Anda di halaman 1dari 29

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Lokasi penelitian terletak di pantai Natal Kecamatan Natal Kabupaten
Mandailing Natal Sumatera Utara. Penelitian dilaksanakan bulan April‒Juni 2016.

Sumber : Digitasi Bakosultanal,Bappada Sumut 2013

3.2. Alat dan Bahan


Alat yang digunakan dalam penelitian untuk mengumpulkan data-data
morfologi antara lain : kantong plastik berlabel, pipa paralon, transek kuadrat 1x1 m
untuk sampling, pH meter, GPS, DO Meter (DO-5519 Lutron), refraktometer,
keeping secchi, stopwatch, kamera, meteran, gabus, termometer, pipet tetes, tali, ice
box dan alat-alat tulis. Bahan yang digunakan aquadest, alkohol 70% untuk
tumbuhan lamun dan makrozoobentos yang diobservasi di lapangan.

16
Universitas Sumatera Utara
17

3.3 Penentuan Stasiun


Lokasi penelitian ditetapkan sebanyak 4 stasiun dengan metode Purposive
Sampling.
a. Stasiun I
Stasiun ini merupakan daerah perairan yang sangat dangkal ketika air laut
surut yang secara georafis terletak 0º37.196 ‒99º4.961
LU BT. Tumbuhan lamun
yang dijumpai adalah Cymodocea rotundata

Gambar 6. Lokasi Penelitian Stasiun 1


b. Stasiun II
Stasiun ini merupakan daerah dekat muara sungai Panggautan dan
pemukiman penduduk yang secara geografis terletak 0º37.738 ‒99º4.317
LU BT.
Tumbuhan lamun yang dijumpai adalah Enhalus acoroides.

Gambar 7. Lokasi Penelitian Stasiun II

Universitas Sumatera Utara


18

c. Stasiun III
Stasiun ini merupakan daerah dekat teluk dan jauh dari pemukiman
penduduk yang secara geografis terletak 0º37.674 ‒99º4.198
LU BT. Tumbuhan
lamun yang dijumpai adalah Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis dan Halodule pinifolia.

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II

Gambar 8. Lokasi Penelitian Stasiun III


d. Stasiun IV
Stasiun ini merupakan daerah yang ditumbuhan lamun jenis Cymodocea
rotundata, Enhalus acoroides, Halophila ovalis, Halodule pinifolia dan tidak
terdapat pemukiman penduduk secara geografis terletak 0º37.759 LU‒99º4.103 BT.

Gambar 3.2 Lokasi Penelitian Stasiun II

Gambar 9. Lokasi Penelitian Stasiun IV

Universitas Sumatera Utara


19

3.4 Pengambilan Sampel Makrozoobentos dan Tumbuhan Lamun


Pengambilan sampel dilakukan dengan metode observasi langsung yang
dilakukan pada waktu air laut surut agar tidak terkendala dengan arus dan
gelombang untuk mempermudah pengambilan sampel makrozoobentos dan
tumbuhan lamun. Kuadran pengamatan dengan transek kuadrat 1x1 m. Pada tiap
lokasi sampling (satsiun I, stasiun II, stasiun III dan stasiun IV) ditetapkan dua garis
transek yang ditarik tegak lurus kearah laut.
Titik awal transek kuadrat dimulai dari garis pantai sejauh 5 meter tegak
lurus. Transek kuadrat kedua diambil dari titik akhir transek kuadrat pertama sejauh
5 meter. Jarak antara dua garis transek adalah 10 meter. Pengambilan sampel
dilakukan sebanyak 5 kali pengulangan. Pengambilan sampel makrozoobentos
dengan menggunakan sekop dengan bukaan 20x20 cm. Sampel yang telah diambil
kemudian di saring dengan menggunakan sieve net berukuran 1 mm. Sampel
makrozoobentos dan tumbuhan lamun yang telah diambil dibersihkan dengan air.
Sampel makrozoobentos dan tumbuhan lamun yang sudah di dapat pada
setiap plot ditempatkan dalam kantong plastik berlabel yang berbeda, selanjutnya
diberi larutan alkohol 70%. Identifikasi dilakukan dengan cara mengamati bentuk
dan struktur tubuh dan sampel makrozoobentos menggunakan lup dan dicocokkan
dengan buku identifikasi Dharma (1998) Pennak (1978). Pada masing-masing lamun
dihitung persentase tutupan lamun selanjutnya diidentifikasi jenis tumbuhan lamun
dengan melihat bentuk daun dan rhizoma berdasarkan buku identifikasi.

Gambar 10. Desain Penelitian

Universitas Sumatera Utara


20

3.5 Pengukuran Parameter Lingkungan


Parameter lingkungan yang diukur yaitu suhu, kecepatan arus, derajat
keasaman (pH), oksigen terlarut (DO), salinitas, penetrasi cahaya yang dilakukan in
situ pada setiap stasiun pengamatan. BOD, COD dilakukan di laboratorium.
Pengukuran pada waktu pagi hari (suhu, pH dan DO) serta ketika pasang dan surut
(kekeruhan dan kecepatan). Pengukuran dilakukan disetiap stasiun penelitian dengan
5 kali pengulangan.
a. Temperatur air
Temperatur diukur dengan menggunakan termometer air raksa, dimana
termometer air raksa dimasukkan kedalam air ± 10 menit kemudian dibaca skalanya.
b. Penetrasi Cahaya
Penetrasi cahaya diukur dengan menggunakan keeping secchi. Keeping
secchi dimasukkan ke dalam badan air sampai keeping secchi tidak terlihat
kemudian diukur panjang tali yang masuk kedalam air.
c. Kecepatan arus
Kecepatan arus diukur dengan menggunakan gabus yang diletakkan di atas
air dan dibiarkan mengalir mengikuti arus, kecepatan arus diukur dengan stopwatch
sesuai dengan jarak yang ditentukan.
d. Salinitas
Pengukuran salinitas dengan mengguakan alat refraktometer. Air sampel
diambil dengan mengunakan pipit tetes dan dibaca skala yang terdapat di dalam
refraktometer.
e. pH
pH diukur dengan menggunakan pH meter dengan cara memasukkan pH
meter ke dalam sampel air yang diambil dari dasar perairan sampai pembaca pada
alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada pH meter tersebut.
f. Dissolved Oxygen (DO)
Dissolved Oxygen (DO) diukur dengan menggunakan alat DO Meter (DO-
5519 Lutron) dengan cara memasukkan DO meter kedalam sampel air sampai
pembaca alat konstan dan dibaca angka yang tertera pada DO Meter tersebut.

