Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH KEPEMIMPINAN

KEPEMIMPINAN BIROKRASI
Dosen Pengampu: Imran Ilyas, M.M

Disusun Oleh:
CINTIA LUXMANA (20612092)

PROGRAM STUDI S1 MANAJEMEN


SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI TANJUNGPINANG
TANJUNGPINANG
KEPULAUAN RIAU
T.A 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat dan karuniya-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas makalah yang berjudul Makalah Kepemimpinan Birokrasi ini tepat pada
waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada mata kuliah Kepemimpinan. Selain itu, makalah ini juga bertujuan
untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Imran Ilyas,M.M selaku
dosen mata kuliah Kepemimpinan yang telah memberikan tugas ini sehingga
dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang
kami tekuni.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga Saya dapat menyelesaikan
makalah ini. Saya menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu masukan berupa kritik dan saran yang membangun saya nantikan
demi kesempurnaan makalah ini.

Tanjungpinang, Maret 2023

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG

Sebagai unsur penting dalam penyelenggaraan organisasi, peranan pemimpin sangat


menentukan sekali dalam pencapaian sasaran yang telah ditetapkan. Kepemimpinan telah
banyak didefinisikan dengan berbagai cara dan pemikiran yang berbeda dengan pendekatan
yang berbeda pula. Kepemimpinan dalam suatu organisasi merupakan salah satu faktor atas
berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Kepemimpinan yang sukses, menunjukkan
kesuksesan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inti dari sebuah organisasi di mana
seorang pemimpin yang melengkapi, melatih, dan mempengaruhi karyawan dengan berbagai
macam perilaku, skill dan respons terhadap karyawan untuk mencapai misi dan tujuan
organisasi dengan segala kemampuannya dan antusias. Leadership atau kepemimpinan
merupakan proses mengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang berkaitan dengan
pekerjaan dari anggota kelompok. Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi serta
membantu orang lain untuk bekerja dengan antusias untuk mencapai tujuan-tujuan.
Kepemimpinan merupakan alat untuk mengarahkan dan menciptakan semangat pada
karyawan untuk mengerjakan tugas-tugasnya dalam mencapai tujuan yang akan dicapai.
Tiap organisasi yang memerlukan kerja sama antarmanusia memerlukan seorang
pemimpin. Komponen terpenting di dalam suatu organisasi adalah aspek kepemimpinan.
Kajian tentang kepemimpinan sudah banyak dilakukan mulai dari kajian non-ilmiah sampai
dengan kajian yang ilmiah. Pada kajian non-ilmiah, kepemimpinan itu dilahirkan berdasarkan
pengalaman intuisi dan kecakapan praktis semata. Kepemimpinan dipandang sebagai
pembawaan seseorang sebagai anugerah Tuhan. Karena itu dicarilah orang yang mempunyai
sifat-sifat istimewa yang dipandang memenuhi syarat seorang pemimpin. Dari sudut pandang
ilmiah, kepemimpinan dipandang sebagai suatu fungsi, bukan sebagai kedudukan atau
pembawaan pribadi seseorang. Maka diadakanlah suatu analisa tentang unsur-unsur dan
fungsi yang dapat menjelaskan, syarat-syarat apa yang diperlukan agar pemimpin dapat
bekerja secara efektif dalam situasi yang berbeda-beda. Pandangan baru ini membawa
perubahan yang mendasar. Cara bekerja dan sikap seorang pemimpin menjadi kajian yang
menarik untuk dipelajari.
Konsepsi baru tentang kepemimpinan membawa konsekuensi baru yang harus
diperankan oleh seorang pemimpin. Semula pemimpin adalah orang yang membuat rencana,
berpikir, dan mengambil tanggung jawab untuk kelompok serta memberikan arah kepada
orang-orang lain. Sekarang, selain tugas yang telah disebutkan di atas, seorang pemimpin itu
sekaligus sebagai pelatih dan koordinator bagi kelompoknya. Fungsi utama pemimpin adalah
membantu kelompok yang dipimpin untuk bersedia belajaqr memutuskan dan bekerja sama
secara lebih efektif dan efisien. Oleh karena itu, peran seorang pemimpin termasuk menjadi
pelatih yang dapat memberikan bantuan kepada kelompoknya.
1.2 RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas di dalam
makalah tentang Kepemimpinan ini adalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan pemimpin?
2. Bagaimana ciri ciri seorang pemimpin?
3. Apa saja kelebihan seorang pemimpin?
4. Apa yang dimaksud dengan Kepemimpinan?
5. Apa saja teori kepemimpinan?
6. Apa fungsi-fungsi kepemimpinan?
7. Bagaimana karakteristik kepemimpinan?
8. Apa itu Gaya Kepemimpinan Birokrasi?
9. Apa itu gaya kepemimpinan Birokrasi Transaksional?
10. Apa itu Gaya kepemimpinan Birokrasi Transformasional?

