-
www.lib.umtas.ac.id
BAB II
KAJIAN TEORI
12
tanpa syarat yang tinggi lebih tahan dalam situasi yang memprovokasi ego seperti
kegagalan atau penolakan (Popov et al., 2016).
Penerimaan diri tanpa syarat melibatkan penerimaan diri tanpa
memperhatikan cinta, penghormatan, dan persetujuan orang lain (Hill et al.,
2008). Penerimaan tanpa syarat disebutkan sebagai keadaan dimana seseorang
tetap menerima dirinya sendiri bahkan ketika dia berperilaku salah atau tidak
berhasil. Tidak perlu mengevaluasi atau menilai diri sendiri atau orang lain secara
keseluruhan baik itu positif atau negatifnya. Misalnya, kegagalan seseorang untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan tidak membuatnya menjadi orang yang tidak
berhasil (Neean, 2008). Penerimaan diri tanpa syarat dianggap penting untuk
kesehatan mental yang baik, karena mengacu pada kepuasan individu tentang
dirinya sendiri. Penerimaan diri membutuhkan kesadaran yang realistis dan
subjektif dalam memandang kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya
sendiri. Penerimaan diri menyebabkan individu merasa bahwa dirinya bernilai dan
unik (Bingöl & Batik, 2019).
Penerimaan diri didefinisikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri,
termasuk memandang postif pengalaman hidup di masa lalu. Hal tersebut
dibuktikan dengan berhenti mengkritik diri sendiri serta dapat menerima dan
mentoleransi ketidak sempurnaan yang ada di dalam dirinya (Ellis, 2013).
Penerimaan diri berarti menyadari semua kekuatan diri termasuk kepribadian,
keluarga, budaya dan kualitas lain yang tidak begitu baik pada dirinya karena
menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna, hal tersebut juga berarti ada
beberapa yang memiliki kemiripan dan perbedaan dengan orang lain (Bernard,
2013). Penerimaan diri juga berarti menerima diri sendiri sebagai manusia yang
berharga yang memiliki kelebihan dan kekurangan (Vernon & Bernard, 2019).
Penerimaan diri dianggap sebagai salah satu kesadaran untuk menerima diri
sendiri dengan apa adanya (Santrock, 2008).
Penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap
positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek baik dan
buruk, dan merasa positif dengan kehidupan yang dijalaninya (Ryff, 1996). Hal
tersebut relevan dengan salah satu pendapat yang menyatakan bahwa penerimaan
harus dilalui. Para remaja diharapkan dapat menerima keadaan diri sebagaimana
adanya keadaan diri mereka sendiri, dan dapat memanfaatkannya secara efektif
(Fitri dkk, 2015). Penerimaan diri terhadap kondisi fisik adalah keadaan dimana
individu mengetahui, dapat menerima kelebihan dan kelemahan, serta dapat
mencintai, menghargai dan toleransi terhadap kondisi fisik yang dimiliki
(Permatasari, 2012).
Pada dasarnya penerimaan diri merupakan sikap merasa puas dengan diri
sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri dan pengakuan akan keterbatasan
sendiri (Chaplin, 2011). Menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan
menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh
tanggung jawab (Nisa, 2016). Oleh karena itu, penerimaan diri menjadi salah satu
faktor penting yang berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga ia memiliki
penyesuaian yang baik (Oktaviani, 2019).
Ellis (Bernard, 2013) merumuskan penerimaan diri tanpa syarat sebagai
berikut:
a. Individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima diri baik ketika individu
mampu berperilaku cerdas, tepat dan sempurna atau tidak, baik orang lain
mengakui, menghargai dan mencintai dirinya atau tidak.
b. Indvidu adalah manusia yang rentan berbuat salah, dan memiliki
kekurangan. Individu akan melakukan intropeksi terhadap kesalahan yang
diperbuat.
c. Individu tidak memberi penilaian negatif atau positif pada harga diri secara
menyeluruh.
d. Individu adalah pribadi yang berharga sebagai manusia karena individu
ada di dunia meskipun individu melakukan kesalahan
Selain itu ada aspek-aspek penerimaan diri yang di ungkapkan oleh Bernard
(2013) diantaranya yaitu:
a. Kesadaran diri untuk menghargai karakter positif
c. Bertanggungjawab
Individu berani memikul tanggungjawab atas perilaku yang dimilikinya.
