Anda di halaman 1dari 4

Pembahasan Pitfall Trap

Pada praktikum yang menggunakan metode Pitfall Trap ini kami lakukan di kebun
Biologi FMIPA Universitas Negeri Malang pada tanggal 1 Maret 2017. Menurut Lettink dan
Seddon (2007), penangkapan fauna tanah menggunakan metode Pitfall Trap bertujuan untuk
mengetahui estimasi estimasi kelimpahan spesies dan dapat digunakan untuk menganalisis
hewan terkait distribusi, keberadaan suatu spesies dalam suatu area, indeks kelimpahan,
perkiraan kepadatan, tren populasi, situs hunian, dan perkiraan hidup. Metode Pitfall Trap ini
merupakan metode yang paling baik untuk menjebak serangga aktif di atas permukaan tanah
(Darma, 2013). Sebelum kami melakukan pengamatan terhadap fauna tanah, kami melakukan
analisis terhadap faktor abiotik berupa tanah pada lokasi yang kami amati. Pertama kami
mengukur seberapa besar suhu tanah pada lokai tersebut menggunakan termometer tanah dan
hasil menunjukkan bahwa tanah lokasi yang kami amati mempunyai suhu sebesar 26,5°C.
Sedangkan untuk pengukuran menggunakan Soil Analyzer kami lakukan pengamatan
terhadap semua plot. Dari semua plot yang kami amati, rata-rata semua plot memiliki pH
tanah netral yaitu 7, tingkat kesuburan yang rendah, penyinararan rata-rata sebesar 3-6, dan
kelembaban yang rendah.

Tujuan dari praktikum ini yaitu untuk mengetahui estimasi kelimpahan hewan epifauna.
Hewan tanah adalah semua organisme yang hidup di tanah, baik di permukaan tanah maupun
di dalam tanah (Poerwowidodo, 1992). Sebagian atau seluruh siklus hidup hewan tanah
berlangsung di dalam tanah serta dapat berasosiasi dan beradaptasi dengan lingkungan tanah.
Kelompok hewan tanah ini sangat banyak dan beranekaragam, mulai dari Protozoa, Rotifera,
Nematoda, Annelida, Mollusca, Arthropoda, hingga vertebrata kecil (Suin, 2012). Hewan
tanah bertanggung jawab atas penghancuran dan sintesis organik (Wallwork, 1970).
Suhardjonodan (1997) dalam Husamah (2014) mengklasifikasikan hewan tanah berdasarkan
ukuran tubuh menjadi 3 golongan yaitu:
1. Mikrofauna, kelompok binatang yang berukuran tubuh <0,15 mm, seperti protozoa dan
stadium
pradewasa beberapa kelompok lain misalnya Nematoda
2. Mesofauna, kelompok yang berukuran tubuh 0,16 mm-10,4 mm dan merupakan kelompok
terbesar
dibanding kedua kelompok lainnya, seperti Insecta, Arachnida, Diplopoda, Chilopoda,
Nematoda,
Mollusca, dan bentuk pradewasa dari beberapa binatang lainnya seperti kaki seribu dan
kalajengking
3. Makrofauna, kelompok binatang yang berukuran panjang tubuh >10,5 mm, seperti Insekta,
Crustaceae, Chilopoda, Diplopoda, Mollusca, dan vertebrata kecil
Berdasarkan habitatnya, Husamah (2014) membedakan fauna tanah menjadi 3
golongan yaitu:
1. Endogeic, yaitu hewan yang hidup didalam tanah, pemakan hewan organik dan akar
tumbuhan yang mati serta liat (gephagus). Tipe ini disebut juga “ecosystem engineer”.

2. Epigeic, yaitu hewan yang hidup dan makan di permukaan tanah, berperan dalam
penghancuran serasah dan pelepasan unsur hara tetapi tidak aktif dalam penyebaran serasah
ke dalam profil tanah.

3. Anecic, yaitu hewan yang memindahkan serasah dari permukaan tanah dan aktif memakan
serta bergerak ke dalam tanah dan berlindung dari serangan predator maupun kondisi iklim
yang kurang menguntungkan.

Berdasarkan klasifikasi tersebut dikarenakan metode yang dipakai adalah pitfall trap,
maka hewan tanah yang ditemukan adalah hewan epifauna sehingga semua fauna tersebut
termasuk Epigeic, yaitu hewan yang hidup dan makan di permukaan tanah. Menurut
Husamah (2014), tipe ini disebut “litter transformer” atau “penghancur serasah” karena
berperan dalam dekomposisi in-situ melalui fragmentasi dan melumatkan fisik serasah tanpa
susunan kimianya. Kelompok organisme yang hidup di tanah membentuk suatu sistem
integrasi, yang dapat disebut juga komunitas tanah (Suin, 2012).

Berdasarkan hasil pengamatan kelompok kami terhadap kelimpahan hewan epifauna


menggunakan metode pitfall trap dengan menguji sebanyak lima plot, kelompok kami
menemukan hewan epifauna berupa Dolichoderus sp. atau semut hitam yang berukuran kecil.
Dolichoderus sp. ini kami temukan pada plot 2 dan jumlah yang kami temukan hanya satu.
Dolichoderus sp. ini mempunyai petiole saja, bagian apex gaster mempunyai acidophore
berbentuk bulat atau separuh bulat. Mempunyai antena gemilukat dan mempunyai 11 segmen
yang jelas dan tidak mempunyai sengat tetapi mempunyai sistem yang mengeluarkan acid
formik. Abdomennya melengkung ke dalam. Salah satu perilakunya adalah mencari makanan
untuk mempertahankan kelangsungan hidup koloninya adalah membentuk iring-iringan
secara bergelombol (Smith, 2005 dalam Rafael, 2014). Untuk hewan epifauna kedua yang
kami temukan adalah Paederus littoralis, di mana Paederus littoralis ini kami temukan pada
plot 4 sebanyak empat ekor dan pada plot lima kami menemukan sebanyak 6 ekor. Menurut
Kalshoven (1981) serangga bernama ilmiah Paederus littoralis ini memiliki tubuh yang
ramping dengan ujung bagian perut (abdomen) meruncing, dada (thorax) dan perut bagian
atas berwarna merah muda hingga tua, serta kepala, sayap depan (elytra), dan ujung perut
(dua ruas terakhir) berwarna hitam. Sayap depannya pendek, berwarna biru atau hijau metalik
bila dilihat dengan kaca pembesar. Sayap depan yang keras menutupi sayap belakang dan tiga
ruas perut pertama. Sayap belakang digunakan untuk terbang. Meskipun dapat terbang,
Paederus littoralis ini lebih suka berlari dengan gesit.

Berdasarkan ditemukannya dua spesies tersebut, setelah kami analisis kami


mendapatkan nilai indeks keanekaragaman sebesar 0,31. Hal ini menunjukkan bahwa
keanekaragaman spesies epifauna pada lokasi yang kami amati adalah rendah. Hal ini sesuai
menurut Rahmawaty (2000), bahwa kriteria indeks keanekaragaman (H’) dibagi menjadi tiga
antara lain keanekaragaman rendah (H’ <1,5), keanekaragaman sedang (H’ 1,5-3,5), dan
keanekaragaman tinggi (H’ >3,5). Dari keanekaragaman yang rendah pada lokasi yang kami
amati kemungkinan dapat disebabkan oleh faktor abiotik pada lokasi tersebut. Menurut Suin
dalam Ruslan (2009), faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi hewan epifauna antara
lain:

1. Suhu tanah. Suhu tanah pada lokasi yang kami amati mempunyai suhu sebesar 26,5°C
sehingga masih mungkin memungkinkan organisme tanah untuk dapat hidup. Suhu
tanah merupakan salah satu faktor fisika tanah yang sangat menentukan kehadiran dan
kepadatan organisme tanah (Suin, 2003). Spesies makrofauna cenderung menyukai
tempat yang bersuhu rendah (Kamal, 2011).
2. pH tanah. pH tanah pada lokasi yang kami amati mempunyai pH netral (7) sehingga
masih mungkin memungkinkan organisme tanah untuk dapat hidup. Keberadaan dan
kepadatan hewan tanah sangat tergantung pada pH tanah. Hewan tanah ada yang
memilih hidup pada tanah yang pHnya asam dan ada pula yang senang dengan pH
basa, serta pada pH asam dan basa (Suin, 2003). Kondisi pH tanah bergantung pada
kandungan senyawa kimia dalam tanah. Tanah yang diberi pupuk, insektisida, atau
unsur hara lain akan menyebabkan pH tanah menjadi berbeda. Semakin banyak
kandungan senyawa kimia yang terkandung dalam tanah akan berakibat semakin
berkurangnya keanekaragaman spesies di dalamnya (Herlinda, 2008).
3. Kelembaban. Kelembaban tanah pada lokasi yang kami amati mempunyai
kelembaban yang rendah. Kelembaban memberikan efek membatasi terhadap
organisme apabila keadaan ekstra, yakni apabila keadaan sangat rendah atau tinggi
(Odum, 1993).
4. Penyinaran cahaya matahari. Penyinaran cahaya matahari pada lokasi yang kami
amati rata-rata menunjukkan angka 5 pada Soil Analyzer. Banyaknya kelompok
hewan permukaan tanah yang aktif pada malam hari (noncultural) diduga berkitan
erat dengan karakteristik hewan tanah pada umumnya yang tidak menyukai intensitas
cahaya matahari yang tinggi. Selain itu, pada siang hari banyak hewan-hewan
predator misalnya burung yang aktif mencari mangsa berupa berbagai jenis hewan
tanah (Sugianto, 2002).

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan, dapat diperoleh beberapa kesimpulan antara lain sebagai
berikut:

1. Metode Pitfall Trap merupakan suatu metode yang digunakan untuk mengetahui
keberadaan hewan epifauna tanah. Penangkapan epifauna tanah menggunakan Pitfall
Trap bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman spesies yang dihitung
menggunakan rumus indeks keanekaragaman.
2. Faktor lingkungan fisik yang mempengaruhi epifauna tanah antara lain suhu tanah,
pH tanah, kelembabaan tanah, dan intensitas cahaya matahari.
3. Spesies epifauna tanah yang berhasil kami dapat melalui jebakan Pitfall Trap pada
seluruh lokasi adalah Dolichoderus sp dan Paederus littoralis.
4. Indeks keanekaragaman (H’) menunjukkan pada lokasi yang kami amati
keanekaragamannya rendah dilihat dari nilai indeks keanekaragmannya yaitu hanya
0,31.

Anda mungkin juga menyukai