Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. PENERIMAAN DIRI
1. Pengertian Penerimaan Diri
Penerimaan diri (self acceptance) ialah suatu sikap positif individu agar bisa menerima
dan memahami berbagai aspek yang dimiliki tanpa adanya penolakan terhadap situasi
kondisi sehingga tidak mengkhawatirkan adanya perubahan yang menyakitkan, dan
menyalahkan, tetapi membantu dalam memperkuat adanya nilai dan standart diri yang tidak
dapat dipengaruhi oleh lingkungan luar, keyakinan untuk menjalani hidup, tanggung jawab
dengan apa yang dilakukan, terbuka dalam menerima kritik dan saran, tidak menyalahkan
diri karena perasaannya kepada orang lain, menilai dirinya sama dengan yang lain serta tidak
mau menganggap dirinya berbeda dari yang lain sehingga tidak ada alasan untuk ditolak
(Denmark, 1973).
Penerimaan juga dapat diartikan sebagai kemampuan individu dalam menerima dirinya
sendiri yang mengacu pada pemahaman individu tanpa adanya syarat apapun termasuk
karakteristik diri yang merupakan kemampuan untuk membentuk kepribadian sehingga
membantu individu merasa puas dengan dirinya sendiri dalam proses tumbuh kembang
Erisvita dkk., (2022). Menurut Pambudi & Darmawanti (2022) penerimaan diri dapat
disimpulkan sebagai suatu pemahaman dan sikap positif individu terhadap karakteristik yang
ada pada diri mereka, menerima perubahan, kritik serta pilihan hidup dimasalalu sehingga
dapat bertahan dalam menjalani keadaan tersebut.
Sedangkan menurut Wulandari & Susilawati (2016) penerimaan diri yang baik pada
individu mampu membantu mengembangkan diri untuk berinteraksi dan menjalin hubungan
akrab dengan orang lain tanpa adanya gangguan dari kelemahan yang dimiliki karena
individu tersebut beranggapan bahwa semua manusia pasti sama yakni memiliki kelebihan
dan kekurangan. Penerimaan diri dapat terjadi ketika seseorang dapat memandang dirinya
sendiri secara objektif, menerima kondisi fisik, emosi dan pengalamannya sendiri, menerima
adanya perilaku eksternal dengan kualitas batinnya sendiri serta memahami dan merangkul
dirinya sendiri sehingga dapat menghargai dirinya sendiri (Chen dkk., 2019).
Berdasarkan pengertian dan uraian para ahli diatas, dapat disimpulkan bahwa penerimaan
diri (self acceptance) ialah kemampuan yang dimiliki individu dalam bentuk emosi positif
untuk membantu dalam memahami, menerima dan mengembangkan kemampuan diri
sehingga dapat mencapai kebahagiaan hidup scara optimal yang didasarkan oleh adanya
sikap dan harapan yang realita.

2. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penerimaan Diri


Terdapat beberapa faktor menurut (Hurlock, 2013) untuk mempengaruhi seseorang dalam
penerimaan diri, antara lain:
a. Pemahaman diri, yakni suatu keyakinan atas pengenalan diri sendiri yang bersifat asli
dan realistis untuk mengenali kemampuan dan ketidakmampuan yang dimiliki.
b. Harapan yang realistis, individu dapay menentukan dan menyesuaikan pemahaman dan
kemampuan sehingga memiliki adanya harapan yang pasti bisa terwujud.
c. Tidak adanya hambatan dari lingkungan, individu mampu mengontrol adanya hambatan
yang berasal dari lingkungan baik dalam bentuk deskriminasi, ras, gender, dll.
d. Tidak adanya tekanan emosi yang berat, individu mampu menolak adanya tekanan yang
terjadi di lingkungan kerja atau rumah sehingga menghindarkan dari adanya tekanan dan
gangguan yang mengganggu.
e. Sukses yang sering terjadi, individu yang sering mendapatkan keberhasilan dan
kesuksesan dalam segala hal dapat membantu penumbuhan penerimaan terhadap diri
sendiri yang baik.
f. Konsep diri yang stabil, individu yang memilii konsep diri baik dapat mewujudkan
penerimaan diri yang baik pula.

