan itu dengan hukuman atau
kekerasan. Allah tidak menggunakan pemahaman hirarkis untuk membedakan dirinya dengan umat, justru
Allah mendekatkan dirinya agar terjadi hubungan antar pribadi. yang erat. Demi terciptanya hubungan pribadi
yang erat itu pula, kasih Allah menjelma dalam tubuh manusia. Oleh karenanya ketika seseorang melakukan
kekerasan terhadap orang lain, ia melakukan penolakan terhadap kasih Allah yang ada dalam diri setiap
individu.
Gereja memberitakan kasih Allah ia bukanlah sebuah bentuk yang tidak nyata tapi nyata dalam diri Yesus dan
lebih nyata lagi dalam diri umat. Gereja menjadi pemberita kasih Allah dengan sikap nirkekerasan. Gereja
mempunyai kesadaran untuk mengundang semua orang untuk masuk dalam kasih Allah dengan melakukan
nirkekerasan. Gereja perlu membangun sikap untuk tidak membeda-bedakan umat karena pada dasarnya kasih
Allah dan nirkekerasan adalah soal kesamaan derajat dan memanusiakan manusia.
2.4. Penutup
Nirkekerasan menjadi jalan yang dipilih oleh Yesus dalam situasi masyarakat saat itu. Situasi saat itu
memerlukan adanya perubahan situasi bagi orang Yahudi dalam masa pemerintahan Romawi. Berbagai
perlawanan dilakukan oleh mereka, namun tidak menemui kemenangan. Perlawanan yang dilakukan justru
membuat mereka semakin dicurigai dan dijadikan sasaran kekerasan. Beberapa orang Yahudi memutuskan
untuk tidak melawan dan hidup sesuai dengan keadaan menghindari kekerasan.
Yesus disebut-sebut sebagai Mesias yang akan membawa kebebasan dari penindasan kekaisaran Romawi.
Orang Yahudi semakin yakin bahwa Yesus adalah Mesias ketika Ia memberitakan Kerajaan Allah. Mereka
percaya dan berharap bahwa Kerajaan Allah akan memerintah lagi di mana Yesus sebagai rajanya dan akan
menaklukan kerajaan-kerajaan lain. Yesus memang tidak memberitakan bahwa
Kerajaan Allah akan terbentuk dalam dunia ini. Kerajaan Allah yang diberitakan
Yesus adalah situasi di mana Allah hadir di dalamnya dan menampakkan sifat-sifat Allah.
Mesias Nirkekerasan menjadi jalan alternatif yang ditempuh Yesus untuk mendamaikan dua pandangan besar
tersebut. Mesias nirkekerasan menjadi pemimpin dalam bertindak melawan kekerasan. Mesias nirkekerasan
menjadi pemimpin untuk membawa perubahan baru bagi masyarakat saat itu. Perubahan baru itu adalah
bagaimana seseorang tidak lagi berpikir untuk mengalahkan atau mendominasi pihak lain. Seseorang dipanggil
untuk mengubah lingkaran kekerasan
Like
Forward
Copy
Report
itu dengan tidak mengubah posisi dari korban menjadi pelaku kekerasan, tapi menyadari bahwa keberadaan
dan derajat yang sama sebagai manusia. Mesias nirkekerasan memimpin untuk menghindari terjadinya kontak
fisik dan membawa pemahamawan baru di mana kekerasan diubah menjadi kasih. Mesias nirkekerasan
menjadi jalan baru yang ditempuh sesuai dengan konteks masyarakat yang ada saat itu.
Jika melihat definisi Mesias dan beberapa Mesias dalam pandangan Kristen, maka Mesias nirkekerasan adalah
seorang pemipin yang mempunyai dampak sosial, menjadi pemimpin yang membawa perubahan dan
mendatangkan keselamatan agar orang menyadari untuk tidak melakukan kekerasan atau membalas kekerasan
dengan kekerasan.