Anda di halaman 1dari 45

-

-
www.lib.umtas.ac.id

BAB II
KAJIAN TEORI

A. Konsep Penerimaan Diri


1. Definisi Penerimaan Diri Tanpa Syarat (Unconditional Self Acceptance)
Penerimaan diri tanpa syarat merupakan konsep yang dikembangkan oleh
Ellis pada tahun 1977 sebagai solusi dari permasalahan individu yang terkait
dengan evaluasi diri dan harga diri (Ellis et al., 2010). Penerimaan diri tanpa
syarat sering dikenal dengan Unconditional Self Acceptance (USA) didefinisikan
sebagai menerima diri sendiri secara keseluruhan dan tanpa syarat sehingga
bertindak secara kompeten dan cerdas tanpa memperhatikan persetujuan orang
lain (Dryden et al., 2010). Penerimaan diri tanpa syarat timbul dari penilaian
individu terhadap dirinya. Penerimaan diri tanpa syarat berarti individu
sepenuhnya menerima dirinya, menganggapnya sebagai pribadi yang unik dan
tunggal sehingga selalu memiliki nilai untuk dirinya sendiri selama masih dalam
keadaan hidup, hanya menilai intrinsiknya atau nilai pada dirinya dan tidak
tergantung dengan apapun pada nilainya ekstrinsik atau seberapa layak dirinya
untuk orang lain. Individu dengan penerimaan diri tanpa syarat cenderung
menerima kritik dan tidak merasa cemas terhadap apa yang dia tampilkan
sehingga tidak meminta persetujuan orang lain (Chamberlain & Haaga, 2001).
Penerimaan diri tanpa syarat terjadi ketika seseorang menganggap dirinya
sendiri dan orang lain sebagai individu yang mungkin melakukan kesalahan.
Selain itu, mereka hidup dalam kondisi diterima karena keberadaan mereka.
Individu yang penerimaan dirinya lebih tinggi mengakui bahwa dunia ini
kompleks dan peristiwa sering terjadi di luar kendali mereka. Namun, itu tidak
berarti bahwa mereka harus menyerah. Filosofi penerimaan ini berarti mengakui
semua yang ada tetapi itu tidak harus ada selamanya (Bingöl & Batik, 2019).
Rational Emotive Behavior Therapy (REBT) yang dikembangkan oleh Ellis
melihat penerimaan diri tanpa syarat sebagai kontinum atau kebiasaan intelektual
dan emosional yang diekspresikan pada tingkat yang lebih besar atau lebih kecil
pada individu yang berbeda (David et al., 2008). Orang dengan penerimaan diri

12

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
13

tanpa syarat yang tinggi lebih tahan dalam situasi yang memprovokasi ego seperti
kegagalan atau penolakan (Popov et al., 2016).
Penerimaan diri tanpa syarat melibatkan penerimaan diri tanpa
memperhatikan cinta, penghormatan, dan persetujuan orang lain (Hill et al.,
2008). Penerimaan tanpa syarat disebutkan sebagai keadaan dimana seseorang
tetap menerima dirinya sendiri bahkan ketika dia berperilaku salah atau tidak
berhasil. Tidak perlu mengevaluasi atau menilai diri sendiri atau orang lain secara
keseluruhan baik itu positif atau negatifnya. Misalnya, kegagalan seseorang untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan tidak membuatnya menjadi orang yang tidak
berhasil (Neean, 2008). Penerimaan diri tanpa syarat dianggap penting untuk
kesehatan mental yang baik, karena mengacu pada kepuasan individu tentang
dirinya sendiri. Penerimaan diri membutuhkan kesadaran yang realistis dan
subjektif dalam memandang kekuatan dan kelemahan yang ada pada dirinya
sendiri. Penerimaan diri menyebabkan individu merasa bahwa dirinya bernilai dan
unik (Bingöl & Batik, 2019).
Penerimaan diri didefinisikan sebagai sikap positif terhadap diri sendiri,
termasuk memandang postif pengalaman hidup di masa lalu. Hal tersebut
dibuktikan dengan berhenti mengkritik diri sendiri serta dapat menerima dan
mentoleransi ketidak sempurnaan yang ada di dalam dirinya (Ellis, 2013).
Penerimaan diri berarti menyadari semua kekuatan diri termasuk kepribadian,
keluarga, budaya dan kualitas lain yang tidak begitu baik pada dirinya karena
menyadari bahwa tidak ada orang yang sempurna, hal tersebut juga berarti ada
beberapa yang memiliki kemiripan dan perbedaan dengan orang lain (Bernard,
2013). Penerimaan diri juga berarti menerima diri sendiri sebagai manusia yang
berharga yang memiliki kelebihan dan kekurangan (Vernon & Bernard, 2019).
Penerimaan diri dianggap sebagai salah satu kesadaran untuk menerima diri
sendiri dengan apa adanya (Santrock, 2008).
Penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana seseorang memiliki sikap
positif terhadap dirinya sendiri, mengakui dan menerima berbagai aspek baik dan
buruk, dan merasa positif dengan kehidupan yang dijalaninya (Ryff, 1996). Hal
tersebut relevan dengan salah satu pendapat yang menyatakan bahwa penerimaan

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
14

diri merupakan kondisi dimana individu menghargai segala kelebihan dan


kekurangannya, mengikuti standar yang dibuat sendiri untuk menjalani hidupnya,
dan memiliki sikap positif dalam diri (Wulandar & Susilawati, 2016). Penerimaan
diri pada dasarnya merupakan sikap merasa puas dengan diri sendiri, mengakui
akan keterbatasan-keterbatasan diri, dan tidak mempermasalahkan diri sendiri
sehingga mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (Damayanti & Susilawati,
2018).
Penerimaan diri termasuk ciri utama kesehatan mental dan juga sebagai
karakteristik utama dalam aktualisasi diri. Penerimaan diri yang baik ditandai
dengan kemampuan menerima diri apa adanya. Kemampuan tersebut
memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap diri sendiri dan
kehidupan yang dijalani. Individu yang memiliki penerimaan diri yang baik
ditandai dengan bersikap positif terhadap diri sendiri, mengakui dan menerima
berbagai aspek yang ada dalam diri sendiri baik positif maupun negatif, dan
memiliki pandangan positif terhadap masa lalu (Walimsyah, 2019). Menurut Ellis,
penerimaan diri dapat membebaskan individu dari kecemasan, depresi, dan
menuntun individu menjelajahi hal baru yang membawa individu menikmati
hidup dalam kebahagiaan yang besar (Bernard, 2013). Penerimaan diri juga
merupakan kemampuan menerima segala hal yang ada pada diri sendiri baik
kekurangan maupun kelebihan yang dimiliki, sehingga apabila terjadi peristiwa
yang kurang menyenangkan maka individu tersebut akan mampu berpikir logis
tentang baik buruknya masalah yang terjadi tanpa menimbulkan perasaan,
permusuhan, perasaan rendah diri, malu, dan rasa tidak aman (Hurlock, 2003).
Penerimaan diri erat kaitannya dengan penerimaan terhadap kondisi fisik
yang dimiliki individu (Ridha, 2013). Individu yang tidak mampu menerima
dirinya memiliki kepercayaan-kepercayaan irasional mengenai diri yang
digunakan untuk mendefinisikan dirinya secara keseluruhan (Davies, 2006).
Penerimaan diri banyak dipengaruhi oleh body image yang berupa budaya dan
standarisasi masyarakat mengenai penampilan dan kecantikan, meliputi konsep
kurus, gemuk, indah dan menawan ketika dilihat (Oktaviani, 2019). Penerimaan
diri terhadap kondisi fisik ini merupakan salah satu tugas perkembangan yang

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
15

harus dilalui. Para remaja diharapkan dapat menerima keadaan diri sebagaimana
adanya keadaan diri mereka sendiri, dan dapat memanfaatkannya secara efektif
(Fitri dkk, 2015). Penerimaan diri terhadap kondisi fisik adalah keadaan dimana
individu mengetahui, dapat menerima kelebihan dan kelemahan, serta dapat
mencintai, menghargai dan toleransi terhadap kondisi fisik yang dimiliki
(Permatasari, 2012).
Pada dasarnya penerimaan diri merupakan sikap merasa puas dengan diri
sendiri, kualitas-kualitas dan bakat-bakat sendiri dan pengakuan akan keterbatasan
sendiri (Chaplin, 2011). Menerima diri berarti telah menyadari, memahami, dan
menerima apa adanya dengan disertai keinginan dan kemampuan untuk selalu
mengembangkan diri sehingga dapat menjalani hidup dengan baik dan penuh
tanggung jawab (Nisa, 2016). Oleh karena itu, penerimaan diri menjadi salah satu
faktor penting yang berperan terhadap kebahagiaan individu sehingga ia memiliki
penyesuaian yang baik (Oktaviani, 2019).
Ellis (Bernard, 2013) merumuskan penerimaan diri tanpa syarat sebagai
berikut:
a. Individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima diri baik ketika individu
mampu berperilaku cerdas, tepat dan sempurna atau tidak, baik orang lain
mengakui, menghargai dan mencintai dirinya atau tidak.
b. Indvidu adalah manusia yang rentan berbuat salah, dan memiliki
kekurangan. Individu akan melakukan intropeksi terhadap kesalahan yang
diperbuat.
c. Individu tidak memberi penilaian negatif atau positif pada harga diri secara
menyeluruh.
d. Individu adalah pribadi yang berharga sebagai manusia karena individu
ada di dunia meskipun individu melakukan kesalahan

Pendapat lain menurut Bernard (2013) menggambarkan penerimaan diri


melalui pemahaman dan proses mencakup:
a. Kesadaran Diri (Self-Awareness)

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
16

Kesehatan mental yang lebih baik membutuhkan kesadaran dan


pemahaman diri serta apresiasi dari kebutuhan dasar yang
menggarisbawahi dan memotivasi tingkah laku individu.
b. Realisasi diri (self-realization)
Individu merasa puas akan apa yang telah dilakukan dan dicapai sesuai
dengan kemampuannya, mencerminkan individu yang mau menerima
kedaan dirinya dan keterbatasannya. Realisasi diri merupakan proses
pengembangan diri dalam membentuk faktor penerimaan diri bagi individu

Maka dapat disimpulkan bahwasannya penerimaan diri merupakan kondisi


dimana seorang individu mampu menerima dirinya sendiri tanpa syarat, apapun
yang ada pada dirinya, baik itu kelebihan maupun kekurangannya, menganggap
dirinya berharga, tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, menyadari
potensi yang ada pada dirinya dan memanfaatkannya secara efektif sehingga dapat
hidup dengan baik dan bahagia.

2. Aspek-aspek Penerimaan Diri


Aspek-aspek penerimaan diri berdasarkan penerimaan diri tanpa syarat
yang dikembangkan oleh Ellis (Chamberlain & Haaga, 2001) diantaranya:
a. Penerimaan diri tanpa syarat (Unconditional Self Acceptance)
Individu sepenuhnya dan tak bersyarat menerima dirinya baik ketika
individu mampu berperilaku cerdas, tepat dan sempurna atau tidak, baik
orang lain mengakui, menghargai dan mencintai dirinya atau tidak.
b. Penerimaan diri bersyarat (Conditional Self Acceptance)
Individu akan lebih menerima dan hanya menerima dirinya sepenuhnya
dengan syarat perubahan tertentu yang dibayangkan yang dianggapnya
lebih baik.

Selain itu ada aspek-aspek penerimaan diri yang di ungkapkan oleh Bernard
(2013) diantaranya yaitu:
a. Kesadaran diri untuk menghargai karakter positif

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
17

Self awareness (kesadaran diri) merupakan kemampuan untuk menyadari


dan memahami emosi, perasaan, pikiran tentang suasana hati dan
dorongan hati yang ada dalam diri seseorang untuk melakukan sesuatu
serta menyadari pengaruh perasaannya dalam bertindak dan berinteraksi
dengan orang lain. Kesadaran diri berfungsi untuk mengendalikan seluruh
emosi agar dapat dimanfaatkan dalam menjalin relasi sosial dengan orang
lain. Kesadaran tersebut ditandai dengan keyakinan akan kemampuan yang
dimilikinya dalam menghadapi kehidupan, dapat menerima pujian dari
orang lain secara positif, mengetahui kekurangan dan kelebihan yang
dimilikinya sertadapat mengembangnkannya.
b. Menyikapi peristiwa negatif dengan tetap bangga menerima dirinya tanpa
syarat.
Menyikapi peristiwa negatif dengan tetap bangga menerima dirinya tanpa
syarat ditandai dengan rasa tanggungjawab terhadap apa yang
dilakukannya, dapat menerima kritikan orang lain, menerima semua
kekurangan tanpa penghukuman terhadap diri sendiri, dan tidak merasa
rendah diri. Serta memiliki sikap positif terhadap diri sendiri dan
pandangan positif terhadap apa yang terjadi dimasa lalunya.

