METODOLOGI PENELITIAN
16
Universitas Sumatera Utara
17
c. Stasiun III
Stasiun ini merupakan daerah dekat teluk dan jauh dari pemukiman
penduduk yang secara geografis terletak 0º37.674 ‒99º4.198
LU BT. Tumbuhan
lamun yang dijumpai adalah Cymodocea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis dan Halodule pinifolia.
g. Kejenuhan Oksigen
Kejenuhan oksigen dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
O 2(u )
Kejenuhan (%) = x
02(t )
Dimana: O2 (u) = Nilai konsentrsi oksigen yang diukur (mg/l)
O2 (t) = Nilai konsentrasi oksigen sebenarnya sesuai dengan harga
temperatur. Tabel nilai oksigen terlarut maksimum terlampir
(lampiran 1)
h. BOD
Pengukuran BOD dilakukan dengan menggunakan metoda winkler. Sampel
diambil kemudian dimasukkan kedalam botol dan diberi perlakuan sesuai dengan
yang terdapat pada lampiran 2.
i. COD
Pengukuran COD dilakukan dengan metoda refluks di Laboratorium. Bagan
kerja pada lampiran 3.
j. Jenis Substrat/Fraksi Substrat
Pengambilan sampel substrat dilakukan dengan membenamkan pipa paralon
sedalam ±20 cm. Sampel Subtrat yang diambil ± 200gr dan dimasukkan ke dalam
kantong plastik yang telah diberi label. Analisis butiran substrat dilakukan dengan
metode segitiga tekstur tanah USDA. Analisa jenis substrat dan kandungan organik
akan dilakukan di Laboratorium Pertanian Universitas Sumatera Utara.
d. Dominansi (C)
Indeks dominansi digunakan untuk memperoleh informasi mengenai spesies
yang mendominasi dalam suatu komunitas. Rumusnya sebagai berikut (Odum 1993):
2
S
ni
C = ∑
i =1 N
e. Indeks Keanekaragaman
Indeks keanekaragaman (H’) menggambarkan keanekaragaman populasi
secara matematis untuk mempermudah menganalisis jumlah individu masing-masing
jenis pada suatu komunitas. Perhitungan Indeks keanekaragaman (H’) dengan
persamaan Shannon-Wiener (Krebs, 1978).
s
H ' = − ∑ ( pi ln pi )
i =1
f. Indeks Keseragaman
Indeks keseragaman untuk mengetahui sebaran tiap jenis marozoobentos
dalam luas area pengamatan. Indeks ini dapat dihitung dengan menggunakan rumus
Indeks Evannnes (Odum 1993) sebagai berikut :
H' H'
J' = =
ln S H maks
dimana : J’ = indeks keseragaman (Evanness index)
H’ = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
S = Jumlah spesies
Nilai Indeks keseragaman berkisar antara‒1.0 Indeks yang mendekati 0
menunjukkan adanya jumlah individu yang terkonsentrasi pada satu atau beberapa
jenis. Nilai Indeks keseragaman yang mendekati 1 menunjukkan bahwa jumlah
individu di setiap spesies adalah sama atau hampir sama.
∑ Ci
C=
N
dimana C = persen penutupan lamun pada setiap stasiun
Ci = persen penutupan lamun pada setiap plot transek
N = Jumlah plot transek di setiap stasiun
Kriteria kondisi lamun berdasarkan persen penutupan yang digunakan adalah :
>75 % = sangat baik
50‒57% = baik
25‒49% = sedang
< 25% = buruk
Tabel 2 menunjukkan ada dua stasiun pengamatan yang hanya terdapat satu
jenis lamun yaitu pada stasiun I dan II, dimana pada stasiun I hanya terdapat jenis
Cymodecea rotundata, sedangkan Enhalus acoroides merupakan jenis yang
dijumpai pada stasiun II. Stasiun Imemilki kondisi perairan lebih dangkal 80–100 cm
dalam keadaan pasang dan 30–50 cm dalam keadaan surut, sehingga cahaya
matahari dapat menembus hingga dasar perairan oleh sebab itu jenis Cymodecea
rotundata dapat berkembang dengan baik. Sesuai dengan pernyataan Brouns dan
Heijs (1986) jenis Cymodocearotundatamenyukai perairan yang terpapar sinar
matahari.Cymodocea rotundata dapat tumbuh di daerah dangkal saat air surut
mencapai kedalaman kurang dari 1 meter saat surut terendah (Kiswara,1997).