Sifat ini tampak dari perilaku individu yang menerima kritik dan
menjadikannya sebagai suatu masukan yang berharga untuk
mengembangkan diri.
d. Orientasi keluar diri
Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar daripada kedalam diri, yang
menyebabkan individu lebih suka memperhatikan dan toleran terhadap
orang lain, sehingga akan mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungan.
e. Berpendirian
Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri daripada mengikuti
tekanan sosial. Individu yang mempunyai sikap dan kepercayaan diri atas
tindakan yang diperbuatnya daripada mengikuti standar dari orang lain
serta mempunyai ide, aspirasi, dan pengharapan diri.
f. Menyadari keterbatasan
Individu tidak menyalahkan diri akan keterbatasannya dan mengingkari
kelebihannya. Individu cenderung mempunyai penilaian yang realistik
tentang kelebihan dan kekurangannya.
g. Menerima sifat kemanusiaan
Individu tidak menyangkal atas emosi yang dimilikinya dan tidak merasa
bersalah secara berlebihan. Individu mengenali perasaan marah, takut,
atau, cemas tanpa menganggapnya sebagai suatu yang harus diingkari atau
ditutupi.
b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain
Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan
kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki
penerimaan diri.
c. Perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri
Seorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut dengan
infeority complex adalah seorang individu yang tidak memiliki sikap
penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik
atas dirinya.
d. Respon atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun
demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan
bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”
Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang
mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik
dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi
yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Individu dalam
mencapai tujuannya mempersiapkan dalam konteks yang mungkin dicapai,
untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa dikemudian hari.
f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain
Hal ini berarti apabila seorang individu menyayangi dirinya, maka akan
lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain.
g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri.
Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila
seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu
memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan
bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam
hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki
posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu
menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu mampu untuk
berbaik hati.
h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih bayak keleluasaan
untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya
leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa
untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
i. Aspek moral penerimaan diri
Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan
bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki
fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran
untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak
menyukai kepura-puraan.
j. Sikap terhadap penerimaan diri
Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang.
Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam
keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain.
akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura, merasa puas dengan menjadi
dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.
b. Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang
lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta
menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan
simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat
melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang
yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya
tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk
membantu orang lain.
tubuhnya dan menerima bentuk tubuh yang dimiliki, sementara citra tubuh negatif
adalah pandangan negatif seseorang terhadap bentuk tubuh dan tidak puas dengan
bentuk tubuh yang dimiliki (Willianto, 2017). Hal tersebut terjadi karena citra
tubuh merupakan hal yang bersifat subjektif, tergantung pada penilaian setiap
orang pada dirinya sendiri yang cenderung tidak menunjukan kondisi yang
sebenarnya (Chairiah, 2012).
Citra tubuh positif adalah persepsi yang benar tentang bentuk tubuh yang
dimiliki dan merasa nyaman dengan hal tersebut. Sedangkan citra tubuh negatif
adalah persepsi yang menyimpang dari bentuk yang dimiliki dan cenderung
merasa malu dan tidak dapat menerima kondisi tersebut (Cash, 2012). Seseorang
yang memiliki citra tubuh yang positif disebut juga dengan body image
satisfaction yang berarti seseorang akan memiliki kepuasan akan bentuk
tubuhnya. Orang yang puas akan merasa nyaman dan percaya diri ketika berada di
lingkungan sosial. Sedangkan orang yang memiliki citra tubuh yang negatif
disebut juga dengan body image dissatisfaction yang berarti seseorang mengalami
ketidakpuasan yang berlebih terhadap bentuk tubuhnya. Orang yang memiliki
ketidakpuasan akan mengalami hambatan sosial dan juga kecemasan yang tinggi
(Cash dan Pruzinky, 2002). Dampak dari pandangan negatif terhadap bentuk
tubuh diri sendiri berkaitan dengan kesehatan mental, emosional, dan perilaku,
seperti gangguan pola makan dengan diet yang tidak sehat, depresi, dan tidak
percaya diri (Smolak & Thompson, 2009).
Citra tubuh ini menjadi penting terutama bagi remaja karena proses
perubahan transisi dari anak ke dewasa yang dialami akan berdampak pada
tahapan perkembangan remaja selanjutnya (Cash, 2012). Citra tubuh yang negatif
sering ditemui pada remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki. Hal
tersebut diakibatkan oleh ketidakpuasan remaja perempuan terhadap perubahan
tubuhnya yang sedang mengalami pubertas. Perempuan yang merasa tidak puas
dengan bentuk tubuhnya, mereka akan berisiko lebih tinggi untuk melakukan diet
yang serius (Wojtowicz & Von, 2012). Penerimaan diri salah satunya dipengaruhi
oleh kemampuan remaja dalam menerima kekurangan atau kelebihan yang ada
pada dirinya, yang kemudian dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara
Selain itu, menurut Cash dan Puzinsky (2002), citra tubuh terbagi dalam
beberapa aspek, diantaranya yaitu:
a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan)
Evaluasi penampilan yaitu mengukur penampilan keseluruhan tubuh,
apakah menarik atau tidak menarik serta memuaskan atau belum
memuaskan.
b. Appearance orientation (orientasi penampilan)
Orientasi penampilan yaitu perhatian individu terhadap penampilan dirinya
dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
penampilan diri.
c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh)
Kepuasan terhadap bagian tubuh, yaitu mengukur kepuasan individu
terhadap bagian tubuh secara spesifik, wajah, tubuh bagian atas (dada,
bahu lengan), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian bawah
(pinggul, paha, pantat, kaki), serta bagian tubuh secara keseluruhan.
d. Overweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk)
Kecemasan menjadi gemuk yaitu mengukur kewaspadaan individu
terhadap berat badan, kecenderungan untuk melakukan diet, dan
membatasi pola makan.
e. Self-classified weight (Pengkategorian ukuran tubuh)
Pengkategorian ukuran tubuh, yaitu mengukur bagaimana individu menilai
berat badannya, dari sangat kurus sampai gemuk.
tentang dirinya sendiri yang pasti mengalami perubahan fisik sepanjang umurnya
(Markey, 2010). Beberapa orang yang mungkin tidak dapat menerima pikiran,
perasaan, ingatan dan sensasi tubuhnya sehingga memiliki kecenderungan
perilaku tertentu. Individu yang tidak memiliki penerimaan diri menggunakan
beragam strategi untuk membuang, meredam, ataupun mengurangi pengalaman
internal yang mereka alami seperti pikiran, perasaan, ingatan dan sensasi tubuh.
Strategi tersebut disebut sebagai experiental avoidance (EA) atau penghindaharan
pengalaman, yang akan membuatnya kehilangan fleksibilitas di dalam hidupnya
(Lanza, et al., 2014).
Fleksibilitas psikologis sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk
sepenuhnya terhubung dengan momen saat ini (present moment) dan berdasarkan
situasi yang ada bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam dirinya
sendiri, termasuk kesulitan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, ingatan dan
sensasi tubuhnya (Hayes, et al., 2006). Fleksibilitas psikologis dianggap sebagai
pusat kesehatan psikologis dan ketidakfleksibelan psikologis dianggap sebagai
kerentanan psikologis (Kashdan & Rottenberg, 2010). Hilangnya fleksibilitas ini
disebut sebagai kekakuan psikologis atau infleksibilitas psikologis. Infleksibilitas
psikologis terjadi ketika proses kognitif atau verbal cenderung mempersempit
kemampuan individu dalam area-area penting kehidupannya. Pada akhirnya,
infleksibilitas psikologis mencegah individu beradaptasi dengan pengalaman
internal seperti pikiran, perasaan, ingatan, dan sensasi tubuh dan juga pengalaman
eksternal mereka (Hayes, et al., 2012).
