Anda di halaman 1dari 85

REKAYASA PANTAI DAN MUARA

“PAPER MATERI REKAYASA PANTAI DAN MUARA”

Dibuat Oleh :
Militya Nangaro (16021101037)
Iriene K. E. Pondaag (16021101151)
Brigita Tulung (16021101049)

JURUSAN TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SAM RATULANGI
MANADO
2019
1. Pendahuluan

Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat besar ,yang


terdiri dari lebih dari 13.700 pulau yang panjang garis pantai melebihi 80.000 km.
Kira-kira 75 % jumlah kota yang terdapat di Indonesia,dengan jumlah penduduk
lebih dari 100 juta,terletak di daerah pantai (Ongkosongo dalam Indah Karya,1993).
Sedangkan berdasarkan Dewan Hankamnas (1996) ,jumlah pulau di Indonesia
sekitar 17.508 buah ,dengan luas perairan sekitar 5.1 juta km2 ,dan luas daratan 2.9
juta km2 .

Daerah pantai yang juga sering disebut wilayah pesisir merupakan daerah
peralihan antara daerah berekosistem laut dan berekosistem darat. Oleh karena itu
daerah pantai memiliki banyak sumber dara alam. Hal ini menyebabkan daerah
pantai berkembang pesatuntuk berbebagai kepentingan. Namun perkembangan yang
terjadi sering kali menimbulkan permasalahan karena tidak dikelola dengan benar.

Potensi daerah pantai yang ada sebaiknya dikelola dengan bijak dan benar
agar sumber daya pantai dapat terus digunakan untuk kepentingan saat ini dan masa
depan. Pengelolaan sumber daya pantai harus dikelola berkesinambungan antar
ekosistem yang ada agar tidak merusak ekosistem pantai.

Potensi daerah pantai pada perikanan dan pertanian yang berupa


pengangkapan ikan dan penambakkan ikan merupakan kegiatan utama di daerah
pantai dan juga merupakan kegiatan ekspor yang cukup signifikan.Sedangkan
potensi pantai pada pariwisata tidak kalah pentingnya dalam menambah devisa
negara. Oleh karena itu potensi daerah pantai haruslah dijaga agar tidak terjadi
perusakan.

Kerusakan pantai atau penurunan potensi daerah pantai sebagian besar


disebabkan oleh kegiatan manusia,seperti: penambangan pasir dan batu
karang,penebangan hutan bakau,pencemaran daerah pantai,pembangunan konstruksi
yang tidak ramah lingkungan ,serta kegiatan-kegiatan lainnya yang dapat menganggu
ekosistem pantai yang dapat menyebabkan kerusakan potensi yang ada

2.1 Definisi Pantai

Istilah pantai sering rancu dalam pemakaiannya yaitu antara coast (pesisir)
dan shore (pantai). Definisi coast (pesisir) adalah daerah darat di tepi laut yang
masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut dan perembesan air
laut. Sedangkan shore (pantai) adalah daerah di tepi perairan yang dipengaruhi
oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah daratan adalah daerah
yang terletak di atas dan di bawah permukaan daratan dimulai dari batas garis
pasang tertinggi. Daerah lautan adalah daerah yang terletak di atas dan di bawah
permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar
laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai adalah garis batas pertemuan
antara daratan dan air laut dimana posisinya tidak tetap dan dapat berpindah
sesuai dengan pasang surut air laut dan erosi pantai yang terjadi. Sempadan pantai
adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai. Kriteria sempadan pantai adalah
daratan sepanjang tepian yang lebarnya sesuai dengan bentuk dan kondisi fisik
pantai, minimal 100 m dari titik pasang tertinggi ke arah daratan.
Gambar 2.1 Definisi dan batasan pantai. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).

Ditinjau dari profil pantai, daerah ke arah pantai dari garis gelombang pecah
dibagi menjadi tiga daerah yaitu inshore, foreshore dan backshore. Perbatasan
antara inshore dan foreshore adalah batas antara air laut pada saat muka air rendah
dan permukaan pantai. Proses gelombang pecah di daerah inshore sering
menyebabkan longshore bar yaitu gumuk pasir yang memanjang dan kira-kira
sejajar dengan garis pantai. Foreshore adalah daerah yang terbentang dari garis
pantai pada saat muka air rendah sampai batas atas dari uprush pada saat air
pasang tinggi. Profil pantai di daerah ini mempunyai kemiringan yang lebih curam
daripada profil di daerah inshore dan backshore. Backshore adalah daerah yang
dibatasi oleh foreshore dan garis pantai yang terbentuk pada saat terjadi
gelombang badai bersamaan dengan muka air tinggi.

Gambar 2.2 Definisi dan karakteristik gelombang di daerah pantai.


(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).

2.2 Gelombang Laut Dalam

Gelombang di laut dalam dapat dibedakan menjadi beberapa macam


tergantung pada gaya pembangkitnya. Jenis-jenis gelombang tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Gelombang angin yaitu gelombang yang dibangkitkan oleh tiupan angin di
permukaan laut
2. Gelombang pasang surut yaitu gelombang yang dibangkitkan oleh gaya
tarik benda-benda langit terutama matahari dan bulan terhadap bumi.
3. Gelombang tsunami yaitu gelombang yang terjadi karena letusan gunung
berapi atau gempa di laut.
Gelombang yang dibahas dalam laporan ini yaitu gelombang angin.
Gelombang dapat menimbulkan energi untuk membentuk pantai,
menimbulkan arus dan transpor sedimen dalam arah tegak lurus dan sepanjang
pantai serta menyebabkan gaya-gaya yang bekerja pada bangunan pantai. Pasang
surut juga merupakan faktor penting karena bisa menimbulkan arus yang cukup
kuat terutama di daerah yang sempit, misalnya di teluk, estuari dan muara sungai.
Selain itu elevasi muka air pasang dan air surut juga sangat penting untuk
merencanakan bangunan-bangunan pantai.
Gambar 2.3 menunjukkan suatu gelombang yang berada pada sistem
koordinat x-y dimana gelombang menjalar pada arah sumbu x. Beberapa notasi
yang digunakan adalah:
d : jarak antara muka air rerata dan dasar laut (kedalaman laut).
η(x,t) : fluktuasi muka air terhadap muka air diam.
a : amplitudo gelombang.
H: tinggi gelombang.
L: panjang gelombang yaitu jarak antara dua puncak gelombang yang berurutan.
T: periode gelombang yaitu interval waktu yang diperlukan oleh partikel air untuk

kembali pada kedudukan yang sama dengan kedudukan sebelumnya.

C: kecepatan rambat gelombang = L/T.


k: angka gelombang = 2π/L.
σ : frekuensi gelombang = 2π/T.

Gambar 2.3 Sket definisi gelombang. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).


2.3 Gelombang Laut Dangkal

Apabila suatu deretan gelombang bergerak menuju pantai (laut dangkal),


maka gelombang tersebut akan mengalami deformasi atau perubahan bentuk
gelombang yang disebabkan oleh proses refraksi, difraksi, refleksi, dan
gelombang pecah.

2.3.1 Refraksi dan Wave Shoaling

1. Koefisien Refraksi
Refraksi terjadi dikarenakan gelombang datang membentuk sudut
terhadap garis pantai. Refraksi mempunyai pengaruh yang cukup besar
terhadap tinggi dan arah datang gelombang serta distribusi energi
gelombang sepanjang pantai. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).
Refraksi dapat menentukan tinggi gelombang di suatu tempat berdasarkan
karakteristik gelombang datang.

Cosα0
Kr = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Cosα
Dimana pada hukum Snell berlaku apabila ditinjau gelombang di laut
dalam dan di suatu titik yang ditinjau yaitu:

Sinα = C Sinα0 (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)


C
0

Dengan,

Kr = koefisien refraksi.
α = sudut antara garis puncak gelombang dan garis kontur
dasar laut di titik yang ditinjau.
αo = sudut antara garis puncak gelombang di laut dalam dan
garis pantai.
C = kecepatan rambat gelombang.
C0 = kecepatan rambat gelombang di laut dalam.
2. Wave Shoaling (Pendangkalan Gelombang)
Wave shoaling terjadi dikarenakan adanya pengaruh perubahan
kedalaman dasar laut. Wave shoaling mempunyai fungsi yang sama
dengan refraksi gelombang yaitu untuk menentukan tinggi gelombang di
suatu tempat berdasarkan karakteristik gelombang datang.

n0 L0
Ks = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
nL
Dengan,
Ks = koefisien shoaling (pendangkalan).
L = panjang gelombang.
Lo = panjang gelombang di laut dalam.
3. Tinggi Gelombang Laut Dangkal
Tinggi gelombang di laut dangkal terjadi akibat pengaruh refraksi
gelombang dan wave shoaling (pendangkalan gelombang), diberikan oleh
rumus berikut:
H1 = Ks Kr Ho (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
H1 = tinggi gelombang laut dangkal.
Ks = koefisien shoaling (pendangkalan).
Kr = koefisien Refraksi.
Ho = tinggi gelombang laut dalam.

2.3.2 Difraksi Gelombang

Difraksi gelombang terjadi bila gelombang datang terhalang oleh suatu


rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau, maka gelombang tersebut akan
membelok di sekitar ujung rintangan dan masuk di daerah terlindung di
belakangnya. Difraksi terjadi apabila tinggi gelombang di suatu titik pada garis
puncak gelombang lebih besar daripada titik di dekatnya, yang menyebabkan
perpindahan energi sepanjang puncak gelombang ke arah tinggi gelombang yang
lebih kecil. Difraksi terjadi apabila suatu deret gelombang terhalang oleh
rintangan seperti pemecah gelombang atau pulau.
Gambar 2.4 Difraksi gelombang di belakang rintangan. (Teknik Pantai,
Bambang Triatmodjo).

Pada rintangan (pemecah gelombang) tunggal, tinggi gelombang di suatu


tempat di daerah terlindung tergantung pada jarak titik tersebut terhadap ujung
rintangan r, sudut antara rintangan dan garis-garis yang menghubungkan titik
tersebut dengan ujung rintangan β dan sudut antara arah penjalaran gelombang
dan rintangan θ. Perbandingan antara tinggi gelombang di titik yang terletak di

daerah terlindung dan tinggi gelombang datang disebut koefisien difraksi K’.

HA = K’ Hp (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

K’ = f (θ, β, r/L) (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

Dengan, A adalah titik yang ditinjau di belakang rintangan dan P adalah ujung
pemecah gelombang. Nilai K’ untuk α, β dan r/L tertentu diberikan dalam tabel
koefisien difraksi gelombang K’, dari gelombang datang dengan sudut θ, sebagai
fungsi r/L dan β (Basic Coastal Engineering, R.M. Sorensen). Tabel tersebut
dapat dilihat selengkapnya pada Lampiran 7 Tabel Koefisien Difraksi.
2.3.3 Refleksi Gelombang

Gelombang datang yang mengenai/membentur suatu rintangan akan


dipantulkan sebagian atau seluruhnya. Tinjauan refleksi gelombang penting di
dalam perencanaan bangunan pantai. Suatu bangunan yang mempunyai sisi
miring dan terbuat dari tumpukan batu akan bisa menyerap energi gelombang
lebih banyak dibandingkan dengan bangunan tegak dan massif. Pada bangunan
vertikal, halus dan dinding tidak permeable, gelombang akan dipantulkan
seluruhnya.

Besar kemampuan suatu bangunan memantulkan gelombang diberikan oleh


koefisien refleksi yaitu perbandingan antara tinggi gelombang refleksi Hr dan
tinggi gelombang datang Hi.

Hr
X = Hi (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Koefisien refleksi berbagai tipe bangunan diberikan dalam Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Koefisien refleksi.

Tipe Bangunan X
Dinding vertikal dengan puncak di atas air 0,7 – 1,0
Dinding vertikal dengan puncak terendam 0,5 – 0,7
Tumpukan batu sisi miring 0,3 – 0,6
Tumpukan blok beton 0,3 – 0,5
Bangunan vertikal dengan peredam energi (diberi lobang) 0,05 – 0,2
(Sumber: Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

2.3.4 Gelombang Pecah

Gelombang yang menjalar dari laut dalam menuju pantai mengalami


perubahan bentuk karena adanya pengaruh perubahan kedalaman laut. Pengaruh
kedalaman laut mulai terasa pada kedalaman lebih kecil dari setengah kali panjang
gelombang. Profil gelombang di laut dalam adalah sinusoidal. Semakin menuju ke
perairan yang lebih dangkal puncak gelombang semakin tajam dan lembah
gelombang semakin datar. Selain itu, kecepatan dan panjang gelombang
berkurang secara berangsur-angsur sementara tinggi gelombang bertambah.
Gelombang pecah dipengaruhi oleh kemiringannya yaitu perbandingan antara
tinggi dan panjang gelombang. Gelombang maksimum di laut dalam dimana
gelombang mulai tidak stabil diberikan oleh persamaan berikut:

Hoo 1
= (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Lo 7

Kedalaman gelombang pecah (db) dan tinggi gelombang pecah diberi notasi

Hb. Munk (1949, dalam CERC) memberikan persamaan untuk menentukan tinggi
dan kedalaman gelombang pecah sebagai berikut:
H = 1 (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
1/ 3
H 'o H 'o
3,3
Lo

Parameter Hb/Ho’ disebut dengan indeks tinggi gelombang pecah. Gambar 2.5
menunjukkan hubungan antara Hb/Ho’ dan Ho/Lo’ untuk berbagai kemiringan
2
dasar laut. Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara db/Hb dan Hb/gT untuk
berbagai kemiringan dasar. Grafik yang diberikan pada Gambar 2.6 dapat
dituliskan dalam rumus sebagai berikut:
db 1
Hb = b − (aHb / gT )
2
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

Dimana a dan b merupakan fungsi kemiringan pantai m dan diberikan oleh


persamaan berikut:
−19m
a = 43,75(1 − e )
1,56
b=
(1 + e ) −19,5m (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Gelombang pecah dapat dibedakan menjadi:

1. Spilling terjadi apabila gelombang dengan kemiringan yang kecil menuju


ke pantai yang datar, gelombang mulai pecah pada jarak yang cukup jauh
dari pantai dan pecahnya berangsur-angsur.
2. Plunging terjadi apabila kemiringan gelombang dan dasar laut bertambah,
gelombang akan pecah dan puncak gelombang akan memutar dengan masa
air pada puncak gelombang akan terjun ke depan.
3. Surging terjadi pada pantai dengan kemiringan yang cukup besar seperti
yang terjadi pada pantai berkarang, daerah gelombang pecah sangat sempit
dan energi dipantulkan kembali ke laut dalam.

Gambar 2.5 Penentuan tinggi gelombang pecah. (Teknik Pantai, Bambang


Triatmodjo).
Gambar 2.6 Penentuan kedalaman gelombang pecah. (Teknik Pantai, Bambang
Triatmodjo).

2.4 Fluktuasi Muka Air Laut

Elevasi muka air laut merupakan parameter yang sangat penting di dalam
perencanaan bangunan pantai. Muka air laut berfluktuasi dengan periode yang
lebih besar dari periode gelombang angin. Fluktuasi muka air laut dapat
disebabkan oleh wave set-up (kenaikan muka air karena gelombang), wind set-up
(kenaikan muka air karena angin), tsunami, storm surge (gelombang badai),
pemanasan global dan pasang surut.

2.4.1 Wave Set-Up (Kenaikan Muka Air Karena Gelombang)

Gelombang yang datang dari laut menuju pantai menyebabkan fluktuasi muka
air di daerah pantai terhadap muka air diam. Pada waktu gelombang pecah akan
terjadi penurunan elevasi muka air rerata terhadap elevasi muka air diam di sekitar
gelombang pecah. Kemudian dari titik dimana gelombang pecah permukaan air
rerata miring ke atas ke arah pantai, turunnya muka air disebut wave set-down,
sedangkan naiknya muka air disebut wave set-up, seperti diperlihatkan pada
Gambar 2.7.
Gambar 2.7 Wave set-up dan wave set-down. (Teknik Pantai, Bambang
Triatmodjo).

Wave set-up dapat dihitung dengan menggunakan teori Longuer-Higgins dan


Stewart. Besarnya wave set-down di daerah gelombang pecah diberikan melalui
persamaan berikut:
0,536H b 2 / 3
Sb = − (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

g1/ 2T
Dengan,
Sb = set-down di daerah gelombang.
T = periode gelombang.
H’o = tinggi gelombang laut dalam ekivalen.
Db = kedalaman gelombang pecah.
G = percepatan gravitasi.

Wave set-up di pantai diberikan oleh bentuk persamaan berikut:


Sw = S − Sb (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
2.4.2 Pasang Surut

Pasang surut adalah fluktuasi muka air laut karena adanya gaya tarik benda-
benda di langit, terutama matahari dan bulan terhadap massa air laut di bumi.
Elevasi muka air tertinggi (pasang) dan muka air terendah (surut) sangat penting
untuk perencanaan bangunan pantai.
Data pasang surut didapatkan dari pengukuran selama minimal 15 hari. Dari
data tersebut dibuat grafik pasang surut sehingga didapatkan HHWL, MHWL,
MSL, MLWL, LLWL. Dalam pengamatan selama 15 hari tersebut, telah tercakup
satu siklus pasang surut yang meliputi pasang surut purnama dan perbani. Saat
terjadi pasang surut purnama akan terjadi tinggi pasang surut paling besar
dibandingkan hari lainnya. Sedangkan saat pasang surut perbani akan terjadi
tinggi pasang surut paling kecil dibandingkan hari lainnya.

Beberapa definisi elevasi muka air laut yaitu:

1. Mean High Water Level (muka air tinggi rerata) adalah rerata dari muka
air tinggi.
2. Mean Low Water Level (muka air rendah rerata) adalah rerata dari muka
air rendah.
3. Mean Sea Level (muka air laut rerata) adalah muka air rerata antara muka
air tinggi rerata dan muka air rendah rerata.
4. Highest High Water Level (muka air tinggi tertinggi) adalah air tertinggi
pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
5. Lowest Low Water Level (muka air rendah terendah) adalah air terendah
pada saat pasang surut purnama atau bulan mati.
Untuk lebih jelasnya tentang elevasi muka air laut dapat dilihat pada Gambar 2.8

Gambar 2.8 Elevasi muka air laut.

2.4.3 Design Water Level (DWL)

Elevasi muka air laut rencana merupakan parameter yang sangat penting di
dalam perencanaan bangunan pantai. Elevasi tersebut merupakan penjumlahan
dari beberapa parameter yaitu pasang surut, wave setup (Sw), tsunami dan
pemanasan global. Untuk tsunami tidak digunakan karena kemungkinan
terjadinya sangat kecil.
DWL = MHWL + Sw + kenaikan muka air karena perubahan suhu global

2.5 Angin

Angin yang berhembus di atas permukaan air laut akan memindahkan


energinya ke air. Kecepatan angin menimbulkan tegangan pada permukaan laut,
sehingga permukaan air yang semula tenang akan terganggu dan timbul riak
gelombang kecil di atas permukaan air. Apabila kecepatan angin bertambah, riak
tersebut menjadi semakin besar dan apabila angin berhembus terus akhirnya akan
terbentuk gelombang.
Tinggi dan periode gelombang yang dibangkitkan dipengaruhi oleh kecepatan
angin (U), lama hembus angin (D), arah angin dan fetch (F). Fetch adalah daerah
dimana kecepatan angin adalah konstan. Arah angin masih bisa dianggap konstan
apabila perubahan-perubahannya tidak lebih dari 15º. Sedangkan kecepatan angin
masih dianggap konstan jika perubahannya tidak lebih dari 5 knot (2,5 m/dt)
terhadap kecepatan rerata.

2.5.1 Data Angin

Data angin yang digunakan untuk peramalan gelombang adalah data di


permukaan laut pada lokasi pembangkitan. Data tersebut dapat diperoleh dari
pengukuran langsung di atas permukaan laut (menggunakan kapal yang sedang
berlayar) atau pengukuran di darat (di lapangan terbang) di dekat lokasi peramalan
yang kemudian dikonversi menjadi data angin laut. Kecepatan angin diukur
dengan anemometer dan biasanya dinyatakan dalam knot. Satu knot adalah
panjang satu menit garis bujur melalui khatulistiwa yang ditempuh dalam satu
jam, atau 1 knot = 1,852 km/jam = 0,514 m/dt. Data angin dicatat tiap jam dan
biasanya disajikan dalam bentuk tabel. Dengan pencatatan angin jam-jaman
tersebut dapat diketahui angin dengan kecepatan tertentu dan durasinya, kecepatan
angin maksimum, arah angin dan dapat pula dihitung kecepatan angin rerata
harian.
Data angin yang diperlukan merupakan hasil pengamatan beberapa tahun yang
disajikan dalam bentuk tabel dengan jumlah data yang sangat besar kemudian
diolah dan disajikan dalam bentuk tabel (ringkasan) atau diagram yang disebut
windrose (mawar-angin).
Gambar 2.9 Windrose (mawar-angin).

2.5.2 Konversi Kecepatan Angin

Biasanya pengukuran angin dilakukan di daratan, padahal rumus-rumus


pembangkitan gelombang data angin yang digunakan adalah yang ada di atas
permukaan laut. Oleh karena itu diperlukan transformasi dari data angin di lokasi
stasiun angin ke data angin di atas permukaan laut. Hubungan antara angin di atas
laut dan angin di atas daratan terdekat diberikan oleh RL = UW / UL, seperti
diperlihatkan pada Gambar 1.10.
Gambar 2.10 Hubungan antara kecepatan angin di laut dan darat. (Teknik Pantai,
Bambang Triatmodjo).

Rumus-rumus dan grafik pembangkitan gelombang mengandung variabel U A


yaitu wind-stress factor (faktor tegangan angin) yang dapat dihitung dari
kecepatan angin. Kecepatan angin dikonversikan pada faktor tegangan angin
dengan menggunakan rumus berikut:
UA = 0,71 (U)1,23 (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dimana, U = kecepatan angin dalam m/dt.

2.5.3 Fetch

Dalam tinjauan pembangkitan gelombang di laut, fetch dibatasi oleh bentuk


daratan yang mengelilingi laut. Gelombang tidak hanya dibangkitkan dalam arah
yang sama dengan arah angin, tetapi juga dalam berbagai sudut terhadap arah
angin. Peristiwa ini terjadi pada daerah pembentukan gelombang Fetch rerata
efektif diberikan oleh persamaan berikut:

F = ∑ X i Cosα (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)


eff
∑Cosα
Dengan,
Feff = fetch rerata efektif.
Xi = panjang segmen fetch yang diukur dari titik observasi gelombang
ke ujung akhir fetch.
α = deviasi pada kedua sisi dari arah angin, dengan menggunakan

pertambahan sudut 6º sampai 42º pada kedua sisi dari arah angin.

Gambar 2.11 Fetch. (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).


2.5.4 Peramalan Gelombang Laut Dalam

Peramalan gelombang laut dalam dengan menggunakan grafik peramalan


gelombang berdasarkan wind-stress factor dan panjang fetch. Dari grafik
peramalan gelombang tinggi, durasi dan periode gelombang dapat diketahui.
Gambar 2.12 menunjukkan grafik peramalan gelombang:

Gambar 2.12 Grafik peramalan gelombang. (Teknik Pantai, Bambang


Triatmodjo).

2.6 Sedimen Pantai

Sedimen pantai bisa berasal dari erosi garis pantai itu sendiri, dari daratan
yang dibawa oleh sungai dan dari laut dalam yang terbawa arus ke daerah pantai.
Transpor sedimen pantai adalah gerakan sedimen di daerah pantai yang
disebabkan oleh gelombang dan arus yang dibangkitkannya. Transpor sedimen
sepanjang pantai banyak menyebabkan permasalahan seperti pendangkalan di
pelabuhan, erosi pantai dan sebagainya.
Angkutan sedimen sepanjang pantai dapat dihitung dengan rumus berikut:

Qs = 0,401 P1 (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

P = ρg H 2C Sinα Cosα (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)


1 b b b b
8
Dengan,
Qs = angkutan sedimen sepanjang pantai (m3/hari).

P1 = komponen fluks energi gelombang sepanjang pantai pada saat


pecah (Nm/dt/m).
3
ρ = rapat massa air laut (kg/m ).
Hb = tinggi gelombang pecah (m).

Cb = cepat rambat gelombang pecah (m/d) = gdb

αb = sudut datang gelombang pecah.


K, n = konstanta.

2.6.1 Arus di Dekat Pantai

Longshore current (arus sepanjang pantai) ditimbulkan oleh gelombang yang


pecah dengan membentuk sudut terhadap garis pantai. Arus ini terjadi di daerah
antara gelombang pecah dan garis pantai. Parameter terpenting dalam menentukan
kecepatan arus sepanjang pantai adalah tinggi dan sudut datang gelombang pecah.

Gambar 2.13 Arus dekat pantai.

Arus sepanjang pantai yang ditimbulkan oleh gelombang pecah dengan


membentuk sudut terhadap garis pantai seperti yang terlihat pada Gambar 2.13,
dibangkitkan oleh momentum yang dibawa oleh gelombang Longuet-Higgins
(Handbook of Coastal Processes and Errosion, P.D. Komar) menurunkan rumus
untuk menghitung arus sepanjang pantai berikut ini:

V = 1,17 (g Hb)1/2 sin αb cos αb (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)


Dengan,
V = kecepatan arus sepanjang pantai.
g= percepatan gravitasi.
Hb = tinggi gelombang pecah.
αb = sudut datang gelombang pecah.
Distribusi kecepatan arus sepanjang pantai mempunyai bentuk seperti
ditunjukkan dalam Gambar 2.13. Di garis pantai kecepatan adalah nol, kemudian
bertambah dengan jarak dari garis pantai, mencapai maksimum di sekitar titik
tengah surf zone dan berkurang dengan cepat di luar daerah gelombang pecah.
Pemodelan arus laut disekitar pantai disimulasikan dengan menggunakan
program Surface water Modeling System (SMS). SMS merupakan software yang
dirancang untuk mensimulasikan kondisi oseanografi yang terjadi di alam ke
dalam sebuah model 2 dimensi dengan finite element methode (metode elemen
hingga). Pemakaian program SMS berdasar grafik untuk memudahkan
penggunanya.

Tampilan layar program SMS mempunyai beberapa bagian yaitu sebagai


berikut:
1. Baris menu di bagian atas layar untuk mengakses perintah program SMS.
2. Jendela grafis utama di bagian tengah layar untuk menampilkan jaringan yang
sedang digunakan dan bagian atas jendela ini ditunjukkan oleh jaringan yang
sedang diedit.
3. Palet piranti terletak di bagian kiri layar, terdiri dari piranti Modules, Static
Tools, Dynamic Tools dan Macros.
4. Jendela informasi jaringan terletak di bagian atas layar menunjukkan identitas
dan titik atau elemen serta posisi koordinat XYZ kursor bila berada di atas
jendela utama. Jendela XYZ dapat pula digunakan untuk mengedit titik yang
dipilih.
5. Jendela penjelasan online terletak di bawah jendela informasi jaringan dan
menayangkan pesan singkat dan peringatan-peringatan tertentu.
6. Tombol kendali digunakan untuk menghidupkan dan mematikan jendela-
jendela pelengkap.
1 3 4 2 6

5
Gambar 2.14 Tampilan utama program SMS.

Pemodelan dalam program SMS ada beberapa macam, salah satunya adalah
pemodelan yang digunakan untuk menampilkan simulasi pergerakan arus yang
terjadi yaitu dengan menggunakan model ADCIRC. Data yang dibutuhkan untuk
menjalankan model ADCIRC berupa peta bathimetri dan pasang surut.
Peta bathimetri yang digunakan sebagai input pada program SMS ini adalah
peta bathimetri tahun 2005 yang sudah dilakukan proses digitasi melalui program
AutoCAD. Kegunaan peta bathimetri ini adalah untuk mendapatkan posisi garis
pantai dan kedalaman dasar laut di sekitar pantai yang ditinjau.

Data pasang surut yang digunakan berupa komponen-komponen pasang surut


yang sudah disediakan di dalam program SMS itu sendiri. Data komponen-
komponen pasang surut tersebut merupakan data pasang surut ramalan yang akan
diinputkan sendiri secara otomatis setelah memasukkan waktu awal simulasi pada
proses pengerjaan pengecekan pola arus melalui program SMS tersebut.
Langkah-langkah dalam menggunakan program SMS untuk mendapatkan
simulasi arus di daerah sekitar pantai yang ditinjau selama adalah sebagai berikut:

1. Jalankan shortcut SMS.EXE


2. Mengimpor peta bathimetri untuk proses digitasi garis pantai dan bathimetri.
a. Klik Map Module.
b. Pilih menu Image, kemudian pilih submenu Manage Images.
c. Setelah muncul kotak dialog Manage Images, klik tombol Import.
d. Setelah muncul kotak dialog Open, pilih dan masukkan gambar peta
bathimetri dengan menekan tombol OK.
e. Setelah kembali ke kotak dialog Manage Images, beri tanda cek pada
Display Image, kemudian klik tombol OK.
f. Agar peta sesuai dengan posisi sebenarnya klik menu Edit, kemudian pilih
submenu Current Coordinates…, maka akan keluar kotak dialog Current
Coordinates. Pada Horizontal System ganti Local menjadi Geographic,
pada Ellipsoid pilih Indonesian National 1974, pada Units untuk
Horizontal System dan Vertical System ganti U.S Survey Feet menjadi
Meters, langkah terakhir klik tombol OK.
3. Tampilan awal setelah peta bathimetri diregister ke dalam software SMS.
4. Proses digitasi garis pantai dan bathimetri.
a. Pilih Map Module pada piranti Module.
b. Klik Creature Feature Arch pada piranti Dynamic Tools.
c. Proses digitasi disesuaikan dengan keadaan garis pantai dari peta
bathimetri.
d. Gunakan Select Feature Vertex untuk memilih dan menggeser posisi titik
yang ingin dipindahkan. Gunakan Create Feature Vertex untuk membuat
titik vertex tambahan.
5. Menggunakan Select Feature Points untuk mengkonversi nodes menjadi
vertex atau sebaliknya.
a. Klik Map Module.
b. Klik nodes-nodes yang akan disambungkan dengan Select Feature Points.
c. Pilih Map Module, menu Feature Object klik Nodes↔Vertex.
6. Mendefinisikan Feature Arc.
a. Klik Map Module.
b. Klik Select Arc dengan memasukkan nilai Z (elevasi/kedalaman) sesuai
dengan kedalaman bathimetri pada peta.
c. Demikian seterusnya untuk setiap polyline yang kita sorot dengan
menekan Select Feature Arc pada Map Module.

Gambar 2.15 Scatter yang dibuat dari garis kontur.

7. Mengkonversi bathimetri menjadi bentuk scatter.


a. Pada menu Map Module, klik Map↔Scatter dalam bentuk polyline
menjadi bentuk scatter dengan nilai kedalaman tertentu sesuai yang telah
terdefinisi.
b. Klik Map-Scatter hingga muncul kotak dialog, beri nama scatter dengan
scatter bath.
8. Memberikan nilai jarak antar titik pada vertex polyline bathymetri.
a. Pada menu Map Module, klik Feature Object.
b. Select Feature Points or Nodes, sorot pada Redistribute vertices, Arch
Redistribution diisi dengan Specified Spacing, kemudian nilainya diisi
dengan 2 agar jarak antar titik menjadi sama.
9. Menggabungkan scatter bathimetri dengan scatter garis pantai.
a. Pada Scatter Modules, pilih Merge Set.
b. Gabungkan semua scatter yang terletak di kotak sebelah kiri ke sebelah
kanan, dengan menekan tombol All dan ketik nama baru, misalnya merge.
10. Menghapus nodes garis pantai pada Map Module.
Ini dilakukan dengan tujuan untuk menghilangkan arch bathimetri dalam
bentuk polyline dan yang tersisa hanyalah scatter.
a. Pada Map Module.
b. Kemudian pilih node, delete dengan memilih semua node, sehingga yang
tertinggal hanya scatter bathimetri.
c. Apabila kita mengklik Scatter Module, kemudian pilih scatter point, maka
pada elevasi akan menampilkan kedalaman bathimetri yang telah kita
masukkan tadi.
11. Mendefinisikan batas terluar dari daerah mesh.
a. Klik Feature Object pilih Coverages kemudian mengganti variabelnya
dengan ADCIRC.
b. Definisikan lingkungan terluar dari daerah batas mesh dengan nama
Ocean, Mainland ataupun Island.
12. Membuat fungsi Celerity dan Wavelength.
Klik modul Scatter pilih Data, Create Data Set kemudian matikan semua
fungsi kecuali Shallow Wavelength/Celerity, pada fungsi Period diisi 8.95.
13. Membuat daerah mesh dalam bentuk poligon.
a. Klik Map Module.
b. Kemudian klik Feature Object, pilih pada submenu Build Polygon.
c. Setelah proses berjalan maka pada daerah yang telah kita tentukan
luasannya akan terbentuk warna hitam (black area).
14. Mendefinisikan kembali kondisi batas daerah mesh.
a. Klik Select Feature Polygon, hingga boundary yang kita inginkan
menampilkan warna hitam.
b. Klik 2 kali pada daerah poligon sehingga muncul kotak dialog.
c. Pada dialog box, Mesh Type kita isikan Paving, Bathymetri Type kita
isikan Scatter Set, Polygon Type/Material kita isikan Ocean.
d. Klik OK.
15. Mendefinisikan daerah lingkungan mesh.
a. Pilih Map Module.
b. Definisikan boundary yang telah kita buat dengan mengklik Select
Feature Arch, menu Feature Object, Attribute, sehingga muncul kotak
dialog.
c. Masing-masing kita definisikan sebagai Mainland dan Ocean.

Gambar 2.16 Mesh yang terbentuk dari gabungan segitiga.

16. Membuat poligon menjadi suatu mesh.


Setelah kita definisikan kemudian kita pilih menu Feature Object, Map→2D
mesh, kemudian komputer akan mengolah data yang telah kita input menjadi
suatu jaring elemen hingga (mesh) dengan bentuk segitiga.
17. Pengaturan nodestring.
a. Pilih Mesh Module.
b. Pekerjaan kita lanjutkan dengan mengatur dan memberi nama suatu
nodestring. Klik Select Nodestring, maka akan muncul kotak warna hitam
pada wilayah boundary ocean dan mainland, dengan panah yang
berlawanan dengan arah jarum jam.
c. Kemudian klik pada daerah boundary ocean, klik menu Nodestring dan
muncul dialog box, isinya kita klik pada Bandwith kemudian klik OK.
18. Proses Running.
a. Klik ADCIRC, Model Control pilih Tidal Forces, klik New kemudian
muncul window New Contituent, ubah Day, Month, Year sesuai yang kita
inginkan. Pilih Contituent yaitu K2, L2, M2, N2, O1, P1, Q1, S2
kemudian klik Copy Potential Constituent cari file legi, klik OK.
b. Klik Time Control pilih Global Elevation dan Global Velocity kemudian
isikan dengan nilai sebagai berikut:
• Time steps
• Run time : 6 sec
• Out put every :1
• End day : 10 minutes
:1
c. Pada bagian Terms.

• Ceklis pada
Finite amplitudo terms on.
• Ceklis pada Advektive terms on.
• Ceklis pada Time derivative terms on.
d. Pilih menu ADCIRC kemudian klik Run ADCIRC.
19. Membuka file-file *fort 64 untuk menampilkan vector arus.
a. Meng-upload data file fort 64 untuk menampilkan grafik arus.
b. Klik Mesh Module, klik menu Data, Data Browser.
c. Open pada file *fort 64, klik OK.
d. Setelah dibuka, pada kotak dialog, kotak Time Step akan menampilkan
semua data, klik Done.
20. Menampilkan vector arus.
a. Pilih Mesh Module.
b. Untuk menampilkan pola arus pada lingkungan boundary mesh, klik
Display Option, beri tanda centang pada submenu Vectors.
c. Sesuaikan juga untuk sub menu lainnya, apakah ingin ditampilkan ataukah
tidak, misalkan submenu Scatter, 2D mesh, Map, Contour Option. Beri
tanda check atau uncheck pada kotak yang bersangkutan.
21. Tampilan pada window SMS setelah fort 63 dan 64 dibuka.
a. Untuk mengubah pola arus sesuai dengan kondisi timestep.
b. Klik Mesh Module, Solution pilih fort 64 (ADCIRC) dan timestep
sesuaikan dengan kondisi yang kita pilih.

2.6.2 Distribusi Angkutan Sedimen

Gambar 2.17 Distribusi angkutan sedimen dekat pantai.

Distribusi angkutan sedimen berhubungan dengan kecepatan arus. Jika


kecepatan arus besar maka angkutan sedimen besar sedangkan jika kecepatan arus
kecil maka angkutan sedimen juga kecil. Model distribusi angkutan sedimen dapat
dilihat pada Gambar 2.17. Distribusi angkutan sedimen di garis pantai adalah nol
kemudian bertambah dengan jarak dari garis pantai, mencapai maksimum di
tengah surf zone dan berkurang dengan cepat di luar daerah gelombang pecah.
Distribusi angkutan sedimen juga berhubungan dengan konsentrasi sedimen
pantai. Pantai yang ukuran butiran sedimennya kecil berpotensi mengalami
distribusi sedimen yang besar. Berbeda dengan pantai yang berkarang distribusi
sedimennya kecil.
2.7 Perubahan Garis Pantai

Garis pantai (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo) merupakan garis batasan


pertemuan antara daratan dan air laut dimana posisinya tidak tetap dan dapat
berpindah-pindah sesuai dengan kondisi pasang air laut dan abrasi/akresi pantai
yang terjadi.
Pada umumnya perubahan garis pantai yang terjadi adalah perubahan maju
(akresi) dan perubahan mundur (abrasi). Garis pantai dikatakan mengalami akresi
bila ada petunjuk mengenai adanya pengendapan atau deposisi secara kontinyu.
Sedangkan garis pantai dikatakan mundur jika proses abrasi masih berlangsung.

2.7.1 Perubahan Garis Pantai Dengan Data Peta

Untuk mengetahui perubahan garis pantai yang terjadi dalam beberapa kurun
waktu (time series), maka dilakukan overlay (tumpang-susun) peta multitemporal.
Dalam laporan ini, digunakan peta topografi 1958, peta rupabumi 2000 dan peta
bathimetri 2006.

2.7.2 Prediksi Perubahan Garis Pantai Menggunakan Program GENESIS

Prediksi perubahan garis pantai tanpa dan dengan bangunan pantai


dimaksudkan untuk mengetahui/memprediksi perubahan garis pantai selama
beberapa tahun ke depan dengan perlakuan tanpa dan dengan bangunan pelindung
pantai serta mengetahui jenis bangunan pelindung pantai yang efektif dalam
penanganan masalah abrasi. Prediksi ini dilakukan dengan menggunakan program
GENESIS (Generalized Model For Simulating Shoreline Change) dari US Army
Corps of Engineers (ASCE).

Program GENESIS merupakan program perubahan garis pantai one line


shoreline change model (model perubahan garis pantai satu garis). Garis pantai
yang digunakan yaitu garis pantai pada kontur 0 kondisi Mean Sea Level (MSL).
GENESIS tidak mensimulasi perubahan profil pantai karena hanya menganggap
bentuk profil pantai tetap dan perubahan garis pantai bergerak maju mundur
tergantung pada sedimen yang masuk atau keluar.
GENESIS mengasumsikan pantai sebagai equilibrium beach profile shape
(bentuk profil pantai seimbang). Bentuk kontur pantai dianggap sama dengan
kontur garis pantai. Parameter yang digunakan dalam pengasumsian bentuk profil
pantai yaitu ukuran butir sedimen rata-rata (d50), periode dan tinggi gelombang
signifikan. Dalam menentukan kemiringan profil pantai digunakan rumus:

A3 1/ 2
tan β = (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)
D
LTO

Dengan,
β = kemiringan profil pantai
A= parameter skala empiris
DLTO = kedalaman maksimum terjadinya longshore transport

Gambar 2.18 Profil pantai yang diasumsikan pada program GENESIS.

Parameter yang digunakan untuk mendapatkan nilai A tergantung dari ukuran


butir sediment rata-rata (d50), rumusnya sebagai berikut:
A = 0,41(d50 )0,94 , d50 < 0,4

A = 0,23(d50 )0,32 , 0,4 ≤ d50 < 10,0 (GENESIS: Technical

A = 0,23(d50 )0,28 , 10,0 ≤ d50 < 40,0 Reference, Hanson Hans)


A = 0,46(d50 )0,11 , 40,0 ≤ d50

Sedangkan nilai DLTO tergantung dari tinggi dan periode gelombang signifikan,
rumus yang digunakan sebagai berikut:

= (2,3 −10,9H33 )
D H
LTO 33
(GENESIS: Technical Reference,
L
33
Hanson Hans)
Dengan,
H33 = tinggi gelombang signifikan
L33 = panjang gelombang
Panjang gelombang (L33) dicari dengan menggunakan rumus:
gT 2
33
L33 = (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)

Dengan,
2
g = percepatan gravitasi = 9,81 m/s
T33 = periode gelombang signifikan

Asumsi lain yang digunakan dalam perhitungan program GENESIS yaitu


menganggap bahwa:
1. Profil pantai memiliki bentuk yang konstan.
2. Diasumsikan perubahan garis pantai terjadi pada DC (offshore closure
depth) dan DB (berm crest elevation).
3. Area antara DC dan DB dianggap area terjadinya perubahan garis pantai.
4. Transpor sedimen sepanjang pantai disebabkan oleh gelombang pecah.
5. Ada long term trend dalam evolusi garis pantai.
Sebelum memulai simulasi dengan program GENESIS perlu dijelaskan
kelebihan dan kelemahan program GENESIS itu sendiri. Kelebihan program
GENESIS yaitu:
1. Dapat meramalkan long term trend garis pantai akibat proses alami
maupun yang diakibatkan oleh manusia.
2. Panjang garis pantai yang disimulasi antara 2 – 35 km dengan resolusi grid
antara 15 – 90 m.
3. Periode simulasi antara 6 bulan – 20 tahun.
4. Interval data gelombang yang digunakan antara 30 menit – 6 jam.
Selain kelebihannya, program GENESIS juga mempunyai kelemahan yaitu:
1. Hanya dapat digunakan untuk meramalkan perubahan garis pantai yang
diakibatkan oleh coastal structure dan perubahan akibat gelombang.
2. Tidak memperhitungkan adanya refleksi gelombang.
3. Tidak dapat menghitung perubahan akibat terjadinya badai.
4. Tidak dapat mensimulasikan adanya salient (cuspite) dan tombolo pada
breakwater.
5. Efek pasang surut pada perubahan garis pantai tidak dapat diperhitungkan.
Proses kalkulasi pada program GENESIS dilakukan dengan memprediksi nilai
longshore transport berdasarkan pada bentuk awal pantai. Sedangkan untuk
peramalan garis pantai akan dilakukan kalkulasi dengan mempertimbangkan
aspek-aspek longshore transport yang terjadi.

Longshore transport rate (Q) atau tingkat angkutan sedimen sejajar pantai
3
lazim mempunyai satuan m /tahun (dalam SI). Ada dua alternatif pergerakan
sedimen sejajar pantai yang terjadi yaitu ke arah kanan dan ke arah kiri relatif
terhadap seorang pengamat yang berdiri di pantai menghadap ke laut. Pergerakan
dari kanan ke kiri diberi notasi Qlt dan pergerakan ke arah kanan diberi notasi Qrt,
sehingga didapatkan tingkat gross sediment transport (angkutan sedimen kotor)
Qg = Qlt + Qrt dan tingkat net sediment transport (angkutan sedimen bersih) Qn
= Qlt – Qrt. Nilai Qg digunakan untuk meramalkan tingkat pendangkalan pada
suatu alur pada perairan terbuka. Qn digunakan untuk desain alur yang dilindungi
dari perkiraan erosi pantai. Dan Qlt serta Qrt untuk penumpukan sedimen di
belakang sebuah struktur pantai yang menahan pergerakan sedimen. Dalam
perhitungan program GENESIS, perhitungan longshore transport dilakukan
dengan menggunakan persamaan hasil modifikasi dari persamaan berikut:
Q(+) = ½ (Qg + Qn) (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)

Q(-) = ½ (Qg – Qn) (GENESIS: Technical Reference, Hanson Hans)


Skema file input dan output program GENESIS dapat dilihat pada Gambar 2.19.

START.BLG
G
SHORL.BLG E SETUP.BLG

N
SHORM.BLG E OUTPT.BLG

S
WAVES.BLG
I SHORC.BLG

SEAWL.BLG S
Gambar 2.19 Skema file input dan output program GENESIS. (GENESIS:
Technical Reference, Hanson Hans).
Untuk menjalankan program GENESIS, ada 4 jenis file input yang harus ada
dalam bentuk dan jumlah data yang tepat seperti yang ditunjukkan pada gambar
dengan bolder hitam (START.blg, SHORL.blg, SHORM.blg, WAVES.blg) di
atas. untuk file-file dengan bolder merah (SEAWL.blg) hanya dibutuhkan apabila
ada bangunan pantai eksisting.
Penjelasan secara rinci isi file input dan output program GENESIS adalah
sebagai berikut:

1. File START.blg berisi perintah-perintah yang mengontrol simulasi perubahan


garis pantai pada program GENESIS. Beberapa data penting dalam file ini
antara lain adalah data tanggal awal simulasi dilaksanakan, data tanggal
simulasi akhir, nilai K1 dan K2 (koefisien kalibrasi transport sediment),
diameter grain size efektif (D50) dan posisi bangunan pelindung pantai
eksisting dan rencana.

2. File SHORL.blg berisi ordinat dari grid garis pantai awal. Cara mendapatkan
ordinat ini adalah dengan melakukan proses digitasi garis pantai dengan
bantuan program AutoCAD, kemudian membuat grid dengan jarak tertentu
pada daerah yang ditinjau. Cara penulisannya yaitu diurut dari kiri ke kanan
dan setiap baris berisi 10 ordinat.

Gambar 2.20 Format input data pada file SHORL.blg.


3. File SHORM.blg berisi ordinat grid posisi garis pantai. File ini digunakan
sebagai pembanding ordinat garis pantai hasil simulasi yang terdapat pada file
SHORC.blg. Cara penulisannya yaitu dari kiri ke kanan dan setiap baris berisi
10 ordinat.

Gambar 2.21 Format input data pada file SHORM.blg.

4. File WAVES.blg terdiri dari data gelombang tiap jam selama satu tahun. Data
gelombang yang dimasukkan berupa tinggi gelombang, periode dan arah
rambat gelombang.
5. File SEAWL.blg terdiri dari lokasi seawall yang dimodelkan. Jika tidak ada
seawall pada file START, maka SEAWL tidak dibaca. Jadi, file SEAWL ini
digunakan bila ada bangunan pantai eksisting yang akan dianalisa.
6. File SETUP.blg merupakan output yang berisi koordinat perubahan garis
pantai dan jumlah angkutan sedimen yang terjadi, yang dalam proses running
akan memberikan peringatan (warning message) jika ada kesalahan selama
simulasi.
7. File OUTPT.blg terdiri dari hasil umum simulasi, diantaranya grafik Net
Transport Rate, Shoreline Change dan Shoreline Positions.
8. File SHORC.blg merupakan output berupa koordinat posisi garis pantai dalam
jangka waktu tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
2.8 Bangunan Pelindung Pantai

Bangunan pantai digunakan untuk melindungi pantai terhadap kerusakan


karena serangan gelombang dan arus. Bangunan pantai dapat diklasifikasikan
dalam tiga kelompok sesuai dengan fungsinya yaitu:
1. Konstruksi yang dibangun di pantai dan sejajar dengan garis pantai. Yang
termasuk dalam kelompok ini adalah dinding pantai dan revetment.
2. Konstruksi yang dibangun kira-kira tegak lurus pantai dan sambung ke
pantai. Yang termasuk dalam kelompok ini adalah groin.
3. Konstruksi yang dibangun di lepas pantai dan kira-kira sejajar dengan
garis pantai. Yang termasuk kelompok adalah offshore breakwater
(pemecah gelombang lepas pantai dan sejajar pantai).
Dalam laporan ini digunakan 2 alternatif penanggulangan abrasi yaitu
membangun struktur groin dan kombinasi struktur groin dan revetment. Alasan
pemilihan struktur ini dikarenakan struktur groin dapat mengatasi terjadinya
longshore transport sedangkan struktur revetment berfungsi untuk mengatasi
terjadinya onshore/offshore transport. Selain itu dalam proses pembangunan
struktur ini bisa lebih cepat karena struktur menyatu dengan garis pantai. Dari 2
alternatif struktur di atas, dibuat satu rekomendasi terpilih yang diharapkan
mampu mengurangi terjadinya abrasi di Pantai Kragan.

2.8.1 Groin

Dalam perencanaan atau perhitungan struktur groin sebagai bangunan


pelindung pantai ini dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. Penentuan Panjang Groin dan Jarak Antar Groin
Groin adalah bangunan pelindung pantai yang biasanya dibuat tegak
lurus pantai dan berfungsi untuk menahan transpor sedimen sepanjang
pantai, sehingga bisa mengurangi atau menghentikan erosi yang terjadi.
Pantai dikatakan stabil apabila suplai sedimen yang masuk sama
dengan suplai sedimen yang keluar. Pada Gambar 2.22.a, stabilitas pantai
ditinjau terhadap suplai sedimen yang terjadi di titik A (Qsa) dan B (Qsb).
Apabila Qsb lebih kecil dari Qsa (Qsb<Qsa), maka pada pantai

tersebut akan terjadi sedimentasi. Apabila Qsb lebih besar dari Qsa

(Qsb>Qsa), maka akan terjadi erosi pada pantai. Sedangkan apabila Qsa =

Qsb, maka transpor sediment pada pantai tersebut stabil.

Pada Gambar 2.22.b, groin ditempatkan pada pantai yang terjadi erosi.

Groin yang ditempatkan di pantai akan menahan gerak sedimen tersebut,

sehingga sedimen mengendap di sebelah hulu (terhadap arah transpor

sedimen sepanjang pantai). Di sebelah hilir groin, angkutan sedimen masih

tetap terjadi, sementara suplai dari sebelah hulu terhalang oleh

bangunan, akibatnya daerah di hilir groin mengalami defisit sedimen

sehingga pantai mengalami erosi. Akibat dibangunnya groin, maka Qsb

sama dengan Qsa (Qsb = Qsa), sehingga pantai akan stabil.

(a) (b)
Gambar 2.22 Suplai Sedimen

Groin yang ditempatkan pada pantai dapat berupa groin tunggal.


Perlindungan pantai dengan menggunakan satu buah groin tidak efektif.
Biasanya perlindungan pantai dilakukan dengan membuat suatu seri
bangunan yang terdiri dari beberapa groin yang ditempatkan pada jarak
tertentu (Gambar 2.23.b). Dengan menggunakan satu sistem groin
perubahan garis pantai yang terjadi tidak terlalu besar. Untuk dapat
memberikan suplai sedimen ke daerah hilir dapat juga dilakukan dengan
membuat groin permeable.
(a) (b)
Gambar 2.23 (a) Groin tunggal; (b) Seri groin. (Teknik Pantai, Bambang
Triatmodjo).

Groin dapat dibedakan menjadi beberapa tipe yaitu tipe lurus, tipe T
dan tipe L. Menurut konstruksinya, groin dapat berupa tumpukan batu,
caisson beton, turap, tiang yang dipancang sejajar atau tumpukan buis
beton yang di dalamnya diisi beton. Pada umumnya, panjang groin adalah
40 sampai 60 persen dari lebar rerata surf zone dan jarak antar groin
adalah antara satu sampai tiga kali panjang groin.

2. Perencanaan Struktur Groin


Dalam perencanaan groin ditentukan berat butir batu pelindung yang
dapat dihitung dengan rumus Hudson.

γrH3
W = K D (Sr − 1) Cotθ
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
γr
Sr = (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
γa
Dengan,
W = berat butir batu pelindung.
γr = berat jenis batu.

γa = berat jenis air laut.

H = tinggi gelombang rencana.


θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang.
KD = koefisien stabilitas yang tergantung pada bentuk batu
pelindung (batu alam atau buatan), kekasaran permukaan
batu, ketajaman sisi-sisinya, ikatan antar butir dan
keadaan pecahnya gelombang. Koefisien stabilitas KD
untuk berbagai jenis butir dapat dilihat pada Tabel 2.2.

Lebar puncak groin dapat dihitung dengan rumus:


1/ 3
B = nk W
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
γ
r
Dengan,
B = lebar puncak.
n = jumlah butir batu (nminimum = 3).
k= koefisien lapis.
W= berat butir batu pelindung.
γr = berat jenis batu pelindung.

Untuk tebal lapis pelindung dan jumlah butir tiap satu luasan diberikan
oleh rumus berikut ini:

1/ 3
W (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
t = nk
γr

P γ (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)


r 2/3
N = Ank 1

100 W

Dengan
t = tebal lapis pelindung.
n = jumlah lapis batu dalam lapis pelindung.
k= koefisien lapis.
A= luas permukaan.
P= porositas rerata dari lapis pelindung (%).
N= jumlah butir batu untuk satu satuan luas permukaan A.
γr = berat jenis batu pelindung.
Tabel 2.2 Koefisien stabilitas KD untuk berbagai jenis butir.
Lengan Bangunan Ujung (Kepala) Bangunan
Kemiringan
n Penempatan KD KD
Gelombang Gelombang Gelombang Gelombang
Pecah Tidak Pecah Pecah Tidak Pecah Cos θ

Batu Pecah

Bulat Halus 2 Acak 1.2 2.4 1.1 1.9 1.5 - 3.0


2
Bulat Halus >3 Acak 1.6 3.2 1.4 2.3 ¤
1 1 2
Bersudut Kasar 1 Acak ¤ 2.9 ¤ 2.3 ¤

1.9 3.2 1.5


Bersudut Kasar 2 Acak 2 4 1.6 2.8 2

1.3 2.3 3
2
Bersudut Kasar >3 Acak 2.2 4.5 2.1 4.2 ¤
3 2
Bersudut Kasar 2 Khusus ¤ 5.8 7 5.3 6.4 ¤

Paratelepipedum 2 Khusus 7 - 20. 8.5 - 24 - -

Tetrapod 5 6 1.5

Dan 2 Acak 7 8 4.5 5.5 2

Quadripod 3.5 4 3

8.3 9 1.5

Tribar 2 Acak 9 10 7.8 8.5 2

6 6.5 3
8 16 2
Dolos 2 Acak 15.8 31.8
7 14 3
2
Kubus Dimodifikasi 2 Acak 6.5 7.5 - 5 ¤
2
Hexapod 2 Acak 8 9.5 5 7 ¤
2
Tribar 1 Seragam 12 15 7.5 9.5 ¤

Batu Pecah (KRR) - Acak 2.2 2.5 - -

(Graded Angular)

(Sumber: Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)

Catatan :
n : jumlah susunan butir batu dalam lapis pelindung
1
¤ : penggunaan n=1 tidak disarankan untuk kondisi gelombang pecah
¤2 : sampai ada ketentuan lebih lanjut tentang nilai KD, penggunaan
KD dibatasi pada kemiringan 1:1,5 sampai 1:3
3
¤ : batu ditempatkan dengan sumbu panjangnya tegak lurus
permukaan bangunan
Tabel 2.3 Koefisien lapis.
Batu Pelindung n Penempatan Koefisien Lapis (k ) Porositas
P(%)
Batu alam (halus) 2 random (acak) 1.02 38
Batu alam (kasar) 2 random (acak) 1.15 37
Batu alam (kasar) >3 random (acak) 1.1 40
Kubus 2 random (acak) 1.1 47
Tetrapod 2 random (acak) 1.04 50
Quadripod 2 random (acak) 0.95 49
Hexapod 2 random (acak) 1.15 47
Tribard 2 random (acak) 1.02 54
Dolos 2 random (acak) 1 63
Tribar 1 seragam 1.13 47
Batu alam random (acak) 37
(Sumber: Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo).

2.8.2 Revetment

Revetment merupakan bangunan yang memisahkan daratan dan perairan


pantai yang terutama berfungsi sebagai pelindung pantai terhadap erosi dan
overtopping (limpasan gelombang) ke darat. Daerah yang dilindungi adalah
daratan tepat di belakang bangunan. Permukaan bangunan yang menghadap arah
datangnya gelombang dapat berupa sisi vertikal atau miring. Dinding pantai
biasanya berbentuk dinding vertikal, sedang revetment mempunyai sisi miring.
Bangunan ini ditempatkan sejajar atau hampir sejajar dengan garis pantai dan bisa
terbuat dari pasangan batu, beton, tumpukan pipa (buis) beton, turap, kayu atau
tumpukan batu.
Dalam perencanaan dinding pantai atau revetment, perlu ditinjau fungsi dan
bentuk bangunan, lokasi, panjang, tinggi, stabilitas bangunan dan tanah fondasi,
elevasi muka air baik di depan maupun di belakang bangunan, ketersediaan bahan

bangunan dan sebagainya. Selain itu, perlu diperhatikan juga kemungkinan


terjadinya erosi di kaki bangunan. Untuk melindungi erosi tersebut maka pada
kaki bangunan ditempatkan batu pelindung.

Gambar 2.24 Penempatan Revetment.


Secara garis besar, perhitungan struktur revetment sebagai salah satu
bangunan pengaman pantai adalah sebagai berikut:
1. Berat Lapis Lindung

γr.H 3
W = K D .(Sr − 1) .cotθ
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
W = berat minimum batu.
γb = berat jenis batu.

γa = berat jenis air laut.

θ = sudut kemiringan sisi pemecah gelombang.


KD = koefisien stabilitas batu.
2. Tebal Lapis Lindung
1
3
t = 2xde = 2xW
γ
(Teknik Pantai, Nur Yuwono)

Dengan,
t = tebal lapis lindung
de = diameter equivalen
W = berat butir batu lapis lindung
γb = berat jenis batu.

3. Lebar Mercu

1/ 3
W
B = nk
γ (Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
r

Dengan,
B = lebar puncak.
n = jumlah butir batu (nminimum =

3). k = koefisien lapis.


W = berat butir batu pelindung.
γb = berat jenis batu.
4. Berat Toe Protection

γ b .H 3
Wt = Ns (Sr − 1)
3
(Teknik Pantai, Bambang Triatmodjo)
Dengan,
Wt = berat rerata butir batu
γb = berat jenis batu.

γa = berat jenis air laut.


Sr = perbandingan berat jenis batu dan berat jenis air laut.
Ns = angka stabilitas rencana untuk pondasi dan toe protection.
5. Tinggi Toe Protection

Gambar 2.25 Revetment rencana.

t = h – ht (Teknik Pantai, Nur Yuwono)


Dengan,
t = tinggi toe protection.
h = kedalaman dasar laut terhadap HHWL.
ht = kedalaman toe protection terhadap HHWL.
6. Lebar toe protection
B =2xh (Teknik Pantai, Nur Yuwono)
Dengan,
B = lebar toe protection.
h = kedalaman dasar laut terhadap HHWL.

3. Teknologi Pengindraan Jauh untuk Kualitas Air termasuk Sedimen Tersuspensi


Warna air mengandung material optik yang kompleks, dipengaruhi oleh
hamburan cahaya dan penyerapan cahaya yang merupakan proses dari kolom air dan
reflectan substrat. Cahaya reflectance substrat (rumput laut, alga, terumbu karang,
pasir, lumpur dan habitat bentik lainnya) mengalami proses penyerapan dan
penghamburan cahaya. Daya tembus sinar ke dalam air, sangat tergantung pada daya
serap air yang mengenainya. Semain besar daya serap air, semakin kurang sinar yang
dapat menembusnya. Tenaga elektromagnetik yang mengenai obyek air dipengaruhi
tiga hal penting, yaitu (1) material yang terkandung dalam perairan, (2) kekasaran
permukaan perairan, dan (3) kedalaman perairan. Selanjutnya Sturm (1987)
mengatakan bahwa sifat-sifat optos dari perairan akan sangat mempengaruhi
kemampuan dari energi radiasi tersebut dalam berinteraksi dengan permukaan
perairan, sebagai contoh warna air laut dipengaruhi oleh berbagai kondisi, seperti :
turbidinitas, up welling dan kandungan klorofil di perairan.
Gambar 1.1. Diagram dan berbagai macam proses pengindraan jauh dalam
material air ( Brando, Dekker, et, al, 2006)

Keberadaan teknologi penginderaan jauh untuk aplikasi sumber daya alam


sudah banyak dikembangkan. Salah satunya aplikasi di bidang lingkungan
khususnya untuk kualitas air. Kualitas air dapat diukur antara lain dengan melihat
sedimen tersuspensi, kekeruhan, alga (klorofil, karoten), aspek kimia (nutrisi,
pestisida, kandungan logam) bahkan minyak dalam perairan (Ritchie et al., 2003).
Tingkat kekeruhan air biasanya diasumsikan dengan keberadaan sedimen dalam
perairan tersebut, salah satunya muatan padatan tersuspensi. Dalam hal ini,
penginderaan jauh dapat membantu dan melengkapi data lapangan terutama jika
wilayah kajian luas yang membutuhkan biaya yang besar. Beberapa keunggulan
penginderaan jauh dalam memonitoring kualitas perairan menurut Reif, 2011
dalam Iswari, 2014, antara lain :

α Kemampuan synoptic view terhadap tubuh air yang lebih efektif dalam
memonitoring secara spasial dan temporal
α Menampilkan informasi kualitas air pada berbagai jenis perairan pada
area yang sangat luas dalam satu waktu
α Menampilkan perekaman kualitas air secara temporal dari masa lampau
sampai saat ini
α Sebagai alat untuk mencari lokasi dan waktu yang tepat dalam survei
dan pengambilan sampel
α Dapat digunakan untuk memperkirakan komponen-komponen penciri
kualitas air

Teknik penginderaan jauh ialah mendasarkan kepada kemampuan untuk


mengukur perubahan pada karakteristik spektral yang dipantulkan dari air dan
kemudian membandingkan hasil pantulan tersebut dengan parameter kualitas air.
Panjang gelombang yang dapat dengan baik digunakan untuk mengukur parameter
kualitas air tergantung kepada material yang hendak diukur atau diketahui,
konsentrasinya, dan karakteristik sensor penginderaan jauh yang digunakan. Faktor
utama yang mempengaruhi kualitas air pada tubuh air pada setiap bentanglahan
adalah sedimen tersuspensi, kekeruhan air, algae (klorofil, karotenoid, dll), kimia
(unsur hara, pestisida, besi, dll), material organik terlarut, suhu permukaan air,
tumbuhan air, bakteri pathogen, dan minyak.

Faktor – faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran


suhu air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh.
Pada umumnya faktor tersebut merubah karakteristik pantulan atau pancaran suhu
air yang dapat diukur dan dideteksi menggunakan teknik penginderaan jauh. Pada
umumnya faktor kimia dan bakteriologi tidak secara langsung mempengaruhi
perubahan karakteristik spektral pantulan atau pancaran air, sehingga hanya dapat
diketahui pengaruhnya secara tidak langsung melalui parameter kualitas air lainnya
yang terpengaruh oleh faktor kimia atau bakteriologi tersebut. Penginderaan jauh
menyuguhkan kenampakan secara spasial dan temporal dari parameter kualitas air
sebuah tubuh air yang tidak dapat diperoleh melalui pengukuran in situ secara
langsung di lapangan, sehingga mampu untuk mengamati, mengidentifikasi dan
mengkuantifikasi parameter kualitas air beserta permasalahannya secara efektif
dan efisien (Jerlov,1976; Kirk, 1983 dalam Ritchie et al, 2003).
Perkembangan teknik penginderaan jauh yang digunakan untuk mengamati
kualitas air telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pada masa tersebut teknik yang
digunakan adalah dengan mengukur perbedaan pantulan dan pancaran energi
elektromagnetik suatu tubuh air, dan kemudian mencari hubungan antara
karakteristik spektral dengan parameter kualitas air. Ritchie et al (1974) dalam
Ritchie et al (2003) mengembangkan rumus untuk mengestimasi sedimen
tersuspensi : Y = A + BX atau Y = Abx.

Dimana Y adalah nilai energi pantulan atau terekam oleh citra


penginderaan jauh, X adalah nilai sedimen tersuspensi hasil pengurkuran in situ,
sedangkan A dan B adalah faktor turunan. Hubungan secara statistik anatara nilai
pantulan atau pancaran citra penginderaan jauh dengan parameter kualitas terukur,
biasa digunakan pada pendekatan secara empiris. Terkadang informasi tentang
karakteristik spektral dari suatu parameter kualitas air digunakan untuk membantu
memilih panjang gelombang terbaik yang akan digunakan untuk membuat model
melalui pendekatan empiris (Ritchie et al, 2003).

Material tersuspensi dan terlarut di permukaan air, dapat merubah warna air
tersebut. Air jernih memiliki warna biru, air yang kaya akan humus berwarna
kuning, dan air keruh memiliki warna bervariasi tergantung dari campuran material
yang masuk ke dalamnya berkisar antara biru-hijau atau coklat-merah. Air jernih
hanya memantulkan sedikit dari pancaran sinar matahari yang mengenainya,
sehingga nilai pantulannya terhitung rendah. Pantulan air memiliki nilai tertinggi
pada spektrum biru dan semakin menurun ketika panjang gelombang meningkat
Gambar 1.2.. Pantulan air jernih vs air kaya akan alga hijau
(Khoram, 2012)

Air keruh mampu untuk memantulkan lebih banyak sinar matahari


sehingga memiliki nilai pantulan yang lebih tinggi dibandingkan dengan air jernih.
Air yang kaya akan ganggang hijau memiliki konsentrasi klorofil yang tinggi,
sehingga memiliki pada panjang gelombang 450 nm dan 670 nm terjadi
penyerapan yang tinggi. Semakin besar konsentrasi klorofil yang terkandung pada
suatu tubuh air, maka semakin rendah pantulan pada panjang gelombang pendek
(biru), namun pantulan pada spektrum hijau akan semakin tinggi. (Purkis dan
Klemas, 2011).

Padatan tersuspensi terdiri bahan organik dan anorganik. Padatan


tersuspensi mempunyai peran penting dalam manajemen kualitas air karena terkait
dengan total produksi primer dan fluks logam berat dan mikro-polutan. Material
suspensi adalah polutan yang paling umum di permukaan air. Beberapa peneliti
telah meneliti hubungan antara sedimen dan reflektansi. Sedimen yang tersuspensi
meningkatkan cahaya dari air permukaan di inframerah tampak dan inframeah
dekat berkisar dari spektrum elektromagnetik (Ritchie dan Charles, 1996). In situ
dan pengukuran laboratorium telah menunjukkan bahwa cahaya air permukaan
dipengaruhi oleh sedimen jenis, tekstur, warna, tampilan sensor dan sudut
matahari, dan kedalaman air (Ritchie dan Frank, 1998 dalam Usali, 2010)
Teknik penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk memperkirakan
dan memetakan konsentrasi tersuspensi materi di pedalaman air, memberikan
informasi baik spasial dan temporal. Studi Penginderaan jauh dari materi sedimen
telah menggunakan dari berbagai satelit seperti Landsat, SPOT, IRS, Zona Pesisir
Warna Scanner (CZCS) dan SEA melihat Wide Field of View Sensor (SeaWiFS).
Penelitian-penelitian tersebut telah menunjukkan hubungan signifikansi antara
materi tersuspensi dan cahaya atau reflektansi baik dari single band atau kombinasi
beberapa band di satelit. Dengan studi insitu, panjang gelombang antara 700 dan
800nm adalah yang paling mendekati untuk menentukan materi tersuspensi dalam
air permukaan (Ritchie et al., 1976 dalam Usali, 2010).

Penyerapan cahaya oleh sedimen umumnya jauh lebih kecil daripada


klorofil, tetapi hamburan jauh lebih tinggi. dalam jangka dari panjang gelombang
optik, penginderaan jauh dari terestrial lebar dibandingkan dengan penginderaan
jauh dari badan air yang dibatasi untuk kisaran yang relatif sempit. Oleh karena itu,
kisaran 400 sampai 850 nm adalah digunakan khusus untuk estimasi parameter
kualitas air. Beberapa peneliti telah menemukan bahwa TM4 (citra Landsat)
memiliki hubungan yang baikdengan TSM, dan akan cocok untuk memperkirakan
padatan tersuspensi (Dekker et al., 2002 dalam Usali 2010)

2.7.2. Citra SPOT 4


SPOT (Systeme Probatoire de l’observation de la Terre) adalah
proyek kerjasama antara Prancis, Swedia, dan Belgia, di bawah koordinasi
CNES (Center Nasional d’Etudes Spatiales) badan ruang angkasa Prancis.
Pada bulan Desember 1990, SPOT 1 memasuki akhir cadangan aktifnya,
selanjutnya digantikan oleh SPOT 2 yang diluncurkan pada 22 Januri 1990,
kemudian diikuti oleh SPOT 3 pada 26 September 1993. SPOT 4
diluncurkan pada 24 Maret 1998 dan telah mengalami inovasi pada alat
penyiamannya yaitu penambahan sebuah alat sensor untuk penyiam vegetasi.
SPOT 4 merupakan Sistem SPOT generasi kedua. SPOT generasi
kedua yang mempunyai dua macam instrumen instrumen, yaitu HRVIR dan
VMI. HRVIR merupakan kependekan dari high resolution visible and
infrared yang berarti mampu memberikan citra resolusi tinggi di spektral
tampak dan inframerah. Instrumen HRVIR memperbaiki instrumen HRV
pada SPOT generasi pertama, dengan menambahkan satu saluran inframerah
tengah (SPOT menyebutnya shortwave infrared, yang beroperasi pada julat
panjang gelombang 1,58-1,75 um. Pada instrumen ini, moda pankromatik
dengan resolusi 10 meter dihilangkan dan fasilitas ini diganti oleh
kemampuan saluran 2 (merah, 0,61-0,68 um) untuk beroperasi pada dua
moda resolusi : moda 20 meter dan moda 10 meter (Danoedoro, 2012)

HRVIR terdiri dari 2 unit pencitraan pushbroom, sebuah versi


perbaikan dari HRV. Spektral berkisar: B1 = 0,50-0,59 m, B2 = 0,61-0,68
um, B3 = 0,79-0,89 um, SWIR = 1,58-1,75 um (band tambahan dalam 20 m
moda multispektral pada 1,58-1,75 um disediakan). Band pankromatik (0,51-
0,73 um dari HRV pada SPOT-1, 2, 3) telah digantikan oleh Band B2,
memungkinkan memiliki resolusi 20 meter. Geometri dan kemampuan
resolusi hampir sama dengans HRV. Selain itu, dua sensor HRVIR dapat
diprogram untuk akuisisi citra independen (melihat arah dari kedua sensor
independen). Kedua instrumen HRVIR dilindungi polarisasi atau pancaran
oleh sinar matahari secara langsung. SWIR detektor (1,58-1,75 m)
menggunakan generasi baru array linier InGaAs / Polri (Cnes, 2004)

SPOT 4 mampu merekam ulang wilayah yang sama antara 2 hingga


26 hari sekali. Hal ini merupakan kelebihan dibandingkan SPOT generasi
pertama. Kedua macam sensor yang terpasang juga mampu beroperasi
serentak merekam wilayah yang sama, namun dengan resolusi yang berbeda.
Kemampuan ini disebut sebagai kemampuan aplikasi multiskala (Danoedoro,
2012)
rikut Level dan processing citra satelit SPOT

OT l rkoreksi secara radiometrik terhadap


orsi na daan sensitivitas
ne tor dalam kerja, umumnya
ujukan kepada pengguna yang ingin
kukan pengolahan geometris citra
a tersendiri
l ksi radiometrik seperti pada level
1A dan koreksi geometri terhadap efek
tematis seperti efek panorama rotasi
gkungan bumi. Distorsi
rnal itra diperbaiki untuk
ntingan ukuran k, sudut
rah permukaan terliput. Produk ini
didesain khusus untuk foto interpretasi
n kajian tematik
l ksi etrik identik dengan
dan koreksi dan koreksi
etrik kukan dalam proyeksi
rtografis standar atau UTM WGS84
a default, tetapi tidak terikat
ngan titik kontrol tanah (GCP).
roduk ini sesuai dengan suatu
nggabungan citra dengan berbagai
n tipe data informasi geografis.
OT l roduk sudah terbentuk proyeksi
ta menurut titik kontrol tanah (GCP)
gai ukuran langsung
ngan dilapangan. Digunakan
untuk kepentingan tertentu yang tidak
mengutamakan perubahan atau

deformasi berbagai relief perbedaan


medan.
Level 3 Produk data dengan menggunakan
proyeksi peta berdasarkan titik kontrol
(ortho)
tanah dan DEM yang bereferensi 3D,
serta telah terkoreksi dari pengaruh-
pengaruh kesalahan relief
Tabel 1.2. (www.spotimage.com/web dalam Sawaludin, 2013)
3.7.3. Sedimen
Pengertian Sedimen adalah sekumpulan rombakan material: batuan,
mineral, dan bahan organik yang mempunyai ukuran butir tertentu (Pethick,
1984). Menurut Dackombe dan Gardiner (1983), kebanyakan sumber dari
material sedimen adalah daratan, dimana erosi dan pelapukan batuan berperan
terhadap pengikisan daratan dan ditransportasikan ke laut. Sedimen pantai
menurut Pethick (1984) berasal dari tiga sumber, yaitu erosi sungai, erosi pantai,
dan erosi dasar laut, dimana pada kenyataannya justru sungai yang memberikan
suplai yang relatif besar (kurang lebih 90%) terhadap transport sedimen yang
terjadi di pantai.

Sedimentasi yaitu proses pengendapan dari suatu material yang berasal


dari angin, erosi air, gelombang laut serta gletsyer. material yang dihasilkan dari
erosi yang dibawa oleh aliran air dapat diendapkan di tempat yang
ketinggiannya lebih rendah (Yodei, 2008 dalam Pangestu, 2013). Sedimen
merupakan akibat dari hasil sedimentasi, dimana sedimen merupakan material
yang telah terkumpul akibat proses sedimentasi. Proses sedimentasi juga erat
kaitannya dengan proses erosi akibat adanya pelapukan yang terjadi pada
permukaan bumi.

Karakteristik sedimen dan alur sungai adalah sifat alam bahwa air pada
dataran terbuka tidak mengalir di atas tanah sebagai lapisan, melainkan akan
mengumpul sebagai suatu sistem saluran alam, sehinggadapat didefinisikan
bahwa sungai adalah suatu sistem saluran yang dibentuk oleh alam yang
disamping mengalirkan air juga mengangkut sedimen yang terkandung di dalam
air sungai tersebut. Proses sedimentasi itu sendiri dalam konteks hubungan
dengan sungai meliputi, penyempitan palung, erosi, transportasi, sedimentas
(transportsediment), pengendapan (deposition), dan pemadatan (Compaction)
dari sedimen itu sendiri. Karena prosesnya merupakan gejala sangat komplek,
dimulai dengan jatuhnya hujan yang menghasilkan energi kinetic yang
merupakan permulaan proses terjadinya erosi tanah menjadi partike halus, lalu
menggelinding bersama aliran, sebagian akan tertinggal di atas tanah, sedangkan
bagian lainnya masuk kedalam sungai terbawa aliran menjadi sedimen.
Besarnya volume sedimen terutama tergantung pada perubahan kecepatan
aliran, karena perubahan pada musim penghujan dan kemarau, serta perubahan
kecepatan yang dipengaruhi oleh aktivitas manusia. (kusnan, 2010 dalam
Pangestu 2013).

Angkutan sedimen dapat dibedakan menjadi sedimen dasar dan sedimen


tersuspensi (Mulyanto, 2007 dalam Pangestu, 2013)
ρ “Wash load“ atau sedimen cuci terdiri dari partikel lanau dan debu yang
terbawa masuk kedalam sungai dan tetap tinggal melayang sampai
mencapai laut, atau genangan air lainnya. Sedimen jenis ini hampir tidak
mempengaruhi sifat-sifat sungai meskipun jumlahnya yang terbanyak
dibanding jenis-jenis lainnya terutama pada saat-saat permulaan musim
hujan datang. Sedimen ini berasal dari proses pelapukan Daerah Aliran
Sungai yang terutama terjadi pada musim kemarau sebelumnya.
ρ “Suspended load” atau sedimen layang terutama terdiri dari pasir halus
yang melayang di dalam aliran karena tersangga oleh turbulensi aliran air.
Pengaruh sedimen ini terhadap sifat-sifat sungai tidak begitu besar. Tetapi
bila terjadi perubahan kecepatan aliran, jenis ini dapat berubah menjadi
angkutan jenis ketiga. Gaya gerak bagi angkutan jenis ini adalah turbulensi
aliran dan kecepatan aliran itu sendiri. Dalam hal ini dikenal kecepatan
pungut atau “pick up velocity”. Untuk besar butiran tertentu bila kecepatan
pungutnya dilampaui, material akan melayang. Sebaliknya, bila kecepatan
aliran yang mengangkutnya mengecil di bawah kecepatan pungutnya,
material akan tenggelam ke dasar aliran.
ρ “Bed load”, tipe ketiga dari angkutan sedimen adalah angkutan dasar
dimana material dengan besar butiran yang lebih besar akan bergerak
menggelincir atau translate, menggelinding atau rotate satu di atas lainnya
pada dasar sungai; gerakannya mencapai kedalaman tertentu dari lapisan
sungai. Tenaga penggeraknya adalah gaya seret drag force dari lapisan
dasar sungai.

Konsep transpor sedimen di pantai ada dua macam, yaitu transpor sedimen
yang memiliki arah tegak lurus dengan garis pantai dan transpor sedimen yang
memiliki arah rata-rata sejajar pantai. Untuk transpor sedimen yang memiliki arah
tegak lurus dengan pantai dibagi lagi menjadi dua macam yaitu transpor sedimen
menuju dan meninggalkan pantai (onshore - offshore transport). Sedangkan untuk
transpor sedimen yang memiliki arah rata-rata sejajar pantai hanyalah satu macam
saja yaitu transpor sepanjang pantai (longshore transport).

Gambar 1.3. Transpor Sedimen Dasar dan Muatan


Sedimes Suspensi (Zein, 2013)

3.7.4. Muatan Padatan Tersuspensi


Sedimen tersuspensi disini kemudian disebut sebagai TSS (Total
suspended solid). Zat padat tersuspensi (Total Suspended Solid) adalah semua zat
padat (pasir, lumpur, dan tanah liat) atau partikel-partikel yang tersuspensi dalam
air dan dapat berupa komponen hidup (biotik) seperti fitoplankton, zooplankton,
bakteri, fungi, ataupun komponen mati (abiotik) seperti detritus dan partikel-
partikel anorganik.
Zat padat tersuspensi merupakan tempat berlangsungnya reaksi-reaksi kimia yang
heterogen, dan berfungsi sebagai bahan pembentuk endapan yang paling awal dan
dapat menghalangi kemampuan produksi zat organik di suatu perairan. Penetrasi
cahaya matahari ke permukaan dan bagian yang lebih dalam tidak berlangsung
efektif akibat terhalang oleh zat padat tersuspensi, sehingga fotosintesis tidak
berlangsung sempurna. Sebaran zat padat tersuspensi di laut antara lain
dipengaruhi oleh masukan yang berasal dari darat melalui aliran sungai, ataupun
dari udara dan perpindahan karena resuspensi endapan akibat pengikisan (Tarigan,
2003)

Beberapa sumber dan komposisi beberapa partikulat pencemar yang


umum berada di suatu perairan antaralain erosi tanah, lumpur merah dari pabrik
aluminium oksida, padatan dari pencucian batubara, lubang tanahliat, kegiatan
penimbunan sisa pengerukan, penyulingan pasir-pasir mineral, dan pabrik
pencucian, kerikil dan kegiatan-kegiatan lainnya. Komposisi dan sifat partikulat
pencemar dari erosi tanah berupa mineral tanah, pasir, tanah liat dan lumpur,
sedangkan mineral sedimen, pasir, tanah liat, lumpur, detritus organik dihasilkan
dari kegiatan penimbunan sisa pengerukan. Garam-garam besi yang dapat berubah
menjadi besi terhidrasi dalam air laut merupakan pencemar dari lumpur merah dari
pabrik aluminium oksida dan penyulingan pasir-pasir mineral (Tarigan, 2003)

3.7.5. Faktor-faktor yang mempengaruhi Transpor Sedimen


Proses perpindahan sedimen merupakan proses yang sangat kompleks
yang dipengaruhi banyak faktor (Asdak, 2002). Besarnya sedimen yang
terangkut aliran air ditentukan oleh interaksi dari berbagai faktor berikut
W Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai
Besarnya sedimen yang masuk ke dalam sungai dipengaruji oleh faktor
iklim, topografi, kondisi geologi, kondisi aliran permukaan, bentuk DAS,
kerapatan aliran, vegetasi dan cara mengolah pertanian di daerah
tangkapan air asal sedimen (Asdak, 2002)
X Karakteristik saluran dan kondisi aliran permukaan
Sifat-sifat aliran permukaan yang mempengaruhi besarnya sedimen yang
terangkut dalam air, yaitu jumlah, laju kecepatan an gejolak aliran
permukaan
Y Karakteristik fisik sedimen

Karakteristik fisik sedimen yang menentukan besar sedimen yang


terangkut adalh jumlah dan ukuran butir sedimen (Asdak, 2002)

3.7.6. Muara Sungai


Muara sungai adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan
laut. Permasalahan di muara sungai dapat ditinjau di bagian mulut sungai (river
mouth) dan estuari. Mulut sungai adalah bagian paling hilir dari muara sungai
yang langsung bertemu dengan laut. Sedangkan estuari adalah bagian dari
sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut. Muara sungai berfungsi sebagai
pengeluaran/aliran debit sungai, terutama pada waktu banjir, ke laut. Selain itu
muara sungai juga harus melewatkan debityang ditimbulkan oleh pasang surut,
yang bisa lebihbesar dari debit sungai. sehingga muara sungai harus cukup lebar
dan dalam. (Anasiru, 2006).
Muara sungai dapat dibedakan dalam tiga kelompok, yang tergantung pada
faktor dominan yang mempengaruhinya. Ketiga faktor dominan tersebut adalah
gelombang, debit sungai dan pasang surut (Nur Yuwono, 1994, dalam Pangestu,
2013)
a. Muara yang didominasi gelombang laut.
Gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat menimbulkan
angkutan (transpor) sedimen, baik dalam arah tegak lurus maupun sejajar
atau sepanjang pantai. Angkutan sedimen tersebut dapat bergerak masuk ke
muara sungai dan karena di daerah tersebut kondisi gelombang sudah tenang
maka sedimen akan mengendap. Semakin besar gelombang semakin besar
angkutan sedimen dan semakin banyak sedimen yang mengendap di muara.
b.Muara yang didominasi debit sungai

Muara ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup
besar yang bermuara di laut dengan gelombang relatif kecil Pada waktu air
surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Selama
periode sekitar titik balik di mana kecepatan aliran kecil, sebagian suspensi
mengendap. Pada saat dimana air mulai pasang, kecepatan aliran bertambah
besar dan sebagian suspensi dari laut masuk kembali ke sungai bertemu
dengan sedimen yang berasal dari hulu. Selama periode dari titik balik ke air
pasangmaupun air surut kecepatan aliran bertambah sampai mencapai
maksimum dan kemudian berkurang lagi. Dengan demikian dalam satu
siklus pasang surut jumlah sedimen yang mengendap lebih banyak daripada
yang tererosi, sehingga terjadi pengendapan di depan mulut sungai.

c. Muara yang didominasi pasang surut


Apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang
masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi dengan air
dari hulu sungai. Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar tersebut
mengalir keluar dalam periode waktu tertentu yang tergantung pada tipe
pasang surut. Dengan demikian kecepatan arus selama air surut tersebut
besar, yang cukup potensial untuk membentuk muara sungai. Muara sungai
tipe ini berbentuk corong atau lonceng.
Gambar 1.4. Bentuk delta dan muara di Pulau Jawa
(Ongkosongo, 2007)

3.7.7. Uji statistik T test


Statistik parametris yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif
rata-rata dua sampel dengan data berbentuk interval atau rasio adalah
menggunakan t-test (Sugiyono,2007). Uji t-test dapat digunakan pada data
yang berkorelasi dan data yang independen. Data berkorelasi berarti sampel-
sampel yang akan dibandingkan tersebut saling berhubungan sedangkan data
yang independen berarti sampel-sampel yang akan diuji tidak saling
memengaruhi. Persamaan uji t-test untuk hipotesis komparatif dua sampel yang
berkorelasi :
Rumus yang digunakan untuk menguji hipotesis komparatif dua sampel
independen ada dua macam. Perbedaan dua rumus ini dilihat dari sampel dan varians
yang akan diuji. Persamaan uji t-test untuk komparatif dua sampel yang independen
tipe separated varians dan polled varians :

Berindependen menggunakan syarat jumlah sampel (n) dan homogenitas varians.


Persamaan untuk menguji homogenitas varians dengan uji F :
4. Permasalahan Lingkungan Pesisir Dan Laut
Dewasa ini sumberdaya alam dan lingkungan telah menjadi barang langka
akibat eksploitasi yang berlebihan dan kurang memperhatikan aspek keberlanjutan.
Kendati secara ekonomi dapat meningkatkan nilai jual, namun di sisi lain dapat
menimbulkan ancaman kerugian ekologi yang jauh lebih besar, seperti hilangnya
lahan, langkanya air bersih, banjir, longsor, dan sebagainya. Salah satu akibat dari
kelangkaan tersebut adalah pemanfaatan sumber daya alam (SDA) yang kini mulai
bergeser dari SDA darat kearah pemanfaatan SDA pesisir dan laut. Indonesia
merupakan negara kepulauan (archipelago state) yang memiliki garis pantai
terpanjang di dunia (61.000 km). Kita juga memiliki wilayah laut yang sangat luas di
mana terdapat tiga macam wilayah perairan berdasarkan Konvensi Hukum Laut
Internasional, yaitu perairan laut teritonial, zone ekonomi eksklusif (ZEE), dan landas
kontinen. Sehingga wajar apabila sekarang ini wilayah pesisir dan laut Indonesia
merupakan sasaran dan harapan baru dalam memenuhi kesejahteraan rakyatnya.
Beralihnya pemanfaatan SDA pesisir dan laut tidak hanya didasarkan pada
alasan kekayaan SDA tersebut yang kita miliki. Melainkan ada alasan lain dimana
sepanjang 2- 3 dasawarsa terakhir ini, pengelolaan sumberdaya di darat telah
menimbulkan
degradasi lahan, hutan, dan air serta kerusakan lingkungan yang mengancam
kelestariannya. Bukan mustahil, apabila ke depan wilayah pesisir dan laut Indonesia
juga akan mengalami nasib sama seperti di darat, karena pengelolaannya yang kurang
baik. Gejala-gejala ke arah sana, sesungguhnya sudah mulai nampak saat ini. Kasus di
Teluk Buyat, penambangan pasir di Riau, pendangkalan Sagaraanakan, dan
sebagainya merupakan bukti-bukti yang dapat kita saksikan sebagai bentuk kerusakan
lingkungan di wilayah pesisir dan laut.
Pada bab ini, kalian mempelajari tentang permasalahan lingkungan biogeofisik
lain, yaitu di wilayah pesisir dan laut. Hal ini sangat penting
untukdipahami,mengingat berbagai permasalahan kerusakan lingkungan di wilayah
ini akibat tingkat ekstraksi yang berlebihan dan tidak memperhatikan aspek
keberlanjutan, telah menimbulkan ancaman kerugian ekologi.
Gambar 4.1: Pemanfaatan kekayaan SDA pesisir dan laut
Dalam berbagai aspek aktivitas ekonomi
Sumber: google.image

4.1. HAKEKAT PESISIR DAN LAUT


Sebelumnya coba kalian pahami terlebih dulu tentang pengertian-pengertian
yang berkenaan dengan pesisir, pantai, dan laut. Sering ada kerancuan terutama
antara istilah pantai yang disamaartikan dengan pesisir. Padahal keduanya
memiliki pengertian berbeda. Pantai (shore atau beach, dalam bahasa Inggris)
adalah kenampakan alam yang menjadi batas antara wilayah yang bersifat
daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Wilayah pantai dimulai dari titik
terendah air laut pada saat surut hingga arah ke daratan sampai batas paling jauh
gelombang atau ombak menjangkau daratan. Tempat pertemuan antara air laut
dengan daratan tadi dinamakan dengan garis pantai (shore line). Garis pantai ini
setiap saat berubah-ubah sesuai dengan perubahan pasang-surut air laut.
Bentuk pantai ada yang landai dan ada pula yang terjal (cliff). Sedangkan pantai
yang berpasir disebut gisik (sand beach) dan pantai yang berlumpur disebut (mud
beaach). Sementara pesisir adalah suatu wilayah yang lebih luas dari pada pantai.
Wilayahnya mencakup wilayah daratan yang masih mendapat pengaruh laut
(pasang-surut, suara deburan ombak, rembesan air laut di daratan) dan wilayah
laut sejauh masih mendapat pengaruh dari darat (aliran air sungai dan sedimentasi
dari darat). Menurut Badan ialah daerah yang masih ada pengaruh kegiatan
bahari dan sejauh konsentrasi permukiman nelayan.
Laut adalah sekumpulan air yang sangat luas di permukaan bumi yang
memisahkan atau menghubungkan suatu benua atau pulau dengan benua atau
pulau lainnya. Umumnya perairan laut merupakan massa air asin dengan kadar
garam cukup tinggi (rata-rata 3.45%). Laut merupakan bagian dari samudera.
Samudera adalah bentangan air asin yang menutupi cekungan yang sangat luas.
Laut dapat diklasifikasikan menurut karakteristiknya masing-masing.
Berdasarkan kedalamannya laut dikelompokan kedalam empat zone, yaitu:

1) Zona litoral adalah wilayah laut yang pada saat terjadinya pasang naik tertutup
oleh air laut dan ketika air laut surut wilayah ni menjadi kering. Zona inisering
disebut sebagai wilayah pasang surut.

2) Zona neritik adalah wilayah laut mulai zona pasang surut sampai kedalaman
200 meter. Zona ini merupakan tempat terkonsentrasinya biota laut, terutama
berbagai jenis ikan. Zona neritik sering disebut wilayah laut dangkal.

3) Zona batial adalah wilayah laut yang merupakan lereng benua yang tenggelam
di dasar samudra. Kedalaman zona ini berkisar di atas 200 meter – 2000
meter.

4) Zona abisial adalah wilayah laut yang merupakan wilayah dasar samudra.
Kedalamannya di atas 2000 meter dan jenis biota yang ada pada zona ini
terbatas.

Laut banyak memberikan manfaat bagi kehidupan manusia diantaranya


sebagai sumber bahan makanan dan mineral. Di tepian laut terdapat ekosistem
pantai yang merupakan tatanan sebuah kesatuan lingkungan pantai secara utuh
dengan segenap unsur lingkungan hidup yang mempengaruhinya. Ekosistem
pantai memiliki arti penting sebagai tempat berkembang biaknya berbagai jenis
biota laut, tanaman bakau (mangrove) dan juga sebagai sarana pelestarian pantai
dari ancaman abrasi air laut.
Wilayah pesisir dan Lautan Indonesia juga kaya akan bahan tambang dan
mineral, seperti minyak dan gas, timah, biji besi, bauksit dan pasir kwarsa.
Wilayah pesisir dan lautan termasuk prioritas utama untuk pusat pengembangan
industri pariwisata.

5. KERUSAKAN LINGKUNGAN PESISIR DAN LAUT


Daerah pesisir dan laut merupakan salah satu dari lingkungan perairan yang
mudah terpengaruh dengan adanya buangan limbah dari darat. Wilayah pesisir yang
meliputi daratan dan perairan pesisir sangat penting artinya bagi bangsa dan
ekonomi Indonesia. Wilayah ini bukan hanya merupakan sumber pangan yang
diusahakan melalui kegiatan perikanan dan pertanian, tetapi merupakan pula lokasi
bermacam sumber daya alam, seperti mineral, gas dan minyak bumi serta
pemandangan alam yang indah, yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan
manusia, perairan pesisir juga penting artinya sebagai alur pelayaran.Koordinasi
Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), batas wilayah pesisir Di
daratan pesisir, terutama di sekitar muara sungai besar, berkembang pusat-pusat
pemukiman manusia yang disebabkan oleh kesuburan sekitar muara sungai besar dan
tersedianya prasarana angkutan yang relatif mudah dan murah, dan pengembangan
industri juga banyak dilakukan di daerah pesisir. Jadi tampak bahwa sumberdaya
alam wilayah pesisir Indonesia telah dimanfaatkan secara beranekaragam. Namun
perlu diperhatikan agar kegiatan yang beranekaragaman dapat berlangsung secara
serasi.
Suata kegiatan dapat menghasilkan hasil samping yang dapat merugikan kegiatan
lain. Misalnya limbah industri yang langsung dibuang ke lingkungan pesisir,
tanpa mengalami pengolahan tertentu sebelumnya dapat merusak sumber daya
hayati akuatik, dan dengan demikian merugikan perikanan. Lingkungan pesisir terdiri
dari bermacam ekosistem yang berbeda kondisi dan sifatnya.
Pada umumnya ekosistem kompleks dan peka terhadap gangguan. Dapat
dikatakan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan dan pengembangannya di manapun
juga di wilayah pesisir secara potensial dapat merupakan sumber kerusakan bagi
ekosistem di wilayah tersebut. Rusaknya ekosistem berarti rusak pula sumber daya di
dalamnya. Agar akibat negatif dari pemanfaatan beranekaragam dapat dipertahankan
sekeci- kecilnya dan untuk menghindari pertikaian antarkepentingan, serta
mencegah kerusakan ekosistem di wilayah pesisir, pengelolaan, pemanfaatan dan
pengembangan wilayah perlu berlandaskan perencanaan menyeluruh dan terpadu
yang didasarkan atas prinsip-prinsip ekonomi dan ekologi.
Secara garis besar gejala kerusakan lingkungan yang mengancam kelestarian
sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia yaitu : pencemaran, degradasi fisik
habitat, over eksploitasi sumber daya alam, abrasi pantai, konservasi kawasan lindung
menjadi peruntukan pembangunan lainnya dan bencana alam. Permasalahan yang
dihadapi dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, khususnya di Indonesia yaitu
pemanfaatan ganda, pemanfaatan tak seimbang, pengaruh kegiatan manusia, dan
pencemaran wilayah pesisir.

1. Pemanfaatan Ganda
Konsep pemanfaatan ganda perlu memperhatikan keterpaduan dan
keserasian berbagai macam kegiatan. Sementara itu, batas kegiatan perlu
ditentukan. Dengan demikian pertentangan antar kegiatan dalam jangka
panjang dapat dihindari atau diperkecil. Salah satu contoh penggunaan
wilayah untuk pertanian, kehutanan, perikanan, alur pelayaran, rekreasi,
pemukiman, lokasi industri dan juga sebagai tempat pembuangan sampah
dan air limbah.
Pemanfaatan ganda wilayah pesisir yang serasi dapat berjalan untuk
jangka waktu tertentu, kemudian persaingan dan pertentangan mulai timbul
dengan berjalannya waktu, pemanfaatan telah melampaui daya dukung
lingkungan. Untuk beberapa hal, keadaan ini mungkin dapat diatasi dengan
teknologi mutakhir. Akan tetapi, perlu dijagaagar cara pemecahan itu tidak
mengakibatkan timbulnya dampak negatif atau pertentangan baru.

2. Pemanfaatan Tak Seimbang


Masalah penting dalam pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir
di Indonesia adalah ketidakseimbangan pemanfaatan sumber daya tersebut,
ditinjau dari sudut penyebarannya dalam tata ruang nasional. Hal ini
merupakan akibat dari ketimpangan pola penyebaran penduduk semula
disebabkan oleh perbedaan keunggulan komparatif (comparative advantages)
keaadaan sumber daya wilayah pesisir Indonesia.
Pengembangan wilayah dalam rangka pembangunan nasional harus juga
memperhatikan kondisi ekologis setempat dan faktor-faktor pembatas.
Melalui perencanaan yang baik dan cermat, serta dengan kebijaksanaan
yang serasi, perubahan tata ruang tentunya akan menjurus ke arah yang lebih
baik.

3. Pengaruh Kegiatan Manusia


Pemukiman di sekitar pesisir menghasilkan pola-pola penggunaan lahan
dan air yang khas, yang berkembang sejalan dengan tekanan dan tingkat
pemanfaatan, sesuai dengan keadaan lingkungan wilayah pesisir tertentu.
Usaha-usaha budidaya ikan, penangkapan ikan, pembuatan garam,
eksploitasi hutan rawa, pembuatan perahu, perdagangan dan industri,
merupakan dasar bagi tata ekonomi masyarakat pedesaan wilayah pesisir.
lingkungan, pencemaran perairan oleh sisa-sisa rumah tangga, meluasnya
proses erosi, kesehatan masyarakat yang memburuk dan terganggunya
ketertiban dan keamanan umum.
Karena itu, perlu diperoleh pengertian dasar tentang proses perubahan
yang terjadi di wilayah pesisir. Dengan demikian, pemanfaatan sumber daya
yang terkandung di dalamnya dapat dikelola dengan baik. Perlu dihayati pula
bahwa sekali habitat atau suatu ekosistem rusak maka sukar untuk diperbaiki
kembali.
Selain beberapa hal tersebut yang dapat memicu terjadinya kerusakan
lingkungan pesisir dan laut, juga terdapat faktor lain. Kegagalan pengelolaan
SDA dan lingkungan hidup ditengarai akibat adanya tiga kegagalan dasar
dari komponen perangkat dan pelaku pengelolaan. Pertama akibat adanya
kegagalan kebijakan (lag of policy) yang dunia internasional saat ini selalu
mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup,
seperti green product, sanitary safety, dan sebagainya. Salah satu contoh dari
kegagalan kebijakan tersebut adalah berkenaan dengan kebijakan
penambangan pasir laut. Di satu sisi, kebijakan tersebut dibuat untuk
membantu menciptakan peluang investasi terlebih pasarnya sudah jelas.
Namun di sisi lain telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan dan
sangat dirasakan langsung oleh nelayan dan pembudidaya ikan di sekitar
kegiatan. Bahkan secara tidak langsung dapat dirasakan oleh masyarakat di
daerah lain. Misalnya terjadi gerusan/abrasi pantai, karena karakteristik
wilayah pesisir bersifat dinamis.

Gambar 4.2: Fenomena abrasi di pantai selatan dan utara Jawa Barat
sumber: google.image

Kedua, adanya kegagalan masyarakat (lag of community) sebagai


bagian dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa
persoalan mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan
masyarakat terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk
dapat menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping
kurangnya kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk
memberikanmasukan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan
berkewajiban mengelola dan melindungi lingkungan. Ketidakberdayaan
masyarakat tersebut semakin memperburuk posisi tawar (bargaining
position) masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat
SDA dan lingkungan. Misalnya saja, kegagalan masyarakat melakukan
penanggulangan masalah pencemaran yang diakibatkan oleh kurang
perdulinya publik swasta untuk melakukan internalisasi eksternalitas dari
kegiatan usahanya. Contoh kongkrit adalah banyaknya pabrik-pabrik yang
membuang limbah yang tidak diinternalisasi ke DAS yang pasti akan
terbuang ke laut atau kebocoran pipa pembuangan residu dari proses
ekstrasi minyak yang tersembunyi, dan sebagainya.

Ketiga, penanggulangan permasalahan lingkungan yang ada masih bersifat


parsial dan kurang terkoordinasi. Dampaknya, proses penciptaan
co-existence antar variabel lingkungan yang menuju keharmonisan dan
keberlanjutan antar variabel menjadi terabaikan. Misalnya, solusi pembuatan
tanggul-tanggul penahan abrasi yang dilakukan di beberapa daerah Pantai
Utara (Pantura) Jawa, secara jangka pendek mungkin dapat menanggulangi
permasalahan yang ada, namun secara jangka panjang persoalan lain yang
mungkin sama atau juga mungkin lebih besar akan terjadi di daerah lain
karena karakteristik wilayah pesisir dan laut yang bersifat dinamis.

Gambar 11.3: Pencemaran di Laut akibat pembuangan limbah


Sumber: google.image
Jika dilihat dari sumber (asal) kejadiaanya, jenis kerusakan lingkungan
ada yang dari luar system wilayah pesisir dan juga dari dalam wilayah pesisir
itu sendiri. Pencemaran berasal dari limbah yang dibuang oleh berbagai
kegiatan pembangunan (seperti tambak, perhotelan, pemukiman dan industri)
yang terdapat di dalam wilayah pesisir, dan juga berupa kiriman dari berbagai
kegiatan pembangunan di daerah lahan atas.
Sumber pencemaran perairan pesisir dan laut biasa terdiri dari limbah
industri, limbah cair pemukinan (sewage), limbah cair perkotaan (urban
stormwater), pelayaran (shipping), pertanian, dan perikanan budidaya.
Bahan pencemar utama yang terkandung dalam buangan limbah tersebut
berupa: sedimen, unsur hara (nutriens), logam beracun (toxic metals),
pestisida, organisme eksotik, organisme pathogen, sampah dan oxygen
depleting substances (bahan-bahan yang menyebabkan oksigen yang terlarut
dalam air laut berkurang). Bahan pencemar yang berasal dari berbagai
kegiatan industri, pertanian, rumah tangga di daratan akhirnya dapat
menimbulkan dampak negatif bukan saja pada perairan sungai tetapi juga
perairan pesisir dan lautan. Dampak yang terjadi kerusakan ekosistem
bakau, terumbu karang, kehidupan dari jenis-jenis biota (ikan, kerang,
keong), terjadi abrasi, hilangnya benih banding dan udang. Beberapa hal yang
perlu diperhatikan terhadap bahan-bahan yang akan dibuang ke perairan,
termasuk perairan wilayah pesisir yaitu :

1) Macam, sifat, banyaknya dan kontinuitas bahan buangan;


2) Kemampuan daya angkut dan pengencer perairan yangberkaitandengan
kondisi oseanografi setempat;
3) Kemungkinan interaksi antara sifat kimia dan biologi bahan buangan
dengan lingkungan perairan.
4) Pengaruh bahan buangan terhadap kehidupan dan rantai makanan;
5) Proses degradasi dan perubahan biogeokimia;
6) Prognose terhadap jumlah dan macam tambahan bahan pencemar di
hari depan;
7) Faktor-faktor lain yang khas.

Jawa Barat memiliki kawasan pesisir dan laut yang potensial untuk
dikembangkan dengan cara memanfaatkan wilayah pesisir dan laut
tersebut melalui berbagai kegiatan pembangunan guna meningkatkan
pendapatan asli daerah. Panjang garis pantai propinsi Jawa Barat
membentang di utara dari Kabupaten Cirebon sampai Kabupaten Bekasi
sepajang kurang lebih 365 km dan di selatan membentang dari Kabupaten
Ciamis sampai Kabupaten Sukabumi sepanjang kurang lebih 355 km.
Kawasan pesisir Jawa Barat dapat dikelompokkan menjadi dua kawasan,
yaitu kawasan pesisir utara (Pantai Utara Jawa), dan kawasan pesisir
selatan (Pantai Selatan Jawa). Kedua kawasan memiliki beberapa
perbedaan, baik yang menyangkut karakteristik fisik, potensi
sumberdaya dan ekosistem maupun tingkat pembangunan dan
tekanan lingkungan. Akan tetapi dibalik potensi yang dimiliki,
terdapat berbagai permasalahan yang menjadikan semakin tidak
optimalnya pengelolaan wilayah pesisir dan laut tersebut. Permasalahan
yang terjadi di wilayah pesisir pantai Jawa Barat pada umumnya meliputi
terjadinya perubahan fungsi lahan, intrusi air laut, abrasi dan akresipantai,
kerusakan dan berkurangnya luasan mangrove dan terumbu karang.
Perkembangan abrasi di pantai utara dan selatan Jawa Barat dapat dilihat
pada tabel berikut:
Tabel 11.1: Perkembangan Abrasi di Pantai Utara dan Selatan Jawa Barat

Luasan Abrasi (Ha/thn)


Wilayah
1995-2001 2001-2003
Pantai Selatan 30,05 35,35
Pantai Utara 392,32 370,3

Sedangkan potensi permasalahan intrusi air laut mengancam


wilayah pantai utara Jawa Barat, hal ini dapat dilihat dari hasil
pengukuran sampel air tanah di beberapa lokasi di pantai utara Jawa Barat
yang dilakukan tim PPGL dimana hasilnya menunjukkan tingkat salinitas
berkisar antara 0,4 – 31 sedangkan baku mutu untuk parameter salinitas
adalah kosong.
Sebagai gambaran permasalahan wilayah pesisir pantai Jawa Barat,
berikut ini disajikan perbandingan kasus yang terjadi di pesisir pantai
selatan dengan pesisir pantai utara.

a. Kerusakan Lingkungan Pesisir Pantai Utara Jawa Barat (Kab. Subang)


 Perubahan fungsi lahan dari pantai pasir menjadi lahan pertambakan (terlihat
pada landsat 1990 dengan spot 2003)
 Berkurangnya hutan bakau sebanyak 6000 batang di Legan kulon dan
Pusakanagara (Rakornis,2002).
 Abrasi pantai sepanjang 5 m/thn di Legan kulon dan Pusakanagara dan
timbulnya tanah timbul di Pamanukan; pada tahun 1999 tercatat bahwa di
Kabupaten Subang terjadi tanah timbul 3.441 Ha dan tahun 2002 tercatat 6.000
Ha, sedangkan tanah yang hilang seluas 164 Ha (tahun 1999).
 Potensi pencemaran dari ceceran solar perahu nelayan di blanakan.

Gambar 3.4: Perbandingan dari landsat 1990 dan spot 5 2003 untuk menggambarkan
terjadinya perubahan fungsi lahan di pesisir utara KabupatenSubang
Sumber: BPLHD, Jabar.

Gambar 3.5: Beberapa kasus kerusakan pesisir pantai utara Jawa Barat diakibatkan oleh
abrasi, akresi, penambangan pasir, dan perubahan fungsi lahan
Sumber: BPLHD, Jabar.
Tabel 3.2: Perkembangan Perubahan Fungsi Lahan di Kabupaten Subang

Luasan Abrasi (Ha)


Fungsi Lahan
1990 2003
Hutan rawa 2.983,07 2783,33
Tambak 6.509,54 2.461,37

Sumber : BPLHD Prop. Jawa Barat, 2004.

b. Kerusakan Lingkungan Pesisir Pantai Selatan Jawa Barat

Gambar 3.6: Beberapa kasus kerusakan pesisir pantai selatan Jawa Barat
diakibatkan oleh abrasi, penambangan pasir besi, sampah, dan perubahan fungsi lahan
Sumber: BPLHD, Jabar.
Berikut ini adalah beberapa data tentang fenomena kerusakan lingkungan di pesisir
pantai selatan Jawa Barat:

1) Cianjur
 Kerusakan ekosistem pandan laut di Cidaun dan sempadan pantai 200 Ha;
 Perambahan hutan cagar alam di Cidaun seluas 150 Ha;
 Kerusakan pantai akibat penambangan pasir, besi di Sindangbarang dan Cidaun
seluas 450 Ha;

2) Garut
 Kerusakan pesisir dan laut cagar alam Sancang sepanjang 12 km;
 Potensi pencemaran akibat penumpukan sampah dikawasan wisata Santolo;
 Kurangnya hutan pantai seluias 100 Ha di sepanjang Carigin, Bungbulang,
Pameungpeuk;
 Kerusakan pantai akibat penambangan tak terkendali

3) Tasikmalaya
 Kerusakan pantai akibat penambangan di Kec. Cipatujah
 Kerusakan hutan pandan di Cikalong sepanjang 22 km

4) Ciamis
 Kerusakan hutan bakau di Kalipucang kurang lebih 25% dari luas 95 Ha dan
Cijulang seluas 15 Ha
 Potensi kerusakan cagar alam akibat pendaratan perahu
 Kerusakan terumbu karang di Kawasan Cagar Alam Laut
 Pencemaran sampah
 Abrasi pantai sepanjang 1 km di Kec. Pangandaran

c. Pentingnya Mengelola Lingkungan Pesisir Dan Laut


Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah
darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih
dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin;
sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-
proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun
yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan
pencemaran (Soegiarto, 1976; Dahuri et al, 2001).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor:
KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir
Terpadu, wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem
darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai
untuk propinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan propinsi) untuk
kabupaten/kota dan ke arah darat batas administrasi kabupaten/kota.
Kedua definisi wilayah pesisir tersebut di atas secara umum memberikan
gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi di
wilayah ini. pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan
yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem
mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar
tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas
sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Peranan pemerintah, swasta dan
masyarakat dalam hal ini menjadi bagian terpenting yang tidak terpisahkan dalam
upaya mengelola lingkungan pesisir dan laut. Dewasa ini, pengelolaan lingkungan
secara terpadu disinyallir terbukti memberikan peluang pengelolaan yang cukup
efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian lingkungan dan
pemanfaatan ekonomi. Namun demikian, hal ini tidak menutup kemungkinan
akan adanya bentuk-bentuk pengelolaan lain yang lebih aplikatif (applicable)
dan adaptif (acceptable).
Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan
jaminan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah pengelolaan berbasis
masyarakat (community based management). Komunitas/masyarakat memiliki adat
istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan yang Komunitas/masyarakat memiliki
adat istiadat, nilai-nilai sosial maupun kebiasaan yang berbeda dari satu tempat ke
tempat lainnya. Perbedaan dalam hal-hal tersebut menyebabkan terdapatnya
perbedaan pula dalam praktek-praktek pengelolaan lingkungan. Karena itu, dalam
proses pengelolaan lingkungan perlu memperhatikan masyarakat dan
kebudayaannya, baik sebagai bagian dari subjek maupun objek pengelolaan
tersebut. Dengan memperhatikan hal ini dan tentunya juga kondisi fisik dan alamiah
dari lingkungan pesisir dan laut, proses pengelolaannya diharapkan dapat menjadi
lebih padu, lancar dan efektif serta diterima oleh masyarakat setempat.
Proses pengelolaan lingkungan ada baiknya dilakukan dengan lebih
memandang situasi dan kondisi lokal agar pendekatan pengelolaannya dapat
disesuaikan dengan kondisi lokal daerah yang akan dikelola. Pandangan ini
tampaknya relevan untuk dilaksanakan di Indonesia dengan cara memperhatikan
kondisi masyarakat dan kebudayaan serta unsur-unsur fisik masing-masing wilayah
yang mungkin memiliki perbedaan di samping kesamaan. Dengan demikian, strategi
pengelolaan pada masing-masing wilayah akan bervariasi sesuai dengan situasi
setempat. Perlu diperhatikan adalah nilai-nilai dan norma-norma yang dianut oleh
suatu masyarakat yang merupakan kearifan masyarakat
dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Segenap gambaran wacana tersebut di atas secara umum memberikan
cermin bagaimana sebuah pengelolaan yang melibatkan unsur masyarakat cukup
penting untuk dikaji dan diujicobakan. Peran serta masyarakat dalam pengelolaan
ini lebih dikenal dengan istilah pengelolaan berbasis masyarakat (PBM) atau
community based management (CBM).
Menurut Carter (1996), Community-Based Resource Management (CBRM)
didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai pembangunan yang berpusat
pada manusia, di mana pusat pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan
sumber daya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu daerah terletak/berada di
tangan organisasi- organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut. Selanjutnya
dikatakan bahwa dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan
dan tanggung jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya dan
lingkungan yang dimilikinya, di mana masyarakat sendiri yang mendefinisikan
kebutuhan, tujuan dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat
keputusan demi kesejahteraannya.
Konsep pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan pesisir dan laut
berbasis masyarakat memiliki beberapa aspek positif yaitu; (1) mampu mendorong
timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan;
(2) mampu merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik;
(3) mampu meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada;
(4) mampu meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis; (5) responsif
dan adaptif terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal; (6) mampu
menumbuhkan stabilitas dan komitmen; serta (7) masyarakat lokal termotivasi untuk
mengelola secara berkelanjutan.
Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya dan
lingkungan seoptimal mungkin harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi.
Hal ini penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk
memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan
sumber daya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan
kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung
jawab dan turut berperanserta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber
daya alam dan lingkungan.

d. Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir Dan Laut Berbasis Masyarakat


Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut perlu dilakukan secara
hati-hati agar tujuan dari upaya dapat dicapai. Mengingat bahwa subjek dan
objek penanggulangan ini terkait erat dengan keberadaan masyarakatnya, dimana
mereka juga mempunyai ketergantungan cukup tinggi terhadap ketersediaan sumber
daya di sekitar, seperti ikan, udang, kepiting, kayu mangrove, dll., maka
penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut yang berbasis masyarakat
menjadi pilihan yang bijaksana untuk diimplementasikan.
Penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat
diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi di suatu wilayah berdasarkan
karakteristik sumber daya alam dan sumber daya manusia di wilayah tersebut.
Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak untuk dilibatkan atau bahkan
mempunyai kewenangan secara langsung untuk membuat sebuah perencanaan
pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan kapasitas dan daya dukung wilayah
terhadap ragam aktivitas masyarakat di sekitarnya.
Pola perencanaan pengelolaan meliputi pola pendekatan perencanaan dari
bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas
menjadi sinergi diimplementasikan. Dalam hal ini prinsip-prinsip pemberdayaan
masyarakat menjadi hal krusial yang harus dijadikan dasar implementasi sebuah
pengelolaan berbasis masyarakat.
Gambar 11.7: Pelibatan masyarakat dalam budidaya mangrove sebagai
upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut
sumber: google.image

Tujuan khusus penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis


masyarakat dalam hal ini dilakukan untuk (i) meningkatkan kesadaran
masyarakatmengenai pentingnya menanggulangi kerusakan lingkungan; (ii)
meningkatkan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara terpadu yang sudah
disetujui bersama; (iii) membantu masyarakat setempat memilih dan mengembangkan
aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan; dan (iv) memberikan pelatihan
mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat.
Kegiatan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan yang berbasis masyarakat
seringkali terfokus pada pengembangan, transformasi atau penguatan kelembagaan
masyarakat, sehingga proses identifikasi kelembagaan lokal yang ada dan
menganalisisnya untuk mengetahui sejauh mana kelembagaan tersebut berhubungan
dengan upaya pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.
Pengelolaan yang berbasis masyarakat adalah suatu sistem pengelolaan sumber daya
alam dan lingkungan di suatu tempat dimana masyarakat lokal di tempat tersebut
terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumber daya alam yang terkandung
didalamnya. Pengelolaan di sini meliputi berbagai dimensi kegiatan sebagai berikut:

1) Persiapan
Dalam persiapan ini terdapat tiga kegiatan kunci yang harus dilaksanakan, yaitu (i)
sosialisasi rencana kegiatan dengan masyarakat dan kelembagaan lokal yang ada, (ii)
pemilihan/pengangkatan motivator (key person) desa, dan (iii) penguatan kelompok
kerja yang telah ada/pembentukan kelompok kerja baru.

2) Perencanaan
Dalam melakukan perencanaan upaya penanggulangan pencemaran laut berbasis
masyarakat ini terdapat tujuh ciri perencanaan yang dinilai akan efektif, yaitu (i) proses
perencanaannya berasal dari dalam dan bukan dimulai dari luar, (ii) merupakan
perencanaan partisipatif, termasuk keikutsertaan masyarakat lokal, (iii) berorientasi
pada tindakan (aksi) berdasarkan tingkat kesiapannya, (iv) memiliki tujuan dan luaran
yang jelas, (v) memiliki kerangka kerja yang fleksibel bagi pengambalian keputusan,
(vi) bersifat terpadu, dan (vii) meliputi proses-proses untuk pemantauan dan evaluasi.

3) Persiapan Sosial
Untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi masyarakat secara penuh, maka
masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar dapat (i) mengutarakan aspirasi serta
pengetahuan tradisional dan kearifannya dalam menangani isu-isu lokal yang
merupakan aturan-aturan yang harus dipatuhi, (ii) mengetahui keuntungan dan
kerugian yang didapat dari setiap pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat
berfungsi sebagai jalan keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang
dihadapi, dan (iii) berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian rencana
tersebut.

4) Penyadaran Masyarakat
Dalam rangka menyadarkan masyarakat terdapat tiga kunci penyadaran, yaitu (i)
penyadaran tentang nilai-nilai ekologis ekosistem pesisir dan laut serta manfaat
penanggulangan kerusakan lingkungan, (ii) penyadaran tentang konservasi, dan (iii)
penyadaran tentang keberlanjutan ekonomi jika upaya penanggulangan kerusakan
lingkungan dapat dilaksanakan secara arif dan bijaksana.

5) Analisis Kebutuhan
Untuk melakukan analisis kebutuhan terdapat tujuh langkah pelaksanaannya, yaitu: (i)
PRA dengan melibatkan masyarakat lokal, (ii) identifikasi situasi yang dihadapi di lokasi
kegiatan, (iii) analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman, (iv) identifikasi
masalah-masalah yang memerlukan tindak lanjut, (v) identifikasi pemanfaatan
kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan di masa depan, (vi) identifikasi kendala-kendala
yang dapat menghalangi implementasi yang efektif dari rencana-rencana tersebut, dan
(vii) identifikasi strategi yang diperlukan untuk mencapai tujuan kegitan.

6) Pelatihan Keterampilan Dasar


Pelatihan keterampilan dasar perlu dilakukan untuk efektivitas upaya penanggulangan
kerusakan, lingkungsn, (i) pelatihan mengenai perencanaan upaya penanggulangan
kerusakan, (ii) keterampilan tentang dasar-dasar manajemen organisasi, (iii)
peranserta masyarakat dalam pemantauan dan pengawasan, (iv) pelatihan dasar
tentang pengamatan sumber daya, (v) pelatihan pemantauan kondisi sosial ekonomi dan
ekologi, dan (vi) orientasi mengenai pengawasan dan pelaksanaan ketentuan-ketentuan
yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kerusakan lingkungan dan pelestarian
sumber daya.

7) Penyusunan Rencana Penanggulangan Kerusakan Lingkungan Pesisir dan


Laut secara Terpadu dan Berkelanjutan
Terdapat lima langkah penyusunan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan
pesisir dan laut secara terpadu dan berkelanjutan, yaitu: (i) mengkaji permasalahan,
strategi dan kendala yang akan dihadapi dalam pelaksanaan upaya penanggulangan
kerusakan lingkungan, (ii) menentukan sasaran dan tujuan penyusunan rencana
penanggulangan, (iii) membantu pelaksanaan pemetaan oleh masyarakat, (iv)
mengidentifikasi aktivitas penyebab kerusakan lingkungan, dan (v) melibatkan
masyarakat dalam proses perencanaan serta dalam pemantauan pelaksanaan rencana
tersebut.
8) Pengembangan Fasilitas Sosial
Terdapat dua kegiatan pokok dalam pengembangan fasilitas sosial, yaitu: (i)
melakukan perkiraan atau analisis kebutuhan prasarana yang dibutuhkan dalam upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan, penyusunan rencana penanggulangan dan
meningkatkan kemampuan (keterampilan) lembaga-lembaga desa yang bertanggung
jawab atas pelaksanaan langkah-langkah penyelamatan dan penanggulangan kerusakan
lingkungan dan pembanguna prasarana.

9) Pendanaan
Pendanaan merupakan bagian terpenting dalam proses implementasi upaya
penanggulangan kerusakan lingkungan. Karena itu, peran pemerintah selaku penyedia
pelayanan diharapkan dapat memberikan alternatif pembiayaan sebagai dana awal
perencanaan dan implementasi upaya penanggulangan. Namun demikian, modal
terpenting dalam upaya ini adanya kesadaran masyarakat untuk melanjutkan upaya
penanggulangan dengan dana swadaya masyarakat setempat.
Kesembilan proses implementasi upaya penanggulangan pencemaran laut tersebut di
atas tidak bersifat absolut, tetapi dapat disesuaikan dengan karakteristik wilayah,
sumberdaya dan masyarakat setempat, terlebih bilamana di wilayah tersebut
telahterdapat kelembagaan lokal yang memberikan peran positif bagi pengelolaan
sumber daya dan pembangunan ekonomi masyarakat sekitarnya.

e. Penanggulangan Lingkungan Pesisir Dan Laut Melalui Kegiatan Budidaya Mangrove


Hutan mangrove di kawasan Pesisir umumnya didominasi oleh beberapa jenis
diantaranya; Rhizophora spp., (Rhizophora apiculata, R. Mucronata, R. stylosa dll),
Soneratia spp (Sonneratia caseolaris, Soneratia alba, dll), Avicennia alba,
Bruguiera spp, Aegiceras corniculat, Nypa fruticans,
,Cerbera spp., Xylocarpus spp., Lumnitzera racemosa,
Heritiera littoralis dan Excoecaria agallocha. Jika dilihat dari segi zonasinya, jenis
bakau (Rhizophora spp.) biasanya tumbuh di bagian terluar yang kerap digempur
ombak. Bakau Rhizophora apiculata dan R. mucronata tumbuh di atas tanah
lumpur. Sedangkan bakau R. stylosa dan perepat (Sonneratia alba) tumbuh di atas
pasir berlumpur. Pada bagian laut yang lebih tenang hidup api-api hitam (Avicennia
alba) di zona terluar atau zona pionir ini. Di bagian lebih ke dalam, yang masih
tergenang pasang tinggi, biasa ditemui campuran bakau
R. mucronata dengan jenis-jenis kendeka (Bruguiera spp.), kaboa (Aegiceras
corniculata) dan lain-lain. Sedangkan di dekat tepi sungai, yang lebih tawar airnya,
biasa ditemui nipah (Nypa fruticans), pidada (Sonneratia caseolaris) dan bintaro
(Cerbera spp.). Pada bagian yang lebih kering di pedalaman hutan didapatkan nirih
(Xylocarpus spp.), teruntum (Lumnitzera racemosa), dungun (Heritiera littoralis)
dan kayu buta-buta (Excoecaria agallocha).

Gambar 11.8: Hutan mangrove merupakan ekosistem pantai yang penting


Sumber: google.image

Pohon-pohon bakau (Rhizophora spp.), yang biasanya tumbuh di zona terluar,


mengembangkan akar tunjang (stilt root) untuk bertahan dari ganasnya gelombang. Jenis-
jenis api-api (Avicennia spp.) dan pidada (Sonneratia spp.) menumbuhkan akar napas
(pneumatophore) yang muncul dari pekatnya lumpur untuk mengambil oksigen dari udara.
Pohon kendeka (Bruguiera spp.) mempunyai akar lutut (knee root), sementara pohon-
pohon nirih (Xylocarpus spp.) berakar papan yang memanjang berkelok-kelok; keduanya
untuk menunjang tegaknya pohon di atas lumpur, sambil pula mendapatkan udara bagi
pernapasannya. Ditambah pula kebanyakan jenis-jenis vegetasi mangrove memiliki lentisel,
lubang pori pada pepagan untuk bernapas. Berikut adalah tahapan yang dapat dilakukan
secara praktisi dalam budidaya mangrove:
1. Survei dan Penetapan lokasi penanaman
Kegiatan survei lapangan di lakukan upaya identifikasi jenis-jenis mangrove yang ada,
karakteristik substrat serta kondisi rill hutan mangrove. Tipe substrat didominasi oleh tipe
berlumpur dan di beberapa tempat ditemukan substrat berpasir dan kadang bercampur
cangkang bivalvi dan gastropoda mati. Sasaran rehabilitasi adalah menanam jenis mangrove
yang sesuai dengan karakteristik dan tipe subrat berlumpur, berpasir, lumpur berpasir, dan
atau bercampur kerang- kerangan mati. Upaya rehabilitasi sedapatnya tidak di lakukan pada
daerah aliran sungai–sungai kecil karena hanya akan mengalami kegagalan.

2. Persemaian dan Pembibitan Mangrove


Jenis bibit yang akan di jadikan bibit adalah yang dominan berada di sekitar areal
rehabilitasi. Pertimbangan yang lain adalah dengan melihat struktur tanah dan ekologi
kawasan rehabilitasi. Jenis Rhizophora mucronata adalah jenis bibit yang mempunyai
toleransi yang cukup tinggi terhadap tekanan ekologi. Untuk meningkatkan presentase
kelangsungan hidup penanaman mangrove, dilakukan upaya persemaian untuk bibit yang
akan di tanam. Persemaian di lakukan disekitar areal penanaman. Ini untuk memudahkan
akses penanaman.

Gambar 11.9: Persemaian bibit mangrove


Sumber: google.image
Upaya pembibitan dilakukan dengan memasukkan bibit kedalam polibag dan setelah di isi
didalam polibag diletakkan di dalam areal pembibitan. Untuk menghindari terhadap
gangguan babi hutan yang sering mencari makan dan menggali makanan disekitar areal
persemaian dan pembibitan, tempat pembibitan dilindungi dengan waring yang menghalang
aktivitas babi hutan masuk kedalam areal pembibitan.
Upaya persemaian dan pembibitan dilakukan 1 – 3 bulan sebelum penanaman. Ini dilakukan
agar bibit dapat berkecambah dulu, kemudian dilakukan penanaman. Upaya ini diharapkan
akan meminimalisasi kematian bibit dan meningkatkan bibit hidup.

3. Penanaman
Setelah bibit mulai tumbuh didalam areal pembibitan, dilakukan upaya penanaman pada
areal rehabilitasi. Upaya ini melibatkan seluruh anggota kelompok yang memobilisasi
anggota masyarakat yang peduli tentang pentingnya upaya rehabilitasi mangrove. Upaya
penanaman dilakukan dengan sangat hati-hati. Bibit yang telah tumbuh di areal pembibitan
dibawa ke areal penanaman. Setelah sampai pada daerah dekat tempat penanaman,
polibagnya disobek kemudian dilakukan penggalian lubang pada areal penanaman dan
dimasukkan bibit beserta tanah/lumpur kedalam lubang penanaman mangrove. Untuk
menghindari tumbangnya bibit karena tekanan arus pasang dan atau pengaruh
ombak/gelombang, tiap bibit mangrove diikat pada ajir yang dipatok didekat mangrove. Ajir
ini sengaja diletakkan di samping setiap bibit yang ditanam mengingat tiap bibit yang akan
ditanam belum terlalu kuat untuk menopang dirinya dan atau untuk tetap berdiri karena
belum mempunyai akar yang kuat.

Gambar 11.10: Penanaman mangrove


Sumber: google.image
Pada daerah yang mempunyai potensi gelombang cukup tinggi, sebaiknya dilakukan
pemasangan tahanan barlapis yang terbuat dari kayu, bambu, atau batu dan semen. Fungsi
penahan ini adalah sebagai peredam ombak sehingga pengaruhnya tidak dapat mempengaruhi
bibit mangrove.
Pola penanaman bibit mangrove dilakukan dengan jarak satu meter antara bibit yang satu
dengan lainnya. Penanaman bibit dilakukan serempak dengan melibatkan seluruh anggota
kelompok. Sedapat mungkin melibatkan anak sekolah agar terjadi pembelajaran yang
mendasar tentang pola merehabilitasi kawasan mangrove yang rusak. Pelajaran yang
paling berharga dalam upaya rehabilitasi bagi pelajar jika pelibatan langsung kepada
mereka. Ini akan membekas dalam pikiran dan hati mereka untuk mengetahui pola
rehabilitasi mangrove. Tidak menutup kemungkinan mereka akan melakukan sendiri pada
kawasan lain sebagai bagian dari upaya kokurikuler.

Pada beberapa daerah yang ekstrim dengan pola pasang surut yang sangat lebar, sebaiknya
jangan dilakukan pola penanaman konvensional, yaitu hanya penancapan bibit yang
dibarengai dengan pengikatan pada ajir. Sebaiknya menggunakan modifikasi pada sistem
persemaian. Modifikasi persemaian dapat dilakukan pada polibag bambu dan atau pot yang
didisain khusus. Bentuk polibag dapat dilakukan dengan panajaman pada bagian bawah yang
juga berfungsi sebagai pasak untuk tiap bibit. Modifikasi juga dapat dipadu dengan
pengikatan pada ajir berlapis untuk memperkokoh dudukan bibit. Perlu mendapat perhatian
adalah bukan seberapa banyak bibit yang kita dapat tanam tapi seberapa banyak bibit yang
bisa bertahan hidup dengan kondisi lokasi yang kadang bersifat ekstrim.

4. Pemeliharaan
Pola pemeliharaan sebaiknya melibatkan seluruh anggota kelompok dengan menjaga
tiap kaplingan areal penanaman. Tiap anggota masyarakat dipercayakan untuk
menyulam tiap bibit mangrove yang kebetulan rusak atau tercabut oleh aktivitas arus dan
gelombang. Untuk mengontrol kelangsungan hidup tiap bibit dan anakan mangrove,
sebaiknya dilakukan pengontrolan setiap 3-4 hari sekali sampai pada saat bibit mangrove
yang ditanam berusia 3 – 5 bulan. Selanjutnya dilakukan pengontrolan seminggi sekali
selama 10 -12 bulan. Setelah diatas satu tahun dapat dilakukan pengontrolan selama 1 –
2 kali sebulan.
Pemeliharaan mangrove adalah hal penting yang perlu dilakukan untuk menjaga agar
mangrove tetap hidup dan bertahan dengan baik. Komplesitasnya kondisi fisik dan ekologis
lingkungan serta kadang adanya hama dan gangguan lain membuat mangrove kadang
mengalami kematian walaupun umur mangrove telag berusia di atas 8 – 12 bulan, namun jika
dilakukan pengontrolan yang rutin maka akan dapat meminimalisasi kegagalan yang ada.

Trik Rehabilitasi mangrove:


1) Kenali daerah yang akan direhabilitasi.
2) Kenali faktor fisik (pasang surut, pola arus, kecepatan arus, tipe substrate,
gelombang), biologi (hama, jenis mangrove yang dominan, ketahanan tiap bibit, penyakit
buah mangrove, gulma, epifauna) dan kimia (pH substrat, kandungan unsure hara) daerah
yang akan direhabilitasi.
3) Lakukan persemaian dengan waktu yang dikondisikan berdasarkan jenis bibit.
4) Lakukan pemeliharaan dengan pelibatan masyarakat setempat.
5) Tentukan pola penanaman yang sesuai dengan bibit dan areal penanaman.
6) Sebaiknya mengambil bibit yang bersumber pada areal terdekat.
7) Sebaiknya menanam mangrove pada lokasi yang tidak pernah ditumbuhi oleh
mangrove.

Anda mungkin juga menyukai