Sheerer (Hall & Lindzey, 2010), menjelaskan mengenai aspek penerimaan


diri, yaitu:
a. Perasaan sederajat
Individu menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat
dengan orang lain, sehingga individu tidak merasa sebagai orang yang
istimewa atau menyimpang dari orang lain. Indvidu merasa dirinya
mempunyai kelemahan dan kelebihan seperti halnya orang lain.
b. Percaya akan kemampuan diri
Individu yang mempunyai kemampuan untuk menghadapi kehidupan. Hal
ini tampak dari sikap individu yang percaya diri, lebih suka
mengembangkan sikap baiknya dan mengeliminasi keburukannya,
daripada ingin menjadi orang lain, individu akan puas menjadi diri sendiri.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
18

c. Bertanggungjawab
Individu berani memikul tanggungjawab atas perilaku yang dimilikinya.
Sifat ini tampak dari perilaku individu yang menerima kritik dan
menjadikannya sebagai suatu masukan yang berharga untuk
mengembangkan diri.
d. Orientasi keluar diri
Individu lebih mempunyai orientasi diri keluar daripada kedalam diri, yang
menyebabkan individu lebih suka memperhatikan dan toleran terhadap
orang lain, sehingga akan mendapatkan penerimaan sosial dari lingkungan.
e. Berpendirian
Individu lebih suka mengikuti standarnya sendiri daripada mengikuti
tekanan sosial. Individu yang mempunyai sikap dan kepercayaan diri atas
tindakan yang diperbuatnya daripada mengikuti standar dari orang lain
serta mempunyai ide, aspirasi, dan pengharapan diri.
f. Menyadari keterbatasan
Individu tidak menyalahkan diri akan keterbatasannya dan mengingkari
kelebihannya. Individu cenderung mempunyai penilaian yang realistik
tentang kelebihan dan kekurangannya.
g. Menerima sifat kemanusiaan
Individu tidak menyangkal atas emosi yang dimilikinya dan tidak merasa
bersalah secara berlebihan. Individu mengenali perasaan marah, takut,
atau, cemas tanpa menganggapnya sebagai suatu yang harus diingkari atau
ditutupi.

Dikemukakan oleh Jersild (dalam Rizkiana, 2008) beberapa aspek


penerimaan diri sebagai berikut:
a. Persepsi mengenai diri dan sikap terhadap penampilan
Individu yang memiliki penerimaan diri berfikir lebih realistik tentang
penampilan dan bagaimana dirinya terlihat dalam pandangan orang lain.
Individu tersebut dapat melakukan sesuatu dan berbicara dengan baik
mengenai dirinya yang sebenarnya.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
19

b. Sikap terhadap kelemahan dan kekuatan diri sendiri dan orang lain
Individu yang memiliki penerimaan diri memandang kelemahan dan
kekuatan dalam dirinya lebih baik daripada individu yang tidak memiliki
penerimaan diri.
c. Perasaan infeoritas sebagai gejala penolakan diri
Seorang individu yang terkadang merasakan infeoritas atau disebut dengan
infeority complex adalah seorang individu yang tidak memiliki sikap
penerimaan diri dan hal tersebut akan mengganggu penilaian yang realistik
atas dirinya.
d. Respon atas penolakan dan kritikan
Individu yang memiliki penerimaan diri tidak menyukai kritikan, namun
demikian individu mempunyai kemampuan untuk menerima kritikan
bahkan dapat mengambil hikmah dari kritikan tersebut.
e. Keseimbangan antara “real self” dan “ideal self”
Individu yang memiliki penerimaan diri adalah individu yang
mempertahankan harapan dan tuntutan dari dalam dirinya dengan baik
dalam batas-batas memungkinkan individu ini mungkin memiliki ambisi
yang besar, namun tidak mungkin untuk mencapainya walaupun dalam
jangka waktu yang lama dan menghabiskan energinya. Individu dalam
mencapai tujuannya mempersiapkan dalam konteks yang mungkin dicapai,
untuk memastikan dirinya tidak akan kecewa dikemudian hari.
f. Penerimaan diri dan penerimaan orang lain
Hal ini berarti apabila seorang individu menyayangi dirinya, maka akan
lebih memungkinkan baginya untuk menyayangi orang lain.
g. Penerimaan diri, menuruti kehendak, dan menonjolkan diri.
Menerima diri dan menuruti diri merupakan dua hal yang berbeda. Apabila
seorang individu menerima dirinya, hal tersebut bukan berarti individu
memanjakan dirinya. Individu yang menerima dirinya akan menerima dan
bahkan menuntut pembagian yang layak akan sesuatu yang baik dalam
hidup dan tidak mengambil kesempatan yang tidak pantas untuk memiliki
posisi yang baik atau menikmati sesuatu yang bagus. Semakin individu

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
20

menerima dirinya dan diterima orang lain, semakin individu mampu untuk
berbaik hati.
h. Penerimaan diri, spontanitas, menikmati hidup
Individu dengan penerimaan diri mempunyai lebih bayak keleluasaan
untuk menikmati hal-hal dalam hidupnya. Individu tersebut tidak hanya
leluasa menikmati sesuatu yang dilakukannya. Akan tetapi, juga leluasa
untuk menolak atau menghindari sesuatu yang tidak ingin dilakukannya.
i. Aspek moral penerimaan diri
Individu dengan penerimaan diri bukanlah individu yang berbudi baik dan
bukan pula individu yang tidak mengenal moral, tetapi memiliki
fleksibilitas dalam pengaturan hidupnya. Individu memiliki kejujuran
untuk menerima dirinya sebagai apa dan untuk apa nantinya, dan tidak
menyukai kepura-puraan.
j. Sikap terhadap penerimaan diri
Menerima diri merupakan hal penting dalam kehidupan seseorang.
Individu yang dapat menerima beberapa aspek hidupnya, mungkin dalam
keraguan dan kesulitan dalam menghormati orang lain.

3. Faktor-faktor yang mempengaruhi penerimaan diri


Faktor-faktor yang di kemukakan oleh Dryden (2013) diantaranya:
a. Diri
Dimana faktor yang mencakup karakteristik, sifat, tindakan, perasaan,
pikiran, gambar, sensasi, dan aspek tubuh seseorang. Dengan demikian,
kompleksitas adalah atribut yang menentukan "diri" yang bersama-sama
dengan aspek intrinsik lainnya yang berarti bahwa "diri" tidak dapat dinilai
secara valid.
b. Penerimaan
Maksudnya yaitu suatu pengakuan akan keberadaan yang sekarang.
Dengan demikian, tidak melibatkan evaluasi, baik positif maupun negatif
yang ada dalam diri seseorang dan tidak menerima setiap perubahannya.
c. Tanpa Syarat

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
21

Maksunya yaitu tidak bergantung kepada siapapun. Oleh karena itu,


penerimaan diri tanpa syarat ini melibatkan bagaimana seseorang
mengakui sebagai manusia yang unik, kompleks, masuk akal dan keliru.
Dengan demikian, individu akan menerima dirinya tanpa syarat apapun.

Beberapa faktor yang mempengaruhi penerimaan diri menurut Hurlock


(2006) diantaranya:
a. Adanya pemahaman tentang diri sendiri
b. Hal ini dapat timbul dari kesempatan seseorang untuk mengenali
kemampuan dan ketidakmampuannya. Pemahaman diri dan penerimaan
diri berjalan dengan berdampingan, maksudnya semakin orang dapat
memahami dirinya, amak semakin dpat menerima dirinya.
c. Adanya harapan yang realistik
Hal ini bisa timbul bila individu menentukan sendiri harapannya dan
disesuaikan dengan pemahaman mengenai kemampuannya dan buka
diarahkan oleh orang lain dalam mencapai tujuannya.
d. Tidak adanya hambatan didalam lingkungan
Walaupun seseorang sudah memiliki harapan yang realistik, tetapi bila
lingkungan disekitarnya tidak memberikan kesempatan atau bahkan
mengahalangi maka harapan orang tersebut tentu akan sulit tercapai.
e. Sikap sosial masyarakat yang menyenangkan
Tidak adanya prasangka, adanya penghargaan terhadap kemampuan sosial
orang lain dan kesediaan individu untuk mengikuti kebiasaan lingkungan.
f. Tidak adanya gangguan emosional yang berat
Hal tersebut membuat individu dapat bekerja sebaik mungkin dan merasa
bahagia.
g. Pengaruh keberhasilan yang dialami, baik secara kualitatif maupun
kuantitatif
Keberhasilan yang dialami dapat menimbulkan penerimaan diri dan
sebaliknya kegagalan yang dialami dapat mengakibatkan adanya
penolakan diri.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
22

h. Identifikasi dengan orang lain yang memilik penyesuaian yag baik


Mengidentifikasi diri dengan orang yang well adjusted dapat membangun
sikap-sikap yang positif terhadap diri sendiri, dan bertingkah laku dengan
baik yang bisa menimbulkan penilaian diri yang baik dan penerimaan diri
yang baik.
i. Adanya prespektif diri yang luas
Perspektif diri yang luas yaitu memperhatikan juga pandangan orang lain
tentang diri. Prespektif diri yang luas ini diperoleh melalui pengalaman
dan belajar. Dalam hal ini usia dan tingkat pendidikan memegang peranan
penting bagi seseorang untuk mengembangkan prespektif dirinya.
j. Pola asuh dimasa kecil yang baik
Anak yang diasuh secara demokratis akan cenderung berkembang sebagai
orang yang dapat menghargai dirinya sendiri.
k. Konsep diri yang stabil
Individu yang tidak memiliki konsep diri stabil misalnya, maka kadang
individu menyukai dirinya, dan kadang ia tidak menyukai dirinya, akan
sulit menunjukan pada orang lain siapa dirinya yang sebenarnya.

4. Dampak dari adanya penerimaan diri


Dampak dari adanya penerimaan diri menurut Hurlock (2006) dibagi
menjadi dua kategori:
a. Dalam penyesuaian diri
Orang yang memiliki penerimaan diri, mampu mengenali kelebihan dan
kekurangannya. Individu yang mampu menerima dirinya biasanya
memiliki keyakinan diri (self confidence) dan harga diri (self esteem).
Selain itu mereka juga lebih dapat menerima kritik demi perkembangan
dirinya. Penerimaan diri yang disertai dengan adanya rasa aman untuk
mengembangkan diri ini memungkinkan seseorang untuk menilai dirinya
secara lebih realistis sehingga dapat menggunakan potensinya secara
efektif. Penilaian yang realistis terhadap diri sendiri, membuat individu

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
23

akan bersikap jujur dan tidak berpura-pura, merasa puas dengan menjadi
dirinya sendiri tanpa ada keinginan untuk menjadi orang lain.
b. Dalam penyesuaian sosial
Penerimaan diri biasanya disertai dengan adanya penerimaan pada orang
lain. Orang yang memiliki penerimaan diri akan merasa aman untuk
menerima orang lain, memberikan perhatiannya pada orang lain, serta
menaruh minat terhadap orang lain, seperti menunjukan rasa empati dan
simpati. Dengan demikian orang yang memiliki penerimaan diri dapat
melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan orang
yang merasa rendah diri sehingga mereka cenderung berorientasi pada
dirinya sendiri (self oriented). Ia dapat mengatasi keadaan emosionalnya
tanpa mengganggu orang lain, serta toleran dan memiliki dorongan untuk
membantu orang lain.

