Anda di halaman 1dari 8

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 3

Nama Mahasiswa : RIDHO MUSLIM

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 043703452

Kode/Nama Mata Kuliah : MKWU4110/PANCASILA

Kode/Nama UPBJJ : 13/UPBJJ-UT BATAM

Masa Ujian : 2022/23.2(2023.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
No Soal
1 a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara objektif!
Notonagoro (1974) menunjukkan ada dua jenis pelaksanaan Pancasila, yaitu pelaksanaan
objektif dan subjektif, yang keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan,
Pelaksanaan objektif adalah pelaksanaan dalam bentuk realisasi nilai-nilai Pancasila dalam
aturan hukum perundang-undangan pada setiap aspek penyelenggaraan negara, baik di
bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, dan semua bidang kenegaraan dan terutama
realisasinya dalam bentuk peraturan perundang-undangan negara Indonesia.

Pelaksanaan Pancasila secara objektif ini menurut Notonagoro meliputi:

1) Tafsir Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, harus dilihat dari
sudut Pancasila.
2) Pelaksanaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam undang-
undang harus mengingat dasar-dasar pokok pikiran yang tercantum dalam Pancasila.
3) Interpretasi dan pelaksanaan undang-undang harus mengingat unsur-unsur yang
tercantum dalam Pancasila.
4) Interpretasi dan pelaksanaan undang-undang harus lengkap dan menyeluruh
meliputi semua bidang dan tingkat penguasa, dari pusat sampai daerah.
Seluruh hidup kenegaraan dan tertib hukum Indonesia didasarkan atas dan ditujukan kepada, serta
diliputi oleh asas filsafat dan asas politik serta tujuan negara yang terkandung dalam pokok-pokok
pikiran Pembukaan UUD NRI 1945.
b. Analisis pelaksanaan nilai nilai Pancasila secara konkret dalam pelaksanaan sistem
kenegaraan di Indonesia!
Realisasi pelaksanaan Pancasila secara konkret harus tercermin dalam setiap penentuan
kebijaksanaan di bidang kenegaraan, antara lain:

- Hukum dan perundang-undangan dan peradilan


- Pemerintahan
- Politik dalam dan luar negeri
- Keselamatan, keamanan dan pertahanan
- Kesejahteraan
- Kebudayaan
- Pendidikan, dan lain-lain (Notonagoro, 1971).
c. “UUD 1945 oleh sementara pakar hukum dianggap belum konsisten menjabarkan nilai-nilai
Pancasila. Buktinya adalah kekuasaan eksekutif atau presiden yang berlebihan dibandingkan
dengan kekuasaan Lembaga tinggi negara lainnya. Solusi dari permasalahan tersebut adalah
dengan Amandemen UUD 1945”. Analisis hasil amandemen yang mengatur tentang
kekuasaan Presiden RI yang tertuang dalam UUD NRI 1945!

Prinsip – prinsip dalam pemikiran dan pelaksanaan Pancasila salah satunya adalah
Konsisten (bahasa Latin consistere yang berarti “berdiri bersama” artinya “sesuai”,
“harmoni”, atau “hubungan logis”. Artinya pelaksanaan Pancasila seharusnya berdiri
bersama, sesuai, harmoni dan memiliki hubungan logis dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai
contoh nilai-nilai Pancasila yang tercermin dalam Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD NRI
1945 harus dijabarkan secara konsisten ke dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 dan perangkat
hukum di bawahnya

Hasil Amandemen UUD 1945 yang pertama meliputi 9 pasal dan 16 ayat sebagai berikut:
Pasal 5 Ayat
1. Hak presiden untuk mengajukan RUU kepada DPR. Pasal 7: Pembatasan masa
jabatan presiden dan wakil presiden. Pasal 9 Ayat 1 dan
2. Sumpah presiden dan wakil presiden
2 Pelaksanaan Pancasila berkali-kali mengalami penyimpangan baik pada pemerintahan orde lama,
orde baru, maupun orde transisi dan orde Reformasi. Secara ilmiah, dapat dikatakan penyimpangan
terjadi karena dilanggarnya prinsip pelaksanaan Pancasila. Analisis dan uraikan prinsip-prinsip
tersebut!