Sedangkan pada Bernard (2013) menyebutkan adanya faktor yang mempengaruhi


penerimaan diri ialah :

a. Diri yang positif, mencerminkan suatu kesadaran diri yang bersifat positif apabila
individu dihadapkan oleh kejadian negatif.
b. Evaluasi diri yang negatif, evaluasi ini mencerminkan adanya nilai pada individu secara
umum serta pentingnya pendapat orang lain sebagai penentuan penilaian seseorang.
B. REMAJA YATIM-PIATU
1. Pengertian Remaja
Remaja atau biasa disebut dengan adolescence memiliki arti tumbuh untuk mencapai
kematangan mental, emosional, sosial dan fisik sehingga menjadikan individu tersebut
merasa bahwa dirinya tidak berada di bawah tingkatan orang yang lebih tua tetapi merasa
sama atau sejajar Ali & Asrori (2004). Masa remaja juga merupakan bagian dimana
seseorang sudah tidak dapat dikatakan sebagai anak kecil lagi, tetapi juga belum bisa
dikatakan sebagai orang dewasa (Rifal, 1987).
Remaja menurut Jannah (2017) ialah seseorang yang sedang beranjak selangkah menuju
masa dewasa yang memiliki tiga tahapan antara lain early (awal), middle (madya), dan late
(akhir) sebagai tugas perkembangan yang harus dilalui agar dapat terciptanya perkembangan
fisik dan psikis secara sempurna, sehingga dapat menghindarkan adanya hambatan serta
kegagalan dalam menjalani kehidupan di fase dewasa nanti. Remaja juga merupakan suatu
tahapan perkembangan yang terjadi mulai dari masa anak-anak menuju masa dewasa dengan
cakupan aspek kognitif, fisik dan psikososial pada setiap individu (Diane dkk., 2015)
Sedangkan menurut Sit (2012) ketika memasuki masa remaja individu cenderung
menganggap diri mereka serba mampu sehingga seringkali terlihat tidak memikirkan
dampak dari apa yang telah mereka lakukan, tak hanya itu ketika memasuki fase remaja
individu juga menganggap dirinya adalah sosok yang sangat unik dan keunikan tersebut
menjadikan kesuksesan yang sangat hebat. Ketika seseorang memasuki fase remaja, mereka
harus melewati tugas-tugas remaja dalam perkembangan seperti mampu menerima keadaan
fisiknya, mampu menerima dan memahami peran, mampu membina hubungan baik dengan
sesame jenis maupun lawan jenis (Hurlock, 2013) .
Berdasarkan uraian yang sudah dipaparkan diatas dapat disimpulkan bahwa remaja ialah
seseorang yang sedang beranjak selangkah menuju tahapan perkembangan dewasa yang
memiliki tiga tahapan antara lain early (awal), middle (madya), dan late (akhir) dengan
mencakup aspek kognitif, fisik, dan psikososial sehingga dapat menghindarkan adanya
hambatan serta kegagalan dalam menjalani kehidupan di fase dewasa nanti.
2. Remaja Yatim-Piatu Di Panti Asuhan
Remaja merupakan tahapan masa perkembangan pada setiap individu dengan transisi
yang akan mengalami keadaan dari anak-anak menuju kedewasaan, terutama pada aspek
kognitif, fisik dan psikososial Diane dkk., (2015). Pada anak yatim (ayah telah wafat) atau
piatu (ibu telah wafat) dimana mereka hanya memiliki orang tua tunggal (Pambudi &
Darmawanti, 2022).
Anak-anak yang berusia kisaran 13-18 tahun dengan satu orang tua yang meninggal
dapat diklasifikasikan sebagai “yatim piatu tunggal” atau yatim piatu, sedangkan anak-anak
dengan kedua orang tuanya meninggal diklasifikasikan sebagai “yatim piatu” Tabors (1998).
Remaja yatim piatu menurut Dewi & Cahyani (2015) ialah seseorang dengan usia 12-19
tahun yang tidak memiliki orang tua. Kehilangan orangtua yang menyebabkan kondisi yatim
piatu di usia remaja dapat menjadikan masalah dalam kondisi yang sangat kompleks bagi
remaja (Sulfahmi & Ridha, 2017).
Menurut Azlini dkk., (2020) Panti Asuhan adalah institusi publik yang diciptakan untuk
memberikan perlindungan bagi anak-anak yang orang tuanya telah meninggal dunia atau
tidak diketahui asal-usulnya. Dengan tinggalnya remaja yatim atau piatu di panti asuhan
memberikan sumber dukungan keluarga yang tadinya tidak terpenuhi menjadi terpenuhi,
sehingga dapat menghindarkan dari perasaan kehilangan dukungan orang tua, mengalami
perasaan ditinggalkan, merasa tertolak, tidak diakui, serta merasa tidak diperhatikan (Putri,
2013).

C. PENERIMAAN DIRI REMAJA YATIM-PIATU DI PANTI ASUHAN

Remaja merupakan fase beralihnya peran sebagai anak-anak menuju peran yang bertanggung
jawab sebagai seorang dewasa Newman (2015). Pada masa perkembangan remaja menurut
Johnson (2016) ditemukan adanya beberapa remaja yang belum mampu untuk mentoleransi
pendapat yang berbeda, memiliki kendala dalam bersosial, belum mampu mengenali dan
menggambarkan dirinya, masih merasa kesulitan dalam memahami perasaan yang dilaminya
sehingga kontrol emosi masih dalam taraf rendah. Sedangkan dalam menghadapi berbagai
masalah dalam masa perkembangan, remaja membutuhkan adanya sosok orang deqasa yang
mampu memahami dan memperlakukannya sesuai dengan kebutuhannya (Gender dlm Dedy
2011).
Ketidakhadiran orang tua dalam masa perkembangan dapat menjadikan kondisi remaja yatim
piatu kesulitan karena harus menghadapi adanya gejolak emosi dan permasalahan yang muncul
sehingga menjadikan kondisi tersebut jauh lebih berat karena harus dilalui seorang diri, tanpa
adanya sosok yang memberikan sumber kasih sayang Safitri & Munawaroh (2022). Penerimaan
diri (self acceptance) ialah keyakinan bahwa seseorang adalah orang yang berharga karena dia
ada dan terlepas dari kesalahan seseorang yang digambarkan sebagai pengakuan atas falibilitas
dan kekurangan seseorang tanpa menilai seseorang tersebut baik secara positif maupun negatif
yang berfungsi sebagai faktor pelindung dalam mengurangi trauma atau peristiwa negatif lain
dalam perkembangannya (Bernard, 2013).

Menurut Lestari Anugrahwati & Sri Wiraswati (2020) sebagaian remaja yatim-piatu yang ada
di panti asuhan masih memiliki kendala dalam kemampuan penerimaan akibat dititipkan di panti
asuhan, bahkan tak jarang dari mereka merasa terbuang dan dijauhkan dari orang tua.
D. TEORI PENDUKUNG SEKUNDER
E. KAJIAN PENELITIAN SEBELUMNYA

No Nama Peneliti dan Tahun Judul Hasil Penelitian


1 Hari Bagus Pambudi dan Gambaran Penerimaan Diri Hasil penelitian menunjukkan
Ira Darmawanti, 2022 Pada Remaja Yatim Piatu bahwa subyek mengalami berbagai
masalah dalam menghadapi
perubahan dalam kehidupannya
sebagai anak yatim/ piatu, dan
faktor yang mempengaruhi
penerimaan diri pada subyek scara
dominan diantaranya adalah
pemahaman diri, harapan yang
realistis, lingkungan yang terbuka,
sikap sosial yang positif, dan
pengalaman akan keberhasilan
2 Nur Af Vizza, Yuninda Kontribusi Dukungan Secara umum dukungan sosial
Tria Ningsih, 2021 Sosial Teman Sebaya teman sebaya remaja yatim atau
Terhadap Penerimaan Diri piatu di panti asuhan berada pada
Remaja Yatim Piatu Di kategori tinggi. Hal ini berarti
Panti Asuhan subjek penelitian dapat merasakan
empati, perhatian dan kasih sayang
dari teman sebaya, memiliki
perasaan dihargai, kompeten, dan
bernilai, mendapat bantuan dalam
menyelesaikan tugas atau
pekerjaan, memperoleh saran atau
umpan balik untuk menyelesaikan
masalah, dan memiliki perasaan
bahwa dirinya adalah bagian dari
panti asuhan
3 Ayu Ratih Wulandari dan Peran Penerimaan Diri Dan penerimaan diri dan dukungan
Luh Kadek Pande Ary Dukungan Sosial Terhadap sosial secara bersamasama
Susilawati, 2017 Konsep Diri Remaja Yang berperan terhadap konsep diri
Tinggal Di Panti asuhan remaja yang tinggal di panti
Bali asuhan di Bali. Penerimaan diri
secara mandiri memiliki peran
yang signifikan dalam
menjelaskan taraf konsep diri pada
remaja yang tinggal di panti
asuhan di Bali. Dukungan sosial
secara mandiri memiliki peran
yang signifikan dalam
menjelaskan taraf konsep diri
remaja yang tinggal di panti
asuhan di Bali
4 Haiyun Nisa, Muharrami Peran Keberfungsian Hasil analisis data menggunakan
Yulia Sari, 2019 Keluarga Terhadap teknik korelasi Pearson
Penerimaan Diri Remaja menunjukkan koefisien korelasi
( r) sebesar 0.456 dengan nilai
p=0.010 (p
5 Shinta Dumaris, Anizar Penerimaan Diri Dan Hasil analisis data diperoleh nilai
Rahayu, 2020 Resiliensi Hubungannya R sebesar 0.695 yang berarti ada
Dengan Kebermaknaan hubungan positif signifikan antara
Hidup Remaja Yang penerimaan diri dan resiliensi
Tinggal Di Panti Asuhan dengan kebermaknaan hidup,
artinya semakin tinggi penerimaan
diri dan resiliensi remaja panti
asuhan, maka akan semakin tinggi
kebermaknaan hidupnya. Dari uji
stepwise ditemukan kontribusi
variabel penerimaan diri dan
resiliensi terhadap kebermaknaan
hidup sebesar 48.2%, kontribusi
penerimaan diri 45.5% dan
resiliensi 2.7%.
F. KERANGKA BERPIKIR
DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., & Asrori, M. (2004). Psikologi Remaja (1st ed.). PT Bumi Aksara.

Azlini, C., Siti Hajar, A. R., & Lukman, Z. M. (2020). A Cross Cultural Definitions Of
Orphanages. International Journal of Research and Scientific Innovation, 7(2), 249–252.

Bernard, M. E. (2013). The Strength of Self-Acceptance. In M. E. Bernard (Ed.), (2013).


Springer New York. https://doi.org/10.1007/978-1-4614-6806-6

Chen, S. Q., Sun, N., Ge, W., Su, J. E., & Li, Q. R. (2019). The Development Process of Self-
Acceptance Among Chinese Women With Breast Cancer. Japan Journal of Nursing
Science, 17(2), 1–8. https://doi.org/10.1111/jjns.12308

Denmark, K. L. (1973). Self-acceptance and leader effectiveness. In Journal of Extension (Vol.


11, Issue 4, pp. 6–12). https://eric.ed.gov/?id=EJ089139

Dewi, G. K., & Cahyani, B. H. (2015). Resiliensi Pada Remaja Yatim Piatu Yang Tinggal Di
Panti Asuhan. SPIRITS, 5(2). https://doi.org/https://dx.doi.org/10.30738/spirits.v5i2.1063

Diane, E. P., Feldman, R. D., & Martorell, G. (2015). Menyelami Perkembangan Manusia:
Expereience Human Development. In Experience Human Development (12th ed.). Salemba
Humanika.

Erisvita, M., Sang, L., Junias, M. S., & Anakaka, D. L. (2022). Self Acceptance in Stay at Home
and Orphanage Teens. 4(3), 411–421.

Hurlock, E. B. (2013). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang


Kehidupan (5th ed.). Erlangga.

Jannah, M. (2017). Remaja Dan Tugas-Tugas Perkembangannya Dalam Islam. Psikoislamedia :


Jurnal Psikologi, 1(1), 243–256. https://doi.org/10.22373/psikoislamedia.v1i1.1493

Johnson, S. A. (2016). Parenting Styles and Raising Delinquent Children: Responsibility of


Parents in Encouraging Violent Behavior. Foresic Research & Criminology International
Journal, 3(1). https://doi.org/10.15406/frcij.2016.03.00081

Lestari Anugrahwati, K., & Sri Wiraswati, A. A. K. (2020). Pentingnya Penerimaan Diri Bagi
Remaja Panti Asuhan Islam. Jurnal Intervensi Psikologi (JIP), 12(2), 107–122.
https://doi.org/10.20885/intervensipsikologi.vol12.iss2.art4

Newman, B. M. (2015). Development through Life: A Psychosocial Approach, 12 Ed.


www.cengage.com/highered

Pambudi, H. B., & Darmawanti, I. (2022). Gambaran Penerimaan Diri Pada Remaja Yatim/Piatu.
Character: Jurnal Penelitian Psikologi, 9(8), 23–33.

Putri, G. G. (2013). Perbedaan Self-Acceptance (Penerimaan Diri) Pada Anak Panti Asuhan
Ditinjau Dari Segi Usia. Proceeding PESAT (Psikologi, Ekonomi, Sastra, Arsitektur &
Teknik Sipil, 5, 8–9.

Rifal, M. S. S. (1987). Psikologi Perkembangan Remaja Dari Segi Kehidupan Sosial (2nd ed.).
PT Bina Aksara.

Safitri, N., & Munawaroh, E. (2022). Effect of Self Compassion and Social Support on Youth
Resilience Orphanage in Gunungpati District Pendahuluan. Journal Bimbingan Dan
Konseling Indonesia, 7(2). https://doi.org/10.24036/XXXXXXXXXX-X

Sit, M. (2012). Perkembangan Peserta Didik Mengenal Autis hingga Hiperaktif (1st ed.).
Perdana Publishing.

Sulfahmi, A., & Ridha, A. A. (2017). Resiliensi Remaja Yatim Piatu Yang Melaksanakan Salat
Tahajud. Psikologika: Jurnal Pemikiran Dan Penelitian Psikologi, 22(2), 36–47.
https://doi.org/10.20885/psikologika.vol22.iss2.art4

Tabors, P. O. (1998). Children, Orphanages, and Families. In Young Children (Vol. 53, Issue
November 1998).

Wulandari, A. R., & Susilawati, L. K. P. . (2016). Peran Penerimaan Diri Dan Dukungan Sosial
Terhadap Remaja Yang Tinggal Di Panti Asuhan Di Bali. Jurnal Psikologi Udayana, 3(3),
135–144.
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir/d1c1e967953cda8f71117d51c7e553
6a.pdf

Anda mungkin juga menyukai