5. Karakteristik individu yang memiliki penerimaan diri dan tidak


memiliki penerimaan diri yang baik
Menurut Jersild (1963) ciri-ciri individu dengan penerimaan diri adalah:
a. Memiliki penghargaan yang realistis terhadap kelebihan-kelebihan dirinya.
b. Memiliki keyakinan akan standar-standar dan prinsip-prinsip dirinya tanpa
harus diperbudak oleh opini individu-individu lain.
c. Memiliki kemampuan untuk memandang dirinya secara realistis tanpa
harus menjadi malu akan keadaannya.
d. Mengenali kelebihan-kelebihan dirinya dan bebas memanfaatkannya.
e. Mengenali kelemahan-kelemahan dirinya tanpa harus menyalahkan
dirinya.
f. Memiliki spontanitas dan rasa tanggung jawab dalam diri.
g. Menerima potensi dirinya tanpa menyalahkan dirinya atas kondisi-kondisi
yang berada di luar kontrol mereka.
h. Tidak melihat diri mereka sebagai individu yang harus dikuasai rasa marah
atau takut atau menjadi tidak berarti karena keinginan-keinginannya tapi
dirinya bebas dari ketakutan untuk berbuat kesalahan.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
24

i. Merasa memiliki hak untuk memiliki ide-ide dan keinginan-keinginan


serta harapan-harapan tertentu.
j. Tidak merasa iri akan kepuasan-kepuasan yang belum mereka raih
Rasa penerimaan diri memiliki sebuah ciri-ciri, seperti yang dikemukakan
oleh Alport (Rasty, 2016) yaitu:
a. Individu yang mempunyai penerimaan diri adalah individu yang memiliki
gambaran yang positif tentang diri.
b. Selain itu individu dapat mengelola dan memberikan toleransi terhadap
perasaan frustasi dan kemarahan.
c. Individu dengan rasa penerimaan diri adalah orang-orang yang dapat
melakukan interaksi secara baik serta dapat menerima kritikan dari orang
lain. Orang-orang dengan sifat seperti ini adalah individu yang mampu
mengatur keadaan emosinya (depresi dan kemarahan).

Menurut Sheerer (Hall & Lindzey, 2010), menyatakan bahwa ciri-ciri


orang yang menerima dirinya adalah:
a. Individu mempunyai keyakinan akan kemampuannya untuk menghadapi
persoalan.
b. Individu menganggap dirinya berharga sebagai seorang manusia dan
sederajat dengan orang lain.
c. Individu tidak menganggap dirinya aneh atau abnormal dan tidak ada
harapan ditolak orang lain.
d. Individu tidak malu atau hanya memperhatikan dirinya sendiri.
e. Individu berani memikul tanggung jawab terhadap perilakunya.
f. Individu dapat menerima pujian atau celaan secara objekti.
g. Individu tidak menyalahkan diri atas keterbatasan yang dimilikinya
ataupun mengingkari kelebihannya.

Sedangkan Santrock (2008), menyebutkan lima hal yang menajdi faktor


seseorang tidak memiliki penerimaan diri yaitu:
a. Tidak adanya pemahaman diri

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
25

Pemahaman diri adalah suatu cara untuk memahami, menaksir


karakteristik, potensi dan atau masalah (gangguan) yang pada individu
atau sekelompok individu. Ketika seseorang tidak memiliki pemahaman
akan dirinya sendiri makan tidak akan dapat mengaktualisasikan segala hal
yang ada pada dirinya
b. Perasaan tidak nyaman
Dalam kehidupan sehari-hari, individu akan menghadapi permasalahan
yang dapat berlangsung terus menerus dalam kehidupan, merasa tidak
nyaman juga dapat disebabkan karena tidak adanya penyesuaian diri
terhadap lingkungan yang baru selain itu karena adanya tuntutan
penyesuaian akibat pola kehidupan.
c. Permasalahan keluarga
Keluarga merupakan sebagai suatu unit terkecil di masyarakat. Keluarga
terdiri dari orangtua dan anak tentu memiliki perbedaan, baik pendapat,
pola pikir dan cara bertindak. Selain itu faktor penyebab adanya
permasalahan keluarga seperti keadaan ekonomi keluarga yang
berpengaruh pada sandang, pangan dan masa depan.
d. Anti sosial
Seseorang yang antisosial biasanya tidak perduli dengan nilai benar dan
salah serta sering mengabaikan hak-hak keinginan dan perasaan orang
lain. Mereka cenderung melanggar hukum atau membuat keributan sera
memperlakukan orang lain dengan kasar. Selain itu tidak dapat memenuhi
tanggung jawab yang berhubungan dengan keluarga pekerjaan, atau
sekolah.
e. Bersikap negative tentang masa depan
Berpikir positif maupun negatif membuat perbedaan besar dalam hidup,
karena sikap yang baik dimulai dengan berpikir positif. Berpikir positif
memiliki peran penting dalam pembentukan setiap individu dan
merupakan unsur terpenting dalam menentukan kualitas hidup.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
26

Sedangkan menurut Hurlock (2006) terdapat ciri-ciri gejala rendahnya


penerimaan diri adalah:
a. Adanya perasaan sulit menerima diri
b. Tidak menyenangi dirinya sendiri
c. Mencemooh dirinya sendiri
d. Sering merasa bahwa orang lain menjauhi dan menghina dirinya
e. Tidak percaya pada perasaan dan sikapnya sendiri.

B. Komponen Citra Tubuh (Body Image)


1. Definisi Citra Tubuh
Cita tubuh atau yang sering disebut dengan Body Image, pertama kali
dikembangkan oleh Paul Schilder pada tahun 1950. Dalam bukunya yang berjudul
The Image and Appearance of the Human Body, Schilder berpendapat bahwa citra
tubuh bukan hanya kontruksi persepsi saja tetapi juga merupakan cerminan dari
sikap dan interaksi dengan orang lain. Dia mendefinisikan citra tubuh sebagai
gambaran tubuh kita sendiri yang kita bentuk dalam pikiran, yaitu cara tubuh
menampakan dirinya kepada diri kita sendiri (Grogan, 2007). Fokus utama dalam
citra tubuh adalah pada kepuasan berat badan, persepsi ukuran, kepuasan
penampilan, kepuasan tubuh, evaluasi penampilan, orientasi penampilan,
perhatian terhadap tubuh, harga diri, skema tubuh, apresiasi tubuh, penerimaan
bentuk dan ukuran tubuh (Cash, 2012).
Definisi citra tubuh yang diambil dari konsep psikologis, seperti persepsi
dan sikap terhadap tubuh, serta pengalaman perwujudannya. Ini juga dapat
diambil untuk mencakup aspek positif dan negatif dari citra tubuh. Citra tubuh
perseptual biasanya diukur dengan menyelidiki keakuratan estimasi ukuran tubuh
relatif terhadap ukuran sebenarnya. Citra tubuh dinilai dengan ukuran empat
komponen kepuasan, yaitu: subyektif global (evaluasi tubuh), afek (perasaan
terkait dengan tubuh), kognisi (investasi dalam penampilan, keyakinan tentang
tubuh), dan perilaku (seperti menghindari situasi di mana tubuh akan terpapar).
Ukuran psikologis citra tubuh cenderung menilai satu atau lebih komponen ini,

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
27

atau mengukur kepuasan/ketidakpuasan spesifik lokasi atau global (Thompson et


al, 2012).
Honigam dan Castle (Januar, 2007) mendefinisikan citra tubuh sebagai
gambaran mental seseorang terhadap bentuk dan ukuran tubuhnya, bagaimana
persepsi dan penilaian seseorang atas apa yang dia pikirkan dan rasakan terhadap
ukuran dan bentuk tubuhnya, dan perkiraan bagaimana penilaian orang lain
terhadap dirinya. Yang sebenarnya, pikiran dan perasaan tersebut belum tentu
benar-benar mempresentasikan keadaan yang sebenarnya, namun lebih
merupakan hasil penilaian diri yang bersifat subjektif.
Puspasari (2019) menyatakan bahwa terdapat dua macam citra tubuh, yaitu
citra tubuh positif dan citra tubuh negatif. Citra tubuh positif adalah persepsi yang
benar tentang bentuk tubuh yang dimiliki sehingga menerima tubuhnya dan
merasa nyaman dengan apa yang dimilikinya. Sedangkan citra tubuh negatif
adalah persepsi yang menyimpang tentang bentuk tubuh yang dimiliki sehingga
cenderung merasa malu dengan tubuh yang dimilikinya dan tidak dapat menerima
kondisi tersebut.
Maka dapat disimpulkan dari berbagai definisi yang telah dipaparkan
diatas, bahwa citra tubuh merupakan persepsi seseorang dalam memandang
tubuhnya sendiri, baik bentuk, ukuran, kekurangan ataupun kelebihan. Setiap
orang memiliki penilaian tersendiri terhadap kondisi tubuhnya. Penilaian yang
benar akan membentuk citra tubuh yang positif. Seseorang yang memiliki citra
tubuh positif berarti bahwa dirinya memiliki persepsi realistis, merasa nyaman
dengan apa yang dimilikinya dan menghargai perbedaan tubuh.

2. Identifikasi Citra Tubuh


Citra tubuh merupakan gambaran mental seseorang terhadap bentuk serta
ukuran tubuhnya dan bagaimana seseorang mempersepsi lalu memberikan
penilaian atas apa yang dia pikirkan, rasakan terhadap ukuran dan bentuk
tubuhnya dengan penilaian orang lain terhadap dirinya (Honigam & Castle, 2007).
Citra tubuh yang dimiliki seseorang dapat bersifat positif maupun negatif.
Dikatakan citra tubuh positif adalah pandangan positif seseorang terhadap

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
28

tubuhnya dan menerima bentuk tubuh yang dimiliki, sementara citra tubuh negatif
adalah pandangan negatif seseorang terhadap bentuk tubuh dan tidak puas dengan
bentuk tubuh yang dimiliki (Willianto, 2017). Hal tersebut terjadi karena citra
tubuh merupakan hal yang bersifat subjektif, tergantung pada penilaian setiap
orang pada dirinya sendiri yang cenderung tidak menunjukan kondisi yang
sebenarnya (Chairiah, 2012).
Citra tubuh positif adalah persepsi yang benar tentang bentuk tubuh yang
dimiliki dan merasa nyaman dengan hal tersebut. Sedangkan citra tubuh negatif
adalah persepsi yang menyimpang dari bentuk yang dimiliki dan cenderung
merasa malu dan tidak dapat menerima kondisi tersebut (Cash, 2012). Seseorang
yang memiliki citra tubuh yang positif disebut juga dengan body image
satisfaction yang berarti seseorang akan memiliki kepuasan akan bentuk
tubuhnya. Orang yang puas akan merasa nyaman dan percaya diri ketika berada di
lingkungan sosial. Sedangkan orang yang memiliki citra tubuh yang negatif
disebut juga dengan body image dissatisfaction yang berarti seseorang mengalami
ketidakpuasan yang berlebih terhadap bentuk tubuhnya. Orang yang memiliki
ketidakpuasan akan mengalami hambatan sosial dan juga kecemasan yang tinggi
(Cash dan Pruzinky, 2002). Dampak dari pandangan negatif terhadap bentuk
tubuh diri sendiri berkaitan dengan kesehatan mental, emosional, dan perilaku,
seperti gangguan pola makan dengan diet yang tidak sehat, depresi, dan tidak
percaya diri (Smolak & Thompson, 2009).
Citra tubuh ini menjadi penting terutama bagi remaja karena proses
perubahan transisi dari anak ke dewasa yang dialami akan berdampak pada
tahapan perkembangan remaja selanjutnya (Cash, 2012). Citra tubuh yang negatif
sering ditemui pada remaja perempuan dibandingkan remaja laki-laki. Hal
tersebut diakibatkan oleh ketidakpuasan remaja perempuan terhadap perubahan
tubuhnya yang sedang mengalami pubertas. Perempuan yang merasa tidak puas
dengan bentuk tubuhnya, mereka akan berisiko lebih tinggi untuk melakukan diet
yang serius (Wojtowicz & Von, 2012). Penerimaan diri salah satunya dipengaruhi
oleh kemampuan remaja dalam menerima kekurangan atau kelebihan yang ada
pada dirinya, yang kemudian dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
29

keseluruhan (Oktaviani, 2019). Kekurang mampuan remaja dalam menerima


dirinya akan sangat merugikan dirinya sendiri dan menghambat interaksinya
dengan lingkungan sekitar, hal tersebut pada akhirnya akan mempengaruhi
usahanya untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya
(Legistini dkk, 2020).