27
Universitas Sumatera Utara
28
menjadi penyebab tidak ditemukannya lamun dari jenis yang lain hidup disini. Hal
yang sama juga disampaikan oleh Sangaji (1994) bahwa Enhalus acoroides dapat
tumbuh pada perairan yang keruh selanjutnya Bengen (2001) menjelaskan bahwa
Enhalusacoroides merupakan lamun yang tumbuh pada substrat berlumpur dari
perairan keruh dan dapat membentuk jenis tunggal, atau mendominasi komunitas
padang lamun.
Stasiun III mempunyai kedalaman 250–220 cm saat pasang dan saat surut
mempunyai kedalaman 60–90 cm, sedangkan dan stasiun IV mempunyai kedalaman
255–220cm saat pasang dan kedalaman air laut saat surut mencapai 60–92 cm.
Stasiun III dan IVini dijumpai jenis lamun yaitu Enhalus acoroides, Halophila
ovalis, Halodule pinifolia, dan Cymodecea rotundata. Keempat jenis lamun ini dapat
tumbuh di daerah dengan kedalam sedang atau daerah pasang surut dengan
kedalaman perairan berkisar antara 100–500 cm (Kiswara, 1997).
Jenis Halophila ovalisdan Halodule pinifolia hanya terdapat pada dua stasiun
penelitian yaitu pada stasiun III dan IV. Kerapatan jenis Halophila ovalis berkisar
antara 38,6–39,2 Ind/m2, dan kerapatan jenis Halodule pinifolia berkisar antara
19,2–19,6 Ind/m2. Kerapatan kedua jenis ini hampir sama dikedua stasiun penelitian
ini menunjukkan bahwa kondisi lingkungan stasiun III dan IV sangat baik untuk
kehidupan kedua jenis lamun ini. Keberadaan spesies ini tidak ditemukan pada
stasiun I dan II juga diakibatkan kawasan ini dekat dengan kawasan pemukiman
warga. Selain faktor eksternal faktor internal juga sangat mempengaruhi
perkembangan lamun hal ini sesuai dengan pernyataan Kiswara etal (2010) bahwa
pertumbuhan lamun bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti suhu,
salinitas, kecerahan dan substrat dasar serta ketersediaan nutrien di perairan tetapi
juga dipengaruhi oleh faktor internal seperti fisiologis dan metabolisme lamun.
bahwa kondisi ekosistem lamun yang sangat baik memiliki persen tutupan ≥75 %,50-
57% kondisi baik, 25-49% kondisi cukup baik, dan < 25% kondisi buruk.
4.2 Makrozoobentos
4.2.1 Nilai Kepadatan populasi, Kepadatan Relatif, Frekuensi Kehadiran
Tabel 4 Kepadatan Populasi(Ind/m2), Kepadatan Relatif (%), dan Frekuensi Kehadiran (%) Makrozoobentospada masing-masing
Stasiun Pengamatan di Perairan Pantai Natal
Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4
Kelas Spesies Nama Lokal
K KR FK K KR FK K KR FK K KR FK
Gastropoda Polinices lacteus Siput polinices 0,2 2,63 20 0,8 8,89 60 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Prosobranchia Siput prosobrancia 0,2 2,63 20 1,2 13,33 40 0,4 5,26 20 0,8 9,52 60
Murex trapa Siput murek (siput duri) 0,2 2,63 20 0,4 4,44 40 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Terebra Amanda Siput terebra 0,8 10,53 60 - - - 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Faunus ater Siput sumpil 0,4 5,26 40 0,2 2,22 20 0,8 10,53 60 0,2 2,38 20
Strombus pugilis Siput gonggong 0,6 7,89 40 0,8 8,89 60 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Conus betulinus Keong kerucut (cone shells) 0,2 2,63 20 1,4 15,56 80 0,4 5,26 40 0,2 2,38 20
Bivalvia Anadara antiquate Kerang batu 0,6 7,89 60 1,6 17,78 80 0,4 5,26 40 1,2 14,29 80
Anadara trapezia Kerang kukur 0,2 2,63 20 - - - 1 13,16 100 1 11,90 100
Anadara inaequivalvis Kerang bulu 1,2 15,79 100 - - - 0,2 2,63 20 0,2 2,38 20
Atrina pectinata Kerang pulut 0,8 10,53 80 1,4 15,56 80 0,6 7,89 40 0,8 9,52 80
Echinoidea Laganum depressum Sand dollar 1 13,16 100 0,2 2,22 20 0,6 7,89 40 0,4 4,76 40
Holothuroidea Holothuroidea edulis Tripang 0,6 7,89 60 - - - 1,4 18,42 100 1 11,90 80
Malacostraca Sesarma sp Kepiting wideng 0,2 2,63 20 - - - - - - 0,4 4,76 40
Amphineura Cryptochiton sp Citon 0,2 2,63 20 0,6 6,67 60 0,4 5,26 40 - - -
Anthozoa Astraea caelata Siput Tumpeng 0,2 2,63 20 0,4 4,44 40 0,2 2,63 20 0,6 7,14 60
Jumlah 7,6 100 9 100 7,6 100 8.4 100
Suhu
Suhu merupakan faktor penting bagi kehidupan organisme di perairan
khususnya lautan, karena pengaruhnya terhadap aktivitas metabolisme ataupun
perkembangbiakan dari organisme tersebut. Suhu mempengaruhi proses fisiologi
yaitu fotosintesis, laju respirasi, dan pertumbuhan. Lamun dapat tumbuh pada
kisaran 5–35⁰C, dan tumbuh dengan baik pada kisaran suhu 25–30⁰C (Marsh et
al, 1986) sedangkan pada suhu di atas 45⁰C lamun akan mengalami stres dan
dapat mengalami kematian (McKenzie, 2008). Kisaran suhu optimal bagi
pertumbuhan lamun adalah 15–30°C, apabila suhu perairan berada di luar kisaran
optimal tersebut, maka kemampuan lamun dalam proses fotosintesis akan
menurun dengan drastis pula (Dahuri et al, 2001).
Penetrasi Cahaya
Kecerahanan secara tidak langsung mempengaruhi kehidupan lamun
karena berpengaruh terhadap penetrasi cahaya yang masuk ke perairan yang
dibutuhkan oleh lamun untuk berfotosintesis. Kecerahan perairan dipengaruhi
oleh adanya partikel-partikel tersuspensi, baik oleh partikel-partikel hidup seperti
plankton maupun partikel-partikel mati seperti bahan-bahan organik, sedimen dan
sebagainya. Cahaya merupakan faktor pembatas pertumbuhan dan produksi lamun
di perairan pantai yang keruh (Hutomo, 1997). Umumnya lamun membutuhkan
kisaran tingkat kecerahan 4–29% untuk dapat tumbuh dengan rata-rata 11%
(Hemminga&Duarte, 2000).
Kecepatan Arus
Kecepatan arus di Pantai Natal berkisar 0,18–0,23 m/s ketika pasang dan
surut 0,19–0,25 m/s. Kecepatan arus tertinggi terdapat pada stasiun I dan
kecepatan arus terendah terdapat pada stasiun III dan IV. Arus pada perairan
tersebut relatif tenang dan sedikit turbelensi. Kawuri et al (2012) melaporkan
bahwa kecepatan arus mempengaruhi penyebaran makrozoobentos dan
pertumbuhan lamun.
Salinitas
Toleransi lamun terhadap salinitas bervariasi antar jenis dan umur, lamun
akan mengalami kerusakan fungsional jaringan sehingga mengalami kematian
apabila berada di luar batas toleransinya. Beberapa lamun dapat hidup pada
kisaran salinitas 10–45‰ (Hemminga dan Duarte, 2000), dan dapat bertahan
hidup pada daerah estuari, perairan tawar, perairan laut, maupun di daerah
hipersaline sehingga salinitas menjadi salah satu faktor distribusi lamun secara
gradien (Mckenzie, 2008). Thalassia dapat tumbuh optimum pada kisaran salinitas
24-35‰, namun dapat juga ditemukan hidup pada salinitas 35–60‰ dengan
waktu toleransi yang singkat (Zieman, 1986 dalam Hemminga&Duarte, 2000).
Nilai COD yang didapat dari hasil pengamatan di perairan Natal berkisar
antara 14,56–18,78 mg/L. Nilai ini tergolong dalam kisaran baik bagi biota laut.
Apabila nilai COD tinggi maka hal ini manunjukkan bahwa bahan organik yang
ada di perairan lebih banyak dalam bentuk yang sukar didegradasi secara biologis.
Dalam Kep MENLH No.51 tahun 2004 tidak disebutkan nilai baku mutu untuk
COD namun demikian nilai COD yang terlalu tinggi tidak baik untuk kehidupan
biota laut khususnya plankton karena akan banyak oksigen yang digunakan dalam
menguraikan bahan organik tersebut. Nilai COD di perairan yang tidak tercemar
biasanya kurang dari 20 mg/L sedangkan di perairan tercemar dapat lebih dari 200
mg/L (Effendi, 2003).
4.4 Substrat
Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam bentuk
kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau kecepatan
arus di daerah tersebut, sebaliknya, proporsi kerikil yang besar, menunjukkan
kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien dalam sedimen.
Sedimen dalam lingkungan perairan laut umumnya berasal dari proses pelapukan.
Sebagian berasal dari material hasil pelapukan batuan di darat yang dibawa ke laut
melalui sungai, sedangkan material lainnya berasal dari proses pelapukan material
yang berasal dari kerangka atau bagian tubuh makhluk hidup (Mc Lachlan dan
Brown 2006).
Hasil analisis sampel struktur sedimen dari pantai Natal (Tabel 8),
menunjukkan bahwa, kondisi substrat pada setiap plot lebih banyak didominasi
oleh pasir. Menurut Short dan Coles (2003), proporsi butiran sedimen dalam
bentuk kerikil yang besar mengindikasikan tingginya energi gelombang atau
kecepatan arus di daerah tersebut sebaliknya proporsi kerikil yang besar
menunjukkan kemungkinan rendahnya kandungan bahan organik dan nutrien
dalam sedimen. Bahan organik termasuk salah satu komponen vital bagi
komunitas lamun. Ketersediaan bahan organik di alam dapat menjadi faktor
pembatas bagi pertumbuhan lamun (Erftemeijer dan Middelburg 1993; Hemminga
dan Duarte 2000; Barron dan Duarte 2009; Wicks et al. 2009). Lamun dengan
struktur kanopi dan rhizomanya yang rumit, diketahui memiliki kemampuan
menjebak material organik (Hemminga dan Duarte 2003). Material organik yang
terjebak berasal dari berbagai sumber, diantaranya dari limbah rumah tangga atau
bahkan dari serasah daun lamun yang telah mati.
hidup pada substrat berkurang jumlahnya karena terjadinya persaingan dalam hal
ruang.
5.1 Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan beberapa hal :
1. Kondisi ekosistem lamun pantai Natal tergolong sehat dengan rata-rata
tutupan lamun ≥ 60%. Terdapat 4 jenis lamun yang hidup di perairan
pantai Natal yaitu Cymodecea rotundata, Enhalus acoroides, Halophila
ovalis, Halodule pinifolia.
2. Terdapat 16 jenis makozobentos yang hidup pada kawasan ekosistem
lamun pantai Natal. Indeks Keanekaragaman makrozobentos di
ekosistem lamun pantai Natal berada pada kondisi sedang (H’= 2,329-
2,593).
3. Korelasi yang sangat kuat terjadi antara keragaman makrozoobentos
dengan tutupan lamun dengan nilai -0,949
5.2 Saran
Sebaiknya dilakukan penambahan stasiun pengamatan pada penelitian
selanjutnya agar diketahui kondisi ekosistem lamun pantai Natal secara
keseluruhan. Bagi pemerintah diharapkan agar menjadikan ekosistem lamun
pantai natal sebagai zona konservasi lamun, agar tidak terjadi kerusakan pada
ekosistem lamun di daerah pantai Natal.
44
Universitas Sumatera Utara