1. Prinsip ditinjau dari segi intrinsik (segi ke dalam)

Ditinjau dari segi intrinsik atau segi ke dalam, prinsip-prinsip dalam pemikiran dapat dibedakan
menjadi tiga, yaitu koheren, konsisten, dan koresponden. Ketiga hal tersebut selanjutnya akan
dijelaskan sebagai berikut.

a. Koheren

Koheren berasal dari bahasa Latin cohaerere berarti “lekat satu dengan lainnya” artinya satu sila
harus terkait erat dengan sila yang lain. Prinsip koherensi ini dalam pemikiran Notonagoro dikenal
sebagai prinsip kesatuan organis dan tata hubungan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis
piramidal. Uraian terdahulu telah mengungkapkan bahwa sila-sila Pancasila merupakan satu kesatuan
yang tidak dapat dipisahkan, karena sifatnya yang organis. Prinsip ini mengajarkan, bahwa dalam
pelaksanaan Pancasila tidak sempurna jika hanya memilih salah satu sila dengan meninggalkan sila
lainnya, sebagaimana yang pernah terjadi pada masa Orde Lama dengan memeras-meras Pancasila
menjadi tri sila, dan akhirnya menjadi eka sila.
Tata hubungan sila-sila Pancasila yang bersifat hierarkhis piramidal, artinya tata hubungan
Pancasila berjenjang dan membentuk piramida. Sila pertama mendasari dan menjiwai sila 2, 3, 4, dan
5. Sila ke-2 dijiwai dan didasari sila 1, dan menjiwai dan mendasari sila ke-3, ke-4, dan ke-5, dan
seterusnya. Penyimpangan yang mencolok yang pernah terjadi adalah ketika di masa PKI dulu, yang
memanipulasi Sila ke-5 demi keadilan yang sama rata, sama rasa dengan meninggalkan Sila ke-1 yang
mengakui adanya Tuhan.

b. Konsisten

Konsisten (bahasa Latin consistere yang berarti “berdiri bersama” artinya “sesuai”, “harmoni”, atau
“hubungan logis”. Artinya pelaksanaan Pancasila seharusnya berdiri bersama, sesuai, harmoni dan
memiliki hubungan logis dengan nilai-nilai Pancasila. Sebagai contoh nilai-nilai Pancasila yang
tercermin dalam Pokok-pokok Pikiran Pembukaan UUD NRI 1945 harus dijabarkan secara konsisten ke
dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945 dan perangkat hukum di bawahnya.
Contohnya adalah: UUD NRI 1945, oleh sementara pakar hukum dianggap belum secara konsisten
menjabarkan nilai-nilai Pancasila. Buktinya adalah kekuasaan eksekutif atau Presiden yang berlebihan
dibandingkan kekuasaan lembaga tinggi negara lainnya. Solusi terhadap hal tersebut maka
diusulkanlah amandemen UUD NRI 1945, dan SU MPR 1999 telah menangkap semangat tersebut dan
merealisasikannya dengan melakukan amandemen UUD NRI 1945 tahap pertama, dan akan
dilanjutkan pada tahap-tahap selanjutnya secara bertahap.
Penyimpangan sering juga terjadi karena secara formal prosedural Pancasila selalu diakui dan
ditulis sebagai landasan ideal dan dasar dari suatu produk hukum dan kebijakan kenegaraan, namun
secara substansial nilai-nilainya tidak tercermin dalam produk hukum atau kebijakan tersebut. Contoh
dari kasus ini adalah semboyan yang didengung-dengungkan pada masa Orde Baru bahwa
Pembangunan adalah pelaksanaan Pancasila. Namun berbagai kebijakan pembangunan ternyata
secara substansial tidak mencerminkan cita rasa perlindungan dan keadilan bagi warga negara.