1.3 TUJUAN
1. Mengetahui pengertian Pemimpin
2. Mengetahui Ciri-ciri pemimpin
3. Mengetahui Kelebihan Pemimpin
4. Mengetahui pengertian Kepemimpinan
5. Mengetahui teori-teori Kepemimpinan
6. Mengetahui Fungsi Kepemimpinan
7. Mengetahui karakteristik Kepemimpinan
8. Mengetahui Gaya Kepemimpinan Birokrasi
9. Mengetahui Gaya Kepemimpinan Birokrasi Transaksional
10. Mengetahui Gaya Kepemimpinan Birokrasi Transformasional
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pemimpin
2.1.1 Pengertian Kepemimpinan
Dilihat dari sisi bahasa Indonesia “pemimpin” sering disebut penghulu, pemuka,
pelopor, pembina, pemantau, pembimbing, pengguru, penegak, ketua, kepala, penuntut, raja,
tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah pemimpin digunakan dalam konteks hasil
penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya memengaruhi orang lain
dengan berbagai cara. Istilah pemimpin dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar
yang sama “pimpin” dan berikut ini dikemukakan beberapa pengertian pemimpin:
1. Pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai
kemampun memengaruhi pendirian atau pendapat orang atau sekelompok orang tanpa
menanyakan alasan-alasannya.
2. Pemimpin adalah suatu lakon atau peran dalam sistem tertentu, karenanya seseorang
dalam peran formal belum tentuMengutip sebuah mutiara hadits dalam agama yang
penulis yakini. Sudah menjadi ketetapan-Nya bahwa kita adalah seorang pemimpin. Hal
ini tidak mempedulikan apa jabatannya sekarang, berapa jumlah bawahannya, strata
pendidikannya, darimana sukunya berasal, dan berapa penghasilannya per bulannya.
3. mempunyai keterampilan kepemimpinan dan belum tentu mampu memimpin. Istilah
kepemimpinan pada dasarnya berhubungan dengan keterampilan, kecakapan, idan
pengaruh yang dimiliki seseorang; oleh sebab itu, kepemimpinan bisa dimiliki oleh orang
yang bukan “pemimpin”.
4. Pemimpin adalah seorang pribadi yang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya
kecakapan/kelebihan di suatu bidang sehingga dia mampu memengaruhi orang lain untuk
bersama-sama melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi pencapaian satu atau beberapa
tujuan.
5. Pemimpin merupakan faktor penentu dalam sukses atau gagalnya suatu lembaga. Baik
lembaga formal maupun non formal keberhasilan suatu lembaga ditentukan dari kualitas
pemimpinnya. Sebab pemimpin yang berkualitas akan mampu mengelola lembaga yang
dipimpinnya.
Kita murni terlahir sebagai pemimpin di dunia ini, entah itu di lingkup organisasi
maupun lingkup kecil keluarga tersayang atau dalam lingkup yang lebih kecil lagi, diri kita
pribadi. Kita selalu dituntut tampil dengan baik sebagai seorang pemimpin. Pemimpin yang
bisa mengayomi, pemimpin yang bisa melindungi dan menjadi teladan bagi pengikut atau
orang yang dipimpinnya. Sebenarnya, pemimpin dan kepemimpinan merupakan suatu
kesatuan kata yang tidak dapat dipisahkan secara struktural maupun fungsional. Seperti
organisasi, juga terdapat banyak pengertian-pengertian mengenai pemimpin dan
kepemimpinan.
Suradinata (1997:11) berpendapat bahwa pemimpin adalah orang yang memimpin
kelompok dua orang atau lebih, baik organisasi maupun keluarga. Sedangkan kepemimpinan
adalah kemampuan seorang pemimpin untuk mengendalikan, memimpin, mempengaruhi
fikiran, perasaan atau tingkah laku orang lain untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya.
Pimpinan yang tidak adil sama dengan pemimpin yang melakukan kedzaliman.
Kezaliman merupakan sikap dan tindakan yang merugikan masyarakat dan meruntuhkan
kekuatan suatu kelompok, bangsa dan negara. Oleh karena itu, para pemimpin tidak
membiarkan kezaliman terus berlangsung. Apalagi melakukan kezaliman, ketidak adilan,
meunda hak rakyat, mengurangi atau merugikan rakyatnya,ini berarti, seorang pemimpin
bukan hanya tidak boleh bertindak zaklim kepada rakyatnya, tetapi justru kezaliman yang
dilakukan oleh orang lain kepadanya pun menjadi tanggung jawabnya untuk diberantas,
pemimpin punya kewajiban untuk melindungi rakyatnya bukan untuk menzalimi rakyatnya.
Sedangkan dalam bahasa inggris Kepemimpinan adalah Leadership. dalam bahasa
Indonesia memiliki arti luas, yaitu meliputi ilmu tentang kepemimpinan, teknik
kepemimpinan, seni memimpin, ciri kepemimpinan serta sejarah kepemimpinan. Leadership
memiliki kata dasar “Leader” yang berarti “pemimpin”. kata “pemimpin” sendiri dalam
bahasa Indonesia memiliki banyak arti misalnya pimpinan, ketua, atau komandan. Namun,
dalam arti yang lebih dalam, pemimpin yang dimaksudkan di dalam „Leadership‟ harus
diartikan sebagai seseorang yang memimpin sebuah organisasi atau institusi dan terlibat di
dalamnya. “Pemimpin adalah seseorang yang mampu menggerakan pengikut untuk mencapai
tujuan organisasi”.
Jadi dapat disimpulkan bahwasanya menjadi pemimpin adalah amanah yang harus
dilaksanakan dan dijalankan dengan baik oleh seorang pemimpin tersebut, karena kelak Allah
akan meminta pertanggung jawaban atas kepemimpinannya itu. Akan tetapi apabila seorang
pemimpin yang zalim terhadap rakyatnya maka rakyatnya mempunyai hak untuk
memberantas seorang pemimpin yang zalim tersebut. Untuk itu harus diperhatikan syarat
menjadi seorang pemimpin, hal ini dilakukan untuk mendapatkan pemimpin sesuai dengan
harapan yaitu pemimpin yang amanah, bijaksana, adil terhadap rakyatnya serta bisa menjadi
suritauladan bagi rakyatnya.
2.1.2 Ciri-ciri pemimpin yang baik berdasarkan sifatnya
Kemudian, dalam Islam seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang
memiliki sekurang-kurangnya 4 (empat) sifat dalam menjalankan kepemimpinannya, yakni;
1. Siddiq (jujur) sehingga ia dapat dipercaya;
2. Tabligh (penyampai) atau kemampuan berkomunikasi dan bernegosiasi;
3. Amanah (bertanggung jawab) dalam menjalankan tugasnya;
4. Fathanah (cerdas) dalam membuat perencanaan, visi, misi, strategi dan
mengimplementasikannya.
2.1.3 Kelebihan Pemimpin
Menurut Stogdill dalam Lee (1989), menyatakan bahwa pemimpin itu harus memiliki
beberapa kelebihan, yaitu :
1. Kapasitas: kecerdasan, kewaspadaan, kemampuan berbicara atau verbal facility, keaslian,
kemampuan menilai.
2. Prestasi (Achievement) : gelar kesarjanaan, ilmu pengetahuan, perolehan dalam olah raga,
dan atletik, dan sebagainya.
3. Tanggung Jawab : mandiri, berinisiatif, tekun, ulet, percaya diri, agresif, dan punya hasrat
untuk unggul.
4. Partisipasi : aktif, memiliki sosiabilitas tinggi, mampu bergaul, kooperatif atau suka
bekerjasama, mudah menyesuaikan diri, punya rasa humor.
5. Status : meliputi kedudukan sosial ekonomi yang cukup tinggi, populer, tenar.

2.2 Kepemimpinan
2.2.1 pengertian Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah proses untuk mempengaruhi orang lain, baik di dalam
organisasi maupun di luar organisasi untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam suatu
situasi dan kondisi tertentu (Rivai, 2008)”. Menurut Hasibuan (2003: 170) “Kepemimpinan
adalah cara seorang pemimpin mempengaruhi perilaku bawahan agar mau bekerja sama dan
bekerja secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan organisasi”.
kepemimpinan merupakan suatu kemampuan yang melekat pada diri seorang yang
memimpin yang tergantung dari macam-macam faktor, baik faktor intern maupun faktor
ekstern. Pemimpin jika dialihbahasakan ke bahasa Inggris menjadi "LEADER", yang
mempunyai tugas untuk LEAD anggota di sekitarnya. Sedangkan makna LEAD adalah:
1. Loyality, seorang pemimpin harus mampu membangkitkan loyalitas rekan kerjanya dan
memberikan loyalitasnya dalam kebaikan..
2. Educate, seorang pemimpin mampu untuk mengedukasi rekan-rekannya dan mewariskan
pada rekan-rekannya.
3. Advice, memberikan saran dan nasehat dari permasalahan yang ada.
4. Discipline, memberikan keteladanan dalam berdisiplin dan menegakkan kedisiplinan
dalam setiap aktivitasnya.
2.2.2 Teori Kepemimpinan
Tiga teori yang menjelaskan muncul pemimpin adalah sebagai berikut (Kartono, 1998:29) :
1. Teori Genetis menyatakan sebagai berikut :
a. Pemimpin itu tidak dibuat, akan tetapi lahir jadi pemimpin oleh bakat-bakat alami yang
luar biasa sejak lahirnya.
b. Dia ditakdirkan lahir menjadi pemimpin dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun
juga, yang khusus.
2. Teori Sosial (lawan Teori Genetis) menyatakan sebagai berikut :
a. Pemimpin itu harus disiapkan, dididik, dan dibentuk, tidak terlahirkan begitu saja.
b. Setiap orang bisa menjadi pemimpin melalui usaha penyiapan dan pendidikan serta
didorong oleh kemauan sendiri.
3. Teori Ekologis atau Sintetis (muncul sebagai reaksi dari kedua teori tersebut lebih dahulu)
menyatakan sebagai berikut: Seseorang akan sukses menjadi pemimpin bila sejak lahirnya
dia telah memiliki bakat-bakat kepemimpinan, dan bakat-bakat ini sempat dikembangkan
melalui pengalaman dan usaha pendidikan; juga sesuai dengan tuntutan
lingkungan/ekologisnya.
2.2.3 Fungsi-fungsi Kepemimpinan
Fungsi kepemimpinan berhubungan dengan situasi sosial dalam kehidupan kelompok
atau organisasi di mana fungsi kepemimpinan harus diwujudkan dalam interaksi antar
individu. Menurut Rivai (2005: 53) secara operasional fungsi pokok kepemimpinan dapat
dibedakan sebagai berikut:
1. Fungsi Instruktif
Fungsi ini bersifat komunikasi satu arah. Pemimpin sebagai komunikator merupakan
pihak yang menentukan apa, bagaimana, bilamana dan di mana perintah itu dikerjakan agar
keputusan dapat dilaksanakan secara efektif. Kepemimpinan yang efektif memerlukan
kemampuan untuk menggerakkan dan memotivasi orang lain agar mau melaksanakan
perintah.
2. Fungsi Konsultatif
Fungsi ini bersifat komunikasi dua arah. Pada tahap pertama dalam usaha menetapkan
keputusan, pemimpin kerap kali memerlukan bahan pertimbangan yang mengharuskannya
berkonsultasi dengan orang-orang yang dipimpinnya yang dinilai mempunyai berbagai bahan
informasi yang diperlukan dalam menetapkan keputusan. Tahap berikutnya konsultasi dari
pimpinan pada orang-orang yang dipimpin dapat dilakukan setelah keputusan ditetapkan dan
sedang dalam pelaksanaan. Konsultasi itu dimaksudkan untuk memperoleh masukan berupa
umpan balik (feedback) untuk memperbaiki dan menyempurnakan keputusan-keputusan yang
telah ditetapkan dan dilaksanakan. Dengan menjalankan fungsi konsultatif dapat diharapkan
keputusan-keputusan pimpinan, akan mendapat dukungan dan lebih mudah
menginstruksikannya sehingga kepemimpinan berlangsung efektif.
3. Fungsi Partisipasi
Dalam menjalankan fungsi ini pemimpin berusaha mengaktifkan orang-orang yang
dipimpinnya, baik dalam keikutsertaan mengambil keputusan maupun dalam
melaksanakannya. Partisipasi tidak berarti bebas berbuat semaunya, tetapi dilakukan secara
terkendali dan terarah berupa kerja sama dengan tidak mencampuri atau mengambil tugas
pokok orang lain. Keikutsertaan pemimpin harus tetap dalam fungsi sebagai pemimpin dan
bukan pelaksana.
4. Fungsi Delegasi
Fungsi ini dilaksanakan dengan memberikan pelimpahan wewenang membuat atau
menetapkan keputusan, baik melalui persetujuan maupun tanpa persetujuan pimpinan. Fungsi
delegasi pada dasarnya berarti kepercayaan. Orang-orang penerima delegasi itu harus
diyakini merupakan pembantu pemimpin yang memiliki kesamaan prinsip, persepsi dan
aspirasi.
5. Fungsi Pengendalian
Fungsi pengendalian bermaksud bahwa kepemimpinan yang sukses dan efektif
mampu mengatur aktivitas anggotanya secara terarah dan dalam koordinasi yang efektif,
sehingga memungkinkan tercapainya tujuan bersama secara maksimal. Fungsi pengendalian
ini dapat diwujudkan melalui kegiatan bimbingan, pengarahan, koordinasi dan pengawasan.
2.2.4 Karakteristik Kepemimpinan
Stephen R. Coney menjelaskan bahwa karakteristik seorang pemimpin adalah:
1. Seorang yang Belajar Seumur Hidup
Tidak hanya melalui pendidikan formal, Pemimpin adalah sebuah proses, dan proses
pembelajaran untuk mendapatkan pengalaman yang baik maupun yang buruk sebagai sumber
belajar.
2. Berorientasi pada Pelayanan
Seorang pemimpin tidak dilayani tetapi melayani, sebab prinsip pemimpin dengan
prinsip melayani berdasarkan karier sebagai tujuan utama. Dalam memberi pelayanan,
pemimpin seharusnya lebih berprinsip pada pelayanan yang baik.
3. Membawa Energi yang Positif
Setiap orang mempunyai energi dan semangat. Menggunakan energi yang positif
didasarkan pada keikhlasan dan keinginan mendukung kesuksesan orang lain. Untuk itu
dibutuhkan energi positif untuk membangun hubungan baik. Seorang pemimpin harus dapat
dan mau bekerja untuk jangka waktu yang lama dan kondisi tidak ditentukan. Oleh karena
itu, seorang pemimpin harus dapat menunjukkan energi yang positif, seperti:
a. Percaya pada Orang Lain
Seorang pemimpin mempercayai orang lain termasuk anak buah sehingga
mereka mempunyai motivasi dan mempertahankan pekerjaan yang baik. Oleh karena
itu, kepercayaan harus diikuti dengan kepedulian.
b. Keseimbangan dalam Kehidupan
Seorang pemimpin harus dapat menyeimbangkan tugasnya. Berorientasi
kepada prinsip kemanusiaan dan keseimbangan diri antara kerja dan olah raga,
istirahat dan rekreasi. Keseimbangan juga berarti seimbang antara kehidupan dunia
dan akhirat.
c. Melihat Kehidupan sebagai Tantangan
Dalam hal ini tantangan berarti kemampuan untuk menikmati hidup dan segala
konsekuensinya. Sebab kehidupan adalah suatu tantangan yang dibutuhkan,
mempunyai rasa aman yang datang dari dalam diri sendiri. Rasa aman tergantung
pada inisiatif, ketrampilan, kreativitas, kemauan, keberanian, dinamisasi, dan
kebebasan.
Mencapai kepemimpinan yang berprinsip tidaklah mudah, karena beberapa kendala
dalam bentuk kebiasaan buruk, misalnya kemauan dan keinginan sepihak, kebanggaan dan
penolakan, dan ambisi pribadi. Untuk mengatasi hal tersebut, memerlukan latihan dan
pengalaman yang terus-menerus. Latihan dan pengalaman sangat penting untuk mendapatkan
perspektif baru yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengambilan keputusan.

2.3 Gaya Kepemimpinan Birokrasi


Kepemimpinan birokrasi barangkali dapat didefinisikan sebagai suatu proses
mempengaruhi para pegawai untuk menyelesaikan suatu pekerjaan, dan mengarahkan
organisasi agar lebih kompak dan kondusif, dengan cara menerapkan konsep, nilai, etika,
karakter, pengetahuan, dan ketrampilan melalui kewenangan yang dimilikinya. Legitimasi
kewenangan ini pula yang digunakan Weber ketika menyusun model kepemimpinan birokrasi
(Weberian). Model kepemimpinan birokrasi Weberian, sebagaimana karakteristik
kelembagaan birokrasi Weber, cenderung berorientasi pada kekuasaan secara rasional, legal
dan hierarkis, serta pengawasan yang kaku.
Di samping itu, James McGregor Burns pada tahun 1978 dan selanjutnya Bernard M.
Bass (1985), menambahkan bahwa kepemimpinan birokrasi seperti transaksi antara
kekuasaan dan loyalitas pegawai. Seperti juga dikritik oleh Mark Homrig (2005), mekanisme
kepemimpinan birokrasi Weberian seperti jual-beli saja, pekerjaan ditukar dengan gaji,
jabatan dengan loyalitas, sumbangan dengan tender, dsb. Berdasarkan inilah selanjutnya
Burns dan Bass mengembangkan model kepemimpinan transformasional yang berfokus pada
kemampuan seorang pemimpin dalam membangun sinergi dalam organisasi melalui
pengaruh dan kewenangan sehingga mampu mencapai visi dan misi organisasinya. Dalam
Gaya Kepemimpinan Birokrasi terdapat dua model kepemimpinan yaitu Kepemimpinan
Birokrasi Transaksional dan Kepemimpinan Birokrasi Transformasional.

2.3.1 Model Kepemimpinan Birokrasi Transaksional


Pada waktu mendiskusikan masalah organisasi, penggagas birokrasi Max Weber
(1864-1920) sebenarnya mengemukakan tiga model kepemimpinan, yaitu (1) kepemimpinan
birokrasi, (2) kepemimpinan karismatik, dan (3) kepemimpinan tradisional. Pembagian model
kepemimpinan ini didasarkan pada legitimasi pada implementasi kekuasaan dalam organisasi.
Menurut Weber (1947), setiap pemimpin tentu memiliki salah satu di antara ketiga
karakteristik kepemimpinan tersebut. Kepemimpinan birokrasi didasarkan pada keyakinan
terhadap ‘legalitas’ pola-pola aturan normatif, dan hak yang diberikan kepada penguasa
berdasarkan aturan tersebut untuk melakukan perintah. Kepemimpinan tradisional didasarkan
pada keyakinan kuat terhadap kebenaran tradisi-tradisi yang berlaku di lingkungannya, dan
legitimasi status kepemimpinan tradisional. Sementara kepemimpinan karismatik didasarkan
pada kepribadian seseorang yang berbeda dengan orang lain, yang diwarnai oleh sikap
kepahlawanan atau keteladanan sehingga pola-pola aturan atau perintah tunduk terhadap
kepemimpinannya.
Model kepemimpinan birokrasi dianggap sesuai dengan lingkungan lembaga yang
penuh dengan peraturan, baik normatif maupun teknis. Pedoman administrasi, kontrak kerja,
keputusan, dan petunjuk teknis semuanya rapi didokumentasikan secara tertulis. Pegawai
dididik untuk mentaati aturan, loyal kepada perintah atasan dalam Hubungan pimpinan-
pegawai bersifat formal, terbatas pada pelaksanaan pekerjaan saja. Ruang gerak pegawai pun
sangat terbatas. Penghasilan dan pensiun sudah diatur secara tetap, dan jumlahnya tergantung
pada pangkat dan golongan pegawai dalam hierarki kepegawaian. Ambisi adalah tabu.
Pegawai tidak berhak atas jabatan karena sistem promosi umumnya berdasarkan pada
senioritas dalam kepegawaian dan kepangkatan.
Model kepemimpinan birokrasi, menurut Weber (1947), banyak diterapkan di
organisasi keagamaan, rumah sakit, perusahaan bisnis, militer, dan tentu saja instansi
pemerintah. Sisi positif dari model kepemimpinan birokrasi traksasional ini terletak pada
efisiensi di dalam pelaksanaan kerja, karena kejelasan pembagian kerja sesuai dengan tugas
pokok dan fungsi masing-masing staf dalam organisasi, standarisasi pedoman dan aturan
kerja, dan konsistensi terhadap tata aturan yang telah ditetapkan. Di samping itu,
kepemimpinan birokrasi juga menjamin pencapaian tujuan jangka pendek dan kemudahan
dalam pengawasan dan pengelolaan pegawai. Sementara sisi negatifnya adalah
kepemimpinan yang berorientasi pada kekuasaan yang hierarkis, tiadanya pemberdayaan
pegawai dan pembagian kewenangan dalam pengambilan keputusan, kondisi yang kurang
kondusif karena penerapa komunikasi top-down dan formalitas hubungan atasan-bawahan,
dan loyalitas berlebihan pada atasan. Kepemimpinan birokrasi transaksional model Weber ini
pada umumnya memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Berdasarkan transaksi: Kepemimpinan birokrasi bertindak atas dasar transaksi atau
pertukaran antara jabatan dan kinerja, gaji dan pekerjaan, kerja keras dan bonus, dsb.
2. Kejelasan aturan: Pedoman dan aturan pelaksanaan tugas dan pekerjaan disusun
secara jelas dan ditetapkan untuk ditaati oleh setiap pegawai.
3. Orientasi pada pengawasan yang ketat: Mengawasi dan memantau tugas dan
pekerjaan secara ketat dalam rangka mencapai tujuan jangka pendek.
4. Anti perubahan: Menolak setiap perubahan yang berasal dari luar sistem organisasi
karena khawatir akan merusak tatanan kelembagaan yang telah ditetapkan.
5. Orientasi pada jabatan dan kekuasaan: Mengembangkan budaya kekuasaan, loyalitas
pada atasan, hierarki hubungan atasan-bawahan, dan komunikasi bottomup
6. Fokus pada pekerjaan: Mengarahkan pegawai untuk fokus pada penyelesaian tugas
dan pekerjaan, sehingga mereka tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan
diri.
7. Kewenangan atasan mutlak: Tidak ada pemberdayaan pegawai karena kewenangan
untuk mengambil keputusan mutlak pada pimpinan.
8. Pemasungan kreatifitas pegawai. Pegawai diatur dalam pelaksanaan tugas dan
pekerjaan, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kreatifitas dan inovasi.
9. Individualitas kerja: Kerja sama antar pegawai tidak dianjurkan, sehingga muncul
persaingan tak-sehat dan saling curiga-mencurigai di antara mereka.
10. Disharmoni organisasi: Hierarki kekuasaan, formalitas hubungan, komunikasi
bottom-up, dan absennya kerjasama antara pegawai mengakibatkan
ketidakkondusifan organisasi.
Dalam bukunya, Weber (1947) mengingatkan bahwa kepemimpinan birokrasi cenderung
untuk berubah menjadi kepemimpinan tradisional (feudal) karena kekuasaan mutlak yang
diperolehnya (Boje & Dennehy, 2006). Kalau sudah demikian, perilakunya pun berubah
menjadi seperti seorang raja kecil yang menuntut loyalitas total dari anakbuahnya,
mengembangkan sistem nepotisme, dan berorientasi pada politik kekuasaan. Di negara-
negara yang memiliki karakteristik patron-client yang kental, sebagaimana diindikasikan oleh
Soebhan (2000), fenomena disfungsi perilaku kepemimpinan semacam itu banyak ditemukan.
Di Indonesia, kecenderungan kepemimpinan feodalistik di lingkungan birokrasi tumbuh
subur pada era Orde Baru, dan sayangnya hingga kini budaya ini masih belum bisa
dihilangkan. Meskipun reformasi sudah digulirkan pada 1998, dan berbagai kebijakan anti
korupsi sudah diundangkan (melalui UU Nomor 31 Tahun 1999, UU No. 20/2001 dan UU 30
Tahun 2002, Inpres No. 5/2004, Kepres Nomor 11/2005) yang dibarengi pembentukan
beragam lembaganya (Komisi Pemberantasan Korupsi, Tim Pemberantasan Korupsi, Tim
Pemburu Koruptor), namun kolusi dan nepotisme yang berujung pada tindak korupsi di
lingkungan birokrasi masih merajalela.
Maraknya isu disfungsi perilaku kepemimpinan dalam organisasi birokrasi tidak terlepas
dari pemahaman kita tentang konsep kepemimpinan menurut teori manajemen klasik seiring
dengan perkembangan ilmu administrasi dan manajemen. Dalam teori manajemen klasik,
tugas seorang pimpinan memang hanya ditekankan pada pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen dan memanfaatkan sumber-sumber daya organisasi. Fungsifungsi manajemen
George Terry (1977)Planning, Organizing, Actuating and Controlling (POAC), dan
sumberdaya organisasi 6M (Man, Money, Machines, Methods, Materials, and Market)
didayagunakan dan dimanfaatkan para pimpinan, seperti diingatkan oleh Keith Davis (1967),
tanpa memikirkan bagaimana cara mempengaruhi, memotivasi dan membimbing karyawan
untuk bersama-sama mencapai tujuan organisasi.
2.3.2 Model Kepemimpinan Birokrasi Transformasional
Konsep kepemimpinan transformasional pertamakali dikemukakan oleh James McGregor
Burns pada tahun 1978, dan selanjutnya dikembangkan oleh Bernard Bass dan para
behaviourists lainnya. Bass (1085) mendefinisikan kepemimpinan transformasional sebagai
‘kemampuan yang dimiliki seorang pemimpin untuk mempengaruhi anak buahnya, sehingga
mereka akan percaya, meneladani, dan menghormatinya.’ Kompetensi transformasi seorang
pemimpin mungkin dapat diukur dari kemampuannya dalam membangun sinergi dari seluruh
pegawai melalui pengaruh dan kewenangannya sehingga lebih berhasil dalam mencapai visi
dan misi organisasinya.
Proses perubahan yang dilakukan pemimpin transformasional, menurut Bass, dapat
dilakukan dengan cara:
1. meningkatkan kesadaran pegawai terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan;
2. mengarahkan mereka untuk fokus pada tujuan kelompok dan organisasi, bukan pada
kepentingan pribadi; dan
3. mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin. Implementasi kepemimpinan
transformasional ini bukan hanya tepat dilakukan di lingkungan birokrasi, tetapi juga
di berbagai organisasi yang memiliki banyak tenaga potensial dan berpendidikan.
Secara organisasional, Leithwood dan Jantzi (1990) menulis bahwa penerapan model
kepemimpinan ini sangat bermanfaat untuk: (1) membangun budaya kerjasama dan
profesionalitas di antara para pegawai, (2) memotivasi pimpinan untuk mengembangkan diri,
dan (3) membantu pimpinan memecahkan masalah secara efektif. Budaya kerjasama dan
profesionalitas dapat dibangun karena pemimpin transformasional akan memfasilitasi
pegawainya untuk berdialog, berdiskusi, dan merencanakan pekerjaan bersama. Kerjasama
yang terbentuk dari kegiatan ini akan memudahkan mereka untuk saling mengingatkan dalam
melaksanakan tugas dan pekerjaan. Kebersamaan juga dilakukan dalam merumuskan visi dan
misi organisasi, sehingga komitmen lebih mudah dibangun.
Seorang pemimpin transformasional juga akan membagi kewenangannya melalui
pemberdayaan pegawai, secara aktif mengkomunikasikan norma-norma dan nilai-nilai
organisasi. Untuk mendukung perubahan budaya, Bass menyarankan untuk memanfaatkan
mekanisme birokrasi yang selama ini telah dijalankan. Di samping itu, budaya yang
dikembangkan tersebut, secara tidak langsung, juga akan memotivasi pemimpin untuk lebih
mengembangkan diri. Dengan melibatkan staf dalam penyelesaian masalah-masalah strategis,
pemimpin transformasional harus mampu meyakinkan mereka bahwa tujuannya jelas,
rasional, dan visioner.
Berbagai kelebihan yang dimiliki atasan akan membantu para staf untuk bekerja
secara lebih cerdas, bukan lebih keras. Di samping itu, keterlibatan staf dalam pemecahan
permasalahan strategis juga akan meningkatkan pemahan bersama, bahwa permasalahan
organisasi yang dipecahkan secara bersama akan lebih berhasil dibanding bila dipecahkan
sendiri oleh pimpinan.
Berdasarkan diskusi di atas dan berbagai referensi, di bawah ini terangkum sepuluh
prinsip kepemimpinan transformasi dalam lingkup birokrasi pemerintahan sebagai berikut:
1. Kejelasan visi Kepemimpinan yang baik selalu mulai dengan visi yang
merefleksikan tujuan bersama, dan dijelaskan kepada seluruh pegawai dengan
gamblang dan sederhana.
2. Kesadaran pegawai Selalu berusaha untuk meningkatkan kesadaran pegawai
terhadap nilai dan pentingnya tugas dan pekerjaan mereka bagi organisasi.
3. Pencapaian visi Berorientasi pada pencapaian visi dengan cara menjaga dan
memelihara komitmen yang telah dibangun bersama.
4. Pelopor perubahan Berani melakukan dan merespon perubahan apabila
diperlukan, dan menjelaskan kepada seluruh pegawai tentang manfaat perubahan
yang dilakukan.
5. Pengembangan diri Mengembangkan diri secara terus-menerus melalui berbagai
media pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi kepemimpinannya.
6. Pembelajaran pegawai Memfasilitasi kebutuhan pembelajaran pegawai secara
efektif, dan mengembangkan potensi mereka seoptimal mungkin.
7. Pemberdayaan pegawai Membagi kewenangan dengan cara memberdayakan
pegawai berdasarkan trust, dengan mempertimbangkan kemampuan dan kemauan
mereka.
8. Pengembangan kreativitas Membimbing dan mengembangkan kreativitas pegawai
dan membantu mereka dalam memecahkan masalah-masalah strategis secara
efektif.
9. Budaya kerjasama Membangun budaya kerjasama pegawai, dan mengarahkan
mereka untuk mendahulukan tujuan kelompok dan organisasi daripada
kepentingan pribadi.
10. Kondusivitas organisasi Menciptakan organisasi yang kondusif dengan
mengembangkan budaya kemitraan, komunikasi multi-levels, dan mengutamakan
etika dan moralitas.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kepemimpinan transformasional dapat memberikan
berbagai pengaruh positif terhadap pegawai, pemimpin, dan organisasi. Dalam era globalisasi
seperti sekarang ini, yang membutuhkan kerjasama dari seluruh komponen organisasi untuk
memecahkan berbagai masalah strategis, model kepemimpinan semacam itu tampaknya tepat
untuk diterapkan dalam lingkungan birokrasi. Budaya kerjasama yang terbentuk dapat
merubah sikap mereka terhadap perkembangan organisasi dan peningkatan kinerja, dan
perhatian yang ditunjukkan oleh pimpinan juga akan menciptakan iklim yang kondusif dalam
organisasi. Pada akhirnya, seperti diasumsikan Erik Rees (2006), model kepemimpinan ini
akan bermuara pada peningkatan kondisi ekonomi, sosial, budaya kerja, dan spiritual seluruh
komponen organisasi.

