Dibuat Oleh :
Militya Nangaro (16021101037)
Iriene K. E. Pondaag (16021101151)
Brigita Tulung (16021101049)
Daerah pantai yang juga sering disebut wilayah pesisir merupakan daerah
peralihan antara daerah berekosistem laut dan berekosistem darat. Oleh karena itu
daerah pantai memiliki banyak sumber dara alam. Hal ini menyebabkan daerah
pantai berkembang pesatuntuk berbebagai kepentingan. Namun perkembangan yang
terjadi sering kali menimbulkan permasalahan karena tidak dikelola dengan benar.
Potensi daerah pantai yang ada sebaiknya dikelola dengan bijak dan benar
agar sumber daya pantai dapat terus digunakan untuk kepentingan saat ini dan masa
depan. Pengelolaan sumber daya pantai harus dikelola berkesinambungan antar
ekosistem yang ada agar tidak merusak ekosistem pantai.
Istilah pantai sering rancu dalam pemakaiannya yaitu antara coast (pesisir)
dan shore (pantai). Definisi coast (pesisir) adalah daerah darat di tepi laut yang
masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air
laut. Sedangkan shore (pantai) adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi
oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah daratan adalah daerah
yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis
pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar
laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan
antara daratan dan air laut dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah
sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Sempadan pantai
adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah
daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
Gambar 2.1 Definisi dan batasan pantai. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).
Ditinjau dari profil pantai, daerah ke arah pantai dari garis gelombang pecah
dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore. Perbatasan
antara inshore dan foreshore adalah batas antara air laut pada saat muka air rendah
dan permukaan pantai. Proses gelombang pecah di daerah inshore sering
menyebabkan longshore bar yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira
sejajar dengan garis pantai. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis
pantai pada saat muka air rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air
pasang tinggi. Profil pantai di daerah ini mempunyai kemiringan yang lebih curam
daripada profil di daerah inshore dan backshore. Backshore adalah daerah yang
dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi
gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi.
1. Koefisien Refraksi
Refraksi terjadi dikarenakan gelombang datang membentuk sudut
terhadap garis pantai. Refraksi mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap tinggi dan arah datang gelombang serta distribusi energi
gelombang sepanjang pantai. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).
Refraksi dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan
karakteristik gelombang datang.
Cosα0
Kr = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Cosα
Dimana pada hukum Snell berlaku apabila ditinjau gelombang di laut
dalam dan di suatu titik yang ditinjau yaitu:
Dengan,
Kr = koefisien refraksi.
α = sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur
dasar laut di titik yang ditinjau.
αo = sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan
garis pantai.
C = kecepatan rambat gelombang.
C0 = kecepatan rambat gelombang di laut dalam.
2. Wave Shoaling (Pendangkalan Gelombang)
Wave shoaling terjadi dikarenakan adanya pengaruh perubahan
kedalaman dasar laut. Wave shoaling mempunyai fungsi yang sama
dengan refraksi gelombang yaitu untuk menentukan tinggi gelombang di
suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang.
n0 L0
Ks = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
nL
Dengan,
Ks = koefisien shoaling (pendangkalan).
L = panjang gelombang.
Lo = panjang gelombang di laut dalam.
3. Tinggi Gelombang Laut Dangkal
Tinggi gelombang di laut dangkal terjadi akibat pengaruh refraksi
gelombang dan wave shoaling (pendangkalan gelombang), diberikan oleh
rumus berikut:
H1 = Ks Kr Ho (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
H1 = tinggi gelombang laut dangkal.
Ks = koefisien shoaling (pendangkalan).
Kr = koefisien Refraksi.
Ho = tinggi gelombang laut dalam.
daerah terlindung dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.
Dengan, A adalah titik yang ditinjau di belakang rintangan dan P adalah ujung
pemecah gelombang. Nilai K’ untuk α, β dan r/L tertentu diberikan dalam tabel
koefisien difraksi gelombang K’, dari gelombang datang dengan sudut θ, sebagai
fungsi r/L dan β (Basic Coastal Engineering, R.M. Sorensen). Tabel tersebut
dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 7 Tabel Koefisien Difraksi.
