Anda di halaman 1dari 5

Istiqomah Dalam Ketaatan Pasca

Ramadhan
Telah kita lewati bersama sebuah masa yang penuh kemuliaan, suatu waktu dimana kita
melihat banyak sekali orang-orang melakukan ketaatan, dan hari dimana orang-orang
mengisinya dengan peribadatan. Dialah bulan Ramadhan yang penuh keberkahan, yang hari-
harinya penuh kemuliaan, dan malam-malamnya bertebar keutamaan.

Di bulan Ramadhan, orang-orang yang beriman bersungguh-sungguh dalam ketaatan dan


berlomba-lomba menuju pintu-pintu kebaikan. Sesungguhnya seorang mukmin merasa senang
melihat orang-orang melaksanakan ketaatan dan berlomba-lomba di dalam beribadah,
menegakkakn kebajikan di bulan yang agung tersebut.

Yang perlu diperhatikan seorang muslim adalah bahwasanya ibadah kepada Allah Tabaraka
wa Ta’ala, berlomba-lomba dan bersungguh-sungguh dalam ketaatan serta sesuatu yang Allah
ridhai tidak hanya terhenti di bulan Ramadhan saja atau ketaatan tersebut tidak terbatas di
waktu-waktu tertentu saja. Walaupun bulan Ramadhan telah usai, namun ibadah kepada Allah
tidak mengenal berhenti. Walaupun hari-hari yang penuh keberkahan telah berlalu, amalan
kebajikan tidak mengenal masa waktu.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

ُ‫ك َحتَّى يَأْ ِتيَكَ ْاليَقِين‬


َ َّ‫َوا ْعبُ ْد َرب‬

“Dan sembahlah Rabb-mu hingga ajal menjemputmu.” (al-Hijr: 99).

Yang dimaksud denga yakin dalam ayat di atas adalah kematian. Seorang muslim dituntut
untuk tetap senantiasa dalam ketaatan dan continu dalam beribadah kepada Allah Subhanahu
wa Ta’ala hingga Allah mewafatkannya. Allah Berfirman,

َ‫ق تُقَاتِ ِه َو ََل تَ ُموتُ َّن إِ ََّل َوأَ ْنتُ ْم ُم ْسلِ ُمون‬ َّ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اتَّقُوا‬
َّ ‫َّللاَ َح‬

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya;
dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam.” (QS. Ali
Imran: 102).

Yaitu bersungguh-sungguhlah dalam beribadah dan berlomba-lombalah dalam mendapatkan


ridha-Nya, hingga kalian wafat dalam keadaan demikian. Kita ketahui bersama, tidak ada
seorang pun yang mengetahui kapan akhir perjalanan hidupnya dan kapan ajal datang
menjemputnya. Oleh karena itu, seorang muslim harus selalu bersiap diri untuk kematian yang
datanganya tidak diketahui itu. Jadilah orang yang senantiasa menjaga dan bersungguh-
sungguh dalam ketaatan dan melaksanakan yang Allah Tabaraka wa Ta’ala perintahkan sesuai
dengan kemampuan. Dan juga menjauhkan diri dari apa yang Allah larang dan haramkan.

Kita dapati sebagian orang ada yang sangat bersemangat beribadah ketika Ramadha, namun
ketika Ramadha usai mereka berhenti dari ibadahnya atau mereka bermalas-malasan. Mereka
tinggalkan pintu-pintu kebaikan seolah-olah ibadah itu hanya dituntut di bulan Ramadhan saja.
Para salaf pernah ditanya tentang orang-orang yang keadaannya demikian, mereka menjawab,
َ ‫ْرفُوْ نَ َّللاَ إِ ََّل فِر َر َم‬
َ‫اان‬ َ ‫بِ ْئ‬
ِ ‫س القَوْ ُم ََل َيع‬

“Mereka adalah orang-orang yang sangat buruk, (karena) mereka tidak mengenal hak Allah
kecuali hanya di bulan Ramadhan.”

Sesungguhnya Rabb dari seluruh bulan adalah Rabb yang satu. Rabb nya bulan Syawal adalah
Rabb nya bulan-bulan selainnya. Sebagaimana seseorang diwajibkan menaati Allah dan
beribadah kepada-Nya di bulan Ramadhan, mereka juga diwajibkan untuk menjaga ketaatan
kepada Allah dan bersungguh-sungguh dalam beribadah kepada-Nya di setiap waktu selain
Ramadhan. Di setiap bulan, setiap tahun, hingga Allah Tabaraka wa Ta’ala mewafatkannya
dalam keadaan Dia ridha kepada hamba tersebut.

Inilah makna dari firman Allah Ta’ala,

َّ ‫إِ َّن ال َّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا‬


‫َّللاُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Rabb kami adalah Allah’ kemudian mereka
istiqomah…”

Yakni mereka istiqomah dalam ketaatan dan ibadah kepada Allah, mereka terus berada dalam
ruang-ruang kebaikan hingga Allah mewafatkan mereka. Mereka itulah orang-orang yang
mendapatkan keuntungan, kebahagian, dan keberhasilan di dunia dan akhirat. Karena itulah,
Allah Tabaraka wa Ta’ala menyebutkan keadaan mereka sebagai orang-orang yang
mendapatkan perbendaharaan yang agung dan besar di dunia dan di akhirat.

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman,

َّ ‫إِ َّن ال َّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا‬


ٌ ْ‫َّللاُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا فَ ََل َخو‬
َ‫ف َعلَ ْي ِه ْم َو ََل هُ ْم يَحْ زَ نُون‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah”, kemudian mereka
tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka
cita.” (Al-Ahqaf: 13).

Allah juga berfirman,

َ‫َّللاُ ثُ َّم ا ْستَقَا ُموا تَتَنَ َّز ُل َعلَ ْي ِه ُم ْال َم ََلئِ َكةُ أَ ََّل تَ َخافُوا َو ََل تَحْ َزنُوا َوأَ ْب ِشرُوا بِ ْال َجنَّ ِة الَّتِر ُك ْنتُ ْم تُو َع ُدون‬
َّ ‫(إِ َّن ال َّ ِذينَ قَالُوا َربُّنَا‬30)
ُ َ ْ ْ َ
َ‫(نَحْ نُ أوْ لِيَا ُؤ ُك ْم فِر ال َحيَا ِة ال ُّد ْنيَا َوفِر اْل ِخ َر ِة َولَ ُك ْم فِيهَا َما تَ ْشتَ ِهر أ ْنف ُس ُك ْم َولَ ُك ْم فِيهَا َما تَ َّد ُعون‬31) ‫ور َر ِح ٍيم‬ ٍ ُ‫نُ ُز اَل ِم ْن َغف‬

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka
meneguhkan pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan:
“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan jannah
yang telah dijanjikan Allah kepadamu”. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan
dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh
(pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari Tuhan Yang Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Fushshilat: 30-33).

Semua hal itu hanya dipertunkkan bagi mereka yang beriman kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala
dan senantiasa istiqomah dalam ketaatan kepada-Nya hingga maut menjemputnya. Saat ia
wafat, Allah kabarkan bahwa para malaikat turun. Malaikat rahmat membawa kabar yang
sangat menggembirakan dan menyambutnya dengan keberkahan dan kebaikan. Para malaikat
itu turun kepada mereka sesaat sebelum wafat dengan memberikan kabar gembira tentang
kehidupan setelah kematian mereka (alam barzah).

‫تَتَنَ َّز ُل َعلَ ْي ِه ُم ْال َم ََلئِ َكةُ أَ ََّل تَ َخافُوا َو ََل تَحْ َزنُوا‬

“…maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan
janganlah merasa sedih…”

Janganlah kalian takut dengan yang akan terjadi setelah kematian ini, karena balasan pahala
yang besar telah kalian persiapkan sebelumnya dan ridha Allah telah kalian gapai. Jangan pula
kalian bersedih tentang apa yang kalian tinggalkan, baik istri, anak-anak, karena Allah lah yang
akan menjaga, melindungi, dan membimbing mereka dengan taufik dari-Nya. Mereka juga
mendapat kabar gembira lainnya di saat wafat mereka,

‫أَ ََّل تَ َخافُوا َو ََل تَحْ َزنُوا َوأَ ْب ِشرُوا بِ ْال َجنَّ ِة‬

“Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan surga.”

Di saat wafat, Allah berikan mereka kabar gembira akan surga. Surga yang telah mereka
upayakan dalam kehidupan dunia. Yang mereka telah bersungguh-sungguh untuk
mendapatkannya di hari-hari kehidupan dunia dengan beristiqomah dalam ketaatan kepada
Allah. Oleh karena itu, saat mereka wafat Allah beri kabar gembira untuk mereka.

Tidak heran, banyak orang-orang yang menjaga ketaatan dan bersungguh-sungguh dalam
istiqomah, tersenyum saat ajal menjemput mereka. Tampak di wajah mereka kebahagiaan dan
kesenangan. Tampak hasil yang telah mereka upayakan di hari kematian mereka. sebuah kabar
yang begitu menggembirakan dan sambutan yang begitu mulia di saat hari pertama mereka
memasuki alam akhirat.

Kita memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya agar
mencatatkan kita termasuk orang yang akhir hayatnya dalam keadaan terpuji dan lurus. Dan
kita memohon kepada-Nya taufik, pertolongan, dan keteguhan agar bisa memperolehnya.

Allah Tabaraka wa Ta’ala mewajibkan berpuasa satu bulan penuh di bulan Ramadhan, namun
ibadah puasa tidak hanya terdapat di bulan Ramadhan saja. Masih ada puasa-puasa sunnah. Di
antara puasa sunnah yang paling agung adalah puasa enam hari di bulan Syawal. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ِ ‫اانَ ثُ َّم أَ ْتبَ َعهُ ِستاا ِم ْن َشوَّا ٍل َكانَ َك‬


‫صيَ ِام ال َّد ْه ِر‬ َ ‫َم ْن‬
َ ‫صا َم َر َم‬

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan, kemudian ia menyertainya dengan berpuasa


enam hari di bulan Syawal, maka seolah-olah ia berpuasa selama setahun.” (HR. Muslim).

Sungguh, puasa enam hari di bulan Syawal memiliki keutamaan yang besar dan manfaat yang
banyak. Di antaranya adalah sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah atas taufik-Nya kita
mampu menyelesaikan puasa di bulan Ramadhan. Menysukuri nikmat atas nikmat lain yang ia
berikan setelahnya. Mensyukuri taufik dimbimbing menuju ketaatan dan ketaatan setelah
Ramadhan tersebut. Oleh karena itu, dalam rangka syukur kepada Allah hendaknya kita
bersegera menunaikan puasa enam hari di bulan Syawal.
Di antara hikmah dari puasa Syawal adalah bahwa puasa enam hari di bulan Syawal
menetapkan adanya hal-hal sunnah setelah suatu kewajiban. Sebagaimana shalat fardhu yang
setelahnya diikuti oleh shalat sunnah sebagai penutup dan penyempurna kekurangan yang ada
pada shalat fardhu. Oleh karena itu, puasa enam hari di bulan Syawal merupakan sunnah yang
memantapkan amalan kewajiban.

Tidak kita ragukan bahwa kita melakukan sedikit atau banyak hal-hal yang mengurangi puasa
Ramadhan, maka hari-hari di bulan Syawal Allah siapkan untuk menyempurnakan dan
menambal kekurangan puasa Ramadhan kita.

Di antara hikmah puasa Syawal juga adalah sebagaimana dijelaskan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau, “Seakan-akan berpuasa satu tahun”. Ketahuilah, pahala
kebaikan itu Allah lipat-gandakan 10 kali lipat. Puasa Ramadhan satu bulan penuh senilai
dengan puasa 10 bulan. Jika kita menambahnya dengan 6 hari di bulan Syawal, maka ia setara
dengan 2 bulan. Jadi, jika digabung dengan puasa Ramadhan menjadi puasa selama 12 bulan
atau satu tahun penuh.

Termasuk hikmah puasa enam hari di bulan Syawal adalah tanda di antara tanda-tanda
diterimanya ketaatan. Karena tanda diterimanya amalan ketaatan kita dimudahkan untuk
melakukan ibadah yang lain setelahnya. Kita semua berharap agar Allah Tabaraka wa Ta’ala
menerima amalan puasa dan shalat kita di bulan Ramadhan. Dan tanda diterimanya suatu
amalan adalah seseorang menjadi semakin taat setelahnya. Jika kita merasa bahwa diri kita
pemalas sebelum Ramadhan, tapi setelah Ramadhan kita semakin taat dan giat beribadah,
itulah tanda kebaikan. Jika sebelum Ramadhan kita merasa baik, semestinya setelah Ramadhan
menjadi lebih baik lagi. Itulah tanda-tadan diterimanya amalan kita.

Kita memohon kepada Allah Jalla wa ‘Ala agar menerima amalan kita semua; puasa, shalat,
dan ibadah lainnya. Serta agar Dia memberikan kita taufik, menolong kita untuk istiqomah
dalam ketaatan, menunjuki kita jalan yang lurus, dan melindungi kita dari seluruh hal yang
buruk.

ٍ ‫أَقُوْ ُل هَ َذا القَوْ ِل َوأَ ْستَ ْغفِ ُر َّللاَ لِر َولَ ُك ْم َولِ َسائِ ِر ال ُم ْسلِ ِم ْينَ ِم ْن ُكلِّ َذ ْن‬.
‫ب فَا ْستَ ْغفِرُوْ هُ يَ ْغفِرْ لَ ُك ْم إِنَّهُ هُ َو ال َغفُوْ ُر ال َر ِح ْي ُم‬

Sesungguhnya hari Id adalah hari kebahagian bagi orang-orang yang beriman. Mereka
bergembira dengan nikmat Allah Tabaraka wa Ta’ala dengan taufik-Nya untuk menunaikan
puasa dan shalat di bulan Ramadhan. Karena itu mereka memohon kepada Rabb mereka,
keridhaan dan pengabulan.

Syukur kepada Allah Jalla wa ‘Ala adalah dengan pengakuan dan penetapan hati akan nikmat-
Nya, lisan yang memuji nikmat tersebut, dan anggota badan yang digunakan untuk menaati-
Nya. Pada kesempatan kali ini, khotib memperingatkan jangan jadikan hari-hari syukur
tersebut, hari-hari Id kita, malah sebagai hari yang penuh dengan kegiatan menghambur-
hamburkan, menyia-nyiakan, dan memubadzirkan harta. Atau menggunakannya bukan pada
jalan yang benar dan jalan kebaikan.

Seperti kita lihat kemarin, baru saja tampak hilal Syawal, orang-orang langsung berbuat
kerugian dengan menghambur-hamburkan hartanya dengan petasan dan kembang api. Dan
para ulama telah menjelaskan tentang keharaman menggunakan harta untuk perbuatan
demikian.
Pertama, terdapat perbuatan mubadzir, menyia-nyiakannya, dan menggunakannya bukan pada
fungsi semestinya. Logika yang baik menimbang, seandainya seseorang diberikan uang Rp
50.000, lalu ia diperintahkan untuk membakar uang tersebut, pasti ia tidak akan mau
melakukannya karena yang demikian bentuk kepandiran. Perbuatan seperti inilah yang
hakikatnya digunakan oleh orang-orang yang bermain kembang api dan petasan.

Kita lihat banyak pemuda dan anak-anak menghabiskan uang yang banyak untuk membeli
permainan seperti ini yang hanya menimbulkan kebisingan dan kegaduhan tanpa manfaat atau
hasil yang jelas. Kita ingatkan mereka dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam

‫َو َع ْن َمالِ ِه ِم ْن أَ ْينَ ا ْكتَ َسبَهُ َوفِي َما أَ ْنفَقَهُ – وذكر منها –َلَ تَ ُزو ُل قَ َد َما َع ْب ٍد يَوْ َم ْالقِيَا َم ِة َحتَّى يُسْأ َ َل ع َْن أَرْ بَ ٍع‬

“Tidak akan bergeser kaki seorang hamba di hari kiamat kelak, hingga ia ditanya tentang empat
hal –di antaranya- tentang hartanya dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan.”

Seandainya anak-anak muda ini kita arahkan agar menggunakan harta mereka untuk sesuatu
yang bermanfaat. Misalnya, masing-masing mengumpulkan Rp 20.000 dari uang yang mereka
miliki tadi untuk membantu orang-orang yang miskin, memberi makan atau bahkan bisa untuk
memperbaiki tempat tinggal mereka, atau membangun masjid yang akan digunakan oleh
masyarakat suatu kampung shalat berjamaah, memberikan pakaian kepada orang yang papah,
atau memberi makan orang-orang yang kelaparan. Tidakkah kita pantas mendermakan harta
kita sebagai rasa syukur karena Allah telah memuliakan kita. Jangan malah digunakan untuk
sesuatu yang sia-sia dan mubadzir.

Kedua, sebab diharamkannya perbuatan ini adalah karena terdapat bahaya dan mengganggu
orang lain, sering kita dengar kembang api dan petasan ini bisa menghilangkan nyawa dan
membakar sesuatu, dan keburukan-keburukan lainnya.

Karena itu ibadallah, kita harus memperingatkan anak-anak, kerabat, dan teman-teman kita
akan mudharat yang terdapat dalam permainan demikian. Hendaknya kita menjaga harta kita
dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah Jalla wa ‘Ala.

Anda mungkin juga menyukai