PUSPA
PUSPA
OLEH :
NIM : C1B122015
KELAS :A
JURUSAN SOSIOLOGI
2022
i
KATA PENGANTAR
Puji Syukur Alhamdulillah, puji dan syukur tim penulis panjatkan kehadirat
Allah Ta’ala. atas limpahan rahmat dan karunia-Nya sehingga makalah yang
berjudul,“DAMPAK Kekrasan Seksual Bagi Mahasiswa dan Proses
Penanggulangannya” dapat kami selesaikan dengan baik. Tim penulis berharap
makalah ini dapat menambah pengetahuan bagi pembaca tentang latar belakang
Pancasila,makna bulu burung garuda dan Pancasila sebagai system filsafat. Begitu
pula atas limpahan kesehatan dan kesempatan yang Allah SWT karuniai kepada
kami sehingga makalah ini dapat kami susun melalui beberapa sumber yakni
melalui kajian pustaka maupun melalui media internet.
Pada kesempatan ini, kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan tugas
makalah ini. Kepada kedua orang tua kami yang telah memberikan banyak
kontribusi bagi kami, dosen pengampuh mata kuliah Pancasila, Ibu dan juga
kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal.
Harapan kami, informasi dan materi yang terdapat dalam makalah ini dapat
bermanfaat bagi pembaca. Tiada yang sempurna di dunia, melainkan Allah SWT.
Tuhan Yang Maha Sempurna, karena itu kami memohon kritik dan saran yang
membangun bagi perbaikan makalah kami selanjutnya.
ii
DAFTAR IS
KATA PENGANTAR...........................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN......................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.......................................................................4
3.1 Kesimpulan........................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................22
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Kekerasan seksual dapat terjadi baik di ranah domestik maupun publik, tak
terkecuali di institusi pendidikan. Lingkungan kampus yang idealnya menjadi
tempat untuk belajar kehidupan dan kemanusiaan justru menjadi tempat dimana
nilai-nilai kemanusiaan direnggut dan dilanggar. Lingkungan kampus yang
didominasi oleh kaum ‘intelektual’ dengan panjangnya gelar yang disandang
ternyata tidak berbanding lurus dengan perilaku menghargai nilai dan martabat
terkhusus perempuan sebagai sesama manusia.
Sampai hari ini belum ada data konkret mengenai kasus kekerasan seksual
di lingkungan kampus. Berdasarkan data pengaduan pelecehan dan kekerasan
seksual UPI periode Mei-Juli 2020 melalui bit.ly/anti-kekerasan, terdapat 38
iv
mahasiswa yang mengadukan tindak pelecehan da kekerasan seksual yang
dialami. Mayoritas penyintas mengalami kekerasan seksual berupa pelecehan
seksual (71%) dan kekerasan berbasis gender online (13%) yang dialami oleh
civitas akademika UPI. Angka kekerasan tersebut hanyalah angka di permukaan,
mengingat bahwa fenomena kekerasan seksual seperti gunus es yang jauh lebih
banyak yang tidak tampak dari apa yang dilihat.
1.3 Tujuan
v
1. Mengetahui pengertian dari kekrasan seksual
1.4 Manfaat
Makalah ini dapat memberikan manfaat kepada setiap pembaca dan bisa
mendapatkan wawasan yang lebih luas mengenai kekerasan seksual dan
dampaknya bagi mahasiswa serta proses penanggulangannya.
vi
BAB II
PEMBAHASAN
Kekerasan seksual ini kini telah menjadi masalah sosial yang cukup serius
dan memprihatinkan di Indonesia. Kekerasan seksual terhadap anak dan
perempuan mencakup semua tindakan berdasarkan perbedaan jenis kelamin yang
berakibat atau mungkin mengakibatkan penderitaan dan kesengsaraan secara fisik,
psikologis dan seksualnya, termasuk didalamnya ancaman tindakan tertentu,
pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang- wenang, baik yang
terjadi di depan umum maupun di kehidupan pribadi terhadap seseorang yang
dilakukan secara paksa oleh siapa saja tanpa memandang usia
Pelecehan seksual verbal, yakni pelecehan yang dilakukan melalui sebuah ucapan
atau komentar seperti menyindir, melempar candaan, menggoda, atau pertanyaan
yang bersifat seksualitas sehinggamembuat korban merasa tidak nyaman
Kekerasan seksual dalam Pasal 5 pada Permendikbud No. 30 Tahun 2021 terbagi
menjadi 21 bentuk, yakni :
17. Melakukan perkosaan termasuk penetrasi dengan benda atau bagian tubuh
selain alat kelamin
viii
20. Membiarkan terjadinya Kekerasan Seksual dengan sengaja
c. Pemaksaan kontrasepsi
d.Pemaksaan sterilisasi
e. Pemaksaan perkawinan
f. Penyiksaan seksual
g.Eksploitasi seksual
h.Perbudakan seksual
a. Perkosaan
b.Perbuatan cabul
f. Pemaksaan pelacuran
ix
g.Tindak pidana perdagangan orang yang ditujukan untuk eksploitasi
seksual
- Pelecehan fisik
- Pelecehan lisan/verbal
- Pelecehan psikologi/emosional
x
agar seseorang melakukan hubungan seksual atau interaksi seksual
dengannya atau dengan orang lain, dan/atau perbuatan yang
memanfaatkan tubuh orang tersebut yang terkait dengan Hasrat
seksual, dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang
lain;
xi
berpakaian yang terbuka sehingga mengundang hawa nafsu lawan jenis. Hal ini
disebut dengan victim blaming. Victim blaming adalah sebuah
tindakan dimana seseorang cenderung menuduh dan menganggap bahwa tindakan
yang dilakukan oleh pelaku merupakan akibat dari tingkah laku korban (Ihsani,
2021). Misalnya pada saat seorang wanita yang mengalami kekerasan seksual,
sebagian orang masih ada yang menganggap bahwa kejadian tersebut disebabkan
oleh korban itu sendiri, seperti tidak menggunakan pakaian yang tertutup atau
menggunakan pakaian yang menggoda lawan jenis. Selain itu, victim
blaming memiliki dampak pada korban seperti merasa bersalah, merasa malu,
merasa tidak aman, dan trauma yang dapat merusak kesehatan mentalnya hingga
jangka panjang (Wulandari & Krisnani, 2021).
xii
kronis seperti rasa sakit, penyakit fisik maupun stres psikososial dapat pula
berperan penting dalam munculnya gangguan depresif (Bruce, 2002).
xiii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user 3 intim dan 6% pada
perempuan yang tidak mengalami kekerasan (Mullen et al., 1988).
xiv
Kota Yogyakarta terhitung sebagai daerah dengan penduduk yang majemuk
di Indonesia. Hal ini telah berlangsung sejak awal pertumbuhannya di abad ke-18,
di mana terdapat berbagai etnis di Yogyakarta termasuk pribumi (Jawa), Cina,
Arab, Bugis, dan Eropa. Masyarakat Yogyakarta saat ini semakin majemuk
seiring dengan perkembangan pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
penduduk dari berbagai daerah di Indonesia berbondong-bondong ke Yogyakarta
untuk menimba ilmu. Selain itu, banyak pula penduduk dari berbagai wilayah
mendatangi Yogyakarta untuk bekerja dan bermukim (Juningsih, 2015).
Penelitian ini akan dilakukan pada perempuan pekerja seksual karena tingginya
risiko pada populasi tersebut untuk mengalami kekerasan, baik fisik maupun
seksual. Beberapa penelitian kualitatif menemukan bahwa paparan terhadap
kekerasan berhubungan dengan perilaku seksual berisiko, banyaknya jumlah
pasangan dan partisipasi dalam transaksi seks (WHO, 2010).
Kekerasan terjadi semua jenjang pendidikan, mulai dari pendidikan usia dini
sampai dengan pendidikan tinggi. Dari 51 kasus yang diadukan sepanjang 2015-
2020, nampak bahwa universitas menempati urutan pertama yaitu 27% dan
pesantren atau pendidikan berbasis Agama Islam menempati urutan kedua atau
19%, 15% terjadi ditingkat SMU/SMK, 7% terjadi di tingkat SMP, dan 3%
masing-masing di TK, SD, SLB, dan Pendidikan Berbasis Kristen. Bentuk
kekerasan yang tertinggi yaitu kekerasan seksual yaitu 45 kasus (88%), yang
terdiri dari perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, disusul kekerasan psikis
dan diskriminasi dalam bentuk dikeluarkan dari Kekerasan Seksual dan
Diskriminasi Berdasarkan Jenjang Pendidikan 2017 2018 2019 2020 Laporan
Langsung Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan Jumlah Kekerasan
sekolah sebanyak 5 kasus (10%), anak perempuan mendapatkan diskriminasi
padahal mereka adalah korban kekerasan seksual (korban perkosaan) atau jika
mereka terlibat aktivitas seksual dan kekerasan fisik. kekerasan seksual di
lingkungan pesantren memiliki ciri khas dibandingkan kekerasan seksual di
lembaga pendidikan yang lainnya. Yaitu pemaksaan perkawinan, yaitu
memanipulasi santri bahwa telah terjadi perkawinan dengan pelaku, memindahkan
Ilmu, akan terkena azab, tidak akan lulus dan hafalan akan hilang. Kerentanan
terjadi dalam satu kasus terhadap santri yang belum membayar biaya Pendidikan
sedangkan kekerasan seksual di universitas, kasus yang diadukan umumnya
menggunakan relasi kuasa dosen sebagai pembimbing skripsi dan pembimbing
penelitian dengan modus mengajak korban untuk keluar kota, melakukan
pelecehan seksual fisik dan non fisik di tengah bimbingan skripsi yang terjadi baik
didalam atau diluar kampus.
b) Dampak fisik Dari dampak psikis yang ada, tak jarang terjadi serangkaian
komplikasi yang memengaruhi kesehatan fisik. Beberapa di antaranya
ialah:
xvii
- Lingkungan pendidikan menjadi tidak sehat
xviii
1. Pencegahan Untuk melakukan pencegahan kekerasan seksual di
perguruan tinggi dapat melakukan berbagai cara, seperti menyebarkan
informasi tentang anti kekerasan seksual melalui berbagai media,
meningkatkan pemahaman melalui kuliah, seminar, diskusi, dan
pelatihan; mengembangkan kajian keilmuan tentang kekerasan seksual
dan mengintegrasikan nilai-nilai HAM dan gender dalam kurikulum,
menyediakan tata ruang dan fasilitas yang aman, nyaman, dan ramah bagi
laki-laki dan perempuan, dan menyediakan anggaran untuk penanganan
korban. Secara spesifik, rape culture di kampus dapat diatasi dengan cara:
menghindari bahasa yang menjadikan perempuan sebagai objek, tegas
terhadap orang yang membuat joke seksis atau percobaan pemerkosaan,
mendukung orang-orang yang menjadi korban kekerasan, berfikir kritis
terhadap pesan media yang membahas tentang perempuan, laki-laki, relasi
dan kekerasan, menghargai orang lain, melakukan komuniksi dengan baik
terhadap partner, menghindari stereotip, dan terlibat dalam kelompok
untuk mengakhiri kekerasan terhadap perempuan. Dengan demikian,
pencegahan kekerasan seksual dapat dilakukan oleh lembaga dan individu
yang bernaung di bawah lembaga pendidikan. Pemahaman yang baik
terhadap kekerasan seksual merupakan langkah awal untuk membangun
kesadaran kritis civitas akademika untuk mengidentifikasi bentuk-bentuk
kekerasan dan mencegah terjadinya kekerasan seksual serta melakukan
penanganan terhadap kasus dengan baik.
xix
c. Meningkatkan pemahaman anti kekerasan seksual dan/atau
perundungan melalui materi orientasi pengenalan akademik
kampus, perkuliahan, seminar, diskusi, kampanye public,
pelatihan maupun melalui media lain baik cetak maupun
elektronik serta dengan memanfaatkan teknologi informasi di
UMJ
xx
seharusnya dipahami dengan baik oleh korban dan dijalankan dengan
penuh amanah oleh para stakeholder yang terlibat dalam penanganan
tersebut. Kampus berkewajiban untuk menerapkan aturan tersebut dengan
baik dan tegas terhadap pelaku serta mengikat semua civitas akademika.
d) tidak menghakimi,
e) berlandaskan teologis,
f) non diskriminasi,
g) berkeadilan gender,
h) berkelanjutan,
i) empati.
xxi
nama baik kampus dengan melindungi pelaku, tidak memproses laporan korban
atau kasus sengaja ditutupi agar tidak diketahui oleh pihak luar.
Pihak kampus tidak merespon dengan baik karena tidak ada atau kurang
komitmen lembaga terhadap kasus kekerasan seksual. Dalam beberapa kasus,
korban justru dipersalahkan karena membiarkan pelaku beraksi dan korban
disuruh bungkam. Bahkan pelaku mengelak dengan berbagai alasan, seperti
adanya salah paham, memutarbalik fakta dan membuat korban terpojok dengan
mengatakan “bukan mengajak minum kopi tapi hanya mengambil buku”, “lebih
suka chatting daripada mengirim WA”, “bukan memegang korban tetapi hanya
membenarkan seatbelt”, dll. Selain itu, pelaku justru mendapat dukungan dari
teman seprofesi dengan melarang menyebarkan berita tersebut karena dianggap
aib “… ketimbang mikirin itu, masih banyak tugas yang harus kalian kerjakan.
Kalau tugasnya sudah habis, ngaji aja. Allah melarang kita menyebar aib yang
Allah sudah tutupi”.Kedua, kampus merespon dengan memberikan keadilan
terhadap korban dengan cara memberikan sanksi kepada pelaku dan memulihkan
nama baik korban. Respon baik ini dapat dilakukan dengan beragam cara, mulai
dari memberikan semangat kepada korban karena telah berani melaporkan kasus
tersebut dan memberikan sanksi kepada pelaku. Pelaku dipanggil, ditegur,
dipindahkan tugas, dibatalkan pencalonan sebagai pejabat, hingga skorsing
mengajar selama waktu tertentu. Dalam kasus pelakunya mahasiswa, kampus
memberikan sanksi berupa pencabutan gelar mahasiswa berpretasi kepada yang
bersangkutan.24 Dalam UU No. 14 Tahun 2005 ttg Guru dan Dosen, bab VI pasal
77, hukuman bagi guru dan dosen yang melanggar aturan dikenai sanksi berupa
teguran, peringatan tertulis, penundaan pemberian hak dosen, penurunan pangkat,
pemberhentian dengan hormat atau pemberhentian tidak dengan hormat.
xxii
BAB III
PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
xxiii
sebagainya.Dalam pemaparan materi juga menyampaikan bahwa permasalahan
kekerasan seksual sejatinya dapat diselesaikan melalui jalur etik maupun pidana
tergantung putusan korban dalam kasus tersebut. Untuk menangani kekerasan
seksual di lingkungan kampus, awalnya dapat dilakukan melalui dengan
melakukan pengaduan kepada Unit Layanan Terpadu (ULT) ataupun satgas
3.2 SARAN
Saran dari penulis agar para pembaca, khususnya mahasiswa dapat mengerti
tentang kekerasan seksual, baik pengertian, jenis-jenis serta dampak yang dapat
ditimbulkan dari kekerasan seksual
xxiv
DAFTAR PUSTAKA
Vita Yudhani. “Negara dan Komitmen PPKS” (Tim TA PPKS Kemendikbud RI).
Puan Dinaphia Yunan dan Eva Nur Octavia “Apa Kabar Kampus? Tantangan dan
Peluang PPKS di PT” (Universitas Muhammadiyah Jakarta).
xxv
Rusyidi, Binahayati, Antik Bintari, Hery wibowo, Pengalaman Dan Pengetahuan
Tentang Pelecehan Seksual: Studi Awal Di Kalangan Mahasiswa
Perguruan Tinggi, Social Work Jurnal, Volume: 9, Nomor: 1 Sitorus,
Jeremya Chandra, Quo Vadis,Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Pelecehan Seksual Di Kampus, Lex Scientia Law Review, Volume 3 No.
1, Mei 2019
Peraturan Rektor Universitas Islam Negeri Mataram Nomor 2355 tahun 2020
tentang Pencegahan dan Penaggulangan Kekerasan Seksual di Universitas
Islam Negeri Mataram
Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019 Tentang
Pedoman Pencegahan Dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada
Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
xxvi