2.3.3 Refleksi Gelombang
Hr
X = Hi (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Koefisien refleksi berbagai tipe bangunan diberikan dalam Tabel 2.1.
Tipe Bangunan X
Dinding vertikal dengan puncak di atas air 0,7 – 1,0
Dinding vertikal dengan puncak terendam 0,5 – 0,7
Tumpukan batu sisi miring 0,3 – 0,6
Tumpukan blok beton 0,3 – 0,5
Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lobang) 0,05 – 0,2
(Sumber: Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Hoo 1
= (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Lo 7
Kedalaman gelombang pecah (db) dan tinggi gelombang pecah diberi notasi
Hb. Munk (1949, dalam CERC) memberikan persamaan untuk menentukan tinggi
dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut:
H = 1 (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
1/ 3
H 'o H 'o
3,3
Lo
Parameter Hb/Ho’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Gambar 2.5
menunjukkan hubungan antara Hb/Ho’ dan Ho/Lo’ untuk berbagai kemiringan
2
dasar laut. Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara db/Hb dan Hb/gT untuk
berbagai kemiringan dasar. Grafik yang diberikan pada Gambar 2.6 dapat
dituliskan dalam rumus sebagai berikut:
db 1
Hb = b − (aHb / gT )
2
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Elevasi muka air laut merupakan parameter yang sangat penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Muka air laut berfluktuasi dengan periode yang
lebih besar dari periode gelombang angin. Fluktuasi muka air laut dapat
disebabkan oleh wave set-up (kenaikan muka air karena gelombang), wind set-up
(kenaikan muka air karena angin), tsunami, storm surge (gelombang badai),
pemanasan global dan pasang surut.
Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka
air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah akan
terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di sekitar
gelombang pecah. Kemudian dari titik dimana gelombang pecah permukaan air
rerata miring ke atas ke arah pantai, turunnya muka air disebut wave set-down,
sedangkan naiknya muka air disebut wave set-up, seperti diperlihatkan pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Wave set-up dan wave set-down. (Teknik Pantai, Bambang
Triatmodjo).
g1/ 2T
Dengan,
Sb = set-down di daerah gelombang.
T = periode gelombang.
H’o = tinggi gelombang laut dalam ekivalen.
Db = kedalaman gelombang pecah.
G = percepatan gravitasi.
Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-
benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting
untuk perencanaan bangunan pantai.
Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama minimal 15 hari. Dari
data tersebut dibuat grafik pasang surut sehingga didapatkan HHWL, MHWL,
MSL, MLWL, LLWL. Dalam pengamatan selama 15 hari tersebut, telah tercakup
satu siklus pasang surut yang meliputi pasang surut purnama dan perbani. Saat
terjadi pasang surut purnama akan terjadi tinggi pasang surut paling besar
dibandingkan hari lainnya. Sedangkan saat pasang surut perbani akan terjadi
tinggi pasang surut paling kecil dibandingkan hari lainnya.
1. Mean High Water Level (muka air tinggi rerata) adalah rerata dari muka
air tinggi.
2. Mean Low Water Level (muka air rendah rerata) adalah rerata dari muka
air rendah.
3. Mean Sea Level (muka air laut rerata) adalah muka air rerata antara muka
air tinggi rerata dan muka air rendah rerata.
4. Highest High Water Level (muka air tinggi tertinggi) adalah air tertinggi
pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
5. Lowest Low Water Level (muka air rendah terendah) adalah air terendah
pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
Untuk lebih jelasnya tentang elevasi muka air laut dapat dilihat pada Gambar 2.8
Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter yang sangat penting di
dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan
dari beberapa parameter yaitu pasang surut, wave setup (Sw), tsunami dan
pemanasan global. Untuk tsunami tidak digunakan karena kemungkinan
terjadinya sangat kecil.
DWL = MHWL + Sw + kenaikan muka air karena perubahan suhu global
2.5 Angin
2.5.3 Fetch
pertambahan sudut 6º sampai 42º pada kedua sisi dari arah angin.
Sedimen pantai bisa berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari daratan
yang dibawa oleh sungai dan dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah pantai.
Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen
sepanjang pantai banyak menyebabkan permasalahan seperti pendangkalan di
pelabuhan, erosi pantai dan sebagainya.
Angkutan sedimen sepanjang pantai dapat dihitung dengan rumus berikut:
5
Gambar 2.14 Tampilan utama program SMS.
Pemodelan dalam program SMS ada beberapa macam, salah satunya adalah
pemodelan yang digunakan untuk menampilkan simulasi pergerakan arus yang
terjadi yaitu dengan menggunakan model ADCIRC. Data yang dibutuhkan untuk
menjalankan model ADCIRC berupa peta bathimetri dan pasang surut.
Peta bathimetri yang digunakan sebagai input pada program SMS ini adalah
peta bathimetri tahun 2005 yang sudah dilakukan proses digitasi melalui program
AutoCAD. Kegunaan peta bathimetri ini adalah untuk mendapatkan posisi garis
pantai dan kedalaman dasar laut di sekitar pantai yang ditinjau.
• Ceklis pada
Finite amplitudo terms on.
• Ceklis pada Advektive terms on.
• Ceklis pada Time derivative terms on.
d. Pilih menu ADCIRC kemudian klik Run ADCIRC.
19. Membuka file-file *fort 64 untuk menampilkan vector arus.
a. Meng-upload data file fort 64 untuk menampilkan grafik arus.
b. Klik Mesh Module, klik menu Data, Data Browser.
c. Open pada file *fort 64, klik OK.
d. Setelah dibuka, pada kotak dialog, kotak Time Step akan menampilkan
semua data, klik Done.
20. Menampilkan vector arus.
a. Pilih Mesh Module.
b. Untuk menampilkan pola arus pada lingkungan boundary mesh, klik
Display Option, beri tanda centang pada submenu Vectors.
c. Sesuaikan juga untuk sub menu lainnya, apakah ingin ditampilkan ataukah
tidak, misalkan submenu Scatter, 2D mesh, Map, Contour Option. Beri
tanda check atau uncheck pada kotak yang bersangkutan.
21. Tampilan pada window SMS setelah fort 63 dan 64 dibuka.
a. Untuk mengubah pola arus sesuai dengan kondisi timestep.
b. Klik Mesh Module, Solution pilih fort 64 (ADCIRC) dan timestep
sesuaikan dengan kondisi yang kita pilih.
Untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi dalam beberapa kurun
waktu (time series), maka dilakukan overlay (tumpang-susun) peta multitemporal.
Dalam laporan ini, digunakan peta topografi 1958, peta rupabumi 2000 dan peta
bathimetri 2006.
A3 1/ 2
tan β = (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)
D
LTO
Dengan,
β = kemiringan profil pantai
A= parameter skala empiris
DLTO = kedalaman maksimum terjadinya longshore transport
Sedangkan nilai DLTO tergantung dari tinggi dan periode gelombang signifikan,
rumus yang digunakan sebagai berikut:
= (2,3 −10,9H33 )
D H
LTO 33
(GENESIS: Technical Reference,
L
33
Hanson Hans)
Dengan,
H33 = tinggi gelombang signifikan
L33 = panjang gelombang
Panjang gelombang (L33) dicari dengan menggunakan rumus:
gT 2
33
L33 = (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)
2π
Dengan,
2
g = percepatan gravitasi = 9,81 m/s
T33 = periode gelombang signifikan
Longshore transport rate (Q) atau tingkat angkutan sedimen sejajar pantai
3
lazim mempunyai satuan m /tahun (dalam SI). Ada dua alternatif pergerakan
sedimen sejajar pantai yang terjadi yaitu ke arah kanan dan ke arah kiri relatif
terhadap seorang pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke laut. Pergerakan
dari kanan ke kiri diberi notasi Qlt dan pergerakan ke arah kanan diberi notasi Qrt,
sehingga didapatkan tingkat gross sediment transport (angkutan sedimen kotor)
Qg = Qlt + Qrt dan tingkat net sediment transport (angkutan sedimen bersih) Qn
= Qlt – Qrt. Nilai Qg digunakan untuk meramalkan tingkat pendangkalan pada
suatu alur pada perairan terbuka. Qn digunakan untuk desain alur yang dilindungi
dari perkiraan erosi pantai. Dan Qlt serta Qrt untuk penumpukan sedimen di
belakang sebuah struktur pantai yang menahan pergerakan sedimen. Dalam
perhitungan program GENESIS, perhitungan longshore transport dilakukan
dengan menggunakan persamaan hasil modifikasi dari persamaan berikut:
Q(+) = ½ (Qg + Qn) (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)
START.BLG
G
SHORL.BLG E SETUP.BLG
N
SHORM.BLG E OUTPT.BLG
S
WAVES.BLG
I SHORC.BLG
SEAWL.BLG S
Gambar 2.19 Skema file input dan output program GENESIS. (GENESIS:
Technical Reference, Hanson Hans).
Untuk menjalankan program GENESIS, ada 4 jenis file input yang harus ada
dalam bentuk dan jumlah data yang tepat seperti yang ditunjukkan pada gambar
dengan bolder hitam (START.blg, SHORL.blg, SHORM.blg, WAVES.blg) di
atas. untuk file-file dengan bolder merah (SEAWL.blg) hanya dibutuhkan apabila
ada bangunan pantai eksisting.
Penjelasan secara rinci isi file input dan output program GENESIS adalah
sebagai berikut:
2. File SHORL.blg berisi ordinat dari grid garis pantai awal. Cara mendapatkan
ordinat ini adalah dengan melakukan proses digitasi garis pantai dengan
bantuan program AutoCAD, kemudian membuat grid dengan jarak tertentu
pada daerah yang ditinjau. Cara penulisannya yaitu diurut dari kiri ke kanan
dan setiap baris berisi 10 ordinat.
4. File WAVES.blg terdiri dari data gelombang tiap jam selama satu tahun. Data
gelombang yang dimasukkan berupa tinggi gelombang, periode dan arah
rambat gelombang.
5. File SEAWL.blg terdiri dari lokasi seawall yang dimodelkan. Jika tidak ada
seawall pada file START, maka SEAWL tidak dibaca. Jadi, file SEAWL ini
digunakan bila ada bangunan pantai eksisting yang akan dianalisa.
6. File SETUP.blg merupakan output yang berisi koordinat perubahan garis
pantai dan jumlah angkutan sedimen yang terjadi, yang dalam proses running
akan memberikan peringatan (warning message) jika ada kesalahan selama
simulasi.
7. File OUTPT.blg terdiri dari hasil umum simulasi, diantaranya grafik Net
Transport Rate, Shoreline Change dan Shoreline Positions.
8. File SHORC.blg merupakan output berupa koordinat posisi garis pantai dalam
jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.8 Bangunan Pelindung Pantai
2.8.1 Groin
tersebut akan terjadi sedimentasi. Apabila Qsb lebih besar dari Qsa
(Qsb>Qsa), maka akan terjadi erosi pada pantai. Sedangkan apabila Qsa =
Pada Gambar 2.22.b, groin ditempatkan pada pantai yang terjadi erosi.
(a) (b)
Gambar 2.22 Suplai Sedimen
Groin dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu tipe lurus, tipe T
dan tipe L. Menurut konstruksinya, groin dapat berupa tumpukan batu,
caisson beton, turap, tiang yang dipancang sejajar atau tumpukan buis
beton yang di dalamnya diisi beton. Pada umumnya, panjang groin adalah
40 sampai 60 persen dari lebar rerata surf zone dan jarak antar groin
adalah antara satu sampai tiga kali panjang groin.
γrH3
W = K D (Sr − 1) Cotθ
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
γr
Sr = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
γa
Dengan,
W = berat butir batu pelindung.
γr = berat jenis batu.
Untuk tebal lapis pelindung dan jumlah butir tiap satu luasan diberikan
oleh rumus berikut ini:
1/ 3
W (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
t = nk
γr
Dengan
t = tebal lapis pelindung.
n = jumlah lapis batu dalam lapis pelindung.
k= koefisien lapis.
A= luas permukaan.
P= porositas rerata dari lapis pelindung (%).
N= jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan A.
γr = berat jenis batu pelindung.
Tabel 2.2 Koefisien stabilitas KD untuk berbagai jenis butir.
Lengan Bangunan Ujung (Kepala) Bangunan
Kemiringan
n Penempatan KD KD
Gelombang Gelombang Gelombang Gelombang
Pecah Tidak Pecah Pecah Tidak Pecah Cos θ
Batu Pecah
1.3 2.3 3
2
Bersudut Kasar >3 Acak 2.2 4.5 2.1 4.2 ¤
3 2
Bersudut Kasar 2 Khusus ¤ 5.8 7 5.3 6.4 ¤
Tetrapod 5 6 1.5
Quadripod 3.5 4 3
8.3 9 1.5
6 6.5 3
8 16 2
Dolos 2 Acak 15.8 31.8
7 14 3
2
Kubus Dimodifikasi 2 Acak 6.5 7.5 - 5 ¤
2
Hexapod 2 Acak 8 9.5 5 7 ¤
2
Tribar 1 Seragam 12 15 7.5 9.5 ¤
(Graded Angular)
Catatan :
n : jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung
1
¤ : penggunaan n=1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah
¤2 : sampai ada ketentuan lebih lanjut tentang nilai KD, penggunaan
KD dibatasi pada kemiringan 1:1,5 sampai 1:3
3
¤ : batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus
permukaan bangunan
Tabel 2.3 Koefisien lapis.
Batu Pelindung n Penempatan Koefisien Lapis (k ) Porositas
P(%)
Batu alam (halus) 2 random (acak) 1.02 38
Batu alam (kasar) 2 random (acak) 1.15 37
Batu alam (kasar) >3 random (acak) 1.1 40
Kubus 2 random (acak) 1.1 47
Tetrapod 2 random (acak) 1.04 50
Quadripod 2 random (acak) 0.95 49
Hexapod 2 random (acak) 1.15 47
Tribard 2 random (acak) 1.02 54
Dolos 2 random (acak) 1 63
Tribar 1 seragam 1.13 47
Batu alam random (acak) 37
(Sumber: Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).
2.8.2 Revetment
γr.H 3
W = K D .(Sr − 1) .cotθ
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
W = berat minimum batu.
γb = berat jenis batu.
Dengan,
t = tebal lapis lindung
de = diameter equivalen
W = berat butir batu lapis lindung
γb = berat jenis batu.
3. Lebar Mercu
1/ 3
W
B = nk
γ (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
r
Dengan,
B = lebar puncak.
n = jumlah butir batu (nminimum =
γ b .H 3
Wt = Ns (Sr − 1)
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
Wt = berat rerata butir batu
γb = berat jenis batu.
α Kemampuan synoptic view terhadap tubuh air yang lebih efektif dalam
memonitoring secara spasial dan temporal
α Menampilkan informasi kualitas air pada berbagai jenis perairan pada
area yang sangat luas dalam satu waktu
α Menampilkan perekaman kualitas air secara temporal dari masa lampau
sampai saat ini
α Sebagai alat untuk mencari lokasi dan waktu yang tepat dalam survei
dan pengambilan sampel
α Dapat digunakan untuk memperkirakan komponen-komponen penciri
kualitas air
Material tersuspensi dan terlarut di permukaan air, dapat merubah warna air
tersebut. Air jernih memiliki warna biru, air yang kaya akan humus berwarna
kuning, dan air keruh memiliki warna bervariasi tergantung dari campuran material
yang masuk ke dalamnya berkisar antara biru-hijau atau coklat-merah. Air jernih
hanya memantulkan sedikit dari pancaran sinar matahari yang mengenainya,
sehingga nilai pantulannya terhitung rendah. Pantulan air memiliki nilai tertinggi
pada spektrum biru dan semakin menurun ketika panjang gelombang meningkat
Gambar 1.2.. Pantulan air jernih vs air kaya akan alga hijau
(Khoram, 2012)
Karakteristik sedimen dan alur sungai adalah sifat alam bahwa air pada
dataran terbuka tidak mengalir di atas tanah sebagai lapisan, melainkan akan
mengumpul sebagai suatu sistem saluran alam, sehinggadapat didefinisikan
bahwa sungai adalah suatu sistem saluran yang dibentuk oleh alam yang
disamping mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung di dalam
air sungai tersebut. Proses sedimentasi itu sendiri dalam konteks hubungan
dengan sungai meliputi, penyempitan palung, erosi, transportasi, sedimentas
(transportsediment), pengendapan (deposition), dan pemadatan (Compaction)
dari sedimen itu sendiri. Karena prosesnya merupakan gejala sangat komplek,
dimulai dengan jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetic yang
merupakan permulaan proses terjadinya erosi tanah menjadi partike halus, lalu
menggelinding bersama aliran, sebagian akan tertinggal di atas tanah, sedangkan
bagian lainnya masuk kedalam sungai terbawa aliran menjadi sedimen.
Besarnya volume sedimen terutama tergantung pada perubahan kecepatan
aliran, karena perubahan pada musim penghujan dan kemarau, serta perubahan
kecepatan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia. (kusnan, 2010 dalam
Pangestu 2013).
Konsep transpor sedimen di pantai ada dua macam, yaitu transpor sedimen
yang memiliki arah tegak lurus dengan garis pantai dan transpor sedimen yang
memiliki arah rata-rata sejajar pantai. Untuk transpor sedimen yang memiliki arah
tegak lurus dengan pantai dibagi lagi menjadi dua macam yaitu transpor sedimen
menuju dan meninggalkan pantai (onshore - offshore transport). Sedangkan untuk
transpor sedimen yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai hanyalah satu macam
saja yaitu transpor sepanjang pantai (longshore transport).
Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup
besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil Pada waktu air
surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Selama
periode sekitar titik balik di mana kecepatan aliran kecil, sebagian suspensi
mengendap. Pada saat dimana air mulai pasang, kecepatan aliran bertambah
besar dan sebagian suspensi dari laut masuk kembali ke sungai bertemu
dengan sedimen yang berasal dari hulu. Selama periode dari titik balik ke air
pasangmaupun air surut kecepatan aliran bertambah sampai mencapai
maksimum dan kemudian berkurang lagi. Dengan demikian dalam satu
siklus pasang surut jumlah sedimen yang mengendap lebih banyak daripada
yang tererosi, sehingga terjadi pengendapan di depan mulut sungai.
1) Zona litoral adalah wilayah laut yang pada saat terjadinya pasang naik tertutup
oleh air laut dan ketika air laut surut wilayah ni menjadi kering. Zona inisering
disebut sebagai wilayah pasang surut.
2) Zona neritik adalah wilayah laut mulai zona pasang surut sampai kedalaman
200 meter. Zona ini merupakan tempat terkonsentrasinya biota laut, terutama
berbagai jenis ikan. Zona neritik sering disebut wilayah laut dangkal.
3) Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang tenggelam
di dasar samudra. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter – 2000
meter.
4) Zona abisial adalah wilayah laut yang merupakan wilayah dasar samudra.
Kedalamannya di atas 2000 meter dan jenis biota yang ada pada zona ini
terbatas.
1. Pemanfaatan Ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan
keserasian berbagai macam kegiatan. Sementara itu, batas kegiatan perlu
ditentukan. Dengan demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka
panjang dapat dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan
wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi,
pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah
dan air limbah.
Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk
jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul
dengan berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui daya dukung
lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan
teknologi mutakhir. Akan tetapi, perlu dijagaagar cara pemecahan itu tidak
mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.
Gambar 4.2: Fenomena abrasi di pantai selatan dan utara Jawa Barat
sumber: google.image
Jawa Barat memiliki kawasan pesisir dan laut yang potensial untuk
dikembangkan dengan cara memanfaatkan wilayah pesisir dan laut
tersebut melalui berbagai kegiatan pembangunan guna meningkatkan
pendapatan asli daerah. Panjang garis pantai propinsi Jawa Barat
membentang di utara dari Kabupaten Cirebon sampai Kabupaten Bekasi
sepajang kurang lebih 365 km dan di selatan membentang dari Kabupaten
Ciamis sampai Kabupaten Sukabumi sepanjang kurang lebih 355 km.
Kawasan pesisir Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi dua kawasan,
yaitu kawasan pesisir utara (Pantai Utara Jawa), dan kawasan pesisir
selatan (Pantai Selatan Jawa). Kedua kawasan memiliki beberapa
perbedaan, baik yang menyangkut karakteristik fisik, potensi
sumberdaya dan ekosistem maupun tingkat pembangunan dan
tekanan lingkungan. Akan tetapi dibalik potensi yang dimiliki,
terdapat berbagai permasalahan yang menjadikan semakin tidak
optimalnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut tersebut. Permasalahan
yang terjadi di wilayah pesisir pantai Jawa Barat pada umumnya meliputi
terjadinya perubahan fungsi lahan, intrusi air laut, abrasi dan akresipantai,
kerusakan dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.
Perkembangan abrasi di pantai utara dan selatan Jawa Barat dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 11.1: Perkembangan Abrasi di Pantai Utara dan Selatan Jawa Barat
Gambar 3.4: Perbandingan dari landsat 1990 dan spot 5 2003 untuk menggambarkan
terjadinya perubahan fungsi lahan di pesisir utara KabupatenSubang
Sumber: BPLHD, Jabar.
Gambar 3.5: Beberapa kasus kerusakan pesisir pantai utara Jawa Barat diakibatkan oleh
abrasi, akresi, penambangan pasir, dan perubahan fungsi lahan
Sumber: BPLHD, Jabar.
Tabel 3.2: Perkembangan Perubahan Fungsi Lahan di Kabupaten Subang
Gambar 3.6: Beberapa kasus kerusakan pesisir pantai selatan Jawa Barat
diakibatkan oleh abrasi, penambangan pasir besi, sampah, dan perubahan fungsi lahan
Sumber: BPLHD, Jabar.
Berikut ini adalah beberapa data tentang fenomena kerusakan lingkungan di pesisir
pantai selatan Jawa Barat:
1) Cianjur
Kerusakan ekosistem pandan laut di Cidaun dan sempadan pantai 200 Ha;
Perambahan hutan cagar alam di Cidaun seluas 150 Ha;
Kerusakan pantai akibat penambangan pasir, besi di Sindangbarang dan Cidaun
seluas 450 Ha;
2) Garut
Kerusakan pesisir dan laut cagar alam Sancang sepanjang 12 km;
Potensi pencemaran akibat penumpukan sampah dikawasan wisata Santolo;
Kurangnya hutan pantai seluias 100 Ha di sepanjang Carigin, Bungbulang,
Pameungpeuk;
Kerusakan pantai akibat penambangan tak terkendali
3) Tasikmalaya
Kerusakan pantai akibat penambangan di Kec. Cipatujah
Kerusakan hutan pandan di Cikalong sepanjang 22 km
4) Ciamis
Kerusakan hutan bakau di Kalipucang kurang lebih 25% dari luas 95 Ha dan
Cijulang seluas 15 Ha
Potensi kerusakan cagar alam akibat pendaratan perahu
Kerusakan terumbu karang di Kawasan Cagar Alam Laut
Pencemaran sampah
Abrasi pantai sepanjang 1 km di Kec. Pangandaran
1) Persiapan
Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu (i)
sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan lokal yang ada, (ii)
pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan (iii) penguatan kelompok
kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru.
2) Perencanaan
Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut berbasis
masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu (i) proses
perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari luar, (ii) merupakan
perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat lokal, (iii) berorientasi
pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya, (iv) memiliki tujuan dan luaran
yang jelas, (v) memiliki kerangka kerja yang fleksibel bagi pengambalian keputusan,
(vi) bersifat terpadu, dan (vii) meliputi proses-proses untuk pemantauan dan evaluasi.
3) Persiapan Sosial
Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka
masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat (i) mengutarakan aspirasi serta
pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang
merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui keuntungan dan
kerugian yang didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat
berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang
dihadapi, dan (iii) berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian rencana
tersebut.
4) Penyadaran Masyarakat
Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu (i)
penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta manfaat
penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) penyadaran tentang konservasi, dan (iii)
penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana.
5) Analisis Kebutuhan
Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya, yaitu: (i)
PRA dengan melibatkan masyarakat lokal, (ii) identifikasi situasi yang dihadapi di lokasi
kegiatan, (iii) analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (iv) identifikasi
masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut, (v) identifikasi pemanfaatan
kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di masa depan, (vi) identifikasi kendala-kendala
yang dapat menghalangi implementasi yang efektif dari rencana-rencana tersebut, dan
(vii) identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan.
9) Pendanaan
Pendanaan merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan. Karena itu, peran pemerintah selaku penyedia
pelayanan diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan sebagai dana awal
perencanaan dan implementasi upaya penanggulangan. Namun demikian, modal
terpenting dalam upaya ini adanya kesadaran masyarakat untuk melanjutkan upaya
penanggulangan dengan dana swadaya masyarakat setempat.
Kesembilan proses implementasi upaya penanggulangan pencemaran laut tersebut di
atas tidak bersifat absolut, tetapi dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah,
sumberdaya dan masyarakat setempat, terlebih bilamana di wilayah tersebut
telahterdapat kelembagaan lokal yang memberikan peran positif bagi pengelolaan
sumber daya dan pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.
3. Penanaman
Setelah bibit mulai tumbuh didalam areal pembibitan, dilakukan upaya penanaman pada
areal rehabilitasi. Upaya ini melibatkan seluruh anggota kelompok yang memobilisasi
anggota masyarakat yang peduli tentang pentingnya upaya rehabilitasi mangrove. Upaya
penanaman dilakukan dengan sangat hati-hati. Bibit yang telah tumbuh di areal pembibitan
dibawa ke areal penanaman. Setelah sampai pada daerah dekat tempat penanaman,
polibagnya disobek kemudian dilakukan penggalian lubang pada areal penanaman dan
dimasukkan bibit beserta tanah/lumpur kedalam lubang penanaman mangrove. Untuk
menghindari tumbangnya bibit karena tekanan arus pasang dan atau pengaruh
ombak/gelombang, tiap bibit mangrove diikat pada ajir yang dipatok didekat mangrove. Ajir
ini sengaja diletakkan di samping setiap bibit yang ditanam mengingat tiap bibit yang akan
ditanam belum terlalu kuat untuk menopang dirinya dan atau untuk tetap berdiri karena
belum mempunyai akar yang kuat.
Pada beberapa daerah yang ekstrim dengan pola pasang surut yang sangat lebar, sebaiknya
jangan dilakukan pola penanaman konvensional, yaitu hanya penancapan bibit yang
dibarengai dengan pengikatan pada ajir. Sebaiknya menggunakan modifikasi pada sistem
persemaian. Modifikasi persemaian dapat dilakukan pada polibag bambu dan atau pot yang
didisain khusus. Bentuk polibag dapat dilakukan dengan panajaman pada bagian bawah yang
juga berfungsi sebagai pasak untuk tiap bibit. Modifikasi juga dapat dipadu dengan
pengikatan pada ajir berlapis untuk memperkokoh dudukan bibit. Perlu mendapat perhatian
adalah bukan seberapa banyak bibit yang kita dapat tanam tapi seberapa banyak bibit yang
bisa bertahan hidup dengan kondisi lokasi yang kadang bersifat ekstrim.
4. Pemeliharaan
Pola pemeliharaan sebaiknya melibatkan seluruh anggota kelompok dengan menjaga
tiap kaplingan areal penanaman. Tiap anggota masyarakat dipercayakan untuk
menyulam tiap bibit mangrove yang kebetulan rusak atau tercabut oleh aktivitas arus dan
gelombang. Untuk mengontrol kelangsungan hidup tiap bibit dan anakan mangrove,
sebaiknya dilakukan pengontrolan setiap 3-4 hari sekali sampai pada saat bibit mangrove
yang ditanam berusia 3 – 5 bulan. Selanjutnya dilakukan pengontrolan seminggi sekali
selama 10 -12 bulan. Setelah diatas satu tahun dapat dilakukan pengontrolan selama 1 –
2 kali sebulan.
Pemeliharaan mangrove adalah hal penting yang perlu dilakukan untuk menjaga agar
mangrove tetap hidup dan bertahan dengan baik. Komplesitasnya kondisi fisik dan ekologis
lingkungan serta kadang adanya hama dan gangguan lain membuat mangrove kadang
mengalami kematian walaupun umur mangrove telag berusia di atas 8 – 12 bulan, namun jika
dilakukan pengontrolan yang rutin maka akan dapat meminimalisasi kegagalan yang ada.