Universitas Sumatera Utara


21

g. Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
O 2(u )
Kejenuhan (%) = x
02(t )
Dimana: O2 (u) = Nilai konsentrsi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan harga
temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut maksimum terlampir
(lampiran 1)
h. BOD
Pengukuran BOD dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
diambil kemudian dimasukkan kedalam botol dan diberi perlakuan sesuai dengan
yang terdapat pada lampiran 2.
i. COD
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium. Bagan
kerja pada lampiran 3.
j. Jenis Substrat/Fraksi Substrat
Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan membenamkan pipa paralon
sedalam ±20 cm. Sampel Subtrat yang diambil ± 200gr dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang telah diberi label. Analisis butiran substrat dilakukan dengan
metode segitiga tekstur tanah USDA. Analisa jenis substrat dan kandungan organik
akan dilakukan di Laboratorium Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Gambar 11. Diagram Segitiga Tekstur Tanah USDA

Universitas Sumatera Utara


22

Secara keseluruhan pengukuran faktor lingkungan beserta satuan dan alat


yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 dibawah ini
Tabel 1 Alat dan Satuan yang Dipergunakan dalam Pengukuran Faktor
Lingkungan Penelitian
No Parameter Satuan Alat Tempat
1 Temperatur air ºC Termometr air raksa In situ
2 Penetrasi cahaya Cm Keping seechi In situ
m
3 Kecepatan arus /det Stopwatch, gabus, meteran In situ
4 Salinitas ‰ Refraktometer In situ
5 pH - pH air In situ
6 DO mg/l DO Meter (DO-5519 Lutron) In situ
7 Kejenuhan Oksigen % - Laboratorium
8 BOD mg/l Metoda winkler dan inkubasi Laboratorium
9 COD mg/l Metoda Refluks Laboratorium

3.6 Analisis Data


3.6.1 Makrozoobentos
Sampel makrozoobentos yang telah diidentifikasi selanjutnya dianalisis dengan
perasamaan sebagai berikut :
a. Kepadatan Populasi (K)

Jumlah Individu Suatu Jenis


K=
Luas Area

b. Kepadatan Relatif (KR)

Kepada tan Suatu Jenis


KR = x 100%
Jumlah Kepada tan Seluruh Jenis

c. Frekuensi Kehadiran (FK)

Jumlah Plot yang Ditempati Suatu Jenis


FK = x 100%
Jumlah Total Plot

Universitas Sumatera Utara


23

Dimana : FK = 0‒25% : Kehadiran Sangat Jarang


FK = 25‒50% : Kehadiran Jarang
FK = 50‒75% : Kehadiran Sangat
FK > 57% : Kehadiran sering/absolut

d. Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai spesies
yang mendominasi dalam suatu komunitas. Rumusnya sebagai berikut (Odum 1993):
2
S
 ni 
C = ∑ 
i =1  N 

C = Indeks dominansi (Index of dominance)


Ni = nilai dari setiap spesies (jumlah individu ke-i)
N = nilai total seluruh spesies (jumlah individu total yang telah ditemukan)
‒1. 0Indeks 1 menunjukkan
Nilai indeks dominanansi berkisar antara
dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi (hanya terdapat satu jenis pada satu
stasiun). Indeks 0 menunjukkan bahwa antara jenis-jenis yang ditemukan tidak ada
yang mendominasi.

e. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman populasi
secara matematis untuk mempermudah menganalisis jumlah individu masing-masing
jenis pada suatu komunitas. Perhitungan Indeks keanekaragaman (H’) dengan
persamaan Shannon-Wiener (Krebs, 1978).
s
H ' = − ∑ ( pi ln pi )
i =1

dimana : H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener


S = jumlah spesies
Pi = Jumlah individu masing-masing jenis (i=1,2,3…)

Dengan nilai H’ : 0<H’<2,3,02 = keanekaragaman rendah


2,302<H’<6,907 = keanekaragaman sedang
H’>6,907 = keanekaragaman tinggi

Universitas Sumatera Utara


24

f. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman untuk mengetahui sebaran tiap jenis marozoobentos
dalam luas area pengamatan. Indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Indeks Evannnes (Odum 1993) sebagai berikut :
H' H'
J' = =
ln S H maks
dimana : J’ = indeks keseragaman (Evanness index)
H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah spesies
Nilai Indeks keseragaman berkisar antara‒1.0 Indeks yang mendekati 0
menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa
jenis. Nilai Indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah
individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama.

g. Indeks Similaritas (IS) atau Indeks Kesamaan


Indeks kesamaan mencari kesamaan antara spesies yang berada pada lokasi
yang berbeda. Indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus Michael
(1984).
2c
IS = x 100%
a+b
dimana a = jumlah spesies pada lokasi a
b = jumlah spesies pada lokasi b
c = jumlah spesies yang sama pada lokasi a dan b

Universitas Sumatera Utara


25

3.6.2 Tumbuhan Lamun


a. Persentase Komposisi Jenis Lamun
Persentase komposisi jenis yaitu persentase jumlah individu suatu jenis
lamun terhadap jumlah individu secara keseluruhan. Menurut Brower et al., (1990)
rumus yang digunakan dalam perhitungan lamun sebagai berikut :
Ni
P= × 100%
N
Keterangan : P = Persentase setiap lamun (%)
Ni = Jumlah setiap spesies i
N = Jumlah total seluruh spesies
b. Kerapatan Jenis Lamun
Kerapatan jenis adalah jumlah individu lamun (tegakan) per satuan luas.
Kerapatan lamaun dapat dihitung berdasarkan rumus Blower et al., (1990)
Di = ni/A
Keterangan : Di = kerapatan jenis (ind/m2)
ni = jumlah total tegakan dari jenis ke-i
A = luas area plot pengamatan
c. Persentase Tutupan Lamun
Persentase penutupan lamun dengan menggunakan metode Saito dan Atobe
sebagai berikut (English et al, 1994) :

∑ Ci
C=
N
dimana C = persen penutupan lamun pada setiap stasiun
Ci = persen penutupan lamun pada setiap plot transek
N = Jumlah plot transek di setiap stasiun
Kriteria kondisi lamun berdasarkan persen penutupan yang digunakan adalah :
>75 % = sangat baik
50‒57% = baik
25‒49% = sedang
< 25% = buruk

Universitas Sumatera Utara


26

3.7 Analisis Statistik


Analisa statistik dilakukan untuk menguji perbedaan nilai keanekaragaman
makrozoobentos di setiap stasiun penelitian. Pengujian dilakukan dengan
menggunakan uji statistic One-way ANOVA selanjutnya dilakukan uji lanjutan
dengan menggunakan Uji Tukey. Analisis korelasi untuk mengetahui hubungan
antara penutupan lamun dengan keanekaragaman makrozoobentos.

Universitas Sumatera Utara


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Tumbuhan Lamun


4.1.1 Persentase Komposisi Jenis Lamun
Hasil penelitian menunjukkan terdapat 4 spesies lamun yang hidup disekitar
perairan pantai Natal. Jenis lamun yang ditemukan yaituEnhalusacoroides,
Halophilaovalis, Halodulepinifolia, dan Cymodecearotundata. Persentase komposisi
jenis lamun di perairan pantai Natal dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase (%) Komposisi Jenis Lamun di Perairan Pantai Natal


No Nama Spesies ST1 ST2 ST3 ST4
1 Enhalus acoroides - 100 32,11 34,69
2 Halophila ovalis - - 35,96 35,81
3 Cymodecea rotundata 100 - 14,31 11,32
4 Halodule pinifolia - - 17,61 18,18
Total 100 100 100 100

Tabel 2 menunjukkan ada dua stasiun pengamatan yang hanya terdapat satu
jenis lamun yaitu pada stasiun I dan II, dimana pada stasiun I hanya terdapat jenis
Cymodecea rotundata, sedangkan Enhalus acoroides merupakan jenis yang
dijumpai pada stasiun II. Stasiun Imemilki kondisi perairan lebih dangkal 80–100 cm
dalam keadaan pasang dan 30–50 cm dalam keadaan surut, sehingga cahaya
matahari dapat menembus hingga dasar perairan oleh sebab itu jenis Cymodecea
rotundata dapat berkembang dengan baik. Sesuai dengan pernyataan Brouns dan
Heijs (1986) jenis Cymodocearotundatamenyukai perairan yang terpapar sinar
matahari.Cymodocea rotundata dapat tumbuh di daerah dangkal saat air surut
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah (Kiswara,1997).

Stasiun IImempunyai kedalaman 150–200 cm saat pasang dan ketinggian


saat surut mencapai 50–60 cm. Stasiun II ini hanya dijumpai jenis Enhalus
acoroides, kawasan ini berdekatan dengan muara sungai Panggautan menyebabkan
daerah ini menerima banyak masukan air tawar, sehingga salinitas di kawasan ini
cenderung lebih sering berubah-ubah. Tingkat kekeruhan yang tinggi juga diduga

27
Universitas Sumatera Utara
28

menjadi penyebab tidak ditemukannya lamun dari jenis yang lain hidup disini. Hal
yang sama juga disampaikan oleh Sangaji (1994) bahwa Enhalus acoroides dapat
tumbuh pada perairan yang keruh selanjutnya Bengen (2001) menjelaskan bahwa
Enhalusacoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dari
perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas
padang lamun.

Stasiun III mempunyai kedalaman 250–220 cm saat pasang dan saat surut
mempunyai kedalaman 60–90 cm, sedangkan dan stasiun IV mempunyai kedalaman
255–220cm saat pasang dan kedalaman air laut saat surut mencapai 60–92 cm.
Stasiun III dan IVini dijumpai jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Halophila
ovalis, Halodule pinifolia, dan Cymodecea rotundata. Keempat jenis lamun ini dapat
tumbuh di daerah dengan kedalam sedang atau daerah pasang surut dengan
kedalaman perairan berkisar antara 100–500 cm (Kiswara, 1997).

4.1.2 Kerapatan Jenis Lamun

Hasil penelitian yang dilakukan menunjukkan terdapat 4 jenis tumbuhan


lamun yang hidup di kawasan perairan pantai Natal. Terdapat perbedaan kerapatan
jenis pada masing-masing stasiun pengamatan. Kerapatan jenis Enhalus
acoroidesberkisar antara 24,6–37,4 Ind/m2. Kerapatan jenis Halophila ovalis
berkisar antara 38,6–39,2 Ind/m2. Kerapatan jenis Cymodecea rotundata dan
Halodule pinifolia masing-masing berkisar antara 12,2–100,4 Ind/m2 dan 19,2–19,6
Ind/m2.
Tabel 3. Kerapatan Jenis Lamun di Perairan Pantai Natal (Ind/m2)
No Nama Spesies ST1 ST2 ST3 ST4
1 Enhalus acoroides - 30,2 35 37,4
2 Halophila ovalis - - 39,2 38,6
3 Cymodecea rotundata 40,2 - 15,6 12,2
4 Halodule pinifolia - - 19,2 19,6

Stasiun I didominasi oleh jenis Cymodecea rotundata dengan jumlah 40,2


Ind/m2.Menurut Brouns dan Heijs (1986) jenis Cymodocearotundatamenyukai
perairan yang terpapar sinar matahari, jenis lamun tersebut merupakan lamun yang
kosmopolit, yaitu dapat tumbuh hampir di semua kategori habitat. Cymodoceae

Universitas Sumatera Utara


29

rotundata merupakan jenis yang masuk dalam magnozosterid. Tingginya frekuensi


kerapatan jenis Cymodocearotundata pada seluruh stasiun pengamatan menunjukkan
jenis ini dapat menyesuaikan diri dengan karakteristik habitat perairan pantai Natal
seperti yang dinyatakan oleh den Hartog (1970) bahwa jenis lamun Magnozosterid
(lamun dengan bentuk daun yang panjang dan menyerupai pita dengan daun yang
tidak terlalu lebar) dapat dijumpai pada berbagai habitat, jenis lamun ini sering
ditemukan di daerah dangkal hingga daerah yang terekspos ketika air laut surut.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis Enhalus acoroides dapat


ditemukan pada tiga stasiun penelitian, yaitu pada stasiun II, III, dan IV dengan
kerapatan yang cenderung sama yaitu berada pada kisaran 24,6–34,7 Ind/m2, hal ini
menunjukkan bahwa jenis ini dapat beradaptasi dengan lingkungan sekitar perairan
pantai Natal. Substrat pada stasiun II,III, dan IV yang berjenis lempung liat berpasir
dan lempung berpasir sangat cocok bagi Enhalus acoroides.Sangaji (1994)
menyatakan bahwa Enhalusacoroides dominan hidup pada substrat dasar berpasir
dan pasir sedikit bercampur lumpur dan kadang-kadang terdapat dasar yang terdiri
dari campuran pecahan karang yang telah mati. Enhalus acoroides juga lebih tahan
terhadap kekeruhan dibandingkan dengan spesies yang lain. Menurut Bengen (2001)
menyatakan bahwa Enhalusacoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat
berlumpur dari perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau
mendominasi komunitas padang lamun. Jenis Enhalus acoroides memiliki toleransi
untuk perubahan suhu, salinitas dan jenis substrat lebih luas dibanding jenis lainnya
(Poedjirahajoe etal. 2013).

Jenis Halophila ovalisdan Halodule pinifolia hanya terdapat pada dua stasiun
penelitian yaitu pada stasiun III dan IV. Kerapatan jenis Halophila ovalis berkisar
antara 38,6–39,2 Ind/m2, dan kerapatan jenis Halodule pinifolia berkisar antara
19,2–19,6 Ind/m2. Kerapatan kedua jenis ini hampir sama dikedua stasiun penelitian
ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan stasiun III dan IV sangat baik untuk
kehidupan kedua jenis lamun ini. Keberadaan spesies ini tidak ditemukan pada
stasiun I dan II juga diakibatkan kawasan ini dekat dengan kawasan pemukiman
warga. Selain faktor eksternal faktor internal juga sangat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara


30

perkembangan lamun hal ini sesuai dengan pernyataan Kiswara etal (2010) bahwa
pertumbuhan lamun bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu,
salinitas, kecerahan dan substrat dasar serta ketersediaan nutrien di perairan tetapi
juga dipengaruhi oleh faktor internal seperti fisiologis dan metabolisme lamun.

4.1.3 Persentase Tutupan Lamun (%)


Persentase tutupan lamun merupakan gambaran kondisi ekosistem lamun,
semakin tinggi persentase tutupan lamun maka akan semakin baik pula kondisi
ekosistem lamun tersebut. Persentase tutupan lamun pada ke 4 stasiun penelitian
menunjukkan perbedaan kondisi ekosistem padang lamun di perairan pantai Natal.
Persentase tutupan seperti terlihat pada Gambar 12.

Gambar 12.Persentase Tutupan Lamun pada Stasiun Penelitian

Gambar 12 menunjukkan perbedaan persentase tutupan lamun pada masing-


masing stasiun penelitian. Persentase tutupan lamun tertinggi berada pada stasiun IV,
dimana 83,8% kawasan ini ditutupi padang lamun, sedangkan persentase tutupan
lamun terendah terdapat pada stasiun II, dimana hanya 29% dari kawasan ini yang
ditutupi padang lamun. Perbedaan ini disebabkan perbedaan karakteristik perairan di
masing-masing stasiun. Menurut Dahuri etal(2004) luas tutupan dan sebaran lamun
dapat dipengaruhi ketersediaan nutrien pada substrat yang tidak merata sehingga
lamun hanya tumbuh pada titik tertentu. Kondisi stasiun I tergolong dalam kondisi
cukup baik, stasiun II tergolong buruk, stasiun III dan IV tergolong sangat baik.
Kriteria ini sesuai dengan KEPMEN-LH Nomor 200 tahun 2004 yang menyatakan

Universitas Sumatera Utara


31

bahwa kondisi ekosistem lamun yang sangat baik memiliki persen tutupan ≥75 %,50-
57% kondisi baik, 25-49% kondisi cukup baik, dan < 25% kondisi buruk.

Rendahnya persentase tutupan pada stasiun II diduga disebabkan karena


kawasan ini merupakan kawasan yang paling dekat dengan muara sungai dan
pemukiman warga, sehingga kawasan ini mendapatkan dampak langsung dari
aktivitas masyarakat yang ada disekitar kawasan ini. Stasiun III dan IV persentase
tutupan lamun sangat tinggi, karena kawasan ini jauh dari pemukiman warga.
Stasiun ini juga berada pada kawasan teluk, memungkinkan perairan itu terlindungi
dari arus dan gelombang yang kuat, sehingga kecepatan arus pada kawasan ini
tergolong rendah. Rendahnya kecepatan arus sangat mendukung bagi pertumbuhan
dan perkembangan lamun.

4.2 Makrozoobentos
4.2.1 Nilai Kepadatan populasi, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran

Hasilpenelitian yang dilakukandi perairan


Natalmenunjukkanadanyaperbedaankepadatan populasi
makrozoobentosdisetiapstasiunnya, dari keempatstasiunpengamatandiperoleh16
jenis makrozoobentos yang terdapat di ekosistem lamun perairan Natal. Kepadatan
populasi masing-masing jenis makrozoobenthos seperti terlihat pada Tabel 4.
Hasil analisis diperoleh nilai kepadatan (K), kepadatan relatif (KR) dan
frekuensi kehadiran (FK) yang bervariasi. Jenis kerang-kerangan (Bivalvia) memiliki
nilai Kepadatan Populasi (K), Kepadatan Relatif (KR) dan Frekuensi Kehadiran
(FK) tertinggi pada stasiun I, II, dan IV. Pada stasiun IAnadara inaequivalvis
menjadi jenis yang paling banyak dijumpai dengan nilai (K)1,2 ind/m2, (KR)
15,79%, dan (FK)100% (Tabel 4). Stasiun I dan IV jenis Anadara antiquata menjadi
jenis yang paling sering dijumpai dengan nilai masing-masing (K) 1,6 Ind/m2, (KR)
17,79%, (FK) 80% pada stasiun II, dan (K) 1,2 Ind/m2, (KR) 14,29%, (FK) 80%
pada stasiun IV.Tingginya Nilai K,KR dan FK pada jenis kerang-kerangan ini dapat
dikaitkan dengan berbagai faktor fisika kimia, seperti jenis substrat yang didominasi
oleh pasir (Tabel 8),hal ini didukung oleh pernyataan Lind (1979) yang menyatakan
bahwa substrat pasir merupakan habitat yang paling disukai makrozoobentos.

Universitas Sumatera Utara


32

Menurut Hemminga dan Duarte (2000) beberapa jenis kerang-kerangan ditemukan


hidup menempel di substrat keras di daerah lamun.