Fleksibilitas citra tubuh didefinisikan sebagai kapasitas untuk mengalami
dan memahami persepsi, sensasi, perasaan, pikiran, dan keyakinan yang terkait
dengan tubuh seseorang secara penuh dan sambil mengejar nilai-nilai yang ada
pada dirinya. Fleksibilitas citra tubuh ini sangat penting karena berhubungan
positif dengan keseluruhan fleksibilitas psikologis (Sandoz, et al., 2013).
Seseorang yang memiliki fleksibilitas citra tubuh akan memiliki kemampuan
untuk mengalami ketidakpuasan tubuh dan pengalaman internal lain yang relevan
secara penuh dan terbuka tetapi tetap berperilaku adaptif dalam nilai-nilai dan
konsisten (Lee, et al., 2017).
seseorang memiliki penerimaan diri yang tinggi, maka kemungkinan besar dia
akan memiliki citra tubuh positif, lalu dia akan mengubah pola pikirnya dan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadinya, karena penting baginya untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya bahkan ketika dia merasa buruk atau tidak
puas tentang tubuhnya akan tetap bersikap adaptif dan rasional (Hasmalawati,
2017).
Citra tubuh yang baik akan berdampak pada penerimaan diri yang baik
juga karena seseorang akan sangat mudah untuk bergaul dengan lingkungannya,
sehingga orang tersebut akan merasa puas terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya. Citra tubuh tersebut merupakan produk dari pengalaman yang
nyata berupa persepsi terhadap bagian bagian tubuh serta penampilan secara
keseluruhan yang sebagian berasal dari perkembangan fisik. Oleh karena itu,
seseorang diharapkan untuk selalu bisa berpikir positif akan segala kelemahan,
kesalahan, kekurangan, kekeliruan serta kekuatan dan kelebihan terhadap citra
tubuh yang dimiliki, dengan cara menerima diri sendiri apa adanya (Ridha, 2013).
diinginkan (Gross & Fox, 2009). Fleksibilitas psikologis dapat dicapai melalui
proses konseling melalui ACT dengan 6 inti yang merupakan alternatif fungsional
terhadap efek dari model hexagonal psikopatologi (Podina & David, 2018).
2009). Dalam hal ini proses tersebut biasanya dilakukan sebagai cara untuk
mencapai perilaku seperti yang diinginkan.
(4) Kontak/ terhubung dengan saat ini yang merupakan proses inti yang
memungkinkan pengalaman langsung dari suatu peristiwa seperti yang terjadi,
sehingga seseorang dapat lebih fleksibel dalam memilih untuk merespon sesuatu
dengan keselarasan nilai-nilai (Hayes & Strosahl, 2004). Kontak dengan saat ini
berarti keadaan sadar terhubung dan terlibat pada setiap hal yang terjadi pada saat
ini. Dibandingkan dengan hidup dimasa lalu atau masa depan, kesadaran pada saat
ini lebih berguna karena akan mengurangi kemungkinan untuk mengalami fusi
kognitif, penghindaran, pemberian alasan dan perilaku yang terjadi dimasa lalu
(Harris, 2009).
(5) Diri sebagai konteks yang mendefinisikan kondisi stabil seseorang yang secara
sadar memperhatikan pikiran, emosi/perasaan dan sensasi yang secara sadar dan
tidak sadar dirasakan. Dengan kata lain, tidak mengubah pengalaman internal dan
lebih stabil dalam menghadapinya. Terdapat dua elemen dari pikiran, yaitu:
pikiran diri dan pengamatan diri. Pikiran diri adalah bagian dari selalu berpikir,
kepercayaan, fantasi, rencana dan lain-lain. Pengamatan diri adalah asperk diri
yang secara sadar mengenai apapun yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan
pada beberapa kejadian. Dalam ACT keduanya tersebut disebut dengan diri
sebagai konteks. Dalam proses ini biasanya, seseorang yang berpikir bahwa dia
adalah orangtua yang buruk, melakukan latihan untuk memperhatikan benda
disekitarnya dan melihatnya sebagai objek belaka. Seperti pengalaman internal
yang hanya merupakan kejadian bukan menggambarkan dirinya secara
keseluruhan. Diri sebagai konteks dikembangkan melalui latihan kesadaran dan
metafora (Podina & David, 2018).
(6) Komitmen untuk bertindak yang merupakan proses inti yang mengingatkan
seseorang tentang pentingnya berkomitmen untuk bertindak sesuai dengan nilai
pribadi. Perubahan merupakan proses jangka panjang dan upaya untuk bertindak
sesuai dengan nilai-nilai terkadang mengalami banyak kegagalan dan hambatan.
Dengan demikian, memerlukan perilaku yang konsisten dan mengurangi perilaku
Acceptance
Values
Psychological
Flexibilitas
Defusion Committed
action
bagaimana karakter lain bertindak. Menjaga dalam pikiran nya atau tujuan
hidup, klien diminta untuk langsung film dan karakter nya sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Penting pelajaran di sini dua: bahwa seseorang
berada dalam kendali hidup seseorang dan tidak ada tanggapan dari orang
lain, dan bahwa memperhatikan hasil akhir yang diinginkan dari tindakan
membantu klien mencapai tujuannya bukannya memnambah terlalu banyak
perhatian untuk hambatan seperti menghindari perasaan yang tidak
diinginkan (Podina & David, 2018).
b. Penggunaan Paradoks
Penggunaan paradoks adalah fitur penting dalam ACT. Berdasarkan
prinsip-prinsip ACT, bahasa perangkap klien dalam gangguan mereka.
Paradoks berasal dari fakta bahwa bahasa juga dapat menjadi sebuah alat
untuk membantu klien. Melekat paradoks adalah yang paling sering
digunakan paradoks mode dalam ACT dan mewujudkan pertentangan antara
bahasa harfiah dan sifat fungsional secara verbal. Salah satu contoh dari hal
ini adalah ketika seseorang berencana untuk bersifat spontan. Lebih khusus
lagi, direncanakan spontanitas adalah paradoks yang melekat, sebagai
menurut definisi spontanitas aturan keluar perencanaan (Podina & David,
2018).
c. Latihan pengalaman
ACT menggunakan pengalaman latihan untuk mengekspos pikiran klien,
perasaan, kenangan, dan sensasi fisik yang takut atau menghindari. Paparan
sering digunakan dalam ACT karena jauh lebih intuitif bagi klien untuk
mengambil bagian dalam latihan-latihan yang bukti perangkap dan isu-isu
dalam bahasa manusia dari pada untuk sekadar mendiskusikan mereka
(Podina & David, 2018).
Secara keseluruhan, penanganan konseling membantu klien mengidentifikasi
dan mengurangi kognitif fusion, hubungan rasa diri, mengidentifikasi rasa
dihargai kehidupan arah dan tujuan, dan terlibat dalam Aksi berkomitmen
terhadap tujuan tersebut. Semua ini dicapai dengan tujuan untuk memfasilitasi
psikologis fleksibilitas (Podina & David, 2018).
E. Penelitian Terdahulu
sebenarnya terjadi menjadi salah satu penyebab seseorang tidak mampu menerima
dirinya (Bernard, 2013). Saat ini, hanya sedikit remaja yang mampu menerima
kenyataan yang sebenarnya tentang perubahan yang terjadi pada dirinya khusunya
perubahan fisiknya, sehingga mereka tidak puas dengan penampilannya (Vander
Wl, 2011). Ketidakpuasan yang berlebih terhadap bentuk dan kondisi tubuhnya
dapat menyebabkan seseorang memiliki citra tubuh negatif, mengalami
kecemasan yang tinggi dan hambatan sosial (Cash & Pruzinsky, 2002). Citra
tubuh negatif sangat berkaitan dengan salah satu gangguan psikologis yang
disebut dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD), yang disebabkan oleh
penerimaan diri yang rendah sehingga individu mengalami ketidakpuasan
terhadap dirinya (Sarwer, et al., 1998). Selain itu, citra tubuh negatif berimbas
pada distorsi bentuk tubuh yang lebih parah seperti gangguan makan, bulimia dan
anoreksia (Hartmann, et al., 2013).
Beberapa individu yang memiliki penerimaan diri rendah atau bahkan
tidak memiliki penerimaan diri mungkin tidak dapat menerima pikiran, perasaan,
ingatan dan sensasi tubuhnya tentang kejadian atau pengalaman yang tidak
diinginkan, sehingga mereka cenderung menghindar dan melalukan perilaku
tertentu yang menyimpang (Lanza, et al., 2014). Konseling penerimaan dan
komitmen memandang bahwa ketika individu menghindar atau melarikan diri dari
kejadian atau peristiwa internal seperti pikiran perasaan, kenangan, atau sensasi
tubuhnya, hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada keadaan psikologisnya.
Karena pada dasarnya tidak ada pembelajaran baru yang berlangsung ketika
seseorang terus melakukan penghindaran dan penerimaan, sebaliknya ketakutan
akan terus mendominasi pada diri seseorang (Wilson, et al., 2001). Pada dasarnya,
memiliki pikitan yang tidak menyenangkan dan merasakan perasaan yang tidak
menyenangkan juga termasuk sehat secara psikologis, sama halnya dengan
memiliki pikiran dan meraakan perasaan yang menyenangkan. Keduanya
memberikan individu akses penuh untuk memperkaya pengalaman individual
yang unik (Hayes, et al., 2012).
Kemampuan untuk dapat secara sadar memaknai pikiran dan perasaan
tanpa ikut didikte oleh pikiran dan perasaan tersebut disebut sebagai fleksibilitas
nilai dan konsisten (Lee, et al., 2017). Terdapat 6 proses inti dari konseling
penerimaan dan komitmen (ACT) yang berkontribusi langsung terhadap
pembentukan fleksibilitas psikologis dan fleksibilitas citra tubuh, yaitu:
mengembangkan penerimaan dan kesediaan, defuse kognitif atau memecahkan
fusi kognitif, kontak atau terhubung dengan momen saat ini, diri sebagai konteks,
mendefinisikan arah nilai diri dan membangun komitmen untuk bertindak.
Keenam proses ini seluruhnya difasilitasi dalam ACT (Hayes, et al., 2006).
Fokus segi klinis dari konseling penerimaan dan komitmen (ACT) adalah
melemahkan fungsi kognitif yang menguasai dan mengarahkan individu pada
perilaku menghindar dan membangun konteks alternative yang memungkinkan
munculnya perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai individu. Konseling
penerimaan dan komitmen (ACT) membantu individu untuk merasakan dan
memikirkan apa yang memang mereka rasakan dan pikirkan sebagaimana mereka
adalah pikiran dan perasaan semata, bukan sebagai apa yang dikatakan pikiran
dan perasaan. Ketika individu dapat mengambil jarak antara pikiran dan
perasaannya, konseling penerimaan dan komitmen (ACT) kemudian membantu
individu untuk menghadapi kehidupannya kearah yang lebih bermakna
berdasarkan nilai-nilai dengan mengikutsertakan juga semua pengalaman dan
reaksi otomatis dari individu (Hayes, et al., 2004).
Konseling penerimaan dan komitmen (ACT) memanfaatkan pekerjaan
rumah dan latihan perilaku sebagai cara yang dapat dilakukan untuk membuat
tindakan yang efektif yang akan membantu konseli hidup dengan nilai-nilai
mereka sesuai dengan kebiasaan yang dianutnya. Misalnya dengan bentuk
pekerjaan rumah yang diberikan kepada konseli dengan meminta mereka
menuliskan tujuan hidupnya dan aspek nilai yang mereka anut dalam berbagai
aspek kehidupan yang dijalani. ACT memungkinkan pengalaman individu itu
datang dan pergi, sementara individu tersebut juga mengejar kehidupan yang
bermakna menurut mereka (Hayes, et al., 2006).