c. Koresponden
Koresponden berasal dari bahasa Latin com berarti “bersama”, respondere “menjawab” artinya
cocoknya praktik dengan teori, kenyataan dengan ideologi, senyatanya (das sein) dengan
seharusnya (das sollen), isi (material) dan bentuk (formal), dan lain-lain. Contoh kegagalan konsep
pembangunan sentralistik pada masa Orde Baru yang tidak memperhatikan realitas masyarakat
Indonesia adalah plural, baik ditinjau dari berbagai segi misalnya agama, etnis, geografis dan historis.
Contoh lain adalah tradisi pengambilan sumpah jabatan, yang selalu dilafalkan akan setia kepada
Pancasila dan UUD NRI 1945, dan lain-lain, namun dalam kenyataan setelah menjabat sumpah itu
hanya berhenti dalam kata-kata tidak tercermin dalam perbuatan. Bangsa Indonesia pada masa lalu
banyak diajarkan kebiasaan berpikir dan bertindak secara formalistik kurang mempertimbangkan
aspek isi atau materinya.
Prinsip ini menuntut ditatanya kembali berbagai tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara agar
dapat mencapai tujuan ideal negara. Berbagai kegagalan pelaksanaan Pancasila ada beberapa
kemungkinan jika ditinjau dari prinsip ini. Kemungkinan pertama, salah satu di antara teori atau
praktiknya yang salah. Kemungkinan kedua, kedua-duanya salah, artinya teori dan praktiknya salah.
Hal ini menyadarkan kita bahwa Pancasila seharusnya dianggap sebagai nilai-nilai yang dinamis yang
senantiasa berdialog dengan nilai-nilai lain yang sedang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Interaksi antara idealitas dengan realitas, teori dengan praktik ini justru akan berdampak positif. Satu
pihak teori akan berkembang karena dirangsang dengan data dan fakta baru, lain pihak masalah yang
muncul dalam pengalaman konkret mampu dibantu pemecahannya dengan teori-teori yang relevan.
Kecenderungan lama yang menganggap jika ada kegagalan dalam pelaksanaan Pancasila dengan
mencari kambing hitam atau oknum kiranya tidak perlu lagi terjadi. Kegagalan harus dimaknai sebagai
kritik atas ketidaktepatan teori, dan sebaliknya kenyataan yang tidak benar harus ditata dengan konsep
atau teori yang memadai.

2. Prinsip Ditinjau dari Segi Ekstrinsik (Segi ke Luar)

Penyimpangan terhadap pelaksanaan Pancasila juga terjadi jika tidak memperhatikan prinsip ini.
Pancasila pada awalnya dimaksudkan sebagai Dasar Negara sekaligus sebagai penyalur kepentingan
baik kepentingan horizontal, maupun kepentingan vertikal. Penyusun berpandangan bahwa ditinjau
dari segi ekstrinsiknya Pancasila harus memiliki prinsip pragmatis, artinya memiliki nilai kegunaan,
walaupun kegunaan harus dimaknai secara kritis, yaitu berguna dalam arti luas baik ditinjau dari
konteks ruang dan waktu. Tinjauan dari konteks ruang berarti berguna bagi sebagian besar
kepentingan masyarakat luas tanpa harus menyisihkan kepentingan masyarakat yang lain, dalam
konteks waktu berguna dalam jangka panjang, dengan tidak mengorbankan jangka pendek. Prinsip
ekstrinsik ini dapat dijabarkan sebagai berikut:

a. Penyalur Kepentingan horizontal

Kepentingan horizontal maksudnya kepentingan dari segenap komponen bangsa yang pluralistik di
antara sesama warga negara, ditinjau dari pluralitas yang tercermin dalam suku, agama, ras dan
golongan. Keberpihakan pada salah satu komponen akan berakibat reaksi dari komponen masyarakat
yang lain. Contoh perlakuan diskriminatif terhadap salah satu agama di Indonesia akhirnya
mengundang konflik berkepanjangan dan menimbulkan banyak korban di Maluku. Kasus konflik antar
etnis Madura dan Dayak di Pontianak dapat pula dianggap sebagai contoh konkret tidak diterapkannya
prinsip ini dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

b. Penyalur Kepentingan vertikal

Prinsip ini mengajarkan bahwa dalam melaksanakan Pancasila harus memperhatikan adanya
berbagai kepentingan yang sifatnya vertikal, misalnya kepentingan antara warga negara dengan
penyelenggara negara, orang miskin-orang kaya, buruh-majikan, minoritas-mayoritas, dan lain-lain.
Tersumbatnya saluran kepentingan ini merupakan sumber kerawanan. Contoh: Kasus penjarahan yang
terjadi pada masa reformasi tahun 1997 di berbagai daerah di Indonesia seperti Solo, Jakarta, Medan,
dan lain-lain, itu semua akibat akumulasi dari berbagai kepentingan yang selama ini tidak
terartikulasikan dan tidak ditangkap oleh para penyelenggara negara. Kecemburuan antara si miskin
dan si kaya, antara kepentingan buruh yang dilanggar oleh pengusaha yang berkolusi dengan
penguasa.
Prinsip-prinsip ditinjau dari segi intrinsik dan ekstrinsik tersebut masih dapat ditambah dengan
prinsip-prinsip lain yang tidak bertentangan dengan nilai dasar pelaksanaan Pancasila.

a. Jelaskan beberapa argumentasi mengapa Pancasila masih dianggap relevan dalam era reformasi!
Jawab : berikut beberapa argumentasi tentang pancasila masih relevan dalam era reformasi
1. Pancasila di era sekarang ini masih tetap relevan sebagai ideologi kebangsaan
Indonesia. Sebab dengan Ideologi pancasila ini mampu mempersatukan rakyat di 17.504
pulau, 1.360 suku, 726 bahasa daerah, serta beragam budaya adiluhung yang
memanusiakan manusia Hal itu disampaikan pakar tata negara Mahfud MD saat menjadi
pembicara dalam seminar kerja sama antara Kantor Staf Kepresidenan dengan IAIN
Salatiga di kampus 3 IAIN Salatiga, Rabu (20/9). Karena itu, lanjut Mahfud, kita harus
menjaga nilai-nilai kebangsaan, agar kemerdekaan benar-benar bermanfaat dan kuat.
Nilai-nilai kebangsaan yang menonjol dan selalu menjadi kesadaran hidup berbangsa
adalah bhinneka tunggal ika, toleransi beragama, gotong-royong, permusyawaratan dan
keadilan.
2. “Ketahanan ideologi Pancasila kembali diuji ketika dunia masuk pada era globalisasi
di mana banyaknya ideologi alternatif merasuki ke dalam segenap sendi-sendi bangsa
melalui media informasi yang dapat dijangkau oleh seluruh anak bangsa,” kata Deputi
Bidang Pengkajian Strategik Prof. Dr. Ir. Reni Mayerni, M.P. membuka Focus Group
Discussion (FGD) tentang Mencari Bentuk Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam Era
Globalisasi bertempat di Ruang Gatot Kaca, Senin, 9 Maret 2020. Reni menjelaskan bahwa
Pancasila sejatinya merupakan ideologi terbuka, yakni ideologi yang terbuka dalam
menyerap nilai-nilai baru yang dapat bermanfaat bagi keberlangsungan hidup bangsa.
Namun, di sisi lain diharuskan adanya kewaspadaan nasional terhadap ideologi baru.
Apabila Indonesia tidak cermat, maka masyarakat akan cenderung ikut arus ideologi luar
3 tersebut, sedangkan ideologi asli bangsa Indonesia sendiri yakni Pancasila malah
terlupakan baik nilai-nilainya maupun implementasinya dalam kehidupan sehari-hari
3. “Seharusnya representasi sosial tentang Pancasila yang diingat orang adalah
Pancasila ideologi toleransi, Pancasila ideologi pluralisme, dan Pancasila ideologi
multikulturalisme,” kata Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia Prof. Dr. Hamdi
Moeloek. Representasi sosial tentang Pancasila yang dimaksud adalah kerangka acuan nilai
bernegara dan berbangsa yang menjadi identitas Bangsa Indonesia. Hamdi menjelaskan
bahwa jika Pancasila menjadi acuan, maka implementasi nilai-nilai Pancasila akan lebih
mudah terlihat dalam praktik bernegara, misalnya saat pengambilan kebijakan-kebijakan
politik. Selanjutnya Hamdi menjelaskan bahwa terlihat Pancasila bisa memberikan solusi di
tengah adanya beragam ideologi seperti sosialis dan liberal serta di tengah usaha politik
identitas oleh agama, etnik, dan kepentingan
b. Analisis cara-cara mereformasi pemikiran mengenai Pancasila!
- Pemikiran Politik Kenegaraan
Jalur pemikiran kenegaraan ini memiliki kemiripan dengan jalur pelaksanaan objektif dalam
pemikiran Notonagoro, yaitu penjabaran Pancasila sebagai ideologi bangsa, Dasar Negara
dan sumber hukum dijabarkan dalam berbagai ketentuan hukum dan kebijakan politik.
Penyelenggara negara memiliki peranan penting sebagai pengemban misi ini. Penyelenggara
negara tersebut baik lembaga tertinggi negara (MPR) maupun lembaga tinggi negara lain
seperti Presiden, DPR, DPA, MA, BPK dan berbagai pemerintahan di bawahnya. Para
penyelenggara negara ini berkewajiban menjabarkan nilai-nilai Pancasila ke dalam perangkat
perundang-undangan serta berbagai kebijakan dan tindakan.
Tujuan penjabaran Pancasila dalam konteks ini adalah untuk mengambil keputusan konkret
dan praktis. Metodologi yang digunakan adalah memandang hukum sebagai metodologi,
sebagaimana yang telah diatur oleh UUD NRI.

- Pemikiran Akademis
Tidak semua permasalahan mengenai Pancasila dapat dipecahkan melalui jalur politik
kenegaraan semata, melainkan memerlukan jalur lain yang membantu memberikan kritik
dan saran bagi pelaksanaan Pancasila, jalur itu adalah jalur akademis. Sejarah pemikiran
Pancasila menunjukkan adanya berbagai kompleksitas dan heterogenitas dalam pendekatan
intelektual mengenai Pancasila. Pendekatan intelektual ini dipelopori oleh Notonagoro dari
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, yang mencoba menjelaskan Pancasila secara ilmiah
populer. Langkah ini juga dilanjutkan oleh Drijarkara, yang mencoba membahas Pancasila
dari aspek filsafat eksistensialisme, setelah itu mulai bermunculan beberapa pemikir
mengenai Pancasila.

Pranarka (1985: 349) menunjukkan adanya heterogenitas dan kompleksitas pendekatan


intelektual terhadap Pancasila itu disebabkan oleh pertama, diterapkannya berbagai jenis
pengetahuan di dalam upaya mengetahui dan mendalami Pancasila, sehingga melahirkan
berbagai pendekatan yang sifatnya ideologis, filosofis, teologis, dan ilmiah. Kedua,
ditransplantasikannya ideologi-ideologi lain untuk memahami Pancasila, misalnya ideologi
Marxisme, Ideologi Liberalisme, dan Ideologi Islam. Ketiga, tidak adanya dukungan
konsepsional yang konsisten terhadap Pancasila, baik sebagai dasar negara, sumber hukum,
maupun sebagai ideologi nasional. Di samping itu belum ada teori mengenai cara objektif
mempelajari Pancasila.

- Hubungan pemikiran politik kenegaraan dan pemikiran akademis


Pemikiran politik kenegaraan tujuan utamanya adalah untuk pengambilan keputusan atau
kebijakan, maka lebih mengutamakan aspek pragmatis, sehingga kadang-kadang kurang
memperhatikan aspek koherensi, konsistensi, dan korespondensi. Akibatnya kadang berbagai
kebijakan justru kontra produktif dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.

Contoh: Keluarnya TAP MPR No.V/MPR/1998 Tentang Pemberian Tugas dan Wewenang
Khusus kepada Presiden/ Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
dalam Rangka Penyuksesan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan
Pancasila, merupakan produk pemikiran politik kenegaraan yang secara akademis sulit
dipertahankan. Tap ini syarat dengan kepentingan politis untuk melanggengkan kekuasaan.
Akhirnya setelah melalui berbagai diskusi terutama dari kajian ilmiah didukung oleh
semangat reformasi akhirnya TAP itu dicabut dengan Tap MPR No. XII/MPR 1998.

Contoh lain diungkapkan oleh Moh. Mahfud (1998)

Peraturan Pemerintah (PP) No. 20 Tahun 1994 dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (PMDN)
No.15 Tahun 1975 (terakhir diubah dengan Kepres No. 55 Tahun 1993) dapat disebut sebagai
contoh tentang ini. PP No. 20 tahun 1994 membolehkan modal asing masuk ke industri pers
nasional sampai lebih dari 90% padahal UU Pokok Pers melarang masuknya modal asing ke
dalam pers nasional. PMDN No. 15 Tahun 1975 dan Kepres No. 55 Tahun 1993 mengatur
tentang pembebasan dan pengadaan tanah untuk keperluan pembangunan padahal sejak
tahun 1961 telah ada UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah
(Onteigening) yang mengatur cara-cara pengambilalihan tanah warga negara untuk
kepentingan masyarakat dan negara.

Fenomena ini memperkuat kesan sering terjadinya “inkonsistensi” suatu peraturan dengan
perauran yang lebih tinggi (vertikal) di samping (yang sering juga terlihat) tumpang tindih
antara peraturan yang secara hierarkhis sederajat (horizontal).

Pemikiran akademis dengan demikian berfungsi sebagai sumber bahan dan kritik bagi
pemikiran politik kenegaraan. Sebaliknya kasus-kasus yang tidak dapat dipecahkan oleh para
pengambil kebijakan merupakan masukan yang berharga bagi pengembangan pemikiran
akademis. Setiap pemikiran akademis belum tentu dapat diterapkan dalam kebijakan politik
kenegaraan, sebaliknya setiap kebijakan politik kenegaraan belum tentu memiliki validitas
atau tingkat kesahihan yang tinggi jika diuji secara akademis.
a. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Reformasi!
Jawab :
Menurut KBBI, reformasi adalah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik,
atau agama) dalam suatu masyarakat atau negara
1. Pengertian Reformasi Menurut Sedarmayanti

Pengertian reformasi adalah proses sistematis, terpadu dan komprehensif yang ditujukan untuk
merealisasikan tata pemerintahan untuk lebih lagi (Good Governance).

2. Pengertian Reformasi Menurut Quah

Pengertian reformasi adalah proses untuk mengubah prosedur birokrasi publik dan sikap tingkah laku
birokrat dalam rangka mencapai efektivitas birokrasi serta tujuan pembangunan nasional.

3. Pengertian Reformasi Menurut Sinambela, dkk.

Pengertian reformasi adalah secara teoretis merupakan suatu perubahan yang mana secara ke
dalaman relatif terbatas tetapi keleluasaan dalam perubahannya melibatkan seluruh elemen
masyarakat.

4 4. Pengertian Reformasi Menurut Khan

Pengertian reformasi adalah perubahan pokok dalam sistem birokrasi yang mempunyai tujuan untuk
mengubah struktur, tingkah laku, keberadaan dan kebiasaan lama.

5. Pengertian Reformasi Menurut Samonte

Pengertian reformasi adalah perubahan dengan menggunakan perencanaan dan adopsi dalam
rangka membuat sistem administrasi sebagai badan yang lebih efektif dalam hal perubahan sosial,
sebagai instrumen yang baik untuk membawa persamaan politik, sosial dan perubahan ekonomi.

b. Analisis berbagai faktor yang menjadi pendorong munculnya Gerakan reformasi di Indonesia!
Jawab :
1. Adanya ketidakpuasan masyarakat terhadap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN)
yang merajalela di pemerintahan Orde Baru. KKN menyebabkan ketimpangan sosial dan
ekonomi yang semakin lebar antara golongan kaya dan miskin, serta antara pusat dan daerah
2. Adanya tuntutan demokratisasi dari berbagai elemen masyarakat, terutama mahasiswa dan
aktivis. Mereka menuntut adanya reformasi politik yang meliputi pemilu yang jujur dan adil,
pembatasan masa jabatan presiden, penghapusan Dwifungsi ABRI, pengakuan hak asasi
manusia, dan penegakan hukum yang berkeadilan.
3. Adanya krisis kepercayaan terhadap pemerintah Orde Baru akibat gagalnya mengatasi krisis
ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997. Krisis
tersebut menyebabkan melemahnya nilai tukar rupiah, meningkatnya inflasi, menurunnya
pertumbuhan ekonomi, dan meningkatnya pengangguran dan kemiskinan
4. Adanya gerakan separatis di beberapa daerah, seperti Aceh, Papua, dan Timor Timur.
Gerakan tersebut menuntut kemerdekaan atau otonomi yang lebih luas dari pemerintah
pusat. Gerakan tersebut juga dipicu oleh ketidakadilan dalam pembagian sumber daya alam
antara pusat dan daerah
5. Adanya tekanan dari negara-negara donor dan lembaga keuangan internasional, seperti IMF
dan Bank Dunia. Tekanan tersebut berupa tuntutan untuk melakukan reformasi struktural
ekonomi dan politik sebagai syarat untuk mendapatkan bantuan dana. Reformasi struktural
tersebut meliputi penghapusan subsidi, privatisasi BUMN, liberalisasi perdagangan dan
investasi, serta transparansi anggaran
6. Adanya pengaruh dari gelombang demokratisasi global yang terjadi sejak akhir tahun 1980-
an. Gelombang demokratisasi tersebut menyebabkan runtuhnya rezim otoriter di berbagai
negara, seperti Uni Soviet, Eropa Timur, Afrika Selatan, Filipina, Korea Selatan, Taiwan, dan
Thailand. Gelombang demokratisasi tersebut juga memberikan inspirasi dan dukungan bagi
gerakan reformasi di Indonesia
7. Adanya perubahan situasi geopolitik global pasca Perang Dingin. Perubahan tersebut
menuntut Indonesia untuk menyesuaikan diri dengan tatanan dunia baru yang lebih
kompleks dan dinamis. Indonesia juga harus menghadapi tantangan baru, seperti isu-isu
lingkungan, hak asasi manusia, terorisme, dan perdagangan bebas

Sumber : Modul Pancasila

Anda mungkin juga menyukai