Hemminga dan Duarte (2000), menyatakan bahwa keberadaan suatu jenis


makrozoobentos di daerah lamun tidak bergantung sepenuhnya pada keberadaan
vegetasi lamun. Faktor lingkungan seperti hidrodinamika, karakteristik substrat,
kedalaman dan salinitas seringkali lebih memiliki pengaruh terhadap keberadaan
suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun. Faktor lain seperti suhu, pH, salinitas
juga menjadi penyebab tingginya nilai K, KR, dan FK yang ditemukan. Hasil
penelitian di Pantai Natal didapat nilai suhu berkisar antara 28–31oC, pH 7,3–7,4,
dan salinitas antara 30–33‰ (Tabel 7). Nilai ini sangat mendukung bagi
perkembangan biota perairan, dimana pH optimum bagi biota perairan berada pada
kisaran 7–8,5, salinitas ≥ 30‰, dan suhu berkisar antara 29–32oC (Barus 2004; Short
& Choles 2003).

Tingginya kepadatan kerang-kerangan juga dapat dikaitkan dengan


kandungan bahan organik yang terdapat pada substrat perairan pantai Natal. Hasil
pengukuran kadar C organik berada pada kisaran 1,10–1,40%, (tabel 8). Senyawa
karbon yang ada terkandung dalam jaringan lamun berkisar antara 30–40% dari total
berat kering lamun (Hemminga dan Duarte 2000). Bahan organik termasuk salah
satu komponen vital bagi komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam
dapat menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan
Middelburg 1993; Hemminga dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks
etal. 2009). Menurut Koch (2001) kandungan bahan organik dalam sedimen di
daerah lamun berkisar antara 0,5–16,5%, tetapi umumnya kurang dari 5%. Wood
(1987) menyatakan bahwa bahan organik yang mengendap di dasar perairan
merupakan sumber makanan bagi organisme bentik, sehingga jumlah dan laju
pertambahannya dalam sedimen mempunyai pengaruh yang besar terhadap populasi
organisme dasar.

Universitas Sumatera Utara


33

Tabel 4 Kepadatan Populasi(Ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobentospada masing-masing
Stasiun Pengamatan di Perairan Pantai Natal
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Kelas Spesies Nama Lokal
K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
Gastropoda Polinices lacteus Siput polinices 0,2 2,63 20 0,8 8,89 60 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Prosobranchia Siput prosobrancia 0,2 2,63 20 1,2 13,33 40 0,4 5,26 20 0,8 9,52 60
Murex trapa Siput murek (siput duri) 0,2 2,63 20 0,4 4,44 40 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Terebra Amanda Siput terebra 0,8 10,53 60 - - - 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Faunus ater Siput sumpil 0,4 5,26 40 0,2 2,22 20 0,8 10,53 60 0,2 2,38 20
Strombus pugilis Siput gonggong 0,6 7,89 40 0,8 8,89 60 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Conus betulinus Keong kerucut (cone shells) 0,2 2,63 20 1,4 15,56 80 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Bivalvia Anadara antiquate Kerang batu 0,6 7,89 60 1,6 17,78 80 0,4 5,26 40 1,2 14,29 80
Anadara trapezia Kerang kukur 0,2 2,63 20 - - - 1 13,16 100 1 11,90 100
Anadara inaequivalvis Kerang bulu 1,2 15,79 100 - - - 0,2 2,63 20 0,2 2,38 20
Atrina pectinata Kerang pulut 0,8 10,53 80 1,4 15,56 80 0,6 7,89 40 0,8 9,52 80
Echinoidea Laganum depressum Sand dollar 1 13,16 100 0,2 2,22 20 0,6 7,89 40 0,4 4,76 40
Holothuroidea Holothuroidea edulis Tripang 0,6 7,89 60 - - - 1,4 18,42 100 1 11,90 80
Malacostraca Sesarma sp Kepiting wideng 0,2 2,63 20 - - - - - - 0,4 4,76 40
Amphineura Cryptochiton sp Citon 0,2 2,63 20 0,6 6,67 60 0,4 5,26 40 - - -
Anthozoa Astraea caelata Siput Tumpeng 0,2 2,63 20 0,4 4,44 40 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Jumlah 7,6 100 9 100 7,6 100 8.4 100

Universitas Sumatera Utara


34

4.2.2 Indeks Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman

Hasil analisis indeks dominansi (C), keanekaragaman (H’), dan


keseragaman (J’) menunjukkan adanya perbedaan koefisien indeks di setiap
stasiunnya. Nilai masing-masing indeks disajikan dalam Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Indeks Dominansi, Keanekaragaman, dan Keseragaman di Perairan
Pantai Natal
Stasiun
No Indeks
1 2 3 4
1 Dominansi (C) 0,09 0,22 0,09 0,09
2 Keanekaragaman (H’) 2,55 2,59 2,52 2,53
3 Keseragaman (J’) 0,92 1,08 0,93 0,93

Tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien indeks dominansi berada pada


kisaran 0,09–0,22 atau mendekati 0, dapat diartikan bahwa tidak ada satu jenis
spesies yang mendominsi di setiap stasiun penelitian. Sejalan dengan Odum
(1993) yang menyatakan bahwa nilai indeks dominannsi berkisar antara‒1.0
Indeks 1 menunjukkan dominansi oleh satu jenis spesies sangat tinggi (hanya
terdapat satu jenis pada satu stasiun). Indeks 0 menunjukkan bahwa antara jenis-
jenis yang ditemukan tidak ada yang mendominasi. Tidak ditemukannya spesies
yang mendominasi di setiap stasiun berarti bahwa kondisi lingkungan ekosistem
perairan pantai Natal masih tergolong baik, karena masih banyak spesies yang
dapat beradaptasi dengan baik pada ekosistem ini.

Indeks Keanekaragaman (H’) pada stasiun penelitian berkisar antara 2,52–


2,59 (Tabel 5). Indeks keanekaragaman tertinggi dijumpai pada stasiun II sebesar
2,59 dan yang terendah pada stasiun III sebesar 2,52. Tinggnya Indeks
Keanekaragaman pada stasiun II ini disebabkan jenis dan jumlah makrozoobentos
yang didapat pada stasiun ini paling banyak dibandingkan stasiun I, stasiun III dan
stasiun IV. Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya
keragaman dan proporsi masing-masing jenis yang semakin merata (Krebs,1985).

