Anda di halaman 1dari 11

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan adalah

keadaan sejahtera badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang

hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Hal ini berarti kesehatan

seseorang tidak hanya diukur dari aspek fisik, mental, dan sosial saja, tapi

juga dapat diukur dari aspek produktivitasnya dalam arti mempunyai

pekerjaan atau menghasilkan secara ekonomi. Menurut Undang-Undang

Kesehatan No. 36 Tahun 2009, kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara

fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang

untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. (Notoatmodjo,2012).

Parameter derajat kesehatan suatu negara adalah kematian bayi dan

balita. Angka kematian bayi juga dapat menggambarkan kondisi sosial

ekonomi suatu tempat. Kematian dan bayi balita dikaitkan berbagai factor

seperti , Kesehatan ibu, kondisi social ekonomi, dan praktek Kesehatan

masyarakat. (Depkes RI, 2011)

Menurut laporan UNICEF, terdapat 37 kematian anak usia di bawah lima

tahun dari 1.000 kelahiran pada 2020. Dalam setiap tahun terdapat 12 juta anak

meninggal sebelum usia 5 tahun dan 70% meninggal karena pneumonia,

diare, malaria, dari penyakit tersebut (Kemenkes RI, 2019). Hasil Survey

Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, Angka Kematian Bayi


2

(AKB) sebesar 32 kematian per 1.000 Kelahiran Hidup (KH) dan Angka

Kematian Balita (AKABA) sebesar 40 kematian per 1.000 KH. Itu berarti 1

diantara 31 bayi meninggal sebelum mencapai umur 1 tahun dan 1 diantara

28 anak meninggal sebelum mencapai ulang tahun ke lima. Bila kita

mengacu pada Rencana Strategis Kementrian Kesehatan Tahun 2020-2024,

AKB di Indonesia pada tahun 2024 diharapkan turun menjadi 16 kematian

per 1.000 KH.

Di Provinsi Jawa Barat berdasarkan data dari Dinas Kesehatan

Provinsi Jawa Barat tahun 2019 jumlah balita mati sebanyak 5.167 jiwa

(5,5/1000 KH). Menurut data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon

tahun 2021 Jumlah kematian bayi yang terlapor di puskesmas sebanyak 223

dari 46.660 kelahiran hidup (4,79 per 1000 KH) dengan rincian penyebab

kematian yaitu Asfiksi 71 bayi (33,04%), Bayi berat badan lahir rendah

(BBLR) 72 bayi (32,60%), kelainan kongenital 19 bayi (8,8%), infeksi 7

bayi (3,1%), pneumonia 7 bayi (3,1%), tetanus neonatorum 1 bayi (0,04%)

dan penyebab lain 30 bayi (13,2%).

Dalam rangka mencegah sebagian besar kematian tersebut terdapat

cara efektif berupa perawatan anak yang menderita penyakit di fasilitas

rawat jalan yaitu Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang

dikembangkan oleh Departemen Kesehatan bekerja sama dengan WHO dan

UNICEF. Suatu paket yang dikembangkan dari mulai tahun 1902 dengan

memadukan pelayanan terhadap balita sakit dan intervensi yang terpisah

menjadi satu paket tunggal dengan nama Integrated Management of


3

Childhood Illness (IMCI) atau dikenal sebagai program Manajemen

Terpadu Balita (MTBS) untuk diterapkan dan direplikasikan di negara-

negara yang mempunyai angka kematian bayi (AKB) di atas 40 per 1000

kelahiran hidup.

Menurut World Health Organization (WHO), bila tatalaksana ini

dilakukan dengan baik, akan mampu mencegah kematian balita akibat

infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) hingga sebesar 60-80%, dan

mencegah kematian akibat diare sebesar 90%. Penerapan MTBS akan

efektif jika ibu/ keluarga segera membawa balita sakit ke petugas kesehatan

yang terlatih serta mendapatkan pengobatan yang tepat. Oleh karena itu,

pesan mengenai kapan ibu perlu mencari pertolongan bila anak sakit

merupakan bagian yang penting dalam MTBS (Badan Penelitian dan

Pengembangan Kesehatan Depkes RI, 2008).

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) menangani balita sakit

menggunakan suatu algoritme, program ini dapat mengklasifikasi penyakit-

penyakit secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita

sakit, melakukan rujukan secara cepat apabila diperlukan, melakukan

penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang

membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga diberikan bimbingan

mengenai tata cara memberikan obat kepada balitanya di rumah, pemberian

nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan kepada balita tersebut

dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali untuk

mendapat pelayanan tindak lanjut, sehingga Manajemen Terpadu Balita


4

Sakit (MTBS) merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek

preventif, promotif, kuratif, maupun rehabilitatif yang dilaksanakan pada

pelayanan kesehatan dasar.

Tujuan MTBS untuk memperkuat sistem kesehatan serta

meningkatkan kemampuan perawatan oleh keluarga dan masyarakat.

Penerapan MTBS yang baik dapat meningkatkan upaya penemuan kasus

secara dini, memperbaiki manajemen penanganan dan pengobatan, promosi

serta peningkatan pengetahuan bagi ibu dalam merawat anak dirumah serta

mengoptimalkan sistem rujukan dari masyarakat ke fasilitas pelayanan

primer dan rumah sakit.

Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit terdiri dari tenaga

kesehatan yang ada di unit rawat jalan di fasilitas kesehatan tingkat dasar

meliputi paramedis (bidan, perawat) dan Dokter puskesmas (karena

merupakan supervisor dari paramedis).

Target pencapaian MTBS adalah 100% yang artinya setiap balita

sakit harus dilakukan pendekatan MTBS yang mana sangat dipengaruhi oleh

kinerja petugas MTBS atau dalam hal ini adalah perawat yang bertugas.

Perawat atau nurse berasal dari bahasa latin yaitu dari kata nutrix

yang berarti merawat atau memelihara. menurut Harlley (1997) dalam Fahri

(2010), menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang

berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi

seseorang karena sakit, injury dan proses penuaan. Perawat profesional

adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwewenang memberikan


5

pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan

tenaga kesehatan lain sesuai dengan kewenanganya.(Depkes RI, 2002;

dalam Aisiah, 2004; dalam Fahri, 2010).

Menurut UU RI no 23 th 1992 tentang kesehatan, mendefinisikan

perawat yaitu mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan

melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya, yang

diperoleh melalui pendidikan perawatan.

(http://www.pustakaindonesia.or.id).

Sedangkan menurut International Council Of Nurses (1965); dalam

Fahri (2010), perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan program

pendidikan keperawatan, berwenang di negara bersangkutan untuk

memberikan pelayanan dan bertanggung jawab dalam peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit serta pelayanan terhadap pasien.

Mutu sumber daya manusia kesehatan sangat menentukan

keberhasilan upaya dan manajemen kesehatan. Mutu pelayanan kesehatan

sangat dipengaruhi oleh kualitas sarana fisik, jenis tenaga yang tersedia,

obat, alat kesehatan dan sarana penunjang lainnya, proses pemberian

pelayanan, dan kompensasi yang diterima serta harapan masyarakat

pengguna. Dengan demikian maka peningkatan kualitas fisik serta faktor-

faktor tersebut di atas merupakan prakondisi yang harus dipenuhi.

Menurut Zethamal, Parasuraman dan Berry (1985) yang dikutip

dalam Fandy Tjiptono dan Anastasia Diana (2001: 27), bahwa lima
6

kelompok karakteristik yang digunakan para pelanggan dalam mengevaluasi

kualitas jasa/ pelayanan kesehatan, yaitu :

1. Bukti langsung (tangibles), meliputi fasilitas fisik, perlengkapan,

pegawai dan sarana komunikasi, yang semuanya dapat dirasakan

langsung oleh pelanggan.

2. Kehandalan (reliability), yaitu kemampuan untuk memberikan

pelayanan yang dijanjikan dengan segera dan dapat memuaskan

pelanggan.

3. Daya tanggap (responsiveness), yaitu kemampuan dari karyawan

memberikan pelayanan kepada pelanggan untuk membantu pelanggan

dan memberikan jasa dengan cepat dan tepat, serta mendengar dan

mengatasi keluhan yang diajukan pelanggan.

4. Jaminan (assurance), mencakup kemampuan, kesopanan, dan sifat dapat

dipercaya yang dimiliki para staf, yaitu bebas dari bahaya, risiko dan

keragu-raguan. Karakteristik jaminan ini merupakan gabungan dari

dimensi kompetensi (ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki oleh

para karyawan) dan dimensi kesopanan.

5. Empati (emphaty), meliputi kemampuan membina hubungan,

komunikasi yang baik, perhatian dan memahami kebutuhan pelanggan

Menurut Robert L. Mathis - John H. Jackson (2011) bahwa seberapa

baik karyawan bekerja akan mempengaruhi produktivitas dan kinerja

organisasional secara signifikan. Menurut James L. Gibson (1996) perilaku

dan prestas individu memerlukan pertimbangan tiga variabel yang


7

mempengaruhi hal yang dikerjakan pegawai bersangkutan. Ketiga variabel

tersebut adalah :

1. Variabel Individu, meliputi : kemampuan dan ketrampilan yaitu fisik

dan mental, latar belakang dan demografi

2. Variabel Psikologis, meliputi : persepsi, sikap, belajar motivasi dan

kepribadian

3. Variabel Organisasi, meliputi : sumber daya, kepemimpinan, imbalan,

struktur, desain pekerjaan.

Menurut Robert L. Mathis - John H. Jackson (2011), faktor yang

mempengaruhi bagaimana individu bekerja adalah

1. Kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut yang

meliputi bakat, minat dan kepribadian

2. Tingkat usaha yang dicurahkan meliputi motivasi, etika kerja, kehadiran

dan rancangan tugas

3. Dukungan organisasi yang meliputi pelatihan dan pengembangan,

peralatan dan teknologi, standar kinerja, manajemen dan rekan kerja

Untuk pencapaian program MTBS di Puskesmas Pabuaran tahun

2021 mencapai 89 % dimana hasil tersebut belum mencapai target yaitu

sebesar 100%

Penelitian yang dilakukan oleh Agista M Nurhidiyati dalam judul

Faktor yang berhubungan dengan implementasi Manajemen Terpadu Balita

Sakit (MTBS) di Puskesmas di Kota Semarang tahun 2010 menunjukan ada

hubungan sikap petugas (p = 0,040), pelatihan MTBS yang diikuti petugas


8

(p = 0,037), dengan implementasi Managemen Terpadu Balita Sakit, dan

tidak ada hubungan antara pengetahuan petugas tentang MTBS ( p = 0,160)

dengan implementasi Menagemen Terpadu Balita Sakit.

Penelitian serupa juga dilakukan oleh Abdul Wahab dalam judul

Faktor yang berhubungan dengan Implementasi Menagemen Terpadu

Balita Sakit di Wilayah Puskesmas Kecamatan Babakan Kabupaten

Cirebon tahun 2015 menunjukan ada hubungan antara pengetahuan petugas

tentang MTBS dengan implementasi MTBS di Puskesmas Wilayah

Kecamatan Babakan dengan nilai p value = 0,042, ada hubungan antara

sikap petugas pada pasien MTBS dengan Implementasi MTBS di

Puskesmas wilayah kecamatan Babakan dengan p value = 0,047, ada

hubungan antara masa kerja dengan implementasi MTBS di Puskesmas

Wilayah kecamatan Babakan dengan p value = 0,046

Studi pendahuluan yang dilakukan peneliti melalui wawancara dan

observasi pada 8 orang Perawat diperoleh data bahwa 3 orang belum

memahami alur pelayanan berdasarkan algoritma MTBS, 5 orang perawat

belum pernah mendapatkan pelatihan tentang MTBS. Penerapan MTBS

yang tidak dilaksanakan dengan baik maka tidak akan bisa menekan Angka

kematian bayi dan balita.

Bertolak dari latar belakang hasil observasi, penulis tertarik untuk

meneliti hubungan pengetahuan, sikap, dan pelatihan terhadap kemampuan

perawat puskesmas dalam penerapan MTBS di Wilayah Kecamatan

Pabuaran.
9

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi permasalahan

dalam penelitian ini adalah rendahnya cakupan MTBS di Puskesmas

Kecamatan Pabuaran dengan pencapaian pada tahun 2021 adalah 89 %

dimana target pencapaian MTBS adalah 100%. Untuk itu peneliti tertarik

untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan perawat

puskesmas dalam penerapan MTBS di wilayah Kecamatan Pabuaran Tahun

2022.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi kemampuan

perawat puskesmas dalam penerapan MTBS di UPTD Puskesmas

Pabuaran Kecamatan Pabuaran Tahun 2022

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Diketahuinya gambaran kemampuan perawat dalam penerapan

MTBS di UPTD Puskesmas Pabuaran Kecamatan Pabuaran

Tahun 2022

2. Diketahuinya gambaran pengetahuan perawat dalam penerapan

MTBS di UPTD Puskesmas Pabuaran Kecamatan Pabuaran

Tahun 2022

3. Diketahuinya gambaran sikap perawat dalam penerapan MTBS

di UPTD Puskesmas Pabuaran Kecamatan Pabuaran Tahun 2022


10

4. Diketahuinya gambaran pelatihan yang diikuti perawat dalam

penerapan MTBS di UPTD Puskesmas Pabuaran Kecamatan

Pabuaran Tahun 2022

5. Diketahuinya hubungan antara pengetahuan dengan kemampuan

perawat puskesmas dalam penerapan MTBS di UPTD Puskesmas

Pabuaran Kecamatan Pabuaran Tahun 2022.

6. Diketahuinya hubungan antara sikap dengan kemampuan perawat

puskesmas dalam penerapan MTBS di UPTD Puskesmas

Pabuaran Kecamatan Pabuaran Tahun 2022.

7. Diketahuinya hubungan antara pelatihan dengan kemampuan

perawat puskesmas dalam penerapan MTBS di UPTD Puskesmas

Pabuaran Kecamatan Pabuaran Tahun 2022.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Manfaat Teori

Diharapkan hasil penelitian ini mampu menjadi tolak ukur

kemampuan perawat puskesmas dalam pencapaian program MTBS

guna meningkatkan cakupan pencapaian program MTBS sehingga

angka kematian bayi (AKB) maupun angka kematian balita

(AKABA) ada penurunan.

1.4.2 Manfaat Praktis

1. Bagi Institusi Pendidikan


11

Sebagai bahan tambahan kepustakaan dalam proses

belajar mengajar pada Institusi Pendidikan.

2. Bagi Instansi Kesehatan Khususnya Puskesmas

Sebagai strategi untuk menurunkan angka kematian,

kesakitan dan kecacatan bayi dan anak balita khususnya di

wilayah Kecamatan Pabuaran Kabupaten Cirebon.

3. Bagi Tenaga Keperawatan

1) Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan Khususnya

perawat puskesmas untuk mengembangkan kemampuan dan

menambah wawasan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi dalam penerapan MTBS.

2) Hasil penelitian ini dapat sebagai tambahan ilmu bagi

keperawatan keluarga dalam mengupayakan peningkatan

pelayanan kesehatan terhadap bayi dan anak balita di keluarga.

4. Bagi Peneliti Lain

Sebagai bahan masukan untuk peneliti lain dalam

melakukan penelitian yang berkaitan dengan faktor-faktor yang

mempengaruhi kemampuan perawat dalam penerapan MTBS.

Anda mungkin juga menyukai