Regulasi Emosi Kel 10
Regulasi Emosi Kel 10
REGULASI EMOSI
Kelompok 10
BK C Reguler 2021
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNya sehingga makalah
ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami mengucapkan terimakasih kepada ibu dosen
pengampu yang membimbing kami dalam menulis makalah kami dan teman teman kelompok
yang turut ikut serta dalam membuat makalah ini.
Kami berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi. Sehingga untuk kedepannya sanggup memperbaiki
bentuk maupun tingkatan isi makalah sehingga menjadi makalah yang memiliki wawasan yang
luas dan lebih baik.
Kemudian, kami kelompok menyadari bahwasanya makalah ini masih jauh dari kata
sempurna baik dari segi susunan materi maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami terbuka
untuk menerima segala masukan dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sehingga
kami bisa melakukan perbaikan makalah ini sehingga menjadi makalah yang baik dan benar.
Kelompok 10
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Emosi memegang peranan penting dalam kehidupan manusia. Emosi merupakan daya
terampuh yang dimiliki manusia sehingga dapat memberikan warna kepada kepribadian
seseorang. Namun, emosi dengan berjalannya waktu dan pengalaman sehari-hari akan
mengalami dinamika atau perubahan. Setiap manusia memiliki emosi, memberinya identitas
dan belajar adanya perubahan perasaan yang memengaruhi perilaku. Dalam berperilaku
manusia tidak lepas dari emosi yang membentuk perilaku tersebut. Bagaimana individu
mendefinisikan emosi, seberapa penting individu memandangnya, bagaimana individu
mengelolanya, merasakannya, menerimanya dan mengekspresikannya, setiap orang adalah
berbeda dan unik. Inidividu yang mampu memahami emosi yang dialami dan dirasakan akan
lebih mampu mengelola emosinya secara positif (Safaria dan Saputra, 2012, h.14).
Menurut Yusuf (dalam Zahara dan Fadhila, 2013) kematangan emosi adalah
kemampuan individu untuk bersikap toleran, mempunyai kontrol diri sendiri, merasa
nyaman, perasaan mau menerima dirinya dan orang lain, serta mampu menyatakan emosinya.
Salah satu kematangan emosi adalah bagaimana seseorang memiliki regulasi emosi yang
baik. Kemampuan individu dalam meregulasi emosi menjadi salah satu kekuatan dalam
menghadapi lingkungan dan membuat individu merasa diterima secara sosial. Kemampuan
individu dalam meregulasi emosi juga akan mendukung individu tersebut menyelesaikan
masalah-masalahnya. Regulasi emosi yang dimaksud fokus pada kemampuan individu dalam
penyesuaian diri mengatur dan mengekspresikan emosi dan perasaan dalam kehidupan
seharihari melalui sikap dan perilakunya, seperti proses dalam beradaptasi dan merespon
terhadap lingkungan sosial disekitarnya. Berdasarkan hal ini, penulis membahas topik
mengenai “Regulasi Emosi”
B. Rumusan Masalah
1. Apa itu regulasi emosi?
2. Apa itu kemampuan regulasi emosi yang baik dan ketidakmampuan meregulasi emosi?
3. Bagaimana tanda tanda keadaan sejahterah?
1
C. Tujuan
1. Regulasi emosi
2. Kemampuan regulasi yang baik dan ketidakmampuan beregulasi emosi
3. Tanda tanda keadaan sejahterah
2
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian emosi
Emosi merupakan gambaran dari pikiran, perasaan dan atau gerakan fisik yang dapat
diasumsikan sebagai makna yang terasosiasi dan tersimbolkan sebagai gerakan mental individu
yang bersifat otomatis, berkembang dan berubah secara sadar. Beberapa pembahasan berikut,
mencoba memperjelas pengertian emosi secara detail melalui sifat dan proses terbentuknya
1. Emosi bersifat selalu berkembang dan berubah dari pengalaman subjektif, perilaku dan
3. Emosi bersifat ekspresi otomatik baik berupa mimik, raut muka, vocal, maupun gerak
tubuh dalam merespon sesuatu. Respon emosi bersifat total tidak dibedakan berdasarkan
4. Proses emosi diawali dengan kondisi contagion-dyadic. Contagion adalah sebuah proses
emosi yang terjadi secara otomatik dan dibawah sadar yang dapat memengaruhi perilaku, dan
kecenderungan emosi tertentu. Sedangkan dyadic adalah proses interaksi yang menimbulkan
5. Proses kejadian contagion ini berlangsung secara dyadic dengan siklus yang
berkelanjutan dan berkesinambungan (Hatfield, Cacioppo, dan Rapson, dalam Rampala. 2008).
3
Jenis dan pembagian emosi secara umum dapat dirinci sebagaimana berikut; marah,
kecemasan, ketakutan, senang, sedih, jijik, cemburu - iri, berani, cinta, dan malu. Menurut
McGilloway (2000) ada 5 katagori emosi awal yang melekat secara otomatis dalam sistem diri
seseorang, yaitu; perasaan takut, senang, netral, sedih dan marah. Lebih khusus, Strapparava,
Carlo & Rada Mihalcea (2007) melalui metode pengidentifikasian emosi dalam bentuk teks
(emosi tertulis), telah menemukan adanya enam dasar emosi, yaitu; marah, jijik, takut, nyaman,
sedih, dan terkejut. Sebenarnya, masih ada pembagian emosi yang bersifat memperbandingkan
dalam dua dimensi atau lebih, di antaranya adalah emosi positif (cinta dan nyaman) dan emosi
negatif (marah, sedih dan takut). Dikotomi pembagian ini sebenarnya juga beracuan pada
dimensi yang multiperspektif. Misalnya dalam perspektif emosi vs kognisi, pengalaman emosi
vs ungkapan emosi (Strongman, 2006), proses organisasi kognisi maupun tidak, secara pasif
maupun aktif, adaptif vs maladaptif, emosi sadar (conscious emotions) vs emosi tidak sadar
(unconscious emotions)
Menurut Plutchik (2002) bahwa suatu emosi dapat berproses secara dyadic dan berperan
secara intensif dan adaptif terhadap diri seseorang yang diistilahkan dengan roda emosi
Plutchik (Plutchik's Wheel of Emotions). Sebagai contoh adalah emosi takut dan berharap.
Takut merupakan emosi dasar yang berada diantara perasaan cemas dan terror. Rasa takut
(fear) dapat terjadi dikarenakan keinginan untuk mempertahankan diri (survival) secara fisik
(Strongman, 2006). Sedangkan perasaan berharap (hope) menurut Snyder (dalam Boniwell,
2009) merupakan bentuk perasaan optimistis yang mempresentasikan kemampuan diri dalam
memahami sesuatu yang diinginkan, memikirkan cara mencapainya, dan melakukannya secara
kontinue. Demikian juga dengan perasaan sedih, marah percaya, dan seterusnya.
4
Usaha individu tersebut bertujuan untuk memperoleh keselarasan dan keharmonisan antara
tuntutan dalam diri dengan apa yang diharapkan oleh lingkungan. Sedangkan menurut Calhoun
& Acocella (1990) penyesuaian diri merupakan interaksi yang berkelanjutan dengan diri
sendiri, yaitu apa yang telah ada pada diri setiap individu mengenai tubuh, perilaku, pemikiran,
serta perasaaan terhadap orang lain dan dengan lingkungan sekitar.
Mappiare (1982) mengatakan bahwa penyesuaian diri merupakan suatu usaha yang
dilakukan seorang individu agar dapat diterima suatu kelompok dengan cara mengikuti
kemauan kelompok tersebut. Begitupun menurut Haber dan Runyon (1984) menyatakan bahwa
penyesuaian diri merupakan proses dinamis yang bertujuan untuk mengubah tingkah laku
individu agar terjadi hubungan yang lebih sesuaiantara diri individu dan lingkungannya.
Hurlock (2008) menjelaskan bahwa penyesuaian diri secara lebih umum, yaitu apabila
seseorang mampu menyesuaikan diri terhadaporang lain secara umum ataupun terhadap
kelompoknya, dan individu memperlihatkan sikap serta tingkah laku yang menyenangkan
berarti individu diterima oleh kelompok atau lingkungannya.
Dengan kata lain, orang itu mampu menyesuaikan sendiri dengan baik terhadap
lingkungannya. Berdasarkan definisi yang di paparkan diatas dapat disimpulkan dengan
keseluruhan bahwa penyesuaian diri adalah suatu proses dan hasil individu menghadapi
berbagai situasi dalam lingkungan hidupnya dalam konsep psikologi juga dapat diamati secara
luas serta melibatkan reaksi individu terhadap tuntuan baik dari lingkungan luar maupun dari
dalam diri individu.
Regulasi emosi adalah kapasitas untuk mengkontrol dan menyesuaikan emosi yang
timbul pada tingkat intensitas yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi emosi yang
tepat meliputi kemampuan untuk mengatur perasaan, reaksi fisiologis, kognisi yang
berhubungan dengan emosi dan reaksi yang berhubungan dengan emosi (Shaffer, 2005).
Sementara itu, menurut Wilson (1999) regulasi emosi adalah kemampuan untuk menghalangi
perilaku tidak tepat akibat kuatnya intensitas emosi positif atau negatif yang dirasakan, dapat
menenangkan diri dari pengaruh psikologis yang timbul akibat intensitas yang kuat dari emosi,
dapat memusatkan perhatian kembali dan mengorganisir diri sendiri untuk mengatur perilaku
yang tepat untuk mencapai suatu tujuan. Kemudian Gross dan Jhon (2003) mengatakan regulasi
emosi adalah kemampuan individu untuk menyadari atau tidak menyadari dalam mengatur
pikiran dan perilakunya dalam emosi yang berbeda, baik emosi yang positif maupun emosi
5
yang negatif. Adanya regulasi emosi yang baik akan membuat seseorang mampu berpikir
positif, menerima permasalahan, menyelesaikan masalah dan tidak terikat akan permasalahan
yang ada (Hoeksema, 2012).
Berdasarkan penjelasan dari beberapa tokoh tersebut dapat disimpulkan bahwa regulasi
emosi yaitu suatu strategi yang mencakup pikiran yang disadari dan tidak disadari untuk
mengkontrol dan menyesuaikan emosi yang muncul pada tingkat intensitas yang tepat untuk
mencapai suatu tujuan yang meliputi kemampuan mengatur perasaan, reaksi fisiologis, cara
berpikir seseorang dan respon emosi serta dengan cepat menenangkan diri setelah kehilangan
kontrol atas emosi yang dirasakan.
Gross (1998) mengemukakan bahwa tujuan dari regulasi emosi sendiri bersifat spesifik
tergantung keadaan yang dialami seseorang. Sebagai contoh, pada suatu situasi seseorang
menahan emosi takutnya agar ketakutannya tersebut tidak dimanfaatkan orang lain. Dalam
situasi yang lain, seseorang dapat dengan sengaja menaikan rasa marahnya untuk membuat
orang lain merasa takut. Cukup sulit untuk mendeteksi tujuan dari regulasi emosi pada tiap
individu, namun satu hal yang dapat disimpulkan adalah bahwa regulasi emosi berkaitan
dengan mengurangi dan menaikkan emosi negatif dan positif. Emosi positif dan emosi negatif
ini muncul ketika individu yang memiliki tujuan berinteraksi dengan lingkungannya dan orang
lain. Emosi positif muncul apabila individu dapat mencapai tujuannya dan emosi negatif
muncul bila individu mendapatkan halangan saat akan mencapai tujuannya. Hal yang termasuk
emosi positif diantaranya adalah senang dan gembira, sedangkan yang tergolong emosi negatif
diantaranya adalah marah, takut dan sedih.
a. Self blame disini mengacu kepada pola pikir menyalahkan diri sendiri. Beberapa penelitian
menemukan bahwa self blame berhubungan dengan depresi dan pengukuran kesehatan lainnya.
b. Blaming others mengacu pada pola pikir menyalahkan orang lain atas kejadian yang
menimpa dirinya.
c. Acceptance adalah mengacu pada pola pikir menerima dan pasrah atas kejadian yang
menimpa dirinya. Acceptance merupakan strategi coping yang memiliki hubungan yang positif
dengan pengukuran keoptimisan dan self esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan
pengukuran kecemasan.
6
d. Refocus on planning mengacu pada pemikiran terhadap langkah apa yang harus diambil
dalam menghadapi peristiwa negatif yang dialami. Perlu diperhatikan kalau dimensi ini hanya
pada tahap kognitif saja, tidak sampai kepelaksanaan. Refocusing on planning merupakan
strategi coping yang memiliki hubungan yang positif dengan pengukuran keoptimisan dan self
esteem dan memiliki hubungan yang negatif dengan pengukuran kecemasan.
Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal penting yang terkait dengan regulasi
emosi, yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing). Individu yang mampu mengelola
kedua hal tersebut, dapat mengontrol meredakan emosi yang ada, memfokuskan pikiranpikiran
yang mengganggu dan mengurangi stress. Pada pendekatan perilaku menjelaskan bahwa
ekspresi emosi dapat dikurangi terutama pada ekspresi emosi negatif dengan melakukan
perubahan fisiologis (Gross & John, 2003).
Menurut Gross dan Thompson (2007) Strategi regulasi emosi terdiri dari dua macam, yaitu:
7
pengalaman emosi negative dan lebih sering menunjukkan mengekspresikan emosi
negative sekaligus sering mengalami emosi negative.
Gross dan Thompson (2006) mengemukakan bahwa ada lima hal yang mempengaruhi
proses regulasi emosi pada individu diantaranya :
1. Situational selection, merupakan suatu tindakan dari proses regulasi dimana individu
memilih untuk mendekati atau menghindari situasisituasi tertentu dari dampak emosional
seseorang agar emosi yang di ekspresikan sesuai dengan apa yang diharapkan. Tujuannya
adalah untuk meminimalisir atau memaksimalkan ekspresi dari emosi yang dirasakan. Proses
ini termasuk ke dalam strategi cognitive reappraisal.
4. Cognitive change adalah bentuk regulasi emosi yang dilakukan dengan merubah
pemahaman atau penilaian dari individu terhadap makna emosional, dengan mengubah cara
berpikir tentang situasi itu sendiri. Proses ini termasuk ke dalam stategi cognitive reappraisal.
5. Response modification merupakan regulasi emosi yang dilakukan karena emosi sudah
muncul dan mempengaruhi kognitif serta fisik dari individu. Biasanya proses ini merupakan
suatu usaha seseorang dalam membuat perubahan pada respon emosi yang berfokus untuk
mengatur fisiologis dan pengalaman emosi. Proses ini termasuk ke dalam stategi expressive
suppression. Dari lima tahapan proses regulasi emosi tersebut maka diketahui bahwa yang
termasuk dalam strategi cognitive reappraisal adalah situational selection, situational
modification, attentional deployment, dan cognitive change. Strategi expressive suppression
adalah proses regulasi emosi yang berfokus pada pengelolaan yang terjadi setelah respon
digeneralisasi.
8
C. Aspek Aspek Regulasi Emosi
Aspek-aspek kemampuan regulasi emosi menurut Thompson (dalam Gross, 1998) terdiri
dari:
Reivich dan Shatte (2002). mendefinisikan regulasi emosi sebagai kemampuan untuk
tenang di bawah tekanan. Lebih lanjut Reivich dan Shatte (2002) mengemukakan dua hal
penting yang terkait dengan regulasi emosi yaitu ketenangan (calming) dan fokus (focusing),
9
individu yang mampu mengelola kedua keterampilan ini dapat membantu meredakan emosi
yang ada, memfokuskan pikiran-pikiran yang mengganggu dan mengurangi stres.
Individu yang memiliki kemampuan regulasi emosi dapat mengelola keadaan dirinya
ketika sedang kesal sehingga dapat mengatasi suatu masalah yang sedang dihadapinya.
Individu yang memiliki regulasi emosi yang baik maka akan mampu megelola emosinya
sehingga dapat menahan diri untuk melakukan hal-hal yang dapat menyakiti orang lain atau
tindakan bullying.
Thompson, mengatakan bahwa regulasi emosi terdiri dari proses intrinsik dan
ekstrinsik yang bertanggung jawab untuk mengenal, memonitor, mengevaluasi dan membatasi
respon emosi khususnya intensitas dan bentuk reaksinya untuk mencapai suatu tujuan. Regulasi
emosi yang efektif meliputi kemampuan secara luas mengelola emosi sesuai dengan tuntutan
lingkungan.
Regulasi emosi atau pengendalian emosi terjadi pada situasi tertentu, terutama jika
emosi yang muncul lebih ringan. Hal ini berarti bahwa emosi yang muncul dapat diatur atau
dihentikan sebelum melakukan aksi. Menurut Liz Kessler, pengendalian emosi merupakan
belajar melakukan meditasi. Selain itu jika merasa tertekan atau gelisah, pusatkan perhatian
pada napasmu, terimalah apa yang saat ini kamu rasakan dan percayalah bahwa baik masalah
yang membuatmu stress maupun reaksi fisik atau emosimu itu tidak ada yang tidak akan
berakhir.
- Menurut Gross, ada empat aspek yang digunakan untuk menentukan kemampuan
regulasi emosi seseorang yaitu :
a. Strategies to emotion regulation (strategies) yaitu keyakinan individu untuk dapat
mengatasi suatu masalah, memiliki kemampuan untuk menemukan suatu cara yang
dapat mengurangi emosi negatif dan dapat dengan cepat menenangkan diri kembali
setelah merasakan emosi yang berlebihan.
10
b. Engaging in goal directed behavior (goals) yaitu kemampuan individu untuk tidak
terpengaruh oleh emosi negatif yang dirasakannya sehingga dapat tetap berpikir dan
melakukan sesuatu dengan baik.
c. Control emotional responses (impulse) yaitu kemampuan individu untuk dapat
mengontrol emosi yang dirasakannya dan respon emosi yang ditampilkan (respon
fisiologis, tingkah laku dan nada suara), sehingga individu tidak akan merasakan emosi
yang berlebihan dan menunjukkan respon emosi yang tepat.
d. Acceptance of emotional response (acceptance) yaitu kemampuan individu untuk
menerima suatu peristiwa yang menimbulkan emosi negatif dan tidak merasa malu
merasakan emosi tersebut.
Dari aspek-aspek yang diungkapkan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek regulasi
emosi merupakan kemampuan subjek untuk menyadari dan memahami, mengelola dan
memodifikasi emosi serta mampu mengatasi, mengontrol dan menerima emosi yang negatif
sehingga mampu untuk memotivasi diri dan tidak terpengaruh dan tetap dapat melakukan
sesuatu dengan baik.
Menurut Coon, ada beberapa faktor yang mempengaruhi kemampuan regulasi emosi
seseorang, yaitu:
a. Usia
Penelitian menunjukkan bahwa bertambahnya usia seseorang dihubungkan dengan
adanya peningkatan kemampuan regulasi emosi, dimana semakin tinggi usia seseorang
semakin baik kemampuan regulasi emosinya. Sehingga dengan bertambahnya usia
seseorang menyebabkan ekspresi emosi semakin terkontrol. Dari penjelasan di atas
dapat diambil kesimpulan bahwasanya lansia memiliki kemampuan regulasi emosi
yang semakin baik.
b. Jenis Kelamin
Beberapa penelitian menemukan bahwa laki-laki dan perempuan berbeda dalam
mengekspresikan emosi baik verbal maupun ekspresi wajah sesuai dengan gendernya.
Perempuan lebih mengekspresikan emosi untuk menjaga hubungan interpersonal serta
11
membuat mereka tampak lemah dan tidak berdaya. Sedangkan laki-laki lebih
mengekspresikan marah dan bangga untuk mempertahankan dan menunjukkan
dominasi. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa wanita lebih dapat melakukan regulasi
terhadap emosi marah dan bangga, sedangkan laki-laki pada emosi takut, sedih dan
cemas.
c. Religiusitas
Setiap agama mengajarkan seseorang diajarkan untuk dapat mengontrol emosinya.
Seseorang yang tinggi tingkat religiusitasnya akan berusaha untuk menampilkan emosi
yang tidak berlebihan bila dibandingkan dengan orang yang tingkat religiusitasnya
rendah.
d. Kepribadian
Orang yang memiliki kepribadian seperti moody, suka gelisah, sering merasa cemas,
panik, harga diri rendah, kurang dapat mengontrol diri dan tidak memiliki kemampuan
mengontrol emosi yang efektif terhadap stres akan menunjukkan tingkat regulasi emosi
yang rendah.
e. Pola Asuh
Beberapa cara yang dilakukan orang tua dalam mengasuh anak dapat membentuk
kemampuan anak untuk meregulasi emosinya. Di antaranya melalui pendekatan tidak
langsung dalam interaksi keluarga (antara anak dengan orang tua), teknik pengajaran
(teaching), dan pelatihan (coaching).
f. Budaya
Norma atau belief yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat
mempengaruhi cara individu menerima, menilai suatu pengalaman emosi, dan
menampilkan suatu respon emosi. Dalam hal regulasi emosi apa yang dianggap sesuai
atau culturally permissible dapat mempengaruhi cara seseorang berespon dalam
berinteraksi dengan orang lain dan dalam cara ia meregulasi emosi.
12
Merupakan seberapa sering individu melakukan regulasi emosi dengan berbagai cara
yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan.
Menurut Hurlock, ada beberapa faktor yang mempengaruhi regulasi emosi. Faktor-faktor
tersebut adalah:
a. Usia
Menurut tugas perkembangannya usia remaja memiliki kemampuan kognitif dapat
melakukan penalaran analogis dan berpikir kreatif, sehingga mampu membedakan
mana yang baik dan mana yang buruk.
b. Kognitif
Bentuk informasi yang didapat mampu mengubah persepsi yang dimiliki, sehingga cara
berpikir berubah menjadi positif ketika mendapatkan informasi yang benar.
d. Budaya
Budaya yang terdapat dalam kelompok masyarakat tertentu dapat mempengaruhi cara
individu menerima dan menilai suatu pengalaman emosi, dan menampilkan suatu
respon emosi.
13
E. Ketidakmampuan Meregulasi Emosi
Regulasi emosi telah secara luas didefinisikan sebagai proses dimana individu dapat
mengontrol dan mempengaruhi emosi yang mereka miliki, ketika mereka memilikinya, dan
bagaimana mereka mengalami dan mengungkapkan emosi mereka dengan baik. Saat individu
tidak dapat melakukan segala hal itu dengan baik, seorang individu akan disebut memiliki
disregulasi emosi yang mana hal ini berhubungan langsung dengan beberapa permasalahan
psikopatologis (Gratz & Roemer, 2004 ; Joormann & Tanovic, 2015; Velotti & Garofalo,
2015). Disregulasi emosi didefinisikan sebagai tidak menerima emosi yang ada saat ini,
mengalami kesulitan memodulasi respon emosional, keterbatasan tentang emosi yang
dirasakan saat itu, kurangnya strategi dalam meregulasi emosi, tidak mampu menjelaskan
emosi yang sedang dirasakan (Lavender, et.al., 2017).
Kesulitan dalam pengaturan emosi yang dimaksud adalah saat seseorang sulit
menerima respon emosi yang ada, baik itu emosi negatif ataupun positif termasuk tidak
menerima respons emosional (tidak menerima). Seseorang juga dinilai memiliki masalah
disregulasi emosi saat kesulitan mengarahkan perilaku pada tujuan hal ini dimaksudkan saat
individu memiliki tujuan atau kegiatan tertentu namun ia tidak dapat tetap fokus pada tujuan
tersebut karena permasalahan emosional, kesulitan mengendalikan impuls, kurangnya
kesadaran emosional, akses terbatas ke strategi regulasi emosi cenderung mengungkapkan
emosi yang salah dan merugikan, dan kurangnya kejernihan emosional saat terjadi situasi atau
kejadian yang melibatkan emosi individu (Perez, et al., 2012).
Individu disebut memiliki permasalahan disregulasi emosi saat individu tidak bisa
mengontrol dan mempengaruhi emosi yang mereka miliki, serta kesulitan mengalami dan
mengungkapkan emosi mereka dengan baik, karena kedua hal tersebut berhubungan langsung
14
dengan beberapa permasalahan psikopatologis (Gratz & Roemer, 2004 ; Joormann & Tanovic,
2015; Velotti & Garofalo, 2015). Konstruk disregulasi emosi telah banyak digunakan untuk
menjelaskan beragam masalah psikopatologi. Sebagian besar teori tentang disregulasi emosi
diterapkan untuk depresi gangguan kecemasan umum, penyalahgunaan alkohol atau zat,
melukai diri sendiri, bunuh diri gangguan makan, dan gangguan kepribadian borderline (Velotti
& Garofalo, 2015 ; Young et al., 2019).
Gratz dan Roemer (2004) mendefinisikan regulasi emosi sebagai langkah dalam
melibatkan kesadaran dan kemandirian emosi, penerimaan emosi, kemampuan untuk 5
mengendalikan perilaku impulsif dan berperilaku sesuai dengan yang diinginkan sesuai tujuan
awal sebelum mengalami peristiwa atau situasi yang emosional, baik emosi negatif atau emosi
positif. Ketika seseorang mengalami emosi negatif ataupun positif yang berlebihan,
kemampuan yang dimiliki dalam meregulasi emosi, dapat menjadi strategi pengaturan emosi
yang sesuai situasi secara fleksibel untuk memodulasi respon emosional yang diinginkan untuk
memenuhi individu tujuan dan tuntutan situasional (Young et al., 2019; Luberto et al., 2013).
Teori disregulasi emosi semakin banyak diterapkan untuk gangguan anak dan remaja,
serta psikopatologi dewasa. Keterampilan pengaturan emosi berkembang secara substansial di
seluruh remaja, suatu periode yang ditandai oleh tantangan emosional dan mengembangkan
sirkuit saraf regulasi (Young et al., 2019). Masa remaja juga merupakan periode risiko untuk
timbulnya kecemasan dan gangguan depresi baru, psikopatologi yang telah lama terkait dengan
gangguan dalam regulasi emosi positif dan negatif (Marcjzak & Ancjzyak , 2019 ; Young et
al., 2019 ; Zinbarg et al., 2010 ; Burdick, 2014).
Komponen disregulasi emosi tersebut muncul dari fakor intrinsik dalam hal ini biologis,
serta faktor eksterinsik dalam hal ini adalah pengalaman hidup. Pengalaman hidup yang kacau
dan penuh dengan tekanan seperti pola pengasuhan yang bermasalah atau pelecehan seksual
pada masa kanak akan memunculkan trauma dan akan membawa pengaruh yang negatif serta
meningkatkan reaktivitas emosional dan akan memiliki resiko mengalami lebih tinggi
disregulasi emosi (Bradley et al., 2011). Pengalaman buruk pada kanak-kanak akan
15
meningkatkan emosional pada individu yang mengakibatkan hilangnya kontrol dan perubahan
emosi secara cepat seiring dengan berjalannya waktu.
Dimensi disregulasi emosi menurut Gratz dan Roemer (Gratz & Roemer, 2004)
terdapat beberapa dimensi yaitu
1. Awareness, Awareness dalam hal ini dapat dikatakan kurangnya kesadaran terhadap
kesulitan regulasi emosi, dalam hal ini individu sulit mengakui emosi yang
dirasakan atau individu tidak dapat memperhatikan bagiamana perasaannya,
2. Lack of Emotional Clarity, Kurang jelas terhadap respon emosional, pada clarity
dapat digambarkan mengenai bagaimana individu tidak dapat memahami emosinya
secara jelas.
3. Non Acceptance of Emotional Respon, dalam hal ini individu mengalami kesulitan
dalam menerima emosi negatif, sehingga individu seringkali menyangkal emosi
negatif yang sedang dihadapi.
4. Limities Accsess to Emotional Regulation Strategies, dalam hal ini yaitu terbatasnya
akses terhadap strategi regulasi emosi yang efektif, individu dalam hal ini
digambarkan ketika individu sedang dalam kondisi marah tidak dapat meregulasi
emosinya secara efektif.
5. Impulse Control Difficulties, kesulitan mengendalikan impulse ini dapat diartikan
individu kesulitan dalam mengendalikan perilakunya ketika mengalami emosi
negative
6. Difficult Enganging in Goals Directed, yaitu individu sulit dalam berkonsentrasi
menyelesaikan tugas ketika mengalami emosi negatif, seperti mengalami kesulitan
konsentrasi dalam menyelesaikan tugasnya.
7.
Penyesuaian diri (adjustment) yang dilakukan manusia sepanjang hayat. Pada dasarnya
manusia ingin mempertahankan eksistensinya, sejak lahir berusaha memenuhi kebutuhannya
yaitu kebutuhan fisik, psikis dan social.Sejak kecil individu belajar bertingkah laku, tingkah
16
laku yang berhasil dalam memenuhi kebutuhannya berarti dapat menyesuaikan diri dan
mengalami keseimbangan.
Orang yang mampu menyesuaikan dirinya terhadap lingkungan sekitarnya dengan baik,
belum tentu bias dikatakan sebagai sehat secara mental. Kesehatan mental tidak hanya sekedar
dilihat dan diukur dari derajat penyesuaian diri yang tinggi saja, tapi masih ada
hal lain yang perlu diperhatikan, seperti misalnya nilai-nilai kebaikan yang dihidupi oleh orang
yang bersangkutan.
Meskipun penyesuaian diri belum dapat digunakan tolok ukur derajat kesehatan mental
seseorang, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa penyesuaian diri sampai tingkat tertentu
merupakan syarat mutlak bagi sehat tidaknya seseorang secara mental.
Gail & Seehy (Haber & Runyon, 1984) pernah melakukan penelitian terhadap kurang
lebih 60.000 orang dewasa mengenai kebahagiaan. Hasil penelitian mereka menunjukkan
adanya sepuluh tanda-tanda orang yang bias disebut dalam keadaan sehat/bahagia. Kesepuluh
tanda-tanda tersebut adalah sebagai berikut :
2. Memiliki pengalaman transisi yang penting di masa dewasa dan dapat menangani transisi
tersebut dengan cara yang tidak seperti orang kebanyakan, lebih bersifat pribadi dan kreatif.
3. Jarang merasa diperlakukan secara tidak adil atau dikecewakan oleh kehidupan.
9. Tidak melihat kritik sebagai serangan pribadi yang menurunkan harga diri
17
Penelitian tersebut menemukan bahwa kebahagiaan hidup ternyata rata-rata dicapai
pada usia pertengahan 50-an bahkan pada usia lebih tua dari itu. Perlu dicatat bahwa penelitian
tersebut dilakukan sekitar tahun 1911. Bisa saja dengan perkembangan jaman seperti sekarang,
kebahagiaan tersebut bias didapat pada usia yang lebih muda.
Masalah umum regulasi diri bisa dimulai lebih awal pada masa kecilnya seperti; seorang
bayi yang diabaikan. Seorang anak yang tidak merasa aman, atau yang tidak yakin apakah
kebutuhannya akan terpenuhi, mungkin mengalami kesulitan menenangkan dan mengatur
dirinya sendiri.
Kemudian, seorang anak, remaja, atau orang dewasa mungkin juga akan berjuang
dengan regulasi diri, baik karena kemampuan ini tidak berkembang selama masa kanak-
kanak, atau karena kurangnya strategi untuk mengelola perasaan yang sulit. Jika dibiarkan,
seiring waktu hal ini dapat menyebabkan masalah yang lebih serius seperti gangguan
kesehatan mental dan perilaku berisiko seperti penyalahgunaan zat terlarang.
18
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Regulasi emosi adalah cara seseorang mengekspresikan dan mengendalikan emosinya saat
emosi tersebut dirasakan. Regulasi emosi seseorang dipengaruhi oleh keterampilannya
melakukan penalaran terhadap suatu peristiwa, menggambarkan, dan mempertimbangkan
sesuatu. Regulasi emosi melibatkan kesadaran yang mengontrol emosi negatif dan kemampuan
verbal yang baik sehingga dapat membantu seseorang untuk mengekspresikan emosi dengan
tepat. Regulasi emosi akan membantu seseorang untuk menyesuaikan diri dalam lingkungan
sosialnya (Strongman dalam Halimah dan Hayati, 2015).
Gross (2014), menerangkan bahwa regulasi emosi adalah proses individu untuk emosi
seperti apa, saat emosi muncul, bagaimana mempengaruhi ekspresi pengalaman dan ekspresi
emosional. Secara sederhana, regulasi emosi merupakan proses pengelolaan individu dan
perubahan emosi diri atau orang lain. Dalam proses ini, melalui strategi dan mekanisme
tertentu, menyebabkan emosi dalam aktivitas fisiologis, pengalaman subjektif, ekspresi
perilaku dan sebagainya pada aspek yang memiliki perubahan tertentu. Dengan demikian,
regulasi emosi melibatkan proses perubahan periode laten emosi, waktu terjadinya, lamanya,
ekspresi perilaku, pengalaman psikologis, reaksi fisiologis dan sebagainya. Ini adalah proses
yang dinamis
19
DAFTAR PUSTAKA
Siti Chairani Umasugi. Hubungan Antara Regulasi Emosi Dan Religiusitas Dengan
Kecenderungan Perilaku Bullying Pada Remaja. Fakultas Psikologi Universitas Ahmad
Dahlan
Nicola Morgan (2014). Panduan Mengatasi Stres Bagi Remaja, Tangerang Selatan, Gemilan.
Moch. Hasyim Latief Rosyidi (2014). Regulasi emosi pada istri yang Tertular
HIV/AIDS, Skripsi, Universitas Islam Negeri sunan kalijaga, Yogyakarta.
20