Hasil analisis menunjukkan bahwa tingkat keanekaragaman


makrozoobentos pada perairan pantai Natal tergolong pada tingkat
keanekaragaman sedang, dimana koefisien H’ bernilai lebih dari 2,30. Hal ini
sesuai dengan pernyataan Krebs (1978) dimana apabila nilai H’ 0<H’<2,30
keanekaragaman tergolong rendah, 2,30<H’<6,90 keanekaragaman tergolong

Universitas Sumatera Utara


35

sedang, dan H’>6,90 keanekaragaman tergolong tinggi. Keanekaragaman


tergolong sedang menunjukkan bahwa kondisi lingkungan perairan cukup
mendukung bagi kehidupan makrozoobentos, seperti substrat dasar perairan yang
berpasir, kandungan oksigen terlarut dalam air yang cukup tinggi (7,3–7,8), dan
suhu yang tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu rendah (28–30⁰C), pH yang normal
serta kecepatan arus yang relatif tenang dan sedikit turbelensi. Kandungan nitrat
(0,15–0,13 mg/L) dan fosfat (0,014–0,012 mg/L) pada perairan juga masih
dikategorikan baik, nitrat dan fosfat dengan kadar tinggi akan mempengaruhi
keanekaragaman makrozoobentos.
Analisis indeks keseragaman menunjukkan bahwa koefisien J’ mendekati
1, hal ini berarti bahwa jumlah individu setiap spesies adalah sama, atau tidak ada
jenis terentu yang lebih banyak ditemukan pada satu kawasan area pengamatan.
Menurut Odum (1993) bahwa Indeks yang mendekati 0 menunjukkan adanya
jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa jenis. Nilai Indeks
keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah individu di setiap
spesies adalah sama atau hampir sama. Indeks Keseragaman berbanding lurus
dengan indeks dominansi, dimana semakin tinggi koefisien indeks dominansi
maka akan semakin tinggi pula indeks keseragaman.
Nilai indeks dominansi yang mendekati 0 berarti tidak adanya spesies
yang mendominasi di satu kawasan pengamatan. Sama halnya dengan indeks
keseragaman dimana jika koefisien indeks keseragaman mendekati 1 maka
sebaran spesies pada satu kawasan merata, atau seragam.

4.2.3 Indeks Similaritas (Kesamaan)

Analisis terkait indeks similaritas (IS) menunjukkan adanya perbedaan


struktur komunitas makrozoobentos di ekosistem padang lamun pantai natal. Hasil
analisis disajikan dalam Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Indeks Similaritas (Kesamaan) di Perairan Pantai Natal
Stasiun 1 2 3 4
1 - 84,61 96,55 96,55
2 - - 88,00 88,00
3 - - - 100,00

Universitas Sumatera Utara


36

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa nilai indeks similaritas antara


stasiun I dan II sebesar 84,61% , stasiun I dan III sebesar 96,55% , stasiun I dan
IV sebesar 96,55%, stasiun II dan III sebesar 88 %, stasiun II dan IV sebesar 88
% serta stasiun III dan IV sebesar 100% (Tabel 6). Indeks similaritas yang
diperoleh dapat dikategorikan bahwa antara stasiun I dan II, stasiun I dan III, serta
stasiun I dan IV, stasiun II dan III, stasiun II dan IV, serta stasiun III dan IV
dikategorikan memiliki kesamaan tinggi. Kesamaan ini karena faktor ekologi dan
faktor fisik kimia yang hampir sama antara stasiun tersebut.
Kondisi yang hampir sama menyebabkan terdapat kesamaan nilai spesies
pada setiap stasiun tersebut sangat mirip. Kesamaan komunitas yang tinggi antara
dua lingkungan yang dibandingkan sangat ditentukan oleh kondisi faktor-faktor
lingkungan yang terdapat pada kedua lingkungan tersebut (Krebs,1985).

4.3 Parameter Kualitas Perairan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi kualitas perairan disekitar


ekosistem lamun pantai natal tergolong baik, hasil pengukuran dapat dilihat pada
Tabel 7.

Tabel 7. Pengukuran Parameter Kualitas Perairan Pantai Natal


Hasil Baku
No Parameter Satuan
ST1 ST2 ST3 ST4 Mutu *
1. Suhu ºC 28-30 28-31 28-30 28-30 28-30
2. Penetrasi cahaya Cm 150 150 150 150 300
m
3. Kecepatan arus /det 0,25 0,20 0,18 0,18 -
4. Salinitas ‰ 30-33 30-32 30-33 30-33 33-34
5. Ph - 7,3 7,3 7,4 7,3 7-8,5
6. DO mg/L 7,4 7,8 7,7 7,3 >5
7. Kejenuhan % 97,3 102,5 101,2 96,0 -
Oksigen
8. BOD5 mg/L 1,85 2,96 1,92 1,07 20
9. COD mg/L 18,78 16,21 14,92 14,56 -
Sumber : * KepMen LH Nomor 51Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk
Biota Laut

Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada

Universitas Sumatera Utara


37

kisaran 5–35⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30⁰C (Marsh et
al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45⁰C lamun akan mengalami stres dan
dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008). Kisaran suhu optimal bagi
pertumbuhan lamun adalah 15–30°C, apabila suhu perairan berada di luar kisaran
optimal tersebut, maka kemampuan lamun dalam proses fotosintesis akan
menurun dengan drastis pula (Dahuri et al, 2001).

Penetrasi Cahaya
Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun
karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang
dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi
oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti
plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan
sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun
di perairan pantai yang keruh (Hutomo, 1997). Umumnya lamun membutuhkan
kisaran tingkat kecerahan 4–29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11%
(Hemminga&Duarte, 2000).

Kecepatan Arus
Kecepatan arus di Pantai Natal berkisar 0,18–0,23 m/s ketika pasang dan
surut 0,19–0,25 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I dan
kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun III dan IV. Arus pada perairan
tersebut relatif tenang dan sedikit turbelensi. Kawuri et al (2012) melaporkan
bahwa kecepatan arus mempengaruhi penyebaran makrozoobentos dan
pertumbuhan lamun.

Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun
akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian
apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada
kisaran salinitas 10–45‰ (Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan
hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah
hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara

Universitas Sumatera Utara


38

gradien (Mckenzie, 2008). Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas
24-35‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 35–60‰ dengan
waktu toleransi yang singkat (Zieman, 1986 dalam Hemminga&Duarte, 2000).