BAB III
SIMPULAN
Analisis kepemimpinan birokrasi yang telah dilakukan menghasilkan suatu kesimpulan
bahwa pada umumnya model kepemimpinan yang selama ini diterapkan di organsasi-
organisasi pemerintah adalah model transaksional. Model kepemimpinan ini dianggap sesuai
dengan konsep birokrasi Weber yang dikembangkan seabad yang lalu. Dengan semakin
luasnya perkembangan orientasi dan tingginya tuntutan reformasi birokrasi, konsep birokrasi
dan model kepemimpinan transaksional Weberian dianggap tidak mampu lagi mengatasi
kompleksitas permasalahan pemerintahan yang ada. Salah satu solusi terhadap permasalahan
ini adalah merubah model kepemimpinan transaksional me njadi transformasional.
Transformasi kepemimpinan dilakukan melalui pengembangan kompetensi dalam bentuk
kemampuan dan sikap kepemimpinan unggulan yang sesuai dengan kebutuhan zaman.
Dengan memiliki kompetensi ini, para pemimpin birokrasi diharapkan mampu melaksanakan
tugas kepemimpinannya secara proporsional dan mengatasi setiap permasalahan yang muncul
dalam organisasinya. Karakteristik kepemimpinan birokrasi unggulan dapat dimiliki oleh
setiap orang melalui upaya yang keras dan komitmen yang tinggi. Pengembangan diri secara
terus menerus diperlukan melalui berbagai media pembelajaran dan pengalaman empirik.
Demikian juga konsistensi terhadap komitmen dibutuhkan untuk keberhasilan proses
pengembangan model kepemimpinan birokrasi ini. Hanya dengan upaya ini seorang
pemimpin birokrasi akan mampu melaksanakan tugas kepemimpinannya dan menciptakan
kondisi yang lebih baik bagi lingkungannya.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai