Anda di halaman 1dari 7

A.

Tujuan Pemberian Intervensi Manajemen Pruritus


1. Tentukan penyebab dari terjadinya pruritus (1E-2550.1)
Pruritus pada kulit dapat menunjukkan adanya kelainan. Pruritus dapat
berasal dari kulit maupun sistem saraf. Menurut penyebabnya, dapat
dibedakan sebagai kelainan kulit, penyakit sitemik, pruritus neuropatik, dan
pruritus psikogenik. Pruritus juga dapat dibedakan menurut sifatnya yaitu
akut atau kronik. Lokasi rasa gatal merupakan kunci untuk menentukan
faktor yang berperan dalam menimbulkan keluhan gatal (Djajakusumah,
2011).
Pruritus uremik adalah pruritus yang paling sering terjadi pada penderita
gagal ginjal kronik (GGK) dimana terjadi peningkatan kadar ureum yang
tinggi dan tidak ditemukan pada penyakit gagal ginjal akut (Narita I, 2008).
Pada pasien dengan penyakit ginjal stadium akhir, pruritus dapat disebabkan
karena berbagai hal, baik yang berkaitan ataupun yang tidak berkaitan
dengan uremia.
a. Keadaan yang berhubungan dengan uremia :
 Neuropati sensorik uremik
Pruritus ditransmisikan melalui serabut C pada kulit. Stimulan
serabut C meliputi sitokin, histamine serotonin, prostaglandin,
neuropeptida dan enzim. Sensasi gatal neuropati berasal dari
kerusakan sistem saraf di sepanjang jalur afferent.
 Toksin Uremik
Toksin uremik merupakan substansi toksik yang berasal dari diet
atau substansi endogen yng terjadi karena gagal ginjal. Toksin
uremik terdiri dari substansi kimia heterogen, beberapa
diantaranya adalah produk flora mikrobiologik dalam usus.
Keadaan uremik ditandai dengan penimbunan toksin uremik
yaitu berbagai substansi yang dalam keadaan normal diekskresi
atau dimetabolisme oleh ginjal (Pardede, 2010)
 Serosis kulit
Serosis merupakan masalah kulih yang terjadi sekitar (60-90%)
pasien dialisis yang kemudian menyebabkan terjadinya pruritus
uremia. Serosis atau dry skin diakibatkan atrofi kelenjar sebasea,
gangguan fungsi sekresi eksternal, dan gangguan hidrasi stratum
korneum. Skin dryness pasien dialisis dengan pruritus
mempunyai hidrasi lebih rendah dibandingkan pasien dialisis
tanpa keluhan pruritus
 Peninngkatan poliferasi sel mast di kulit
Pada pasien uremia, jumlah sel mast dermis meningkat dan kadar
histamine dan triptase plasma lebih tinggi pada pasien pruritus
uremik berat.
 Peningkatan kadar histamine
Histamin, basofil trombosit, dan sel mast peritoneal dan
bronchial dikenal sebagai penyebab rasa gatal pada kulit yang
alergi. Pelepasan histamine dipicu substansi P yakni
neurotransmitter yang terlibat meimbulkan sensasi gatal.
 Hiperkalsemia dan hiperfosfatemia
Meningkatnya kadar ion divalen menyebabkan presipitasi
kalsium atau magnesium fosfat yang menyebabkan pruritus.
Magnesium berperan dalam modulasi konduksi saraf dan
pelepasan histamine dari sel mast. Kalsium berperan dalam
pruritus melalui degranulasi sel mast
 Berkurangnya eliminasi transipedermal faktor pruritogenik
Akumulasi senyawa pruritogenik yang tidak terdialisis akan
menimbulkan efek sensasi gatal di saraf pusat ataupun
reseptor.Senyawa pruritogenik antara lain vitamin A, hormone
paratiroid dan histamine yang berpotensi menimbulkan pruritus.
Senyawa pruritogenetik lainnya yaitu interleukin-1 yang
dikeluarkan setelah kontak antara plasma dengan membrane
hemodialisis. Interleukin-1 mempunyai efek proinflamasi di kulit
dan menyebabkan rasa gatal.
 Hiperparatiroidisme
Hiperparatiroid menstimulasi sel mast melepas histamine dan
menyebabkan mikropresipitasi garam kalsium dan magnesium di
kulit. Pruritus dapat hilang setelah dilakukan tindakan
paratiroidektomi.
b. Keadaan yang tidak berkaitan dengan uremia
 Hipersensitivitas karena obat
 Penuaan
 Hepatitis
 Diabetes mellitus
 Hipotiroidisme
 Anemia defisiensi besi
 Tumor limfoproliferatif (Narita I, 2008)
2. Lakukan pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kerusakan kulit (misal :
lesi, bula, ulserasi, dan abrasi). (1E-2550.2)
 Derajat Keparahan Pruritus
Secara umum, penilaian pruritus dapat dibedakan menjadi 2 yaitu
evaluasi subjektif dan penilaian garukan. Untuk menilai gatal secara
subjektif dapat menggunakan penilaian sederhana seperti VAS, NRS,
VRS, kuisioner gatal yang menyediakan kualitas gatal, dan
penilaianambang perepsi pruritus. Menilai pruritus sebaiknya
menggunakan kombinasi paling sedikit 2 (dua) metode penilaian rasa
gatal yang independen.
 Visual Analogue Scale (VAS)
VAS digunakan untuk menilai gatal dengan member estimasi gatal
yang mudah dan cepat. VAS meminta pasien untuk menandai skala
1-10 pada kertas baik horizontal maupun vertical dalam
menunjukkan derajat keparahan pruritus yang dirasakan pasien
 Penilaian pruritus modifikasi Duo dan Mettang
Penilaian ini meliputi
1) Scratching : melaporkan pruritus dengan periode waktu (pagi,
sore, dan malam) masing masing memiliki 1 skor
2) Keparahan
Skor 1 : sensasi gatal ringan tanpa perlu menggaruk
Skor 2 : beberapa kali menggaruk
Skor 3 : sering menggaruk
Skor 4 : menggaruk tanpa ada rasa berkurang
Skor 5 : merasakan pruritus terus menerus
3) Distribusi : lokasi dirasakannya pruritus, misalnya lengan,
tungkai bawah, dan batang tubuh masing masing 1 skor, dengan
skor maksimal 5
4) Frekuensi : menilai jumlah episode pruritus dan durasinya.
Episode singkat (<10 menit) atau episode panjang (>10 menit)
mendapatkan 1 skor, dengan skor maksimal adalah 5
5) Gangguan tidur : menilai jumlah jam tidur dan frekuensi tidur
yang terganggu karena rasa gatal. Skor 0 apabila jam tidur pada
malam hari >7 jam dan skor 10 apabila tidak tapat tidur sama
sekali.Gangguan tidur juga dapat dinilai dari jumlah berapa kali
pasien terbangun pada malam hari karena merasakan gatal. Skor
1 untuk 1 kali terbangun dan skor 5 untuk >5 kali terbangun.
Penilaian distribusi dan frekuensi dilakukan pada pagi dan siang. Skor
yang paling tinggi selama 24 jam adalah 48. Derajat keparahan pruritus dapat
dibagi menjadi 1-16 termasuk pruritus ringan, 17-32 pruritus ssedang, Sn 33-
48 pruritus berat (Mettang T, 2012).
Pemeriksaan sebaiknya dilakukan di tempat yang terang dan dimulai dari
kepala hingga kaki. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menentukan lokasi,
jenis, karakteristik, ukuran (bentuk, garis tepi), warna,tekstur (dangkal atau
dalam), dan gambaran permukaan area yang gatal (Budimulja, 2011).
3. Berikan krim dan lotion yang mengandung obat, sesuai kebutuhan. (1E-
2550.4)
Pada video tersebut pasien diberikan anestesi topical yang mengandung
pramoxine. Pramoxine topical ini berbentuk 1% krim dan dikombinasi
dengan kortikosteroid topical yang berguna untuk mengurangi sesasi gatal
dengan cepat. Topikal tersebut bekerja dengan menghambat sistem saraf
sehingga menghasilkan perubahan sensasi (Jennifer Idris, 2010).
4. Berikan kompres dingin untuk meringankan iritasi. (1E-2550.8)
Kompres dingin bertujuan untuk memberikan kenyamanan pada pasien
dan menurunkan suhu kulit. Kompres basah dapat bermanfaat dalam
menangani eksema berat. Komprs dingin dapat dilakukan dengan
menggunakan kain basah atau es selama 5-10 menit (Tutik Rahayu, 2009).
5. Instruksikan pasien untuk menghindari sabun mandi dan minyak yg
mengandung parfum. (1E-2550.9)
Kebiasaan terlalu sering membersihkan area yang gatal dapat
menimbulkan iritasi. Identifikasi pemakaian sabun yang bersifat iriatif dan
pembersih kaustik. Penggunaan sabun dan pembersih yang mengandung
antiseptic dapat mempermudah resistensi, kecuali bila ada indikasi. Bahan
yang mengandung parfum seperti pengharum dan deodorant semprot
mengandung bahan iritan seperti alcohol, propilen glikol atau memiliki pH
yang terlalu asam (Weichert, 2004)
6. Instruksikan pasien memakai humidifier/pelembab dalam rumah. (1E-
2550.10)
Humidifier bekerja dengan cara menyemprotkan uap yang dapat
mempertahankan kelembaban hingga batas ideal. Ketika udara disekitar
lembab, maka akan mengurangi resiko kulit kering yang dapat menyebabkan
gatal pada kulit. Gagal ginjal kronis dapat menyebabkan perubahan pada
kelenjar keringat dan kelenjar minyak yang menyebabkan kulit kehilangan
kemampuan alami untuk melembabkan dirinya sendiri. Kondisi ini juga
dapat disebabkan oleh perubahan metabolisme pada CRF (Daryaswanti,
2019).

7. Intruksikan pasien untuk tidak menggunakan pakaian ketat dan berbahan wol
atau sintesis. (1E-2550.11)
Ketika pasien mengguakan pakaian yang ketat ataupun baju berbahan
wol, maka kulit akan mengalami gesekan yang berlebihan ditambah kerigat
yang muncul ketika beraktivitas sehingga dapat menimbulkan gatal pada
kulit. Bahan sintetis terbuat dari 100% bahan kimia yang jika dipakai dalam
jangka waktu lama dapat menyebabkan infeksi yang dapat menyebabkan
gatal. Pasien disarankan untuk memakai pakaan dengan bahan dasar katun
dan longgar untuk mencegah gatal-gatal (Astuti & Husna, 2017)
8. Instruksikan pasien untuk meminimalisir keringat dengan menghindari
lingkungan yg panas. (1E-2550.13)
Udara yang panas dapat menyebabkan biang keringat. Biang keringat
adalah ruam kecil berwarna merah dan menonjol yang terasa gatal serta bisa
menyebabkan sensasi menyengat atau perih pada bagian kulit. Hawa panas
selain dapat menyebabkan biang keringat juga terdapat kondisi dimana dapat
menyebabkan stress pada pasien gagal ginjal kronik yaitu situasi atau
peristiwa yang berupa kondisi tertentu dalam lingkungan yang merusak
jaringan dalam tubuh, seperti hawa panas/dingin yang berlebihan (Rahayu,
Ramlis, & Fernandi, 2018)
9. Instruksikan pasien mandi dengan air hangat. (1E-2550.15)
Seseorang yang sedang mengalami kondisi kulit gatal dan iritasi, mandi
air hangat atau berendam air hangat yang dicampur bubuk oatmeal khusus
(oatmeal koloid) dapat membantu menjaga kelembapan kulit dan mengurangi
iritasi kulit. Efek mandi air hangat juga dapat membantu meredakan radang
pada kulit.
DAFTAR PUSTAKA

Bibliography
Astuti, R., & Husna, C. (2017). Skala Pruritus Pasien Gagal Ginjal Kronik. Fakultas
Keperawatan, Universitas Syah Kuala, 4.

Budimulja, U. (2011). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Djuana A, Hamzah M, Aisah
S, editors. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Daryaswanti, P. (2019). Gambaran Tingkat Kelembaban Kulit pada Pasien Gagal


Ginjal Kronik di Ruang Hemodialisa RSUD Buleleng. Bali Health Published
Journal, 39-46.

Djajakusumah, T. S. (2011). Penatalaksanaan pruritus anogenital. 293-308.

Jennifer Idris, L. Y. (2010). Penatalaksanaan lini pertama pada dermatitis atopik.


Ebers Papyrus, 171-187.

Mettang T, W. E. (2012). Pruritus: Control of Itch in Patients Undergoing Dialysis.

Narita I, e. a. (2008). Uremic pruritus in chronic hemodialysis patients. European


Renal Association, European Dialysis and Transplant Association.

Pardede, S. O. (2010). Pruritus uremik. Sari pediatri, 348-354.

Rahayu, F., Ramlis, R., & Fernandi, T. (2018). Hubungan Frekuensi Hemodialisis
dengan Tingkat Stress pada Pasien Gagal Ginjal Kronik yang Menjalani
Hemodialis. Jurnal Keperawatan Silampri, 146.

Tutik Rahayu, D. R. (2009). Pruritus. In F. I. Semarang, Majalah Ilmiah Sultan Agung


(pp. 71-76). Semarang: Universitas Islam Sultan Agung.

Weichert, G. (2004). An Approach to the treatment of anogenital pruritus. Dermatol


Ther, 129.

Anda mungkin juga menyukai