Derajat Keasaman (pH)


Derajat keasaman atau kebasaan (pH) tertinggi terdapat pada stasiun yaitu
sebesar 7,4, pada stasiun 3 stasiun yang lain nilai pH sama yaitu sebesar 7,3
(Tabel 7). pH di keempat stasiun masih memungkinkan untuk hidup
Makrozoobentos. Air normal yang memenuhi syarat untuk suatu kehidupan
mempunyai pH berkisar anatara 6,5–7,5 (Wardhana, 1994). Menurut Kristanto
(2002), bahwa nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisme air pada umumya
terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat asam maupun
sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisme karena akan
menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi.

Oksigen Terlarut (DO) dan Kejenuhan Oksigen


Oksigen terlarut penting untuk respirasi sebagian besar organisme air.
Kelarutan oksigen di dalam air sangat dipengaruhi temperatur. Hasil penelitian
menunjukkan kadar oksigen terlarut berkisar antara 7,6–7,8 mg/L, nilai ini
tergolong baik, sesuai dengan KepMen LH Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku
Mutu Air Laut Untuk Biota Laut yang menyatakan bahwa kadar minimum
oksigen terlarut >5 mg/L. Kelarutan maksimum oksigen di dalam air pada
temperatur 0oC sebesar 14,16 mg/L , kelarutan ini akan menurun jika temperatur
air meningkat (Barus, 2004). Menurut Sanusi (2004), nilai DO yang berkisar di
antara 5,45–7,00 mg/L cukup bagi proses kehidupan biota perairan. Barus (2004),
menegaskan bahwa nilai oksigen terlarut di perairan sebaiknya berkisar 6–8 mg/L,
makin rendah nilai DO maka makin tinggi tingkat pencemaran ekosistem tersebut.
Kadar oksigen terlarut dalam batas 4,5–7 mg/L tidak mengubah jumlah toleransi
konsumsi oksigen oleh Bivalvia baik pada suhu rendah (20–25ºC) maupun tinggi
(30ºC) sebagai batas optimum (Brotowidjoyo,1993).

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa tingkat saturasi oksigen di perairan


pantai Natal memiliki nilai rata-rata yang under saturation (dibawah 100%)
kecuali pada stasiun II dan III yang mempunyai nilai oksigen yang over

Universitas Sumatera Utara


39

saturation(diatas 100%). Tidak ditemukan nilai oksigen yang dalam tingkat


saturation atau jenuh (nilai 100%), hal ini menunjukkan bahwa masih terjadi
proses difusi dalam mencapai kesetimbangan antara di perairan dengan di
atmosfer seperti terlihat dalam Tabel 7. Effendi (2003) menjelaskan bahwa tingkat
kejenuhan oksigen dengan nilai 100% menunjukkan bahwa tidak terjadinya
proses difusi dalam mencapai kesetimbangan antara perairan dengan di atmosfer.

BOD dan COD

Nilai BOD selama pengamatan di perairan Natal menunjukkan kisaran


1,07–2,96 mg/L. Kisaran nilai BOD masih dalam ambang batas normal atau
masih baik bagi kehidupan biota laut. Hal ini mengacu pada Kep MENLH No.51
tahun 2004 menetapkan ambang batas maksimum kandungan BOD bagi
kehidupan laut adalah 20 mg/L, dari sudut pandang tersebut terlihat bahwa
kondisi perairan di daerah Natal masih dalam kondisi yang baik bagi kehidupan
biota laut.

Nilai COD yang didapat dari hasil pengamatan di perairan Natal berkisar
antara 14,56–18,78 mg/L. Nilai ini tergolong dalam kisaran baik bagi biota laut.
Apabila nilai COD tinggi maka hal ini manunjukkan bahwa bahan organik yang
ada di perairan lebih banyak dalam bentuk yang sukar didegradasi secara biologis.
Dalam Kep MENLH No.51 tahun 2004 tidak disebutkan nilai baku mutu untuk
COD namun demikian nilai COD yang terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan
biota laut khususnya plankton karena akan banyak oksigen yang digunakan dalam
menguraikan bahan organik tersebut. Nilai COD di perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/L sedangkan di perairan tercemar dapat lebih dari 200
mg/L (Effendi, 2003).

Universitas Sumatera Utara


40

4.4 Substrat

Hasil analisis ukuran butiran sedimen menunjukkan perbedaan komposisi


butiran disetiap stasiunnya. Skala ukuran butiran tanah sesuai dengan kelas
ukuran butiran yang dikeluarkan oleh United State Department of Agricultural
(USDA, 2006) ukuran secara umum dibagi menjadi 3 kelas ukuran yaitu, pasir
(Sand), debu (Silt), dan Liat (Clay). Hasil analisis seperti pada Tabel 8.
Tabel 8. Hasil Analisis Sedimen di Perairan Pantai Natal
Stasiun Pengamatan
Parameter Satuan
I II III IV
Pasir % 53,84 51,84 45,84 53,84
Debu % 18,56 24,56 22,56 26,56
Liat % 27,60 23,60 31,60 19,60
Tekstur ------ Llip Llip Llip Lp
C-organik % 1,23 1,10 1,40 1,12
Nitrat mg/L 0,15 0,13 0,15 0,15
Fosfat mg/L 0,014 0,012 0,012 0,012
Keterangan :
Llip = Lempung liat berpasir
Lp = Lempung berpasir

Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk
kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan
arus di daerah tersebut, sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan
kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen.
Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses pelapukan.
Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang dibawa ke laut
melalui sungai, sedangkan material lainnya berasal dari proses pelapukan material
yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup (Mc Lachlan dan
Brown 2006).

Karakteristik sedimen yang paling penting adalah ukuran butiran sedimen.


Hal ini terkait dengan kemampuan sedimen tersebut untuk mengikat bahan
organik dan nutrien yang dibutuhkan oleh ekosistem lamun dan biota asosiasi
yang hidup di dalamnya. Karakteristik sedimen yang lain adalah porositas dan
permiabilitas. Porositas terkait dengan kemampuan butiran pasir untuk mengisi
ruang yang kosong dalam suatu volume tertentu, sedangkan permiabilitas adalah
kemampuan dari sedimen untuk melewatkan air (Mc Lachlan dan Brown, 2006).