3. Aspek-Aspek Citra Tubuh


Tingkat citra tubuh individu digambarkan ditentukan oleh seberapa jauh
individu merasa puas terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan fisik secara
keseluruhan, serta tingkat penerimaan citra tubuh ini sebagian besar tergantung
pada pengaruh sosial budaya yang terdiri dari empat aspek, yaitu: reaksi orang
lain terhadap penampilan seseorang, perbandingan dengan oranglain, peranan
individu dalam memandang dirinya dan identifikasi terhadap orang lain
(Thompson, 2000). Oleh karena itu, Thompson (2000) menjelaskan beberapa
aspek yang diharapkan dapat mewakili seluruh komponan citra tubuh, yaitu:
a. Persepsi terhadap bagian-bagian tubuh dan penampilan secara keseluruhan
Bentuk tubuh merupakan suatu simbol dari diri seorang individu, karna
dalam hal tersebut individu dinilai oleh orang lain dan dinilai oleh dirinya
sendiri. Selanjutnya bentuk tubuh serta penampilan baik dan buruk dapat
mendatangkan perasaan senang atau tidak senang terhadap bentuk
tubuhnya sendiri.
b. Aspek perbandingan dengan orang lain
Adanya penilaian sesuatu yang lebih baik atau lebih buruk dari yang lain,
sehingga menimbulkan suatu prasangka bagi dirinya keorang lain, hal-hal
yang menjadi perbandingan individu ialah ketika harus menilai
penampilan dirinya dengan penampilan fisik orang lain.
c. Aspek sosial budaya (reaksi terhadap orang lain)
Seseorang dapat menilai reaksi terhadap orang lain apabila dinilai orang
itu menarik secara fisik, maka gambaran orang itu akan menuju hal-hal
yang baik untuk menilai dirinya.

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
30

Selain itu, menurut Cash dan Puzinsky (2002), citra tubuh terbagi dalam
beberapa aspek, diantaranya yaitu:
a. Appearance evaluation (evaluasi penampilan)
Evaluasi penampilan yaitu mengukur penampilan keseluruhan tubuh,
apakah menarik atau tidak menarik serta memuaskan atau belum
memuaskan.
b. Appearance orientation (orientasi penampilan)
Orientasi penampilan yaitu perhatian individu terhadap penampilan dirinya
dan usaha yang dilakukan untuk memperbaiki dan meningkatkan
penampilan diri.
c. Body area satisfaction (kepuasan terhadap bagian tubuh)
Kepuasan terhadap bagian tubuh, yaitu mengukur kepuasan individu
terhadap bagian tubuh secara spesifik, wajah, tubuh bagian atas (dada,
bahu lengan), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tubuh bagian bawah
(pinggul, paha, pantat, kaki), serta bagian tubuh secara keseluruhan.
d. Overweight preoccupation (kecemasan menjadi gemuk)
Kecemasan menjadi gemuk yaitu mengukur kewaspadaan individu
terhadap berat badan, kecenderungan untuk melakukan diet, dan
membatasi pola makan.
e. Self-classified weight (Pengkategorian ukuran tubuh)
Pengkategorian ukuran tubuh, yaitu mengukur bagaimana individu menilai
berat badannya, dari sangat kurus sampai gemuk.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhin citra tubuh


Citra tubuh terbentuk dari sejak individu lahir sampai selama individu
hidup. Banyak hal yang dapat mempengaruhi citra tubuh seseorang termasuk
pandangan atau penilaian orang lain terhadap penampilan diri sendiri. Beberapa
ahli menyatakan ada berbagi faktor yang dapat mempengaruhi citra tubuh
seseorang, adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan citra tubuh
menurut Cash (2012) adalah sebagai berikut:
a. Jenis kelamin

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
31

Jenis kelamin merupakan faktor yang mempengaruhi dalam perkembangan


citra tubuh seseorang (Phares & Thompson, 2004; Cash et al., 2004).
Ketidakpuasan terhadap tubuh lebih sering terjadi pada perempuan
daripada laki-laki. Pada umumnya perempuan, lebih kurang puas dengan
tubuhnya dan memiliki citra tubuh yang negatif. Perempuan biasanya lebih
kritis terhadap tubuh mereka baik secara keseluruhan maupun pada bagian
tertentu tubuh mereka daripada laki-laki. Persepsi citra tubuh yang buruk
sering berhubungan dengan perasaan kelebihan berat badan terutama pada
perempuan. Seorang laki-laki, lebih memperhatikan masa otot ketika
mempertimbangkan body image mereka.
b. Media massa
Media massa yang muncul dimana-mana memberikan gambaran ideal
mengenai figure perempuan dan laki-laki yang dapat mempengaruhi
gambaran tubuh seseorang. Media massa menjadi pengaruh kuat dalam
budaya sosial. Anak-anak dan remaja lebih banyak menghabiskan
waktunya dengan menonton televisi dan kebanyakan orang dewasa
membaca surat kabar harian dan majalah. Survey media massa
menunjukkan 83% majalah fashion khususnya dibaca oleh mayoritas
permpuan maupun anak perempuan. Konsumsi media yang tinggi dapat
mempengaruhi konsumen dalam berbagai cara. Isi tayangan media massa
sering menggambarkan standar kecantikan perempuan adalah tubuh yang
putih dan kurus, dalam hal ini berarti level kekurusan yang dimilki. Media
juga menggambarkan gambaran ideal bagi laki-laki adalah dengan
memilki tubuh yang berotot dan perut yang rata. Akibatnya, orang-orang
terutama remaja dan dewasa muda yang terlalu dipengaruhi dan
terpengaruh oleh penggambaran citra tubuh tersebut melihat foto-foto
model yang langsing membuat gadis dan perempuan merasa buruk tentang
tubuh mereka, beberapa penelitian menunjukkan dampak negatif.
c. Hubungan Interpersonal
Hubungan interpersonal membuat seseorang cenderung membandingkan
diri dengan orang lain dan feedback yang diterima mempengaruhi konsep

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
32

diri termasuk mempengaruhi bagaimana perasaan terhadap penampilan


fisik. Hal inilah yang sering membuat orang merasa cemas dengan
penampilannya dan gugup ketika orang lain melakukan evaluasi terhadap
dirinya. Menerima feedback mengenai penampilan fisik mereka berarti
seseorang mengembangkan persepsi tentang bagaimana seseorang
melakukan perbandingan sosial yang merupakan salah satu proses
pembentukan dalam penilaian diri mengenai daya tarik fisik. Pikiran dan
perasaan mengenai tubuh bermula dari adanya reaksi orang lain. Dalam
konteks perkembangan, body image berasal dari hubungan interpersonal.
Perkembangan emosional dan pikiran individu juga berkontribusi pada
bagaimana seseorang melihat dirinya. Maka, bagaimana seseorang berpikir
dan merasa mengenai tubuhnya dapat mempengaruhi hubungan dan
karakteristik psikologis.

Sejalan dengan itu, Thompson (2000) mengemukakan faktor-faktor yang


mempengaruhi citra tubuh, diantaranya:
a. Pengaruh berat badan dan persepsi gemuk/kurus
Keinginan-keinginan untuk menjadikan berat badan tetap optimal dengan
menjaga pola makan yang teratur, sehinnga persepsi terhadap citra tubuh
yang baik akan sesuai dengan diinginanya.
b. Budaya
Adanya pengaruh disekitar lingkungan individu dan bagaimana cara
budaya mengkomunikasikan norma- norma tentang penampilan fisik, dan
ukuran tubuh yang menarik.
c. Siklus hidup
Pada dasar Individu menginginkan untuk kembali memiliki bentuk tubuh
seperti masalalu.
d. Masa kehamilan
Proses dimana individu bisa menjaga masa tumbuh kembang anak dalam
kandungan, tanpa ada peristiwa-peristiwa pada masa kehamilan.
e. Sosialisasi

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
33

Adanya pengaruh dari teman sebaya yang menjadikan individu ikut


terpengaruh didalamnya.
f. Konsep diri
Gambaran Individu terhadap dirinya, yang meliputi penilaian diri dan
penilaian sosial.
g. Peran gender
Dalam hal ini peran orang tua sangat penting bagi citra tubuh individu,
sehingga menjadikan individu lebih cepat terpengaruh.
h. Pengaruh distorsi citra tubuh pada diri individu
Perasaan dan persepsi individu yang bersifat negatif terhadap tubuhnya
yang dapat diikuti oleh sikap yang buruk.

Selain itu, Rice (1995) mengemukakan ada banyak faktor yang


memepengaruhi citra tubuh, meliputi:
a. Penilaian atau komentar dari orang lain
b. Pelecehan seksual dan rasial
c. Stigmatisasi
d. Nilai-nilai sosial yang berlaku
e. Perubahan-perubahan fisik selama masa pubertas, menopause, dan
kehamilan
f. Sosialisasi
g. Bagaimana perasaan seseorang tentang dirinya sendiri
h. Kekerasan, baik verbal, fisik, maupun seksual
i. Kondisi-kondisi aktual dari tubuh, seperti penyakit atau disabilitas.

5. Fleksibilitas Citra Tubuh (Body Image Flexibility)


Citra tubuh bukanlah suatu konsep yang statis, melainkan berkembang
melalui interaksi dengan orang lain dan lingkungan sosial, serta akan mengalami
perubahan sepanjang rentang kehidupan sebagai tanggapan terhadap umpan balik
dari lingkungan. Dan juga bukan hanya tentang kualitas intrapersonal. Memahami
citra tubuh membutuhkan pemahaman tentang bagaimana perasaan individu

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
34

tentang dirinya sendiri yang pasti mengalami perubahan fisik sepanjang umurnya
(Markey, 2010). Beberapa orang yang mungkin tidak dapat menerima pikiran,
perasaan, ingatan dan sensasi tubuhnya sehingga memiliki kecenderungan
perilaku tertentu. Individu yang tidak memiliki penerimaan diri menggunakan
beragam strategi untuk membuang, meredam, ataupun mengurangi pengalaman
internal yang mereka alami seperti pikiran, perasaan, ingatan dan sensasi tubuh.
Strategi tersebut disebut sebagai experiental avoidance (EA) atau penghindaharan
pengalaman, yang akan membuatnya kehilangan fleksibilitas di dalam hidupnya
(Lanza, et al., 2014).
Fleksibilitas psikologis sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk
sepenuhnya terhubung dengan momen saat ini (present moment) dan berdasarkan
situasi yang ada bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalam dirinya
sendiri, termasuk kesulitan yang mempengaruhi pikiran, perasaan, ingatan dan
sensasi tubuhnya (Hayes, et al., 2006). Fleksibilitas psikologis dianggap sebagai
pusat kesehatan psikologis dan ketidakfleksibelan psikologis dianggap sebagai
kerentanan psikologis (Kashdan & Rottenberg, 2010). Hilangnya fleksibilitas ini
disebut sebagai kekakuan psikologis atau infleksibilitas psikologis. Infleksibilitas
psikologis terjadi ketika proses kognitif atau verbal cenderung mempersempit
kemampuan individu dalam area-area penting kehidupannya. Pada akhirnya,
infleksibilitas psikologis mencegah individu beradaptasi dengan pengalaman
internal seperti pikiran, perasaan, ingatan, dan sensasi tubuh dan juga pengalaman
eksternal mereka (Hayes, et al., 2012).
Fleksibilitas citra tubuh didefinisikan sebagai kapasitas untuk mengalami
dan memahami persepsi, sensasi, perasaan, pikiran, dan keyakinan yang terkait
dengan tubuh seseorang secara penuh dan sambil mengejar nilai-nilai yang ada
pada dirinya. Fleksibilitas citra tubuh ini sangat penting karena berhubungan
positif dengan keseluruhan fleksibilitas psikologis (Sandoz, et al., 2013).
Seseorang yang memiliki fleksibilitas citra tubuh akan memiliki kemampuan
untuk mengalami ketidakpuasan tubuh dan pengalaman internal lain yang relevan
secara penuh dan terbuka tetapi tetap berperilaku adaptif dalam nilai-nilai dan
konsisten (Lee, et al., 2017).

