Anda di halaman 1dari 120

MAKALAH

DIKTA INDIVIDU

PERPAJAKAN

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas Mata Kuliah Perpajakan


Dosen Pengampu Arga Sutrisna, S.E., M.M.

MANAJEMEN D

Ditha Rahmananda : 2202010160

PROGRAM STUDI MANAJEMEN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS PERJUANGAN TASIKMALAYA
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ..................................................................................... i

METERI .............................................................................................

I. KELOMPOK I ............................................................................... 1

II. KELOMPOK II ............................................................................ 31

III. KELOMPOK III ......................................................................... 44

IV KELOMPOK IV ........................................................................... 66

V. KELOMPOK V ............................................................................. 79

VI. KELOMPOK VI .......................................................................... 100

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pajak merupakan salah satu sumber pemasukan kas negara yang digunakan untuk
pembagunan dengan tujuan akhir kesejahteraan dan kemakmuran rakyat.Oleh karena
itu,sektor pajak memegang peranan penting dalam perkembangan kesejahteraan
bangsa.Namun,tak bisa dipungkiri bahwa sulitnya negara melakukan pemungutan pajak
karena banyaknya wajib pajak yang tidak patuh dalam membayar pajak merupakan suatu
tantangan tersendiri.Pemerintah telah memberikan kelonggaran dengan memberikan
peringatan terlebih dahulu melalui surat pemberitahuan pajak (SPP).Akan tetapi,tetap saja
banyak wajib pajak yang lalai untuk membayar pajak bahkan tidak sedikit yang cenderung
menghindari kewajiban tersebut.

Hal ini mendorong pemerintah menciptkan suatu mekanisme yang dapat


memberikan daya pemaksa bagi para wajib pajak yang tidak taat hukum.Salah satu
mekanisme tersebut adalah gijzeling atau lembaga paksa badan.Keberadaan
lembaga ini masih kontroversial.Beberapa kalangan beranggapan bahwa
pemberlakuan lembaga paksa badan merupakan hal yang berlebihan.Di lian
pihak,muncul pula pendapat bahwa lembaga ini diperlukan untuk memberikan efek
jera yang potensial dalam menghadapi wajib pajak yang nakal.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pokok-pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain sebagai
berikut :

1. Apa saja dasar-dasar perpajakan?

2. Bagaimana ketentuan umum dan tata cara perpajakan?

1.3 TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui dasar-dasar perpajakan

2. Untuk mengetahui ketentuan umum dan tata cara perpajakan

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 DASAR – DASAR PERPAJAKAN

Perpajakan adalah pengumpulan pajak oleh Negara dari warga negaranya


untuk membiayai kebutuhan negara. Berikut ini adalah beberapa dasar-dasar
perpajakan yang perlu diketahui:

1. Objek Pajak
Objek pajak adalah sumber daya atau kegiatan yang dikenai pajak.
Contohnya adalah penghasilan, konsumsi, property dan lain sebagainya.
2. Subjek Pajak
Subjek pajak adalah orang atau badan hukum yang wajib membayar pajak.
Contohnya adalah individu, perusahaan atau organisasi.
3. Tarif Pajak
Tarif pajak adalah persentase atau jumlah yang harus dibayar oleh subjek
pajak terhadap objek pajak yang dikenakan pajak.
4. Kewajiban Pajak
Kewajiban pajak adalah kewajiban subjek pajak untuk membayar pajak
tepat waktu dan dengan jumlah yang benar.
5. Sistem Perpajakan
Sistem perpajakan adalah cara di mana pajak dikumpulkan oleh
pemerintah. Ada beberapa sistem perpajakan yang berbeda, termasuk pajak
langsung dan tidak langsung, pajak progresif dan regresif serta pajak
penghasilan dan konsumsi.
6. Administrasi Pajak
Administrasi pajak adalah proses pengumpulan, pemrosesan dan
pengawasan pajak oleh pemerintah. Ini melibatkan pengumpulan data dan
informasi tentang subjek pajak, penghitungan jumlah pajak yang harus
dibayar, serta penegakan hukum terhadap pelanggaran pajak.
7. Penghindaran Pajak

2
Penghindaran pajak adalah tindakan yang dilakukan oleh subjek pajak untuk
mengurangi atau mneghindari kewajiban pajak mereka dengan cara yang
tidak sah atau tidak etis.
8. Sanksi Pajak
Sanksi pajak adalah hukuman yang dikenakan oleh pemerintah terhadap
subjek pajak yang melanggar hukum perpajakan, seperti pembayaran
keterlambatan atau penghindaran pajak.
9. Pajak Internasional
Pajak internasional adalah pajak yang dikenakan pada transaksi lintas batas
anatara negara, seperti perdagangan internasional dan investasi asing.

2.2 KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN (UU


NOMOR 28 TAHUN 2007)

2.2.1 PERUMUSAN ISTILAH

Peraturan perundang-undangan perpajakan yang mengatur tentang


“Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan” adalah UU No. 6 tahun 1983,
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 9 tahun 1994, dengan UU No. 16 tahun
2000, terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007. Undang-undang tentang “Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan” dilandasi falsafah Pancasila dan UUD 1945. UU
No. 28 tahun 2007 pada dasarnya mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak,
wewenang dan kewajiban aparat pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.
Beberapa istilah baru yang muncul pada UU No. 28 tahun 2007, antara lain:

1. Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa.
2. Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan
kewajiban perpajakan.
3. Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk
usaha tetap.
4. Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang
dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor,
mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, dll.

3
5. Pengusaha Kena Pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan
barang kena pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak
6. Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada wajib
pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagi tanda pengenal diri Wajib Pajak.
7. Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar wajib pajak untuk
menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu
jangka waktu tertentu.
8. Tahun Pajak adalah jangka waktu satu tahun kalender.
9. Bagian Tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu satu tahun pajak.
10. Pajak Yang Terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu bagian
tahun pajak.
11. Surat Pemberitahuan Pajak adalah surat yang oleh Wajib Pajak
digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak.
12. Surat Pemberitahuan Masa adalah surat pemberitahuan untuk suatu Masa
Pajak.
13. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah surat pemberitahuan untuk suatu
Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
14. Surat Setoran Pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang
telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau dengan cara lain.
15. Surat Ketetapan Pajak adalah surat ketetapan yang berhubungan dengan
pembayaran pajak.
16. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar adalah surat ketetapan yang
menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit pajak, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya administrasi, dan jumlah
yang masih harus dibayar.
17. Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan adalah surat ketetapan
pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan.
18. Surat Ketetapan Pajak Nihil adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah pokok pajak sama besarnya dengan jumlah kredit pajak
atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit pajak.

4
19. Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar adalah surat ketetapan pajak yang
menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak.
20. Surat Tagihan Pajak adalah surat untuk melakukan tagihan pajak dan/atau
sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
21. Surat Paksa adalah surat perintah membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak.
22. Kredit Pajak untuk Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibayar sendiri
oleh Wajib Pajak ditambah dengan pokok pajak terutang dalam Surat
Tagihan Pajak karena Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau
kurang dibayar, ditambah dengan pajak yang dipotong atau dipungut,
ditambah dengan pajak atas penghasilan yang dibayar atau terutang diluar
negeri, dikurangi dengan pengembalian pendahuluan kelebihan pajak yang
dikurangkan dari pajak yang terutang.
23. Kredit Pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai adalah Pajak Masukan
yang dapat dimasukkan dikurangi dengan pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak atau setelah dikurangi dengan pajak yang telah
dikompensasikan, yang dikurangkan dengan dari pajak yang terutang.
24. Pekerjaan Bebas adalah pekerjaan yang dilakukan orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus yang tidak terikat pada hubungan kerja.
25. Pemeriksaan adalah serangkaian kegiatan menghimpun dan mengolah
data, keterangan, dan/atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan
profesional untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan.
26. Bukti Permulaan adalah keadaan, perbuatan, dan/atau bukti berupa
keterangan, tulisan atau benda yang dapat memberikan petunjuk adanya
dugaan kuat bahwa sedang atau telah terjadi tindak pidana dibidang
perpajakan.
27. Pemeriksaaan Bukti Permulaan adalah pemeriksaan yang dilakukan
untuk mendapatkan bukti permulaan tentang adanya dugaan telah terjadi
tindak pidana dibidang perpajakan.
28. Penanggung Pajak adalah orang pribadi atau badan yang bertanggung
jawab atas pembayaran pajak.

5
29. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur
untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan untuk periode tahun
pajak tersebut.
30. Penelitian adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai
kelengkapan pengisian surat pemberitahuan dan lampiran-lampirannya
termasuk penilaian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya.
31. Penyidikan Tindak Pidana Dibidang Perpajakan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan
bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana dibidang
perpajakan.
32. Penyidik adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu dilingkungan
Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus untuk melakukan
penyidikan tindak pidana.
33. Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan yang membetulkan
kesalahan tulis, kesalahan hjitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan
tertentu dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
34. Surat Keputusan Keberatan adalah Surat keputusan atas keberatan
terhadap surat ketetapan pajak atau terhadap pemotongan atau pemungutan
oleh pihak ketiga yang diajukan oleh wajib pajak.
35. Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding
terhadap surat keputusan keberatan yang dijukan oleh wajib pajak.
36. Putusan Gugatan adalah putuasn badan peradilan pajak atas gugatan
terhadap hal-hal yang berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan dapat diajukan gugatan.
37. Putusan Peninjauan kembali adalah putusan mahkamah agung atas
permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh Wajib Pajak atau oleh
Direktur Jenderal Pajak terhadap putusan banding atau putusan gugatan dari
badan peradilan pajak.
38. Surat Keputusan Pengambilan Pendahuluan Kelebihan Pajak adalah
surat keputuasn yang menentukan jumlah pengembalian pendahuluan
kelebihan pajak untuk wajib pajak tertentu.

6
39. Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga adalah surat keputusan
yang menentukan jumlah imbalan bunga yang diberikan kepada Wajib
Pajak.
40. Tanggal dikirim adalah tanggal stempel pengiriman pos, tanggal faksimili,
atau dalam hal disampaikan secara langsung yaitu tanggal pada saat surat,
keputusan, atau putusan disampaikan secara langsung.
41. Tanggal diterima adalah tanggal stempel pos, tanggal faksimili, atau dalam
hal diterima secara langsung yaitu tanggal pada saat surat, keputusan, atau
putuasn disampaikan secara langsung. UU No. 28 tahun 2007 pada dasarnya
mengatur hak dan kewajiban Wajib Pajak, wewenang dan kewajiban aparat
pemungut pajak, serta sanksi perpajakan.

2.2.2 KEWAJIBAN WAJIB PAJAK

Berikut ini kewajiban wajib pajak menurut UU Nomor 28 Tahun 2007:

1. Mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah


kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan WP dan kepadanya
diberikan NPWP apabila telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif.
2. Melaporkan usaha pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan pengusaha dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha
Kena Pajak (PKP).
3. Mengisi SPT dengan benar, lengkap, dan jelas dalam bahasa Indonesia
dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata uang rupiah, serta
menandatangani dan menyampaikan ke kantor Direktorat Jenderal Pajak
tempat WP terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh
DJP.
4. Menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan
mata uang selain rupiah yang diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan
atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
5. Membayar atau menyetor pajak terutang dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP) ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

7
6. Membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
7. Menyelenggarakan pembukuan bagi WP orang pribadi yang melakukan
kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan, dan melakukan
pencatatan bagi WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas.
8. Memperlihatkan dan/atau meminjamkan buku atau catatan, dokumen yang
menjadi dasarnya, dan dokumen lain yang berhubungan dengan penghasilan
yang diperoleh, kegiatan usaha, pekerjaan bebas WP, atau objek yang
terutang.
9. Memberikan kesempatan untuk memasuki tempat atau ruang yang
dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan.
10. Memberikan keterangan lain yang diperlukan apabila diperiksa.

2.3 NOMOR POKOK WAJIB PAJAK

1. Pengertian
Nomor Pokok Wajib Pajak adalah suatu sarana administrasi perpajakan
yang dipergunakan sebagi tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak
2. Fungsi Nomor Pokok Wajib Pajak
1) Sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak.
2) Untuk menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan dalam
pengawasan administrasi perpajakan.
3. Pencantuman NPWP
NPWP harus dituliskan dalam setiap dokumen perpajakan, antara lain pada:
1) Formulir pajak yang digunakan Wajib Pajak
2) Surat menyurat dalam hubungannya dengan perpajakan
3) Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan
mencatumkan NPWP.
4. Pendaftaran NPWP
1) Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan berdasarkan sistem self-assessment,wajib mendaftarkan

8
diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya
meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak untuk
dicatat sebagai Wajib Pajak sekaligus untuk mendapatkan nomor
pokok Wajib Pajak. KUP: Pasal 2 ayat (2)
2) Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula untuk wanita
kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah
berdasarkan keputusan hakim atau dikehendaki secara tertulis
berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta. KUP:
Pasal 2 ayat (1)
3) Direktur jenderal pajak menErbitkan Nomor Wajib Pajak dan/atau
mengukuhkan pengusaha kena pajak secara jabatan apabila wajib
pajak atau pengusahakena pajak tidak melaksanakan kewajiban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/ atau ayat (2). KUP: Pasal
2 ayat (3)
4) Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi
jangka waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang
dan kewajiban mengenai pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran
NPWP tersebut adalah:
a) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak badan, paling lambat 1
(satu) bulan setelah usaha mulai dijalankan.
b) Bagi Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas apabila sampai dengan satu bulan
yang jumlahnya melebihi PTKP setahun, wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan
berikutnya.
5. Sanksi
Setiap orang yang dengan sengaja:
1) Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau
menyalahgunakan tanpa hak NPWP, sehingga dapat menimbulkan
kerugian pada pendapatan Negara, dipidana penjara paling singkat
6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali

9
pajak terutaang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak
4 kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. KUP:
Pasal 39 ayat (1) huruf a.
2) Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambahkan 1 kali
menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi
tindak pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun,
terhitung sejakselesainya menjalani pidana penjara yang
dijatuhkan. KUP: Pasal 39 ayat (2).
3) Setiap orang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dalam rangka
mengajukan permohonan restitusi atau melakukan kompensasi
pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun dan denda paling
sedikit 2 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4
kali jumlah restitusi tersebut.
4) Setiap orang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf b, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 2
tahun dan denda paling sedikit 2 kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang
dilakukan dan paling banyak 4 kali dari jumlah restitusi tersebut.
6. Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
1) Wajib Pajak orang pribadi meninggala dunia dan tidak
meninggalkan warisan;
2) Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek
pajak sudah selesai dibagi;

10
3) Wajib Pajak badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Bentuk Usah Tetap yang karena suatu hal kehilangan statusnya
sebagai bentuk usaha tetap.
5) Wajib Pajak orang pribadi lainnya, selain yang dimaksud dalam
huruf a dan huruf b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib
Pajak
7. Format NPWP
NPWP terdiri dari 15 digit, yaitu 9 digit pertama merupakan Kode Wajib
Pajak dan 6 digit berikutnya merupakan Kode Administrasi Perpajakan.
Berikut ini adalah salah satu contoh NPWP:
0 1 5 1 2 0 0 2 2 5 0 4 0 0 0

2.4 PENGUKUHAN PENGUSAHA KENA PAJAK

2.4.1 Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Setiap Wajib Pajak sebagai pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan UU


PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor
Direktorat Jendral Pajak yang wilayah kerjannya meliputi tempat tinggal
atau tempat kedudukan pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan
untuk dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak KUP:Pasal 2 Ayat (2)
2. Direktur Jendral Pajak dapat menetapkan:
1) Tempat pendaftaran dan/atau tempat pelaporan usaha selain yang
ditetapkan pada ayat (1) dan ayat (2); dan/atau
2) Tempat pendaftaran pada kantor Direktorat Jendral Pajak yang
wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal dan atau kantor Direktorat
Jendral Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat usaha
dilakukan, bagi wajib pahjak orang tertentu.
3. Jangka waktu melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai pengusaha
kena pajak adalah selambat-lambatnya 1 (satu) setelah saat usaha dimulai.

11
2.4.2 Fungsi Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

1. Sebagai identitas Pengusaha Kena Pajak yang bersangkutan;


2. Sebagai sarana pengawasan dalam melaksanakan hak dan kewajiban PK di
bidang PPN dan PPn-BM

2.4.3 Pencabutan Pengukuhan

PKP Pencabutan pengukuhan Pengusaha Kena Pajak dilakukan antara lain


dalam hal:

1. Pengusaha Kena Pajak pindah alamat


2. Wajib Pajak badan telah dibubarkan secara resmi
3. Tidak memenuhi syarat sebagai Pengusaha Kena Pajak

2.4.4 Sanksi

Setiap orang yang dengan sengaja :

1. Tidak mendaftarkan diri untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak


atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada
pendapatan negara, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)
bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
(empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. KUP :
Pasal 39 ayat (1) huruf a.
2. Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) ditambahkan 1 (satu) kali
menjadi 2 (dua) kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak
pidana dibidang perpajakan sebelum lewat 1 (satu) tahun, terhitung sejak
selesainya menjalani pidana penjara yang dijatuhkan. KUP: pasal 39 ayat
(2)
3. Setiap orang yang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
atau menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan
Pengusaha Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dalam
rangka mengajukan restitusi atau merlakukan kompensasi pajak atau
pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam)

12
bulan dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali
jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah restitusi yang
dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan. KUP:
Pasal 39 ayat (3)

2.5 SURAT SETORAN PAJAK

1. Pengertian Surat setoran pajak adalah bukti pembayaran atau penyetoran


pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah
dilakukan dengan cara lain ke kas negara melalui tempat pembayaran yang
ditunjuk oleh menteri keuangan. KUP: Pasal 1, angka 4
2. Fungsi Setoran Surat Pajak
1) Sebagai sarana untuk membayar pajak;
2) Sebagai bukti dan laporan pembayaran pajak.
3. Tempat Pembayaran dan Penyetoran Pajak
Wajib Pajak wajib membayar atau menyetora pajak yang terhutang dengan
mengguanakan Surat Setoran Pajak ke kas negara melalui tempat
pembayaran yang diatur atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
KUP : Pasal 10 ayat (1) Tempat pembayaran tersebut adalah:
1) Bank-bank yang ditunjuk oleh Direktorat Jendral anggaran
2) Kantor pos
4. Batas Waktu Pembayaran
Batas waktu pembayaran atau penyetoran diatur sebagai berikut :
1) Batas Waktu Pembayaran Masa:

No Jenis Pajak Batas Waktu Pembayaran dan


Penyetoran
1 PPh Pasal 21 Paling lambat tanggal 10 bulan takwin
berikutnya setelah masa pajak berakhit
2 PPh Pasal 21-impor Harus dilunasi sendiri oleh wajib pajak
bersamaan dengan pembayaran Bea
Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan

13
atau ditunda harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen impor
3 PPh Pasal 22- 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
Direktorat Jenderal dilakukan
Bea dan Cukai
4 PPh Pasal 22- Pada hari yang sama dengan pelaksanaan
Bendaharawan pembayaran
Pemerintah
5 PPh Pasal 22 dari Dilunasi sendiri oleh wajib pajak sebelum
penyerahan oleh Surat Pemerintah Pengeluaran Barang
pertamina (deliveryn order) ditebus
6 PPh Pasal 22 yang Paling lambat tanggal 10 bulan takwin
dipungut oleh badan berikutnya
tertentu
7 PPh Pasal 23 dan 36 Paling lambat tanggal 10 bulan takwin
berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak
8 PPh Pasal 25 Paling lambat tanggal 15 bulan takwin
berikutnya setelah bulan saat terutangnya
pajak
9 PPN dan PPn-Bm Paling lambat tanggal 15 bulan takwin
berikutnya setelah bulan masa pajak
berakhir
10 PPN dan PPn-Bm Harus dilunasi sendiri oleh oleh wajib
impor pajak bersamaan dengan pembayaran Bea
Masuk. Apabila Bea Masuk dibebaskan
atau ditunda, harus dilunasi pada saat
penyelesaian dokumen impor
11 PPN dan PPn-Bm 1 (satu) hari setelah pemungutan pajak
Direktorat Jenderal dilakukan
Bea dan Cukai

14
12 PPN dan PPn-Bm Paling lambat tanggal 7 bulan takwin
Bendaharawan berikutnya setelah masa pajak berakhir

2) Kekurangan pajak berdasar SPT (PPh pasal 29)


Harus dibayar lunas selambat-lambatnya tanggal 25 bulan ketiga
setelah Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak berakhir
3) STP, SKPKB, SKPKBT, Surat Pembetulan Kesalahan,
Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding, yang
menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah:
a) Harus dilunasi selambat-lambatnya satu bulan sejak
diterbitkannya surat-surat tersebut. Dalam hal tanggal
pembayaran atau penyetoran jatuh pada hari libur, maka
pembayaran atau penyetoran harus dilakukan pada hari kerja
berikutnya.
b) Sanksi: Apabila atas pajak yang terutang menurut Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan tambahan jumlah pajak yang
harus dibayar berdasarkan Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, atau Putusan Banding, pada saat jatuhn
tempo pembayaran tidak atau kurang dibayar, maka atas jumlah
pajak yang tidak atau kurang dibayar itu, dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2 % sebulan untuk seluruh
masa, yang dihitung dari tanggal jatuh tempo sampai dengan
tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya surat tagihan
pajak, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
KUP: pasal 19 ayat (1).
c) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan mengangsur atau
menunda pembayaran pajak, juga dikenakan bunga sebesar 2%
sebulan, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
KUP: pasal 19 ayat (2).
d) Dalam hal Wajib Pajak diperbolehkan menunda penyampaian
Surat Pemberitahuan dan ternyata penghitungan sementara

15
pajak yang terutang sebagaimana dimaksud pada pasal 3 ayat
(5) kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, maka
atas kekurangan pembayaran pajak tersebut dikenakan bunga
sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat berakhirnya
kewajiban menyampaikan surat pemberitahuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 3 ayat (3) huruf b sampai dengan tanggal
dibayarnya kekurangan pembayaran tersebut, dan bagian dari
bulan dihitung sebulan penuh. KUP: pasal 19 ayat (3).

2.6 SURAT PEMBERITAHUAN

1. Pengertian
Surat Pemberitahuan adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak, objek pajak dan/atau
bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan perpajakan. KUP:pasal 1, angka 11
2. Fungsi Surat Pemberitahuan (SPT)
1) Fungsi SPT bagi wajib pajak PPh:
a) Sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang
sebenarnya terutang;
b) Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang
telah dilakukan sendiri dan/atau melalui pemotongan atau
pemungutan pajak lain dalam satu tahun pajak;
c) Untuk melaporkan pembayaran pemotongan atau pemungut
tentang pemotongan atau pemungutan pajak orang pribadi
atau badan lain dalam masa pajak yang ditentukan
berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
2) Fungsi SPT bagi pengusaha kena pajak
a) Sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah PPN dan
PPn-BM yang seharusnya terutang;

16
b) Untuk melaporkan pengkreditan Pajak Masukan terhadap
Pajak Keluaran;
c) Untuk melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak yang
telah dilaksanakan oleh Pengusaha Kena Pajak dan/atau
melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak yang telah
ditentukan oleh peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku.
3) Fungsi SPT bagi pemotong atau pemungut pajak :
Sabagai sarana untuk malaporkan dan mempertanggungjawabkan
pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkannya Kewajiban
terhadap SPT Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat
Pemberitahuan dengan benar, lengkap, dan jelas, dalam bahasa
Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan
mata uang Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke
kantor Direktorat Jendral Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar atau
dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jendral
Pajak. KUP: Pasal 3 ayat (1)
3. Batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan adalah
1) Batas waktu pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk
suatu saat atas Masa Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan
dengan batas waktu tidak melewati 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau Masa Pajak berakhir.
2) Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lambat sebelum SPT disampaikan.
3) Jangka waktu pelunasan surat ketetapan pajak untuk Wajib Pajak
usaha kecil dan Wajib Pajak di daerah tertentu paling lama 2 bulan.
4. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak
Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda administrasi
bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung dari jatuh tempo
pembayaran. Wajib Pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau
menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat
merugikan negara yang dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana

17
tetapi dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak
yang kurang dibayar.

2.7 HAK – HAK WAJIB PAJAK

1. Memperpanjang Jangka Waktu Penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan


1) Wajib Pajak dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud
Pasal 3 ayat (3) paling lama 2 bulan dengan cara menyampaikan
pemberitahuan tertulis atau dengan cara lain kepada Direktur Jendral
Pajak yang ketemtuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Menteri Keuangan.
2) Pemberitahuan tersebut harus dusertai dengan penghitungan
sementara pajak yang terhutang dalam 1 Tahun Pajak dan Surat
Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan pembayaran
pajak yang terutang yang ketentuannya diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. KUP: Pasal 3 ayat (4)
dan ayat (5).
2. Hak Membetulkan Surat Pemberitahuan
1) Wajib Pajak dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jendral Pajak belum
melakukan tindakan pemeriksaan. KUP: Pasal 8 ayat (1).
2) Dalam hal pembetulan Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan
disampaikan paling lama 2 tahun sebelum daluwarsa penetapan.
KUP: Pasal 8 ayat (1a).
3) Walaupun Direktur Jendral Pajak telah melakukan pemeriksaan
dengan syarat Direktur Jemdral Pajak belum menerbitkan Surat
Ketetapan Pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat
mengungkapkan dalam laporan tersendiri tentang ketidakbenaran
pengisian Surat Pemberitahuan yang telah disampaikan sesuai
dengan keadaan yang sebenarnya, yang mengakibatkan:

18
a) Pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar
atau lebih kecil,
b) Rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil
atau besar,
c) Jumlah harta menjadi lebih besar atau lebih kecil d. Jumlah
modal menjadi lebih besar atau lebih kecil. KUP: Pasal 8
ayat (4).
3. Hak Mengangsur Atau Menunda Pembayaran Pajak
1) Direktur Jendral Pajak atas permohonan Wajib Pajak dapat
memberikan persetujuan untuk mengangsur atau menunda
pembayaran pajak, termasuk kekurangan pembayaran sebagaimana
diatur pada ayat (2) paling lama 12 bulan, yang pelaksanaannya
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. KUP:
Pasal 9 ayat (4).
2) Apabila Wajib Pajak mengalami kesulitan likuiditas atau mengalami
keadaan diluar kekuasaannya (force major), sehingga tidak dapat
memenuhi kewajiban pajaknya pada waktu yang telah ditentukan,
dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk mengangsur
atau menunda pembayaran pajak yang terutang dalam Surat Tagihan
Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat
Keputusan Keberatan, Putusan Banding, kepada Direktur Jendral
Pajak dalam hal ini Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar dengan syarat:
3) Diajukan sebelum saat jatuh tempo pembayaran hutang pajak
berakhir, kecuali untuk force major dapat diajukan setelah tanggal
jatuh tempo;
4) Menyatakan alas an-alasan penundaan pembayaran;
5) Menyatakan jumlah pajak yang dimohonkan untuk ditunda dan atau
diangsur.
4. Hak Memohon Restitusi

19
Atas permohonan Wajib Pajak, kelebihan pembayaran pajak sebagaimana
dimaksud dalam Pasl 17, Pasal 17B. Pasal 17C, atau Pasal 17D
dikembalikan, dengan ketentuan bahwa apabila ternyata Wajib Pajak
mempunyai hutang pajak, langsung diperhitungkan untuk melunasi terlebih
dahulu hutang pajak tersebut. KUP: Pasal 11 ayat (1).
5. Hak Memohon Pembetulan Surat Tagihan Pajak/Surat Ketetapan Pajak
Yang Salah
Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jendral
Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan
Pengurangan Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Penghapusan Sanksi
Administrasi, Surat Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, Surat Keputusan
Pemberian Imbalan Bunga, yang dalam penerbitannya terdapat kesalahan
tulis, kesalahan hitung, dan atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP: Pasal
16 ayat (1)
6. Hak Mengajukan Keberatan
1) Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur
Jendral Pajak atas sesuatu:
a) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar
b) Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan
c) Surat Ketetapan Pajak Nihil
d) Surat Ketetapan Pajak Lebuh Bayar
e) Pemotongan atau Pemungutan oleh pihak ketiga berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakn. KUP:
Pasal 25 ayat (1).
2) Keberatan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan
mengemukakan jumlah pajak terutang, jumlah pajak yang dipotong
atau dipungut, atau jumlah rugi menurut penghitungan Wajib Pajak
dengan disertai alasan yang menjadi dasar penghitungan. KUP:
Pasal 25 ayat (2)

20
7. Hak Mengajukan Banding
1) Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
Badan Peradilan Pajak atas Surat Keputusan Keberatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 ayat (1). KUP: Pasal 27
ayat (1).
2) Permohonan banding tersebut diajukan secara tertulis dalam bahasa
Indonesia, dengan alasan yang jelas paling lama 3 bulan sejak Surat
Keputusan Keberatan diterima dan dilampiri dengan salinan dari
Surat Keputusan Keberatan yang ditrbitkan. KUP: Pasal 27 ayat (3)

2.8 WEWENANG DAN KEWAJIBAN APARAT PERPAJAKAN

1. Wewenang:
Wewenang Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Dalam jangka waktu 5
tahun setelah terhutangnya pajak, atau berakhirnya masa pajak, bagian
tahun pajak, direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dalam hal sebagai berikut:
1) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak
yang terutang tidak atau kurang dibayar.
2) Apabila surat pemberitahuan tidak disampaikan dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat 3 dan setelah ditegur
secara tertulis tidak disampaikan pada waktu sebagaimana
ditentukan dalam surat teguran.
3) Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain
mengenai ppn dan ppn-bm ternyata tidak segera dikompensasikan
selisih lebih pajak atau tidak seharusnya dikenakan tarif 0 %.
4) Apabila kewajiban sebagaiman dimaksud dalam pasal 28 dan 29
tidak terpenuhi sehingga tidak dapat diketahui besarnya pajak yang
terhutang. KUP: pasal ayat 13 ayat (1).

Direkturat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang


Bayar Tambahan dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terhutangnya pajak, atau
berakhirnya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak, apabila ditemukan
data baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terhutang setelah

21
dilakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan surat ketetapan pajak
kurang bayar Tambahan. KUP: Pasal 15 ayat (1).

Jumlah kekurangan pajak yang terhutang dalam Surat Ketetapan Pajak


Kurang Bayar Tambahan ditambah dengan sangksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100 % dai jmlah kekurangan pajak tersebut. KUP: Pasal 15 ayat (2).

Atas permohonan Wajib Pajak atau karena jabatannya, Direktur Jenderal


Pajak dapat membetulkan Surat Ketetapan Pajak, Surat Tagihan Pajak, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Surat Keputusan Pengurangan
Sanksi Administrasi, Surat Keputusan Pengurangan Ketetapan Pajak, Surat
Keputusan Pembatalan Ketetapan Pajak, Surat Keputusan Pengembalian
Pandahuluan Kelebihan Pajak, atau Surat Keputusan Pemberian Imbalan Bunga,
Yang Dalam Penerbitannya Tedapat Kesalahan Tulis, Kesalahan Hitung. Dan atau
kekeliruan penetapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-undangan
perpajakan. KUP: Pasal 16 ayat (1)

2. Wewenang Menerbitkan Surat Tagihan Pajak


Direkturat Jenderal Pajak dapat menerbitkan Surat Tagihan Pajak apabila :
1) Pajak penghasilan tidak atau kurang dibayar;
2) Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak akibat
salah tulis atau salah hitung;
3) Wajib Pajak dikenakan sanksi administrasi berupa denda atau
bunga;
4) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak
tetapi tidak membuat faktur pajak, atau membuat faktur pajak tetapi
tidak tepat waktu;
5) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha yang kena
pajak yang tidak mengisi faktur pajak secara lengkap;
6) Pengusaha Kena Pajak yang melaporkan faktur pajak tidak sesuai
dengan masa penerbitan faktur pajak.
7) Pengusaha Kena Pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian Pajak Masukan. 3. Wewenang Melakukan Penagihan
Pajak

22
a) Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar,
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat
Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang
menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar
bertmbah, merupakan dasar penagihan pajak.
b) Tindakan pelaksanaan pajak yang terhutang sebagaimana
tercantum dalam pemenuhan kewajiban perpajakan. Surat
Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan, Keberatan, Putusan Banding
yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar
bertambah, tidak atau kurang dibayar, setelah lewat jatuh
tempo pembayaran pajak yang bersangkutan
c) Tindakan pelaksanaan penagihan sebagaimana yang
dimaksud dalam pasal 1 diawali dengan mengeluarkan surat
teguran oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak setelah tujuh
hari sejak jatuh tempo pembayaran.
3. Wewenang Melakukan Pemeriksaan
1) Dirjen Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji
kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan wajib pajak dan untuk
tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
2) Untuk keperluan pemeriksaan petugas pemeriksa harus memiliki
tanda pengenal pemeriksaan dan dilengkapi dngan surat perintah
pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada wajib pajak yang
diperiksa.
3) Pemeriksaan untuk menguji ketentuan pemenuhan kewajiban
perpajakan
4) Pemeriksaan untuk tujuan lain, dilakuakan jika ada indikasi tidak
terpenuhinya kewajiban salah satu ketentuan peraturan perundang –
undangan perpajakan.

23
4. Wewenang Melakukan Penyelidikan
1) Penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan hanya dapat
dilakukan oleh Pejabat PNS tertentu di lingkungan Dirjen Pajak
diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
2) Penyidik memberitahukan dimulainya penyidikan dan
menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum
melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara RI sesuai dengan ketentuan
yang diatur dalam Undang-Undang Acara Pidana.
5. Wewenang Melakukan Penyegelan
1) Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat
atau ruangan tertentu serta barang bergerak dan tidak bergerak,
apabila Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam pasal 29 ayat (3).
6. Wewenang Mengurangkan Atau Menghapuskan Sanksi Administrasi.
Direktur jenderal pajak karena jabatan atau atas permohonsn wajib pajak
dapat:
1) Mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa
bunga, denda, dan kenaikan pajak yang terhutang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dalam hal
sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan
karena kesalahannya;
2) Mengurangkan atau membatalkan Surat Ketetapan Pajak yang tidak
benar;
3) Mengurangkan atau membatalkan Surat Tagihan Pajak;
4) Membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan
7. Kewajiban:
1) Kewajiban Menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
a) Direktur Jendral Pajak, setelah melakukan pemeriksaan,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar, apabila

24
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak
yang terhutang. KUP: Pasal 17
b) Direktur Jendral Pajak, setelah melakukan pemeriksaan,
menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Nihil, apabila jumlah
kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar sama dengan
jumlah pajak yang terutang atau pajak tidak terutang dan
tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
KUP: PASAL 17 A
c) Direktur Jendral Pajak setelah melakukan pemeriksaan atas
permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak,
selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran
pajak dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17C dan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17D, harus menerbitkan Surat Ketetapan Pajak paling lama
12 bulan setelah sejak surat permohonan diterima secara
lengkap. KUP: Pasl 17B ayat (1).
2) Kewajiban Memberikan Keputusan
a) Direktur Jendral Pajak dalam jangka waktu paling lama 12
bulan sejak tanggal Surat Keberatan diterima, harus memberi
keputusan atas keberatan yang diajukan. KUP: Pasal 26 ayat
(1).
b) Keputusan Direktur Jendral Pajak atas keberatan dapat
berupa mengabulkan seluruhnya atau sebagian, menolak
atau menambah besarnya jumlah pajak yang masih harus
dibayar. KUP: Pasal 26 ayat (3).
3) Kewajiban Memberikan Keterangan
Apabila diminta oleh Wajib Pajak untuk keperluan mengajukan
keberaytan, Direktur Jendral Pajak wajib memberikan keterangan
secara tertulis hal-hal yang menjadi dasar pengenaan pajak,
penghitungan rugi pemotongan atau pemungutan pajak. KUP: Pasal
25 ayat (6).
4) Kewajiban Menjaga Kerahasiaan Data

25
a) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain
segala sesuatu yang dilakukan yang diketahui kepadanya
oleh Wajib Pajak atau pekerjaannya untuk menjalankan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. KUP:
Pasal 34 ayat (1).
b) Larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku
juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jendral
Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan. KUP: Pasal 34 ayat (2).
c) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dan ayat (2) adalah:
a. Pejabat dan tenaga ahli yang bertindak sebagai saksi
atau saksi ahli dalam sidang pengadilan.
b. Pejabat dan/atau tenaga ahli yang ditetapkan oleh
Menteri Keuangan untuk memberikan keterangan
kepada pejabat Lembaga Negara atau Instansi
Pemerintahan yang berwenang melakukan pemeriksaan
dalam bidang keuangan. KUP: Pasal 34 ayat (2a).

2.9 DALUARSA PENAGIHAN PAJAK

1. Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga denda, kenaikan,


dan penagihan pajak, daluwarsa setelah melampui waktu 5 tahun terhitung
sejak penerbitan surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak kurang bayar,
Surat Keputusan Pembetulan
2. Daluwarsa penagihan Pajak sebagai mana di maksut pada ayat (1)
tertangguh apabila:
1) Diterbitkan Surat Paksa
2) Ada Pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun
tidak langsung
3) Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagai mana di
maksut dalam Pasal 13 ayat (5)
4) Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan lain-lain.
Lain-lain:

26
a) Setip instansi pemerintahan, lembaga, asosiasi dan pihak
lain, wajib membeirkan data dan informasi yang berkaitan
dengan perpajakan kepada direktoral wajib pajak yang
ketentuan-ketentuannya di atur degan peraturan pemerintah
dengan memperhatikan ketentuan sebagai mana dimaksut
dalam pasal 35 ayat (2).
b) Dalam hal data dan informasi sebagai mana di maksut pada
ayat (1) tidak mencakupi, Direktur Jenderal Pajak
berwenang menghimpun data dan informasi untuk
kepaentingan penerimaan yang ketentuan duatur dengan
peraturan pemerintah degan memperhatikan ketentuan
dalam pasal 35 ayat (2). KUP:pasal 35 ayat (2). Sanksi:
a. Setiap orang harus memberikan keterangan atau
bukti yang di minta dalam Pasal 35 tetapidengan
sengaja tidak memberi keterangan atau bukti,
dipidana dengan pidana kurung paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak Rp.25.000.000,00. KUP:
Pasal 41A
b. Setiap orang degan segaja menghalagi dan
mempersulit penyidikan tindak pidana di pidang
perpajakan, dipidana dengan pidana kurung paling
lama 3 tahun dan denda paling banyak
Rp75.000.000,00. KUP: Pasal 41B
c. Setiap orang yang dengan segaja tidak memenuhi
kewajiban yang sesuai dalam pasal 35 ayat (1),
dipidana dengan pidana kurung paling lama 1 tahun
dan denda paling banyak Rp1.000.000,00. KUP:
Pasal 41C
d. Setiap orang dengan segaja menyebabkan tidak
terpanuhinya kewajiban pejabat dan pihak lain yang
sesuai dalam pasal 35A ayat (1), dipidana dengan

27
pidana kurung paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp 8000.000,00. KUP: Pasal 41C
e. Setiap orang yang degan segaja tidakmemberikan
data dan informasi yang di minta Direktur Jendral
Pajak yang sesuai dalam pasal 35A ayat (2), dipidana
dengan pidana kurung paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp8000.000,00. KUP: Pasal
41C
f. Setiap orang yang dengan segaja menyalah gunakan
data dan informasi perpajakan sehingga
menimbulkan kerugian pada negara, dipidana dengan
pidana kurung paling lama 10 tahun dan denda paling
banyak Rp8000.000,00. KUP: Pasal 41C

28
BAB III

PENUTUPAN

3.1 KESIMPULAN

Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara terbesar yang


diperoleh dari kontribusi rakyat yang bersifat memaksa berdasarkan undang-
undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk
kemakmuran negara. Ketentuan Umum Perpajakan meliputi pengertian, fungsi
pajak, pengelompokkan pajak, jenis-jenis pajak serta tata cara pemungutan pajak.

29
DAFTAR PUSTAKA

Perpajakan Dan PRAKTIKUM, week: Pertemuan 2: Ketentuan Umum Dan Tata


Cara Perpajakan (KUP). (n.d.). LMS-SPADA INDONESIA.
https://lmsspada.kemdikbud.go.id/course/view.php?id=3409§ion=3

30
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pajak penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada
masyarakat yang berpenghasilan atau atass penghasilan yang diterima atau
yang diperolehnya dalam tahun pajak, untuk kepentingan negara dan
masyarakat dalam hidup berbangsa dan bernegara sebagai suatu kewajiban
yang harus dilaksanakan. Sistem pemotongan dan pemungutan pajak di
indonesia, khususnya pajak penghasilan. Menganut Self Assesment System
yaitu sistem perpajakan yang memberi kepercayaan dan tanggung jawab
kepada masyarakat Wajib Pajak (penerima penghasilan) untuk menghitung,
membanyar, dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang harus dibanyar.

Salah satu jenis pajak yang dikenakan adalah pajak penghasilan 21 atau
PPh Pasal 21, PPh 21 merupakan pajak yang terutang atas penghasilan yang
menjadi kewajiban wajib pajak untuk membanyarnya. Penghasilan yang
dimaksud adalah berupa gaji, honorarium, tunjangan, dan pembanyaran
lain dengan nama apaun sehubungan dengan pekerjaan, jasa, atau kegiatan
yang dilakukan oleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi dalam negeri
sebagaimana telah diatur dalam pasal 21 Undang- undang No.7 tahun 2000
sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang No. 36 tahun 2008.

Subyek dari pajak PPh 21 adalah pegawai atau karyawaan, adalah setiap
orang pribadi yang melakukan pekerjaan atau memperoleh penghasilan
yang lebih dari cukup yang diwajibkan untuk melakukan memotong,
menyetor, dan melaporkan PPh 21. Sedangkan objek PPh 21 adalah setiap
tambahan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak yang bersangkutan,
dengan nama atau bentuk apapun, yaitu penghasilan secara tertaur, upah
harian, dan dll. Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan 21 adalah Pasal
21 Undang-Undang penghasilan, peraturan Direktur Jendral Pajak
Penghasilan nomor per31/Pj/2009 tentang pemotongan, penyetoran, dan
pelaporan pajak yang telah diubah per57/Pj./2009. Peraturan pemerintah
nomor 68 tahun 2009 tentang pemotongan PPh pasal 21 atas penghasilan

31
berupa uang pesangon, uang tebusan pensiun, dan tunjangan hari tua (THT)
atau jaminan hari tua (JHT). Ketentuan aturan pelaksanaan tersebut akan
selalu dilakukan pembaruan dengan sejalan diberlakukannya undang-
undang pajak penghasilan.

B. RUMUSAN MASALAH

Beberapa pokok yang akan dibahas ddalam makalah ini adalah sebagai
berikut :

1. Apa pengertian dari PPh Pasal 21?


2. Apa yang dimaksud dengan subjek PPh pasal 21?
3. Apa yang dimaksud tarif pemotongan PPh Pasal 21?
4. Apa yang dimaksud dengan dasar pengenaan pajak?
5. Apa yang dimaksud dngan penghasilan tidak kena pajak?
6. Bagaimana tata cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal 21?
7. Bagaimana contoh perhitungan PPh Pasal 21?

C. TUJUAN PENULISAN
Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Menyelesaikan tugas yang diberikan oleh Dosen Mata Kuliah Perpajakan
2. Untuk mengetahui apa pengertian dari PPh Pasal 21
3. Untuk mengetahui Subjek PPh Pasal 21
4. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan tarif peotongan PPh Pasal 21
5. Untuk mengetahui dasar pengenaan pajak
6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan penghasilan tidak kena pajak
7. Untuk mengetahui bagaimana cara pemotongan dan pengenaan PPh Pasal
21
8. Untuk mengetahui contoh perhitungan PPh Pasal 21

32
BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN PPH PASAL 21


Pajak Penghasilan Pasal 21 merupakan cara pelunasan Pajak Penghasilan
dalam tahun berjalan melalui pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak Orang Pribadi dalam negeri sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, dan kegiatan sesuai dengan Peraturan Direktur Jenderal Pajak
nomor 31/PJ/2012 tentang Pedoman Teknis Tata Cara Pemotongan, Penyetoran,
dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pajak Penghasilan Pasal 26
sehubungan dengan pekerjaan, jasa, dan kegiatan orang pribadi.

PPh 21 menurut Peraturan Direktur Jenderal (Perdirjen) Pajak Nomor PER-


32/PJ/2015 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium, tunjangan,
dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun yang sehubungan
dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh orang pribadi
subjek pajak dalam negeri.

B. SUBJEK PPH PASAL 21

Wajib pajak PPh Pasal 21 adalah orang yang dikenai pajak atas
penghasilannya atau penerima penghasilan yang dipotong PPh21 berdasarkan
Perdirjen PER-32/PJ/2015 Pasal 3 wajib pajak PPh 21. Jika disimpulkan peserta
wajib pajak terbagi menjadi 6 kategori, antara lain pegawai, bukan pegawai,
penerima pensiun dan pesangon, anggota dewan komisaris, mantan pegawai dan
peserta kegiatan. Secara lebih rinci peserta wajib pajak adalah sebagai berikut:
a. Pegawai;

b. Penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun,


tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya
juga merupakan wajib pajak PPh Pasal 21
c. Wajib pajak PPh Pasal 21 kategori Bukan Pegawai yang menerima atau
memperoleh penghasilan sehubungan dengan pemberian jasa, meliputi:

33
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri
dari pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris,
penilai, dan aktuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang
film, bintang

sinetron, bintang iklan, sutradara, kru fiml, foto model,


peragawan/peragawati, pemain drama, penari, pemahat, pelukis,
dan seniman lainnya;

3. Olahragawan;

4. Penaasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh, dan


moderator;

5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;

6. Pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik,


computer dan sistem aplikasinya, telekomunikasi,
elektronika, fotografi, ekonomi dan sosial serta pemberi jasa
kepada suatu kepanitiaan;
7. Agen iklan;

8. Pengawas atau pengelola proyek;

9. Pembawa pesanan atau menemukan langganan atau yang menjadi


perantara;
10. Petugas penjaja barang dagangan;

11. Petugas dinas luar asuransi; dan/atau

12. Distributor perusahaan multilevel marketing atau direct


selling dan kegiatansejenis lainnya.
d. Anggota dewan komisaris atau dewan pengawas tidak merangkap
sebagaiPegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
e. Mantan pegawai; dan/atau

f. Wajib pajak PPH Pasal 21 kategori peserta kegiatan yang menerima


atau memperoleh penghasilan sehubungan dengan

34
keikutsertaannya dalam suatu kegiatan, antara lain:

1. Peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain


perlombaan olahraga, seni, ketangkasan, ilmu
pengetahuan, teknologi, dan perlombaan lainnya;
2. Peserta rapat, konferensi, sidang, pertemuan, atau kunjungan kerja;

3. Peserta atau anggota dalam suatu kepanitiaan sebagai


penyelenggara kegiatan tertentu;
4. Peserta pendidikan dan pelatihan; atau

5. Peserta kegiatan lainnya

C. TARIF PEMOTONGAN PPH PASAL 21


Adapun perubahan ketentuan perpajakan yang cukup menonjol
adalah tarif pajak orang pribadi yang sebelumnya diatur dalam Pasal 17 UU
Pajak Penghasilan (UU PPH). Jika penerima penghasilan tidak memiliki
NPWP, maka dikenakan tariff lebih tinggi 20% dari tariff normalBerikut ini
adalah dafar tarif PPh Pasal 21 yang berlaku :

PENGHASILAN KENA PAJAK (PKP) TARIF PAJAK


Sampai dengan Rp. 60.000.000 5%
Rp. 60.000.000 s/d Rp. 250.000.000 15%
Rp. 250.000.000 s/d Rp. 500.000.000 25%
Rp. 500.000.000 s/d Rp. 5.000.000.000 30%
Di atas Rp. 5.000.000.000 35%

D. DASAR PENGENAAN PAJAK


Dasar pengenaan dan pemotongan pajak PPh 21 adalah bagian dari
penghasilan wajib pajak yang dikenakan tarif pajak PPh 21. Dengan kata
lain, besaran pajak adalah hasil kali DPP dengan tarif pajak.
Tarif pajak dikenakan terhadap Dasar Pengenaan Pajak sebagai berikut :

 Pegawai Tetap/Penerima Pensiun

PEGAWAI TETAP PENERIMA PENSIUN


Gaji, Tunjangan, Premi Asuransi Uang Pensiun Berkala
Dibayar Pemberi Kerja
DIKURANGI DIKURANGI

35
1. Biaya jabatan, 5% dari Biaya pension, 5% dari penghasilan
penghasilan bruto maks Rp. bruto maks Rp. 2.400.000 per tahun
6.000.000 per tahun atau Rp. atau Rp. 200.000 per bulan
500.000 per bulan
2. Iuran pension, THT/JHT yang
dibayar sendiri
Penghasilan Neto (setahun/disetahunkan)
Dikurangi PTKP
Penghasilan Kena Pajak
Dikenakan Tarif Pasal 17
 Pegawai Tidak Tetap/ Pekerja Harian Lepas
UPAH BULANAN, HARIAN/MINGGUAN, SATUAN, BORONGAN
No Upah Akumulasi Upah Penghitungan PPH Pasal 21
Harian Bulanan
1 - >Rp. 4,5 juta Tarif x (Penghasilan Bruto -
PTKP Bulanan)
2 <Rp. <Rp. 4,5 juta Tidak dikenakan PPh Pasal 21
450.000
3 >Rp. <Rp. 4,5 juta Tarif x (Penghasilan Bruto - 450
450.000 ribu)
4 <Rp. <Rp.4,5 juta x Tarif x (Penghasilan Bruto –
450.000 <Rp.10,2 juta PTKP harian sesuai jumlah hari
>Rp. kerja)
450.000
5 <Rp. >Rp. 10,2 juta Tarif x DPP
450.000
>Rp.
450.000

 Bukan Pegawai

No Jenis Penghitungan
1 Berkesinambungan (memiliki NPWP dan Tarif x (50% penghasilan
hanya menerima penghasilan dari 1 pemberi bruto – PTKP bulanan)
kerja) *Dihitung secara
kumulatif
2 Berkesinambungan Tarif x 505 penghasilan
bruto
*Dihitung secara
kumulatif
3 Tidak Berkesinambungan Tarif x 50% penghasilan
bruto

36
Kelompok bukan pegawai

 Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan keras (pengacara, notaris,


dokter,akuntan)
 Seniman (musisi, penyanyi, comedian, sutradara, model, penari,
pelukis )
 Olahragawan
 Pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh
 Pengarang, peneliti, penerjemah

E. PENGHASILAN TIDAK KENA PAJAK


PTKP atau Penghasilan Tidak Kena Pajak berfungsi sebagai pengurang
penghasilan neto wajib pajak. Sehingga, dalam perhitungan PPh 21 PTKP menjadi
angka yang mengurangi pajak yang harus Anda bayar. Dengan adanya PTKP orang
dengan pendapatan di bawah PTKP juga tidak terkena pajak penghasilan. PTKP
ditentukan oleh keadaan pada awal tahun pajak atau awal bagian tahun pajak.
Berikut ini adalah tarif PTKP yang berlaku:

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) Besarnya PTKP


Wajib pajak sendiri (Tidak Menikah) Rp. 54.000.000
Wajib pajak menikah (Kawin) Rp. 4.500.000
Istri yang penghasilannya digabung dengan Rp. 54.000.000
penghasilan suami
Tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan Rp. 4.500.000
keluarga semenda dalam garis keturunan lurus, anak
angkat, serta anak kandung paling banyak tiga (3)
orang

Untuk memudahkan memahami kode-kode PTKP yang tertera pada tabel di atas,
berikut ini penjelasannya:

1. PTKP Pria/Wanita Lajang (TK)


TK/0 Rp. 54.000.000
TK/1 Rp. 58.500.000
TK/2 Rp. 63.000.000
TK/3 Rp. 67.500.000
*Tidak Kawin/tanggungan

2. PTKP Menikah (K)


K/0 Rp. 58.500.000
K/1 Rp. 63.000.000
K/2 Rp. 67.500.000
K/3 Rp. 72.000.000
*Kawin/tanggungan

37
3. PTKP Suami Istri Digabung (K/I)
K/I/0 Rp. 112.500.000
K/I/1 Rp. 117.000.000
K/I/2 Rp. 121.500.000
K/I/3 Rp. 126.000.000
*Kawin/Istri/tanggungan

Tanggungan, yaitu :
1. Yang dimaksud dengan “anggota keluarga yang menjadi tanggungan
sepenuhnya” adalah anggota keluarga yang tidak mempunyai
penghasilan dan seluruh biaya hidupnya ditanggung oleh Wajib
pajak.
2. Anak angkat termasuk penambahan nilai PTKP. Pengertian anak angkat
dalam perundang-undangan pajak adalah seseorang yang belum dewasa,
bukan anggota keluarga semenda dalam garis keturunan lurus dan menjadi
tanggungan sepenuhnya dari wajib pajak yang bersangkutan
3. Contoh hubungan keluarga sedarah dan semenda:
a. Sedarah lurus : Ayah, ibu, anak kandung
b. Saudara ke samping : Saudara kandung
c. Semenda lurus : Mertua, anak tiri
d. Semenda ke samping : Saudara ipar
(Selain yang diatas tidak dapat dimasukkan ke dalam tanggungan)
PTKP Karyawati adalah :
1. Karyawati kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri.
2. Karyawati tidak kawin, sebesar PTKP untuk dirinya sendiri +
PTKP untuk keluarga yang menjadi tanggungan sepenuhnya.
3. Karyawati kawin mempunyai surat keterangan tertulis dari
Pemerintah Daerah setempat serendah-rendahnya kecamatan
yang menyatakan suaminya tidak menerima/ memperoleh
penghasilan, besarnya PTKP adalah PTKP untuk dirinya sendiri
+ PTKP status kawin + PTKP untuk keluarga yang menjadi
tanggungan sepenuhnya.
F. Tata Cara Pemotongan dan Pengenaan PPh Pasal 21

Uang Pesangon adalah penghasilan yang dibayarkan oleh pemberi kerja


termasuk Pengelola Dana Pesangon Tenaga Kerja kepada pegawai, dengan

38
nama dan dalam bentuk apapun, sehubungan dengan berakhirnya masa
kerja atau terjadi pemutusan hubungan kerja, termasuk uang penghargaan
masa kerja dan uang penggantian hak.

Uang Manfaat Pensiun adalah penghasilan dari manfaat pensiun yang


dibayarkan kepada orang pribadi peserta dana pensiun secara sekaligus
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang dana pensiun
oleh Dana Pensiun Pemberi Kerja atau Dana Pensiun Lembaga Keuangan
yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan.

Tunjangan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh


badan penyelenggara tunjangan hari tua kepada orang pribadi yang telah
mencapai usia pensiun.

Jaminan Hari Tua adalah penghasilan yang dibayarkan sekaligus oleh


badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja kepada orang pribadi yang
berhak dalam jangka waktu yang telah ditentukan atau keadaan lain yang
ditentukan.

1. Uang pesangon, uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan


jaminan hari tua yang dibayarkan sekaligus Atas uang pesangon,
uang manfaat pensiun, tunjangan hari tua, dan jaminan hari tua
yang dibayarkan sekaligus, dikenakan pemotongan Pajak
penghasilan Pasal 21 yang bersifat final.

Tarif PPh pasal 21 untuk penghasilan berupa uang pesangon diberlakukan


kumulatif bersifat final;

Lapisan Penghasilan Kena Tarif Pajak


Pajak

Sampai dengan Rp. 50 juta 0%

Di atas Rp. 50 juta s/d Rp. 5%


100 juta

Di atas Rp. 100 juta s/d Rp. 15%


500 juta

39
Di atas Rp. 500 juta 25%
Tabel 4. Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang pesangon
Diterapkan atas jumlah kumulatif uang pesangon yang dibayarkan sebagian
atau seluruhnya dalam jangka waktu paling lama 2 tahun kalender.

Tarif PPh pasal 21 untuk penghasilan berupa uang manfaat pensiun, tunjangan
hari tua, atau jaminan hari tua diberlakukan kumulatif bersifat final:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp. 50 juta 0%
Di atas Rp. 50 juta 5%
Tabel 5. Tarif PPh Pasal 21 atas penghasilan berupa uang manfaat pensiun

Diberlakukan atas jumlah kumulatif uang mandaat pensiun,


tunjangan hari tua, atau jaminan hari tua yang dibayarkan sebagian atau
seluruhnya dalam jangka waktu paling lama Dua (2) tahun kalender.

2. Honorium bagi pejabat negara, PNS, anggota TNI, anggota POLRI Atas
honorium atau imbalan lain dengan nama apapun yang menjadi beban
APBN atau APBD yang diterima oleh penjabat negara, PNS, anggota TNI,
anggota POLRI, dan pensiunannya dikenakan Pajak Penghasilan Pasal 21
bersifat finaldengan tariff ditentukan sebagai berikut :
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
PNS Golongan I dan Golongan II, Sebesar 0% dari jumlah bruto
Anggota TNI, dan Anggota POLRI honorium atau imbalan lain
Golongan Pangkat
Tamtama dan Bintara, dan
pensiunannya
PNS Golongan III, Anggota TNI dan Sebesar 5% dari jumlah bruto
Anggota POLRI Golongan Pangkat honorium atau imbalan lain
Perwira Pertama,
dan pensiunannya
Penjabat Negara, PNS Golongan IV, Sebesar 15 % dari jumlah bruto
Anggotan TNI dan Anggota POLRI honorium atau imbalan lain
Golongan Pangkat
Perwira Menengah dan Perwira Tinggi,
dan pensiunannya

40
G. Contoh Perhitungan PPh Pasal 21

Supriyadi seorang PNS Golngan IV/a status kawin mempunyai 2 orang anak ,
memiliki NPWP dan pada bulan Maret 2017 memiliki gaji pokok Rp 4.000.000,
tunjangan istri 10%, tunjangan anak 5% per anak, serta tunjangan fungsional
Rp 3.000.000. Berapakah PPh terurang Supriadi pada tahun 2017?

Penerimaan:
Gaji Pokok Rp 4.000.000
Tunjangan Istri Rp 400.000
Tunjangan Anak Rp 400.000
Tunjangan Fungsional Rp 3.000.000
Penghasilan Bruto Rp 7.800.000
Pengurangan :
Biaya Jabatan
(5% × Rp Rp 390.000
7.800.000)
Biaya Pensiun
(4,57% × Rp 7.800.000) Rp 370.500
Total Pengurangan Rp 760.500
Untung Neto Rp 7.039.500
Penghasilan Neto
Disetahunkan
(12 × Rp 7.039.500) Rp 84.474.00
0
PTKP (K/2)
Untuk WP Pribadi Rp 54.000.00
0
Status WP Kawin Rp 4.500.000
Tambahan 2 orang Rp 4.500.000
Total PTKP Rp 67.500.00
0
Penghasilan Kena Pajak Rp 16.974.00
0
PPh Pasal 21 atas gaji
setahun
(5% × Rp 16.974.00) Rp 848.700
PPh Pasal 21 atas gaji
perbulan
(12 × Rp 848.700) Rp 70.725

41
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa, PPh Pasal


21 merupakan pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pemotong PPh
pasal 21 adalah setiap orang pribadi atau badan yang diwajibkan oleh UU
No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 17 tahun 2000 dan terbaru pada tahun 2013 untuk
memotong PPh Pasal 21.

B. SARAN

Dari uraian pembahasan diatas penulis menyarankan kepada


pembaca sekalian agar manfaat dari pembahasan mengenai Pajak
Penghasilan Pasal 21 dapat memberikan wawasan positif. Dimana sisi
positif dari uraian tersebut bisa dijadikan sebagai bahan untuk menambah
pengetahuan tentang Pajak Penghasilan Pasal 21 tersebut dan sisi kurang
baiknya bisa dijadikan sebagai bahan pembelajaran untuk menjadi lebih baik
lagi. Untuk itu, penulis sangat mengharapkan saran dari pembaca

42
DAFTAR PUSTAKA

https://jurnal.pnj.ac.id/index.php/ekbis/article/view/2395/pdf

https://www.cermati.com/artikel/pph-pasal-21-apa-itu-and-cara-
menghitungnya

https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/kotabumi/id/informasi/perpajakan/
pph-pasal-21.html

43
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Indonesia merupakan negara yang kaya akan budaya dan sumber dana
alamnya. Pada saat ini, indonesia mengalami perkembangan yang mendorong
pemerintah untuk melakukan perubahan di segala sektor demi meningkatkan
pendapatan atau kas negara guna membiayain pembangunan dana biaya-biaya
negara dalam rangka menyelenggarakan perubahan tersebut, pastilah memerlukan
dana yang tidak sedikit, dana tersebut berasal dari APBN dan APBD, dimana
sebagian besar bersumber pada penerimaan pajak. dalam hal ini menjelaskan bahwa
pajak memiliki peranaan yang sangat penting dalam kehidupan bernegara,
khususnya di dalam pelaksanaan pembangunan pajak merupakan salah satu sumber
pendapatan negara yang ada untuk membiayai pengeluaran termasuk pengeluaran
untuk meningkatkan pembangunan. Pajak Penghasilan merupakan pajak yang di
pungut oleh bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah, instansi atau lembaga pemerintah atau lembaga lembaga negara lain
berkenan dengan pembayaran atas penyerahan barang. Badan-badan tertentu yang
berkenan dengan kegiatan di bidang impor atau kegiatan usaha di bidang lainnya .
Dasar Hukum PPh Pasal 22 Adalah UU Pajak Penghasilan Nomor 36 Tahun 2008.
Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak yang dipotong atas penghasilan yang
berasal dari modal, penyerahan jasa, atau hadiah dan penghargaan, selain yang
telah dipotong PPh pasal 21.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. PPh Pasal 22
1. Apa pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
2. Bagaimana pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22
b. PPh Pasal 23
1. Apa pengertian Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

44
2. Bagaimana pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 23

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

Agar mengertahui tentang Pajak Penghasilan baik itu Pasal 22 maupun


Pajak Penghasilan pasal 23.

BAB II

PEMBAHASAN

Pajak
Djajadiningrat yang dikutip oleh Resmi (2009: 1) menyatakan bahwa pajak sebagai
suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang
disebabkan suatu keadaan, kejadian, dan perbuatan yang memberikan kedudukan
tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan
pemerintah serta dapat dipaksakan, tetapi tidak ada jasa timbal balik dari Negara
secara langsung, untuk memelihara kesejahteraan secara umum”.
Adriani yang dikutip oleh Sumarsan (2012: 3) menjelaskan bahwa pajak adalah
iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang
wajib membayarnya menurut peraturan- peraturan umum (Undang-undang) dengan
tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Penghasilan
Penghasilan didefinisikan sebagai peningkatan manfaat ekonomi selama satu
periode akuntansi tertentu dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau
penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikan ekuitas yang tidak berasal dari
kontribusi penanaman modal. Berdasarkan definisi ini, penghasilan meliputi
pendapatan (revenues) maupun keuntungan (gains). Pendapatan (revenues) timbul
dari pelaksanaan aktivitas perusahaan yang bisa dikenal dengan sebutan yang
berbeda seperti penjualan, penghasilan jasa (fees), bunga, dividen, royalti dan sewa.
Pajak Penghasilan

45
Radianto (2010: 1) menyatakan bahwa pajak penghasilan adalah pajak yang
dikenakan terhadap subyek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya
dalam tahun pajak. Supramono dan Damayanti (2010: 37) menyatakan bahwa pajak
penghasilan adalah suatu pungutan resmi yang ditujukan kepada masyarakat yang
berpenghasilan atau atas penghasilan yang diterima/diperoleh dalam tahun pajak
untuk membiayai pengeluaran- pengeluaran negara.
A. Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22)

Menurut UU Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 36 tahun 2008, Pajak Penghasilan


Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah bentuk pemotongan atau pemungutan pajak yang
dilakukan satu pihak terhadap wajib pajak dan berkaitan dengan kegiatan
perdagangan barang. Mengingat sangat bervariasinya obyek, pemungut, dan
bahkan tarifnya, ketentuan PPh Pasal 22 relatif lebih rumit dibandingkan dengan
PPh lainnya, seperti PPh 21 atau pun PPh 23.Pada umumnya, PPh Pasal 22
dikenakan terhadap perdagangan barang yang dianggap "menguntungkan",
sehingga baik penjual maupun pembelinya dapat menerima keuntungan dari
perdagangan tersebut. Karena itulah, PPh Pasal22 dapat dikenakan baik saat
penjualan maupun pembelian. Pajak Penghasilan Pasal 22 (PPh Pasal 22) adalah
pajak yang dipungut oleh bendaharawan pemerintah, baik pemerintah pusat
maupun pemerintahan daerah , instansi atau lembaga pemerintah, dan lembaga-
lembaga tinggi lainnya. PPh Pasal 22 dikenakan terhadap pembayaran atas
penyerahan barang kepada badan pemerintah atau kegiatan import atau kegiatan di
bidang usaha tertentu .Dalam Pajak Penghasilan (PPH) Pasal 22 ada tiga hal yang
menjadi focus pemungutan pajak, yaitu. Bendaharawan Pemerintahan Pusat atau
daerah, instansi atau lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga Negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang biasa disebut sebagai PPh
Pasal 22. Badan-badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenan
dengan kegiatan dibidang import biasa disebut PPh Pasal 22 atas Import. Badan-
badan tertentu, baik badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan
di bidang tertentu, yaitu industri semen, industri rokok kré-ték atau putih, industri
kertas, industri baja, industri otomotif, penjualan hasil produksi pertamina,
penyaluran oleh bulog.

B. Pemungutan dan Objek PPh Pasal 22

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.03/2010 menyebutkan


pemungut PPh Pasal 22 adalah:

1) Bank Devisa dan Direktorat Jendal Bea dan Cukai atas impor barang.
2) Bendahara Pemerintahan dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) sebagai
pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Instansi
atau lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga negara lainnya
berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang.
3) Bendahara mengeluarkan untuk pembayaran yang dilakukan dengan
mekanisme uang persediaan (UP)

46
4) Kuasa Pengguna anggaran (KPA) atau pejabat penerbitan surat perintah
membayar yang diberi delegasi oleh KPA, untuk pembayaran kepada
pihak ketiga yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung
(LS)
5) Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, dan industri otomotif yang ditunjukkan oleh kepala
kantor pelayanan pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam
negeri. Controling (pengendalian) Pengendalian adalah bentuk control
atau evaluasi terhadap kinerja organisasi. Hal ini dilakukan untuk
memastikan jika apa yang telah direncanakan, disusun serta dijalankan
sudah sesuai dengan apa yang telah dirancang sebelumnya.
6) Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atau
penjualan bahan bakar minyak, gas dan pelumas
7) Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan,
perkebunan, pertanian, dan perikanan, yang ditunjuk oleh kepala kantor
pelayanan pajak atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri
atau ekspor mereka dari pedagang pengumpul. Pasal 1 Peraturan Menteri
Keuangan No. 253/PMK.03/2008 menyebutkan Pemungut PPh pasal 22
adalah Wajib Pajak badan yang melakukan penjualan barang tergolong
sangat mewah yaitu :
1. Pesawat udara pribadi dengan harga jual lebih dari Rp.
20.000.000.000,00(dua puluh milyar rupiah).
2. Kapal pesiar dan sejenisnya dengan harga jual lebih
dariRp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah).
3.Rumah beserta tanahnya dengan harga jual atau harga
pengalihannya lebih dari Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah) dan luas bangunan lebih dari 500m2 (lima ratus meter
persegi).
4. Apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau
pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar
rupiah)dan/atau luas bangunan lebih dari 400 m2 (empat ratus meter
persegi).
5. Kendaraan bermotor roda empat pengangkutan orang kurang dari
10 orang berupa sedan, minibus dan sejenisnya dengan harga jual
lebih dari Rp.5.000.000.000,00(lima milyar rupiah) dan dengan
kapasitas silinder lebih dari 3.000 cc. Peraturan Direktur Jenderal
Pajak No. 57/PJ/2010 pasal 2 menegaskan sebagai berikut :

1. Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri baja


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah industri
baja yang merupakan industri hulu.

2. Dalam hal badan usaha yang bergerak di bidang usaha


industri baja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengolah
atau memproses lebih lanjut sebagian atau seluruh hasil
produksinya menjadi produk antara dan/atau produk hilir
sehingga badan usaha tersebut melakukan kegiatan produksi

47
secara terintegrasi, maka Pajak Penghasilan Pasal 22 dipungut
atas penjualan produk hulu, produk antara, dan produk hilir.

3. Badan usaha yang bergerak di bidang usaha industri otomotif


sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 huruf e adalah badan
usaha yang bergerak dalam bidang industri otomotif, termasuk
ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek),APM (Agen
Pemegang Merek), dan importir umum kendaraan bermotor.

4. Pedagang pengumpul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1


huruf g adalah badan atau orang pribadi yang kegiatan
usahanya.

a. mengumpulkan hasil kehutanan, perkebunan, pertanian, dan


perikanan

b. menjual hasil tersebut kepada badan usaha industri dan


eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, dan perikanan.

C. Dikecualikan Pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22

1. Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan


peraturan perundang-undangan tidak terutang Pajak Penghasilan

2. Impor barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau Pajak
Pertambahan Nilai

3. Impor sementara, jika pada waktu impornya nyata-nyata dimaksudkan untuk


diekspor kembali

4. Impor kembali (re-impor), yang meliputi barang-barang yang telah diekspor


kemudian diimpor kembali dalam kualitas yang sama atau barang-barang yang
telah diekspor untuk keperluan perbaikan, pengerjaan dan pengujian, yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai;

5. Pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak berkenaan dengan:

a. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (Bendahara Pemerintah dan


Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), bendahara pengeluaran, KPA atau pejabat
penerbit Surat Perintah Membayar yang diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna
Anggaran (KPA)), yang jumlahnya paling banyak Rp2.000.000,00 (dua juta
rupiah) dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

b. pembayaran yang dilakukan oleh pemungut pajak (BUMN tertentu dan Bank
BUMN) yang jumlahnya paling banyak Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)
dan tidak merupakan pembayaran yang terpecah-pecah;

48
c. pembayaran untuk: pembelian bahan bakar minyak, bahan bakar gas, pelumas,
benda- benda pos;

pemakaian air dan listrik.

d. Emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari
emas untuk tujuan ekspor;

e. Pembayaran untuk pembelian barang sehubungan dengan penggunaan dana


Bantuan Operasional Sekolah (BOS).Pengecualian dari pemungutan Pajak
Penghasilan Pasal 22 atas barang impor sebagaimana dimaksud pada point 2 di
atas, tetap berlakudalam hal barang impor tersebut dikenakan tarif bea masuk
sebesar 0% (nol persen).Pengecualian sebagaimana dimaksud pada point 1 dan
6 dinyatakan dengan Surat Keterangan Bebas Pajak Penghasilan Pasal 22 yang
diterbitkan oleh Direktur Jenderal Pajak.Pengecualian sebagaimana dimaksud
pada point 4, 5, dan 7 di atas dilakukan tanpa Surat Keterangan Bebas
(SKB).Ketentuan Pengecualian pengenaan PPh Pasal 22 atas kegiatan Impor
barang yang dibebaskan dari pungutan Bea Masuk dan/atau PPN, atas impor
sementara dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai yang tata
caranya diatur oleh Direktur Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktur Jenderal
Pajak.

D. Pengurang Penghasilan Bruto

Untuk mencari penghasilan neto, maka penghasilan bruto dikurangi dengan


biaya-biaya yang berkaitan erat dengan penghasilan bruto. Lebih umum biaya
ini disebut "biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Sering disingkat 3 M. Ada keterkaitan langsung antara biaya dengan penghasilan
yang digunggungkan. Prinsipnya, biaya yang diluar 3 M dannatura tidak boleh
dibiayakan. Diantaranya :

1. Penyusutan, amortisasi dan alokasi biaya

2. Piutang tak tertagih

3. Kegiatan usaha berbasis syariah

4. Penghapusan Piutang

5. Biaya Promosi

6. Zakat

E. Tarif PPh Pasal 22

Besarnya pungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 ditetapkan sebagai berikut:

1. Atas impor

49
a. Barang-barang tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 175/PMK.011/2013, sebesar 7,5%(tujuh setengah
persen) dari nilai impor; b. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud
pada angka 1,yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 2,5%
(dua setengah persen) dari nilai impor, kecuali atas impor kedelai, gandum, dan
tepung terigu sebesar 0,5% (setengah persen) dari nilai impor;

c. selain barang-barang tertentu sebagaimana dimaksud pada angka 1,yang tidak


menggunakan Angka Pengenal Impor (API), sebesar 7,5%(tujuh setengah
persen) dari nilai impor; dan/atau

d. yang tidak dikuasai, sebesar 7,5% (tujuh setengah persen) dari harga jual
lelang.

2. Atas pembelian barang bendahara pemerintah dan Kuasa Pengguna Anggaran


(KPA) sebagai pemungut pajak pada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Instansi atau lembaga Pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

3. Atas pembelian barang yang dilakukan dengan mekanisme uang


persediaan(UP) oleh bendahara pengeluaran dan pembelian barang, sebesar
1,5% (satu setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

4. berkenaan dengan pembayaran atas pembelian barang kepada pihak ketiga


yang dilakukan dengan mekanisme pembayaran langsung (LS) oleh Kuasa
Pengguna Anggaran (KPA) atau pejabat penerbit Surat Perintah Membayar yang
diberi delegasi oleh Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), sebesar 1,5%(satu
setengah persen) dari harga pembelian tidak termasuk PPN.

5. pembelian bahan-bahan untuk keperluan kegiatan usaha berkenaan dengan


pembayaran atas pembelian barang dan/atau bahan-bahan untuk keperluan
kegiatan usahanya oleh BUMN (PT Pertamina (Persero), PT Perusahaan Listrik
Negara (Persero), PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk., PT
Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk., PT Garuda Indonesia (Persero)Tbk.,
PT Pembangunan Perumahan (Persero) Tbk., PT Wijaya Karya(Persero) Tbk.,
PT Adhi Karya (Persero) Tbk., PT Hutama Karya (Persero),PT Krakatau Steel
(Persero) dan Bank BUMN, sebesar 1,5% (satu setengah persen) dari harga
pembelian tidak termasuk PPN.

6. Atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas oleh
produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas
adalah sebagai berikut:

a. bahan bakar minyak sebesar:

0,25% (nol koma dua puluh lima persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak
Pertambahan Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum
Pertamina

50
0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada stasiun pengisian bahan bakar umum bukan
Pertamina;

0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk Pajak Pertambahan
Nilai untuk penjualan kepada pihak-pihak selain diatas;

b. bahan bakar gas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak
termasuk Pajak Pertambahan Nilai;

c. pelumas sebesar 0,3% (nol koma tiga persen) dari penjualan tidak termasuk
Pajak Pertambahan Nilai.

7. Atas penjualan hasil produksi kepada distributor di dalam negeri oleh badan
usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas, industri
baja, industri otomotif, dan industri farmasi:

a. penjualan semua jenis semen sebesar 0,25% (nol koma dua puluh lima
persen);

b. penjualan kertas sebesar 0,1% (nol koma satu persen);

c. penjualan baja sebesar 0,3% (nol koma tiga persen);

d. penjualan semua jenis kendaraan bermotor beroda dua atau lebih


sebesar0,45% (nol koma empat puluh lima persen);

e. penjualan semua jenis obat sebesar 0,3% (nol koma tiga persen),

8. Dari dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

a. Atas penjualan kendaraan bermotor di dalam negeri oleh Agen Tunggal


Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan importir umum
kendaraan bermotor sebesar 0,45% (nol koma empat puluh lima persen) dari
dasar pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

b. Atas pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor oleh badan
usaha industri atau eksportir yang bergerak dalam sektor kehutanan, perkebunan,
pertanian, peternakan, dan perikanan, sebesar0,25% (nol koma dua puluh lima
persen) dari harga pembelian tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai. Nilai
impor adalah nilai berupa uang yang menjadi dasar penghitungan Bea Masuk
yaitu Cost Insurance and Freight (CIF) ditambah dengan Bea Masuk dan
pungutan lainnya yang dikenakan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan kepabeanan di bidang impor. Besarnya tarif pemungutan sebagaimana
dimaksud di atas yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif yang
diterapkan terhadap Wajib Pajak yang dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib

51
Pajak. Ketentuan ini berlaku untuk pemungutan Pajak Penghasilan Pasal 22 yang
bersifat tidak final.

F. Pemungutan PPh Pasal 22

Tata cara Pajak Penghasilan Pasal 22 didasarkan atas suatu pemungutan ,dalam
arti setiap terjadi transaksi maka Wajib Pajak akan di pungut PPh Pasal 22oleh
bendaharawan pemerintah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga tinggi
lainnya. Selanjutnya pemungutan PPh Pasal 22 ini akan diserahkan pada kas
Negara. Pemungutan PPh Pasal 22 dilakukan oleh :

a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;

b. Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Bendahara Pemerintah baik di tingkat


Pusat ataupun di tingkat Daerah, yang melakukan pembayaran atas pembelian
barang;

c. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah, yang melakukan
pembelian barang dengan dana yang bersumber dari belanja negara
(APBN)dan/atau belanja daerah (APBD), kecuali badan-badan tersebut pada
angka4;

d. Bank Indonesia (BI), PT Perusahaan Pengelola Aset (PPA), Perum Badan


Urusan Logistik (BULOG), PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), PT
Perusahaan Listrik Negara (PLN), PT Garuda Indonesia, PT Indosat, PT
Krakatau Steel, PT Pertamina, dan bank-bank BUMN yang melakukan
pembelian barang yang dananya bersumber dari APBN maupun non-APBN;

e. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri
kertas, industri baja, dan industri otomotif, yang ditunjuk oleh Kepala Kantor
Pelayanan Pajak, atas penjualan hasil produksinya di dalam negeri;

f. Produsen atau importir bahan bakar minyak, gas, dan pelumas atas penjualan
bahan bakar minyak, gas, dan pelumas.

g. Industri dan eksportir yang bergerak dalam sektor perhutanan, perkebunan,


pertanian, dan perikanan yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak atas
pembelian bahan-bahan untuk keperluan industri atau ekspor mereka dari
pedagang pengumpul.

Objek pemungutan PPh pasal 22 Bendaharawan adalah penyerahan barang dan


jasa yang dibiayai dari APBN atau APBD, wajib pajak yang termasuk sebagai
Wajib pajak PPh pasal 22 dapat berupa badan usaha maupun perseorangan yang
pada prinsipnya merupakan rekanan pemerintah yang menerima pembayaran
untuk penyerahan barang atau jasa yang dibiayai oleh APBN atau APBD.
Pemungutan PPh Pasal Bendaharawan terjadi saat pembayaran oleh
bendaharawan pemerintah. Direktorat Jendral Anggaran, Bendaharawan
Pemerintan Pusat atau Daerah, BUMN atau BUMD harus memungut atau

52
menyetorkan pemungutan PPh Pasal 22 ke Kantor Pos dan Giro atau Bank- bank
persepsi pada hari yang sama dengan pelaksanaan pembayaran dengan
menggunakan formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang telah diisi oleh atasnama
rekanan (badan usaha yang menyerahkan barang) serta tandatangani oleh
Bendaharawan. SSP berlaku sebagai bukti pungutan pajak. Pelaporan harus
disampaikan selambat-lambatnya empat belas hari setelah masa pajak berakhir.
Besarnya pemungutan PPH Pasal 22 Bendaharawan adalah 1,5% dari harga
penjualan. Harga penjualan yang dimaksud adalah harga jual kepada
bendaharawan pemerintah. Apabila harga jual di dalamnya termasuk PPN dan
atau PPNBM maka PPN dan atau PPnBM ini harus dikeluarkan terlebih

PPh Pasal 22 PPh Pasal 22 PPh Pasal 22


Bendaharawan Import Usaha Tertentu

Dirjen anggaran,
Bank Devisa, Badan Usaha yang
Bendaharawan,
dirjen Bea cukai ditunjuk Dirjen
BUMN dan BUMD

dahulu dari perhitungan PPh Pasal 22 Bendaharawan. Hal yang dimaksudkan


untuk menghindari pemungutan pajak terhadap pajak tertentu (Pajak
berganda).Misalnya, PT Ady-Yuni melakukan penjualan kendaraan kepada
Pemda Salatiga dengan nilai transaksi sebesar Rp 130.000.000,00 dan dibayar
melalui bendaharawan dinas.

a. Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 tidak termasuk PPN dan


PPnBM, maka pasal 22 bendaharawan adalah Rp1.950.000,00 (1,5%
xRp130.000.000,00)Atas pemungutannya PPh Pasal 22 Bendaharawan ini, PT
Ady-Yuni hanya menerima kas sebesar Rp128.050.000,00 (Rp130.000.000,00 -
Rp1.950.000,00). Pemungutan PPh Pasal 22 ini selanjutnya oleh Pemda Salatiga
diserahkan ke kas Negara.

b. Jika nilai transaksi sebesar Rp130.000.000,00 termasuk PPN sebesar 10%dan


PPn BM sebesar 20% maka harus dihitung nilai jual di luar PPN dan PPnBM
yaitu sebesar Rp100.000.000,00 (100/130 x Rp130.000.000,00)

Pemungutan PPh Pasal 22 Bendaharawan adalah sebesarRp1.500.000,00 (1,5%


x Rp100.000.000,00). Objek pemungutan PPh Pasal 22Import adalah
penghasilan netto dari pemasukan barang ke dalam daerah pabean yang
dilakukan oleh importir, importir di bagi menjadi dua yaitu:

a. Import yang memiliki angka pengenal import (API)

b. Import yang tidak memiliki angka pengenal import (Non-API)Perbedaan


Importir berdasarkan API ini akan mempengaruhi tarif yang digunakan untuk

53
pemungutan PPh Pasal 22 Import. Untuk import yang memiliki API akan
dikenakan Tarif PPh Pasal 22 sebesar 2,5 % sedangkan yang tidak memiliki API
akan di pungut PPh Pasal 22 sebesar 7,5%. Angka pengenal import adalah nomor
identitas seorang importir yang dikeluarkan oleh Dirjen Bea dan Cukai.

Dasar perhitungan PPh Pasal 22 adalah penghasilan netto dari pemasukan barang
atau biasa disebut sebagai nilai impor. Sebelum mempelajari tentang nilai impor
perlu dipahami istilah-istilah berikut di bawah ini.

a. Free On Board (FOB) yaitu harga perolehan barang berdasarkan nilai mata
uang pengekspor.

b. Cost (C) adalah harga perolehan harga barang yang telah disesuaikan dengan
mata uang Negara pengimport. Dihitung dari besarnya harga perolehan dikalikan
Kurs yang berlaku.

c. Freight (F) atau biaya tambang merupakan biaya pengiriman yang dinyatakan
dalam bentuk presentase. Dihitung dari presentase tertentu dikalikan dengan
cost.

d. Insurance (I) yaitu nilai asuransi barang yang import yang dinyatakan dalam
bentuk presentase. Asuransi akan diperhitungkan sebagai nilai impor jika
asuransi dibayar di luar negeri sedangkan jika asuransi di bayar di dalam negeri
asuransi tidak akan diperhitungkan dalam nilai import. Besarnya Insurance
dihitung dari presentase tertentu dikalikan Cost +Freighte.

e. Bea masuk dan bea masuk tambahan dihitung dari presentase tertentu
dikalikan Cost + Insurance + Freight (CIF) atau Cost + Freight

Berdasarkan ketentuan ini yang dapat ditunjuk sebagai pemungut pajak adalah
bendaharawan pemerintah dan badan-badan tertentu misalnya Bendaharawan
pemerintah. Termasuk bendaharawan pada Pemerintah Pusat, Pemerintah
Daerah, instansi atau lembaga pemerintah dan lembaga-lembaga negara lainnya,
berkenaan dengan pembayaran atas penyerahan barang. Tarif pemungutan
PPhPasal 22 oleh bendaharawan pemerintah adalah 1,5% dari pembelian. Baik
badan pemerintah maupun swasta berkenaan dengan kegiatan di bidang impor,
atau kegiatan usaha di bidang lain. Tarif pemungutan PPh Pasal22 yang
berkenaan dengan kegiatan impor ada dua, yaitu : 2,5% dari harga impor untuk
impor yang dilakukan importer yang memiliki Angka Pengenal Impor (API).
Dan, 7,5% dari harga impor untuk impor yang dilakukan importer yang tidak
memiliki Angka Pengenal Impor (Non API). Selain itu, tarif 7,5%dari harga
lelang juga dipungut PPh Pasal 22 untuk impor yang telantar atau tidak dikuasai.
Sedangkan badan-badan yang memiliki kegiatan usaha tertentu yang diwajibkan
memungut PPh Pasal 22 adalah:

a. Industri Semen, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,25% dari penjualan

b. Industri Rokok, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,15% dari harga banderol [final]

54
c. Industri Kertas, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,1% dari penjualan

d. Industri Baja, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,3% dari penjualan

e. Industri Otomotif, tarif PPh Pasal 22 sebesar 0,45% dari penjualan

f. Industri Migas, terdiri dari [final]

g. BBM jenis Premium, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU
Pertamina tarifnya 0,25%;

h. BBM jenis Solar, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan untuk SPBU
Pertamina tarifnya 0,25%;

i. BBM jenis Pertamax / Pertamax plus, untuk SPBU swasta tarifnya 0,3% dan
untuk SPBU Pertamina tarifnya 0,25%;

j. BBM jenis Minyak Tanah, untuk SPBU Pertamina tarifnya 0,3%;

k. BBM jenis gas / LPG, untuk SPBU Pertamina tarifnya 0,3%;

l. Pelumas Pertamina di SPBU Pertamina, tarifnya 0,3%Maksud pemungutan ini


untuk meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengumpulan dana melalui
sistem pembayaran pajak dan untuk tujuan kesederhanaan, kemudahan, dan
pengenaan pajak yang tepat waktu. Tetapi harus diingat bahwa kesederhanaan
pemungutan pajak selalu berlawanan dengan keadilan. Sebagai contoh
pengenaan PPh Final untuk industri migas. Objek PPh Pasal 22 usaha tertentu
adalah penjualan hasil produksi atau penyerahan barang yang dilakukan oleh
badan usaha yang bergerak di indusrtri semen, industri rokok, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, industri perdagangan minyak dan gas, usaha
perdagangan gula pasir dan tepung terigu. Adapun bentuk-bentuk Industri
sebagai Objek PPh Pasal 22 adalah sebagai berikut :

1. Indusrtri semen

Tarif PPh Pasal 22 untuk industri semen sebesar 0.25% dari dasar pengenaan
pajak (DPP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemungutan untuk industri semen
dilakukan pada saat terjadinya penjualan semen atau penyerahan semen.

2. Industri rokok

Untuk industri rokok kretek/putih, tarif PPh Pasal 22 adalah sebesar 0,1% dari
harga bandrol dan bersifat final. Final yang dimaksud adalah bahwa PPh Pasal
22 tidak bisa dikreditkan dalam surat pemberitahuan Pajak Penghasilan yang
terhutang. Pemungutan dilakukan pada saat terjadi penjualan dan dipungut oleh
badan usaha yang ditunjuk oleh Kepala Kantor Pelayanan pajak

3.Industri kertas

55
Tarif industri kertas sebesar 0,1% dari DPP PPN. Pemungutan dilakukan pada
saat terjadinya penjualan dan dipungut oleh badan-badan usaha yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor Pelayanan Pajak

4.Industri Baja

tarif pemungutan PPh pasal 22 untuk industri baja sebesar 0,3% dari DPP PPN.
Pajak akan dipungut atas penjualan hasil produksi antara hilir, untuk industri
baja. Jika badan usaha yang bersangkutan akan ditunjuk sebagai pemungut PPh
Pasal 22

5.Industri Otomotif

Tarif PPh Pasal 22 untuk industri otomotif sebesar 0.45% dari DPP PPN.
Pemungutan dilakukan pada saat terjadi Penjualan kendaraan bermotor baik
kendaraan bermotor roda dua maupun lebih yang terjadi di dalam negeri

6.Pertamina dan minyak

Atas penjualan hasil produksi Pertamina dan Badan usaha selain Pertamina yang
bergerak di bidang bahan bakar minyak jenis premix dan gas kepada penyalur
dan atau agennya dipungut PPh pasal 22 Sebesar yang tercantum dalam Tabel
5.1di Bawah ini

7. Penyerahan oleh Bulog Tarif PPh pasal 22 atas penyerahan barang yang
dilakukan oleh Bulog berupa:

a.Gula pasir kepada penyalur, maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp.
380,-/kuintal, jika kepada grosir maka akan dipungut PPh Pasal 22 sebesar Rp.
270,-/ kuintal. Untuk penjualan kepada pembeli lainnya dipungut PPh Pasal 22
sebesar Rp.650.-/kuintal

Bulog (Badan Urusan Logistik) akan memungut PPh Pasal 22 terhadap setiap
penyerahan gula dan atau tepung terigu kepada penyalur atau grosir Bulog, PPh
pasal 22 ini bersifat tidak final

G. Pembayaran PPh Pasal 22


PPh Pasal 22 adalah cicilan PPh pada tahun berjalan. Pada akhir tahun, cicilan ini
akan diperhitungkan menjadi kredit pajak PPh badan atau PPh orang pribadi. PPh
Pasal 22 yang berbentuk SSE, artinya PPh Pasal 22 tersebut dibayar langsung ke
bank persepsi oleh wajib pajak yang bersangkutan pada saat transaksi. Transaksi
yang wajib dibayar langsung adalah transaksi yang berkaitan dengan
impor dan bendahara

H. Cara Penyetoran
1. Pemungutan PPh Pasal 22 atas impor barang dilaksanakan dengan cara
penyetoran oleh importir yang bersangkutan atau Direktorat Jenderal

56
Bea dan Cukai ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Penyetoran dilakukan
dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.

2. Pemungutan PPh Pasal 22 atas pembelian barang oleh Bendahara


Pemerintah dan KPA, bendahara pengeluaran dan pejabat penerbit
Surat Perintah Membayar, wajib disetor oleh pemungut ke kas negara
melalui Kantor Pos, bank devisa, atau bank yang ditunjuk oleh
Menteri Keuangan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak yang
telah diisi atas nama rekanan serta ditandatangani oleh pemungut
pajak. Surat Setoran Pajak tersebut berlaku juga sebagai Bukti
Pemungutan Pajak

3. Pemungutan PPh Pasal 22 oleh pemungut pajak selain , wajib disetor


oleh pemungut ke kas negara melalui Kantor Pos, bank devisa, atau
bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak. Pemungut wajib menerbitkan Bukti
Pemungutan PPh Pasal 22

I. Kewajiban Membuat Bukti Pungut


Pemungut PPh Pasal 22 selain wajib membuat bukti pungut juga wajib menyetor
PPh yang dipungut dengan kode pajak 411122-900 ke bank persepsi, kemudian
melaporkannya dalam SPT Masa PPh Pasal 22. Sedangkan pihak yang dipungut
mendapat bukti pungut dan dapat dikreditkan pada akhir tahun di SPT Tahunan.
Penjualan bahan bakar minyak dan gas ke agen atau penyalur dikenakan atas PPh
bersifat final. Artinya, wajib pajak yang hanya memiliki usaha tersebut, maka hanya
wajib lapor SPT Tahunan yang dilampiri bukti potong
Perhitungan PPh Pasal 22 atas Pembelian Barang oleh Instansi Pemerintah
PT DTC berkedudukan di Jakarta, menjadi pemasok alat-alat tulis kantor bagi Dinas
Pendidikan
Kota Tangerang Selatan. Pada tanggal 1 Oktober 2015, PT DTC melakukan
penyerahan barang
kena pajak dengan nilai kontrak sebesar Rp11.000.000 (nilai sudah termasuk
PPN). Maka,
berapakah PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota
Tangerang Selatan?
No Diketahui Nilai (Rp)
1 Nilai kontrak termasuk PPN Rp 11.000.000
2 DPP (100/110) x Rp 11.000.000 Rp 10.000.000
3 PPN dipungut (10% dari DPP) Rp 1.000.000

57
4 PPh Pasal 22 yang dipungut (1,5% x Rp Rp 150.000
10.000.000)

Jadi, besarnya PPh Pasal 22 yang dipungut oleh Dinas Pendidikan Kota
Tangerang Selatan
sebesar Rp150.000. PPh Pasal 22 = 1,5% x harga pembelian tidak termasuk PPN

BAB III

Pengertian Pajak Penghasilan Pasal 23 (PPh 23 Pasal 23)

A. Pengertian

Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang dipotong


atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam negeri dan bentuk
usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan
kegiatan selain yang telah dipotong pajak penghasilan pasal 21, yang dibayarkan
atau terutang oleh badan pemerintah atau subjek pajak dalam negeri, penyelenggara
kegiatan, bentuk usah tetap atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya. Subjek
pajak atau penerima penghasilan yang dipotong pajak penghasilan pasal 23 adalah
wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap. Dasar hukum pengenaan pajak
penghasilan pasal 23 yaitu pasal 23 undang-undang pajak penghasilan yang diikuti
dengan aturan pelaksanaan.

B. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1


April 2010, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh Pemotong PPh harus disetor paling
lama tanggal 10 (sepuluh) bulan dan pelaporannya harus disampaikan paling lama
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.

C. Perhitungan PPh Pasal 23

Mulyono (2010:179), yang dikenakan pemotongan PPh pasal 23 sebesar 2%


dari jumlah bruto tidak termasuk PPN yaitu penghasilan berupa imbalan

58
sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan,
jasa lain dan sewa selain jasa dan sewa yang telah dipotong Pajak
Penghasilan Pasal 21.

D.Pemotongan PPh pasal 23

sistem perpajakan penghasilan pasal 23 adalah sistem potong atau pungut.


Dimana atas penghasilan yang dikenakan PPh Pasal 23 tersebut tidak dipungut
atau disetor langsung oleh pihak yang menerima penghasilan, tetapi dipotong dan
disetor oleh pihak ketiga. Menurut Purwono (2010:197) Pemotong PPh Pasal 23
merupakan pihak yang berkewajiban memotong pajak atas penghasilan yang
dibayarkan dan menyetorkan PPh 23 yang dipotong ke kas negara paling lambat
tanggal 10 bulan berikutnya setelah terutang pajak. Para pemotong pajak PPh
Pasal 23 terdiri dari :

a. Orang pribadi yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak, yaitu:

1. Akuntan

2. Arsitek

3. Dokter

4. Notaris

b. Badan, yakni Badan/ Lembaga Pemerintah, BUMN/BUMD, dan Wajib


Pajak Badan dalam negara (PT, CV, Fa, dan lain-lain).

Menurut Resmi (2017:303) Pemotong Pajak PPh Pasal 23 terdiri atas :

a. Badan Pemerintah

b. Subjek Pajak badan dalam negeri

c. Penyelenggara kegiatan

d. Bentuk usaha tetap

e. Perwakilan perusahaan di luar negeri lainnya

59
f. Orang pribadi sebagai Wajib Pajak dalam negeri tertentu, yang ditunjuk
oleh Kepala Kantor

Pelayanan Pajak sebagai Pemotong PPh Pasal 23, yaitu:

•akuntan, arsitek, dokter, notaris, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),


kecuali camat,

pengacara, dan konsultan yang melakukan pekerjaan bebas


orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan
pembukuan atas pembayaran

berupa sewa

E. Tarif Penghasilan yang dikenakan pasal PPh Pasal 23

Tarif pajak merupakan suatu dasar dari pengenaan pajak terhadap objek pajak
yang menjadi tanggungannya. Tarif pajak ini menjadi dasar untuk penghitungan
pajak penghasilan pasal 23. Resmi (2012:299) menyatakan bahwa berdasarkan
Pasal 23 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 menetapkan tarif pajak atas PPh Pasal 23
adalah sebagai berikut :

a. Sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas :

1. Dividen

2. Bunga termasuk premium, diskonto, atau imbalan sehubungan dengan jaminan


pengembalian utang;

3. Royalti

4. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf c.

b. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas :

1. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai
Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2);dan

60
Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong pajak penghasilan
sebagaiman dimaksud dalam Pasal 21.

F. Pengecualian pemungutan PPh pasal 23

Beberapa jenis penghasilan yang tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 23


sesuai dengan pasal 23 Ayat (4) uu No 17 tahun 2000, yaitu:

1.penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank

2.sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi

3.dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh PT sebagai wajin pajak
dalam

negeri, koperasi, BUMN, BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang

didirikan dan betempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

a.dividen berassal dari cadangan laba yang ditahan

b. bagi PT, BUMN dan BUMD yang menerima dividen, kepemilikan saham pada
badan

yang memberikan dividen paling rendah 25% dari jumlah modal yang disetor

4.bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer
yang modal nya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak kolektif

5. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

6.penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan
yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman atau pembiayaan yang
diatur dengan PMK

G. Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23

61
Terkait penyetoran, PPh Pasal 23 paling lama disetorkan tanggal 10 bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya 10 Maret 2020, maka paling
lambat disetorkan pada 10 April 2020.

Sementara pelaporannya wajib dilaporkan paling lambat tanggal 20 bulan


berikutnya setelah masa pajak berakhir. Misalnya 10 Maret 2020, maka paling
lambat PPh 23 disetorkan pada 10 April 2020 dan dilaporkan paling lambat 20
April 2020.

H. Ketentuan terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Pasal 23

1.PPh 23 terutang pada akhir bulan dilakukannya pembayaran, disediakan untuk


dibayar, atau telah jatuh tempo pembayarannya, tergantung peristiwa yang terjadi
terlebih dahulu.

2.PPh 23 disetor Pemotong Pajak paling lambat tanggal 10 bulan takwim


berikutnya setelah bulan saat terutang pajak.

3.SPT Masa disampaikan ke Kantor Pelayanan Pajak setempat, paling lambat 20


hari setelah masa pajak berakhir. Apabila jatuh tempo batas akhir pelaporan atau
penyetoran PPh Pasal 23 bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu atau
hari libur nasional, penyetoran atau pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja
berikutnya.

I. Cara Menghitung PPh Pasal 23

Soal 1

Pada 14 Mei 2020, PT. Ilmuwan membayar royalti kepada Tuan Burhanudin
sebagai penulis buku sebesar Rp100.000.000. Adapun Tuan Burhanudi merupakan
wajib pajak yang telah memiliki NPWP. Hitunglah besaran pajak penghasilan
terutang atas royalti tersebut. Dan tentukan pihak pemotong, saat terutang, saat
penyetoran, dan saat pelaporannya.

Jawab:
PPh Pasal 23 = 15% x Rp100.000.000
= Rp15.000.000
Pajak penghasilan dipotong oleh PT. Ilmuwan selaku pemberi royalti

62
Saat terutang adalah akhir bulan saat dilakukan pembayaran yaitu 31 Mei
2020
Saat penyetoran paling lambat 10 Juni 2020
Saat pelaporan paling lambat 20 Juni 2020
Soal 2
PT. Mentari pada tanggal 21 April 2020 melakukan pembayaran bunga
obligasi pada PT. Terang Benderang sebesar Rp120.000.000. Adapun
obligasi yang dimaksud tidak diperdagangkan dalam Bursa Efek
Indonesia. Hitunglah berapa besaran PPh Pasal 23 serta tentukan pihak
pemotong, saat terutang, saat penyetoran, dan saat pelaporannya.
Jawab:
PPh Pasal 23 = 15% x Rp120.000.000
= Rp18.000.000
Pihak pemotong pajak penghasilan atas obligasi adalah PT. Mentari.
Saat terutangnya adalah akhir bulan saat dilakukan pembayaran bunga
obligasi yaitu 30 April 2020
Saat penyetoran paling lambat 10 Mei 2020
Saat pelaporan paling lambat 20 Mei 2020

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

PPH Pasal 22 dan 23 adalah pajak penghasilan yang dikenakan atas impor
barang atau jasa dari luar negeri. Tarif PPH Pasal 22 dan 23 tergantung pada jenis
barang atau jasa yang diimpor dan berbeda-beda untuk setiap sektor usaha. Wajib
pajak yang melakukan impor barang atau jasa dari luar negeri harus
memperhitungkan besarnya PPH Pasal 22 atau 23 yang harus dibayar dan
menyetorkan pajak tersebut ke kantor pajak

B. Saran

63
Dengan selesainya makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca. Makalah ini
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saya mohon kepada para pembaca agar dapat
memberikan saran, kritik, atau komentarnya demi kelancaran tugas ini. Atas perhatianya
kami ucapkan terimakas

64
DAFTAR PUSTAKA
https://www.studocu.com/id/document/universitas-hasanuddin/hukum-pajak/4-
contoh-kasus-pph-pasal-22/17752373

https://journal.feb.unmul.ac.id/index.php/JIAM/article/download/3373/733

https://www.academia.edu/9502482/PPH_PASAL_23_MAKALAH_Untuk_memenuhi_tug
as_kelompok_semester_3_mata_kuliah_Pemotongan_dan_Pemungutan_PPh

https://aguspajak.com/2007/05/01/pengecualian-pph-pasal-23/amp/

https://katadata.co.id/amp/agung/ekonopedia/62d66da11ac70/memahami-pengertian-
tarif-dan-cara-menghitung-pph-23

http://perpajakan.ddtc.co.id/ilustrasi-kasus/read/22

65
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang
pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan
tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara
bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Pembayaran pajak merupakan
perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta Wajib Pajak untuk secara
langsung dan bersama-sama melaksanakan kewajiban perpajakan untuk
pembiayaan negara dan pembangunan nasional.

Sesuai falsafah undang-undang perpajakan, membayar pajak bukan hanya


merupakan kewajiban, tetapi merupakan hak dari setiap warga Negara untuk ikut
berpartisipasi dalam bentuk peran serta terhadap pembiayaan negara dan
pembangunan nasional.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Pokok pokok yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain sebagai berikut
1. Apa dasar hukum pajak penghasilan?
2. Apa pengertian dari pajak penghasilan?
3. Siapa subjek pph?

1.2 TUJUAN PENULISAN


Adapun tujuan dari pembahasan dalam makalah ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa itu PPh 24,25,26

2. Untuk mengetahui verifikasi PPh 24,25,26

66
BAB II

PEMBAHASAN

A. Dasar Hukum

Pph Pasal 24

Pasal 24 UU No 36 Tahun 2008, Pasal 4 UU No 36 Tahun 2008, KMK No


164/KMK.03/2002 tentang Kredit Pajak Luar Negeri PPh pasal 24 adalah peraturan
yang mengatur hak wajib pajak untuk memanfaatkan kredit pajak mereka di luar
negeri, untuk mengurangi nilai pajak terhutang yang dimiliki di Indonesia.
Sehingga, jumlah pajak yang harus dibayar di Indonesia dapat dikurangi dengan
jumlah pajak yang telah mereka bayar di luar negeri, asalkan nilai kredit pajak di
luar negeri tidak melebihi hutang pajak yang ingin dibayar di Indonesia.
Pemanfaatan kredit pajak di luar negeri ini dimaksudkan agar wajib pajak tidak
terkena pajak ganda
B. Pemotong PPh Pasal 24
Yaitu Pihak atau subjek yang memotong pajak penghasilan jenis PPh Pasal 24
adalah wajib pajak badan maupun orang pribadi pemberi penghasilan atau
daripengalihan harta/aset di luar negeri.
C. Subjek dan objek pph pasal 24
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan
dari pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan
yang menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau
bertempat kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta bergerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada.
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak gerak
adalah negara tempat harta tersebut terletak.

67
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5. Penghasilan bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap
tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dan pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan atau
tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan dalam perusahaan
pertambangan adalah negara tempat lokasi penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat harta tetap
itu berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari
suatu bentuk usaha tetap adalah negara tempat bentuk usaha tetap itu berada.
D. Permohonan kredit pajak luar negeri
Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar negeri, Wajib Pajak wajib
menyampaikan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak dengan dilampiri:
1. Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
2. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar negeri; dan
3. Dokumen pembayaran pajak di luar negeri. Penyampaian permohonan
kredit pajak luar negeri tersebut dilakukan bersamaan dengan penyampaian
Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan. Atas permohonan Wajib
Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat memperpanjang jangka waktu
penyampaian lampiran-lampiran karena alasan - alasan di luar kemampuan
Wajib Pajak (force majeur) Untuk melaksanakan pengkreditan pajak luar
negeri, Wajib Pajak wajib menyampaikan permohonan kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan dilampiri:
1) Laporan keuangan dari penghasilan yang berasal dari luar negeri;
2) Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak yang disampaikan di luar
negeri; dan
3) Dokumen pembayaran pajak di luar negeri.Penyampaian
permohonan kredit pajak luar negeri tersebut dilakukan bersamaan
dengan penyampaian Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan. Atas permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak

68
dapat memperpanjang jangka waktu penyampaian lampiran-
lampiran karena alasan - alasan di luar kemampuan Wajib Pajak
(force majeur) .
E. Penggabungan Penghasilan
Wajib Pajak dalam negeri terutang pajak atas Penghasilan Kena Pajak yang
berasal dari seluruh penghasilan termasuk penghasilan yang diterima atau diperoleh
dari luar negeri, maka seluruh penghasilan di dalam negeri dan maupun dari luar
negeri digabungkan. Penggabungan penghasilan yang berasal dari luar dilakukan
sebagai berikut.
1. Untuk penghasilan dari usaha dilakukan dalam tahun pajak
diperolehnya
penghasilan tersebut.
2. Untuk penghasilan lainnya dilakukan dalam tahun pajak diterimanya
penghasilan tersebut.
3. Untuk penghasilan berupa dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal
18 ayat 2 Undang-Undang Pajak Penghasilan dilakukan dalam tahun
pajak pada saat perolehan dividen tersebut ditetapkan sesuai dengan
Keputusan Menteri Keuangan. Kerugian yang diderita di luar negeri
tidak boleh digabungkan dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak

F. Penentuan Sumber Penghasilan


Dalam menghitung batas jumlah pajak yang boleh dikreditkan, sumber
penghasilan ditentukan sebagai berikut.
1. Penghasilan dari saham dan sekuritas lainnya serta keuntungan dari
pengalihan saham dan sekuritas lainnya adalah negara tempat badan yang
menerbitkan saham atau sekuritas tersebut didirikan atau bertempat
kedudukan.
2. Penghasilan berupa bunga, royalti, dan sewa sehubungan dengan
penggunaan harta gerak adalah negara tempat pihak yang membayar atau
dibebani bunga, royalti, atau sewa tersebut bertempat kedudukan atau
berada.

69
3. Penghasilan berupa sewa sehubungan dengan penggunaan harta tak
gerak adalah negara tempat harta tersebut terletak.
4. Penghasilan berupa imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan,
dan kegiatan adalah negara tempat pihak yang membayar atau dibebani
imbalan tersebut bertempat kedudukan atau berada.
5. Penghasilan Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk
Usaha Tetap tersebut menjalankan usaha atau melakukan kegiatan.
6. Penghasilan dari pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan atau tanda turut serta dalam pembiayaan atau permodalan
dalam perusahaan pertambangan adalah negara tempat lokasi
penambangan berada.
7. Keuntungan karena pengalihan harta tetap adalah negara tempat
harta tetap berada.
8. Keuntungan karena pengalihan harta yang menjadi bagian dari
suatu Bentuk Usaha Tetap adalah negara tempat Bentuk Usaha Tetap
berada.
G. Kasus
1. Perhitungan Kredit Pajak Luar Negeri (PPh Pasal 24)
PT Sinar Gemilang di Semarang memperoleh penghasilan neto dalam
tahun 2014 sebagai berikut:
Penghasilan dalam negeri Rp400.000.000 Penghasilan dari Vietnam
(tarif
pajak 20%) Rp200.000.000. Hitunglah PPh Pasal 24 atau kredit pajak
luar negeri dari PT Sinar Gemilang tahun 2014?
Jawab:
1. menghitung total penghasilan pajak:
Penghasilan dalam negeri
Rp400.000.000
Penghasilan dari vietnam
Rp200.000,000
Jumlah penghasilan neto
Rp600.000.000

70
2.menghitung total pph terutang
Pajak terhutang 25%x Rp 600,000,000 =
Rp150.000.000

3.menghitung pph maksimum yang dapat dikreditkan:


Penghasilan luar negeri : total penghasilan x total pph terhutang
[Rp200.000.000:Rp600.000.000] x Rp 150.000.000 =
Rp49.999.999[dibulatkan] Rp50.000.000

4. Mengitung pph yang terutang atau dipotong di luar negeri:


20% x Rp 200.000.000 =
Rp40.000.000

Pph pasal 25
PPh Pasal 25 adalah pembayaran pajak atas penghasilan yang
dibayarkan secara angsuran tiap bulannya dengan tujuan untuk
meringkankan beban Wajib Pajak yang kesulitan untuk melunasi pajak
terutang dalam rentang waktu satu tahun. Pembayaran ini harus
dilakukan sendiri dan tidak bisa diwakilkan.
Tentang Pajak Penghasilan PPh Pasal 25
 PPh 25 adalah angsuran pajak penghasilan dalam tahun berjalan yang

harus dilakukan sendiri oleh Wajib Pajak, baik Orang Pribadi maupun
Badan Usaha.
 Angsuran pajak ini dilakukan untuk mengurangi beban Wajib Pajak

sehingga pembayaran pajak tetap dapat dilakukan tepat waktu.


 Terdapat batas waktu pembayaran angsuran dan sanksi

keterlambatannya.
 Perhitungan pajak yang dibayarkan akan sama besarnya. Namun

ketika pembayaran tanggungan pajak dilakukan secara diangsur, maka


beban yang dipikul oleh wajib pajak akan terasa lebih ringan.

71
 Pembayaran pajak dan pelaporan SPT Masa memiliki batas waktu

paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya setelah Masa


Pajak berakhir. Misalnya saja untuk bulan Mei 2022, maka angsuran
PPh Pasal 25 harus dibayar paling lambat tanggal 15 Juni 2022.
 Untuk batas waktu pembayaran yang jatuh pada hari libur maka

pembayaran dapat dilakukan pada hari berikutnya.


 Terdapat sanksi apabila Wajib Pajak terlambat melakukan pembayaran

PPh Pasal 25 yaitu akan dikenai tarif sanksi pajak per bulan yang
dihitung dari tanggal jatuh tempo hingga tanggal pembayaran.
 Jika malah terjadi keterlambatan, baik pembayaran atau pelaporan SPT

Masa, beban yang diterima justru akan semakin besar dan penggunaan
angsuran pembayaran pajak berupa PPh Pasal 25 yang dipilih akan jadi
tidak bermakna.
 Batas waktu pembayaran PPh Pasal 25 adalah paling lambat tanggal 15

bulan berikutnya dari Masa Pajak yang akan dibayarkan.


 Apabila ada keterlambatan dalam penyetoran angsuran pajak terutang

sesuai tarif PPh Pasal 25 dan pelaporan PPh Pasal 25, terdapat sanksi
yang berlaku yaitu tarif sanksi pajak yang dihitung berdasarkan tarif
bunga sanksi administrasi pajak yang ditetapkan Kementerian
Keuangan setiap bulannya.
Perhitungan PPh Pasal 25.
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dalam tahun berjalan (tahun pajak
berikutnya setelah tahun yang dilaporkan di SPT tahunan PPh) dihitung
sebesar PPh yang terutang pajak tahun lalu, yang dikurangi dengan:
 Pajak penghasilan yang dipotong sesuai Pasal 21 (yaitu sesuai tarif

pasal 17 ayat (1) bagi pemilik NPWP dan tambahan 20% bagi yang
tidak memiliki NPWP) dan Pasal 23 (15% berdasarkan dividen, bunga,
royalti, dan hadiah – serta 2% berdasarkan sewa dan penghasilan lain
serta imbalan jasa) – serta pajak penghasilan yang dipungut sesuai pasal
22 (pungutan 100% bagi yang tidak memiliki NPWP).

72
 Pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh

dikreditkan sesuai pasal 24, lalu dibagi 12 atau total bulan dalam pajak
masa setahun.
Tarif PPh Pasal 25
Tarif PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh adalah:
 Sampai Rp 50.000.000 = 5%
 Rp 50.000.000 – Rp 250.000.000 = 15%
 Rp 250.000.000 – Rp 500.000.000 = 25%
 Di atas Rp 500.000.000 = 30%
Pembayaran angsuran PPh 25 untuk wajib pajak badan yaitu =
Penghasilan Kena Pajak (PKP) x 25% (Tarif Pasal 17 ayat (1) huruf b
UU PPh).
Jenis Pembayaran PPh Pasal 25
Terdapat dua jenis pembayaran angsuran PPh Pasal 25 untuk Wajib
Pajak Orang Pribadi (WPOP), yaitu:
 Wajib Pajak Orang Pribadi Selain Pengusaha Tertentu (WP –
OPSPT), yaitu pekerja bebas atau karyawan, yang tidak memiliki usaha
sendiri. PPh 25 bagi OPSPT = Penghasilan Kena Pajak (PKP) x Tarif
PPh 17 ayat (1) huruf a UU PPh (12 bulan).
 Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu (WP – OPPT),
yaitu yang melakukan usaha penjualan barang, baik grosir maupun
eceran, serta jasa – dengan satu atau lebih tempat usaha. PPh 25 bagi
OPPT = 0.75% x omzet bulanan tiap masing-masing tempat usaha.
Contoh soal
PPh yang terutang berdasarkan perhitungan PPh badan tahun 2023
Tuan A adalah Rp50.000.000, maka perhitungan angsuran PPh Pasal
25 adalah sebagai berikut:

PPh Terutang Tahun Pajak 2022 Rp50.000.000

Dikurangi:

– PPh yang dipotong pemberi kerja (Pasal 21) Rp15.000.000

– PPh yang dipungut oleh pihak lain (Pasal 22) Rp10.000.000

73
– PPh yang dipotong oleh pihak lain (Pasal 23) Rp2.500.000

– Kredit PPh luar negeri (Pasal 24) Rp7.500.000 (+)

Jumlah kredit pajak Rp35.000.000

Selisih = Rp50.000.000 – Rp35.000.000 Rp15.000.000

Angsuran PPh 25 = Rp15.000.000/12 bulan Rp1.250.000


Dengan demikian, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar sendiri
setiap bulan untuk tahun 2023 adalah Rp15.000.000 dibagi 12 bulan =
sebesar Rp1.250.000.
berkedudukan di Indonesia keerusahaan asuransi di luar
berkedudukan di Indonesia kepada per\usahaan auransi di luPph pasal 26
Apa itu PPh Pasal 26?
Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008, PPh Pasal
26 merupakan pajak yang dikenakan atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh Wajib Pajak luar negeri dari Indonesia selain bentuk usaha
tetap (BUT) yang berada di Indonesia.
Kriteria seorang individu atau perusahaan yang dikategorikan sebagai
Wajib Pajak luar negeri adalah Seorang individu yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia, individu yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari
183 hari dalam setahun atau 12 bulan, perusahaan yang tidak didirikan
atau berada di Indonesia, yang mengoperasikan usahanya melalui BUT
di Indonesia.
Seorang individu yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, individu
yang tinggal di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam setahun atau 12
bulan, perusahaan yang tidak didirikan atau berada di Indonesia, yang
dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak
melalui menjalankan usaha melalui suatu BUT di Indonesia.
Siapa pemotong PPh Pasal 26?
Subjek pajak pemotong PPh pasal 26 wajib dilakukan oleh:
1. Badan pemerintah.
2. Subjek pajak dalam negeri.
3. Penyelenggara kegiatan.
4. BUT.

74
5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan
pembayaran kepada Wajib Pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap.
Apa penghasilan yang Dipotong PPh Pasal 26?
Jenis-jenis penghasilan atau objek pajak yang wajib dipotong PPh Pasal
26 adalah:
1. Deviden.
2. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan
jaminan pengembalian utang.
3. Royalti, sewa, dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
4. Imbalan sehubungan dengan jasa, pekerjaan, dan kegiatan.
5. Hadiah dan penghargaan.
6. Pensiun dan pembayaran berkala lainnya.
7. Premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya.
8. Keuntungan karena pembebasan utang.
Berapa tarif pengenaan PPh Pasal 26?
Tarif yang dikenakan sesuai dengan Persetujuan Penghindaran Pajak
Berganda (P3B) antar negara (tax treaty), yaitu sebesar 20 persen untuk
setiap pengenaan jenis PPh Pasal 26. Ketentuan dasar pengenaan pajak
adalah sebagai berikut:
– Tarif 20 persen dari penghasilan bruto.
– Tarif 20 persen dari penghasilan neto.
– Tarif 20 persen dari penghasilan setelah pajak (penghasilan kena
pajak dikurangi dengan PPh).
Bagaimana pemotongan, penyetoran, dan pelaporan PPh Pasal 26?
1. PPh Pasal 26 dipotong pada akhir bulan pada saat dilakukannya
pembayaran penghasilan, disediakan untuk dibayarkan penghasilan,
atau jatuh temponya pembayaran penghasilan bersangkutan tergantung
peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
2. PPh Pasal 26 saat terutang dipotong pada saat pembayaran,
disediakan untuk dibayarkan (deviden) dan jatuh tempo (bunga dan
sewa), atau saat yang ditentukan dalam kontrak atau perjanjian atau

75
faktur (royalti, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa
lainnya).
3. Pemotong PPh Pasal 26 wajib membuat bukti pemotongan rangkap
tiga. Lembar pertama untuk Wajib Pajak luar negeri, lembar kedua
untuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP), lembar ketiga untuk arsip
pemotong.
4. Pembayaran PPh Pasal 26 dilakukan oleh pihak pemotong dan
disetorkan ke bank persepsi atau kantor pos yang sudah ditunjuk oleh
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dengan menggunakan Surat
Setoran Pajak (SSP), paling lambat tanggal 10 bulan takwim berikutnya
setelah bulan saat terutangnya pajak.
5. SPT masa PPh Pasal 26, dengan dilampiri SSP lembar kedua, bukti
pemotongan lembar kedua dan daftar bukti pemotongan disampaikan ke
KPP setempat paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.
6. Apabila jatuh tempo penyetoran atau batas akhir pelaporan PPh pasal
26 bertepatan dengan hari libur, penyetoran atau pelaporan dapat
dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Contoh Pengenaan PPh Pasal 26
PT Selalu Baca adalah perusahan penerbit buku asal Indonesia. Di
bulan April 2022, perusahaan ini harus membayar royalti senilai Rp100
juta kepada Nobita selaku pengarang komik. Berapa PPh 26 dari royalti
itu?

Nobita adalah Wajib Pajak luar negeri. Besar PPh Pasal 26 yang
dipotong atas penghasilan bruto Nobita adalah sebagai berikut:

– PPh 26 = 20 persen x penghasilan bruto.


– PPh 26 = 20 persen x Rp 100 juta = Rp 20 juta.

76
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

PPh pasal 24 mengatur tentang pajak yang dibayar atau terutang diluar
negeri atas penghasilan yang dibayar atau terutang dikuar negeri yang dapat
dikreditkan terhadap pajak yang terutang di Indonesia. Karena itu, pajak ini
langsung dikenakan atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak.
PPh pasal 25 pembayaran pajak penghasilan secara agsuran. Tujuannya
untuk meringankan beban wajib pajak,mengingat pajak yang terutang harus
dilunasi dalam waktu 1 tahun. Pembayaran ini harus dilahukan sendiri dan tidak
dapat diwakilkan.
PPh pasal 26 adalah pajakpenghasilan yang dipotong dari badan usaha
apapun di Indonesia yang melakukan transaksi pembayaran (gaji,bunga,dividen,
royalty dan sejenisnya) kepada wajib pajak luar negeri.

77
DAFTAR PUSTAKA

https://www.pajak.com/pajak/pph-pasal-24-definisi-subjek-objek-hingga-
perhitungan/#:~:text=Jika%20berdasarkan%20aturannya%2C%20PPh%20Pasal,t
erutang%20yang%20dimiliki%20di%20Indonesia.

https://www.hipajak.id/artikel-pengertian-dan-tarif-pph-pasal-
25#:~:text=PPh%20Pasal%2025%20adalah%20pembayaran,dalam%20rentang%
20waktu%20satu%20tahun.

https://www.pajak.com/pajak/definisi-tarif-dan-ketentuan-perhitungan-pph-pasal-
26/#:~:text=ketentuan%20yang%20berlaku.-
,Apa%20itu%20PPh%20Pasal%2026%3F,BUT)%20yang%20berada%20di%20Indo
nesia

78
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pajak merupakan sumber pendapatan negara terbesar, bila dibandingkan


dengan sumber pendapatan yang lainnya di Indonesia. Dengan pendapatan yang
besar, pemerintah dapat menjalankan tugasnya dalam melayani masyarakat dengan
semaksimal mungkin. Oleh karena itu, pemerintah berharap pemasukan dari sektor
pajak dapat diterima secara optimal karena pajak digunakan sebagai pembangunan
negara seperti menciptakan kesejahteraan rakyat berupa layanan fasilitas publik
yang nyaman dan aman digunakan masyarakat.
PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPNBM (Pajak Penjualan atas Barang
Mewah) adalah jenis pajak yang diterapkan di Indonesia. PPN dikenakan pada
setiap transaksi jual beli barang dan jasa, sedangkan PPNBM dikenakan pada
penjualan barang – barang tertentu yang dianggap mewah.
PPN dikenakan pada setiap tahap transaksi jual beli barang dan jasa, dimana
setiap penjual dapat menambahkan PPN ke harga jualnya dan kemudian
mengumpulkan PPN dari pembeli. Kemudian, penjual akan membayar PPN yang
dikumpulkannya ke pemerintah. PPN ini berlaku secara umum di Indonesia dengan
tarif yang bervariasi, namun sejak Juli 2020, tarif PPN sebesar 10% untuk sebagian
besar barang dan jasa, akan tetapi perubahan tarif PPN sudah serentak dilakukan
sejak 1 April 2022 hingga kini. Berdasarkan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan
atau biasa dikenal dengan UU HPP, tarif PPN yang sebelumnya sebesar 10% diubah
menjadi 11% yang mulai berlaku sejak April 2022.
Sedangkan PPNBM dikenakan pada barang mewah tertentu, seperti mobil,
motor, pesawat, kapal laut, minuman keras, dan lain sebagainya. PPNBM
dikenakan pada harga jual barang mewah tersebut, dimana penjual wajib
menambah PPNBM ke harga jual dan kemudian menyerahkannya ke pemerintah.
Tarif PPNBM bervariasi tergantung pada jenis barang mewah yang dikenakan
pajak.

79
1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa pengertian dan tujuan dari PPN dan PPNBM?


2. Bagaimana mekanisme pengenaan PPN dan PPNBM pada transaksi jual
beli?
3. Apa saja jenis tarif PPN dan PPNBM yang berlaku di Indonesia?
4. Apa saja jenis barang atau jasa yang dikenakan PPN dan PPNBM?
5. Apa saja kewajiban dan hak para pemungut PPN dan PPNBM?
6. Bagaimana cara pelaporan dan membayar PPN dan PPNBM?
7. Apa saja sanksi atau denda yang dapat dikenakan jika terjadi pelanggaran
terkait PPN dan PPNBM?
8. Bagaimana cara menghindari terjadinya masalah terkait PPN dalam bisnis?
9. Apakah ada alternatif kebijakan pajak yang lain dapat digunakan untuk
menggantikan PPNBM?
10. Bagaimana dampak penerapan PPN dan PPNBm terhadap perekonomian
Indonesia secara keseluruhan?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

1. Mengetahui pengertian dan tujuan dari PPN dan PPNBM.


2. Mengetahui mekanisme pengenaan PPN dan PPNBM pada transaksi jual
beli.
3. Mengetahui jenis tarif PPN dan PPNBM yang berlaku di Indonesia.
4. Mengetahui jenis barang atau jasa yang dikenakan PPN dan PPNBM.
5. Mengetahui kewajiban dan hak para pemungut PPN dan PPNBM.
6. Mengetahui cara melaporkan dan membayar PPN dan PPNBM.
7. Mengetahui sanksi atau denda yang dapat dikenakan terjadi pelanggaran
PPN dan PPNBM.
8. Mengetahui cara menghindari terjadinya masalah PPN dalam bisnis.
9. Mengetahui alternatif kebijakan pajak yang lain dapat digunakan untuk
menggantikan PPNBM.
10. Mengetahui dampak penerapan PPN dan PPNBM terhadap perekonomian
Indonesia secara keseluruhan

80
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN DAN TUJUAN DARI PPN DAN PPNBM

PPN (Pajak Pertambahan Nilai) dan PPNBM (Pajak Penjualan atas Barang
Mewah) adalah dua jenis pajak yang dikenakan pada transaksi penjualan barang
dan jasa di Indonesia.

2.1.1 PPN (PAJAK PERTAMBAHAN NILAI)

PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap tahap proses produksi dan
distribusi barang dan jasa. Pajak yang dihitung berdasarkan selisih antara nilai jual
beli dan harga pokok penjualan. Setiap pelaku usaha yang melakukan kegiatan
produksi atau perdagangan barang dan jasa harus mendaftar dan membayar PPN
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. PPN digunakan sebagai sumber penerimaan
negara untuk membiayai berbagai program pembangunan dan kegiatan negara
lainnya.

2.1.2 PPNBM (PAJAK PENJUALAN ATAS BARANG MEWAH)

PPNBM adalah pajak yang dikenakan pada penjualan barang mewah seperti
mobil, pesawat terbang, kapal laut, perhiasan dan barang – barang mewah lainnya.
Pajak ini digunakan secara khusus karena barang – barang tersebut dianggap
sebagai barang konsumsi yang hanya dapat diakses oleh segmen pasar tertentu.
PPNBM dihitung berdasarkan persentase tertentu dari harga jual barang mewah
tersebut.

2.1.3 TUJUAN DARI PPN DAN PPNBM

Secara keseluruhan, tujuan dari PPN dan PPNBM adalah untuk


meningkatkan penerimaan negara dan sebagai instrumen kebijakan fiskal untuk
mencapai tujuan ekonomi yang diinginkan oleh pemerintah, seperti mendorong
pertumbuhan ekonomi, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.

81
2.2 MEKANISME PENGENAAN PPN DAN PPNBM PADA TRANSAKSI
JUAL BELI

Berikut adalah mekanisme pengenaan PPN dan PPNBM pada transaksi jual beli :

1. PPN
PPN dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa yang
dilakukan oleh pengusaha yang terdaftar sebagai PKP (Pengusaa Kena
Pajak). Mekanisme pengenaan PPN pada transaksi jual beli adalah sebagai
berikut :
 PKP yang menjual barang atau jasa harus menambahkan PPN
sebesar 10% dari harga jual kepada pembeli.
 PKP yang membeli barang atau jasa dari PKP lain dapat
mengurangkan PPN yang dibayarkan dari PPN yang dihitung pada
penjualan barang atau jasa oleh PKP tersebut.
2. PPNBM
PPNBM dikenakan pada beberapa jenis barang mewah yang dijual di
Indonesia. Mekanisme pengenaan PPNBM pada transaksi jual beli adalah
sebagai berikut :
 PPNBM dikenakan pada harga jual beli barang mewah dan
ditanggung oleh penjual.
 Besarnya PPNBM yang dikenakan bervariasi tergantung pada jenis
barang mewah yang dijual. Sebagai contoh, PPNBM untuk mobil
pribadi berkisar antara 10-125% tergantung pada jenis dan kapasitas
mesin mobil tersebut.

Dalam kedua jenis pajak tersebut, PKP yang menjual barang atau jasa harus
mengumpulkan PPN atau PPNBM dari pembeli dan menyetorkannya ke Direktorat
Jendral Pajak. Pembeli yang merupakan PKP dapat mengurangkan PPN atau
PPNBM yang dibayarkan dari jumlah PPN atau PPNBM yang harus disetorkan
kepada Direktorat Jedral Pajak. Sedangkan pembeli yang bukan PKP tidak dapat
mengurangkan PPN atau PPNBM dari harga yang harus dibayar kepada penjual.

2.3 JENIS TARIF PPN DAN PPNBM YANG BERLAKU DI INDONESIA

82
Di Indonesia, terdapat beberapa jenis tarif PPN dan PPNBM yang berlaku yaitu :

1. Tarif PPN umum


Tarif ini adalah sebesar 10% dari harga jual atau nilai transaksi. Tarif ini
berlaku untuk sebagian besar barang dan jasa yang dikenakan PPN.
2. Tarif PPN kenaikan
Tarif ini adalah 1-15% tergantung pada jenis barang atau jasa yang
dikenakan. Tarif ini berlaku untuk beberapa jenis barang dan jasa yang
dikenakan PPN
3. Tarif PPN DTP
Tarif PPN DTP (Dalam Rangka Tujuan Pribadi) adalah tarif khusus yang
dikenakan pada barang impor yang digunakan untuk keperluan pribadi,
seperti motor dan mobil. Tarif ini biasanya lebih tinggi dari pada tarif PPN
umum, dan bervariasi tergantung pada jenis barang.
4. Tarif PPNBM
Dikenakan pada beberapa jenis barang mewah seperti mobil, kapal, pesawat
terbang. Tarif ini bervariasi tergantung pada jenis barang dan harga jualnya,
dan dapat mencapai 125% dari harga jual.

Perlu diketahui bahwa tarif PPN dan PPNBM dapat berubah sewaktu –
waktu sesuai dengan kebijakan pemerintah.

2.4 JENIS BARANG DAN JASA YANG DIKENAKAN PPN DAN PPNBM

Beberapa contoh barang dan jasa yang terkena PPN antara lain pakaian, tas,
sepatu, pulsa telekomunikasi, sabun, alat elektronik, barang otomotif, perkakas,
hingga kosmetik. Secara umum pengenaan PPN dikenakan atas objek :

1. Penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) didalam daerah pabean yang


dilakukan oleh PKP, misalnya PPN terhadap kosmetik dan pakaian yang di
beli dipusat perbelanjaan.
2. Impor BKP dan /atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak (JKP)/ BKP tak
terwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean, misalnya layanan
streaming film dan musik.
3. Ekspor BKP dan/atau JKP oleh PKP

83
4. Kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam kegiatan usaha
atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan, misalnya PPN atas bangunan.
5. Penyerahaan aktiva oleh PKP yang menurut tujuan semula aktiva tersebut
tidak untuk diperjualbelikan, sepanjang PPN yang dibayar pada saat
perolehannya dapat dikreditkan.

Sebelumnya, pemerintah resmi menaikan PPN dari 10% menjadi 11% per
jumat, 1 April 2022. Hal itu sesuai amanat Pasal 7 UU Nomor 7 Tahun 2021 Tentang
Harmonisasi Perturan Perpajakan (UU HPP).

Jadi, barang kena pajak adalah berwujud, yang menurut sifatnya berupa barang
bergerak atau tidak bergerak dan barang tidak berwujud yang dikenakan pajak
berdasarkan UU PPN. Barang kena pajak terdiri dari :

1. Barang yang berwujud, misalnya mobil, rumah, sepeda motor, alat


kesehatan dan lain – lain.
2. Barang yang tidak berwujud, misalnya hak paten, hak cipta, merk dagang
dan lain – lain.

PPNBM didapati setidaknya 5 hal yang berkaitan dengan kegiatan pemajakan


termasuk pada artian ‘menghasilkan’ berikut penjelasannya :

1. Merakit, yang dapat diartikan sebagai penggabungan bagian – bagian atau


kerangka yang memiliki hubungan seperti barang dengan bagian – bagiain
yang masih belum terpasang atau komponen – komponen pendukung dalam
membuat sebuah barang setengah jadi maupun jadi. Contohnya dalam
merakit mobil, peralatan rumah tangga, hingga barang – barang elektronik.
2. Memasak, yang dapat diartikan sebagai barang yang diolah dengan cara
dipanaskan, baik dicampur dengan bahan lain ataupun tidak.
3. Mencampur, yang dapat diartikan sebagai kegiatan menyatukan beberapa
unsur guna menciptakan satu barang dan lebih barang lain.
4. Mengemas, yang dapat diartikan sebagai kegiatan memposisikan suatu
barang terhadap barang atau benda lainnya guna meningkatkan
pemasarannya atau memberikan keamanan dari berbagai hal yang memicu
kerusakan.

84
5. Membotolkan, yang dapat diartikan sebagai kegiatan menempatkan
minuman atau mengisi benda cair ke dalam botol lalu ditutup berdasarkan
cara tertentu. Dalam kegiatan lainnya atau dapat diartukan dengan kegiatan
yang dilakukan dengan bantuan orang lain atau kegiatan usaha lainnya.

Berikut beberapa daftar barang yang dikenakan PPNBM, antara lain :

1. Pada kendaraan bermotor, dalam hal ini ada kendaraan dan yang
dikecualikan, yakni kendaraan yang bersifat umum atau untuk kepentingan
seluruh masyarakat dan negara, seperti kendaraan untuk ambulans, jenazah,
pemadam kebakaran, tahanan hingga angkutan umum.
2. Pada kelompok hunian atau tempat tinggal mewah seperti rumah mewah,
apartemen, kondominium, townhouse dan sejenisnya.
3. Pada kelompok pesawat udara, dalam hal ini ada pesawat yang
dikecualikan, seperti diperuntukkan untuk keperluan negara atau angkutan
udara komersil.
4. Pada kelompok balon udara, tanpa terkecuali.
5. Pada kelompok persenjata – apian dan amunisinya, dalam hal ini ada
perlengkapan persenjata – apian yang dikecualikan apabila dipergunakan
dalam kepereluan negara, seperti yang digunakan TNI/POLRI.
6. Pada kelompok perkapalan mewah, seperti kapal pesiar atau yacht, dalam
hal ini ada kapal yang dikecualikan apabila dipergunakan untuk kepentingan
negara, angkutan umum hingga sebagai usaha pariwisata.

Barang – barang yang sudah disebutkan diatas memiliki ketentuan dalam


pengkategorian barang mewah berdasarkan tarif, berikut rincianya :

1. PPNBM dengan pengenaan tarif terendah sebesar 20% untuk BKP yang
tergolong mewah seperti :
a) Apartemen atau kondominium.
b) Townhouse atau cluster.
c) Hunian mewah yang dialokasikan sebagai lokasi kegiatan usaha.
2. PPNBM dengan pengenaan tarif sedang sebesar 40% untuk BKP yang
tergolong mewah seperti :
a) Pada kelompok balon udara.

85
b) Pesawat udara lainnya tanpa tenaga penggerak.
c) Pada persenjata – apian dan amunisinya (berdasarkan jenisnya),
kecuali dipergunakan untuk kepentingan negara.
3. PPNBM dengan pengenaan tarif menengah sebesar 50% untuk BKP yang
tergolong mewah seperti :
a) Pada kelompok pesawat udara, kecuali diperuntukan dalam
keperluan negara atau angakatan udara komersial.
b) Helikopter.
c) Pada persenjata – apian dan amunisinya (berdasarkan jenisnya),
kecuali dipergunakan untuk kepentingan negara.
4. PPNBM dengan pengenaan tarif menengah sebesar 75% untuk BKP yang
tergolong mewah seperti ;
a) Kendaraan air seperti kapal pesiar mewah dan yacht, kecuali
diperuntukkan untuk kepentingan negara atau angkutan umum.
b) Kendaraan air seperti kapal feri dan sejenisnya, kecuali
diperuntukkan untuk kepentingan negara atau angkutan umum.

2.5 KEWAJIBAN DAN HAK PARA PEMUNGUT PPN DAN PPNBM

Para pemungut PPN dan PPNBM memiliki kewajiban dan hak sebagai berikut:

1. Kewajiban pemungut PPN :


a) Mendaftarkan diri sebagai pemungut PPN dikantor Pelayanan Pajak
setempat.
b) Membayar PPN yang terutang oleh pelanggannya ke Kas Negara
dalam jangka waktu yang ditentukan.
c) Melaporkan pajak yang terutang dan pajak yang telah dipungut serta
mengajukan SPT masa PPN setiap bulan.
d) Menyediakan bukti pembayaran atau penerimaan pajak bagi
pelanggan yang dimungut PPN.
e) Menyampaikan informasi dan dokumen kepada Direktorat Jendral
Pajak apabila diminta.
2. Hak pemungut PPN :

86
a) Memungut PPN atas penjualan barang atau jasa yang dilakukan oleh
pelanggannya.
b) Memperoleh pengembalian PPN yang telah dibayar sebelumnya
apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
c) Menerima perlakuan yang sama dengan wajib pajak lainnya dalam
hal penghitungan, pemungutan dan pelaporan PPN.
d) Menerima perlindungan dari Direktorat Jendral Pajak terhadap
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain.
6. Kewajiban pemungut PPNBM
a) Mendaftarkan diri sebagai pemungut PPNBM dikantor Pelayanan
Pajak setempat.
b) Membayar PPNBM yang terutang oleh pelanggannya ke Kas
Negara dalam jangka waktu yang ditentukan.
c) Melaporkan pajak yang terutang dan pajak yang telah dipungut serta
mengajukan SPT masa PPNBM setiap bulan.
d) Menyediakan bukti pembayaran atau penerimaan pajak bagi
pelanggan yang dimungut PPNBM.
e) Menyampaikan informasi dan dokumen kepada Direktorat Jendral
Pajak apabila diminta.
7. Hak pemungut PPNBM :
a) Memungut PPNBM atas penjualan barang mewah yang dilakukan
oleh pelanggannya.
b) Memperoleh pengembalian PPNBM yang telah dibayar sebelumnya
apabila memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku.
c) Menerima perlakuan yang sama dengan wajib pajak lainnya dalam
hal penghitungan, pemungutan dan pelaporan PPNBM.
d) Menerima perlindungan dari Direktorat Jendral Pajak terhadap
pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pihak lain.

2.6 CARA PELAPORAN DAN MEMBAYAR PPN DAN PPNBM

1. Yang wajib membayar/menyetor dan melapor PPN dan PPNBM :


1) Pengusaha Kena Pajak (PKP)
2) Pemungut PPN dan PPNBM adalah :

87
a) Kantor pelayanan perbendaharaan negara.
b) Bendahara pemerintah pusat dan daerah.
c) Direktorat jendral bea dan cukai.
a) Yang wajib disetor :
1) Oleh PKP
a) PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan pajak
masukan dan pajak pengeluaran. Yang disetor adalah selisih
pajak masukan dan pengeluaran, bila pajak masukan lebih
kecil dari pajak pengeluaran.
b) PPNBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang Kena
Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c) PPN dan PPNBM yang ditetapkan oleh Direktorat Jendral
Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB),
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT),
dan Surat Tagihan Pajak (STP).
2) Oleh pemungut PPN dan PPNBM adalah PPN dan PPNBM yang
dipungut oleh pemungut PPN dan PPNBM.
3. Tempat pembayaran/penyetoran pajak
1) Kantor pos dan giro
2) Bank persepsi
4. Saat pembayaran/penyetoran PPN dan PPNBM
1) PPN dan PPNBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetor
paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir dan
sebelum surat pemberitahuan masa PPN disampaikan
2) PPN dan PPNBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP harus dibayar/disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam
SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3) PPN dan PPNBM atas impor, harus dilunasi bersamaan dengan saat
pembayaran bea cukai masuk dan apabila pembayaran bea masuk
ditunda/dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen
impor.
4) PPN dan PPNBM yang pemungutnya dilakukan oleh :

88
a) Bendaraha pemerintah, harus disetor paling lama tanggal 7
(tujuh) bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
b) Direktorat jendral bea dan cukai yang memungut PPN dan
PPNBM atas impor, harus disetor dalam jangka waktu 1
(satu) hari kerja setelah dilakukan pemungutan PPN pajak.
5) PPN dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik
(BULOG), harus dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat perintah
pengeluaran barang (D.O) ditebus.
5. Saat pelaporan PPN dan PPNBM
1) PPN dan PPNBM yang dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan
dalam bentuk SPT masa dan disampaikan kepada kantor pelayanan
pajak setempat paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa
pajak berakhir.
2) PPN dan PPNBM yang tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan
STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang
menerbitkan.
3) PPN dan PPNBM yang pemungutannya dilakukan :
a) Bendahara pemerintah harus dilaporkan paling lama akhir
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
b) Direktorat jendral bea dan cukai atas impor, harus dilaporkan
paling lama akhir bulan berikutnya setelah masa pajak
berakhir.
4) Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka PPN dan
PPNBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT
masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lama akhir
bulan berikutnya setelah masa pajak berakhir.
6. Sarana pembayaran/penyetoran pajak :
1) Untuk membayar/menyetor PPN dan PPNBM digunakan formulir
Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor – Kantor
Pelayanan Pajak dan Kantor – Kantor Pelayanan Penyuluhan dan
Konsultasi Perpajakan (KP2KP) di seluruh Indonesia.

89
2) Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan sah apabila jumlah
PPN dan PPNBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang
tercantum di dalam Daftar Nominatif Pajak (DNWP) yang dibuat
oleh Bank penerima pembayaran, kantor pos dan giro, atau kantor
direktorat jendral bea dan cukai penerima setoran.

2.7 SANKSI ATAU DENDA YANG DAPAT DIKENAKAN JIKA TERJADI


PELANGGARAN PPN DAN PPNBM

Ada beberapa sanksi atau denda yang dapat dikenakan jika terjadi pelanggaran
terkait PPN dan PPNBM, diantaranya adalah :

1. Sanksi administratif berupa teguran tertulis, denda administratif,


pencabutan nomor identitas Wajib Pajak (NPWP) dan penghentian
sementara kegiatan usaha.
2. Sanksi pidana, yaitu penjara dan / atau denda, jika seseorang melakukan
tindakan yang tergolong sebagai tindak pidana, seperti melakukan
pemalsuan faktur pajak, penggelapan pajak atau tindakan lainnya yang
merugikan negara.
3. Pembayaran bunga dan denda keterlambatan, jika wajib pajak tidak
membayar atau terlambat membayar PPN atau PPNBM sesuai dengan
ketentuan yang berlaku.
4. Penutupan sementara atau pnghentian usaha, jika wajib pajak tidak
memenuhi kewajibannya untuk membayar PPN atau PPNBM.

Sanksi atau denda yang akan diterapkan akan tergantung pada jenis pelanggaran
dan tingkat kesalahannya. Oleh karena itu, penting bagi wajib pajak untuk
mematuhi ketentuan yang berlaku dalam melakukan pembayaran PPN atau
PPNBM serta melaporkan semua transaksi yang terkait dengan pajak secara akurat
dan tepat waktu.

Contoh pelanggaran yang terjadi apabila patner bisnis (PT A) tidak


menyetorkan PPN ke kantor pajak atas transaksi yang telah kami (PT B) bayarkan
ke PT A? hukum apa yang dilanggar ?

90
Untuk pembeli yang memperoleh barang atau jasa kena pajak, maka harus
membayar PPN. Penyerahan barang atau jasa kena pajak ini dilakukan oleh
Pengusaha Kena Pajak(PKP).

Berdasarkan contoh diatas, PT B berarti adalah pembeli karena merupakan


pihak yang melakukan pembayaran, sedangkan PT A adalah PKP atau pihak yang
menyerahkan barang atau jasa kena pajak. Pembeli membayar PPN kepada PKP,
lalu PKP menyetorkan PPN ke kas negara.

Terkait hal ini, terdapat berbagai hak dan kewajiban yang melekat pada PKP.
Penjelasan pasal 3A ayat (1) UU 45/2009 menerangkan bahwa PKP wajib :

1. Melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP.


2. Memungut pajak yang terutang.
3. Menyetorkan PPN yang masih harus dibayar dalam hal pajak keluaran lebih
besar dari pada pajak masukan yang dapat dikreditkan serta menyetorkan
pajak penjualan atas barang mewah yang terutang.
4. Melaporkan perhitungan pajak.

Berdasarkan Undang – undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPNBM
dan perubahannya, hak PKP antara lain :

1. PKP dapat melakukan pengkreditan pajak masukan/pembeli atas barang


atau jasa kena pajak.
2. PKP dapat meminta restitusi jika pajak masukan lebih besar dari pajak
keluaran/penjualan dan berhak pula atas kompensasi kelebihan pajak.

Maka, terlepas dari apakah PT A menyetor atau tidak PPN yang telaha dibayar
PT B, PT B harus tetap melakukan kewajiban PT B sebagai pembeli untuk
membayar PPN ke PT A, sehingga PT B terhindar dari penggelapan pajak.

Selain itu, berdasarkan Pasal 16F UU 42/2009 dan penjelasannya, pembeli tidak
akan bertanggung jawab secara renteng dengan PKP atas pembayaran PPN yang
tidak dapat ditagih kepada PKP sepanjang dapat menunjukan bukti bahwa PPN
telah dibayar ke PKP.

91
Dalam Pasal 39 ayat (1) huruf (i) UU Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan. Ditekankan bahwa setiap orang yang dengan sengaja tidak
menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling sedikit 2 kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4 kali
jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Atas perbuatan PT A yang
tidak menyetorkan PPN ke kantor pelayan pajak, maka PT A dapat dijerat dengan
pasal diatas.

Dasar hukum :

1. UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umun dan Tata Cara


Perpajakan sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan UU Nomor
9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
kedua kali dengan UU Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas
UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah diubah ke tiga kali dengan UU Nomor 28
Tahun 2007 tentang Perubahan ketiga atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah
terakhir kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun
2008 tentang Perubahan keempat atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang telah ditetapkan menjadi
UU dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti UU Nomor 5 Tahun 2008 tentang perubahan
keempat atas UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan menjadi UU.
2. UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPNBM sebagaimana telah
diubah pertama kali dengan UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan
atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPN dan PPNBM, kedua kali dengan
UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan kedua atas UU Nomor 8
Tahun 1983 tentang PPN dan PPNBM dan terakhir kali dengan UU Nomor

92
42 Tahun 2009 tentang Perubahan ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983
Tentang PPN dan PPNBM.

2.8 CARA MENGHINDARI TERJADINYA MASALAH TERKAIT PPN


DAN PPNBM

Untuk menghindari terjadinya masalah terkait PPN dan PPNBM, berikut ini
beberapa hal yang dapat dilakukan :

1. Pastikan untuk memahami ketentuan dan aturan yang berlaku terkait PPN
dan PPNBM. Hal ini sangat penting untuk mencegah kesalahan dalam
melakukan pembayaran pajak dan pelaporan pajak.
2. Selalu melakukan pencatatan dan pelaporan transaksi secara akurat dan
tepat waktu, termasuk melaporkan pajak secara berkala, seperti pada saat
melakukan pembayaran pajak bulanan, triwulan atau tahunan.
3. Menggunakan jasa konsultan pajak atau akuntan yang berpengalaman dan
memiliki pengetahuan yang memadai mengenai peraturan perpajakan.
4. Menjaga ketersediaan dokumen – dokumen yang berkaitan dengan transaksi
pajak, seperti faktur pajak, surat jalan, dan bukti transaksi lainnya.
5. Menghindari melakukan tindakan yang dapat tergolong sebagai tindak
pidana perpajakan seperti pemalsuan faktur pajak, penggelapan pajak, atau
tindakan lainnya yang merugikan negara.

Dengan melakukan hal – hal tersebut, diharapkan dapat menghindari terjadinya


masalah terkait PPN dan PPNBM serta mencegah terjadinya transaksi dan denda
yang merugikan bisnis anda.

2.9 ALTERNATIF DAN KEBIJAKAN PAJAK LAIN YANG DAPAT


DIGUNAKAN UNTUK MENGGANTIKAN PPNBM

Ada beberapa alternatif dan kebijakan pajak lain yang dapat menggantikan
PPNBM, anntara lain :

1. Pajak Penjualan Barang Mewah (PPBM) adalah pajak yang dikenakan pada
penjualan barang mewah seperti mobil, kapal pesiar, pesawat, dan barang –
barang lainnya yang harganya sangat tinggi. PPBM memiliki tarif yang

93
lebih tinggi dari pada PPNBM dan dapat menjadi alternatif untuk
menggantikan PPNBM.
2. PPN Diferensial adalah sistem PPN yang berbeda – beda tarifnya sesuai
dengan jenis barang atau jasa yang dikenakan PPN. Sebagai contoh, barang
– barang mewah dan barang – barang yang berdampak negatif terhadap
lingkungan dapat dikenakan tarif yang lebih tinggi dari barang – barang
lainnya. PPN diferensial ini dapat menjadi alternatif untuk menggantikan
PPNBM dengan lebih adil dalam penentuan tarif.
3. Pajak Karbon adalah pajak yang dikenakan pada kegiatan yang
menghasilkakn emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya yang
berdampak pada perubahan iklim. Pajak karbon dapat menjadi alternatif
untuk menggantikan PPNBM karena memberikan insentif bagi produsen
untuk mengurangi emisi karbon.
4. Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan pada pendapatan individu
atau perusahaan. Pemerintah dapat menaikkan tarif pajak penghasilan untuk
menggantikan PPNBM, sehingga dapat memperoleh pendapatan yang sama
atau lebih besar untuk negara.

Namun, sebelum melakukan penggantian PPNBM dengan alternatif atau


kebijakan pajak lain, perlu dilakukan analisis terlebih dahulu mengenai dampak da
efektivitas masing – masing opsi. Hal ini akan membantu pemerintah dalam
memilih opsi yang paling cocok dan efektif untuk kepentingan masyarakat dan
perekonomian secara keseluruhan.

2.10 DAMPAK PENERAPAN PPN DAN PPNBM TERHADAP


PEREKONOMIAN INDONESIA SECARA KESELURUHAN

Penerapan PPN dan PPNBM memiliki dampak yang signifikan terhadap


perekonomian Indonesia secara keseluruhan sebagai berikut :

1. Pertama, penerpan PPN dan PPNBM dapat meningkatkan penerimaan


negara dan memperkuat fasilitas negara. Penerimaan negara dari PPN dan
PPNBM dapat digunakan untuk membiayai berbagai program dan kegiatan
dan kegiatan pembangunan, termasuk dalam meningkatkan infrastuktur dan
sumber daya manusia.

94
2. Kedua, penerapan PPN dan PPNBM juga dapat meningkatkan efesiensi dan
transparansi dalam sistem perpajakan. PPN dan PPNBM memungkinkan
pemerintah untuk mengumpulkan pajak secara lebih efisien, karena dapat
melacak aliran barang dan jasa dalam perekonomian. Hal ini juga dapat
mengurangi kebocoran pajak dan meningkatkan kesadaran pajak masyarkat.
3. Ketiga, penerapan PPN dan PPNBM juga dapat mempengaruhi konsumsi
dan produksi di Indonesia. Dalam jangka pendek, konsumsi masyarakat
dapat menurun akibat kenaikan harga barang dan jasa akibat penerapan PPN
dan PPNBM. Namun, dalam jangka panjang penerapan PPN dan PPNBM
dapat merangsang produksi dalam negeri, meningkatkan daya saing industri
dalam negeri, dan mendorong investasi asing.

Namun, demikian penerapan PPN dan PPNBM juga memiliki dampak negatif
jika tidak diatur dengan baik. Misalnya, kenaikan harga barang dan jasa akibat PPN
dan PPNBM dapat mempengaruhi daya beli masyarakat dan menyebabkan inflasi.
Oleh karena itu, diperlukan kebijakn yang tepat dalam penerapan PPN dan PPNBM,
seperti pembebasan PPN dan PPNBM bagi barang – barang tertentu yang
diperlukan masyarakat, serta pemantauan dan evaluasi terhadap penerapan PPN dan
PPNBM agar dapat mengurangi dampak negatifnya.

95
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Pengenaan Pajak Penghasilan Nilai ini didasarkan atau dipengaruhi atas


beberapa faktor, yaitu perkembangan transaksi bisnis dan pola konsumsi
masyarakat yang merupakan obyek dari Pajak Pertambahan Nilai, Perkembangan
transaksi bisnis yang dalam tahun ke tahun perubahannya semakin dinamis, baik
itu dalam hal jenis transaksi maupun pola transaksi bisnis.

Pakaian bekas import bukan merupakan Barang Kena Pajak, karena jika masuk
ke Indonesia merupakan barang ilegal dan mempunyai akibat hukum. Apabila tetap
mengimport pakaian bekas akan dikenai sanksi hukum hal ini sesuai dengan
Keputusan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan No. 233/MPP Kep/7/1999.
Keputusan Kementerian Perindustrian dan Perdagangan No. 642/MPP Kep/9/2002
tentang Pelaranga Pakaian Bekas Import. Oleh karena itu, pakaian bekas import
tidak termasuk katagori barang kena pajak.

Kebijakan pembebasan PPnBM terhadap barang mewah termasuk di dalamnya


tas – tas mewah yang terbuat dari kulit maupun kulit tiruan secara normative tidak
konsisten dengan U 42/2009 khususnya pada bagian penjelasan ketidaksesuaian ini
adalah sebagai berikut :

a) Kebjakan pembebasan PPnBM terhadap beberapa barang mewah termasuk


mewah merupakan kebijakan yang tidak memperhatikan keseimbangan
beban pajak antara masyarakat yang berpenghasilan tinggi dengan
masyarakat yang berpenghasilan rendah dikarenakan adanya pembebasan
PPnBM, beban pajak bagi konsumen yang mengkonsumsi barang – barang
mewah yang pada umumnya masyarakat menengah ke atas menjadi
semakin ringan sehingga menimbulkan dampak regresif dalam pengumutan
pajak.
b) Kebijakan pembebasan PPnBM juga bertentangan dengan maksud adanya
pengenaan PPnBM yaitu dalam rangka mengendalikan pola konsumsi
terhadap barang – barang mewah lainnya maka pemerintah tidak berusha

96
untuk mengandalkan konsumsi barang mewah melainkan merangsang
konsumen untuk mengkonsumsi barang mewah.
c) Kebijakan pembebasan PPnBM terhadap beberapa barang mewah termasuk
tas mewah juga terbukti tidak dapat dilindungi produsen kecil karena pada
faktanya jumlah produk import dipasar Indonesia yang menggerus
penjualan produk dari dalam negeri.
d) Kebijakan ini juga tidak menunjukan adanya upaya pemerintah untuk
megamankan perintah negara dalam sektor pajak.
e) Dalam bagian penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 42/2009 diberikan kualitas
barang yang termasuk kedalam kategori barang mewah, karena tas terbuat
dari kulit maupun kulit tiruan memenuhi kualifikasi sebagai barang mewah,
karena tas kulit maupun kulit tiruan adalah bukan barang kebutuhan pokok,
barang yang dikonsumsi oleh masyarakat tertentu khususnya masyarakat
yang berpenghasilan tinggi dan barang tersebut merupakan barang yang
digunakan untuk menunjukan status social.
f) Kebijakan PPnBM terhadap beberapa barang mewah termasuk tas mewah
juga gagal mencapai tujuan – tujuannya, tujuan dari kebijakan ini adalah
untutk meningkatkan daya beli masyarakat atas tas – tas mewah karena
harga tinggi maupun rendah masyarakat menengah ke atas akan tetap
membeli tas tersebut karena faktor bentuknya bukan haraganya. Jadi secara
normatif maupun sosiologis kebijakan terhadap barang mewah termasuk tas
mewah tidak konsisten dengan UU 42/2009 dan tidak efektif untuk
mencapai tujuan – tujuannya. Kebijakan pembebasan PPnBM terhadap
beberapa barang mewah tidak menunjukan ketidak konsistennya dengan
asas keadilan dalam hukum pajak. Kebijakan pembebasan PPnBM terhadap
tas – tas mewah dan barang mewah lainnya hanya di nikmati oleh segelintir
orang yaitu masyarakat yang mampu mengkonsumsi tas mewah yang
jumlahnya hanya 10% dari jumlah total penduduk Indonesia.

Kebijakan ini juga menimbulkan kesenjangan beban pajak antara masyarakat


yang berpenghasilan tinggi dengan masyarakat yang berpenghasilan rendah,
dengan terjadinya kesenjangan beban pajak ini, maka menimbulkan ketidakadilan
bagi masyarakat.

97
3.2 SARAN

Adapun saran yang penulis berikan kepada pembaca diantaranya, para


pembaca dapat lebih memehami dan mengerti pentingnya Pajak Pertambahan Nilai
(PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNBM).

Demikian makalah ini yang dapat penulis sampaikan, penulis berharap


untuk pembaca agar dapat memberikan kritikan kepada penulis baik masukkan
yang positif demi menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini memberikan
faedah bagi kita semua.

98
DAFTAR PUSTAKA

https://www.softwarepajak.net/news/131-seri-ppn-dan-ppnbm-tata-cara-
pembayaran-dan-penyetoran-ppn-dan-ppnbm/
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20220402101303-532-779294/daftar-
barang-yang-kena-ppn-11-persen-april-2022
https://www.pajakku.com/read/62eb3d47a9ea8709cb18b785/Mengenal-PPnBM:-
Tarif-dan-Daftar-Barang-yang-Terkena-PPnBM
https://www.hukumonline.com/klinik/a/pengusaha-tak-setor-ppn--apa-yang-dapat-
dilakukan-pembeli-lt51ae95f7ef519
https://fiskal.kemenkeu.go.id/kajian/2010/07/13/182646569324955-analisis-
dampak-kebijakan-ppnbm-terhadap-perekonomian
https://fiskal.kemenkeu.go.id/fiskalpedia/2021/07/13/173618726358430-pajak-
pertambahan-nilai-ppn
https://www.pajakku.com/read/631aa18bfa33631a29757261/Apa-Itu-PPh-Pasal-
21/26?-Dasar-Hukum-Tarif-hingga-Perhitungan

99
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU TIDAK 6 Tahun 1983 sebagaimana telah

hal terakhir denganUU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara

Perpajakan adalah ”kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang

pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan

tidak mendapat timbal balik secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara

bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakya”. Mengisyaratkan bahwa perlukan

adanya pembaruan sistem perpajakan guna meningkatkan kemampuan negara dan

masyarakat untuk keuangan pembangunan yang berasal dari sumber-sumber dalam

negeri, karena semakin meningkat penerimaan yang sumber dari dalam negeri akan

semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan

pembangunan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut pada

sebagai tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial

ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak itu atau

yang memperoleh manfaat dari dia. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah nilai

Jual HAIbjek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah

dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan. Tanah dan bangunan

merupakan hak yang diperoleh oleh setiap orang,tetapi selain hak kita juga

mempunyai kewajiban atas tanah dan bangunan tersebut. Kewajiban tersebut

berupa pajak. Pajak yang dikenakan terhadap tanah dan bangunan ini bernama Bea

Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).Pajak yang dikenakan atas

100
tanah dan bangunan ini atau BPHTB ini bersifat wajib bagi wajib pajak yang

mempunyai tanah dan bangunan. Mengenai ini sudah ditetapkan dalam UU

TIDAK. 20Tahun 2002 dan juga terdapat pada keputusan Mentri Keuangan

No.516/KMK04/2004.

1.2 RUMUSAN MASALAH

a. Apa pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ?


b. Apa Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan?
c. Apa Subjek Pajak Bumi dan Bangunan?
d. Apa Objek pajak bumi dan Bangunan?
e. Bagaimana tarif Pajak Bumi dan Bangunan
f. Apa Rumus Pajak bumi dan bangunan?
g. Bagaimana Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan?
h. Apa pengertian Hak Bea peroleh Atas Tanah dan Bangunan?
i. Apa Subjek dan objek Bea Peroleh Hak atsa Tanahdan Banguna?
j. Apa Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)?
k. Bagaimana Dasar Pengenaan Pajak Bea Peroleh Hak aras Tanah dan
Bangunan?
l. Bagaimana Pengurangan Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan?
m. Apa Persyaratan untuk Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan?
n. Bagaimana Tarif Pajak dan Cara Menghitung Bea Peroleh Hak atas Tanah
dan Banguna?

1.3 TUJUAN DAN MANFAAT

a. Untuk mengetahui pengertian Pajak Bumi dan Bangunan.


b. Untuk mengetahui Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan.
c. Untuk mengetahui Subjek Pajak Bumi dan Bangunan.
d. Untuk mengetahui Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
e. Untuk mengetahu Tarif Pajak Bumi dan Bangunan.
f. Untuk mengetahui Rumus Pajak Bumi dan Bangunan.
g. Untuk mengetahui Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
h. Untuk mengetahui pengertian Bea Pperoleh Hak atas Tanah dan
Bangunan.
i. Untuk mengetahui Subjek dan Objek Bea Peroleh Hak atas Tanah dan
Bangunan.
j. Untuk mengetahui Dasar pengenaan Bea Peroleh Hak atas Tanah dan
Bangunan.

101
k. Untuk mengetahui Pengurangan Bea Peroleh Hak atas Tanah dan
Bangunan
l. Untuk mengetahui Syarat untuk Bea Peroleh Hak atas Tanah dam
Banguna.
m. Untuk mengetahui Cara perhitungan dalam Bea Peroleh Hak atas Tanah
dan Bangunan.

102
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pajak Bumi dan Bangun.


1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (disingkat PBB) adalah pungutan yang harus
dibayar atas keberadaan bumi dan bangunan yang memberikan manfaat dan status
sosial ekonomi bagi seseorang atau badan yang mempunyai hak atasnya atau
mendapatkan manfaat padanya. Karena Pajak Bumi dan Bangunan bersifat
material, besaran tarif ditentukan dari luas dan kondisi tanah atau bangunan yang
ada. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun
1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.

2. Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas objek pajak
bumi dan bangunan yang diatur pengenaannya berdasarkan undang-undang . UU
No 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No 12 Tahun
1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
1. KMK No. 201/KMK.04/2000 tentang penyesuaian besarnya nilai jual objek
pajak tidak kena pajak sebagai dasar penghitungan besar pajak bumi dan
bangunan.
2. KMK No. 523/KMK 04/1998 tentang klasifikasi dan besarnya nilai jual
objek pajak sebagai dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan.
3. KMK No. 1004/KMK.04/1985 tentang perekrutan badan atau perwakilan
organisasi internasional yang menggunakan objek pajak bumi dan bangunan
yang tidak mengenakan pajak bumi dan bangunan.
4. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 tentang tata cara penetapan
besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak sebagai dasar penghitungan
pajak bumi dan bangunan.
5. Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 tentang pengenaan pajak
budan bangunan.

103
6. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 tentang penyesuaian
besarnya nilai jual objek pajak tidak kena pajak (NJOPTKP) PBB dan
perubahan nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak (NPOPTKP)
BPHTB untuk tahun pajak 2004.
7. Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 tentang penegasan dan
penjelasan pengungkapan PBB atas fasilitas umum dan sarana sosial untuk
kawasan industri real Estate.
3. Objek Pajak Bumi dan Bangunan
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa pajak bumi dan bangunan
dikenakan atas bumi dan bangunan, otomatis yang menjadi objek pajaknya adalah
bumi dan bangunan. Bumi dan atau bangunan kecuali kawasan yang digunakan
untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan (pasal 77 ayat 1).

Yang menjadi objek pajak adalah

1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah atau perairan untuk tempat tinggal, tempat usaha maupun
tempat yang diusahakan (pasal 1 UU No. 12 tahun 1985 dan UU No. 12
tahun 1994).
Yang termasuk pengertian bangunan adalah

1. Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu komplek bangunan seperti


hotel, pabrik, dan emplasemen dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan
dengan komplek bangunan tersebut
2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan atau kilang minyak, air, dan gas, pipa minyak
9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat
10. Objek Pajak Bumi dan Bangunan yang dikecualikan

104
11. Serta fasilitas yang memberikan manfaat
( penjelasan pasal 1 ayat 2 UU No.12 tahun 1985 dan UU No. 12 tahun
1994).

Objek yang dikecualikan adalah:

a. Digunakamata-mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah,


sosial, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan
untuk memperoleh keuntungan, seperti: masjid, rumah sakit, sekolah,
panti asuhan, candi, gereja, dan lain-lain.
b. Ditambang untuk kuburan
c. Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala dan situs
sejarah
d. Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan
lain-lain
e. Diwakili oleh penawaran utilitas berdasarkan asal timbal balik dan
organisasi internasional yang ditentukan oleh menteri keuangan.
4. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak bumi dan bangunan dikenakan atas bumi atau bangunan. Subjek pajak
bumi dan bangunan adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi,dan memperoleh manfaat atas bumi, dan menguasai atau
memperoleh manfaat atas bangunan. Dengan demikian, subjek pajak tersebut
menjadi wajib pajak bumi dan bangunan.
Jika subjek pajak dalam waktu yang lama berada diluar wilayah letak objek
pajak sedangkan peralatannya dikusakan kepada orang atau badan, orang atau
badan yng diberi kuasa dapat ditunjuk sebagi wajib pajak oleh direktur jenderal
pajak. Namun penunjukan tersebut bukan merupakan bukti kepemilikan. Subjek
pajak yag ditetapkan seperti pada contoh diatas dapat memberikan keterangan
secara tertulis kepada direktur jenderal pajak bahwa ia bukan wajib pajak terhadap
objek pajak yang dimaksud. Apabila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak
disetujui, maka direktur jenderal pajak membatalkan sebagai wajib pajak dalam
jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan tersebut.
5. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan.

105
Tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak adalah 0,5% dan jenis tariff ini
disebut sebagai tariff tunggal yang berlaku bgi objek pajak jenis apapun diseluruh
wilayah idonesia. Trif efektif pajak bumi dan bangunan adlah 0,1% untuk ojek yang
nilai jual objek pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk objek yang nilai
jual objek pajak (NJOP) sama diatas milyar.
Dasar perhitungan pajak bumi dan bangunan
Dasar perhitungan bumi dan bangunan adalah nilai jual kena pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah :
1. Objek pajak perkebunan adalah 40%
2. Objek pajak kehutanan adalah 40%
3. Objek pajak pertambangan 40%
4. Objek pajak lainnya (perdesaan dan perkotaan )
 Apabila NJOP nya < Rp. 1.000.000.000 adalah 40%
 Apabila NJOP nya > Rp. 1.000.000.000 adalah 20%
6. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
Rumus Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP
Contoh :
a. Jika NJKP = 40% X (NJOP – NJOPTKP)
maka besarnya pajak bumi dan bangunan.
NJKP = 0,5% X 40% X (NJOP – NJOPTKP)
= 0,2% X (NJOP – NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% X (NJOP – NJOPTKP)
maka besarnya pajak bumi dan bangunan.
NJKP = 0,5% X 20% (NJOP – NJOPTKP)

= 0,1 % X (NJOP – NJOPTKP)

7. Cara Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan


Otong memiliki tanah seluas 72 meter persegi, setiap meter persegi sehaarga
Rp. 2.000.000. bangunan seluas 36 meter persegi, setiap meter persegi seharga Rp.
1.000.000. dan taman seluas 36 meter persegi, setiap meter persegi seharga Rp.
500.000. apabila NJOPTKP yang ditetapkan adalah Rp. 10.000.000, berapa PBB
yang harus dibayar Otong?

106
Diketahui:
Nilai tanah 72 x Rp. 2.000.000 = Rp. 144.000.000
Bangunan 36 x Rp. 1.000.000 = Rp. 36.000.000
Taman 36 x Rp. 500.000 = Rp. 18.000.000
1 Menghitung nilai bangunan
Nilai bangunan = bangunan + taman – NJOPTKP
Bangunan Rp. 36.000.000
Taman Rp. 18.000.000 (+)
Rp. 54.000.000
NJOPTKP Rp. 10.000.000 (-)
Nilai bangunan Rp. 44.000.000
2 Menghitung Niai Jual Objek Pajak (NJOP)
NJOP = nilai bangunan + taman
Nilai bangunan Rp. 44.000.000
Nilai tanah Rp. 144.00.000 (+)
NJOP Rp. 188.000.000
3 Menghitung PBB yang harus dibayarkan
Nilai tanah 0,5% x 20% x Rp. 144.000.000 = Rp 144.000
Nilai bangunan 0,5% x 20% x Rp. 44.000.000 = Rp. 44.000 (+)
PBB yang harus dibayarkan = Rp. 188.000 (harus sama dengan NJOP)

B. Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan


1. Pengertian Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan.
(Pasal 1 UU No. 21 tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000) Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan yang selanjutnya disingkat BPHTB adalah Pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan/atau Bangunan oleh orang pribadi atau Badan.
Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta Bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang di bidang pertanahan dan Bangunan.
2. Subjek dan Objek Bea Peroleh Hak atas Bangunan

107
Subjek Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah orang
pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek
BPHTB yang dikenankan kewajiban wajib bayar BPHTB yang menurut peraturan
perundang- undang pajak yang menjadi wajib pajak. Objek Bea Peroleh Hak atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan. Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan meliputi:
1. Pemindahan hak karena:
a. Jual beli
b. Tukar-menukar
c. Hibah
d. Hibah wasiat
e. Waris
f. Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lain
g. Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan
h. Penunjukan pembeli dalam lelang
i. Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hokum
tetap
j. Penggabungan usaha
k. Peleburan usaha
l. Pemekaran usaha atau
m. Hadiah.

Pemberian hak baru karena:


1. Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak
baru karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru
kepada orang pribadiatau badan hukum dari negara atas tanah yang
berasal dari pelepasan hak.
2. Di luar pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru
di luar pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada
orang pribadi atau badan hukum dari negara atau dari pemegan hak
milik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) Ditetapkan
Secara Regional Paling Banyak .

108
Berikut ini adalah beberapa perolehan objek pajak tidak kena pajak
(NPOPTKP) yang dapat mengurangi NPOP suatu objek pajak tertentu sebagai
berikut :
1. Rp. 49.000.000 (empat puluh sembilan juta rupiah) dalam hal
perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) dan Rumah Susun
Sederhana
2. Rp. 10.000.000 (sepuluh juta rupiah) dalam hal perolehan hak baru
melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha kecil atau
mikro dalamrangka program peningkatan sertifikasi tanah untuk
memperkuat penjaminankredit bagi usaha mikro dan kecil.
3. 3. Rp. 300.000.000 (tiga ratus juta rupiah) dalam hal perolehan hak
karenawaris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus
atau sederajat keatas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
termasuk istri/suami.4. Paling banyak Rp. 60.000.000n (enam puluh
juta rupiah) dalam hal selain yang disebutkan di atas.
Yang dikecualikan dari Objek Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) adalah Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan:
Untuk kantor Pemerintah, Pemerintahan Daerah, penyelenggara negara dan
lembaga negara lainnya yang dicatat sebagai barang milik negara atau barang milik
Daerah;
1. Oleh Negara untuk penyelenggaraan pemerintahan dan/atau
untuk pelaksanaan pembangunan guna kepentingan umum;
2. Untuk badan atau perwakilan lembaga internasional dengan
syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain di
luar fungsi dan tugas
3. Hak atas Tanah Sebagai Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan.

Yang dimaksud hak atas tanah adalah :

1. Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh


yang dapat dipunyai orang pribadi atau badan-badan hukum
tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.

109
2. Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu
sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-
undanganyang berlaku
3. Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan
mempunyai bangunan-bangunanatas tanah yang bukan
miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan
dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
4. Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau
memungut hasil dari tanah yangdikuasai langsung oleh
Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yangberwenang memberikannya
atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan
perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah,
segala sesuatu sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan
peraturan perundang-undangan yangberlaku
5. Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan
yang bersifat perseorangan dan terpisah. Hak milik atas
satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya
merupakan satu kesatuan yang tidakterpisahkan dengan
satuan yang bersangkutan.
6. Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang
kewenangan pelaksanaannyasebagian dilimpahkan kepada
pemegang haknya,antara lain, berupa
perencanaanperuntukan dan penggunaan tanah, penggunaan
tanah untuk keperluan pelaksanaantugasnya, penyerahan
bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan
atau bekerja sama dengan pihak ketiga.

4. Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak BPHTB

110
Dasar pengenaan BPHTB adalah nilai perolehan objek pajak. Nilai perolehan objek
pajak ditetapkan sebagai berikut:

1. harga transaksi untuk jual beli;


2. nilai pasar untuk tukar menukar,
3. hibah,
4. hibah wasiat,
5. waris,
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya,
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan,
8. peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap,
9. pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak,
10. pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak,
11. penggabungan usaha,
12. peleburan usaha,
13. pemekaran usaha,
14. hadiah
15. Penunukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang
tercantum dalam risalah lelang untuk penunjukan pembeli dalam
lelang.

Menurut ketentuan Pasal 6 ayat (3), bila NPOP tidak diketahui atau NPOP lebih
rendahdari NJOP PBB maka yang menjadi dasar pengenaan adalah NJOP PBB dan
apabila NJOPPBB belum ditetapkan maka sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (4)
besarnya NJOP PBBditetapkan oleh Menteri Keuangan. Selanjutnya di dalam Pasal
7, pemerintah menentukan suatu batas nilai perolehan tidak kena pajak yang disebut
Nilai Perolehan Objek Pajak TidakKena Pajak (NPOPTKP). Ketentuan Pasal 7 Ini
dijabarkan lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah dan yang terakhir adalah
Peraturan Pemerintah (PP) No. 113 Tahun 2000 tentangPenentuan Besarnya
NPOPTKP BPHTB.
PP No. 113 Tahun 2000 ditindaklanjuti dengan Keputusan Menteri Keuangan
(KMK) No.516/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 tentang Tata Cara
Penentuan Besarnya NPOPTKP BPHTB, yang telah diubah beberapa kali dengan:

111
1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 86/PMK.03/2006 tentang
Perubahan AtasKeputu- san Menteri Keuangan Nomor
516/KMK.04/2000 Tentang Tata CaraPenentuan Besarnya
NPOPTKP BPHTB;
2. PMK No 33/PMK.03/2008 Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 516/KMK.04/200 Tentang Tata Cara Penentuan
Besarnya NPOPTKP.
3. PMK No. 14/PMK.03/2009 Perubahan Ketiga Atas Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 516/KMK.04/2000 Tentang Tata Cara Penentuan
Besarnya NPOPTKP BPHTB.
Peraturan ini berisikan ketentuan sebagal berikut:

a. Untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima
orang pribadiyang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis
keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan
pemberi hibah wasiat, termasuksuami/istri, ditetapkan paling banyak
Rp.300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah):
b. Untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana
diatur dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
03/PERMEN/M/2007 tentang Penad Perumahan dan Permukiman
dengan dukungan fasilitas subsidi. Perumahan melalui KPA bersubsidi
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri NegaraPerumahan
Rakyat Nomor 07/PERMEN/M/2008,dan Rumah susun sederhana
sebagaimana diatur datam Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Nomor7/PERMEN/M/2007 tentang Pengadaan Perumahan
dan Permukiman dengan dukungan fasilitas subsidi Perumahan Melalui
KPR Susun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp55.000,000,00 (lima
puluh lima juta rupiah):
c. Untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima
pelaku usaha kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan
Sertifikasi Tanah untuk memperkuat penjaminan kredit bagi usaha
Mikor dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp10,000.000,00 (sepuluh juta
rupiah);

112
d. Untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp60.000.000,00
(enam puluh juta rupiah):
e. Dalam hal nilai perolehan objek pajak tidak kena pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar dari pada nilai
perolehan objek pajak tidak kena pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf b, maka nilai Perolehan objek pajak tidak kena
pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan objek pajak tidak kena pajak
sebagaimana ditetapkan pada huruf d:
f. Dalam hal nilal Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang
ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf d lebih besar dari pada
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan
sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek Pajak
Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada
huruf e ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak
Kena Pajak sebagaimana ditetapkan pada huruf d. Besarnya NPOPTKP
ditetapkan secara regional, maksudnya adalah NPOPTKP tersebut
ditetapkan perdaerah tingkat I (Kabupaten/Kota) dengan
mempertimbangkan ususlan dari Kepal Daerah yang bersangkutan.
5. Pengurangan Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan.
Dalam peraturan Menteri Keuangan No. 91/PMK.03/2006, Atas
permohonan WajibPajak, dapat diberikan pengurangan Bea Perolehan Hak atas
Tanah dan Bangunansebesar 25% (dua puluh lima persen) dari pajak yang
terhutang, dalam hal :
1. Wajib Pajak orang pribadi yang memperoleh hak atas tanah dan
bangunan Rumah Susun Sederhana (RS), dan Rumah Susu
Sederhana(RSH) serta Rumah Susun Sangat Sederhana (RSS) yang
yang diperolehlangsung dari pengembangan dan dibayar secara
angsuran.Atas permohonan Wajib Pajak, dapat dikenakan
pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan
sebesar 50% (lima puluh persen) dari pajak yang terutang

113
2. Wajib Pajak badan yang memperoleh hak baru selain hak
pengelolaan dantelah menguasai tanah dan atau bangunan secara
fisik lebih dari 20 tahunyang dibuktikan dengan surat pernyataan
wajib pajak dan keterangan dariPejabat Pemerintah Daerah setempat
3. Wajib Pajak orang pribadi yang menerima hibah dari orang pribadi
yang mempunyai hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan
lurus satuserajat ke atas atau satu derajat ke bawah
4. Wajib Pajak yang memperoleh hak atas tanah melalui pembelian
dari ganti rugi Pemerintah yg nilai ganti ruginya dibawah Nilai jual
Objek Pajak
5. Wajip Pajak yang memperoleh hak atas tanah sebagai pengganti atas
tanah di bebaskan oleh pemerintah untuk kepentingan umum
6. Wajib Pajak yang melakukan Penggabungan Usaha atau Peleburan
Usaha dengan atau tanpa terlebih dahulu megadakan Likuidasi dan
telah memperoleh keputusan persetujuan penggunaan Nilai Buku
dalam rangkap penggabungan atau peleburan usaha dari Direktur
Jendral Pajak.
7. Wajib Pajak memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan yang
tidak berfungsi lagi seperti semula disebabkan bencana alam atau
sebab-sebab lainnya.
8. Wajib Pajak Badan anak perusahaan dari perusahaan asuransi dan
reasuransi yangmemperoleh hak atas tanah atau bangunan yang
berasal dari perusahaan induknyaselaku pemegang saham tunggal
sebagai kelanjutan dari pelaksanaan Keputusan Mentri Keuangan
tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Reasuransi.
9. Tanah atau bangunan digunakan untuk kepentingan sosial atau
pendidikan yangsemata-mata tidak untuk mencari keuntungan
antara lain untuk panti asuhan, pantijompo, rumah yatim piatu,
sekolah yang tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,rumah sakit
swasta milik institusi pelayan sosial masyarakat.

114
6. Persyaratan untuk Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan.
Persyaratan yang harus dipenuhi saat transaksi jual beli rumah adalah

1. Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB


2. Fotokopi KTP dan NPWP
3. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT-PBB) terkait tahun yang bersangkutan
4. Fotokopi bukti kepemilikan Tanah
5. Fotokopi Surat Tanda Terima Sementara (STTS) atau struk ATM
sebagai bukti pembayaran PBB dalam 5 tahun terakhir

Jika tanah atau rumah didapatkan dari hibah atau warisan, maka
persyaratannya sebagai berikut :

1. Surat Setoran Pajak Daerah (SSPD) BPHTB


2. Fotokopi KTP dan NPWP
3. Fotokopi Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan
Bangunan (SPPT-PBB) terkait tahun yang bersangkutan
4. Fotokopi bukti kepemilikan Tanah
5. Fotokopi Surat Tanda Terima Sementara (STTS) atau struk ATM
sebagai bukti pembayaran PBB dalam 5 tahun terakhir
6. Fotokopi surat keterangan akta hibah atau waris
7. Fotokopi Kartu Keluarga (KK)

7. Cara Menghitung Bea Peroleh Hak atas Tanah dan Bangunan


Cara Menghitung BPHTB Untuk menghitung besarnya Nilai Perolehan
Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) adalah dengan cara mengurangkan NPOP
dengan NPOPTKP. Dengan demikian untuk menghitung besarnya BPHTB terutang
adalah :
BPHTB terutang = Tarif x NPOPKP atau

= 5% x (NPOP - NPOPTKP)

Contoh 1:

115
Pada tanggal 1 Pebruari 2003, Bapak Sudirjo membeli sehidang tanah yang
terletak diKabupaten Tangerang dengan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)
sebesar Rp50.000.000,-. Apabila NPOPTKP ditetapkan untuk Kabupaten
Tangerang sebesar Rp60.000.000,- makaBPHTB yang menjadi kewajiban Bapak
Sumarno tsb adalah:
5% x (50.000.000 - 60.000.000) = Nihil atau dengan kata lain Bapak Sudirjo tidak
terutangBPHTB.
Contoh 2:
Pada tangal 1 Maret 2003 , Bapak Rahmat membeli sebuah rumah seluas
200 M2 vangberada diatas sebidang tanah hak milik seluas 500 M di Kota Bogor
dengan harga perolehansebesar Rp500,000.000,- Berdasarkan data SPPT PBB atas
objek tersebut teryata NJOPnya Sebesar Rp. 600.000.000,- (tanah dan bangunan)
Bila NPOPTKP ditentukan sebesar Rp.50.000.000,- maka kewajihan BPHTB yang
harus dipenuhi oleh Bapak Rahmat tersebut :
5% x (600.000.000 -50.000.000)= Rp27.500.000,
Contoh 3
PT Perdana membeli sebidang tanah dan bangunan dengan nilal transaksi
sebesar Rp950.000.000. Sesuai SPPT PBB, tanah seluas 1.000 meter persegi
mempunyai NJOP Rp.537.000 per meter persegi dan bangunan seluas 500 meter
persegi mempunyai NJOP Rp700.000 per meter persegi. NPOPTKP diketahui
sebesar Rp50.000.000. Besarnya BPHTB yang terutang dihitung sebagai berikut:
NJOP tanah: 1.000 m x Rp537.000 Rp. 537.000.000
NJOP bangunan: 500 mx Rp700.000 Rp. 350.000.000
NJOP PBB Rp. 887.000.000
Harga transaksi lebih besar daripada NJOP PBB, maka yang dipakai sebagai
dasar pengenaan pajak (BPHTB) atau NPOP adalah nilai/harga transaksi
NPOP Rp. 950.000.000
NPOPTKP Rp. 50.000.000 (-)
NPOPKP Rp. 900,000.000
BPHTB yang terutang: 5% x Rp900.000.000 Rp. 45.000.000

116
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salh satu pajak yang dikelola
oleh direktorat pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan
Nilai (PPN), BeaMeterai (BM) dan Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau
Bangunan (BPHTB). PBB adalah termasuk jenis pajak objektif, di mana yang
lebih ditekankan dalam pengenaan pajak ini adalahpada objeknya. Hal ini bisa
kita lihat dari susunan pasal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun1985 dan
perubahannya yang menempatkan pasal tentang objek pajak lebih dahulu dari
pada subjeknya.Banyak hal yang harus diketahui tentang PBB dan peraturannya
pun terus berkembang sehingga kita harus selalu mencari informasi terbaru
tentang perpajakan.Pajak BPHTB adalah sumber penting dalam pendapatan
negara terutama untuk daerah. Karenahanya sebagian kecil yaitu 20 persen untuk
pusat dan 80 persennya merupakan bagian dari daerah. Sehingga dibutuhkan
sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga konsistensi dalam
pembangunan. Demi mendapatkan hasil yang maksimal atas pajak BPHTB.
Memberikan konsekuensi kepada pemerintah untuk memberikan stimulan dan
insentif kepada pengembang perumahan maupun masyarakat miskin agar
program pembangunan perumahan bisa terwujud. Sebagai salah satu upaya dalam
pembanguna atas pajak BPHTmenjadi empat buah fungsi : perencanaan
(planning), penataan (organizing), kepemimpinan (leading), dan pengendalian
(controlling).
B. Saran
Dengan selesainya makalah ini semoga bermanfaat bagi pembaca.
Makalah ini jauh dari kesempurnaan. Untuk itu saya mohon kepada para
pembaca agar dapat memberikan saran, kritik, atau komentarnya demi
kelancaran tugas ini. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.

117
DAFTAR PUSTAKA
https://klikpajak.id/blog/pengertian-pbb-dan-cara-mengecek-secara-online
http://rasmankhan.blogspot.co.id/2016/03/makalah-pajak-bumi-dan-bangunan-
pbb.
http://dessyazka.blogspot.co.id/2015/06/perpajakan-bea-meterai-bphtb.
http://royanmakalah.blogspot.co.id/2013/01/pajak-bumi-dan-bangunan.html27
https://pajakda.bantulkab.go.id/web/v1/artikel?title=informasi-bea-perolehan-
hak-atas-tanah-dan-bangunan
https://pajakda.bantulkab.go.id/web/v1/artikel?title=informasi-bea-perolehan-
hak-atas-tanah-dan-bangunan

118

Anda mungkin juga menyukai