Universitas Sumatera Utara


41

Porositas terkait dengan ukuran butiran sedimen. Makin kecil (halus)


ukuran butiran sedimen, makin banyak ruang antar butiran sedimen yang terisi.
Hal ini menyebabkan sedimen yang halus memiliki kemampuan
menyimpan/menahan air yang lebih baik. Secara tidak langsung, nutrien dan zat
hara yang terlarut dalam air pun dapat disimpan dengan baik. Hal ini menjelaskan
mengapa kandungan bahan organik dan nutrien pada sedimen halus umumnya
relatif lebih tinggi. Tingginya kandungan air yang tertahan dalam sedimen halus
menyebabkan kemampuan sedimen halus untuk melewatkan air (permeabilitas),
menjadi lebih rendah dibandingkan sedimen dengan ukuran butiran yang lebih
besar. Dengan kata lain, sedimen berbutir besar lebih mudah kehilangan
kandungan bahan organik/ nutrien (Knox 2001; Mc Lachlan dan Brown 2006).

Hasil analisis sampel struktur sedimen dari pantai Natal (Tabel 8),
menunjukkan bahwa, kondisi substrat pada setiap plot lebih banyak didominasi
oleh pasir. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam
bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau
kecepatan arus di daerah tersebut sebaliknya proporsi kerikil yang besar
menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien
dalam sedimen. Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi
komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor
pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga
dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan
struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan
menjebak material organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang
terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau
bahkan dari serasah daun lamun yang telah mati.

Nilai kandungan organik yang di dapat pada keempat stasiun pengamatan


berkisar antara 1,10–1,40%. Lamun dapat hidup di daerah yang tinggi bahan
organik maupun yang rendah bahan organik. Ada perbedaan morfologi antara
lamun yang hidup di daerah yang tinggi bahan organik dengan yang rendah bahan
organik. Lamun yang tumbuh di sedimen rendah bahan organik mempunyai daun
yang lebih pendek dan sempit. Secara keseluruhan nilai kandungan organik dari

Universitas Sumatera Utara


42

keempat stasiun ini tergolong rendah. Menurut Djaenuddin et al (1994)


kandungan orgaanik < 1% dikategorikan sangat rendah, 1%–2% dikategorikan
rendah, 2,01%–3% dikategorikan sedang, 3%–5% dikategorikan tinggi, dan
>5,01% dikategorikan sangat tinggi

Fungsi utama ekosistem lamun dapat memberikan nutrisi terhadap biota


yang berbeda disekitarnya. Menurut Green dan Short (2003) Pertumbuhan
morfologi dan produktivitas primer dipengaruhi ketersediaan zat hara fosfat,
nitrogen. Nitrat sangat mudah larut dan bersifat stabil. Senyawa ini dihasilkan dari
proses oksidasi sempurna senyawa nitrogen di perairan. Hasil pengamatan didapat
kadar nitrat berkisar antara 0,15–0,13 mg/L. Menurut effendi (2003) nitrat yang
melebihi 0,2 mg/L dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi di perairan. Kadar
fosfat yang didapat berkisar antara 0,014–0,012 mg/L, nilai kandungan ini masih
sesuai dengan kandungan fosfat yang umumnya dijumpai diperairan. Kandungan
fosfat yang normal berdasarkan baku mutu air untuk biota laut Kepmen LH No 51
Tahun 2000 sebesar 0,015 mg/L.

4.5 Analisis Stastistik

Hasil analisis uji One-way ANOVA menunjukkan adanya perbedaan yang


nyata pada keanekaragaman makrozoobentos antar stasiun pengamatan (P <0,05),
selanjutnya dilakukan uji lanjutan dengan menggunakan Uji Tukey. Perbedaan ini
menunjukkan bahwa setiap stasiun penelitian memiliki perbedaan karakteristik.
Keanekaragaman yang tinggi menunjukkan semakin besarnya keragaman dan
proporsi masing-masing jenis yang semakin merata (Krebs,1985).

Hasil analisis korelasi Pearson antara keragaman makrozoobentos dengan


tutupan bernilai -0,949 ini berarti hubungan antara tutupan lamun dengan
keanekaragaman makrozobentos di kawasan ini sangat kuat berlawanan arah
artinya semakin tinggi tutupan lamun semakin rendah keanekragaman
makrozoobentos. Tingginya persentase tutupan lamun tidak selalu diikuti oleh
tingginya keanekaragaman makrozobentos di kawasan tersebut. Tutupan lamun
yang terlalu rapat dapat menutupi bagian substrat sehingga makrozoobentos yang

Universitas Sumatera Utara


43

hidup pada substrat berkurang jumlahnya karena terjadinya persaingan dalam hal
ruang.

Hemminga dan Duarte (2000) menyatakan juga bahwa keberadaan suatu


jenis makrozoobentos di daerah lamun tidak sepenuhnya bergantung pada
vegetasi lamun. Faktor lingkungan fisika, kimia, maupun biologi memiliki
pengaruh terhadap keberadaan suatu jenis makrozoobentos di daerah lamun.
Makrozoobentos. Jenis bivalvia dan gastropoda pada umumnya ditemukan pada
substrat dasar sementara organisme lainnya hanya tinggal sementara sebagai
tempat mencari makan dan perlindungan dari peredator. Hal yang sama juga
diungkapkan Ilahi et al, (2013) bahwa kelimpahan dan keanekaragaman
makrobentos hanya ditentukan 12% oleh kerapatan lamun, sebaliknya 88%
ditentukan oleh faktor lain, termasuk fisik kimia perairan.

Universitas Sumatera Utara


BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal :
1. Kondisi ekosistem lamun pantai Natal tergolong sehat dengan rata-rata
tutupan lamun ≥ 60%. Terdapat 4 jenis lamun yang hidup di perairan
pantai Natal yaitu Cymodecea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis, Halodule pinifolia.
2. Terdapat 16 jenis makozobentos yang hidup pada kawasan ekosistem
lamun pantai Natal. Indeks Keanekaragaman makrozobentos di
ekosistem lamun pantai Natal berada pada kondisi sedang (H’= 2,329-
2,593).
3. Korelasi yang sangat kuat terjadi antara keragaman makrozoobentos
dengan tutupan lamun dengan nilai -0,949

5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penambahan stasiun pengamatan pada penelitian
selanjutnya agar diketahui kondisi ekosistem lamun pantai Natal secara
keseluruhan. Bagi pemerintah diharapkan agar menjadikan ekosistem lamun
pantai natal sebagai zona konservasi lamun, agar tidak terjadi kerusakan pada
ekosistem lamun di daerah pantai Natal.

44
Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai