Anda di halaman 1dari 26

Dampak Kekerasan Seksual Bagi Mahasiswa

dan Proses Penanggulangannya

OLEH :

NAMA : PUSPA AL ADWIA

NIM : C1B122015

KELAS :A

JURUSAN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

2022

i
KATA PENGANTAR

Puji Syukur Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat
Allah Ta’ala. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul,“DAMPAK Kekrasan Seksual Bagi Mahasiswa dan Proses
Penanggulangannya” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca tentang latar belakang
Pancasila,makna bulu burung garuda dan Pancasila sebagai system filsafat. Begitu
pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada
kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni
melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kami, dosen pengampuh mata kuliah Pancasila, Ibu dan juga
kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal.
Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.

Kendari, 14 Desember 2022

ii
DAFTAR IS

KATA PENGANTAR...........................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN......................................................................1

1.1 Latar Belakang..................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah.............................................................................2

1.3 Tujuan ............................................................................................2

1.4 Manfaat ............................................................................................3

BAB II PEMBAHASAN.......................................................................4

2.1 Pengertian Kekerasan Seksual..........................................................4

2.2 Dampak Kekerasan Seksual Bagi Mahasiswa..................................9

2.3 Proses Penanggulangan Kekerasan Seksual Bagi Mahasiswa..........14

BAB III PENUTUP...............................................................................20

3.1 Kesimpulan........................................................................................20

3.2 Saran ............................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA...........................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Kasus kekerasan seksual di Indonesia setiap tahun mengalami peningkatan,
korbannya bukan hanya dari kalangan dewasa saja akan tetapi sudah merambah ke
remaja, anak-anak bahkan balita. Pelakunya berasal dari lingkungan keluarga,
sekolah dan masyarakat sekitarnya. Masyarakat yang paling rawan menjadi
korban kekerasan adalah kaum perempuan dan anak- anak. Tindak pidana
kekerasan seksual tidak hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju
kebudayaan dan kesadaran atau pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di
pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi dan adat istiadat. Pemberitaan
diberbagai media elektronik hingga media cetak selalu terdapat kasus mengenai
kekerasan seksual terhadap anak dan motifnya dilakukan dengan berbagai macam
cara. Gejala kekerasan seksual yang terjadi di masyarakat diungkapkan oleh Ratna
Megawati yang mengemukakan bahwa didalam masyarakat modern terdapat
berbagai macam permasalahan sosial, yaitu mulai longgarnya ikatan
kekeluargaan, persaingan tidak sehat, rusaknya lingkungan hidup, menurunnya
solidaritas sosial dan meningkatnya kriminalitas.

Kekerasan seksual dapat terjadi baik di ranah domestik maupun publik, tak
terkecuali di institusi pendidikan. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi
tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat dimana
nilai-nilai kemanusiaan direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang
didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang
ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat
terkhusus perempuan sebagai sesama manusia.

Sampai hari ini belum ada data konkret mengenai kasus kekerasan seksual
di lingkungan kampus. Berdasarkan data pengaduan pelecehan dan kekerasan
seksual UPI periode Mei-Juli 2020 melalui bit.ly/anti-kekerasan, terdapat 38
iv
mahasiswa yang mengadukan tindak pelecehan da kekerasan seksual yang
dialami. Mayoritas penyintas mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan
seksual (71%) dan kekerasan berbasis gender online (13%) yang dialami oleh
civitas akademika UPI. Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan,
mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunus es yang jauh lebih
banyak yang tidak tampak dari apa yang dilihat.

Fenomena terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kampus bukanlah


merupakan hal baru. Pelecehan ini kerap kali dilakukan oleh para oknum dari
kalangan terpelajar, baik sesama pelajar, staff dan karyawan universitas, maupun
para tenaga pendidik.

Lingkungan kampus yang didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya


gelar yang di terima ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai
nilai dan martabat terkhusus perempuan sebagai sesama manusia. Dan sampai saat
hari ini masih belum ada data kongret mengenai kasus pelecehan seksual dalam
kampus ini. Menurut Catatan Tahunan 2017 yang dipublikasikan Komnas
Perempuan, terdapat 259.150 kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di
seluruh Indonesia. Di ranah kekerasan dalam rumah tangga/relasi personal,
pemerkosaan menempati posisi tertinggi sebanyak 1.389 kasus, diikuti pencabulan
sebanyak 1.266 kasus. Di ranah komunitas, kekerasan seksual masih menempati
peringkat pertama sebanyak

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan suatu masalah yaitu :

1. Apakah pengertian dari kekerasan seksual

2. Apa ampak kekerasan seksual bagi mahasiswa

3. Bagaimanakah proses penanggulangan dari kekerasan seksual

1.3 Tujuan

v
1. Mengetahui pengertian dari kekrasan seksual

2. Mengetahui dampak kekerasan seksual bagi mahasiswa

3. Mengetahui proses penanggulangan kekrasan seksual bagi mahasiswa

1.4 Manfaat

Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada setiap pembaca dan bisa
mendapatkan wawasan yang lebih luas mengenai kekerasan seksual dan
dampaknya bagi mahasiswa serta proses penanggulangannya.

vi
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian kekerasan seksual

Kekerasan seksual ini kini telah menjadi masalah sosial yang cukup serius
dan memprihatinkan di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak dan
perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan secara fisik,
psikologis dan seksualnya, termasuk didalamnya ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang- wenang, baik yang
terjadi di depan umum maupun di kehidupan pribadi terhadap seseorang yang
dilakukan secara paksa oleh siapa saja tanpa memandang usia

Kekerasan seksual adalah suatu perbuatan yang mengarah pada seksualitas


hubungan dengan korban baik dalam keluarga maupun lingkungan kerja (Suhita et
al., 2021). Ada beberapa bentuk kekerasan seksual (Salamor et al., 2020), yakni:

Pelecehan seksual verbal, yakni pelecehan yang dilakukan melalui sebuah ucapan
atau komentar seperti menyindir, melempar candaan, menggoda, atau pertanyaan
yang bersifat seksualitas sehinggamembuat korban merasa tidak nyaman

Kekerasan seksual dalam Pasal 5 pada Permendikbud No. 30 Tahun 2021 terbagi
menjadi 21 bentuk, yakni :

1. Menyampaikan ujaran yang mendiskriminasi atau melecehkan tampilan


fisik, kondisi tubuh, dan/atau identitas gender Korban
2. Memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan
Korban

3. Menyampaikan ucapan yang memuat rayuan, lelucon, dan/atau siulan


yang bernuansa seksual pada Korban

4. Menatap Korban dengan nuansa seksual dan/atau tidak nyaman


vii
5. Mengirimkan pesan, lelucon, gambar, foto, audio, dan/atau video
bernuansa seksual kepada Korban meskipun sudah dilarang Korban

6. Mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio


dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan

7. Mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang


bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban

8. Menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang


bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban

9. Mengintip atau dengan sengaja melihat Korban yang sedang melakukan


kegiatan secara pribadi dan/atau pada ruang yang bersifat pribadi

10. Membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam untuk


melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui Korban

11. Memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual

12. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau


menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan
Korban

13. Membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban

14. Memaksa Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual

15. Mempraktikkan budaya komunitas Mahasiswa, Pendidik, dan Tenaga


Kependidikan yang bernuansa Kekerasan Seksual

16. Melakukan percobaan perkosaan, namun penetrasi tidak terjadi

17. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh
selain alat kelamin

18. Memaksa atau memperdayai Korban untuk melakukan aborsi

19. Memaksa atau memperdayai Korban untuk hamil

viii
20. Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja

21. Melakukan perbuatan Kekerasan Seksual lainnya.

Sedangkan, dalam UU TPKS No. 12 Tahun 2022 pasal 4 ayat 1 tindak


pidana kekerasan seksual meliputi :

a. Pelecehan seksual nonfisik


b.Pelecehan seksual fisik

c. Pemaksaan kontrasepsi

d.Pemaksaan sterilisasi

e. Pemaksaan perkawinan

f. Penyiksaan seksual

g.Eksploitasi seksual

h.Perbudakan seksual

i. Kekerasan seksual berbasis elektronik

Selain Tindak Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana dimaksud pada ayat


(1), Tindak Pidana Kekerasan Seksual juga meliputi :

a. Perkosaan
b.Perbuatan cabul

c. Persetubuhan terhadap Anak, perbuatan cabul terhadap Anak, dan/


atau eksploitasi seksual terhadap Anak

d.Perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak


Korban

e. Pornografi yang melibatkan Anak atau pornografi yang secara


eksplisit memuat kekerasan dan eksploitasi seksual

f. Pemaksaan pelacuran
ix
g.Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi
seksual

h.Kekerasan seksual dalam lingkup rumah tangga

i. Tindak pidana pencucian uang yang tindak pidana asalnya


merupakan Tindak Pidana Kekerasan Seksual; dan

j. Tindak pidana lain yang dinyatakan secara tegas sebagai Tindak


Pidana Kekerasan Seksual sebagaimana diatur dalam ketentuan
peraturan perundangundangan. Kekerasan di lingkungan perguruan
tinggi dapat mengambil rupa dalam berbagai bentuk dan
menimbulkan dampak negatif, baik pada institusi maupun pada
korban.

Adapun bentuk – bentuk kekerasan seksual yakni sebagai berikut :

- Pelecehan fisik
- Pelecehan lisan/verbal

- Pelecehan non verbal (Tanpa sentuhan fisik atau menggunakan isyarat)

- Pelecehan visual (Secara daring atau melalui Media Teknologi)

- Pelecehan psikologi/emosional

Adapun jenis kekerasan seksual dan perundungan di lingkungan UMJ yang


telah diatur dalam peraturan Rektor, yakni:

a. Tindakan fisik atau nonfisik terhadap orang lain yang berhubungan


dengan bagian tubuh seseorang atau terkait dengan Hasrat seksual,
sehingga mengakibatkan orang lain terintimidasi, terhina,
direndahkan, tidak aman, dan/atau dipermalukan;
b.Kekerasan, ancaman kekekrasan, tipu daya, rangkaian kebohongan,
pemaksaan, penyalahgunaan kepercayaan, dan/atau menggunakan
kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan persetujuan,

x
agar seseorang melakukan hubungan seksual atau interaksi seksual
dengannya atau dengan orang lain, dan/atau perbuatan yang
memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait dengan Hasrat
seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain;

c. Kekerasan, ancaman kekerasan, penyalahgunaan kekuasaan, atau


tipu muslihat, atau menggunakan kondisi seseorang yang tidak
mampu memberikan persetujuan untuk melakukan hubungan
seksual; dan/ atau

d.Memaksa orang lain untuk melakukan aborsi dengan kekerasan,


ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan,
penyalahgunaan kepercayaan, penyalahgunaan kekuasaan, dan/atau
menggunakan kondisi seseorang yang tidak mampu memberikan
persetujuan.

e. Perundungan yang dimaksud terdiri dari: Perundungan fisik,


perundungan verbal, perundungan social, perundungan siber, dan
perundungan seksual

Kekerasan seksual bisa dialami oleh perempuan maupun laki-laki. Pada


tahun 2021, Simfoni PPA mencatat korban dari kasus kekerasan seksual pada
laki-laki sebesar 5.376 sedangkan perempuan sebesar 21.753 kasus (Simfoni-
PPA, 2021). Artinya, perempuan lebih rentan dan beresiko menjadi korban
kekerasan seksual. Dari hal tersebut, kekerasan terhadap perempuan sering terjadi
di tempat-tempat yang akrab bagi para korban, seperti di rumah mereka sendiri,
tempat mereka bekerja atau belajar. Tidak hanya itu, kekerasan terhadap
perempuan seperti pelecehan dan penyerangan seksual juga terjadi di tempat
umum, misalnya di transportasi umum, jalanan umum, tempat kerja dan sekolah.

Beberapa dari kasus kekerasan seksual seringkali yang disalahkan adalah


korban dari kekerasan seksual itu sendiri. Biasanya, masyarakat menyalahkan cara

xi
berpakaian yang terbuka sehingga mengundang hawa nafsu lawan jenis. Hal ini
disebut dengan victim blaming. Victim blaming adalah sebuah
tindakan dimana seseorang cenderung menuduh dan menganggap bahwa tindakan
yang dilakukan oleh pelaku merupakan akibat dari tingkah laku korban (Ihsani,
2021). Misalnya pada saat seorang wanita yang mengalami kekerasan seksual,
sebagian orang masih ada yang menganggap bahwa kejadian tersebut disebabkan
oleh korban itu sendiri, seperti tidak menggunakan pakaian yang tertutup atau
menggunakan pakaian yang menggoda lawan jenis. Selain itu, victim
blaming memiliki dampak pada korban seperti merasa bersalah, merasa malu,
merasa tidak aman, dan trauma yang dapat merusak kesehatan mentalnya hingga
jangka panjang (Wulandari & Krisnani, 2021).

2.2 dampak kekerasan seksual bagi mahasiswa

Kekerasan seksual didefinisikan sebagai tindakan seksual, usaha untuk


memperoleh aktivitas seksual, maupun komentar seksual yang tidak diinginkan
yang diarahkan terhadap seseorang dengan paksaan. Hal ini dapat dilakukan oleh
siapapun dengan tidak memandang hubungan relasinya dengan korban. Kekerasan
seksual dapat terjadi dalam lingkungan apapun, mencakup rumah dan tempat kerja
(WHO, 2002).

Kekerasan seksual bagi mahasiswa dapat berakibat pada mental seperti


depresi, yang dapat didefinisikan sebagai gangguan mental yang ditandai dengan
perasaan sedih, hilangnya minat atau rasa kesenangan, perasaan bersalah atau
rendah diri, terganggunya tidur dan nafsu makan, perasaan lelah dan konsentrasi
yang rendah (WHO, 2015).

Gangguan depresi dapat timbul tanpa stressor yang mendahului, meskipun


demikian kejadian kehilangan seseorang yang dekat maupun kejadian stres dapat
meningkatkan risiko depresi (Blazer, 2003). Gejala-gejala mengganggu yang

xii
kronis seperti rasa sakit, penyakit fisik maupun stres psikososial dapat pula
berperan penting dalam munculnya gangguan depresif (Bruce, 2002).

Kekerasan seksual dilaporkan terjadi di seluruh dunia. Namun, pada banyak


negara penelitian mengenai masalah tersebut masih kurang. Data-data yang ada
menunjukkan bahwa pada beberapa negara, hampir satu dari empat perempuan
mengalami kekerasan seksual oleh pasangan intimnya, misalnya Nicaragua
(Ellsberg, 1997) dan Indonesia (Hakimi et al., 2001).

Sepertiga dari remaja perempuan melaporkan bahwa pengalaman seksual


pertamanya dialami dengan paksa, contohnya di Afrika Selatan (Jewkes et al.,
2001) dan Tanzania (Matasha et al., 1998).

Kekerasan seksual memiliki dampak-dampak yang sangat berpengaruh


terhadap kesehatan fisik maupun mental seseorang. Selain mengakibatkan trauma
fisik, ia berhubungan pula dengan peningkatan risiko terhadap berbagai
permasalahan seksual maupun reproduktif, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang (WHO, 2002).

Dampak kekerasan seksual terhadap kesehatan mental sama seriusnya


dibanding dampaknya terhadap kesehatan fisik. Penyebab kematian korban akibat
kekerasan seksual mencakup bunuh diri, infeksi human immunodeficiency virus
(HIV) (Miller, 1999), pembunuhan oleh pelaku, maupun pembunuhan untuk
menjaga “kehormatan” (Mercy et al., 1993). Kekerasan seksual juga
mengakibatkan permasalahan pada lingkungan sosial korban, di mana ia dapat
mengalami stigmatisasi dan pengucilan oleh keluarganya maupun anggota
masyarakat (Mollica dan Son, 1989; Omaar dan de Waal, 1994).

Kekerasan seksual telah ditemukan berkaitan dengan permasalahan mental


dan perilaku pada orang dewasa dan remaja. Prevalensi gejala dan tanda gangguan
psikiatrik adalah 33% pada perempuan dengan riwayat kekerasan seksual, 15%
pada perempuan dengan riwayat kekerasan fisik oleh pasangan

xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 3 intim dan 6% pada
perempuan yang tidak mengalami kekerasan (Mullen et al., 1988).

Sebuah penelitian pada remaja di Prancis juga menunjukkan bahwa terdapat


hubungan antara riwayat pemerkosaan dengan gangguan tidur, gejalagejala
depresi, keluhan somatik, konsumsi rokok dan gangguan perilaku saat ini
(Choquet et al., 1997). Pada kondisi-kondisi di mana tidak dilakukannya
konseling trauma, efek psikologis yang negatif dapat menetap sampai setahun
setelah kejadian berlalu, sementara trauma fisik yang diderita cenderung membaik
selama periode tersebut (Calhoun dan Kimerling, 1994). Meskipun dilakukan
konseling, masih dapat ditemukan 50% dari perempuan tersebut mengalami
gejala-gejala gangguan stres (Foa et al., 1999; Tarrier et al., 1999). Adapun,
perempuan yang mengalami kekerasan seksual pada waktu kecil maupun dewasa
memiliki risiko lebih untuk melakukan tindakan bunuh diri (Davidson et al., 1996;
Felitti et al., 1998).

Model kognitif-perilaku terhadap kondisi depresi menduga bahwa adanya


kejadian negatif pada hidup dilengkapi dengan persepsi atau reaksi seseorang
terhadap kejadian tersebut dapat mempengaruhi timbulnya gejalagejala depresi.
Secara spesifik, model kerentanan kognitif – stres mengatakan bahwa, dalam
suatu kejadian hidup yang negatif, individu dapat memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami depresi jika ia cenderung memiliki pandangan negatif terhadap
penyebab kejadian tersebut, tentang dirinya ataupun tentang konsekuensi di masa
depan (Abramson et al., 2008).

Faktor-faktor risiko psikososial lain yang dapat mengakibatkan depresi


mencakup dukungan sosial yang kurang memadai, rasa kesepian, rasa kehilangan
dan kejadian hidup yang negatif (O'Hara, et al., 1984). Adapun, kekerasan yang
dilakukan oleh pelaku dapat memberikan dampak berupa pandangan ataupun citra
diri negatif (WHO, 2002).

xiv
Kota Yogyakarta terhitung sebagai daerah dengan penduduk yang majemuk
di Indonesia. Hal ini telah berlangsung sejak awal pertumbuhannya di abad ke-18,
di mana terdapat berbagai etnis di Yogyakarta termasuk pribumi (Jawa), Cina,
Arab, Bugis, dan Eropa. Masyarakat Yogyakarta saat ini semakin majemuk
seiring dengan perkembangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
penduduk dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Yogyakarta
untuk menimba ilmu. Selain itu, banyak pula penduduk dari berbagai wilayah
mendatangi Yogyakarta untuk bekerja dan bermukim (Juningsih, 2015).
Penelitian ini akan dilakukan pada perempuan pekerja seksual karena tingginya
risiko pada populasi tersebut untuk mengalami kekerasan, baik fisik maupun
seksual. Beberapa penelitian kualitatif menemukan bahwa paparan terhadap
kekerasan berhubungan dengan perilaku seksual berisiko, banyaknya jumlah
pasangan dan partisipasi dalam transaksi seks (WHO, 2010).

Secara umum kekerasan seksual selama ini jarang diteliti, khususnya


mengenai hubungan antara jenis kekerasan seksual dengan tingkat depresi.
Sedangkan, kasus kekerasan seksual cenderung sulit untuk ditemui akibat banyak
perempuan yang tidak melaporkan kekerasan seksual pada polisi, karena rasa
malu, rasa takut akan disalahkan, tidak dipercayai atau takut diperlakukan dengan
buruk. Adapun aspek kebaruan dari penelitian ini yaitu penelitian ini mencakup
pengaruh jenis-jenis kekerasan seksual terhadap tingkat depresi, di mana hal ini
belum pernah dilakukan sebelumnya.

Laporan langsung ke Komnas Perempuan periode 2015-2020 (Agustus)


menunjukkan bahwa kekerasan juga terjadi di lingkungan Pendidikan. Hal ini
menunjukkan bahwa lingkungan pendidikan sudah tidak menjadi tempat yang
aman bagi anak didik. Pada 2015 diadukan 3 kasus, tahun 2016 diadukan 10
kasus, tahun 2017 diadukan 3 kasus, tahun 2018 diadukan 10 kasus, meningkat
pada tahun 2019 menjadi 15 kasus dan sampai Agustus 2020 telah diadukan 10
kasus. Kasus yang diadukan tentunya merupakan puncak gunung es, karena
umumnya kasus-kasus kekerasan di lingkungan pendidikan tidak
diadukan/dilaporkan. Namun, jumlah ini menunjukkan bahwa sistem
xv
penyelenggaraan Pendidikan nasional harus serius mencegah dan menangani
kekerasan terhadap perempuan sebagai bagian dari penghapusan diskriminasi
terhadap perempuan.

Kekerasan terjadi semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini
sampai dengan pendidikan tinggi. Dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015-
2020, nampak bahwa universitas menempati urutan pertama yaitu 27% dan
pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua atau
19%, 15% terjadi ditingkat SMU/SMK, 7% terjadi di tingkat SMP, dan 3%
masing-masing di TK, SD, SLB, dan Pendidikan Berbasis Kristen. Bentuk
kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual yaitu 45 kasus (88%), yang
terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, disusul kekerasan psikis
dan diskriminasi dalam bentuk dikeluarkan dari Kekerasan Seksual dan
Diskriminasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan 2017 2018 2019 2020 Laporan
Langsung Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Jumlah Kekerasan
sekolah sebanyak 5 kasus (10%), anak perempuan mendapatkan diskriminasi
padahal mereka adalah korban kekerasan seksual (korban perkosaan) atau jika
mereka terlibat aktivitas seksual dan kekerasan fisik. kekerasan seksual di
lingkungan pesantren memiliki ciri khas dibandingkan kekerasan seksual di
lembaga pendidikan yang lainnya. Yaitu pemaksaan perkawinan, yaitu
memanipulasi santri bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan
Ilmu, akan terkena azab, tidak akan lulus dan hafalan akan hilang. Kerentanan
terjadi dalam satu kasus terhadap santri yang belum membayar biaya Pendidikan
sedangkan kekerasan seksual di universitas, kasus yang diadukan umumnya
menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing
penelitian dengan modus mengajak korban untuk keluar kota, melakukan
pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik
didalam atau diluar kampus.

Dalam banyak kasus, kekerasan seksual yang diterima tak hanya


memengaruhi kondisi psikis, namun juga fisik dan mental. Berikut detail dampak
fisik, psikologi, dan sosial yang dirasakan oleh para korban kekerasan seksual.
xvi
a) Dampak psikis Setiap penyintas kekerasan seksual pasti merasakan
dampak psikiatrik dari perlakuan yang diterimanya. Berikut sejumlah hal
yang kerap dialami :

- Mengalami gangguan jiwa, seperti depresi dan gangguan panik,

- Muncul gejala gangguan stres paska trauma,

- Mengalami gangguan tidur dan kerap mimpi buruk,

- Menyakiti diri sendiri, - Muncul dorongan untuk mengakhiri hidup.

b) Dampak fisik Dari dampak psikis yang ada, tak jarang terjadi serangkaian
komplikasi yang memengaruhi kesehatan fisik. Beberapa di antaranya
ialah:

- Muncul nyeri kronis, - Infeksi atau pendarahan pada vagina atau


anus,

- Terkena penyakit menular seksual (PMS), seperti clamidia, herpes,


hepatitis, dan HIV

Kekerasan seksual dapat menimbulkan dampak bagi korban dan bagi


lingkungan pendidikan seperti :

 Dampak bagi korban :

- Merasa terhina, terintimidasi, dan malu

- Hilangnya motivasi belajar

- Kehidupan pribadi/keluarga korban terganggu

- Muncul gejala-gejala psikologis seperti depresi, gelisah dan


gugup

 Dampak bagi lingkungan pendidikan :

xvii
- Lingkungan pendidikan menjadi tidak sehat

- Menimbulkan citra buruk bagi institusi pendidikan tersebut

b.3 PROSES PENAGGULANGAN DAMPAK DARI KEKERASAN


SEKSUAL BAGI MAHASISWA

Kekerasan seksual dapat terjadi di mana dan kapan saja, termasuk di


kampus. Ibarat gunung es, kasus kekerasan seksual yang disebabkan oleh faktor
kesenjangan relasi kuasa, relasi gender yang timpang yang didukung oleh rape
culture menempatkan perempuan sebagai korban utama. Tulisan ini bertujuan
untuk menjelaskan tantangan yang dihadapi dalam mengimplementasikan aturan
pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Studi
kualitatif ini menggunakan data dari media online, yang diklasifikasi berdasarkan
tema-tema tertentu. Hasil kajian menunjukkan adanya kebijakan Rektor tentang
kekerasan seksual merupakan komitmen lembaga pendidikan untuk mencegah dan
menangani kasus kekerasan seksual. Akan tetapi, jika komitmen tersebut tidak
diikuti dengan birokrasi yang baik dan sumber daya manusia yang memadai,
maka perjuangan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan korban menjadi
sulit. Apalagi adanya kepentingan politik para stakeholder untuk melindungi
pelaku atas nama baik kampus.

Penanganan kasus kekerasan seksual di kampus cukup kompleks, tidak


hanya terkait dengan aturan mekanisme pencegahan dan penanggulangan
kekerasan seksual, tetapi juga dengan sistem birokrasi dan kualitas sumber daya
manusia. Birokrasi yang kondusif akan mendukung terciptanya lingkungan
kampus yang ramah gender dan nir-kekerasan seksual, sebaliknya birokrasi yang
rigit dan berbelit-belit akan menyebabkan terjadinya pengabaian korban kekerasan
seksual atas nama baik kampus

Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual yatu :

xviii
1. Pencegahan Untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual di
perguruan tinggi dapat melakukan berbagai cara, seperti menyebarkan
informasi tentang anti kekerasan seksual melalui berbagai media,
meningkatkan pemahaman melalui kuliah, seminar, diskusi, dan
pelatihan; mengembangkan kajian keilmuan tentang kekerasan seksual
dan mengintegrasikan nilai-nilai HAM dan gender dalam kurikulum,
menyediakan tata ruang dan fasilitas yang aman, nyaman, dan ramah bagi
laki-laki dan perempuan, dan menyediakan anggaran untuk penanganan
korban. Secara spesifik, rape culture di kampus dapat diatasi dengan cara:
menghindari bahasa yang menjadikan perempuan sebagai objek, tegas
terhadap orang yang membuat joke seksis atau percobaan pemerkosaan,
mendukung orang-orang yang menjadi korban kekerasan, berfikir kritis
terhadap pesan media yang membahas tentang perempuan, laki-laki, relasi
dan kekerasan, menghargai orang lain, melakukan komuniksi dengan baik
terhadap partner, menghindari stereotip, dan terlibat dalam kelompok
untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian,
pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh lembaga dan individu
yang bernaung di bawah lembaga pendidikan. Pemahaman yang baik
terhadap kekerasan seksual merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran kritis civitas akademika untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk
kekerasan dan mencegah terjadinya kekerasan seksual serta melakukan
penanganan terhadap kasus dengan baik.

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan ialah :

a. Desiminasi program dan kebijakan anti kekerasan seksual


dan/atau perundungan baik secara konvensional atau dengan
menggunakan teknologi informasi
b. Menyediakan program dan anggaran untuk pencegahan
kekerasan seksual dan/atau perundungan

xix
c. Meningkatkan pemahaman anti kekerasan seksual dan/atau
perundungan melalui materi orientasi pengenalan akademik
kampus, perkuliahan, seminar, diskusi, kampanye public,
pelatihan maupun melalui media lain baik cetak maupun
elektronik serta dengan memanfaatkan teknologi informasi di
UMJ

d. Melakukan penataan saranan dan prasarana yang aman dan


nyaman

e. Mendorong pengembangan kajian keilmuan dan dokumentasi


berkelanjutan tentang kekerasan seksual dan/atau perundungan
berbasis pada pengarusutamaan gender yang berlandaskan
Pancasila, nilai-nilai dan jati diri UMJ

f. Mengembangkan dan meningkatkan program konsultasi dan


bantuan hukum tentang Kekerasan Seksual dan/atau
Perundungan untuk sivitas

2. Penanganan Kasus kekerasan seksual yang dilaporkan oleh korban kepada


kampus, seharusnya mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat.
Dalam SK Rektor UIN Mataram tentang penanganan kasus kekerasan
seksual bab 5 pasal 7 dikatakan bahwa sistem pelayanan dilakukan sejak
adanya laporan dengan melakukan pelayanan terhadap korban kekerasan
seksual, proses pemeriksaaan pelaku, dan pemulihan korban. Pelayanan
yang diberikan dapat berbentuk layanan medis, psikologis, konseling,
pendampingan, dan penyediaan tempat tinggal bekerjasama dengan pihak
lain. Adapun proses pelaporan, dimulai dengan korban melapor ke wakil
dekan bidang kemahasiswaaan yag sekaligus menjadi tempat unit layanan
terpadu di fakultas. Dari fakultas dilanjutkan dengan laporan ke wakil
rektor bidang kemahasiswaan. Setelah itu, dilakukan pemeriksaan,
persidangan, dan sanksi oleh Senat Universitas, yang diakhiri dengan
adanya keputusan rektor untuk merespon kasus tersebut. Alur pelaporan

xx
seharusnya dipahami dengan baik oleh korban dan dijalankan dengan
penuh amanah oleh para stakeholder yang terlibat dalam penanganan
tersebut. Kampus berkewajiban untuk menerapkan aturan tersebut dengan
baik dan tegas terhadap pelaku serta mengikat semua civitas akademika.

Penanganan korban berdasarkan pada prinsip-prinsip, seperti :

a) penanganan sesuai dengan bentuk dan jenis kekerasan,

b) partisipasi korban (menghargai pilihan dan keputusan korban),

c) menjaga kerahasiaan korban,

d) tidak menghakimi,

e) berlandaskan teologis,

f) non diskriminasi,

g) berkeadilan gender,

h) berkelanjutan,

i) empati.

Dengan demikian, penanganan kasus harus berdasarkan pada perlindungan,


keadilan, dan pemenuhan hak-hak korban, termasuk memberikan hukuman
setimpal kepada pelaku agar jerah dan tidak mengulangi lagi perbuatannya, serta
tidak ada lagi korban dalam kasus yang sama. Lebih dari itu, penanganan yang
tepat akan mewujudkan kampus yang ramah gender dan terbebas dari kekerasan
seksual. Namun demikian, kenyataan dilapangan terkadang berbeda. Pada
beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di perguruan tinggi, ada dua bentuk
respon stakeholder kampus dalam menghadapi kasus tersebut. Pertama, menjaga

xxi
nama baik kampus dengan melindungi pelaku, tidak memproses laporan korban
atau kasus sengaja ditutupi agar tidak diketahui oleh pihak luar.

Pihak kampus tidak merespon dengan baik karena tidak ada atau kurang
komitmen lembaga terhadap kasus kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus,
korban justru dipersalahkan karena membiarkan pelaku beraksi dan korban
disuruh bungkam. Bahkan pelaku mengelak dengan berbagai alasan, seperti
adanya salah paham, memutarbalik fakta dan membuat korban terpojok dengan
mengatakan “bukan mengajak minum kopi tapi hanya mengambil buku”, “lebih
suka chatting daripada mengirim WA”, “bukan memegang korban tetapi hanya
membenarkan seatbelt”, dll. Selain itu, pelaku justru mendapat dukungan dari
teman seprofesi dengan melarang menyebarkan berita tersebut karena dianggap
aib “… ketimbang mikirin itu, masih banyak tugas yang harus kalian kerjakan.
Kalau tugasnya sudah habis, ngaji aja. Allah melarang kita menyebar aib yang
Allah sudah tutupi”.Kedua, kampus merespon dengan memberikan keadilan
terhadap korban dengan cara memberikan sanksi kepada pelaku dan memulihkan
nama baik korban. Respon baik ini dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai
dari memberikan semangat kepada korban karena telah berani melaporkan kasus
tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pelaku dipanggil, ditegur,
dipindahkan tugas, dibatalkan pencalonan sebagai pejabat, hingga skorsing
mengajar selama waktu tertentu. Dalam kasus pelakunya mahasiswa, kampus
memberikan sanksi berupa pencabutan gelar mahasiswa berpretasi kepada yang
bersangkutan.24 Dalam UU No. 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen, bab VI pasal
77, hukuman bagi guru dan dosen yang melanggar aturan dikenai sanksi berupa
teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak dosen, penurunan pangkat,
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.

xxii
BAB III
PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Kasus kekerasan seksual merupakan isu yang menjadi perhatian banyak


pihak saat ini. Untuk melakukan pencegahan dan mengatasi masalah tersebut di
kami mengadakan penyuluhan melalui media sosial terhadap pencegahan kasus
kekerasan seksual, hingga kami mengusung tema pencegahan dan penanganan
kekerasan seksual . Kami mengikuti kegiatan forum gender studies diharapkan
dapat meningkatkan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di
indonesia.Kekerasan seksual sendiri adalah kekerasan terkait hak seksualitas,
paksaan terkait orientasi seksual, paksaan dalam melakukan hubungan seksual
atau melakukan tindakan-tindakan yang berkonotasi seksual.

Kesimpulan yang di dapatkan dari forum gender studies tersebut


menyampaikan bahwa kekerasan seksual dapat terjadi dikarenakan adanya relasi
kekuasaan. Pola kekerasan seksual yang terjadi di kampus dapat terjadi antara
mahasiswa dengan mahasiswi, dosen dengan tenaga pendidik, dan lain

xxiii
sebagainya.Dalam pemaparan materi juga menyampaikan bahwa permasalahan
kekerasan seksual sejatinya dapat diselesaikan melalui jalur etik maupun pidana
tergantung putusan korban dalam kasus tersebut. Untuk menangani kekerasan
seksual di lingkungan kampus, awalnya dapat dilakukan melalui dengan
melakukan pengaduan kepada Unit Layanan Terpadu (ULT) ataupun satgas

Meskipun mekanisme pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual


di perguruan tinggi sudah ada, akan tetapi harus dibarengi dengan birokrasi yang
baik dan sumber daya manusia yang memadai. Sumber daya manusia berperan
penting dalam menciptakan lingkungan dan budaya kampus yang ramah gender,
terbebas dari kekerasan seksual. Untuk itu, diperlukan pemahaman dan kesadaran
untuk menemukenali bentuk-bentuk kekerasan, perubahan mind-set yang
responsive dan menghargai korban agar memberikan keadilan dan perlindungan
kepada korban

3.2 SARAN

Saran dari penulis agar para pembaca, khususnya mahasiswa dapat mengerti
tentang kekerasan seksual, baik pengertian, jenis-jenis serta dampak yang dapat
ditimbulkan dari kekerasan seksual

Setelah memahami dampak kekerasan seksual terhadap mahasiswa dan


bagaimana proses penangulangannya diharapkan pembaca, ksususnya mahasiswa
lebih berhati-hati dalam pergaulan, terutama du lingkungan kampus.

xxiv
DAFTAR PUSTAKA

Dr. Chatarina Muliana. “Negara dan Komitmen PPKS” (Inspektur Jenderal


Kemendikbud RI).

Vita Yudhani. “Negara dan Komitmen PPKS” (Tim TA PPKS Kemendikbud RI).

Puan Dinaphia Yunan dan Eva Nur Octavia “Apa Kabar Kampus? Tantangan dan
Peluang PPKS di PT” (Universitas Muhammadiyah Jakarta).

Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, Dan Teknologi Republik


Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan Dan Penanganan
Kekerasan Seksual Di Lingkungan Perguruan Tinggi.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak


Pidana Kekerasan Seksual

Artaria, Myrtati D, “Efek dari Pelecehan Seksual di Lingkungan Kampus: Studi


Preliminer” BioKultur, Vol.I/No.1/Januari-Juni 2112

xxv
Rusyidi, Binahayati, Antik Bintari, Hery wibowo, Pengalaman Dan Pengetahuan
Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal Di Kalangan Mahasiswa
Perguruan Tinggi, Social Work Jurnal, Volume: 9, Nomor: 1 Sitorus,
Jeremya Chandra, Quo Vadis,Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Pelecehan Seksual Di Kampus, Lex Scientia Law Review, Volume 3 No.
1, Mei 2019

Peraturan Rektor Universitas Islam Negeri Mataram Nomor 2355 tahun 2020
tentang Pencegahan dan Penaggulangan Kekerasan Seksual di Universitas
Islam Negeri Mataram

Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.

xxvi

Anda mungkin juga menyukai