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
35

C. Hubungan Antara Penerimaan Diri Dengan Citra Tubuh


Persepsi dan evaluasi remaja terhadap tubuhnya dipengaruhi oleh
serangkaian masalah yang kompleks, diantaranya adanya perubahan cara kerja
kognitif pada remaja yang membuat remaja mengkonstruksi dan melakukan
interpretasi yang salah mengenai tubuhnya. Hal terebut diakibatkan oleh perasaan
ketidakpuasan yang berlebih pada remaja dalam mengahadapi perubahan yang
terjadi pada dirinya. Kesalahan dalam persepsi dan evaluasi diri pada remaja akan
mempengaruhi penerimaan diri remaja khusunya penerimaan terhadap kondisi
fisik. Penerimaan diri banyak dipengaruhi oleh citra tubuh yang berupa budaya
dan standarisasi masyarakat mengenai penampilan dan kecantikan, meliputi
konsep ideal, kurus, gemuk, indah, menawan dan menarik ketika dilihat. Sehingga
citra tubuh dikalangan remaja menjadi isu yang serius dan meluas (Ridha, 2012).
Salah satu tugas perkembangan remaja diantaranya adalah meneriman
keadaan fisiknya serta dapat menggunakannya seacara efektif, dengan begitu
remaja diharapkan dapat menerima keadaan dirinya sebagaimana keadaan diri
mereka apa adanya, bukan khayalan dan impian yang membuat mereka merasa
tertuntut melakukan berbagai hal untuk mewujudkannya. Penerimaan diri
terhadap kondiri fisik merupakan kondisi dimana seseorang dapat mencintai
dirinya sendiri dan mencintai fisiknya dalam batasan apaun dan dapat menerima
keadaan dirinya dengan apa adanya tanpa terus-menerus mengkritik dirinya.
Persepsi dan evaluasi mengenai tubuh dikenal dengan istilah citra tubuh yang
dapat berupa positif dan negatif. Citra tubuh negatif dapat menimbulkan adanya
usaha-usaha menyimpang dan obsesif terhadap kontrol berat badan dan bentuk
tubuh yang mendorong remaja melakukan segala cara demi mendapatkan
kepuasan menengai tubuh mereka (Permatasari, 2012).
Ketika seseorang memiliki penerimaan diri yang rendah, maka ada
kemungkinan besar dia akan mengelola pikiran dan perasaan yang menyimpang
tentang tubuhnya sehingga memiliki citra tubuh negatif, lalu dia akan melakukan
perilaku seperti tidak menghadiri acara-acara sosial, menghindar dari
lingkungannya, mengubah gayanya, melewatkan waktu makan dan melakukan hal
ekstrim untuk mencapai apa yang dia inginkan. Tetapi sebaliknya, ketika

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
36

seseorang memiliki penerimaan diri yang tinggi, maka kemungkinan besar dia
akan memiliki citra tubuh positif, lalu dia akan mengubah pola pikirnya dan
bertindak sesuai dengan nilai-nilai pribadinya, karena penting baginya untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya bahkan ketika dia merasa buruk atau tidak
puas tentang tubuhnya akan tetap bersikap adaptif dan rasional (Hasmalawati,
2017).
Citra tubuh yang baik akan berdampak pada penerimaan diri yang baik
juga karena seseorang akan sangat mudah untuk bergaul dengan lingkungannya,
sehingga orang tersebut akan merasa puas terhadap dirinya sendiri dan
lingkungannya. Citra tubuh tersebut merupakan produk dari pengalaman yang
nyata berupa persepsi terhadap bagian bagian tubuh serta penampilan secara
keseluruhan yang sebagian berasal dari perkembangan fisik. Oleh karena itu,
seseorang diharapkan untuk selalu bisa berpikir positif akan segala kelemahan,
kesalahan, kekurangan, kekeliruan serta kekuatan dan kelebihan terhadap citra
tubuh yang dimiliki, dengan cara menerima diri sendiri apa adanya (Ridha, 2013).

D. Komponen Konseling Penerimaan dan Komitmen (ACT)


1. Definisi Konseling Penerimaan dan Komitmen (ACT)
Teori yang mendasari ACT adalah Rational Frame Therapy (RFT).
Menurut RFT, orang yang hidup di dunia fungsinya diperoleh secara lisan dan
bukan hanya hasil dari pengalaman langsung. Oleh karena itu, bahasa secara
verbal mengarah pada serangkaian masalah tambahan (Hayes, Barnes-Holmes, &
Roche, 2001). ACT tidak didasari oleh psikologi abnormal. Dari sudut pandang
ACT setiap masalah yang muncul merupakan suatu proses psikologis yang
normal. ACT berspekulasi bahwa permasalahan yang dialami oleh manusia
berakar pada bahasa manusia itu sendiri (Harris, 2009). Bahasa manusia sangat
berguna namun jika tidak mampu untuk mengendalikan bahasa tersebut maka
akan berbalik menyakiti diri (Hayes et al., 2012).
Pada intinya, ACT adalah intervensi yang berlaku penerimaan, proses
kesadaran serta komitmen dan proses perubahan perilaku untuk menghasilkan
kerangka berpikir yang fleksibel atau fleksibilitas psikologis (Podina & David,

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
37

2018). ACT merupakan terapi penerimaan diri yang berkontribusi pada


pengembangan fleksibilitas psikologis, melibatkan kesadaran penuh akan
peristiwa saat ini dan melakukan tindakan yang selaras dengan nilai-nilai pribadi
(Hulbert, Storey, & Wilson, 2015). Intervensi ini bertujuan untuk meningkatkan
aspek psikologis untuk lebih fleksibel dalam menjalani perubahan yang terjadi
saat ini dengan lebih baik. Berbeda dengan teori perubahan perilaku sebelumnya,
ACT mempengaruhi hubungan individu dengan kognisi namun tidak secara
langsung mengubah untuk mengontrol perilaku melainkan lebih menekankan pada
sikap positif dalam menerima peristiwa saat ini (Fischer & Fink, 2014).

2. Model-model Konsep Konseling Penerimaan dan Komitmen (ACT)


Esensi dari bahasa dan kognisi adalah kemampuan belajar manusia tidak
hanya dari pengalaman langsung, tetapi juga dari hubungan antara dua peristiwa
atau lebih. Selain itu fungsi verbal membuktikan adanya efek berbahaya yang
dapat menimbulkan berbagai masalah pada kesehatan mental (Podina & David,
2018). Dua proses normal dari pikiran manusia yang sering menyebabkan pikiran
tidak berkembang adalah: penghindaran pengalaman dan fusi kognitif (Louma, et
al., 2007). Menurut Podina & David (2018) Model-model konsep dari ACT
adalah sebagai berikut:
a. Penghindaran pengalaman
Konsep ini merupakan upaya untuk menghindari atau melarikan diri dari
peristiwa-peristiwa internal seperti pikiran, perasaan, kenangan, atau
tanggapan perilaku, bahkan ketika hal itu dapat menyebabkan kerusakan
pada keadaan psikologisnya. Seperti upaya untuk menekan kejadian
internal yang tidak diinginkan dengan tidak berpikir tentang kejadian
tersebut yang pada dasarnya mungkin akan meningkatkan tekanan
emosional (Wilson, et al., 2001).
b. Penggabungan Kognitif (Cognitive Fusion)
Proses mengalami pengalaman sebagai realitas bukan sebagai hasil dari
proses berpikir yang disebut fusi kognitif (Hayes, et al., 2006). Fusi
kognitif merupakan hubungan antara label bahasa, kejadian internal dan

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
38

dirinya sendiri. Sebagai contoh, ketika seseorang mengatakan “saya


tertekan” dan mempercayai kata tersebut, maka ada perpaduan antara label
bahasa verbal, emosi yang ditimbulkan oleh pikiran dan perubahan
perasaan dalam diri. Dengan kata lain, fusi kognitif menunjukan adanya
bahwa seseorang telah menyatu dengan laber verbal dan merasakan itu
sebagai masalah identitas bukan hanya sebagai emosi yang dirasakan yang
ditimbulkan pikiran (Podina & David, 2018).

Meskipun penghindaran pengalaman dan fusi kognitif merupakan pusat


dari teori ini, ada serangkaian masalah tambahan yaitu: (a) Kehilangan kontak
dengan saat ini, (b) Distorsi kognitif, (c) Kurangnya nilai-nilai kehidupan dalam
diri, (d) Tindakan yang tidak berkomimen. Keempat masalah tersebut, bersama-
sama dengan penghindaran pengalaman dan fusi kognitif membentuk model
hexagonal psikopatologi (Podina & David, 2018). Model konsep ACT lainnya,
dijelaskan Luoma, Hayes, dan Walser (2007) sebagai berikut:
a. Kehilangan kontak dengan saat ini
Secara khusus, fusi kognitif dengan label bahasa menyebabkan hilangnya
kontak dnegan saat ini. Menyadari perasaan, pikiran dan sensasi yang tidak
menyenangkan akibat pengalaman yang tidak diinginkan menyebabkan
emosi, takut dan sedih. Sebagai contoh, pengalaman seseorang yang sesak
diruangan kecil. Tepat pada saat itu, pengalaman tersebut tidak
menyenangkan sehingga ketika ada pengalaman yang serupa pada saat
sekarang tampaknya akan terlalu menyakitkan untuk ditolerir atau
diterima. Ketika seseorang kehilangan kontak dengan saat ini, berpikir
tentang tempat lain atau waktu lain untuk menghindari pengalaman yang
tidak diinginkannya, saat itulah program dimulai. Karena pada dasarnya,
tidak ada pembelajaran baru yang berlangsung ketika seseorang terus
melakukan hal tersebut, dan ketakutan akan terus mendominasi pada diri
seseorang (Hayes et al., 2006).
b. Konseptualisasi diri yang terdistorsi

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
39

Komponen model hexagonal psikopatologi menyebabkan tidak


ketidakfleksibelan identitas yang menghasilkan perilaku dan kognitif yang
sama-sama tidak fleksibel. Sebagai contoh, ketika seseorang mulai
mengidentifikasi dirinya dengan mendiagnosis “saya seorang
agoraphobic” bukan mengacu pada hal perilaku dan emosi seperti “saya
merasa takut”. Hal tersebut menyebabkan semua bentuk perilaku akan
dipersempit dengan identitas barunya itu. Oleh karena itu, bahasa dan label
menjadi alasan utama rasa tumpang tindih dalam diri yang sebenarnya
hanya label belaka (Luoma, et al., 2007).
c. Kurangnya nilai-nilai dalam diri
Nilai menyiratkan hidup dengan cara yang dipilih dan bermakna serta
mencerminkan memilih tujuan hidup. Namun biasanya seseorang tidak
menetapkan tujuan dalam hidupnya secara terencana. Sebaliknya,
seseorang menetapkan tujuan tanpa berpikir atau membuat daftar pro dan
kontra yang kemudian memilih yang terbaik. Akibatkanya, orang akan
memiliki waktu yang sulit untuk terhubung dengan apa yang benar-benar
penting bagi mereka (Luoma et al., 2007).
d. Tindakan yang tidak berkomitmen
Tindakan berkomitmen adalah proses bertindak secara nilai yang seimbang
dalam rangka menciptakan kehidupan yang utuh, sesuai harapan, memiliki
nilai-nilai dan bercita-cita. Berkomitmen berarti menunjukan kegigihan
dalam mencapai perubahan. Namun hambatan terbesar untuk hidup utuh
dan fungsional adalah kebiasaan disfungsional (seperti, pikiran, emosi dan
perilaku) yang mempersempit peluang dan pengembangan seseorang
karena apa yang dilakukan berlawanan dengan apa mengubah. Oleh karena
itu, berkomitmen tindakan untuk tujuan hidup menjadi rusak oleh
kebiasaan yang disfungsional (Louma et al., 2007).

Ke enam model hexagonal psikopatologi tersebut dianggap sebagai


penyebab jelas penderitaan manusia yang menyebabkan berbagai gangguan
psikologis (Podina & David, 2018).

