Anda di halaman 1dari 3

Lingkungan Kampus merupakan lingkungan dimana mahasiswa menjalani proses belajardan

melakukan aktivitas, dalam kehidupan kampus akan terasa nyaman dan aman ketika
adaperaturanyangmenjaminakankenyamananprosespembelajaran,menciptakankampusamantan
pa kekerasan seksual menjadi cita-cita bersama yang harus di wujudkan, tapi nyatanyahingga
saat ini masih banyak sekali kasus kejadian kekerasan seksual yang ada di perguruantinggi
Indonesia, kekerasan seksual merupakan setiap perbuatan merendahkan, menghina,melecehkan,
dan/atau menyerang tubuh, dan atau fungsi reproduksi seseorang, karenaketimpangan relasi
kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaanpsikis dan/atau fisik
termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang, dalamkekerasan seksual yang
berada di kampus sering terjadi tanpa adanya peraturan
khususmaupunsatgasPPKSyangdibentukuntukmencegahadanyakasuskekerasanseksual,halinim
asih sering terjadi dimana saja perguruan tinggi karena masih lemahnya pengawasan
dantidaknya ada SOP untuk cara menangani hal tersebut, kasus kekerasan seksual di
kampusmenjadipermasalahanutamahinggasampaikinimenjadihalyangbiasaterjadi.

Dalam lingkungan kampus tentunya tidak akan nyaman jika masih banyak
predatorkekerasan seksual yang masih ada keberadaanya, kurangnya tegas dalam hal
penangananmaupuncaramenanggapinyadengancepat.Digulatiselamabertahun-
tahun,kekerasanseksualmasihmenjadipergumulanbangsaIndonesiahinggakini.Saatini,menurutsia
ranpersKomnasPerempuan tentang Catatan Tahunan (CATAHU) 2022, tercatat sebanyak
338.496
kasuskekerasanseksualyangtelahdiadukanpadatahun2021.MenurutdataCATAHU2021KomnasP
erempuan, dalam kurun 10 tahun terakhir (2010-2020), angka kekerasan seksual
terhadapperempuanbanyakmengalamipeningkatan,mulaidari105.103kasuspadatahun2010hing
gamencapai 299.911 kasus pada tahun 2020 atau rata-rata kenaikan 19,6% per tahunnya.
Hanyapada tahun 2015 dan 2019, angka tersebut mengalami sedikit penurunan, yaitu masing-
masingsebanyak 10,7% dan22,5% kasus.

Penyebab dari adanya kekerasan seksual di kampus dari adanya variabel penting,
sepertikekuasaan, konstruksi sosial, dan target kekuasaan. Jika ketiga variabel tersebut
disatukan,makadapatmenimbulkansuatuintensiterjadinyakasuskekerasanseksual.Apabilasalahsa
tudari ketiganya ada yang tidak muncul, maka tindak kekerasan seksual tidak akan terjadi.
Dariadanya budaya patriarki menciptakan stereotip tertentu terhadap perempuan
yangmenyebabkan kekerasan seksual dapat terjadi. Dalam paradigma feminisme radikal,
patriarkidianggapsebagaibentukpenindasanlaki-lakiterhadapperempuanyangpalingmendasar.
Perempuandianggapsebagaipropertimiliklaki-
laki,yangharusdapatdiatursedemikianrupa,baikdalamberperilakumaupunberpakaian.
Selain dari adanya budaya patriarki dengan relasi kuasa antara korban dan pelakukekerasan
seksual yang terjadi di perguruan tinggi menunjukkan bahwa pelaku
memilikikekuasaanyanglebihtinggidibandingkorban.Salahsatukekerasanseksualdiperguruantingg
iadalahkasusyangdialamiseorangmahasiswitahun2019,dimanamahasiswiyangmendapatperbuat
an tidak senonoh dosen pembimbingnya di taksi online yang mereka tumpangi
setelahmembicarakan ujian susulan, kemudian adanya Budaya victim-blaming yang banyak
terjadisebelumnya, hal yang serupa dari adanya stigma sosial bahwa isu kekerasan
seksualmerupakan isu yang tabu untuk dibicarakan. Hal ini menjadi salah satu sinyal bahwa
ketikakorban berani melaporkan justru masyarakat menyalahkan korban atas kejadian
yangmenimpanya(victim blaming).

Kekerasanseksualyangberadadilingkungankampusbukanlahmasalahyanghanyadapatdipah
ami dari penyebab dan penanganannya, tetapi perlu juga untuk kita mengerti
tantanganyangadadalampenanganannya,masihbanyaknyamahasiswadiperguruantinggiyangkur
angmemahami konsep kekerasan seksual, nyatanya pada kasus kekerasan seksual yang dapat
dipahami dalam keseharian dengan bentuk kekerasan seksual seperti penggunaan istilah
seksisyang membuat tidak nyaman dan memberi komentar terhadap orang dengan istilah
seksualyang merendahkan, masih cenderung mudah diabaikan atau kurang dipahami oleh
mahasiswaitu sendiri, selain hal tersebut masih kurangnya atau minimnya pelaporan maupun
pengaduanatas tindak kekerasan seksual yang di alami, rasa takut yang di alami oleh korban
kekerasanseksual di kampus hingga membuat enggan untuk melaporkan tindakan atau
kejadian yang dialaminya, tidak hanya itu dalam hal ini sering kali dari perguruan tinggi yang
ada
menutupikasuskekerasanseksualyangada,tentunyamahasiswayangmasihbelummemahamitent
angkekerasan seksual memunculkan anggapan bahwa ketidakmungkinan
terbentuknyakepercayaan atau pola pikir warga kampus bahwa kekerasan seksual tidak
mungkin terjadi
dilingkungankampuskarenamerasabahwalingkungantersebutsudahdinilaiaman.Akantetapi,lingk
ungankampusyangjustrumenjaditempatrawanterjadinyakekerasanseksual.

DengankeluarnyaPERMENDIKBUDNo.30Tahun2021sebagaiLangkahMajudalamupayapenang
anan kasus kekerasan seksual yang berada di lingkungan kampus, tentunya denganadanya
peraturan yang di keluarkan oleh kementerian pendidikan dan kebudayaan ristekmembuat
adanya angin segar yang di dapatkan oleh mahasiswa ataupun segenap pihak yangsudah geram
dengan ketidakamanan kampus sebagai tempat orang terdidik, hal ini
akanmenjadikanpimpinanperguruantinggibisamengambillangkahtegasmenyikapisetiaplaporande
nganberperspektifpadaperlindungankorbankekerasanseksualyangada.

Meskipunperaturaniniyangawalnyamenuaibanyaksekaliprotesdarikalanganagamawankarena
munculistilah“consent”atau“persetujuankorban”yangdianggapbentuklegalisasiseksdi luar nikah.
Namun, dengan adanya peraturan ini sebenarnya mampu memberikan kepastianhukum bagi
pimpinan perguruan tinggi untuk mengambil langkah tegas dalam
menyelesaikankasuspermasalahankekerasanseksualditempatperguruantinggimasing-masing.
PERMENDIKBUDRISTEKinihadiruntukmembangunekosistemperlindungandandukunganterhadapk
orbankekerasanseksual,agarmemperolehpemulihan,dankeadilan.

Anda mungkin juga menyukai