Anda di halaman 1dari 17

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN

GAGAL GINJAL AKUT

DI SUSUN OLEH:
MAHDA
RATRI WINDYAH SIWI
SISI RAHMAWATI

UNIVERSITAS ICHSAN SATYA FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAN STUDI SARJANA ILMU KEPERAWATAN

TANGERANG SELATAN

TAHUN 2023
A. Pendahuluan

Gagal ginjal akut (ARF) atau yang dikenal dengan Cedera Ginjal akut (AKI) adalah kondisi
klinis yang menunjukkan penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dan bisanya bersifat reversibel
yang diukur dengan laju filtrasi glomerulus (GFR).

Pada gagal ginjal akut, penurunan fungsi ginjal terjadi secara tiba-tiba yang meliputi cedera dan
kehilangan fungsi. 

Gagal ginjal akut sering terjadi pada pasien yang sedang dalam masa rawat inap di rumah sakit,
terutama pada pasien dengan penyakit kritis dan membutuhkan perawatan intensif. Sebagian
besar pasien cedera ginjal akut memiliki beberapa etiologi yang terjadi secara bersamaan seperti
sepsis, iskemia, dan nefrotoksisitas.  

Seorang pasien juga bisa dicurigai mengalami gagal ginjal akut juga jika terjadi penurunan
produksi urin secara mendadak walaupun Kadar nitrogen urea darah (BUN) atau kreatinin darah
berada dalam kisaran normal. Kondisi ini dapat menyebabkan akumulasi air, natrium, produk
metabolisme lainnya dan gangguan elektrolit. 

Tidak ada definisi mutlak yang dipakai untuk menggambarkan gagal ginjal akut. Menurut
kriteria KDIGO (Kidney Disease: Improving Global Outcome), gagal ginjal akut ditandai
dengan: Peningkatan kreatinin serum sebesar 0,3 mg/dL atau lebih dalam waktu 48 jam,
Peningkatan kreatinin serum menjadi 1,5 kali atau lebih dari standar normal dalam tujuh hari
sebelumnya, dan volume urin kurang dari 0,5 mL/kg/jam minimal selama 6 jam.

Gagal ginjal akut diklasifikasikan menjadi AKI Prerenal, Penyakit ginjal akut intrinsik, dan
nefropati obstruktif post renal akut.

B. Epidemiologi

Definisi standar yang bervariasi pada gagal ginjal akut memiliki dampak yang besar terhadap
kejadian yang dilaporkan, signifikansi klinis, dan dampak yang sebenarnya. Hal ini
menyebabkan pelaporan Insiden bervariasi, tergantung pada definisi yang digunakan, populasi
pasien dan wilayah geografis yang diteliti.

Pada daerah perkotaan di negara berkembang, penyebab utama gagal ginjal akut adalah penyakit
yang didapat di rumah sakit seperti iskemia ginjal, sepsis, dan obat nefrotoksik.Sedangkan di
daerah pedesaan lebih sering disebabkan oleh penyakit yang didapat dari masyarakat  seperti
diare, dehidrasi, penyakit menular, racun hewan, dan lain-lain.

Kurangnya pelaporan gagal ginjal akut di negara-negara berkembang juga merupakan masalah
besar baik terkait pemetaan dan penanganan dampaknya terhadap kesehatan secara keseluruhan .

Di negara maju prevalensi gagal ginjal akut semakin meningkat. Pada pasien rawat inap di
rumah sakit diperkirakan terjadi hingga 15% dan lebih sering terjadi pada pasien yang
mengalami penyakit kritis dengan prevalensinya diperkirakan mencapai 60%. Sedangkan gagal
ginjal akut di komunitas biasanya jarang terjadi,  penelitian memperkirakan kejadiannya sebesar
4,3%.

Beberapa penelitian difokuskan pada populasi khusus seperti lansia dan anak-anak. Dalam
penelitian epidemiologi dengan skala besar baru-baru ini, kejadian gagal ginjal akut pada anak di
Amerika Serikat ditemukan terjadi pada 3,9 per 1000 pasien rawat inap.

Mayoritas kasus Gagal ginjal akut pada anak-anak adalah dampak sekunder akibat mekanisme
responsif volume cairan seperti diare, hipoperfusi ginjal setelah pembedahan, dan sekunder
akibat sepsis.

Kondisi lain seperti sindrom hemolitik uremik dan glomerulonefritis telah terbukti frekuensinya
meningkat di berbagai belahan dunia dengan efek yang bervariasi biasanya karena keterlambatan
rujukan anak ke rumah sakit.

Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa gagal ginjal akut pada lansia diatas 65 tahun
semakin meningkat dan ditemukan bahwa terdapat hubungan yang linear antara gagal ginjal akut
dan peningkatan usia lansia.

Hal ini sebagian disebabkan oleh perubahan anatomi dan fisiologis pada ginjal lansia dan
sebagian karena adanya berbagai penyakit penyerta seperti hipertensi, penyakit kardiovaskular,
Gagal ginjal kronis (GGK) yang mungkin memerlukan prosedur atau pengobatan yang memicu
stres, mengubah hemodinamik ginjal atau bersifat nefrotoksik.

C. Penyebab

Terdapat banyak kemungkinan penyebab gagal ginjal akut, terutama terkait dengan masalah
oksigenasi dan nutrisi akibat gangguan mikrosirkulasi ke nefron dan peningkatan kebutuhan
energi karena stres seluler. 

Secara umum, diagnosis dan pengelolaan gagal ginjal akut dikelompokan berdasarkan konsep
klasifikasi menjadi tiga kategori utama yaitu  pre-renal, intrinsik dan post-renal.

Pada Gagal ginjal akut prerenal, hipoperfusi ginjal menyebabkan penurunan GFR tanpa
kerusakan parenkim ginjal sebagai respon adaptif terhadap berbagai kerusakan diluar ginjal.
Perfusi ginjal yang adekuat sangat mempengaruhi kemampuannya untuk mempertahankan GFR
normal.

Ginjal menerima sekitar 25% dari curah jantung, sehingga setiap kegagalan sirkulasi sistematis
volume darah atau kegagalan sirkulasi intrarenal dapat berdampak besar pada perfusi ginjal.

Pada gagal ginjal akut intrinsik (Intrarenal), penyebab dapat menjadi tantangan untuk dievaluasi
karena berbagai cedera yang dapat terjadi pada ginjal. Umumnya, empat struktur ginjal yang
terlibat termasuk tubulus, glomerulus, interstitium, dan pembuluh darah intrarenal. 
Nekrosis tubular akut (ATN) adalah istilah yang digunakan untuk menunjuk gagal ginjal akut
akibat kerusakan pada tubulus. Nekrosis tubular akut adalah jenis cedera ginjal intrinsik yang
paling umum terjadi. 

Gagal ginjal akut akibat kerusakan glomerulus terjadi pada kasus glomerulonefritis akut (GNA)
yang parah. 

Sedangkan gagal ginjal akut akibat dari kerusakan vaskuler terjadi karena cedera pada pembuluh
darah intrarenal menurunkan perfusi ginjal dan menyebabkan penurunan GFR sehingga akhirnya
terjadi nefritis interstisial akut akibat reaksi alergi terhadap berbagai obat atau infeksi.

Gagal Ginjal Akut Post Renal terjadi akibat obstruksi akut aliran urin yang meningkatkan
tekanan intra-tubular dan pada akhirnya menurunkan GFR. Selain itu, obstruksi saluran kemih
akut dapat menyebabkan gangguan aliran darah ginjal dan proses inflamasi yang juga
berkontribusi terhadap penurunan GFR.

Gagal Ginjal Akut Post renal dapat berkembang jika obstruksi area manapun pada saluran urin
setelah ginjal, mulai tubulus ginjal hingga uretra. Obstruksi urin dapat muncul dengan gejala
anuria, aliran urin intermiten (poliuria bergantian dengan oliguria), tetapi juga dapat muncul
berupa nokturia atau non oligurik. 
Tabel Penyebab Gagal Ginjal Akut
Kategori Kelainan Kemungkinan Penyebab
GGA Pencetus
Perdarahan, Deplesi Volume, Kehilangan Cairan
Hipovolemia Ginjal (Over Diuresis), Luka bakar, peritonitis,
trauma otot
Gangguan Fungsi Gagal Jantung Kongestif, Infark Miokard Akut,
GGA Pre Jantung Emboli paru masif
Renal Vasodilatasi Obat Antihipertensi, Bateremia gram negatif, Sirosis,
Sistemik Anafilaksis
Peningkatan Anestesi, Bedah, Sindrom Hepatorenal, Obat
Resistensi NSAID, Obat yang menyebabkan vasokonstriksi
Pembuluh Darah ginjal
Iskemia Ginjal (Syok, Komplikasi pembedahan,
perdarahan, trauma, bakteremia, pankreatitis,
kehamilan)
Tubular Obat Nefrotoksik (Antibiotik, obat antineoplastik,
media kontras, pelarut organik, obat anestesi, logam
berat)
GGA Intra Toksin endogen (mioglobin, hemoglobin, asam urat)
Renal Glomerulonefritis akut pasca infeksi, lupus nefritis,
(Intrinsik) Glomerulus Glomerulonefritis IgA, Endokarditis Infektif,
Sindrom Goodpasture, Penyakit Wegnerer
Interstitium Infeksi bakteri dan Virus, Obat-obatan 
Stenosis arteri ginjal bilateral, trombosis vena ginjal
bilateral, vaskulitis, hipertensi maligna, emboli
Vaskular
aterosklerotik atau trombotik, sindrom uremik
hemolitik, purpura trombositopenik trombotik
Hipertrofi prostat, pemasangan kateter yang tidak
Obstruksi
tepat, kanker kandung kemih, kanker prostat, kanker
GGA Post Ekstrarenal
serviks, Fibrosis retroperitoneal
Renal
Obstruksi Nefrolithiasis, gumpalan darah, Nekrosis Papiler
Intrarenal
D. Patofisiologi

Pada dasarnya Gagal Ginjal akut (GGA) atau Cedera Ginjal Akut (AKI) adalah istilah yang
digunakan untuk menggambarkan sindrom klinis yang terjadi ketika fungsi ginjal menurun
secara akut hingga terjadi gangguan keseimbangan cairan, elektrolit, asam-basa, dan
penumpukan produk limbah metabolisme didalam tubuh.

Patofisiologi gagal ginjal akut bersifat multifaktorial dan kompleks. Penyebab paling umum dari
gagal ginjal akut adalah iskemia yang dapat terjadi akibat berbagai hal seperti yang tertuang di
tabel penyebab di atas.

Adaptasi fisiologis sebagai respons terhadap penurunan aliran darah dapat mengkompensasi
sampai tingkat tertentu, tetapi ketika pengiriman oksigen dan substrat metabolik menjadi tidak
memadai, maka akan terjadi cedera seluler yang menyebabkan disfungsi organ. 

Ginjal sangat rentan terhadap cedera yang berhubungan dengan iskemia, mengakibatkan
vasokonstriksi, cedera endotel, dan aktivasi proses inflamasi. 

Kerentanan ini dapat dijelaskan sebagian dari hubungan struktural antara tubulus ginjal dan
pembuluh darah di medula luar ginjal. Terjadinya iskemia akan diikuti penurunan aliran darah ke
struktur nefron dan sel-sel epitel tidak mampu mempertahankan ATP intraseluler yang memadai
untuk proses metabolisme. 

Penipisan ATP ini menyebabkan cedera sel dan jika terus berlanjut dapat mengakibatkan
kematian sel melalui proses nekrosis atau apoptosis. 

Selama cedera iskemik, semua segmen nefron dapat terkena tetapi sel tubulus proksimal adalah
yang paling sering mengalami cedera. 

Selain itu, fungsi alami nefron adalah menyaring, memekatkan, dan menyerap kembali berbagai
zat dari lumen tubulus, dan konsentrasi zat ini dapat mencapai tingkat toksik bagi sel epitel di
sekitarnya. 

Cedera ginjal akut juga sering terjadi pada kondisi sepsis. Pada kejadian sepsis, sirkulasi menjadi
hiperdinamik dan aliran darah berubah dan GFR turun dengan cepat.

Patofisiologi gagal ginjal akut pada sepsis sangat kompleks dan melibatkan peradangan,
disfungsi mikrovaskuler stres oksidatif dan amplifikasi cedera melalui sekresi sitokin oleh sel
tubular.
E. Tanda Dan Gejala

Saat ginjal berhenti berfungsi, produk limbah sisa metabolisme yang seharusnya disaring dari
darah mulai menumpuk, memicu berbagai gejala antara lain:

Gejala Umum

Beberapa gejala umum yang muncul pada pasien gagal ginjal akut seperti penurunan produksi
urin, mual, nafas pendek, dan edema akibat adanya retensi cairan. 

Gejala khas pada gagal ginjal akut juga bisa timbul seperti kondisi ensefalopati uremik dimana
terjadi akumulasi urea, kreatinin, dan zat lain dalam darah yang memicu gangguan otak, dimana
kondisi ini tidak hanya mempengaruhi fungsi tubuh tapi juga mental.

Gejala lain berupa gangguan jantung, sirkulasi, dan tekanan darah yang terjadi  akibat
ketidakseimbangan kadar kalium atau cairan.

Tanda dan gejala umum gagal ginjal akut antara lain meliputi:

 Penurunan produksi atau keluaran urin (oliguria)


 Pembengkakan ekstremitas bawah (edema)
 Sesak napas (dispnea)
 Kelelahan
 Kehilangan nafsu makan
 Mual dan muntah
 Gangguan irama jantung (aritmia)
 Nyeri dada atau dada seperti tertekan
 Mudah terjadi perdarahan (disebabkan oleh trombosit yang rendah)
 Kebingungan (Confusi)
 Kejang
 Koma

Pada kasus yang parah dapat menyebabkan kematian, sebagian besar karena komplikasi sepsis,
gagal nafas, atau kegagalan multi organ.

Gejala Gagal ginjal Prerenal

Penyebab paling umum dari GGA prerenal yang juga dikenal sebagai azotemia prerenal adalah
dehidrasi berat, gagal jantung, dan sirosis hepatis. Semua kondisi ini dapat mengganggu aliran
darah ke ginjal.

Gejala yang timbul biasanya bervariasi sesuai penyebab yang mendasarinya, seperti:
 Gejala dehidrasi parah seperti mata cekung, kulit kering, penurunan elastisitas kulit,
mulut dan mata kering, detak jantung cepat (takikardia), dan pusing atau hipotensi
ortostatik.

 Gejala gagal jantung seperti penonjolan vena leher, rales paru, takikardia, jantung


berdebar-debar, sesak napas saat berbaring, asites, dan batuk terus-menerus atau mengi
dengan dahak berwarna merah muda. .

 Gejala sirosis hati seperti asites, mata dan kulit menguning (jaundice), spider angioma,
urin berbau manis atau amonia, dan pembesaran pembuluh darah di permukaan perut
yang menjalar dari pusar (caput medusa).

Gejala GGA Intrinsik

Penyebab GGA Intrinsik yang paling umum adalah kerusakan ginjal yang berhubungan dengan
kondisi seperti glomerulonefritis, nekrosis tubular akut, dan nefritis interstisial akut. Gejala yang
muncul sesuai dengan penyebab GGA tersebut antara lain:

 Glomerulonefritis dapat menyebabkan gejala seperti urin berwarna merah muda atau


berdarah (hematuria), urin berbusa karena kelebihan protein (proteinuria), dan
pembengkakan pada wajah, tangan, kaki, dan perut.

 Nekrosis tubular akut (ATN) dapat bermanifestasi dengan gejala seperti nyeri otot yang
dalam dan terus-menerus, kejang otot, sensasi kesemutan (neuropati), edema, dan
kebingungan atau delirium.

 Nefritis interstisial akut (AIN), pembengkakan jaringan di antara tubulus ginjal yang
sering disebabkan oleh reaksi obat atau penyakit autoimun dapat memunculkan gejala
demam, hematuria, edema, muntah, kebingungan, dan ruam  jika berhubungan dengan
obat tertentu.

Gejala GGA Post Renal

Penyebab GGA post Renal yang paling umum adalah obstruksi saluran kemih yang dapat
disebabkan oleh BPH, batu ginjal, batu kandung kemih, kanker. Gejala yang bisa muncul sesuai
kondisi antara lain: 

 Gejala hiperplasia prostat jinak (BPH) meliputi dribbling setelah buang air kecil,
nokturia, sering buang air kecil, perasaan tidak tuntas saat berkemih, urgensi, dan aliran
urin yang lemah.

 Gejala batu ginjal dan kandung kemih mencakup nyeri perut bagian bawah atau panggul
yang intens, hematuria, urin keruh, disuria, kesulitan buang air kecil, dan nyeri atau
ketidaknyamanan pada testis atau penis pada pria.
 Gejala kanker bisa berupa penurunan berat badan, hematuria, disuria, urgensi urin, aliran
urin yang lemah, ketidakmampuan untuk buang air kecil, nyeri punggung bawah di satu
sisi, dan nyeri tulang.

F. Pemeriksaan

Evaluasi gagal ginjal akut harus mencakup identifikasi menyeluruh terhadap semua
kemungkinan etiologi GGA, termasuk penyakit prerenal, intrarenal, dan postrenal. Waktu
timbulnya gagal ginjal dapat bermanfaat saat menangani pasien rawat inap. 

Jika pemeriksaan laboratorium pasien dilakukan setiap hari dan kreatinin tiba-tiba mulai
meningkat, maka faktor pemicu biasanya dapat diidentifikasi lebih cepat. Sangat penting juga
untuk melacak pemeriksaan radiologis yang mungkin telah dilakukan dan adanya penggunaan
agen kontras. 

Penting juga untuk meninjau daftar obat yang diterima pasien karena dapat berkontribusi
terhadap terjadinya gagal ginjal, oleh karena itu jika terjadi penurunan fungsi ginjal, dosis obat
tersebut perlu dimodifikasi. 

Pemeriksaan fisik dengan teliti biasanya dapat membantu, misalnya adanya ruam obat dapat
menunjukkan nefritis interstisial akut sebagai etiologinya. Jari kaki sianotik dapat menunjukkan
adanya emboli pada pasien pasca kateterisasi jantung.

Semua pasien yang mengalami gagal ginjal akut (GGA) membutuhkan pemeriksaan lab dasar
termasuk pemeriksaan metabolik. Pada kondisi tertentu elektrolit urin dapat membantu untuk
mengidentifikasi etiologi GGA. Protein urin, osmolalitas urin, dan rasio albumin urin terhadap
kreatinin juga dapat menjadi petunjuk yang membantu dalam menentukan etiologi. 

Pasien lansia tanpa etiologi yang jelas juga harus menjalani elektroforesis protein serum dan urin
(SPEP dan UPEP) untuk menyingkirkan gamopati monoklonal dan multiple myeloma.

Ultrasonografi ginjal dapat membantu jika penyebab obstruktif dicurigai. Namun, USG ginjal
rutin untuk setiap pasien dengan GGA tidak diperlukan. 

CT non-kontras adalah modalitas pemeriksaan radiografi penting lainnya dan dapat digunakan
untuk mencari nefrolitiasis atau urolitiasis. Pemeriksaan sedimen urin juga dapat memberikan
petunjuk penting untuk etiologi, seperti gips coklat berlumpur yang terlihat pada nekrosis tubular
akut. Piuria steril adalah tanda nefritis interstisial akut yang paling sensitif.

Biopsi ginjal adalah pemeriksaan yang sangat baik tetapi jarang digunakan. Hal ini biasanya
diindikasikan pada pasien dengan penurunan fungsi ginjal yang cepat tanpa penyebab yang jelas
atau untuk mengetahui etiologi gagal ginjal yang tepat dalam keadaan di mana beberapa etiologi
dapat menjadi penyebab. 
Penanda fungsi tubulus dapat dihitung untuk membantu membedakan penyebab prerenal,
intrarenal, dan postrenal seperti ekskresi fraksional natrium dan urea serta osmolalitas urin.
Namun sensitivitas semua penanda kurang representatif dan dipengaruhi oleh banyak obat.

Perhatian juga perlu diberikan pada gambaran klinis secara keseluruhan. Penting untuk menilai
status volume pasien untuk menyingkirkan kemungkinan sindrom kardiorenal atau hepatorenal. 

Sindrom kardiorenal biasanya disebabkan oleh filtrasi glomerulus yang buruk karena kongesti
vena dan kurangnya aliran karena curah jantung yang buruk. Sindrom hepatorenal disebabkan
oleh perbedaan distribusi volume sirkulasi dengan vasodilatasi sistemik dan vasokonstriksi
splanknik yang menyebabkan pengalihan darah ke perifer dan kurangnya suplai darah ke ginjal.

G. Penatalaksanaan

Agar manajemen penatalaksanaan GGA bisa optimal, dibutuhkan kerjasama semua tim yang
terlibat dalam perawatan pasien. Setelah cedera gagal ginjal akut terjadi, manajemen
penatalaksanaan utama bersifat suportif.

Pasien dengan gagal ginjal akut harus dirawat di rumah sakit kecuali kondisinya ringan dan jelas
serta disebabkan oleh penyebab yang mudah disembuhkan. 

Kunci penatalaksanaan adalah memastikan perfusi ginjal yang adekuat dengan mencapai dan
mempertahankan stabilitas hemodinamik dan menghindari hipovolemia. 

Pada beberapa pasien, penilaian klinis status volume intravaskuler dan menghindari kelebihan
volume mungkin relatif sulit, dalam hal ini pengukuran tekanan vena sentral dalam perawatan
intensif dapat membantu.

Jika resusitasi cairan diperlukan karena penurunan volume intravaskular, larutan isotonik seperti
normal salin lebih direkomendasikan daripada larutan hiperonkotik seperti dekstran, pati
hidroksietil, dan albumin. 

Pemeliharaan tekanan arteri rata-rata lebih tinggi dari 65 mmhg dan mungkin memerlukan
penggunaan vasopresor pada pasien dengan hipotensi persisten. Fungsi jantung dapat
dioptimalkan sesuai kebutuhan dengan inotrop positif, atau reduksi afterload dan preload.

Perhatian terhadap ketidakseimbangan elektrolit seperti hiperkalemia, hiperfosfatemia,


hipermagnesemia, hiponatremia, hipernatremia, asidosis metabolik sangat penting.

Hiperkalemia berat didefinisikan sebagai kadar kalium 6,5 mEq per L (6,5 mmol per L) atau
lebih besar, atau kurang dari 6,5 mEq per L dengan perubahan elektrokardiografi khas
hiperkalemia misalnya gelombang T tinggi dan memuncak. 

Pada hiperkalemia berat, 5 sampai 10 unit insulin reguler dan dekstrosa 50% yang diberikan
secara intravena dapat menggeser kalium keluar dari sirkulasi dan masuk ke dalam sel.
Kalsium glukonat (10 mL larutan 10% diinfuskan secara intravena selama lima menit) juga
digunakan untuk menstabilkan membran dan mengurangi risiko aritmia bila terdapat perubahan
elektrokardiografi yang menunjukkan hiperkalemia. 

Pada pasien tanpa bukti elektrokardiografi hiperkalemia, kalsium glukonat tidak diperlukan,
tetapi natrium polistiren sulfonat (Kayexalate) dapat diberikan untuk menurunkan kadar kalium
secara bertahap, dan diuretik loop dapat digunakan pada pasien yang responsif terhadap diuretik.
Asupan makanan kalium harus dibatasi.

Indikasi utama penggunaan diuretik adalah manajemen kelebihan volume cairan. Diuretik loop
intravena diberikan secara bolus atau infus. Namun, penting untuk dicatat bahwa diuretik tidak
boleh digunakan untuk mencegah atau mengobati cedera ginjal akut tanpa adanya kelebihan
volume.

Jika memungkinkan, Semua obat yang berpotensi mempengaruhi fungsi ginjal dengan toksisitas
langsung atau dengan mekanisme hemodinamik harus dihentikan. Misalnya, metformin tidak
boleh diberikan kepada pasien diabetes melitus yang mengalami cedera ginjal akut. 

Dosis obat esensial harus disesuaikan dengan tingkat fungsi ginjal dengan dosis yang lebih
rendah. Menghindari media kontras beryodium dan gadolinium penting, jika diperlukan
pencitraan maka pemeriksaan  non kontras lebih direkomendasikan.

Terapi suportif seperti antibiotik, pemeliharaan nutrisi yang adekuat, ventilasi mekanis, kontrol
glikemik, dan manajemen anemia harus dilakukan berdasarkan kondisi pasien.

H. Asuhan Keperawatan

Diagnosa, Luaran, dan Intervensi Keperawatan Sdki Slki Siki


1. Hipervolemia ( Sdki D.0022)

Luaran: Status Cairan Membaik (Slki L.03028)

 Kekuatan nadi meningkat


 Output urin meningkat
 Membran mukosa lembab meningkat
 Ortopnea menurun
 Dispnea menurun
 Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
 Edema anasarka menurun
 Edema perifer menurun
 Frekuensi nadi membaik
 Tekanan darah membaik
 Turgor kulit membaik
 Jugular venous pressure membaik
 Hemoglobin membaik
 Hematokrit membaik
Intervensi Keperawatan Siki:

a. Manajemen Hipervolemia (Siki I.03114)

 Periksa tanda dan gejala hipervolemia (mis: ortopnea, dispnea, edema, JVP/CVP
meningkat, refleks hepatojugular positif, suara nafas tambahan)
 Identifikasi penyebab hypervolemia
 Monitor status hemodinamik (mis: frekuensi jantung, tekanan darah, MAP, CVP, PAP,
PCWP, CO, CI) jika tersedia
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor tanda hemokonsentrasi (mis: kadar natrium, BUN, hematokrit, berat jenis urine)
 Monitor tanda peningkatan tekanan onkotik plasma (mis: kadar protein dan albumin
meningkat)
 Monitor kecepatan infus secara ketat
 Monitor efek samping diuretic (mis: hipotensi ortostatik, hypovolemia, hipokalemia,
hiponatremia)
 Timbang berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Batasi asupan cairan dan garam
 Tinggikan kepala tempat tidur 30 – 40 derajat
 Anjurkan melapor jika haluaran urin < 0,5 mL/kg/jam dalam 6 jam
 Anjurkan melapor jika BB bertambah > 1 kg dalam sehari
 Ajarkan cara membatasi cairan
 Kolaborasi pemberian diuretic
 Kolaborasi penggantian kehilangan kalium akibat diuretic
 Kolaborasi pemberian continuous renal replacement therapy (CRRT) jika perlu

b. Pemantauan Cairan (Siki I.03121)

 Monitor frekuensi dan kekuatan nadi


 Monitor frekuensi napas
 Monitor tekanan darah
 Monitor berat badan
 Monitor waktu pengisian kapiler
 Monitor elastisitas atau turgor kulit
 Monitor jumlah, warna, dan berat jenis urin
 Monitor kadar albumin dan protein total
 Monitor hasil pemeriksaan serum (mis: osmolaritas serum, hematokrit, natrium, kalium,
dan BUN)
 Monitor intake dan output cairan
 Identifikasi tanda-tanda hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, hasil, lemah, konsentrasi
urin meningkat, berat badan menurun dalam waktu singkat)
 Identifikasi tanda-tanda hipervolemia (mis: dispnea, edema perifer, edema anasarka, JVP
meningkat, CVP meningkat, refleks hepatojugular positif, berat badan menurun dalam
waktu singkat)
 Identifikasi faktor risiko ketidakseimbagnan cairan (mis: prosedur pembedahan mayor,
trauma/perdarahan, luka bakar, apheresis, obstruksi intestinal, peradangan pancreas,
penyakit ginjal dan kelenjar, disfungsi intestinal)
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Dokumentasikan hasil pemantauan

2. Risiko penurunan Curah Jantung (Sdki D.0011)

Luaran : Curah Jantung Meningkat (Slki L.02008)

 Kekuatan nadi perifer meningkat


 Ejection fraction (EF) meningkat
 Palpitasi menurun
 Bradikardia menurun
 Takikardia menurun
 Gambaran EKG Aritmia menurun
 Lelah menurun
 Edema menurun
 Distensi vena jugularis menurun
 Dispnea menurun
 Oliguria menurun
 Pucat/sianosis menurun
 Paroximal nocturnal dyspnea (PND) menurun
 Ortopnea menurun
 Batuk menurun
 Suara jantung S3 menurun
 Suara jantung S4 menurun
 Tekanan darah membaik
 Pengisian kapiler membaik

Intervensi Keperawatan : 

a. Perawatan Jantung (Siki I.02075)

 Identifikasi tanda/gejala primer penurunan curah jantung (meliputi: dispnea, kelelahan,


edema, ortopnea, PND, peningkatan CVP).
 Identifikasi tanda/gejala sekunder penurunan curah jantung (meliputi: peningkatan berat
badan, hepatomegaly, distensi vena jugularis, palpitasi, ronkhi basah, oliguria, batuk,
kulit pucat)
 Monitor tekanan darah (termasuk tekanan darah ortostatik, jika perlu)
 Monitor intake dan output cairan
 Monitor berat badan setiap hari pada waktu yang sama
 Monitor saturasi oksigen
 Monitor keluhan nyeri dada (mis: intensitas, lokasi, radiasi, durasi, presipitasi yang
mengurangi nyeri)
 Monitor EKG 12 sadapan
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor nilai laboratorium jantung (mis: elektrolit, enzim jantung, BNP, NTpro-BNP)
 Monitor fungsi alat pacu jantung
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum dan sesudah aktivitas
 Periksa tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum pemberian obat (mis: beta blocker,
ACE Inhibitor, calcium channel blocker, digoksin)
 Posisikan pasien semi-fowler atau fowler dengan kaki ke bawah atau posisi nyaman
 Berikan diet jantung yang sesuai (mis: batasi asupan kafein, natrium, kolesterol, dan
makanan tinggi lemak)
 Gunakan stocking elastis atau pneumatik intermitten, sesuai indikasi
 Fasilitasi pasien dan keluarga untuk modifikasi gaya hidup sehat
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi stress, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Berikan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen > 94%
 Anjurkan beraktivitas fisik sesuai toleransi
 Anjurkan beraktivitas fisik secara bertahap
 Anjurkan berhenti merokok
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur berat badan harian
 Ajarkan pasien dan keluarga mengukur intake dan output cairan harian
 Kolaborasi pemberian antiaritmia, jika perlu
 Rujuk ke program rehabilitasi jantung

b. Perawatan Jantung Akut (Siki I.02067)

 Identifikasi karakteristik nyeri dada (meliputi faktor pemicu dan Pereda, kualitas, lokasi,
radiasi, skala, durasi, dan frekuensi)
 Monitor aritmia (kelainan irama dan frekuensi)
 Monitor EKG 12 sadapan untuk perubahan ST dan T
 Monitor elektrolit yang dapat meningkatkan risiko aritmia (mis: kalium, magnesium
serum)
 Monitor enzim jantung (mis: CK, CK-MB, Troponin T, Troponin I)
 Monitor saturasi oksigen
 Identifikasi stratifikasi pada sindrom koroner akut (mis: skor TIMI, Killip, Crusade)
 Pertahankan tirah baring minimal 12 jam
 Pasang akses intravena
 Puasakan hingga bebas nyeri
 Berikan terapi relaksasi untuk mengurangi ansietas dan stress
 Sediakan lingkungan yang kondusif untuk beristirahat dan pemulihan
 Siapkan menjalani intervensi koroner perkutan, jika perlu
 Berikan dukungan emosional dan spiritual
 Anjurkan segera melaporkan nyeri dada
 Anjurkan menghindari manuver Valsava (mis: mengedan saat BAB atau batuk)
 Jelaskan Tindakan yang dijalani pasien
 Ajarkan Teknik menurunkan kecemasan dan ketakutan
 Kolaborasi pemberian antiplatelet, jika perlu
 Kolaborasi pemberian antianginal (mis: nitrogliserin, beta blocker, calcium channel
blocker)
 Kolaborasi pemberian morfin, jika perlu
 Kolaborasi pemberian inotropic, jika perlu
 Kolaborasi pemberian obat untuk mencegah manuver Valsava (mis: pelunak tinja,
antiemetik)
 Kolaborasi pencegahan trombus dengan antikoagulan, jika perlu
 Kolaborasi pemeriksaan x-ray dada, jika perlu

3. Risiko Hipovolemia (Sdki D.0034)

Luaran: Status Cairan Membaik (Slki L.03028)

 Kekuatan nadi meningkat


 Output urin meningkat
 Membran mukosa lembab meningkat
 Ortopnea menurun
 Dispnea menurun
 Paroxysmal nocturnal dyspnea (PND) menurun
 Edema anasarka menurun
 Edema perifer menurun
 Frekuensi nadi membaik
 Tekanan darah membaik
 Turgor kulit membaik
 Jugular venous pressure membaik
 Hemoglobin membaik
 Hematokrit membaik

Intervensi Keperawatan:

a. Manajemen Hipovolemia (Siki I.03116)

 Periksa tanda dan gejala hipovolemia (mis: frekuensi nadi meningkat, nadi teraba lemah,
tekanan darah menurun, tekanan nadi menyempit, turgor kulit menurun, membran
mukosa kering, volume urin menurun, hematokrit meningkat, haus, lemah)
 Monitor intake dan output cairan
 Hitung kebutuhan cairan
 Berikan posisi modified Trendelenburg
 Berikan asupan cairan oral
 Anjurkan memperbanyak asupan cairan oral
 Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
 Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (mis: NaCL, RL)
 Kolaborasi pemberian cairan IV hipotonis (mis: glukosa 2,5%, NaCl 0,4%)
 Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plasmanate)
 Kolaborasi pemberian produk darah

b. Pemantauan Cairan (Siki I.03121)

4. Risiko ketidakseimbangan Elektrolit (Sdki D.0037)

Luaran: Keseimbangan Elektrolit Meningkat (Slki L.03021)

 Serum natrium membaik


 Serum kalium membaik
 Serum klorida membaik

Intervensi Keperawatan: Pemantauan Elektrolit (Siki I.03122)

 Monitor kemungkinan penyebab ketidakseimbangan elektrolit


 Monitor kadar elektrolit serum
 Monitor mual, muntah, diare
 Monitor kehilangan cairan, jika perlu
 Monitor tanda dan gejala hipokalemia (mis: kelemahan otot, interval QT memanjang,
gelombang T datar atau terbalik, depresi segmen ST, gelombang U, kelelahan, parestesia,
penurunan refleks, anoreksia, konstipasi, motilitas usus menurun, pusing, depresi
pernapasan)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalemia (mis: peka rangsang, gelisah, mual, muntah,
takikardia mengarah ke bradikardia, fibrilasi/takikardia ventrikel, gelombang T tinggi,
gelombang P datar, kompleks QRS tumpul, blok jantung mengarah asistol)
 Monitor tanda dan gejala hiponatremia (mis: disorientasi, otot berkedut, sakit kepala,
membrane mukosa kering, hipotensi postural, kejang, letargi, penurunan kesadaran)
 Monitor tanda dan gejala hipernatremia (mis: haus, demam, mual, muntah, gelisah, peka
rangsang, membrane mukosa kering, takikardia, hipotensi, letargi, konfusi, kejang)
 Monitor tanda dan gejala hipokalsemia (mis: peka rangsang, tanda Chvostek [spasme otot
wajah] dan tanda Trousseau [spasme karpal], kram otot, interval QT memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hiperkalsemia (mis: nyeri tulang, haus, anoreksia, letargi,
kelemahan otot, segmen QT memendek, gelombang T lebar, komplek QRS lebar, interval
PR memanjang)
 Monitor tanda dan gejala hipomagnesemia (mis: depresi pernapasan, apatis, tanda
Chvostek, tanda Trousseau, konfusi, disritmia)
 Monitor tanda dan gejala hypermagnesemia (mis: kelemahan otot, hiporefleks,
bradikardia, depresi SSP, letargi, koma, depresi)
 Atur interval waktu pemantauan sesuai dengan kondisi pasien
 Dokumentasikan hasil pemantauan
 Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan
 Informasikan hasil pemantauan, jika perlu

Referensi : 

1. Harty J. 2014. Prevention And Management Of Acute Kidney Injury. Ulster Med Journal. 


Sept; 83 (3):149-57.  
2. Myhre J & Sifris D. 2021. Symptoms Of Acute Renal Failure. Verywell Health.
3. Makris K, Spanou L. 2016.  Acute Kidney Injury: Definition, Pathophysiology and
Clinical Phenotypes. Clin Biochem Rev.May;37(2):85-98. 
4. Goyal A, Daneshpajouh Nejad P, Hashmi MF, et al.2022. Acute Kidney Injury
(Nursing) .Treasure Island (FL): StatPearls Publishing.
5. Schrier RW, Wang W, Poole B, Mitra A. 2004. Acute renal failure: definitions,
diagnosis, pathogenesis, and therapy. J Clin Invest. 114(1):5-14. doi: 10.1172/JCI22353. 
6. PPNI, 2017.  Standart Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) edisi 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta
7. PPNI, 2018.  Standart Intervensi Keperawatan Indonesia edisi (SIKI) 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta
8. PPNI, 2019.  Standart  Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI) edisi 1 cetakan II. DPP
PPNI. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai