Anda di halaman 1dari 40

i

MAKALAH

Emotional Quotient (EQ)

Dosen Pengampu

Prof. Dr. Nurhayati B, M.Pd.

Oleh:

Rasdianah (220013301053)

Rio (220013301055)

Wahdaniah Mislianti (220013301067)

Winny Arianti Akhmad (220013301069)

PROGRAM PASCASARJANA

PENDIDIKAN BIOLOGI

UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR

2022

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Tuhan yang Maha Esa. Berkat

rahmat, taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas mata kuliah

Psikologi Pendidikan yang berjudul Makalah Emotional Quotient (EQ) dengan

lancar dan tepat pada waktu tanpa suatu kendala yang berarti.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Nurhayati, M. Pd.

Selaku dosen pengampu dari mata kuliah Psikologi Pendidikan atas

bimbingannya dalam proses penyusunan makalah ini. Penulis juga mengucapkan

terima kasih kepada seluruh anggota tim yang telah bekerja sama dalam

penyusunan makalah ini.

Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam penyusunan makalah ini

dengan segala kekurangannya. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini

masih memiliki kekurangan, maka dari itu penulis berharap kritik, saran maupun

masukan yang bersifat membangun agar kedepannya penulis dapat membuat

karya-karya yang lebih baik lagi.

Makassar, 6 Desember 2022

Kelompok 2

(...................) (...............) (..................................) (........................................)


Rasdianah Rio Wahdaniah Mislianti Winny Arianti Akhmad

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii


KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
A. Latar Belakang ...........................................................................................1
B. Rumusan Masalah ......................................................................................3
C. Tujuan ........................................................................................................3
D. Manfaat ......................................................................................................4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................5
A. Definisi Emotional Quotient .....................................................................5
B. Teori Kecerdasan Emosional .....................................................................7
C. Domain perkembangan anak....................................................................10
D. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional ......................16
E. Perkembangan emosi Anak .....................................................................18
F. Macam-Macam Emosi ............................................................................21
G. Strategi Perkembangan Emotional Quotient ...........................................22
H. Pengukuran Emotional Quotient Quotient ...............................................28
BAB III PENUTUP ..............................................................................................33
A. Kesimpulan ..............................................................................................33
B. Saran ........................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................35

iv
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki individu

dalam memotivasi diri, ketahanan dalam menghadapi kegagalan, mengendalikan

emosi dan menunda kepuasan, serta mengatur keadaan jiwa. Dengan kecerdasan

emosional, individu dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah

kepuasaan dan mengatur suasana hati. Individu yang memiliki kecerdasan

emosional yang tinggi dapat menanggulangi emosi mereka sendiri dengan baik,

dan memperhatikan kondisi emosinya, serta merespon dengan benar emosinya

untuk orang lain.

Kecerdasan Emosional mengacu pada kemampuan untuk mengenali dan

mengelola perasaan kita sendiri dan untuk mengenali dan menanggapi secara

efektif orang lain. Ada berbagai ahli teori yang telah mengembangkan berbagai

model kecerdasan emosional. Mereka sangat mirip tetapi memiliki beberapa

variasi dalam strukturnya. Untuk keperluan pelajaran perkuliahan ini, kami telah

memilih untuk menggunakan model Daniel Goleman dengan empat domain:

kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial dan manajemen hubungan. Ini

awalnya dikembangkan pada tahun 1998 dengan lima domain dan didesain ulang

pada tahun 2002 dengan empat domain.

Kecerdasan emosional merupakan salah satu kecerdasan yang memiliki

peran penting dalam mengatasi berbagai persoalan agar meraih keberhasilan dan
2

kebahagiaan dalam hidup. Goleman (2009) mengungkapkan bahwa pengaruh

kecerdasan intelektual (IQ) hanya sebanyak 20%, sedangkan 80% lainnya

dipengaruhi oleh kecerdasan emosional.

Kecerdasan emosional sangat penting untuk mengendalikan dan

mengarahkan emosi dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Dalam Makmun

(2006) Mayer dan Salovey menyatakan kecerdasan emosional berkaitan dengan

pola pikir dan prilaku individu yakni suatu kemampuan dalam mengenali emosi

diri dan emosi orang lain serta kemampuan dalam mengetahui penyebab emosi

yang timbul dalam diri dan orang lain.

Sejalan dengan pernyataan tersebut Cooper mengungkapkan bahwa

inidvidu yang memiliki kecerdasan emosional mampu merasakan, memahami dan

menerapkan secara efektif emosi sebagai sumber energi dalam mengambil

keputusan dengan tepat tanpa menimbulkan dampak yang merugikan. Jika emosi

dapat dikendalikan dapat bermanfaat untuk mendukung keberhasilan dalam

berbagai dalam menyelesaikan berbagai persoalan dan memberikan pengaruh

terhadap individu lain.

Setiap individu tidak terlepas dari persoalan emosi dalam kehidupan

seharihari. Jika tidak memiliki kemampuan menaklukan emosi dengan baik maka

dapat mengakibatkan beragam persoalan. Daniel Goleman melakukan sebuah

survei terhadap orangtua dan guru diseluruh dunia, yang menunjukan bahwa

dibanding generasi sebelumnya saat ini lebih banyak mengalami kesulitan dalam

mengelola dan mengontrol emosi.


3

B. Rumusan Masalah

Adalapun rumusan masalah dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai

berikut:

1. Apa definisi Emotional quotient?

2. Apa saja teori-teori terkait kecerdasan emosional?

3. Bagaimana domain perkembangan emosional anak?

4. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional?

5. Bagaimana perkembangan emosi anak?

6. Apa macam-macam emosi?

7. Bagaimana strategi perkembangan Emotional Quotient?

8. Bagaimana pengukuran Emotional Quotient?

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini ialah:

1. Mengetahui definisi Emotional quotient

2. Mengetahui teori-teori terkait kecerdasan emosional

3. Mengetahui domain perkembangan emosional anak

4. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional

5. Mengetahui perkembangan emosi anak

6. Mengetahui macam-macam emosi

7. Mengetahui strategi perkembangan Emotional Quotient

8. Mengetahui pengukuran Emotional Quotient


4

D. Manfaat

Adapun manfaat yang diharapkan dari penulisan makalah ini ialah:

1. Untuk dapat mengetahui definisi Emotional quotient

2. Untuk mengetahui teori-teori terkait kecerdasan emosional

3. Untuk mengetahui domain perkembangan emosional anak

4. Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempenagruhi kecerdasan emosional

5. Untuk mengetahui perkembangan emosi anak

6. Untuk mengetahui macam-macam emosi

7. Untuk mengetahui strategi perkembangan Emotional Quotient

8. Untuk mengetahui pengukuran Emotional Quotient


5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Emotinal Quotient

Emosi secara etimologi berasal dari serapan bahasa Inggris yaitu

“emotion”. Secara spesifik dalam kamus besar bahasa Indonesia, kata emosional

adalah mempunyai arti “luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu

singkat, keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologi (seperti kegembiraan,

kesedihan, keharuan, kecintaan, dan keberanian yang bersifat subjektif)

(Mahmudin, 2020).

Kecerdasan emosional merupakan faktor psikologis manusia yang banyak

dibicarakan. Emosi adalah keadaan perasaan yang banyak berpengaruh pada

perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari luar

individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi

emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia (Supriadi,

2018).

Secara fisiologis kecerdasan emosi merupakan hasil kerja dari otak kanan.

Otak kanan manusia memiliki cara kerja yang acak, tidak teratur, intuitif, dan

holistik. Sedangkan otak kiri memiliki cara kerja yang logis, sekuensial, rasional,

dan linear merupakan hasil dengan kecerdasan intelektual. Namun belahan otak

harus diperankan sesuai fungsinya, sebab jika tidak maka masing-masing belahan

akan mengankangi pada belahan yang lain (Mahmudin, 2020).


6

Emosi merupakan faktor dominan yang mempengaruhi tingkah laku

individu, dalam hal ini termasuk pula perilaku belajar (learning). Emosi positif

seperti perasaan senang, bergairah, bersemangat atau rasa ingin tahu yang tinggi

akan mempengaruhi individu untuk mengkonsentrasikan dirinya terhadap

aktivitas belajar, seperti memperhatikan penjelasan guru, membaca buku, aktif

berdiskusi mengerjakan tugas atau pekerjaan rumah, dan disiplin dalam belajar,

seperti perasaan tidak senang, kecewa, dan tidak bergairah. Maka proses

pembelajaran tersebut mengalami hambatan dalam arti individu tidak dapat

memusatkan perhatiannya untuk belajar, sehingga kemungkinan besar dia akan

mengalami kegagalan dalam melakukan proses pembelajaran (Arieska, 2018).

Ciri utama emosi adalah respon yang cepat tetapi ceroboh. Sehingga

mendahulukan perasaan daripada pikiran, realitas simbolik yang kanak-kanak,

masa lampau diposisikan sebagai masa sekarang, dan realitas yang ditentukan

oleh keadaan (Mahmudin, 2020).

Keterampilan EQ bukanlah lawan dari IQ atau keterampilan kognitif,

melainkan keduanya berinteraksi secara dinamis baik secara konseptual maupun

didunia nyata. Jadi kecerdasan emosional atau yang biasa EQ (Emotional

Quotient) adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelolah,

serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain diseitarnya. Dalam hal ini emosi

mengacu kepada perasaan terhadap informasi akan suatu hubungan, sedangkan

kecerdasan intelligenge mengacu pada kapasitas untuk memberikan alasan yang

valid akan suatu hubungan. Kecerdasan emosional EQ belakangan ini dinilai tidak

kalah penting dengan kecerdasan intelektual IQ (Gusnawati, 2015).


7

B. Teori-Teori Kecerdasan Emosional

Menurut Supriadi (2018) Mengatakan bahwa Para ahli berdasarkan pada

hasil penelitiannya, menyatakan bahwa kecerdasan kecerdasan emosional

memiliki ranah tersendiri yang dapat dilihat dalam perilaku manusia sebagai

berikut:

1. Menurut goleman

a. Kesadaran diri

Kesadaran diri adalah kemampuan seseorang untuk menyadari emosi yang

dialami. Selain dapat mengenal emosi itu, dapat memahami kualitas, intensitas

dan durasi emosi yang sedang berlangsung, dan juga mengetahui penyebab

terjadinya emosi itu. Orang yang mampu memantau emosinya secara cermat,

adalah orang yang dapat mengendalikan hidupnya, mereka tidak hanya sadar akan

perasaan dirinya, mereka juga sadar akan pikiran hal-hal yang mereka lakukan.

Sadar dengan intensitas emosi terjadi, dapat memberikan informasi sejauh mana

individu dipengaruhi oleh kejadian itu. Intensitas emosi yang tinggi cenderung

memotivasi untuk beraksi.

b. Pengaturan diri

Menangani emosi kita sedemikian sehingga berdampak positif terhadap

pelaksanaan tugas, peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan

sebelum tercapainya sesuatu sasaran, mampu pilih kembali dari tertekanan emosi.

c. Motivasi diri

Motivasi diri adalah kemampuan untuk bertahan dan terus berusaha

menemukan banyak cara untuk mencapai tujuan. Ciri-ciri individu yang memiliki
8

kemampuan ini ialah memiliki kepercayaan diri yang tinggi, optimis dalam

menghadapi keadaan yang sulit, cukup terampil dan fleksibel dalam menemukan

cara alternatif agar sasaran tercapau atau mengubah sasaran jika sasaran tidak

mungkin tercapai dan cukup mampu memecahkan tugas amat berat menjadi tugas

kecil yang mudah dijalani.

d. Empati

Empati adalah kemampuan dalam membaca emosi orang lain, kemampuan

merasakan perasaan oang lain melalui keterampilan membaca pesan non verbal,

nada bicara, ekspresi wajah, dan sebagainya. Kemampuan ini berkaitan dengan

kesadaran emosi. Orang yang memiliki empati lebih mampu menangkap sinyal-

sinyal sosial yang tersembunyi.

e. Keterampilan sosial

Keterampilan sosial adalah kemampuan menjalin hubungan dengan orang

lain, kemampuan membaca reaksi dan perasaan orang lain, mampu memimpin

dan mengorganisasi serta pandai menangani perselisihan yang muncul dalam

setiap kegiatan manusia.

2. Menurut hatch dan gardner

Ada empat komponen keterampilan sosial yaitu sebagai berikut:

a. Mengorganisasikan kelompok, yaitu keterampilan memprakarsai dan

mengoordinasi dalam upaya mempengaruhi orang lain

b. Merundingkan solusi yaitu kemampuan mencegah dan meyelesaikan

konflik-konflik yang muncul


9

c. Menjalin hubungan pribadi, yaitu keterampilan bergaul dengan siapa saja,

pandai membaca dan merespon dengan tepat perasaan orang lain

d. Menganalisis sosial, yaitu keterampilan mendeteksi perasaan motif dan

keprihatinan orang lain.

3. Menurut saloney

Mengorganisasikan kemampuan ini kedalam suatu framework yang

disebut domains of emotional intelligence kecerdasan emosional dapat diuraikan

tiga ranah utama yaitu:

a. Pemahaman emosi secara tepat dan pengungkapan emosi secara selaras

diri sendiri dan orang lain

b. Pengelolaan emosi yang sesuai pada diri sendiri dan pada diri orang lain

c. Kemampuan dalam menggunakan emosi untuk perencanaan, berkreasi,

dan memotivasi perilaku.

4. Menurut jack block

Blok menggunakan konsep “resiliensi ego”. Ada tiga ranah utama yaitu:

a. Pengaturan diri emosional

b. Kendali dorongan hati yang bersifat adaptif atau mampu menyesuaikan

diri

c. Keyakinan diri

d. Kecerdasan sosial

Blok melakukan penelitian kerang lebih seratus pria dan wanita pada awal

usia remaja. Penelitiannya ditunjukkan untuk mencari korelasi kepribadian dengan


10

IQ. Ia menemukan bahwa ada korelasi cukup baik antara ego dan IQ. Akan tetapi

ia menyimpulkan bahwa resillinsi ego dan IQ merupakan bangunan terpisah.

Dari banyaknya para ahli yang mendefinisikan pengertian kecerdasan

emosi dapat ditarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan

seseorang untuk mengatur kehidupan emosinya dan mengungkapkannya melalui

keterampilan kesadaran diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial.

C. Domain Perkembangan Kecerdasan Emosional Anak

1. Kesadaran diri

a. Kesadaran diri emosional

b. Penilaian diri yang akurat

c. Kepercayaan diri
Menurut John Mayer (psikolog Universitas New Hampshire dan salah satu

orang pertama yang mempelajari kecerdasan emosional) kesadaran diri adalah

“sadar akan suasana hati dan emosi kita. pikiran tentang suasana hati.” Hal ini

juga dijelaskan oleh Goleman (2002) sebagai kemampuan untuk membaca dan

memahami emosi serta mengenali dampaknya terhadap orang lain. Secara

sederhana dapat dikatakan bahwa kesadaran diri adalah pemahaman dasar tentang

bagaimana perasaan kita dan mengapa kita merasa seperti itu.

Semakin kita menyadari perasaan kita, semakin mudah perasaan itu untuk

dikelola dan mendikte bagaimana kita menanggapi orang lain. Kesadaran

emosional adalah hasil dari urutan ini:

a. Rasakan emosi (perasaan)

b. Akui perasaan
11

c. Identifikasi lebih banyak fakta

d. Terima perasaan
e. Renungkan mengapa emosi itu muncul pada saat itu.

f. Perhatikan perasaan lain apa yang hadir atau muncul sebelumnya.

Tanyakan pada diri Anda apa tujuannya, apa yang dikomunikasikan,

didemonstrasikan, atau coba diajarkannya kepada Anda.

g. Bertindak – angkat pikiran dan perasaan Anda dan ambil tindakan yang
tepat, jika diperlukan.

h. Renungkan kegunaan jawaban dan pelajaran apa yang ingin Anda ambil.
Urutan ini terjadi terus menerus sepanjang hari saat setiap perasaan

muncul. Pentingnya kesadaran diri adalah untuk lebih memahami bahwa perasaan

ini terus datang dan pergi dan penting untuk menghadapinya dengan cara yang

tepat. Sama pentingnya untuk dapat mengevaluasi bagaimana hal ini

memengaruhi suasana hati dan emosi orang lain. Ada sebuah penelitian yang

dilakukan oleh Sigal Barsade (2002) tentang “The Ripple Effect: Emotional

Contagion and Its Influence on Group Behavior” yang menunjukkan bahwa emosi

kita dapat menular dan dibagikan kepada orang lain, meskipun kita tidak

bermaksud demikian. Ada proses bawaan dalam perilaku manusia yang dapat

menyebabkan kita meniru ekspresi wajah orang lain dan dikomunikasikan melalui

perilaku nonverbal. Studi ini juga menemukan bahwa kita dapat saling

mempengaruhi secara sosial; emosi positif terhadap orang lain mempengaruhi

kerja sama dan konflik dalam penelitian.


12

2. Manajemen diri

a. Kontrol diri emosional

b. Transparansi

c. Adaptasi

d. Pencapaian

e. Inisiatif

f. Optimisme
Manajemen Diri, atau pengaturan diri, dapat didefinisikan sebagai

kemampuan untuk mengelola tindakan, pikiran, dan perasaan seseorang dengan

cara yang fleksibel untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Pengaturan diri

yang optimal berkontribusi pada rasa sejahtera, rasa kemanjuran diri atau

kepercayaan diri, dan rasa keterhubungan dengan orang lain. Tujuannya adalah

agar individu yang mengatur diri sendiri dapat mengambil respons emosionalnya

sebagai isyarat untuk tindakan dan mengatasi secara efektif dalam hubungan.

Penting untuk memiliki pemahaman tentang kesadaran diri terlebih dahulu agar

hal ini menjadi mungkin.

Emosi dapat membanjiri otak yang menyebabkan perasaan frustrasi dan

pikiran yang meluap-luap. Hal ini disebabkan oleh apa yang disebut Goleman

(1995) sebagai “pembajakan amigdala”. Amigdala adalah area di otak yang

menjadi pusat emosi dan perilaku emosional. Area otak ini mengalami overdrive

yang menyebabkan aktivitas tinggi menyebabkan kita fokus dan terobsesi dengan

apa pun yang menyebabkan kesusahan kita. Itu membuatnya sangat sulit untuk

dapat memikirkan hal lain.


13

Misalnya, Anda sedang bekerja dengan sesama pemimpin remaja untuk

merencanakan kemah yang akan datang. Konselor lain menghargai ide Anda saat

berbagi dengan kelompok. Anda menjadi begitu fokus pada ketidakadilan ini

sehingga Anda melewatkan apa yang dikatakan di sisa sesi perencanaan.

Tujuan dari manajemen diri adalah untuk dapat mengenali perasaan ini

sebagai pembajakan dan mengembalikan otak ke kejernihan mental dan

konsentrasi pada tugas yang ada. Penting untuk mempelajari strategi yang

memungkinkan otak Anda melakukan ini sebelum merespons emosi negatif.

3. Kesadaran sosial

a. Empati

b. Kesadaran Organisasi

c. Layanan
Kesadaran Sosial adalah kemampuan untuk secara akurat memperhatikan

emosi orang lain dan “membaca” situasi dengan tepat. Ini tentang merasakan apa

yang dipikirkan dan dirasakan orang lain untuk dapat mengambil perspektif
14

mereka menggunakan kapasitas empati Anda. Goleman menjelaskan, kemampuan

kita sebenarnya berasal dari neuron dalam sirkuit yang diperpanjang yang

terhubung ke amigdala. Mereka membaca wajah, suara, dll. orang lain untuk

emosi dan membantu mengarahkan kita bagaimana kita harus berbicara dengan

mereka. “Empati mengacu pada proses kognitif dan emosional yang mengikat

orang bersama dalam berbagai jenis hubungan yang memungkinkan berbagi

pengalaman serta pemahaman orang lain” (Eslinger, 2007).

Otak kita mencatat bagaimana orang lain merespons dan amigdala serta

sirkuit yang terhubung membuat kita tetap berada dalam lingkaran hubungan

emosional antarpribadi. Untuk melakukan ini, kita harus sudah menyadari emosi

orang lain di sekitar kita dan keadaan yang memengaruhi mereka. Kesadaran

sosial adalah tentang memperhatikan orang di ruangan yang frustrasi dengan tugas

yang ada dan merespons dengan cara yang dapat mencegah emosi negatif lebih

lanjut.

4. Manajemen hubungan

a. Kepemimpinan yang menginspirasi

b. Pengaruh

c. Mengembangkan orang lain

d. Katalisator perubahan

e. Manajemen konflik

f. Membangun ikatan

g. Kerja tim dan kolaborasi


15

Kemampuan untuk mengambil emosi diri sendiri, emosi orang lain, dan

konteks untuk mengelola interaksi sosial dengan sukses. Kuadran ini menyatukan

3 dimensi lainnya dan menciptakan produk akhir – manajemen hubungan.

Seringkali jika kita mengetahui tiga dimensi lainnya, ini akan mengalir lebih

alami. Ini bisa dikenal sebagai "keramahan dengan tujuan" atau mendapatkan

tanggapan yang diinginkan saat bekerja dengan orang lain.

Ini bisa sangat tergantung pada situasi dan inilah mengapa dimensi ini

sebenarnya memiliki 7 kompetensi yang berada di bawahnya yang semuanya

berkaitan dengan hubungan. Manajemen hubungan dapat digunakan untuk

mempengaruhi orang-orang di sekitar kita untuk membuat keputusan yang baik.

Kita dapat merasakan reaksi orang lain terhadap situasi tersebut dan

menyempurnakan tanggapan kita untuk menggerakkan interaksi ke arah yang

positif. Sangat penting bahwa ini adalah upaya tulus untuk membantu setiap orang

mencapai hasil terbaik dan tidak pernah menjadi tindakan manipulasi untuk

kepentingan pribadi.

Contoh lain dari manajemen hubungan adalah berurusan secara khusus

dengan konflik orang lain. Mereka yang kuat di bidang ini dapat melihat bahwa

konflik sedang terbentuk dan mengambil langkah-langkah untuk menjauhkan

orang lain darinya dalam interaksi yang lebih positif. Mendengarkan dan

berempati adalah keterampilan penting untuk menghadapi percakapan yang

seringkali sulit ini. Manajemen hubungan juga dapat bekerja dengan kolaborasi

dan kerja tim orang lain. Menggunakan semua keterampilan ini dari tiga dimensi

sebelumnya untuk mengarahkan kelompok menuju tujuan mereka. Semua tim


16

adalah kumpulan individu, namun sekali bersama-sama mereka dapat mengatasi

emosi orang lain, jadi penting untuk menjaga emosi tetap positif.

D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional tidaklah berkembang secara alamiah. Ada dua

faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi seseorang yaitu faktor

kematangan dan faktor belajar (Hurlock, 1994):

1. Faktor kematangan

Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami

makna yang sebelumnya tidak dimengerti, memperhatikan satu rangsangan dalam

jangka waktu yang lebih lama dan memutuskan ketegangan emosi pada satu

obyek. Kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional,

sehingga anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang semula tidak

dimengerti dirinya.

2. Faktor belajar

Faktor belajar ini merupakan faktor yang lebih mudah dikendalikan.

Dengan pengendalian pola belajar melalui lingkungan, seseorang akan dengan

mudah membina pola emosi yang positif dan menghilangkan pada emosi yang

negatif sebelum berkembang menjadi kebiasaan yang tertanam kuat.

Hurlock (2000: 213) menyebutkan “lima jenis kegiatan belajar yang turut

menunjang pola perkembangan emosi pada masa kanak-kanak”. Berikut ini

metode belajar yang menunjang perkembangan emosi:

1. Trial and Error Learning. Anak belajar secara coba-coba mengekspresikan

emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya


17

dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit. Cara belajar ini

lebih digunakan pada masa kanak-kanak awal.

2. Belajar Dengan Cara Meniru (Learning by Imitation). Dengan cara mengamati

hal-hal yang membangkitkan emosi pada orang lain, kemudian anak akan

bereaksi dengan cara yang sama seperti orang tersebut.

3. Belajar Dengan Cara Mempersamakan Diri (Learning by Identification). Anak

menirukan reaksi emosional orang lain dan pada rangsangan yang sama anak

akan meniru ekspersi emosi yang ditampakkan oleh orang tersebut. Perbedaan

cara belajar ini dengan cara meniru adalah terletak pada motivasi, yaitu anak

lebih memiliki emosi untuk menirukan orang yang dikagumi lebih kuat

walaupun rangsangan yang diterima berbeda antara anak dan orang yang

dikaguminya itu.

4. Belajar Melalui Pengkondisian. Metode ini berhubungan dengan aspek

rangsangan, anak dikondisikan sedemikian rupa untuk mempelajari emosi.

Belajar melalui pengkondisian lebih mudah dan cepat pada tahun-tahun awal

karena anak kecil kurang mampu menalar, dan kurang pengalaman untuk

menilai situasi dengan kritis.

5. Pelatihan. Belajar dengan cara bimbingan dan pengawasan, anak diajarkan

cara beraksi jika suatu emosi terangsang dan dicegah untuk bereaksi secara

emosional, pelatihan ini dilakukan secara terus menerus untuk membentuk

kebiasaan pada diri anak.


18

E. Perkembangan Emosi Anak

Menurut Syamsu Yusuf dalam Riana Mashar (1974) menerangkan bahwa

perkembangan emosi anak dapat diklasifikasikan menjadi lima fase, yaitu:

1. Fase bayi (0-2 tahun)

Pada fase ini, usia antara 0-2 tahun, dibagi lagi menjadi tiga fase, antara

lain:

a. Usia 0-8 minggu, pada usia ini emosi anak sangat bertalian dengan

perasaan indrawi (fisik), dengan kualitas perasaan senang dan tidak

senang. Misal: anak tidur pulas atau senyum bila anak merasa kenyang,

hangat dan nyaman, serta menangis karena lapar, haus, kedinginan atau

sakit.

b. Usia 8 minggu - 1 tahun, pada usia ini perasaan psikis sudah mulai

berkembang, anak merasa senang atau tersenyum bila melihat mainan

yang tergantung di depan matanya. Tidak merasa senang (menangis)

terhadap benda asing atau orang asing.

c. Usia 1-3 tahun, pada usia ini perasaan anak sudah mulai terarah pada

sesuatu (orang, benda atau makhluk lain). Anak dapat menyatakan

perasaannya dengan menggunakan bahasa dan emosi. Pada fase ini anak

bersifat labil (mudah berubah) dan mudah tersulut (mudah terpengaruh

tetapi tidak lama).

2. Fase prasekolah (4-6 tahun)

Pada usia ini anak mulai menyadari dirinya, bahwa dirinya berbeda dengan

bukan dirinya (orang lain atau benda). Kesadaran ini diperoleh dari pengalaman,
19

bahwa tidak semua keinginannya dipenuhi oleh orang lain atau benda lain. Anak

menyadari bahwa keinginannya berhadapan dengan keinginan orang lain,

sehingga orang lain tidak selamanya memenuhi keinginannya. Pada saat yang

sama, berkembang pula perasaan harga diri yang menuntut pengakuan dari

lingkungannya. Jika lingkungannya (terutama orang tuanya) tidak mengakui harga

diri anak, seperti memperlakukan anak secara keras atau kurang menyayangi

maka pada diri anak akan muncul sikap keras kepala/menentang, menyerah jadi

penurut yang diliputi rasa percaya diri kurang dengan sifat pemalu.

3. Fase anak sekolah (sekolah dasar 6-12 tahun)

Masa usia sekolah dasar sering disebut pula sebagai masa intelektual atau

masa keserasian sekolah. Pada masa ini, anak menjadi lebih mudah dididik

daripada masa sebelumnya dan sesudahnya. Masa ini dapat dibagi lagi menjadi

dua fase, antara lain:

a. Masa kelas rendah sekolah dasar (6-9 tahun)

Seorang individu pada masa ini memiliki sifat yang khas, salah satunya

adalah memiliki kecenderungan untuk memuji diri sendiri dan senang

membanding-bandingkan dirinya dengan anak lain, terlebih jika hal itu dianggap

menguntungkan, hal ini yang menimbulkan kecenderungan untuk meremehkan

anak lain. Berkaitan dengan prestasi belajar, pada usia ini siswa menginginkan

nilai (angka rapor) yang baik tanpa mengingat apakah dirinya memang pantas

mendapatkan nilai baik atau tidak. Selain itu, pada masa ini ditemukan adanya

kolerasi positif yang tinggi antara keadaan jasmani dengan prestasi belajar.

Adanya kolerasi positif tersebut akan menguntungkan bagi siswa yang memiliki
20

keadaan jasmani yang baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki keadaan

jasmani yang kurang baik. Sifat khas lain yang dimiliki individu pada usia ini

adalah sikap tunduk pada peraturan-peraturan permainan yang tradisional.135

Sifat tersebut dapat diartikan sebagai usaha yang dilakukan individu dalam

interaksi sosialnya dengan mengikuti aturan yang berlaku agar dirinya dapat

diterima dan menjadi bagian dari kelompok.

b. Masa kelas tinggi sekolah dasar (9-12 tahun)

Individu pada masa ini gemar membentuk kelompok sebaya untuk

bermain bersama. Selama periode masa anak sekolah ini, individu mulai

berhubungan dengan suatu kelompok sosial yang lebih luas dan memahami

pengaruh sosial. Pada waktu yang sama, individu mulai tumbuh secara positif

dengan mempelajari kekuatan intelek atas emosi.136 Pengaruh teman sebaya

sangat besar dalam kehidupan individu pada masa ini, sehingga motivasi

utamanya adalah bagaimana menghindari rasa malu. Individu tersebut akan

berusaha keras menghindari menarik perhatian pada diri mereka sendiri, terutama

jika hal itu dapat menimbulkan ledekan, hinaan atau kecaman dari teman

sebayanya. Konformitas teman sebaya mencerminkan kemampuan individu untuk

mengenali pedoman-pedoman dan nilai-nilai dalam dunia teman sebaya, hal

tersebut berkaitan dengan adanya usaha individu untuk mencegah penolakan.

Berkaitan dengan perkembangan intelektualnya, individu pada usia ini memiliki

pola pikir yang realistis dan rasa ingin tahu yang besar terhadap sesuatu yang

menarik baginya, hal tersebut membuat siswa memiliki keinginan untuk belajar.

Sampai kira-kira usia 11 tahun, siswa membutuhkan seorang guru atau orang-
21

orang dewasa lainnya untuk menyelesaikan tugasnya dan memenuhi

keinginannya. Setelah melewati usia tersebut, siswa akan menghadapi tugasnya

dan berusaha menyelesaikannya sendiri. Pada masa ini, siswa memandang nilai

(angka rapor) sebagai ukuran yang tepat untuk menentukan prestasinya di sekolah.

F. Macam-Macam Emosi

Ditinjau dari penampakannya (appearance), emosi manusia terbagi dua,

yaitu emosi dasar dan emosi campuran. Dilihat dari sisi rentetan peristiwa dikenal

ada emosi mayor dan emosi minor. Emosi primer terdiri dari enam macam emosi,

yaitu kegembiraan (happiness/joy), ketertarikan (surprise/interest), marah, sedih

(sadness/ distress), jijik dan takut. Adapun emosi sekunder merupakan gabungan

dari berbagai bentuk emosi primer dan dipengaruhi oleh kondisi budaya di mana

individu tersebut tinggal, contohnya rasa malu, bangga, cemas, dan berbagai

kondisi emosi lainnya. Secara ringkas kategori emosi ini dapat diamati dari tabel

emosi di bawah ini:

Emosi positif adalah emosi yang selalu diidamkan oleh semua orang,

seperti bahagia, senang, puas dan sejenisnya. Sebaliknya, emosi negatif adalah

emosi yang tidak diharapkan terjadi pada diri seseorang. Namun, yang terakhir ini
22

ternyata lebih banyak melilit kehidupan manusia, dan kebanyakan dipicu oleh

konflik dan stres.

Goleman (2005) mengelompokkan emosi dalam golongan-golongan besar

yaitu:

1. Amarah: beringas, mengamuk, benci, jengkel, kesal hati, terganggu, rasa

pahit, berang, tersinggung, bermusuhan dan barang kali yang paling hebat,

tindak kekerasan dan kebencian patologis.

2. Kesedihan: pedih, sedih, muram, suram, melankolis, mengasihi diri, kesepian,

ditolak, putus asa, dan kalau menjadi patologis, depresi berat.

3. Rasa takut: cemas, gugup, khawatir, waswas, perasaan takut sekali, waspada,

tidak tenang, ngeri, kecut, sebagio patologi fobia dan panik.

4. Kenikmatan: bahagia, gembira, riang, puas, riang, senang, terhibur, bangga,

kenikmatan indrawi, takjub, rasa terpesona, rasa puas, rasa terpenuhi,

kegirangan luar biasa senang sekali dan batas ujungnya, mania

5. Cinta: penerimaan, persahabatan, kepercayaan, kebaikan hati, rasa dekat,

bakti, hormat, kemesraan, kasih.

6. Terkejut: terkesiap, terkejut, takjub, terpana.

7. Jengkel: hina, jijik, muak, mual, tidak suka, mau muntah. Malu: malu hati,

kesal hati, sesal, hina, aib dan hati hancur lebur.

G. Strategi Perkembangan Emotional Quotient

Penelitian menunjukkan bahwa dengan seiring berjalannya waktu dan

latihan, seseorang bisa meningkatkan kemampuan intelegensi emosionalnya dan

dapat secara signifikan meningkatkan kualitas pekerjaannya, termasuk


23

managemen dan pekerjaan profesional lainnya. Untuk meningkatkan intelegensi

emosional, beberapa kriteria harus terpenuhi, termasuk motivasi individu, latihan

secara intensif untuk kemampuan baru, mau menerima feedback dan melakukan

reinforcement atau penguatan untuk keterampilan yang baru berkembang.

Beberapa program pelatihan didesain untuk meningkatkan intelegensi

emosional, begitupun dengan program pelatihan yang didesain untuk

meningkatkan jenis intelegensi emosional tertentu. Seperti contohnya: self

awareness dapat ditingkatkan dengan metode 360 degree feedback dan intervensi

coach atau trainer, sementara self-regulation atau pengendalian diri dapat

ditingkatkan melalui beberapa program anger management. Beberapa sekolah

bisnis telah menyadari tentang kebutuhan akan peningkatan integensi emosional

dan menerapkan program pelatihan kedalam kurikulumnya. Beberapa contoh

program di dalam kelas seperti belajar kelompok, self assesment intelegensi

emosional, membuat jurnal, role playing atau bermain peran, interview dan

analisis kasus (Kastberg, buchko dan buchko, 2020).

Menurut martin (2003) Ada beberapa cara untuk mengembangkan

kecerdasan emosional, diantaranya:

1. Mulailah dengan berpikir positif, terhadap diri sendiri dan orang lain.

2. Mulailah belajar untuk mengekpresikan perasaan

3. Mulailah dengan memikirkan dampak dari kata-kata yang kita ucapkan

terhadap perasaan orang lain.

4. Mulailah untuk belajar mengelola emosi negatif.


24

Menurut mashar dan riana (1974) pengembangan kecerdasan emosi yang

dapat dilakukan oleh orang tua maupun guru adalah sebagai berikut:

1. Metode orang tua dalam mengembangkan kecerdasan emosi anak

a. Memberikan pola pengasuhan yang tepat

Anak merupakan amanah yang diberikan Tuhan kepada orang tua

untuk dijaga, dididik dan dilindungi. Namun, perlu diketahui bahwa orang tua

yang terlalu melindungi anaknya akan membuat anak tersebut menjadi kurang

mandiri dan selalu mengharapkan bantuan orang lain saat mengalami suatu

masalah, bahkan untuk masalah kecil sekali pun. Orang tua yang bijak akan

memberikan ruang pada anak untuk belajar mengatasi masalahnya sendiri.

Membiarkan anak mengalami kekecewaan dan tidak terlalu cepat membantu

merupakan bentuk pola pengasuhan yang akan menghasilkan karakter anak

yang mandiri dan dapat bertahan pada saat menghadapi masa yang sulit.

Meskipun demikian, orang tua tetap harus menunjukkan empati. Sebab,

empati yang ditunjukkan orang tua pada anak saat mengalami masalah atau

kegagalan akan membuat perasaan anak lebih nyaman dan termotivasi untuk

bangkit sekaligus mencapai harapan-harapan baru yang lebih baik. Selain itu,

orang tua perlu menetapkan aturan-aturan yang tegas dan konsisten. Aturan-

aturan yang ditetapkan bertujuan untuk melatih anak menjadi individu yang

disiplin.
25

b. Memberi perhatian pada tahap-tahap perkembangan kecerdasan

emosi

Emosi individu memiliki karakteristik yang berbeda pada setiap tahap

perkembangan usianya. Emosi yang dimiliki bayi berbeda dengan emosi yang

dimiliki oleh anak usia prasekolah atau anak usia sekolah dasar, seperti yang

telah diuraikan dalam pembahasan mengenai tahap perkembangan emosi

individu. Orang tua perlu memahami karakteristik emosi individu pada setiap

tahap perkembangannya. Dengan memberi perhatian pada tahap- tahap

perkembangan emosi individu, orang tua dapat mengontrol perkembangan

emosi anak mereka dan dapat menyesuaikan diri sebagai pelatih emosi yang

tepat bagi anaknya.

c. Melatih anak untuk mengenali emosi dan mengelolanya dengan baik

Daniel Goleman berpendapat bahwa keluarga merupakan sekolah

pertama bagi individu untuk mempelajari emosi. Melalui keluarga, seseorang

belajar tentang dirinya sendiri dan bagaimana reaksi orang lain terhadap

perasaannya. Selain itu, lingkungan keluarga memberikan kesempatan bagi

individu untuk belajar mengenali emosi dirinya dan mengungkapkan harapan

serta perasaan takut yang dimilikinya. Sekolah emosi ini tidak hanya bekerja

melalui hal-hal yang dilakukan dan dikatakan oleh orang tua secara langsung

kepada anak, tetapi juga melalui contoh-contoh yang mereka berikan untuk

menangani perasaan mereka sendiri.141 John Gottman menyebut orang tua

sebagai pelatih emosi. Orang tua yang dimaksud John Gottman sebagai pelatih

emosi adalah orang tua yang membimbing anak-anaknya untuk mengenal


26

dunia emosi. Orang tua memberikan strategi pada anak untuk menghadapi

naik turunnya kehidupan. Orang tua tidak keberatan jika anak-anak mereka

memperlihatkan amarah, kesedihan atau rasa takut. Namun, mereka juga tidak

mengabaikannya, artinya mereka menerima emosi-emosi negatif itu sebagai

fakta kehidupan dan mereka menggunakan saat-saat emosional itu sebagai

peluang untuk mengajarkan anak-anaknya pelajaran kehidupan yang

pentingserta membina hubungan yang lebih erat dengan mereka. Orang tua

yang mengambil peran sebagai pelatih emosi bagi anak-anaknya akan

membuat anak memiliki kecerdasan emosional.

2. Metode guru dalam mengembangkan kecerdasan emosional siswa

a. Memberikan kegiatan ekstrakurikuler sebagai upaya pengembangan

kecerdasan emosional siswa

Setiap siswa memiliki bakat, minat dan karakteristik masing- masing.

Bakat yang dimiliki siswa perlu untuk didukung dan dikembangkan, baik

bakat dalam bidang akademik maupun non- akademik. Untuk

mengembangkan bakat dan minat siswa, guru perlu menyelenggarakan

kegiatan-kegiatan yang mendukung hal tersebut. Selain kegiatan yang bersifat

kurikuler, kegiatan ekstrakurikuler merupakan salah satu kegiatan yang perlu

diorganisaikan oleh lembaga pendidikan untuk membantu siswa dalam

mengembangkan bakat dan minatnya. Kegiatan ekstrakurikuler dapat

membantu interaksi dalam kehidupan nyata antara siswa dengan teman

sebayanya, hal tersebut akan meningkatkan kecerdasan emosi mereka.

Kegiatan ekstrakurikuler yang disesuaikan dengan bakat dan minat siswa akan
27

membantunya untuk mengekspresikan diri dan menangani emosi mereka.

Manfaat lain yang diperoleh dari kegiatan ekstrakurikuler yaitu menimbulkan

kesadaran diri, sebab siswa menemukan aspek baru dari kepribadian mereka.

Selain itu, siswa akan mengenal persaingan secara sehat dan mendorong siswa

untuk meningkatkan kemampuannya. Sehingga, siswa tumbuh menjadi

pribadi yang terbuka dan memiliki motivasi untuk berinteraksi dengan orang

lain. Memberikan kegiatan yang diorganisasikan berdasarkan kebutuhan,

minat, dan karakteristik siswa yang menjadi sasaran pengembangan

kecerdasan emosi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan

kecerdasan emosional siswa.

b. Memberikan kegiatan yang diorganisasikan dan bersifat holistik

(menyeluruh)

Kegiatan holistik ini meliputi semua aspek perkembangan dan semua

pihak yang terkait dalam proses tumbuh kembang siswa. Artinya, para guru

maupun orang tua harus memberikan perhatian terhadap tahap perkembangan

siswa, baik perkembangan emosional, perkembangan intelektual maupun

aspek perkembangan yang lain. Dalam hal ini, guru dan orang tua perlu

menjalin kerja sama untuk mendidik siswa, artinya siswa tidak hanya

mendapat pendidikan saat di sekolah saja, melainkan di rumah juga

mendapatkan pendidikan dari orang tua.

Sebuah analisis tentang kecerdasan emosi terhadap ribuan pria dan wanita

menunjukkan bahwa wanita rata-rata lebih sadar tentang emosi yang dimiliki.

Artinya kecerdasan emosi yang dimiliki oleh pria dan wanita berbeda dan wanita
28

lebih mampu mengontrol kondisi emosinya. Wanita lebih mudah bersikap empati,

dan lebih terampil dalam hubungan antar pribadi, sedangkan pria lebih percaya

diri dan optimis, mudah beradaptasi, dan lebih baik dalam menangani stress

(Goleman, 2005).

Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki ciri-ciri sebagai

berikut:

1) Mampu memotivasi diri sendiri

2) Bertahan menghadapi frustasi

3) Mengendalikan dorongan hati

4) Tidak melebih-lebihkan kesenangan

5) Mengatur suasana hati

6) Berempati

7) Berdoa.

H. Pengukuran Emotional Quotient

EQ ini dapat di ukur dengan berbagai macam pengukuran yang telah

dikembangkan oleh para ahli diantaranya:

1. Bar-On Emotional Quotient Inventory (EQ-i)

Instrumen untuk mengukur kecerdasan emosional pertama kali

diperkenalkan oleh Dr. Reuven Bar-On dalam disertasinya pada tahun

1985. Sebelumnya Bar-On mulai mengembangkan pendahulu Bar-On

Emotional Quotient Inventory™ (EQ-i™), yang dirancang untuk

mempelajari dan menilai kompetensi emosional dan sosial yang dia

identifikasi. Bar-On mengusulkan pendekatan kuantitatif untuk menciptakan


29

skor EQ yang dianalogikan dengan skor IQ yang sudah lebih dahulu ada.

Namun sayangnya instrumen ini mempunyai kemampuan validitas prediktif

yang relatif rendah pada situasi kerja (Rozas. dkk, 2021)

EQ-i merupakan jenis pengukuran EQ yang lebih umum yaitu untuk

mengukur kemampuan emosional yang terdiri dari interpersonal, intrapersoal,

kemampuan adaptasi dan mengelola stres. EQ-i merupakan salah satu jenis

pengukuran EQ yang paling sederhana dan mudah untuk dilakukan (Sefrina,

2013).

2. Multifactor Emotional Intelligence Scale (MEIS)

Instrumen kecerdasan emosional yang diperkenalkan berikutnya

adalah Multifactor Emotional Intelligence Scale (MEIS) yang dikembangkan

oleh Mayer, Caruso, dan Salovey. MEIS merupakan tes kemampuan untuk

mendeteksi kemampuan seseorang dalam mempersepsikan,

mengidentifikasi, memahami dan bagaimana bekerja denganemosi.

Instrumen ini mempunyai validitas konstruk, konvergensi dan diskriminan

yang baik, namun disebutkan belum menunjukkan validitas prediktif yang

cukup (Rozas. dkk, 2021)

3. Mayer Salovey Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT)

Pada tahun 2000 Mayer, Salovey dan Caruso merevisi MEIS dengan

MayerSalovey-Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT) dan kemudian

disempurnakan lagi menjadi MSCEIT v 2.0 pada tahun 2002. Item dari

MSCEIT dikelompokkan menjadi: delapan tasks, dengan empat cabang

(branch) meliputi: Emotions Perception, Facilitating Cognition through


30

Emotions, Understanding Emotions, dan Managing Emotions) yang kemudian

digabungkan untuk membentuk dua bidang (Experiential dan Strategic).

(Rozas. dkk, 2021)

MSCEIT merupakan jenis pengukuran EQ yang bertujuan untuk

mengukur 4 aspek yang terkait dengan kemampuan emosional yaitu persepsi dan

ekspresi emosi, proses integrasi antara emosi dan pikiran, pengertian tentang

transisi emosi dan hubungan antara emosi dan situasi yang sedang dialami, serta

cara mengelola dan mengendalikan emosi (Sefrina, 2013).

4. The Emotional Competence Inventory (ECI)

The Emotional Competence Inventory (ECI) adalah alat yang didesain

untuk menilai kompetensi emosional individu dan organisasi. ECI didesain

berdasarkan kompetensi emosi yang diidentifikasi oleh Dr. Daniel Goleman

dalam bukunya Working with Emotional Intelligence, dan pada kompetensi dari

Generic Competency Dictionary karya Hay/McBer, serta Self-Assessment

Questionnaire (SAQ) karya Dr. Richard Boyatzis (Hay Group, 2005).

The Emotional Competence Inventory (ECI) mengukur 18 kompetensi

yang diatur ke dalam empat aspek (cluster) yaitu Kesadaran diri (Self-Awareness),

Pengaturan diri (Self-Management), Kesadaran sosial (Social Awareness), dan

Pengaturan hubungan (Relationship Management). Jumlah kompetensi yang

diukur dalam The Emotional Competence Inventory (ECI) berbeda dengan jumlah

kompetensi pada model kerangka kecerdasan emosi yang dirancang oleh

Goleman. (Wulandari, 2013)


31

5. Emotional Leadership Questionnaire (ELQ)

Konsep mengenai emotional leadership mengacu pada konsep kecerdasan

emosional Goleman dkk. (2002) yang kemudian diadaptasi oleh Tirri &

Nokelainen (2011) yang membagi kemampuan tersebut menjadi empat dimensi

yang mengandung self-awareness, selfmanagement, social awareness, dan

relationship management. Tirri dan Nokelainen mengembangkan alat ukurnya

dengan nama emotional leadership questionnaire (ELQ) yang terdiri dari 51 butir

pernyataan kuesioner. Alat ukur tersebut pertama kali dikembangkan di Finlandia

dengan melibatkan 806 responden penelitian pada tahun 2011 untuk mengukur

kapabilitas kecerdasan emosional pimpinan di sekolah.

Alat ukur ELQ merupakan pengembangan dari alat ukur serupa

sebelumnya yang mengukur kecerdasan emosional oleh Goleman (1995) untuk

mengukur emotional quotation (EQ) individu secara umum menggunakan

emotional competence inventory (ECI). Namun, Matthews dkk. (2002) berusaha

mengevaluasinya karena adanya beberapa kekurangan seperti tidak adanya

analisis faktor dan keterbatasan responden pengukuran EQ individu secara umum

(tidak pada setting spesifik tertentu), sehingga kemudian dikembangkan oleh Tirri

dan Nokelainen (2011) alat ukur ELQ tersebut yang spesifik dapat digunakan

untuk mengukur kapabilitas kecerdasan emosional pimpinan dalam setting

bekerja.

Di Indonesia sendiri, konsep emotional leadership berserta alat ukur ELQ

belum pernah dikembangkan sebelumnya. Padahal, pengukuran emotional

leadership dapat menjadi penting yaitu sebagai penunjang langkah pendekatan


32

yang tepat antara pimpinan kepada bawahannya agar kemudian dapat mencapai

tujuannya. Maka, menjadi penting bagi pemimpin mengetahui seberapa besar

kapabilitas emotional leadership yang mereka miliki beserta besaran aspeknya.

Selain itu, terdapat kelebihan dari alat ukur ELQ yang mana pengisiannya

dilakukan oleh bawahan dari pimpinan itu sendiri. Artinya, bukan pimpinan

sendiri yang menilai atas dirinya. Harapannya, hal tersebut juga dapat

menguranginya subjektivitas dan normativitas pengisian kuesioner agar menjadi

lebih objektif dan valid (Anjani, Triwahyuni dan Kadiyono, 2021).


33

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kecerdasan emosional merupakan faktor psikologis manusia yang banyak

dibicarakan. Emosi adalah keadaan perasaan yang banyak berpengaruh

pada perilaku. Biasanya emosi merupakan reaksi terhadap rangsangan dari

luar individu. Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai

pikiran. Jadi emosi merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan

manusia

2. Teori-teori terkait emotional intelligents dipaparkan oleh: goleman terdiri

atas: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan

keterampilan sosial, hatch dan gardner (mengorganisasikan kelompok,

merundingkan solusi, menjalin hubungan pribadi dan menganalisis sosial),

soloney (pemahaman emosi dan pengungkapan emosi, pengelolaan emosi

dan kemampuan menggunakan emosi), jack block (pengaturan diri

emosional, kendali dorongan hati, keyakinan diri, dan kecerdasan sosial).

3. Domain perkembangan kecerdasan emosional anak terdiri atas kesadaran

diri, manajemen diri, kesadaran sosial, dan manajemen hubungan.

4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional terdiri atas faktor

individu/ kematangan dan faktor belajar.


34

5. Perkembangan emosi anak terjadi dalam lima fase yaitu fase 0-2 tahun

yang terdiri atas usia 0-8 minggu, usia 8 minggu hingga 1 tahun dan usia 1

– 3 tahun, pra sekolah (4-6 tahun), fase anak sekolah dasar (6-12 tahun).

6. Macam-macam emosi dapat dibagi dalam emosi positif dan negatif. Emosi

positif adalah emosi yang selalu diidamkan oleh semua orang, seperti

bahagia, senang, puas dan sejenisnya. Sebaliknya, emosi negatif adalah

emosi yang tidak diharapkan terjadi pada diri seseorang. Namun, yang

terakhir ini ternyata lebih banyak melilit kehidupan manusia, dan

kebanyakan dipicu oleh konflik dan stres.

7. Strategi perkembangan emotional intelligens biasanya dilakukan dengan

mengikuti program latihan yang didesain untuk meningkatkan tingkatan

intelegensi emosional begitupun dengan program pelatihan yang didesain

untuk meningkatkan jenis intelegensi emosional tertentu.

8. Pengukuran emotional intelligens dapat dilakukan dengan beberapa jenis

pengukuran diantaranya: Bar-On Emotional Quotient Inventory (EQ-i),

Multifactor Emotional Intelligence Scale (MEIS), Mayer Salovey

Caruso Emotional Intelligence Test (MSCEIT), The Emotional

Competence Inventory (ECI), Emotional Leadership Questionnaire (ELQ).

9. Saran

Penulis menyadari ada banyak kekurangan pada penulisan makalah ini


oleh karena itu saran dan masukan sangat diharapkan untuk perbaikan dalam
penyusunan makalah ini.
35

DAFTAR PUSTAKA

Arieska, Ovi. 2018. Pengembangan Kecerdasan Emosional (Emotional Quotient)


Daniel Golmen Pada Anak Usia Dini Dalam Tinjauan Pendidikan Islam.
Journal Of Early Childhood Islamic Education. ISSN: 2599-2287. VOL.
1. No. 2.

Anjani. S. A ,Triwahyuni. A , Kadiyono. A. L. (2021). Adaptasi Alat Ukur


Emotional Leadership untuk Mengukur Kapabilitas Kecerdasan
Emosional Pimpinan Perusahaan di Indonesia. Jurnal Psikogenesis. Vol 9
(1).

Barsade, S. G. (2002). The Ripple Effect: Emotional Contagion and Its Influence
on Group Behavior. Administrative Science Quarterly, 47, 644-675.

Goleman, D. 1995. Emotional Intelligence. Gramedia. Jakarta.

Goleman, D., Boyatzis, R. & McKee, A. 2002. Primal Leadership: Realizing the
Importance of Emotional Intelligence. Harvard Business School Press.

Gusnawati, Mira. Pengaruh Kecerdasan Emosional Dan Minat Belajar Terhadap


Penguasaan Konsep Matematika Siswa SMAN Di Kecematan Kebon
Jeruk. Jurnal Formatif. Vol. 5 (1).

Kastberg E, Buckho A, dan Buchko K. 2020. Developing Emotional Intelligence:


the role of higher education. Journal of organizational psychology. Vol.
20(3).

Hurlock, EB 1994. Psikologi Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.

Mahmudin, Anjas. 2020. Sikap Otoriter Tua Dan Dampaknya Terhadap


Kecerdasan Emosional Anak. Yogyakarta: Bintang Pustaka Madani.
Makmum, Abin Syamsudin. 2006. Psikologi Kependidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.

Martin A D. 2003. EQM (Emotional Quality Management). Jakarta: Arga.

Matthews, G., Zeidner, M., & Roberts, R. D. (2002). Emotional Intelligence:


Science and Myth. Massachusets: MIT Press.

Mashar, Riana. 1974.Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Penanganannya.


Jakarta: Publisher.
36

Rozas. I.S, Khalid, Veronica. W, Permadi. A,& Izzuddin. M. A. 2021. Digital


Quotient Tool: Alat Ukur Kecerdasan Digital. JIFTI - Jurnal Ilmiah
Teknologi Informasi dan Robotika. Vol. 3 (1).

Safrina. A. 2013. Deteksi Minat Bakat Anak. Yogyakarta. Media Pressindo.

Supriadi. 2018. Pengaruh Metode Pembelajaran Dan Kecerdasan Emosional


Siswa Terhadap Hasil Belajar. Pekalongan: PT. Nasya Expanding
Management.
Tirri, K., & Nokelainen, P. 2011. Measuring Multiple Intelligences and Moral
Sensitivities in Education. Boston: Sense Publishers.

Wulandari. R. 2013. Uji Validitas Alat Ukur Kecerdasan Emosi (The


Emotional Competence Inventory 2.0. Pengukuran Psikol. dan
Pendidik. Indones., vol. 11, pp. 504–514.

Anda mungkin juga menyukai