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
40

3. Proses Konseling Penerimaan dan Komitmen (ACT)


Inti dari ACT diringkas dengan singkatannya: A (accept)= Terima, C
(choose)= Pilih, dan T (take action)= Ambil tindakan. ACT berupaya untuk
membantu klien menerima kesulitan kehidupan dan untuk bergerak secara
berkomitmen ke arah nilai-nilai yang mereka pilih. Hambatan untuk melakukan
hal ini adalah komponen dari model heksagonal psikopatologi, terutama
penghindaran pengalaman dan fusi kognitif. Ini mencegah komitmen untuk
berperilaku yang menghargai hidup. Sumber dari hambatan-hambatan tersebut
pada dasarnya terkait dengan bahasa, dan sebagian besar tujuan ACT adalah untuk
membuat kamus baru yang akan membantu klien mencapai tujuan hidup mereka
(Podina & David, 2018).
Perubahan yang terjadi melalui ACT adalah bagaimana seseorang bereaksi
atau merespon situasi dan lingkungan yang sulit dengan mengubah fungsi
keyakinan tanpa benar-benar memodifikasi isinya. Hasilnya adalah penurunan
kepercayaan dari pikiran. Selain itu, ACT tidak fokus pada pengurangan atau
penghapusan kejadian internal yang tidak diinginkan. Sebaliknya, mengakui
keberadaan pengalaman atau kejadia tersebut dan yang paling penting
mengajarkan individu agar dapat menjalani hidup yang memuaskan dihadapan
pikiran dan perasaan yang tidak diinginkan negatif (LA Brown et al., 2011).

4. Tujuan dan Mekanisme Perubahan Konseling ACT


Tujuan utama dari terapi ACT adalah untuk mendorong fleksibilitas
psikologis seorang klien. Fleksibilitas psikologis merupakan kemampuan untuk
tetap selaras dengan keadaan saat ini, dan bertahan dalam perubahan nilai
konsisten perilaku yang akan mengarah pada hasil yang diinginkan. Fleksibilitas
psikologis ini juga merupakan mekanisme perubahan dalam konteks ACT,
melalui fleksibilitas psikologis klien belajar untuk mengubah fungsi sebuah
kepercayaan tanpa benar-benar memodifikasi isi dari kepercayaan tersebut. Yang
terpenting melalui fleksibilitas psikologi, ACT mengajarkan klien cara menjalani
kehidupan yang berharga dalam kehadiran pikiran dan emosi yang tidak

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
41

diinginkan (Gross & Fox, 2009). Fleksibilitas psikologis dapat dicapai melalui
proses konseling melalui ACT dengan 6 inti yang merupakan alternatif fungsional
terhadap efek dari model hexagonal psikopatologi (Podina & David, 2018).

5. Proses Inti ACT


Keenam proses inti konseling penerimaan dan komitmen ini diantaranya:
(1) Proses mengembangkan penerimaan dan kesediaan yang dianggap sebagai
proses alternatif fungsional untuk penghindaran pengalaman. Proses ini
memerlukan pengakuan dan penerimaan peristiwa hidup seseorang yang baik
ataupun buruk. Dalam hal ini misalnya seseorang dengan kecemasan didorong
untuk sepenuhnya mengalami kecemasan sebagai perasaan tanpa pertahanan
apapun. Dia akan di dorong untuk berpikir realistis sebagaimana apa yang dia
rasakan, tidak dilebihkan ataupun dikurangi. Penerimaan ini bukan berarti harus
menyukai atau menginginkan suatu pengalaman atau suatu kondisi. Sebaliknya,
penerimaan berarti bersedia untuk mengalami suatu pengalaman secara penuh dan
tanpa penolakan (Louma, et al., 2007).
(2) Defusi kognitif yang dianggap sebagai proses yang dimaksudkan untuk
menetralisir pikiran yang tidak diinginkan tanpa benar-benar mengubah frekuensi
atau konten mereka dan merupakan alternative fungsional untuk fusi kognitif atau
konseptualisasi diri terdistorsi. Defusi kognitif berarti belajar untuk memisahkan
atau melepaskan diri dari pikiran, gambar dan kenangan, dibandingkan dengan
terjebak dalam pikiran dan dikuasai oleh pikiran tersebut. Singkatnya berarti
menjadikan pikiran sebagai pikiran, tidak dilebihkan atau dikurangi (Harris,
2009). Dalam hal ini misalnya, pikiran negatif bisa diulang-ulang diucapkan
dnegan keras dan cepat sampai kehilangan maknanya. Hasil dari fusi kognitif
biasanya akan menurunkan kepercayaan pada pikiran negatif daripada mengubah
langsung isinya (Ruiz, 2010).
(3) Nilai-nilai yang diartikan sebagai konsekuensi hidup yang diinginkan. Nilai
adalah keinginan kualitas diri dari perilaku yang sedang terjadi atau bagaimana
individu ingin berprilaku sesuai dengan dasar yang dipercayainya Harris, et al.,

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
42

2009). Dalam hal ini proses tersebut biasanya dilakukan sebagai cara untuk
mencapai perilaku seperti yang diinginkan.
(4) Kontak/ terhubung dengan saat ini yang merupakan proses inti yang
memungkinkan pengalaman langsung dari suatu peristiwa seperti yang terjadi,
sehingga seseorang dapat lebih fleksibel dalam memilih untuk merespon sesuatu
dengan keselarasan nilai-nilai (Hayes & Strosahl, 2004). Kontak dengan saat ini
berarti keadaan sadar terhubung dan terlibat pada setiap hal yang terjadi pada saat
ini. Dibandingkan dengan hidup dimasa lalu atau masa depan, kesadaran pada saat
ini lebih berguna karena akan mengurangi kemungkinan untuk mengalami fusi
kognitif, penghindaran, pemberian alasan dan perilaku yang terjadi dimasa lalu
(Harris, 2009).
(5) Diri sebagai konteks yang mendefinisikan kondisi stabil seseorang yang secara
sadar memperhatikan pikiran, emosi/perasaan dan sensasi yang secara sadar dan
tidak sadar dirasakan. Dengan kata lain, tidak mengubah pengalaman internal dan
lebih stabil dalam menghadapinya. Terdapat dua elemen dari pikiran, yaitu:
pikiran diri dan pengamatan diri. Pikiran diri adalah bagian dari selalu berpikir,
kepercayaan, fantasi, rencana dan lain-lain. Pengamatan diri adalah asperk diri
yang secara sadar mengenai apapun yang dipikirkan, dirasakan dan dilakukan
pada beberapa kejadian. Dalam ACT keduanya tersebut disebut dengan diri
sebagai konteks. Dalam proses ini biasanya, seseorang yang berpikir bahwa dia
adalah orangtua yang buruk, melakukan latihan untuk memperhatikan benda
disekitarnya dan melihatnya sebagai objek belaka. Seperti pengalaman internal
yang hanya merupakan kejadian bukan menggambarkan dirinya secara
keseluruhan. Diri sebagai konteks dikembangkan melalui latihan kesadaran dan
metafora (Podina & David, 2018).
(6) Komitmen untuk bertindak yang merupakan proses inti yang mengingatkan
seseorang tentang pentingnya berkomitmen untuk bertindak sesuai dengan nilai
pribadi. Perubahan merupakan proses jangka panjang dan upaya untuk bertindak
sesuai dengan nilai-nilai terkadang mengalami banyak kegagalan dan hambatan.
Dengan demikian, memerlukan perilaku yang konsisten dan mengurangi perilaku

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
43

yang tidak konsisten bahkan


ketika dihadapkan
dengan pikiran dan emosi
tertentu (Hayes, 2004; Ruiz,
2010).

Contact with the


Present moment
Commitment and
Behavior Change
Processe

Acceptance
Values

Psychological
Flexibilitas

Defusion Committed
action

Mindfulness and Self as context


Acceptance
Processe
Gambar 2.1
Keenam proses yang merupakan model hexagonal psikopatologi ini
dikelompokan menjadi dua kelompok besar, yaitu (a) proses kesadaran dan
penerimaan, dan (b) proses perubahan perilaku dan komitmen. Sedangkan
penghindaran pengalaman, fusi kognitif, kontak dengan saat ini dan diri sebagai
konteks dianggap sebagai bagian dari proses kesadaran dan penerimaan. Sehingga
melalui konseling ACT menargetkan satu proses dapat mengaktifkan proses yang
lain dan masing-masing proses mendukung fleksibilitas psikologis (Luoma, et al.,
2007). Urutan dari ke enam proses tersebut ditargetkan tergantung dengan
masalah yang teridentifikasi dalam model hexagonal psikopatologi. Dalam proses

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
44

penanganannya, diperbolehkan untuk berdampingan satu sama lain karena mereka


merupakan proses yang tumpang tindih (Podina & David, 2018).

6. Penanganan Konseling ACT


a. Cara menangani klien
Konselor harus menangani klien dalam cara yang sama, rentan, asli,
mengakui kemampuan klien untuk berkembang secara alami untuk hasil yang
diinginkan. Kerentanan klien dapat tercermin dalam diri klien dengan
pengungkapan saat-saat yang sulit. Jadi konselor harus menyediakan dirinya
sendiri untuk menampung pengungkapan-pengungkapan klien hal tersebut
merupakan jalan menuju aliansi terapeutik yang lebih baik. Oleh karena itu
cara konselor menangani klien harus sangat mencerminkan pengetahuan dan
menghormati klien (Flaxman, Blackledge, & Bond, 2011).
b. Penerimaan nilai kontradiktif
Konselor harus menerima kemungkinan bahwa klien dapat memegang ide-
ide yang kontradiktif dan tidak mencoba untuk mendebat atau memaksa klien
menuruti sudut pandangnya. Konselor atau konseling harus tetap bersikap
netral tentang pilihan hidup klien, dan sudut pandang pengamat yang
membantu dalam hal ini. Akibatnya, tindakan sensitif sangat kultural,
konselor berkomunikasi dengan rasa hormat dan menerima perbedaan budaya
antara nilai-nilai sendiri dan klien (Podina & David, 2018).
c. Fasilitas paparan pengalaman tidak menyenangkan
Konselor mendorong kontak dengan pengalaman saat-saat tertentu yang
menghambat penghindaran tentang pengalaman menyakitkan, pikiran dan
perasaan. Sebagai imbalannya, konselor atau konseling mendorong
penerimaan pengalaman, pikiran dan perasaan serta membantu klien
menemukan tempat yang aman untuk menghadapi emosi, pikiran, dan sensasi
yang ditakuti (Louma et al., 2007).
d. Bahasa yang digunakan
Konseling menggunakan bahasa sesuai dengan pengalaman latihan,
paradoks, dan metafora serta menghormati bahasa klien, pengalaman dan

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
45

budaya klien. Efektif ACT konselor atau konseling mampu melakukan


pendekatan rintangan yang timbul dalam konseling, serta kemunduran
pribadi, tumbuh dan berkembang melalui pengalaman, memiliki toleransi
yang besar untuk ambiguitas, ironi, kebingungan, dan paradox (Podina &
David, 2018).

Selain itu menekankan beberapa ciri khas tambahan dalam penanganan


ACT, yang pertama adalah penting bagi klien untuk terbuka dan menerima stategi
dan prinsi-prinsip ACT. Yang kedua adalah kemampuan untuk menumbuhkan
komitmen terhadap tujuan konseling, nilai-nilai dan pilihan dalam hidup klien.
Ketiga adalah konselor harus menjelaskan bahwa perubahan perilaku yang
konsisten biasanya akan menghasilkan hasil yang diinginkan (Podina & David,
2018). Dalam konseling ACT, modalitas penggunaan bahasa verbal akan sangat
membantu dalam semua proses konseling. Oleh karena itu, metafora, paradox,
latihan pengalaman akan memperkuat penanganan konseling ini. Proses tambahan
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Penggunaan metafora
Berbagai strategi tindakan menggunakan metafora bahasa, yang memiliki
beberapa keunggulan. Pertama, metafora harfiah dan preskriptif. Oleh karena
itu, hal ini lebih sulit untuk klien untuk menunjukkan kepatuhan kepada
mereka. Kedua, metafora lebih deskriptif, kadang-kadang lebih informatif dan
mudah untuk membayangkan sesuatu. Oleh karena itu, esensi dari metafora
yang sulit untuk ditangkap dalam bahasa harfiah, sehingga klien dapat
membuat analogi dan menarik kesimpulan mereka sendiri. Ketiga, metafora
mudah diingat dan karena itu lebih mungkin untuk digunakan dalam
pengaturan lainnya, yang mendorong perubahan perilaku ini sering digunakan
sebagai latihan defusion kognitif. Metafora memerlukan klien untuk
membayangkan bahwa dia adalah seorang sutradara film dengan daya
terbatas dan aktor lain dilemparkan untuk bermain atau hidupnya. Daya
terbatas mengacu pada fakta bahwa klien dapat membuat keputusan hanya
untuk para aktor yang memainkan peran nya dan tidak bisa mempengaruhi

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
46

bagaimana karakter lain bertindak. Menjaga dalam pikiran nya atau tujuan
hidup, klien diminta untuk langsung film dan karakter nya sesuai dengan
kehidupan yang diinginkan. Penting pelajaran di sini dua: bahwa seseorang
berada dalam kendali hidup seseorang dan tidak ada tanggapan dari orang
lain, dan bahwa memperhatikan hasil akhir yang diinginkan dari tindakan
membantu klien mencapai tujuannya bukannya memnambah terlalu banyak
perhatian untuk hambatan seperti menghindari perasaan yang tidak
diinginkan (Podina & David, 2018).
b. Penggunaan Paradoks
Penggunaan paradoks adalah fitur penting dalam ACT. Berdasarkan
prinsip-prinsip ACT, bahasa perangkap klien dalam gangguan mereka.
Paradoks berasal dari fakta bahwa bahasa juga dapat menjadi sebuah alat
untuk membantu klien. Melekat paradoks adalah yang paling sering
digunakan paradoks mode dalam ACT dan mewujudkan pertentangan antara
bahasa harfiah dan sifat fungsional secara verbal. Salah satu contoh dari hal
ini adalah ketika seseorang berencana untuk bersifat spontan. Lebih khusus
lagi, direncanakan spontanitas adalah paradoks yang melekat, sebagai
menurut definisi spontanitas aturan keluar perencanaan (Podina & David,
2018).
c. Latihan pengalaman
ACT menggunakan pengalaman latihan untuk mengekspos pikiran klien,
perasaan, kenangan, dan sensasi fisik yang takut atau menghindari. Paparan
sering digunakan dalam ACT karena jauh lebih intuitif bagi klien untuk
mengambil bagian dalam latihan-latihan yang bukti perangkap dan isu-isu
dalam bahasa manusia dari pada untuk sekadar mendiskusikan mereka
(Podina & David, 2018).
Secara keseluruhan, penanganan konseling membantu klien mengidentifikasi
dan mengurangi kognitif fusion, hubungan rasa diri, mengidentifikasi rasa
dihargai kehidupan arah dan tujuan, dan terlibat dalam Aksi berkomitmen
terhadap tujuan tersebut. Semua ini dicapai dengan tujuan untuk memfasilitasi
psikologis fleksibilitas (Podina & David, 2018).

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
47

7. Tahapan Konseling (ACT)


ACT ini bisasnya disampaikan 10-12 sesi, namun tergantung masalah yang
teridentifikasi, sehingga dapat diselesaikan dalam jangka waktu yang pendek dan
lebih singkat. Ada lima tahap konseling dalam tindakan. Namun tidak memiliki
urutan yang tetap, karena tergantung pada apa masalah dalam model heksagonal
psikopatologi yang teridentifikasi, seorang konselor mungkin merasa bahwa hal
ini diperlukan untuk menghilangkan atau kembali pada tahap tertentu dalam ACT
(Hayes & Strosahl, 2004). Setiap tahap dapat memiliki satu sesi atau lebih,
tergantung pada masalahnya. Biasanya satu sesi setiap tahap digunakan dalam
intervensi jangka pendek. Berikut penjabaran setiap sesi:
a. Tahapan Pertama
Fokus sesi pertama biasanya berorientasi untuk mengkaji sejarah klien
berjuang dengan psikopatologi dan keputusasaan kreatif. Keputusasaan
kreatif adalah intervensi ACT yang menantang apa yang telah dilakukan klien
sejauh ini untuk melawan dan menanggapi masalah yang ada. Terutama, itu
menekankan bahwa apa yang telah dilakukan sejauh ini ternyata bukan solusi
dan strategi baru harus diterapkan. Metafora dan latihan pengalaman adalah
jalur yang baik menuju kesadaran pada tahap pertama (Hayes & Strosahl,
2004)
b. Tahapan Kedua
Sedangkan tahap pertama ACT difokuskan untuk membuat klien sadar
akan sesuatu dalam kondisi saat ini yang perlu diubah, tahap kedua
menekankan bahwa mencoba untuk mengendalikan pengalaman internal,
seperti berusaha menghindar kesedihan, adalah penyebab utama disfungsional
emosi dan perilaku saat ini. Klien datang ke konseling berpikir bahwa
beberapa pengalaman internal mereka berbahaya, dan karena tujuan mereka
adalah berbahaya dank arena itu tujuan mereka adalah untuk menyingkirkan
pengalaman internal yang berbahaya itu. Namun menurut filsafat ACT,
menghindari kesedihan dan pengalaman tidak menyenangkan membuat klien
tidak mengalami hidupnya saat ini. Oleh karen itu, pada tahap kedua,

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
48

konselor menunjukan bahwa strategi control penghindaran yang selama ini


klien lakukan tidak efektif dan tidak membuat suatu perubahan (Hayes &
Strosahl, 2004).
c. Tahap Ketiga
Tahap ini ACT didasarkan pada tahap kedua yang menekankan bahwa
kontrol emosi dan perasaan yang tidak diinginkan adalah penyebab utama
dari masalah emosional dan perilaku. Memperkenalkan latihan fusi kognitif
sebagai penyangga utama terhadap kontrol internal pengalaman. Tugas
konselor menjelaskan fusi kognitif dengan menciptakan jarak antara
pikiran/emosi dan pikiran/perasaan tentang itu. Selain itu, bisa juga dengan
menambahkan analogi bus (Hayes & Strosahl, 2004).
d. Tahap Keempat
ACT terus fokus pada fusi kognitif tetapi juga memperkenalkan kesadaran
untuk menumbuhkan rasa diri sebagai konteks. Tujuan dari mindfulness
adalah untuk menyadari kehidupan saat ini dan sekarang tanpa
mengungkapkan evaluatif penilaian dalam bahasa. Selain fusi kognitif dan
mindfulness, tahap ACT ini juga dimaksudkan untuk memperkenalkan
pengalaman latihan untuk mengatasi pikiran dan perasaan yang tidak
diinginkan (Hayes & Strosahl, 2004).
e. Tahap Kelima
Tahap akhir ini mempersiapkan klien untuk menghadapi hambatan yang
mungkin muncul dengan melakukan perubahan dan untuk secara terbuka
berkomitmen pada upaya perubahan tersebut. Secara singkat, klien diajarkan
bahwa kadang-kadang mereka kembali ke penyempitan fusi kognitif dan
penghindaran pengalaman, tetapi setiap saat adalah kesempatan untuk
kembali ke apa yang dipelajari selama sesi ACT. Tahap ini juga berfokus
pada lebih lanjut memperkuat hubungan antara tujuan dan tindakan-tindakan
yang dikembangkan melalui fusi kognitif, mindfulness, dan kemauan untuk
berubah (Hayes & Strosahl, 2004).

E. Penelitian Terdahulu

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
49

Penelitian yang dilakukan oleh Weineland, et al., (2012) yang merupakan


upaya pertama untuk menerapkan dan mengadaptasi konseling ACT untuk pasien
bedah bariatric membuktifan bahwa ACT memiliki efek signifikan dalam
menangani gangguan perilaku makan, ketidakpuasan pada bentuk tubuh yang
dirasakan, kualitas hidup dan penerimaan pikiran dan perasaan yang sebelumnya
dihindari. Dalam hal ini ACT terbukti efektif dalam menangani gangguan makan,
ketidakpuasan terhadap bentuk tubuh dan penerimaan diri. Intervensi berbasis
penerimaan seperti ACT mewakili kerangka kerja yang menjanjikan untuk
perubahan perilaku terkait kesehatan mental. Melalui konseling ACT, penerimaan
terhadap kondisi fisik khususnya bentuk dan berat badan yang terkait dengan
pikiran dan perasaan berubah menuju peningkatan fleksibilitas psikologis. Tujuan
konseling ACT bukan untuk menghilangkan ketidakpuasan tubuh, tetapi untuk
menerima pikiran dan perasaan ketidakpuasan tubuh dan memfokuskan kembali
energinya untuk mencapai tujuan yang dipilih. Jadi, meskipun masih ada
ketidakpuasan terhadap tubuhnya, dia bisa melanjutkan gaya hidup sehat terlepas
dari pikiran dan perasaan terkait berat badan.
Penelitian yang dilakukan oleh Järvelä-Reijonen, et al., (2018) yang
merupakan intervensi ACT yang dilakukan dalam konseling kelompok tatap muka
menggunakan aplikasi online. Intervensi berbasis ACT menjadi salah satu
pendekatan yang berguna untuk menangani masalah kelebihan berat badan atau
obesitas dan gangguan dalam perilaku makan. Dalam prosesnya, ACT bertujuan
untuk memperkuat proses kognitif yang positif yang terkait dengan komitmen,
perubahan perilaku, perhatian, dan penerimaan yang dapat diterapkan untuk
mendorong pola perilaku yang sehat pada orang yang mengalami gangguan. ACT
terbukti memberikan hasil yang menjanjikan dalam menangani gangguan perilaku
makan dan penurunan berat badan.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Rachman dan Hodghson
(2008) berpendapat bahwa penanganan dengan metode ACT merupakan metode
yang cocok untuk orang-orang yang menagalami emosional negatif dan
kecemasan tentang kesehatan dan penampilan mereka. Dengan melakukan latihan
kontrol kesadaran, pengerndalian diri, dan tidak menghakimi diri akan membawa

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
50

seseorang menuju pemulihan. Perilaku kognitif berdasarkan penerimaan dan


komitmen memberikan kesempatan pada seseorang untuk memperhatikan sensasi
fisik, kognitif, persepsi dan emosinya sendiri tanpa menghakimi, tetapi memahami
dan menerimanya bahwa pikiran-pikiran negatif itu belum tentu terjadi dan bukan
realitas. Tujuan penelitiannya itu adalah untuk menguji efektifitas konseling
penerimaan dan komitmen dalam mengurangi obesitas dan citra tubuh negatif
pada orang yang kelebihan berat badan dan ketidakpuasan pada tubuh. Konseling
ACT memberikan penanganan perilaku berdasarkan perhatian penuh yang
efektifitasnya telah jelas terbukti untuk menangani berbagai masalah klinis.
Penelitian yang dilakukan oleh Givehki et al (2018) menunjukan bahwa
ACT secara signifikan efektif dalam meningkatkan fleksibilitas citra tubuh dan
kesadaran tubuh pada pasien dengan gangguan psikomatik. Karena biasanya,
pasien yang sakit secara medis lebih banyak mengungkapkan perasaan negatif
terhadap tubuh mereka daripada orang yang sehat. Pasien cenderung berfokus
pada ketidakpuasan bagian tubuh atau fungsi yang terpengaruh oleh penyakitnya
dan akhirnya menyebabkan penghindaran pengalaman. Dalam hal ini, konseling
ACT bekerja pada kesadaran dan penerimaan telah terbukti efektif mengurangi
penghindaran pengalaman dan memperbaiki fleksibilitas psikologis. Peningkatan
kesadaran tubuh akan berkembang melalui konsep mindfulness dalam ACT
dengan memberikan perhatian khusus pada sensasi fikis, introspektif, emosi
pengalaman, dan gerakan tubuh yang muncul dalam sesi konseling. Dan juga ada
hubungan antara kesadaran tubuh dan fleksibilitas citra tubuh yang menyatakan
bahwa semakin besar kesadaran tubuh, maka semakin besar juga fleksibilitas citra
tubuh.
Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh Linde et al (2015) menunjukkan
bahwa konseling berbasis penerimaan berhasil memperbaiki disfungsional citra
tubuh pada perempuan dengan gangguan dismorfik tubuh. Penelitian tentang
efektivitas ACT terhadap flesibilitas citra tubuh sejalan dengan penemuan ini.
Hasil penelitian yang dilakukan Selby (2011) menemukan bahwa ACT efektif
dalam meningkatkan flesibilitas dan ketidakpuasan citra tubuh. Dalam penelitian
ini menemukan bahwa ACT adalah konseling yang memberikan kontrol aktif

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
51

pada penanganannya dan tindak lebih lanjut. Hasilnya sama-sama konsisten


menunjukan ACT dapat menyebabkan peningkatan fleksibilitas citra tubuh.
Pada penelitian yang dilakukan Fogelkvist et al (2020) ACT
mengkonseptualisasikan gangguan mental sebagai proses yang berasal dari respon
yang tidak flesibel terhadap pikiran, perilaku, emosi dan penghindaran
pengalaman internal yang tidak menyenangkan. Konsekuensi dari penghindaran
pengalaman adalah perilaku yang menyempit dan ACT bertujuan untuk
memperluas fleksibilitas psikologis seseorang. Flesibilotas psikologis merupakan
kapasitas untuk berpartisipasi dalam situasi yang sadar sepenuhnya dan
berkomitmen pada perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai seseorang. Hal ini
sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Habibollahi dan Soltanizadeh
(2016) yang menemukan bahwa ACT secara signifikan mampu mengurangi
ketidakpuasan citra tubuh dan ketakutan akan penilaian negatif. Forman, et al.,
(2009) juga menunjukan bahwa ACT membantu mengurangi rasa malu dan malu
yang terkait dengan kelebihan berat badan.
Selanjutnya, dalam penelitian yang dilakukan oleh Dehbaneh (2019),
mengemukakan konsep ACT memiliki enam prinsip inti, yaitu, penerimaan,
defusi kognitif, diri sebagai konteks, kontak dengan saat ini, nilai-nilai, dan
tindakan berkomitmen, yang membantu klien mencapai fleksibilitas psikologis.
Prinsip-prinsip ini mempengaruhi fungsi bahasa, yang saling terkait, dan
mempengaruhi satu sama lain untuk meningkatkan fleksibilitas psikologis. Dari
perspektif ini, pengalaman terdistorsi dari emosi yang tidak menyenangkan
menyebabkan pasien terlibat dalam perilaku bermasalah yang dirancang untuk
menghindari atau melemahkan emosi yang tidak menyenangkan itu. Ketika
tindakan individu berdasarkan pemikiran tentang ketidakpuasan citra tubuh, ia
terintegrasi dengan isi pemikiran itu, dan kepercayaan dismorfik tubuh akan
berkembang. Teknik konseling penerimaan dan komitmen (ACT) berusaha untuk
mengurangi integrasi konseptual ini. Ketika integrasi konseptual menurun,
individu dapat meredakan isi pikirannya. Teknik defusi kognitif membantu klien
untuk melihat pikiran sebagai pikiran, perasaan sebagai perasaan, dan ingatan
sebagai ingatan, dan persepsi fisik sebagai persepsi fisik saja. Selain itu, ACT

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
52

mengajarkan klien melalui defusi kognitif untuk melihat peristiwa internal


sebagaimana adanya, bukan sebagai peristiwa yang dikatakan mereka, dan ini
menghasilkan penerimaan yang lebih baik.

F. Konseling Penerimaan Diri dan Komitmen Untuk Meningkatkan


Penerimaan Diri pada Remaja dengan Citra Tubuh Negatif
Penerimaan diri merupakan suatu tingkatan kesadaran idividu tentang
karakteristik pribadinya yang mempunyai kemauan untuk hidup dengan keadaan
tersebut, hal ini berarti individu tersebut memiliki pengetahuan tentang dirinya
sendiri sehingga menerima kelebihan dan kelemahannya (Cooper, 2003).
Penerimaan diri salah satunya dipengaruhi oleh kemampuan remaja dalam
menerima kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya termasuk kondisi
fisiknya yang kemudian dikombinasikan dengan apresiasi atas dirinya secara
keseluruhan (Oktaviani, 2019). Penerimaan diri terhadap kondisi fisik merupakan
kondisi dimana seseorang dapat mencintai dirinya, mencintai fisiknya tanpa batas
apapun dan dapat menerima keadaan dirinya apa adanya tanpa terus-menerus
mengkritik dirinya (Permatasari, 2012).
Penerimaan diri memiliki posisi yang penting dalam pembentukan
kepribadian yang sehat, karena orang yang tidak mencintai dan menerima dirinya
memiliki kecenderungan untuk tidak juga mencintai dan menerima orang lain
(Flett & Davis, 2003). Penerimaan diri juga merupakan ciri utama kesehatan
mental dan juga sebagai karakteristik utama dalam aktualisasi diri. Penerimaan
diri yang baik ditandai dengan kemampuan menerima diri apa adanya dan
memungkinkan seseorang untuk bersikap positif terhadap dirinya sendiri dan
kehidupan yang dijalaninya (Walimsyah, 2019).
Kurangnya penerimaan diri dapat menyebabkan tingginya tingkat depresi
pada individu (Scott, 2007). Selain itu individu yang mempunyai penerimaan diri
yang rendah akan mudah putus asa, selalu menyalahkan dirinya, malu, rendah diri
akan keadaannya, merasa tidak berarti, merasa iri terhadap keadaan orang lain,
sulit membangun hubungan positif dengan orang lain dan tidak bahagia (Flett &
Davis, 2003). Kesenjangan antara keadaan diri yang diharapkan dengan yang

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
53

sebenarnya terjadi menjadi salah satu penyebab seseorang tidak mampu menerima
dirinya (Bernard, 2013). Saat ini, hanya sedikit remaja yang mampu menerima
kenyataan yang sebenarnya tentang perubahan yang terjadi pada dirinya khusunya
perubahan fisiknya, sehingga mereka tidak puas dengan penampilannya (Vander
Wl, 2011). Ketidakpuasan yang berlebih terhadap bentuk dan kondisi tubuhnya
dapat menyebabkan seseorang memiliki citra tubuh negatif, mengalami
kecemasan yang tinggi dan hambatan sosial (Cash & Pruzinsky, 2002). Citra
tubuh negatif sangat berkaitan dengan salah satu gangguan psikologis yang
disebut dengan Body Dysmorphic Disorder (BDD), yang disebabkan oleh
penerimaan diri yang rendah sehingga individu mengalami ketidakpuasan
terhadap dirinya (Sarwer, et al., 1998). Selain itu, citra tubuh negatif berimbas
pada distorsi bentuk tubuh yang lebih parah seperti gangguan makan, bulimia dan
anoreksia (Hartmann, et al., 2013).
Beberapa individu yang memiliki penerimaan diri rendah atau bahkan
tidak memiliki penerimaan diri mungkin tidak dapat menerima pikiran, perasaan,
ingatan dan sensasi tubuhnya tentang kejadian atau pengalaman yang tidak
diinginkan, sehingga mereka cenderung menghindar dan melalukan perilaku
tertentu yang menyimpang (Lanza, et al., 2014). Konseling penerimaan dan
komitmen memandang bahwa ketika individu menghindar atau melarikan diri dari
kejadian atau peristiwa internal seperti pikiran perasaan, kenangan, atau sensasi
tubuhnya, hal itu dapat menyebabkan kerusakan pada keadaan psikologisnya.
Karena pada dasarnya tidak ada pembelajaran baru yang berlangsung ketika
seseorang terus melakukan penghindaran dan penerimaan, sebaliknya ketakutan
akan terus mendominasi pada diri seseorang (Wilson, et al., 2001). Pada dasarnya,
memiliki pikitan yang tidak menyenangkan dan merasakan perasaan yang tidak
menyenangkan juga termasuk sehat secara psikologis, sama halnya dengan
memiliki pikiran dan meraakan perasaan yang menyenangkan. Keduanya
memberikan individu akses penuh untuk memperkaya pengalaman individual
yang unik (Hayes, et al., 2012).
Kemampuan untuk dapat secara sadar memaknai pikiran dan perasaan
tanpa ikut didikte oleh pikiran dan perasaan tersebut disebut sebagai fleksibilitas

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
54

psikologis. Yang secara khusus fleksibilitas psikologis ini mampu membuat


seseorang terhubung dengan momen saat ini dan bertindak sesuai dengan nilai-
nilai yang ada pada dirinya (Hayes, et al., 2006). Hilangnya fleksibilitas
psikologis ini disebut dengan kekakuan psikologis atau infleksibilitas psikologis.
Infleksibilitas psikologis terjadi ketika proses kognitif atau verbal cenderung
mempersempit sumber daya individu dalam area-area penting dalam
kehidupannya termasuk banyak melakukan penghindaran. Pada akhirnya,
infleksibilitas psikologis mencegah seseorang beradaptasi dengan pengalaman
internal seperti pikiran, perasaan ingatan dan sensasi tubuh dan juga pengalaman
eksternal mereka (Hayes, et al., 2012).
Konseling Penerimaan dan Komitmen adalah pendekatan konseling
perilaku yang menggunakan proses penerimaan dan kesadaran, serta proses
komitmen dan perubahan perilaku, untuk menghasilkan fleksibilitas psikologis
yang lebih besar (Hayes & Strosahl, 2004). Melalui konseling ACT ini, konseli
akan belajar bagaimana menerima pikiran dan perasaan mereka yang sebelumnya
mungkin tidak diterima dan telah dicoba untuk menolaknya. Selain penerimaan,
komitmen untuk bertindak juga merupakan proses yang penting, karena
melibatkan konseli untuk membuat keputusan sadar tentang apa yang penting
dalam hidupnya (Hayes & Strosahl, 2004).
Konseling Penerimaan dan Komitmen (ACT) terbukti efektif menangani
masalah terkait dengan penerimaan diri dan citra tubuh. Karena ACT dianggap
mampu menurunkan tingkat kecemasan terkait dengan ketidakpuasan terhadap
tubuh dan meningkatkan penerimaan terhadap kondisi tubuh (Pearson, et al.,
2010). Fleksibilitas psikologis sangat berhubungan positif dengan fleksibilitas
citra tubuh (Sandoz, et al., 2013). Fleksibilitas citra tubuh didefinisikan sebagai
kapasitas untuk mengalami dan memahami persepsi, sensasi, perasaan, pikiran,
dan keyakinan yang terkait dengan tubuh seseorang secara penuh dan sambil
mengejar nilai-nilai yang ada pada dirinya. Fleksibilitas citra tubuh ini sangat
penting karena seseorang yang memiliki fleksibilitas citra tubuh akan memiliki
kemampuan untuk mengalami ketidakpuasan tubuh dan pengalaman internal lain
yang relevan secara penuh dan terbuka tetapi tetap berperilaku adaptif dalam nilai-

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
55

nilai dan konsisten (Lee, et al., 2017). Terdapat 6 proses inti dari konseling
penerimaan dan komitmen (ACT) yang berkontribusi langsung terhadap
pembentukan fleksibilitas psikologis dan fleksibilitas citra tubuh, yaitu:
mengembangkan penerimaan dan kesediaan, defuse kognitif atau memecahkan
fusi kognitif, kontak atau terhubung dengan momen saat ini, diri sebagai konteks,
mendefinisikan arah nilai diri dan membangun komitmen untuk bertindak.
Keenam proses ini seluruhnya difasilitasi dalam ACT (Hayes, et al., 2006).
Fokus segi klinis dari konseling penerimaan dan komitmen (ACT) adalah
melemahkan fungsi kognitif yang menguasai dan mengarahkan individu pada
perilaku menghindar dan membangun konteks alternative yang memungkinkan
munculnya perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai individu. Konseling
penerimaan dan komitmen (ACT) membantu individu untuk merasakan dan
memikirkan apa yang memang mereka rasakan dan pikirkan sebagaimana mereka
adalah pikiran dan perasaan semata, bukan sebagai apa yang dikatakan pikiran
dan perasaan. Ketika individu dapat mengambil jarak antara pikiran dan
perasaannya, konseling penerimaan dan komitmen (ACT) kemudian membantu
individu untuk menghadapi kehidupannya kearah yang lebih bermakna
berdasarkan nilai-nilai dengan mengikutsertakan juga semua pengalaman dan
reaksi otomatis dari individu (Hayes, et al., 2004).
Konseling penerimaan dan komitmen (ACT) memanfaatkan pekerjaan
rumah dan latihan perilaku sebagai cara yang dapat dilakukan untuk membuat
tindakan yang efektif yang akan membantu konseli hidup dengan nilai-nilai
mereka sesuai dengan kebiasaan yang dianutnya. Misalnya dengan bentuk
pekerjaan rumah yang diberikan kepada konseli dengan meminta mereka
menuliskan tujuan hidupnya dan aspek nilai yang mereka anut dalam berbagai
aspek kehidupan yang dijalani. ACT memungkinkan pengalaman individu itu
datang dan pergi, sementara individu tersebut juga mengejar kehidupan yang
bermakna menurut mereka (Hayes, et al., 2006).

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-
-
-
www.lib.umtas.ac.id
56

Perpustakaan Universitas Muhammadiyah Tasikmalaya


-
-

Anda mungkin juga menyukai